Anda di halaman 1dari 13

Hukum Berobat

Jikalau seorang telah mencapai masa kritis dari penyakit yang dideritanya, yang mana
penyembuhan sudah tidak dapat diharapkan lagi (sudah tipis harapan sembuh).
Apakah ia boleh berobat? Dan juga si sakit tidak ingin menambah beban deritanya
akibat perobatan yang membawa efek samping. Pada dasarnya apakah seorang
muslim wajib berobat ataukah hanya sekedar ikhtiyar?
Alhamdulillah, secara umum berobat itu dianjurkan oleh syariat.
Berdasarkan riwayat Abu Darda' Radhiyallahu 'Anhu ia berkata:
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan
Dia telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka
janganlah berobat dengan perkara yang haram."
(H.R Abu Dawud No:3372)
Dan berdasarkan hadits Usamah bin Syarik Radhiyallahu 'Anhu ia
berkata: "Seorang Arab badui bertanya: "Wahai Rasulullah,
bolehkah kita berobat?" Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam
bersabda:
"Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap
penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!" Para sahabat
bertanya: "Penyakit apa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
"Pikun."
(H.R At-Tirmidzi IV/383 No:1961 dan berkata: "Hadits ini hasan
shahih." Dan diriwayatkan juga dalam Shahih Al-Jami' No:2930.)
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat
bahwa berobat hukumnya mubah (boleh). Sementara ulama
Syafi'iyah, Al-Qadhi, Ibnu Aqil dan Ibnul Jauzi dari kalangan ulama
Hambali berpendapat hukumnya mustahab (dianjurkan).
Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan
Dia telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka
janganlah berobat dengan perkara yang haram."
Dan beberapa hadits lainnya yang berisi perintah berobat.
Mereka juga beralasan: Berbekam dan berobatnya Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi Wassalam merupakan dalil disyariatkannya
berobat. Menurut ulama Syafi'iyah hukum berobat menjadi

mustahab bilamana dipastikan tidak begitu membawa faidah.


Namun bilamana dipastikan berfaidah maka hukumnya wajib,
seperti membalut luka misalnya. Di antaranya adalah transfusi
darah, untuk beberapa kondisi tertentu.
Silakan baca buku Hasyiyah Ibnu Abidin V/249 dan 215, Al-Hidayah
takmilah Fathul Qadir VIII/134, Al-Fawakih Ad-Dawani II/440,
Raudhatuth Thalibin II/96, Kasyful Qana' II/76, Al-Inshaf II/463, AlAdabus Syar'iyyah II/359 dan Hasyiyatul Jumal II/134.
Ibnul Qayyim berkata: "Dalam hadits-hadits shahih telah disebutkan
perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal.
Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh
karena panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak
menafikan tawakkal. Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali
dengan menjalani ikhtiyar (usaha) yang telah dijadikan Allah
sebagai sebab musabab terjadi suatu takdir. Bahkan meninggalkan
ikhtiyar dapat merusak hakikat tawakkal, sebagaimana juga dapat
mengacaukan urusan dan melemahkannya. Karena orang yang
meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu menambah
kuat tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan ikhtiyar
merupakan kelemahan yang menafikan tawakkal. Sebab hakikat
tawakkal adalah mengaitkan hati kepada Allah dalam meraih apa
yang bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan agamanya serta
menolak mudharat terhadap dunia dan agamanya. Tawakkal ini
harus disertai dengan ikhtiyar, jikalau tidak berarti ia telah
menafikan hikmah dan perintah Allah. Janganlah seorang hamba itu
menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan jangan pula
menjadikan tawakkal sebagai kelemahannya.
(Zaadul Ma'ad IV/15, lihat juga Mausu'ah Fiqhiyyah XI/116.)
Kesimpulan jawaban soal di atas, berobat hukumnya tidaklah wajib
menurut jumhur ulama, kecuali jika mesti (tidak bisa tidak) harus
dilakukan, menurut sebagian ulama. Adapun kondisi yang
ditanyakan dalam soal bukanlah pengobatan yang mesti dilakukan
dan secara psikologis tanpa berobat si sakit juga tidak terganggu,
maka dalam kondisi begitu tidak ada masalah meninggalkan
berobat. Akan tetapi si sakit hendaknya tidak lupa bertawakkal
kepada Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya. Sebab pintupintu langit senantiasa terbuka bilamana doa mengetuknya. Dan
juga si sakit hendaknya meruqyah dirinya sendiri melalui
pembacaan Al-Qur'an, seperti membacakan bagi dirinya surat AlFatihah, Al-Falaq, An-Naas. Pengobatan melalui ruqyah itu

memberikan efek positif bagi jiwa dan jasmani si sakit, di samping


pahala yang diperolehnya dari tilawah Al-Qur'an. Dan Allah adalah
Penyembuh dan tiada yang dapat menyembuhkan selain Dia.
http://www.islam-qa.com/id/ref/2438

Hukum Berobat Dengan Barang Haram


Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Tuesday, 03 June 2008

Berobat dengan barang haram adalah masalah yang


sering ditanyakan masyarakat tentang hukumnya, apakah dibolehkan secara mutlak,
atau dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu atau bahkan diharamkan sama sekali.
Dalam hal ini, para ulama kontemporer masih berselisih pendapat di dalamnya,
mengingat permasalahan ini belum dibahas oleh para ulama terdahulu secara luas.
Mereka lebih banyak membahas salah satu sub dari pengobatan dengan barang
haram, yaitu pengobatan dengan khomr ( minuman keras ) .
Untuk memudahkan pembahasan, kita bisa membaginya dalam tiga point :
Pertama : Berobat dengan khomr atau barang haram murni ( yang tidak dicampur
dengan barang mubah ) dan tidak dalam keadaan darurat, maka dalam hal ini
hukumnya haram. Adapun dasar pengharamannya adalah sebagai berikut :
1. Hadist Abu Darda ra, bahwasanya Rosulullah saw : Sesungguhnya Allah
swt telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta menyediakan
obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat dengan
sesuatu yang haram. ( HR Abu Daud )
2. Hadist Abu Hurairah ra, bahwasanya Rosulullah saw melarang untuk berobat
dengan barang yang haram . ( HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah )
3. Hadist Thoriq bin Suwaid ra, ketika ia bertanya kepada Rosulullah saw

tentang obat yang berasal dari khomr, maka Rosulullah saw menjawab :
Sesungguhnya ia ( khomr tersebut ) bukanlah obat, akan tetapi penyakit.
( HR Muslim )
4. Atsar Ibnu Masud ra, bahwasanya ia berkata : Sesungguhnya Allah
tidaklah menjadikan kesembuhan kamu di dalam sesuatu yang diharamkan.
( Riwayat Bukhari )
Sebagian kalangan menganggap bahwa khomr atau minuman keras bisa
menghangatkan badan atau bisa mengobati rasa haus yang amat sangat, atau bahkan
bisa menyembuhkan penyakit jantung. Akan tetapi anggapan ini tidak benar, karena
banyak para dokter yang menyatakan bahwa khomr dan minuman keras justru akan
membuat badan dingin dan haus, serta menambah parah penyakit jantung. Bahkan
dalam keputusan Muktamar Internasional Untuk Memerangi Minuman Keras yang
ke-21 yang diadakan di Helsinki, Finladia pada tahun 1939 M, disebutkan bahwa
dokter yang menganjurkan pasiennya untuk berobat dengan khomr atau minuman
keras dianggap sebagai dokter yang ilmunya sangat terbelakang dan ketinggalan
sampai puluhan tahun lamanya .
Kedua : Berobat dengan khomr atau barang haram yang dicampur dengan barang
mubah, maka dalam hal ini para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Ulama
Malikiyah tetap melarangnya (Tafsir Qurtubi:2/231), sedang Ulama Syafiiyah
membolehkannya jika tidak ada obat lain ( Mughni Muhtaj : 4/188 ) . Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa sebagian obat-obatan, bahkan makanan dan minuman yang
beredar di masyarakat memang mengandung alkohol dan barang-barang haram
lainnya. Bahkan sebagiannya mengandung alkohol sampai 20 % lebih. Barang siapa
yang bisa menghindari obat-obatan tersebut, maka tentunya lebih baik dan lebih
selamat dari terjatuh ke dalam hal-hal yang haram.
Ketiga : Berobat dengan khomr dan barang-barang haram lainnya dalam keadaan
terpaksa, dalam hal ini Ulama Hanafiyah membolehkannya(Roddul Muhtar :1/210).
Namun yang menjadi masalah adalah kapan suatu kasus dianggap terpaksa ( darurat )
dan kapan dianggap tidak terpaksa ? Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika
tenggorakan kita tersumbat oleh sesuatu, sehingga tidak bisa bernafas sedangkan
tidak ada sesuatu yang bisa menghilangkannya kecuali khomr, maka dalam hal ini
dibolehkan untuk meminum khomr, walaupun keadaan seperti ini jarang sekali
terjadi, karena seorang muslim tentunya tidak menyimpan minuman-minuman keras
seperti khomr dan lain-lainnya di dalam rumahnya, kecuali kalau dia sedang berada
di lingkungan penjual khomr. Adapun dalil-dalil yang digunakan adalah sebagai
berikut :

1. Firman Allah swt : Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa


(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Qs Al Baqarah : 173 )
2. Diriwayatkan bahwa Rosulullah saw melarang laki-laki untuk menggunakan
kain sutra, beliau bersabda : Hanyasanya yang memakai kain sutra di dunia
ini tidaklah akan mendapatkan bagian di akherat kelak ( HR Bukhari
Muslim ) , walaupun begitu, Rosulullah saw membolehkan beberapa
sahabatnya, seperti Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk
memakai kain sutra karena penyakit kulit yang mereka derita. ( HR Bukhari ).
Hadist diatas walaupun bisa dijadikan dalil untuk membolehkan berobat dengan
barang haram yang tidak murni, akan tetapi masih mempunyai titik kelemahan,
karena memakan atau memasukkan barang haram dalam tubuh dan perut kita
jauh lebih berbahaya dan berpengaruh dalam perilaku kita dibanding dengan
memakai baju yang diharamkan. ( Mukhtasor Al Fatawa Al Misriyah, hlm : 17 )
Adapun syarat-syarat dibolehkannya berobat dengan barang haram, adalah
sebagai berikut :
1. Harus ada rekomendasi dari dokter muslim yang dipercaya bahwa obat
tersebut memang manjur untuk mengobati penyakit yang dideritanya.
2. Tidak mendapatkan obat lain yang mubah yang berhubungan dengan penyakit
tersebut.
3. Kandungan alkohol yang terdapat dalam obat tersebut tidak sampai
memabukan pasien.
4. Menggunakan obat tersebut sekedarnya saja, tidak boleh berlebih-lebihan. (
Roddul Muhtar : 1/210, Mughni Muhtaj : 4/188 ). Sebagaimana dalam kaidah
fiqh : Darurat itu ditakar menurut keperluannya saja .
Wallahu A lam.
http://ahmadzain.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=24&Itemid=79

Batasan Aurat Yang Boleh Dilihat Saat Pengobatan


Saya mohon Anda menjelaskan tentang masalah memilih dokter. Guru saya mengatakan bahwa untuk m
penyakitnya seorang wanita harus memilih dokter wanita muslimah, jika tidak ada maka dokter wanita n
jika tidak ada maka dokter pria muslim, jika tidak ada juga maka boleh diperiksa oleh dokter pria non m
kita boleh memeriksakan diri kepada dokter pria kecuali jika tidak ada dokter wanita dan di saat kita san
dokter spesialis.
Salah seorang temanku mengatakan bahwa gurunya menyarankan agar mencari dokter muslim, wanita a
sama saja. Kalau tidak ada baru boleh mencari dokter non muslim, pria maupun wanita.
Saya jadi bingung, saya yakin bahwa dokter-dokter muslim lebih dapat dipercaya daripada dokter non m
tetapi bukankah menjaga aurat dan menjauhi fitnah lebih penting?
Sebagian teman-teman wanitaku lebih memilih dokter pria muslim untuk memeriksakan kehamilan mer
pula saat melahirkan. Sementara di sana banyak bidan-bidan wanita yang muslimah mapun non muslima
Mohon beri kami nasihat, semoga Allah memberi Anda balasan yang baik.

Alhamdulillah Rabbil 'Alamin, Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi ya
sebagai rahmat sekalian alam, Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, kepada se
keluarga dan para sahabat. Wa ba'du,
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa kaidah dan batasan tentang masalah bata
yang boleh dilihat saat pengobatan.
Pertama: Aurat lelaki adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut, berdasarkan sa
Shalallahu 'Alaihi Wassalam :

"Apa-apa yang berada diantara pusar dan lutut adalah aurat"


(Hadits hasan riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Daraquthni) dan ini merupakan pen
jumhur ulama.
Kedua: Tubuh wanita seluruhnya aurat bagi lelaki bukan mahramnya. Berdasarkan

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), mak
dari belakang tabir."
(QS. An-Nuur :53)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam :
"Tubuh wanita itu seluruhnya aurat."

(H.R Tirmidzi dengan sanad yang shahih)

Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali dan salah satu pendapat dala
Maliki serta salah satu pendapat juga dalam madzhab Syafi'i.

Ketiga: Sengaja melihat aurat yang dilarang dilihat merupakan perkara yang sanga
diharamkan, wajib menundukkan pandangan darinya, berdasarkan firman Allah:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandanga


memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesun
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang
beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemal
mereka,. (QS. 24:30-31)
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya dan janganlah juga seorang w
melihat aurat wanita lainnya."
(H.R Muslim)
Beliau juga pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib:

"Janganlah melihat kepada paha orang yang masih hidup ataupun yang sudah mat
(H.R Abu Dawud dan hadits ini shahih)

Keempat: Setiap aurat yang tidak boleh dilihat maka tidak boleh juga disentuh wala
memakai penghalang. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:
"Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan wanita."
(H.R Malik dan Ahmad, hadits ini shahih)
Beliau juga berkata:

"Sekiranya kepala salah seorang kamu ditusuk dengan jarum besi lebih baik daripa
menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
(H.R Ath-Thabrani dan hadits ini shahih)

An-Nawawi berkata: Menurut prioritas hukum, menyentuh wanita yang bukan mahr
hukumnya sebagaimana juga haram melihatnya. Sebab menyentuh tentunya lebih
daripada sekedar melihat.

Kelima: Ada beberapa jenis dan tingkatan aurat, diantaranya aurat yang vital. Yaitu
dubur. Dan aurat yang tidak vital, seperti paha (antara sesama lelaki).
Aurat anak-anak yang masih berusia dibawah tujuh tahun tidak termasuk dalam ca
hukum. Adapun aurat anak kecil yang telah mumayyiz (baligh) -antara tujuh sampa
tahun- adalah kemaluannya. Aurat anak perempuan yang masih kecil dan sudah ba
auratnya dari pusar sampai ke lutut. Demikian pula dalam kondisi aman. Aurat may
seperti aurat orang yang masih hidup. Dan lebih amannya menggolongkan aurat b
alami) sebagaimana aurat wanita, sebab berat dugaan ia seorang wanita.

Keenam: Keadaan darurat membolehkan perkara yang terlarang. Para ulama sepak
seorang dokter boleh melihat bagian tubuh wanita yang sakit untuk kebutuhan pem
dan pengobatan dengan memperhatikan batasan-batasan syar'inya. Demikian pula
membolehkan para dokter melihat bagian tubuh lelaki yang sakit. Ia boleh melihat
tubuh yang sakit sebatas kebutuhan. Dalam hal ini dokter wanita sama halnya den
pria. Hukum ini di dasarkan atas kaidah mendahulukan maslahat menyelamatkan j
maslahat menjaga aurat jika kedua maslahat itu bertabrakan.

Ketujuh: Kaidah selanjutnya adalah: "Darurat harus diukur sesuai batasnya." Meski
menyingkap, menyentuh dan sebagainya dibolehkan karena darurat dan kebutuha
sangat mendesak, tetapi tidak dibolehkan melampaui dan melanggar batasa-batas
Batas-batas itu sebagai berikut:

1. Pengobatan kaum lelaki hendaklah ditangani oleh dokter pria, dan pengobatan k
hendaklah ditangani dokter wanita. Jika seorang wanita terpaksa menyingkap aura
keperluan pengobatan, maka dianjurkan agar ditangani oleh dokter wanita muslim
ada maka ditangani oleh dokter non muslimah, jika tidak ada maka ditangani oleh
muslim, jika tidak ada maka ditangani oleh dokter pria non muslim.
Demikian pula jika bisa ditangani oleh dokter umum wanita muslimah maka tidak p
ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika diperlukan dokter spesialis wanita dan tern
ada, maka boleh ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika dokter spesialis wanita tid
mencukupi dan sangat perlu ditangani oleh dokter spesialis pria yang mahir maka
ditangani oleh dokter pria tersebut.
Jika terdapat dokter spesialis pria yang lebih mahir daripada dokter spesialis wanita
tetap tidak boleh ditangani oleh dokter pria kecuali jika spesialisasi dokter pria itu s
dibutuhkan. Demikian pula halnya dalam proses pengobatan pria, yaitu tidak boleh
oleh dokter wanita jika masih ada dokter pria yang mampu menanganinya.

2. Tidak diperkenankan melampaui batas aurat yang lazim untuk dibuka. Cukup me
anggota tubuh yang perlu diperiksa saja. Dan hendaknya berusaha menundukkan
semampunya. Dan hendaknya ia sesalu merasa melakukan sesuatu yang pada das
diharamkan dan senantiasa minta ampun kepada Allah atas perbuatan melampaui

mungkin terjadi.

3.Jika pengobatan bisa dilakukan hanya dengan mengidentifikasi penyakit saja (tan
membuka aurat), maka tidak diperkenankan membuka aurat. Jika hanya dibutuhka
tempat yang sakit saja maka tidak perlu menyentuhnya, jika cukup menyentuh den
memakai penghalang saja maka tidak perlu menyentuhnya tanpa penghalang.

4. Jika yang menangani pasien wanita terpaksa harus dokter pria maka disyaratkan
dalam keadaan khalwat. Pasien wanita itu harus disertai suaminya, atau mahramny
wanita lain yang dapat dipercaya.

5. Hendaknya dokter yang menanganinya adalah seorang yang terpercaya, tidak c


dan agamanya. Dalam hal ini cukuplah menilainya secara zhahir.

6. Makin vital aurat tersebut makin keras pula larangan melihat dan menyentuhnya
buku Kifayatul Akhyar berkata: "Ketahuilah bahwa kebutuhan yang sangat mendas
dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan. Adapun bagian-bagian tubuh lainnya
dilihat sesuai dengan kadar kebutuhan, terutama alat kelamin vital. Oleh sebab itu
sangat perlu dijaga, terutama pada saat membantu kelahiran dan mengkhitan ana
perempuan yang mulai tumbuh dewasa.

7. Kebutuhan pengobatan memang sangat mendesak. Seperti penyakit yang tidak


ditahankan lagi atau penurunan stamina dikhawatirkan akan membahayakan jiwan
jika tidak begitu sakit atau tidak begitu mendesak maka janganlah membuka aurat
untuk pengobatannya), sebagaimana dalam perkara-perkara yang bersifat dugaan
perkara-perkara sekunder lainnya (yang mana tidak mesti membuka aurat).

8. Seluruh perkara di atas berlaku jika tidak menimbulkan fitnah dan tidak memban
syahwat kedua belah pihak (yakni pasien dan dokternya).
Terakhir, segala sesuatunya harus di dasari ketakwaan kepada Allah. Karena syaria
menggariskan hukum-hukum yang jelas dan tegas bagi perkara-perkara sensitif se
Salah satu penyebab timbulnya musibah pada zaman ini adalah memandang reme
membuka aurat di tempat-tempat kunjungan dan rumah-rumah sakit. Sepertinya p
dokter tersebut boleh melakukan segala sesuatu dan dihalalkan baginya segala ya
Demikian pula yang berlaku dalam program-program pendidikan yang seratus pers
dari program-program pendidikan yang ada di negara-negara kafir. Hal ini termasu
kelengahan dalam berbagai pola pendidikan, latihan dan ujian.
Kaum muslimin wajib mengajarkan berbagai keterampilan khusus bagi kaum wanit
mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dan hendaknya menyusun jad
rapi dan teratur di klinik-klinik dan rumah-rumah sakit agar wanita-wanita muslima
dalam kesulitan. Dan hendaknya tidak menelantarkan wanita-wanita muslimah yan

merasa keberatan jika mereka meminta di tangan oleh dokter wanita.


Hanya kepada Allah sajalah kita memohon agar menganugrahkan bagi kita pemah
agama dan menolong kita dalam melaksanakan hukum-hukum syariat dan dalam m
hak-hak kaum muslimin. Sesungguhnya Dia-lah yang kuasa memberi taufiq dan me
petunjuk kepada jalan yang lurus.
Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid

Kedokteran dan Kesehatan Dalam Islam


Kedokteran dan Kesehatan Dalam Islam
Assalamu'alaikum Wr. Wb,
Bapak/Ibu pengasuh rubrik konsultasi Universitas YARSI Yth.
Saya seorang siswi SMA di kota R yang insya Allah akan lulus tahun ini dan akan melanjutkan ke
Perguruan Tinggi di Jakarta dengan mengambil jurusan Kedokteran. Ada beberapa pertanyaan yang
akan saya ajukan untuk bekal sebelum masuk Perguruan Tinggi.
1. Apakah belajar ilmu kedokteran termasuk ibadah?
2. Apakah Ilmu kedokleran dan praktik kedokteran ada daram ajaran Islam?
3. Bagaimana Islam menjawab berbagal persoalan kontemporer yang terjadi dalam perkembangan
teknologi?
Demikian pertanyaan dari saya. dan saya haturkan terima kasih alas penjelasannya.
Wassalamu'alakum Wr Wb.
Putrl dl R
Wa'alaikumsalam Wr. Wb.
Belajar dan mempraktikkan ilmu kedokteran bisa termasuk bagian dalam bingkai ajaran Islam,
bisa pula di luar Islam. dapat bernilai ibadah dapat Pula tidak, tergantung pada dasar, acuan. motivasi
(niat). dan tujuan dari orang yang belajar dan mempraktikkan ilmu kedokteran tersebut. Banyak amal
yang dianggap kecil tetapi bernilai sangat besar lantaran niat. sebaliknya banyak amal besar bernilai
kecil karena niat. Perbuatan baik yang bernilai ibadah tergantung dari dasar, acuan, motivasi (niat). dan
tujuannya, apakah ada perintahnya dalam Al-quran atau Sunnah, atau tidak? Dalam Alquran dijumpai
perintah agar memperhatikan din sendiri, misalnya, "dan (juga) pada dirimu sendri, maka apakah kamu
tiada memperhatikan?" (Q.s. Al-Dzariyat (51):21). Agar mencari tahu tentang berbagai hal.
dipergunakan kata 'lirn' yang dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali, atau 782 kali, dan
kata al-Ma'rifat terulang 29 kali. Agar menggunakan akal dan penalaran, atau yang semakna dengan itu
terhadap 'ayat-ayat Allah' yang biasanya diiringi dengan pesan teologis 'dalam hal tersebut terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. berakal, atau yang sejenisnya'. Dalam hadits fi'liyyah
maupun taqiriyyah banyak anjuran agar berobat. setiap peyakit ada obatnya. dan yang semakna.
Perintah tersebut juga berarti anjuran agar belajar tentang manusia secara menyeluruh, belajar
kedokteran, menjadr ahli dalam bidang kedokteran, ahli membuat obat, membangun rumah sakit. dan
lainnya yang terkait. Seluruh disiplin ilmu dan spesialisasi kedokteran terkandung dalam perintah
tersebut. Jika belajar dan mempraktikkan kedokteran dan yang terkait karena mengamalkan perintah di
atas, berarti mengikuti perintah Al-quran dan Sunnah. maka termasuk ibadah.
Permasalahan kedua. bahwa berbagai persoalan yang tertian dengan bidang kedokteran dan
kesehatan dapat dijumpai dalam Islam. balk menyangkut pengobat an maupun berbagai upaya
preventif, seperti anjuran menjaga kesehatan dan kebersihan, mengatur pola makan dan minum.
berolahraga, berobat, merawat orang sakit, bersabar. dan lain-lain. Bahkan, ada sejumlab penyakit.
obat. dan terapinya secara khusus disebutkan dalam nash. Sebagian penjelasan tersebut bersifat
informatit, berbentuk perintah. atau larangan tidak melakukan tindakan tertentu. Berbagal masalah

yang terkait dengan kedokteran dapat digali dari sisi hikmat al-Tasyri'. Dokter atau ahli pengobatan
mesti profesional, media yang digunakan untuk berobat rnesti yang halal, tidak boleh yang haram.
Agar memperhatikan kesehatan lingkungan. membasmi atau menghindari berbagar penyakit menular,
menghindari polusi atau limbah tertentu yang berbahaya. Agar berdoa mohon perlindungan dari
berbagar penyakit gawat. seperti al-Tha'un. al-Barash. al-Waba'. al-Bala'. al-Judzam. Anjuran
mengakarantina penderita penyakit menular juga terhadap hewan ternak. dengan mengkiyaskannya
kepada unta. termasuk berbagai jenis binatang ternak yang lain. seperti anjing gila. flu burung. ayam
dan unggas lainnya, kucing, rrwnyet. babi. sap'. kambmg, dan sebagainya.
Selanjutnya, akses Islam terhadap perkembangan teknologi kedokteran modern dapat dilihat dan
respon ulama terhadap perkembangan kedokteran. Bidang kedokteran termasuk salah satu bidang
keilmuan yang mendapat perhatian cukup besar dari pars ulama. Pada masa lalu. umat Islam di
samping menguasai ilmu keislaman, juga diakui sebagai penemu dan atau merguasai hampir seluruh
cabang ilmu. termasuk dalam bidang kesehatan dan ilmu kedokteran. Ada sejumlah nama dikenal
dalam bidang ini. seperti Ibnu Sina, al-Razi. al Zahrawi. Ibn al-Nalis, dan lain-lain. Buku tentang
pengobatan Nabi (al-Thibb al-Nabawi) telah disusun oleh banyak pakar, orang pertama yang
menyusunnya adalah al-Imam 'Ali al-Ridla bin Musa al-kazhim (w. 811 M.). setelah itu al-Malik bin
Habib al-Andalusi (w. 853 M). Abu Na'im al-Ashbahani (w. 1038 M.). al-Muwaffiq 'Abd ai athif alBaghdadi (w. 1231 M.). Ibn al-Qayyim at-Jauziyyah (w. 1350 M.), al.Suyuthi (w. 1505 M.), dan lainlain. Masih banyak tokoh muslim lain berperan dalam penemuan atau pengembangan ilmu kedokteran.
Hal tersebut menunjukkan bahwa perhatian umat Islam terhadap masalah-masalah kedokteran sangat
besar. Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, ada interaksi, antara perkembangan teknologi
kedokteran dengan hukum Islam. Secara metodologis. ulama menetapkan hukum Islam berdasarkan
sumber primer syariat Islam, Al-quran dan Hadis. dua sumber komplementer yang merupakan subordinat (ijmak dan qiyas), kaidah-kaidah suplementer. seperti Istihsan (preferensi juristik), al Mashalih
al-Mursalat (kemaslahatan umum), Istishhab (aturan kesesuaian). said al-Dzari'at (memblokir jalan
yang dapat menghantarkan terjadinya kemaksiatan), 'urf. dan lainnya.
Hampir seluruh isu kedokteran dan kesehatan yang berkembang dewasa ini telah mendapatkan
fatwa dari Ulama. Berbagai isu kedokleran kontemporer seperti inseminasi buatan, bayi tabung, otopsi,
bedah mayat. komersialisasi organ. kloning, keluarga berencana, aborsi. transplantasi organ, bank ASI,
bedah plastik. operasi ganti kelamin. alkohol sebagai campuran obat, euthanasia. HIV/AIDS. khitan
bagi wanita, dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa Islam. dalam hal ini Ulama selalu mengawasi dan
mengawal setiap perkembangan teknologi yang terjadi, termasuk bidang kedokteran. Di setiap negara
muslim selalu ada lembaga-lembaga. fatwa atau ulama yang senantiasa siap merespon setiap
perkembangan yang terjadi. termasuk bidang kedokteran. Demikian penjelasan dan kami, semoga
menjadi bekal bagi Putri dalam mejalani perkuliahan nanli, dan selalu sukses. Amiin.
Wassalarnu'alaikum Wr. Hb.

'DR. H. 2uhronl, M.Ag


Dosen Tetap Bagian Agama Un'versilas YARSI
Email : rubrik_konsulrasiyarsi.ac.id
Republika, Senin, 9 Juni 2008

http://slbbungo.net/index.php?menu=news1&id1=5442

Anda mungkin juga menyukai