Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

WEWENANG, KEKUASAAN DAN PENGARUH

Oleh

RUSWAN
G2U120002

MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI
2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan pokok
bahasan ”Wewenang, Kekuasaan dan Pengaruh”. Kami menyadari bahwa
dalam proses penulisan makalah ini, tidak terlepas dari bantuan banyak pihak,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada kami, semoga
mendapatkan balasan dari Allah SWT sebagai amalan yang diperhitungkan dan
mendapat imbalan yang jauh berharga.
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis menyadari dengan sepenuh hati
dengan kurang sempurnanya Makalah ini, mengingat tingkat kemampuan serta
pengalaman penulis belum luas. Namun demikian, penulis berusaha keras untuk
menyusun Makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca.
Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Kendari, 13 Desember 2020
Penulis,

Ruswan
G2U120002

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................6
A. Latar Belakang.........................................................................................6
B. Rumusan Masalah...................................................................................4
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5
A. Konsep Manajemen Kontrak...............................................................5
1. Definisi Manajemen Kontrak...........................................................5
2. Proses Manajemen Kontak...............................................................6
3. Efektivitas Manajemen Kontrak.......................................................8
4. Langkah-Langkah Pembuatan Kontak.............................................9
B. Konsep Dasar Kinerja.........................................................................14
1. Pengertian Kinerja..........................................................................14
2. Indikator Kinerja............................................................................17
3. Pentingnya Kinerja Bagi Organisasi..............................................20
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja..................................21
C. Manajemen Kontrak Berbasis Kinerja.............................................23
1. Manajemen Kinerja........................................................................23
2. Komponen Manajemen Kinerja.....................................................25
3. Tahapan Kontrak Berbasis Kinerja................................................27
BAB III PENUTUP .............................................................................................31
A. Kesimpulan............................................................................................32
B. Saran......................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis


mengenai Manajemen Kontrak Berbasis Kinerja (Performanced Based
Management)

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :


1. Bagaimana konsep manajemen kontrak?
2. Bagaimana konsep kinerja?
3. Bagaimana konsep manajemen kontrak berbasis kinerja?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, yang menjadi tujuan penulisan


makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep manajemen kontrak.
2. Untuk mengetahui konsep kinerja.
3. Untuk mengetahui konsep manajemen kontrak berbasis kinerja.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

v
A. Wewenang

1. Definisi Manajemen Kontrak

Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan


praktik kekuasaan. Namun kewenangan juga diartikan yaitu:Untuk
menerapkan dan menegakkan hukum; Ketaatan yang pasti; Perintah;
Memutuskan; Pengawasan; Yurisdiksi; atau kekuasaan. 12 Pada umumnya,
kewenangan diartikan sebagai kekuasaan, kekuasaan merupakan
“kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau
golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan kharisma atau
kekuatan fisik”.13 selanjutnya, Istilah wewenang atau kewenangan secara
konseptual sering disejajarkan dengan istilah Belanda “bevoegdheid”
(wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena
pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan
wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal
kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan
legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan
hukum.14

12 Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori HUkum Pada Penelitian Tesis dan
Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta,2013, hlm. 185.
13 Ibid. hlm.185.

14 SF.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,


Yogyakarta, 1997, hlm. 154.
15 Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 170.
16 Ibid, hlm.172.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia


diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang
(authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau
bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu dilakukan
sesuai dengan yang diinginkan.15 Hassan Shadhily memperjelas terjemahan
authority dengan memberikan suatu pengertian tentang “pemberian
wewenang (delegation of authority)”. Delegation of authority ialah proses
penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager) kepada

vi
bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk
melakukan tugas tertentu. Proses delegation of authority dilaksanakan
melalui langkah-langkah yaitu : menentukan tugas bawahan tersebut;
penyerahan wewenang itu sendiri; dan timbulnya kewajiban melakukan
tugas yang sudah ditentukan.16

merupakan wewenang konstitusional secara eksplisit”. 17 Wewenang otoritatif untuk


menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR, karena MPR merupakan badan
pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif penafsiran konstitusi dari segi
sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis dilakukan oleh : Pembentukan
undang-undang (disebut penafsiran otentik); Hakim atau kekuasaan yudisial (disebut
penafsiran Yurisprudensi) dan Ahli hukum (disebut penafsiran doktrinal). Penjelasan
tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah sumber wewenang dan
konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang
tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat. 18
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang
dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut : “Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari
Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan
Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang
pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.19

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan


mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut : Wewenang yang diperoleh
secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan
suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh
suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang.
Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. 20
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan
atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever)
yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu.
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan,
Indroharto berpendapat dalam arti yuridis: pengertian wewenang adalah kemampuan
yang diberikan oleh peraturan perundang- undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum.21 Atribusi (attributie), delegasi (delegatie), dan mandat (mandaat),
oleh H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dirumuskan sebagai : Attributie :
toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een bestuursorgaan;
Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een

vii
ander; dan Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander. 22
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan,
mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut : “Bahwa hanya
ada 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi.
Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan
delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi
delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat,
tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan
wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun
(dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal”. 23

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa: “Setiap tindakan


pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah.
Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan
delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari “pelimpahan”.24

17 Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum: Sisi
Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen, Pidato Pengenalan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10 April 1996,
hlm.2.
18 Ibid.

19 Prajudi
Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 29.
20 Indroharto,
Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Harapan, 1993, Jakarta , hlm. 90.

21 Ibid,hlm.38.
22 H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Culemborg,
Uitgeverij LEMMA BV, 1988, hlm. 56
23 Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, UII Pres, Yogyakarta, 2003, hlm. 74-75.

24Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan


yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 7.

2. Komponen Wewenang

Wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu


pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh
ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan

viii
prilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu
harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum
mengandung adanya standard wewenang yaitu standard hukum (semua
jenis wewenang) serta standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu). 25

1. Kewenangan Atribusi
Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang. Cara yanag
biasa dilakukan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan penguasa pemerintah
dan wewenang-wewenangnya adalah melalui atribusi. Dalam hal ini pembentuk
undang-undang menentukan penguasa paemaerintah yang baru dan memberikan
kepadanya suatu organ pemerintahan berikut wewenangnya, baik kepada organ yang
sudah ada maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.
Untuk atribusi, hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang orsinil
(pembentuk UUD, parlemen pembuat undang-undang dalam arti formal, mahkota,
serta organ-organ dari organisasi pengadilan umum), Sedangkan pembentuk undang-
undang yang diwakilkan (mahkota, menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang
berwenang untuk itu dan ada hubungannya dengan kekuasaan pemerintahan)
dilakukan secara bersama.
Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu
didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam sautu
peraturan pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu Pasal dalam
undang-undang untuk diatur lebih lanjut.

2. Kewenangan Delegatie
Kata delegasi (delegatie) mengandung arti penyerahan wewenang dari pejabat yang
lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Penyerahan yang demikian dianggap tidak
dapat dibenarkan selain dengan atau berdasarkan kekuasaan hukum. Dengan delegasi,
ada penyerahan wewenang dari badan atau pejabat pemerintahan yang satu kepada
badan atau pejabat pemerintahan lainnya.
Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila pemberi
delegasi ingin menarik kembali wewenang yang telah didelegasikannya,
maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang sama.
Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula di-subdelegasikan
kepada subdelegatoris. Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan
ketentuan delegasi. Wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi
dapat dimandatkan kepada orang atau pegawai-pegawai bawahan

ix
bilamana organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu
tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut.
Menurut Heinrich Triepel, pendelegasian dalam pengertian hukum
publik dimaksudkan tindakan hukum pemangku suatu wewenang
kenegaraan. 26

Jadi, pendelegasian ini merupakan pergeseran kompetesi, pelepasan dan penerimaam


sesuatu wewenang, yang keduanya berdasarkan atas kehendak pihak yang
menyerahkan wewenang itu. Pihak yang mendelegasikan harus mempunyai suatu
wewenang, yang sekarang tidak digunakanya. Sedangkan yang menerima
mendelegasian juga biasanya mempunyai suatu wewenang, sekarang akan
memperluas apa yang telah diserahkan.
3. Kewenangan Mandat

Kata Mandat (mandat) mengandung pengertian perintah (opdracht) yang di dalam


pergaulan hukum, baik pemberian kuasa (lastgeving) maupun kuasa penuh
(volmacht). Mandat mengenai kewenangan penguasaan diartikan dengan pemberian
kuasa (biasanya bersamaan dengan perintah) oleh alat perlengkapan pemerintah yang
memberi wewenang ini kepada yang lain, yang akan melaksanakannya atas nama
tanggung jawab pemerintah yang pertama tersebut.
Pada mandat tidak ada pencitaan ataupun penyerahan wewenang.
Ciri pokok mandat adalah suatu bentuk perwakilan, mandataris berbuat
atas nama yang diwakili. Hanya saja mandat, tetap berwenang untuk
menangani sendiri wewenangnya bila ia menginginkannya. Pemberi
mandat juga bisa memberi segala petunjuk kepada mandataris yang
dianggap perlu. Pemberi mandat bertanggung jawab sepenuhnya atas
keputusan yang diambil berdasarkan mandate. Sehingga, secara yuridis-
formal bahwa mandataris pada dasarnya bukan orang lain dari pemberi
mandat.
25 Philipus M. Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Unair, Surabaya,
1998. hlm.2.
26 Heinrich Triepel, dalam Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Disertasi, PPS Fisip
UI, Jakarta. 2002. hlm. 104.

x
3. Efektivitas Manajemen Kontrak

4. Langkah-Langkah Pembuatan Kontak

B. Kekuasaan

1. Pengertian Kinerja

2. Indikator Kinerja

3. Pentingnya Kinerja Bagi Organisasi

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

C. Pengaruh

1. Manajemen Kinerja

2. Komponen Manajemen Kinerja

3. Tahapan Kontrak Berbasis Kinerja

xi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Manajemen kinerja sangat bergantung pada kemampuan seorang


manajer dalam mengelola sumberdaya manusia. Dalam hal ini para manajer
harus menyadari bahwa manusia bukan sekedar sumberdaya yang harus
diawasi dan diancam untuk berkinerja, melainkan manusia adalah sosok yang
memiliki kepribadian dan mampu mengatur diri dan membutuhkan dorongan
dan motivasi agar potensi dan kemampuan yang dimilikinya bisa
direalisasikan dalam kegiatan kerja sehingga kepentingan dirinya dan
organisasi bisa tercapai. Komponen kunci yang dimaksud adalah planning,
monitoring, developin, rating dan rawarding. Kontrak berbasis kinerja
merupakan jenis kontrak yang menekankan kepada kinerja yang diinginkan
daripada pemenuhan jumlah material tertentu atau metode yang ditetapkan
dan didasarkan kepada keberhasilan kontraktor untuk memenuhi atau
melampaui standar minimum kinerja dan tidak kepada volume pekerjaan.
Dalam kontrak berbasis kinerja, kontraktor diberikan keleluasaan untuk
menggunakan pendekatan inovatif guna mengelola aset. Dengan demikian
kontraktor harus memiliki suatu jaminan berupa suatu teknologi atau metode
inovatif yang dapat diberikan untuk memastikan tercapainya kinerja yang
diharapkan. Kinerja yang dihasilkan oleh kontraktor dapat diukur dengan
menerapkan sebuah sistem yang mampu mengukur kinerja secara sistematis

xii
yang terdiri dari kriteria kinerja, target kinerja dan protocol untuk
melaksanakan pengukuran yang diperlukan guna mengindentifi kasi sejauh
mana kontraktor memenuhi kriteria dan tujuan yang ingin dicapai. Kegagalan
dalam memenuhi kinerja yang ditetapkan menurut dapat berdampak kepada
pinalti, berupa pengurangan pembayaran.

B. Saran

Kriteria dalam penerapan kontrak berbasis kinerja yang masih


terbentur pada substansi regulasi dan menjadi kendala diantaranya
pembatasan lingkup pekerjaan, pembatasan waktu kontrak, orientasi berbasis
keluaran, spesifi kasi berbasis keluaran, jaminan yang pendek, belum jelasnya
pembagian risiko dan pengawasan, dan belum adanya aturan mengenai
pemberian insentif dan disentif. Agar hal tersebut tidak terjadi seharusnya
terdapat regulasi yang mendukung penerapan kontrak berbasis kinerja yang
memenuhi kriteria yang diharapkan agar penerapan kontrak berbasis kinerja
dapat diterapkan secara luas dengan output yang optimal. Penerapan
manajemen kontrak berbasis kinerja optimal apabila telah dilakukan
perbaikan regulasi untuk memenuhi kriteria. Regulasi yang perlu diperbaiki
segara agar penerapan kontrak berbasis kinerja dapat dilaksanakan secara luas

xiii
DAFTAR PUSTAKA

[1] M. S. Drs. Bambang Pujiyono, Konsep Manajemen Proyek. 2008.

[2] D. W. Yogivaria and Alfinur, “Pada Rumah Sakit Baptis Batu Doni
Wirshandono Yogivaria Alfinur,” vol. 3. pp. 117–130, 2016.

[3] L. Vinet and A. Zhedanov, “A ‘missing’ family of classical orthogonal


polynomials,” in Journal of Physics A: Mathematical and Theoretical, vol.
44, no. 8, Jakarta: Direktorat Bina Teknik, Direktorat Jenderal Bina Marga,
Departemen Pekerjaan Umum, 2011.

[4] B. Mondiale, Groupe Th Ématique Routes Et Transport Rural. 2009.

[5] Y. Sutantra, A. Mintardjo, and P. Nugraha, “Studi penerapan kontrak


berbasis kinerja pada jalan bebas hambatan di provinsi jawa timur,” Jurnal
Dimensi Pratama Teknik Sipil, vol. 5, no. 2, pp. 1–6, 2016.

[6] rizal z. Tamin, andriananda z. Tamin, and puti f. Marzuki, “Kontrak


Kerja Berbasis Kinerja dan Evaluasi Penerapan Pada Jalan Nasional,”
Jurnal Hpji, vol. 2, no. 2, pp. 121–132, 2016.

[7] H. Hendrawan, “Regulasi Pendukung penerapan Kontrak Berbasis Kinerja


Pada Pengelolaan Jalan,” Widyariset, vol. 18, no. 2, pp. 237–248, 2015,
doi: 10.14203/widyariset.18.2.2015.237-248.

xiv
[8] F. G. B. S. Nazib, Sistem Pengadaan Untuk Pembangunan Jalan Dan
Jembatan, 1st ed. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Badan Penelitian
dan Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan
Jembatan, 2014.

[9] A. Sobirin, “Konsep Dasar Kinerja dan Manajemen Kinerja,” in


Manajemen Kinerja, 2014, pp. 1–67.

[10] Taufik, “Tema : ‘ Pembangunan Infrastruktur Jalan dalam Era Teknologi


Industri 4.0 ,’” 2019, no. November, pp. 4–7.

[11] B. Loevinsohn, Performance-Based Contracting for Health Services in


Developing Countries. Washington DC: The Word Bank, 2008.

[12] Employees Retirement System of Texas Contract Management Handbook,


no. January. 2017.

[13] S. Hossain, “From Project Audit to Performance Audit: Evolution of


Performance Auditing in Australia.,” IUP Journal of Accounting Research
& Audit …, vol. IX, no. 3, pp. 20–47, 2010, [Online]. Available:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&profile=ehost&scope=site&authtype=crawler&jrnl=0972690X
&AN=53382078&h=LioMRp4BFQLZWXn2pU+6V2UrOnoL+LA65j3kT
Hlo+4awW3C8lAZfJSQuxh7pjKF/EerNQIQa/FUtpoom5xCLww==&crl=
c.

[14] A. M. D. and M. A. Bayero, The UUM International Conference On


Governance 2014 “ Global Governance : Contemporary Issues and
Prospects ,” no. November. 2014.

[15] J. M. Mutua, E. Waiganjo, and I. N. Oteyo, “The Influence of Contract


Management on Performance of Outsourced Projects in Medium
Manufacturing Enterprises in Nairobi County , Kenya,” vol. 5, no. 9, pp.
25–33, 2014.

[16] A. Armstrong, M. & Baron, Managing Performance: Performance


Management in Action. UK: CIPD Publishing, 2005.

[17] M. & E. Lebas, A Conceptual and Operational Delineation of


Performance. Cambridge. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.

[18] Hubbard, “Measuring organizational performance: beyond the triple bottom


line,” Business Strategy and Tha Environment, 2009, doi: 10.1002/bse.564.

[19] R. A. Bates and E. F. Holton, “Computerized performance monitoring: A


review of human resource issues,” Human Resource Management Review,

xv
vol. 5, no. 4, pp. 267–288, 1995, doi: 10.1016/1053-4822(95)90010-1.

[20] H. Echols, M. John & Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 1988.

[21] J. P. Meyer, T. E. Becker, and C. Vandenberghe, “Employee commitment


and motivation: A conceptual analysis and integrative model,” Journal of
Applied Psychology, vol. 89, no. 6, pp. 991–1007, 2004, doi:
10.1037/0021-9010.89.6.991.

xvi

Anda mungkin juga menyukai