Anda di halaman 1dari 14

SEMANGAT ISLAM DALAM KEBUDAYAAN ACEH

Muhammad Nurul Amri


Universitas Malikussaleh, Indonesia
E-mail : amri0732@gmail.com

Abstrak

Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia, di mana terletak di
ujung pulau Sumatera. Aceh dikenal dengan keunikan dan kekayaan yang
dimilikinya, baik kekayaan alam, budaya maupun adat istiadat yang dimilikinya.
Kondisi inilah menjadikan Aceh perhatian dunia untuk melihat Aceh lebih
mendalam dari berbagai kalangan. Penulisan dalam artikel ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman tentang sistem sosial yang ada dalam masyarakat Aceh,
di mana budaya yang ada di dalamnya terpresentasikan dalam wujud simbol -
simbol, benda-benda, sastra, nyanyian, musik dan lain sebagainya tergambarkan
dalam kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Aceh yang secara keseluruhan
kebudayaan lokalnya kental dan sesuai dengan syariat Islam, kondisi ini menjadi
sangat mungkin mengingat Aceh terdiri dari berbagai etnis dan letak geografisnya
menjadikan Aceh sangat kaya dengan berbagai adat istiadat, budaya dan bahasa.

Kata kunci: manusia dan kebudayaan, sistem sosial budaya, struktur budaya
masyarakat Aceh

A. Pendahuluan

Aceh merupakan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak


pada wilayah ujung Utara bagian Barat pada 2º-6 º dan 95º-98º Bujur Timur, dengan
luas wilayah 57.365,57 km². Pada tahun 2002 masih memiliki 13 kabupaten/kota,
namun sesuai dengan dinamika kehidupan sosial politik masyarakatnya pada tahun
2007 telah berkembang menjadi atau terdiri dari 23 kabupaten dan 5 Kota Madya
untuk seluruh Aceh dengan jumlah penduduknya lebih kurang empat juta jiwa.
Kondisi ini tentu memppengaruhi berbagai aspek dalam masyarakat Aceh, seperti
sistem sosial kemasyarakatan dan budaya yang ada dalam masyarakat Aceh sendiri.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan tentang
kebudayaan, juga dalam kehidupan keseharian orang tidak mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat,
mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Oleh
karena itu, kebudayaan mempunyai fungsi yang sangatbesar bagi manusia dan
masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan
anggota - anggota masyarakat, seperti misalnya kekuatan alam di mana dia
bertempat tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu
sendiri yang tidak selalu baik baginya. Berdasarkan pemaparan ini, maka sudah
seharusnya dapat dilihat lebih jauh kondisi sistem sosial dan budaya dalam
masyarakat Aceh sehingga dapat mengetahui lebih jauh nilai-nilai yang terkandung
dalam budaya masyarakat Aceh, dengan harapan bahwa berbagai permasalahan
yang telah merusak nilai-nilai budaya ini dapat diatasi atau dengan kata lain dapat
ditumbuhkan kembali dalam kalangan generasi muda untuk melestarikan nilai-nilai
budaya yang sudah pernah ada sebelumnya.

B. Pembahasan

1. Pengertian Sistem Sosial Dan Budaya

Pembahasan mengenai pengertian Sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh


penting karena dengan adanya pengertian ini maka pembahasan dalam bab bab
selanjutnya akan menjadi mudah untuk dipahami berbagai penjelasan yang
berkaitan dengan sistem sosial dan budaya itu sendiri. Suatu sistem mempunyai
pengertian tertentu. Ada yang menyebutkan maksud dari suatu sistem merupakan
untuk mencapai suatu tujuan (goal) dan ada yang menyebutkan untuk mencapai
suatu sasaran (objectives). Goal biasanya dihubungkan dengan ruang lingkup yang
lebih sempit. Bila merupakan suatu sistem utama, misalnya sistem kemasyarakatan,
maka istilah goal lebih tepat diterapkan. Sedangkan untuk sistem budaya, sistem
politik, sistem ekonomi atau sistem-sistem lainnya yang merupakan bagian atau
subsistem dari sistem kemasyarakatan, maka istilah objectives yang lebih tepat. Jadi
penggunaan istilah ini, sangat tergantung pada ruang lingkup dari mana
memandang sistem tersebut. Sering kali tujuan (goal) dan sasaran (objectives)
digunakan bergantian dan tidak dibedakan.
Menurut Tatang M. Amirin bahwa istilah sistem berasal dari bahasa Yunani;
systema, yang mempunyai pengertian bahwa:
1. Suatu hubungan yang tersusun atas sekian banyak bagian;
2. Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen komponen
secara teratur. Jadi systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen
yang saling keterkaitan secara teratur dan merupakan keseluruhan.
Dalam perkembangannya, pengertian serupa ini hanya merupakan salah
satu pengertian saja, oleh karena ternyata istilah ini dipergunakan untuk menunjuk
banyak hal. Tatang M. Amirin memberikan beberapa contoh yang lebih dikenal di
Indonesia, antara lain:
a) Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu kumpulan atau himpunan benda-
benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan atau
ketergantungan yang teratur, suatu himpunan bagian-bagian yang tergabung secara
ilmiah maupun oleh budi daya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh
dan terpadu. Misalnya sistem tata surya atau ekosistem.
b) Sistem yang digunakan untuk menyebut ala-alat atau organ tubuh secara
keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap
berfungsinya tubuh tertentu yang rumit, tetapi amat vital, seperti sistem saraf.
c) Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) yang tersusun dan
terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum, dan sebagainya
yang membentuk suatu kesatuan yang logis dan dikenal sebagai sebuah isi pikiran
filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu. Sistem teologi
Agustinus, sistem pemerintahan demokratik, sistem masyarakat Islam merupakan
contoh-contohnya.
d) Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau suatu teori (yang
dilawan dengan praktik).
e) Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara, misal sistem
pengetikan sepuluh jari.
f) Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk pengertian skema atau metode tata
cara. Dapat pula dalam arti suatu bentuk atau pola peraturan, pelaksanaan atau
pemprosesan, dan juga dalam pengertian metode pengelompokkan,
pengkodifikasian dan sebagainya. Misalnya sistem pengelompokkan bahan
pustaka.
Adapun sosial budaya memiliki pengertian sosial dan budaya. Sosial dalam
arti masyarakat atau kemasyarakatan memiliki pengertian segala sesuatu yang
bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau
sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur organisasi, nilai-nilai
sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Sedangkan budaya, kultur atau
kebudayaan merupakan cara hidup atau sikap hidup manusia dalam hubungannya
secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya sudah tercakup segala
hasil cipta, rasa, karsa dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis,
dan spiritual. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola
perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara – cara atau pola-pola berpikir,
merasakan dan bertindak.
2. Sejarah

Aceh adalah sebuah masyarakat yang menetap di ujung pulau Sumatera wilayah
Indonesia. Hampir seluruh penduduk Aceh adalah beragama Islam yang taat. Selain
itu, Aceh juga terkenal sebagai wilayah pertama sekali kemunculan Islam di Asia
Tenggara. Aceh telah banyak melahirkan ulama-ulama yang telah berkembang dan
tersebar kajian keislaman di Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As
Sumatrani, Abdurrauf As Singkili dan Nuruddin Ar-Raniry.
Dalam uraian A. Hasjmy, sebagai bukti keberadaan Islam di Aceh, terdapat
beberapa kerajaan Islam yang paling lama di Nusantara, seperti Kerajaan Islam
Perlak (840-1291), disusul Kerajaan Islam Samudera Pasai (1042-1427), Kerajan
Islam Beunua atau Kerajaan Islam Teumieng/Tamiang (1184-11398), Kerajaan
Islam Lingga, Kerajaan Islam Pidier/Pidie, Kerajaan Islam Jaya, Kerajaan Islam
Darussalam (1205-1530), dan Kerajaan Aceh Darussalam (1511-1903).
Masyarakat Aceh terkenal dengan ketaatannya terhadap agama dan sangat
menjunjung tinggi budaya serta adat-istiadatnya. Sebelum Islam datang ke Aceh,
pengaruh Hindu dan Budha sudah berakar dalam tradisi dan kepercayaan
masyarakat Aceh. Oleh sebab itu walaupun Islam sudah berkembang dan maju di
Aceh, terdapat beberapa budaya dan kepercayaan tradasional yang masih
diamalkan oleh masyarakat Aceh yang berkaitan dengan ajaran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah sebagai mazhab teologi masyarakat Aceh.
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam,
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah
asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan
Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah
menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16,
termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal
abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania
Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan
wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania
Raya.

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana


Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania
mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada
tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan
untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
1. Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang


hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 – 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu
megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

2. Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26
Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak
berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada
tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam
dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari
banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar
serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini
ternyata berhasil. Pada tahun1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan
sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.

Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada


tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap
oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu,
Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih
terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama
Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda. Perang
Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang
sejarah penjajahan Nusantara.
3. Kebudayaan Aceh

Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam
budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan
perayaan/kenduri. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat delapan sub
suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu, Kluet, Singkil, dan
Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang sangat berbeda antara satu
dengan yang lain. Suku Gayo dan Alas merupakan suku yang mendiami dataran
tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu
dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan
orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa
Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun
tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal
Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu
Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal
gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini
upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari
upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena
penjajahan dan faktor lainnya.

a. Bahasa

Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk
Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon
dan Nias.

b. Agama

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli
yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama
Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada
sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
c. Hakekat sistem budaya Aceh adalah Agama Islam

Syariat Islam adalah Berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh
sendi kehidupan umat manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Sumber: Al-
Qur’an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh perkataan, perbuatan,
dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan sumber hukum), Ijtihad
(untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis). Oleh sebab
itu segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh
berlawanan dengan ajaran Islam.

Nilai - nilai Islami dalam budaya orang Aceh sudah menyatu dalam adat
istiadat, tampil secara proporsional menurut tujuan kegiatan sosial, bahkan melatari
kognisi dan penilaian pola perilaku kelompok sosial. Nilai-nilai utama yang
menjadi ukuran sikap untuk diterima secara sosial:
a) Kejujuran diserta taqwa pada Allah SWT, yaitu sikap jujur dalam berperilaku
dan ucapan, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
b) Kearifan disertai kebaikan hati, yaitu cendekia mewujudkan cita-cita yang
diabdikan pada orang lain.
c) Berkata benar (ada tongeng) disertai kewaspadaan, yaitu senatiasa berkata benar
dari semua ucapan.
d) Siri’ disertai kebijaksanaan, yaitu merasa malu terhadap diri dan orang lain atas
kegagalan usaha dan pekerjaan, serat bijak mengambil dan menjalankan keputusan.

Keempat nilai utama tersebut, dilengkapi pula oleh nilai subsider, seperti:
a) Keberanian, yaitu berani atas dasar kejujuran dan berani memaafkan kesalahan
orang lain.
b) Ikhtiar dan usaha, yaitu cakap berikhtiar tanpa putus asa dan kemandirian
berusaha denganberani menanggung resiko.
Empat nilai utama dan dua nilai subsider tersebut, merupakan keharusan menjadi
sikap pribadi individu untuk disebut orang Aceh. Nilai-nilai ini diturunkan dari
ajaran Islam yang bersifat moral, dilafalakan dalam bahasa daerah. Ungkapan kata,
bukan orang Aceh kalau bukan orang Islam, adalah pembenaran atas kepribadian
Muslim.
Dalam budaya politik orang Aceh, konsep musyawarah untuk mengambil
keputusan.
d. Sistem kekerabatan

Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari
ayah,ibu dan anak-anak yang belum menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak
berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi
dan enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.

e. Kesenian

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam,


namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni
tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang.
Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak
terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan
sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang
bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.

Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang


berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan
ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba,
yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah
kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung
berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari saman dan seni
teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk
kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai
sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di
samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni
berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.

f. Asimilasi dalam budaya Aceh

Setiap bangsa mempunyai corak kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya


yang dimiliki suatu daerah merupakan cerminan identitas daerah tersebut. Aceh
memiliki banyak corak budaya yang khas. Kebudayaan juga merupakan warisan
sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang mendukungnya. Prof
Dr H Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh
(PKA) II, Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan budaya Aceh sangat
kental dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku sebelumnya yang
pernah ditulis oleh ahli ketimuran. Hal itu terjadi karena sebelum Islam masuk ke
Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur hindu. Setelah
Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam dihilangkan,
namum tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-
bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan
Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan
di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas
reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai
Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian
dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat dan
budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam
hadih maja disebutkan, “Mate aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat
tamita.” Ungkapan ini bukan hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan
yang berisi penegasan tentang pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai
pranata sosial dalam hidup bermayarakat. Adat dan kebudayaan juga mewariskan
sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang merupakan
hukum pelengkat dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif).
Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum
dan ketentuan adat. Aceh memiliki kekhasan tersendiri dalam hukum adat dengan
berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak zaman kerajaan. Hukum adat
tersebut telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar dibedakan
antara hukum dan adat itu sendiri. Seperti tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn
adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua.

g. Pola hidup dan golongan masyarakat Aceh

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau
desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada
sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan
dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang,
yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.Kehidupan sosial dan keagamaan
di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum
meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Sedangkan Golongan Masyarakat aceh, pada masa lalu masyarakat Aceh
mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat,
yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan
golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas
sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan
ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang
adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah
kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama
atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.

4. Perubahan-Perubahan Kebudayaan Aceh

Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan.


Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar.
Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas.
Perubahan-perubahan akan tampak setelah tatanan sosial dan kehidupan
masyarakat desa, dapat dibandingkan antara sebelum dan setelah mengenal surat
kabar, listrik, televisi, internet, telepon, HP dan perangkat IT lainnya.
Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan tersebut merupakan perubahan
fungsi sosial dan masyarakat yang menyangkut perilaku manusia dalam masyarakat
dari keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahan-perubahan dalam pola
kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola
perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial,
kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan, perpolitikan, bahkan berlaku juga
dalam bidang keagamaan.
Perilaku keagamaan, terindikasi bahwa masyarakat asli Aceh sekarang ada yang
berpindah dari agama Islam ke ajaran agama lain atau aliran-aliran yang telah
dinyatakan sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), seperti aliran
Millata Abraham, Ahmadiyah, Syiah, Mukmin Mubaliq dan lainnya. Perubahan –
perubahan sosial dan kebudayaan tersebut selalu berkaitan dengan ekonomi tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam suatu lembaga
kemasyarakatan akan mengakibatkan pula perubahan dalam lembaga
kemasyarakatan lainnya. Karena itulah, dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan
tersebut selalu ada proses saling mempengaruhi secara timbal balik.
Perkembangan masyarakat Indonesia sejak awal tahun 1970-an
memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peranan komunitas Islam yang
sangat mendasar di dalam transformasi sosial pada tingkat ekonomi, politik dan
budaya masyarakat Indonesia. Demikian besarnya perubahan itu sehingga
memunculkan lapisan elit intelektual Islam modern dalam jumlah yang sangat besar
seolah-olah telah memisahkan sejarah masyarakat Indonesia modern, terutama
sejarah era Orde baru, dari sejarah kolonial dan sejarah Orde Lama.
Jikalau sepanjang era kolonial dan Orde Lama terdapat kesan umat Islam di
Indonesia hanya mengenal lapisan intelektual tradisional “rural”, memiliki tingkat
pendidikan sekular yang rendah, dan tidak memiliki minat terhadap dan keterlibatan
di dalam biokrasi pemerintahan, maka sejak Orde Baru dapat dilihat lahirnya suatu
sistem formasi sosial baru melalui munculnya lapisan kelompok intelektual Islam
modern yang lebih “urban”, lebih berpendidikan, dan memiliki orientasi yang kuat
terhadap dan keterlibatan yang semakin mendalam di dalam biokrasi pemerintahan.
Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi
mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi
yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan
konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan
remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya
luar. Kedua aspek tersebut akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka
lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas
mereka. Gaya busana mereka lebih memilih bajubaju kasual untuk kegiatan sehari-
hari mereka. Terdapat empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari
hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke
tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun
model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jeans, baju
biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.
Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak
ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya
(pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka
menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan
antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, seperti jilbab yang
dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.
Dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan
antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam
kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya
berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat
istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan
orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat
menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.
Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari
budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara
preventif dan refresif. Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui
proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar,
sedangkan usaha kedua dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi adat,
penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari
kaidah-kaidah yang berlaku.
Adat istiadat yang berupa kebiasaan seremonial/upacara, prilaku ritualitas,
estetika/keindahan, apresiasi seni tari, seni suara, seni lukis, relief/ motif bangunan
pisik, pakaian dan makanan ( bernilai ritual dan komersial ). Sedangkan nilai
normatif/prilaku tatanan (hukum adat), yaitu materi norma/aturan dan bentuk
sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran yang berlaku untuk ketertiban
masyarakat. “Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat”.
”Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa”. ”Taduk ta
muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak punca”. “Tanoh leumik keubeu
meukubang, leumoh goe parang goeb panglima”. ”Salah bak hukom raya akibat,
salah bak adat malee”.

C. Penutup

Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat Indonesia,


maupun di kawasan Nusantara bahkan di dunia Internasional pada masa lalu,
bahkan pada saat ini pun masih perhatian pihak luar, bahkan menariknya lagi untuk
masa akan datang. Kebudayaan dan peradaban suku Aceh mengalami kedinamisan,
sesuai dengan perkembangan situasi sosial dan politik yang berlangsung di Aceh.
Perkembangan sosial, politik dan budaya di Aceh yang tidak kondusif,
perkembangan, pertumbuhan di bidang sosial-budaya, adat istiadat sudah
berlangsung puluhan tahun, sehingga perkembangan budaya, adat istiadat bahkan
peradaban pun mengikuti perkembangan politik yang berjalan sesuai dengan
kebijakan-kebijakan hukum, perundang-undangan NKRI. Keunikan suku Aceh,
karena banyaknya integrasi etnik/campuran etnik yang akhirnya terjadi suatu etnik
Aceh. Etnik Aceh ada yang berawal dari India dan Timur Tengah mempunyai
kemiripan dengan Melayu yang hidup di Nusantara maupun dengan Semenanjung
Melayu lainnya. Kedatangan imigran ke Aceh sebelum membawa suatu peradaban
baru tapi penghuni Aceh sebelumnya seperti suku Mante dan Melayu tua yang
sudah lama mendiami Aceh.
Etnik Aceh merupakan salah satu suku yang mendiami bagian ujung Pulau
Sumatera, Aceh pada awal perkembangan peradaban atau pada awal abad pertama
masehi sudah menjadi jalur perdagangan Internasional dan sudah terdapat
pelabuhan sebagai tempat persinggahan atau tempat terjadinya interaksi/kontak
antar bangsa, seperti dengan bangsa Arab, India, dan Tiongkok/Cina). Aceh
merupakan salah satu tempat pertemuan antar budaya dan antar peradaban.
Pertemuan antar budaya tersebut semakin akrab, yang akhirnya terjadilah interaksi
dari peradaban suku bangsa dengan suku Aceh. Adat istiadat sebagai bagian dari
kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh
dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena itu adat istiadat yang
sarat dengan nilai itu pula dilestarikan oleh masyarakat Aceh dan perlu diajarkan
kepada generasi selanjutnya untuk mewarisi. Transformasi nilai-nilai budaya dan
adat istiadat Aceh tersebut mutlak mutlak diperlukan. Lebih-lebih pada era
globalisasi dewasa ini setiap saat dapat mengancam nilai-nilai yang terkandung
dalam adat istiadat leluhur masyarakat Aceh, sebagai akibat masuknya berbagai
nilai budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kondisi sosial keagamaan dan
adat istiadat masyarakat.
Adat istiadat Aceh merupakan asset yang perlu dilestarikan, pelestariannya
sangat tergantung pada sikap dan perilaku para pengikutnya, pemakai dan
penggunaannya. Banyak budaya dan adat menjadi hilang begitu saja, karena
masyarakatnya tidak memerlukan adatnya atau budayanya. Sedangkan yang
dikehendaki adalah budaya dan adat istiadat masyarakat terus berkembang dan
lestari bersama berkembangnya peradaban dan ilmu pengetahuan masyarakat. Oleh
karenanya Aceh selalu menjadi sorotan dari berbagai kalangan untuk melihat lebih
jauh, baik kalangan intelektual yang ingin melakukan penelitian, para wisatawan
yang ingin melihat Aceh lebih dekat dengan berbagai kekayaan alam, budaya dan
adat istiadat maupun masyarakat Aceh sendiri yang ingin mempelajari nilai-nilai
dalam setiap adat istiadat dan budaya di Aceh.
Daftar Pustaka

https://4jipurnomo.wordpress.com/kebudayaan-aceh/

http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/244

http://ojs.sttjaffray.ac.id/index.php/JJV71/article/view/129/pdf_92

http://islamicstudiesjournal.com/index.php/jurnal/islamic%20studies%20journal%
20Vol%201No.%202%20Juli-
Desember%202013/5.%20Drs.%20M.Jakfar%20Puteh%20M.Pd_%20SISTEM%
20SOSIAL%20DAN%20BUDAYA%20%20MASYARAKAT%20ACEH%20fin
ish.pdf/download

http://islamicstudiesjournal.com/index.php/jurnal/islamic%20studies%20journal%
20Vol%201No.%202%20Juli-
Desember%202013/5.%20Drs.%20M.Jakfar%20Puteh%20M.Pd_%20SISTEM%
20SOSIAL%20DAN%20BUDAYA%20%20MASYARAKAT%20ACEH%20fin
ish.pdf/download

Anda mungkin juga menyukai