Anda di halaman 1dari 9

KEDUDUKAN INFORMED CONSENT DALAM PELAYANAN

KESEHATAN DAN PENOLAKAN TINDAKAN MEDIS BAGI


PASIEN

Oleh :

MARNIA
1909200413211010

PROGRAM STUDI S-1 GIZI


INTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
KENDARI
2021
1. Konsep Informed Concent
Seringkali kita mendengar dari orang-orang yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan terutama di rumah sakit, pernah disodori secarik kertas dari
petugas untuk ditandatangai, kata petugas untuk persetujuan tindakan, apakah
dioperasi, di-SC, atau lainnya. Sebelum penandatangan persetujuan tindakan
didahului dengan penyampaian informasi oleh petugas yang berkompoten kepada
pasien atau pihak suami/isteri atau orang tua pasien tentang tindakan yang akan
dilakukan dan kemungkinan komplikasi bila terjadi. Prosedur demikian sudah
baku, masalah kadang muncul di saat pasien atau suami/isteri atau orangtua pasien
merasa ada ketidakwajaran di saat tindakan atau setelah tindakan operasi,
misalnya pasien tidak sadar-sadar (koma). Lalu pihak pasien menanyakannya
yang kemudian mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan. Di sinilah
‘sengketa’ mulai muncul.
Menurut Loebby Loqman (2002) informed consent belum menyelesaikan
permasalahan yang terjadi dalam praktek. Dengan kata lain meskipun di dalam
praktek selalu dilakukan memberikan informasi kepada pasien tentang apa yang
akan dilakukan oleh seorang dokter, dan juga dimintakan persetujuan pasien atas
apa yang akan dilakukan oleh seorang dokter, tetap terjadi perselisihan pendapat
apabila terjadi suatu peristiwa yang tidak diharapkan. Penyampaian informasi
untuk melakukan tindakan medis lazim dikenal dengan istilah ‘informed consent’.
Pelaksanaan informed consent tidak hanya mengikuti protap (prosedur tetap)
tetapi sesungguhnya mempunyai pertanggungjawaban hukum.
Undang-Undang Kesehatan yang lama (UUK No 23 Tahun 1992), Informed
consent tidak tercantum secara khusus. Kita hanya dapat melihat dan disinggung
sedikit bahwa dalam keadaan darurat dimana dibutuhkan tindakan medis maka
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya (pasal 15 ayat 2 huruf c).
Undang-Undang Kesehatan yang baru (UUK No. 36 Tahun 2009), informed
consent (menggunakan istilah bukan informed consent) sudah lebih banyak
disinggung. Misalnya pada pasal 8 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Selanjutnya pasal 56 ayat 1 berbunyi: “Setiap orang berhak menerima atau
menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap”. Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
diatur juga dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2009 Tentang Praktek
Kedokteran, pada paragraf 2 pasal 45 ayat (1) sampai (6).

2. Definisi Informed Consent


Dalam berkas rekam medis pasien di rumah sakit terdapat satu lembaran
yaitu lembar persetujuan tindakan medis. Lembaran ini akan diisi/diberi
persetujuan oleh pasien atau keluarganya apabila telah mendapat penjelasan dari
tenaga kesehatan. Proses pemberian penjelasan ini disebut sebagai informed
consent.
Istilah Informed consent dalam Undang-Undang Kesehatan kita tidak ada,
yang tercantum adalah istilah persetujuan, menerima atau menolak … tindakan
pertolongan setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut.
Informed consent atau persetujuan Medik/Informed consent adalah
persetujuan yang diberikan oleh pasien sesuai dengan pasal 1 (a) Permenkes RI
Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 . Di mana pasal 1 (a) menyatakan bahwa
persetujuan tindakan medik (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent mencakup peraturan
yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien. Interaksi
tersebut melahirkan suatu hubungan yang disebut hubungan dokter-pasien.
Informed consent secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu informed dan
consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau informasi; sedangkan
consent berarti memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian
informed consent berarti suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi (Kerbala, 2000).

3. Kedudukan Informed Consent Dalam Pelayanan Kesehatan


Hak atas informasi ini terproses secara evolusi, sejalan dengan
perkembangan dari hak asasi manusia. Inti dari hak atas informasi ini adalah hak
pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter, tentang hal-hal yang
berhubungan dengan kesehatannya, dalam hal terjadi hubungan dokter pasien.
Pada mulanya, hak ini hanyalah mendapatkan pengakuan dalam etika kedokteran.
Adalah tindakan yang baik bila dokter menginformasikan kepada pasien tentang
kesehatannya. Hak ini kemudian digabungkan dengan hak untuk menentukan atas
diri sendiri, dilembagakan menjadi lembaga yang dikenal dengan nama informed
consent (persetujuan atas dasar informasi).
Informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika paling sedikit 6
(enam) hal pokok berikut ini disampaikan dalam memberikan informasi dan
penjelasan, yaitu :
a. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan.
b. Tatacara tindakan medik yang akan dilakukan.
c. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
d. Alternatif tindakan medik lain yang tersedia serta risikonya masing-
masing.
e. Prognosis penyakit apabila tindakan medik tersebut dilakukan.
f. Diagnosis.
Informasi dan penjelasan tersebut di atas harus diberikan langsung oleh
dokter. Setelah itu baru berlaku persetujuan yang akan diberikan pasien, sehingga
dokter dapat melakukan tindakan medik selanjutnya dalam rangka pelaksanaan
tugas-tugas profesinya. Dalam kenyataannya informasi dan penjelasan tersebut
tidak sepenuhnya diberikan dokter sebagaimana mestinya. Seharusnya ini
merupakan kewajiban yuridis yang harus dilaksanakan dokter terhadap pasien.
Infomasi dan penjelasan tersebut justru sering diberikan oleh perawat (paramedis)
yang seharusnya secara hukum tidak berwenang untuk menyampaikan. Hal ini
tentu berkaitan dengan kapasitas ilmu medik yang dimiliki perawat (paramedis)
tersebut yang sangat jauh berbeda dengan dokter yang langsung
menyampaikannya. Akibatnya mungkin saja terjadi, apa yang dimaksud dokter
tidak semuanya tersampaikan oleh perawat tersebut. Jika hal ini terjadi tentu
pasien sangat dirugikan.
Pentingnya informed consent yang diberikan oleh pasien ini karena apabila
mengamati perkembangan hubungan antara dokter dan pasiennya, dengan jelas
dapat melihat adanya pergeseran dari hubungan yang semula bersifat paternalisme
ke arah hubungan yang lebih konsumerisme. Jika dahulu seorang pasien percaya
saja terhadap apa yang dikatakan dokter, kepercayaan yang diberikan oleh pasien
tersebut sangatlah tinggi, tetapi sekarang pasien tidak sembarang mempercayai
dokternya. Pasien sekarang menyadari bahwa dia memiliki hak untuk mengetahui
dengan pasti pengobatan (treatment) yang dilakukan oleh dokter bahkan berhak
berkonsultasi dengan dokter lain tentang penyakitnya itu. Karena itu, dokter
mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kepada pasiennya hal-hal yang penting
tentang pengobatan tersebut. Dalam ilmu hukum, informed consent ini
mempunyai peranan sebagai sarana bagi dokter untuk menghindari jeratan sanksi
pidana. Sebab, tanpa persetujuan dari pasiennya, tindakan pembedahan setara
dengan tindakan penganiayaan menurut Pasal 351 Kitab Undang-Undang Pidana
(KUHP), sementara tindakan pembiusan oleh dokter anestesi setara dengan
tindakan membuat seseorang dalam keadaan tidak sadar diri yang berarti
melakukan kekerasan, sesuai Pasal 89 KUHPidana. Tindakan dokter tersebut
setara dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana
diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Untuk itu ketika dokter memberikan informasi kepada pasiennya harus
memenuhi standar penjelasan. Standar ini mensyaratkan seorang dokter di dalam
memberikan penjelasan harus berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bahwa
seseorang dalam kedudukan pasien secara wajar ingin mengetahuinya sebelum
memberi keputusan terhadap prosedur atau tindakan medik tertentu. Jika pasien
dalam kondisi tidak sadar tentu informasi diberikan pada anggota keluarganya.
Kedudukan pasien diberikan informasi atau penjelasan terhadap tindakan
medik merupakan suatu hal yang secara hukum harus dijamin. Hal ini
sebagaimana diatur tentang informed consent dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik.
Kedudukan pasien secara hukum tentu harus dilindungi. Untuk itu,
berkaitan dengan informed consent kedudukan hukum pasien dapat ditinjau dari
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang jaminan hukum
bagi konsumen termasuk status pasien sebagai salah satu konsumen pengguna
jasa, yaitu jasa yang diberikan dokter yang berupa tindakan medis dalam rangka
upaya penyembuhan penyakit yang diderita pasien.
Dalam Pasal 53 Undang-Undang Kesehatan disebutkan bahwa Tenaga
Kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa hak
pasien itu antara lain hak atas informasi, hak untuk memberikan persetujuan
tindakan medik (informed consent), hak atas rahasia kedokteran dan hak atas
pendapat kedua (second opinion). Kewajiban pelaku usaha di bidang jasa
kesehatan ini sederajat (ekuivalen) dengan hak konsumen menurut Undang-
Undang Konsumen, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan (vide butir c dan d dari Hak
Konsumen).
Dalam praktik sering kali bahwa pasien tidak diberikan informasi yang
standar ketika Rumah Sakit melalui dokternya akan melakukan tindakan medis.
Padahal, hal tersebut sangat penting sebagai jaminan pelindungan hukum baik
pasien, dokter rumah sakit, jika timbul permasalahan medis maupun hukum di
kemudian hari. Walaupun secara hitam putih telah terjadi persetujuan tindakan
medis dalam bentuk penandatanganan formulir Persetujuan Tindakan Medis
(PTM).
Pelaksanaan formulir Persetujuan Tindakan Medis (PTM) yang
ditandatangani oleh pasien atau keluarganya tanpaknya terdapat 2 (dua)
kelompok. Ada sementara dokter yang masih menganggap hanya sebagai suatu
keharusan legalistik-formil-administratif belaka. Belum dipahami sebagai suatu
kewajiban dalam arti materiil sebenarnya. Namun ada pula yang tampak sudah
ada yang mulai menerapkannya dan memberikan informasi terlebih dahulu
sebelum dilakukan tindakan medis sebagaimana disyaratkan di dalam Permenkes
Nomor 585/ Menkes/Per/ IX/ 1989 tersebut.
Formulir Persetujuan Tindakan Medis (PTM) jika hanya ditandatangani saja
oleh pasien tanpa dimengerti apa maksudnya, karena tidak diberikan informasi
yang jelas terlebih dahulu oleh dokternya, dalam hal ini pasien dianggap belum
informed, sehingga belum terdapat kesepakatan dalam arti yuridis sebenarnya,dan
sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 585
tersebut.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik
No.HK.00.06.3.5.1866 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (Informed
Consent) disebutkan adapun pasien yang telah memberikan tanda tangannya
untuk menyetujui suatu tindakan medik yang akan dilakukan namun sebelumnya
tidak diberikan informasi/penjelasan yang cukup, maka hakim dapat membatalkan
perjanjian medis tersebut demi hukum.
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa secara individu pada dasarnya
pasien selaku komsumen pemakai jasa yang diberikan dokter mempunyai hak
otonomi dalam keputusan-keputusannya yang menyangkut hidupnya. Pasien
sendirilah yang berhak atas tubuhnya. Pasien berhak mendapatkan informasi dan
penjelasan dengan benar dan jujur tentang tindakan medis yang akan dilakukan
dokter. Ini sangat asasi sekali.
Otonomi pasien dalam keputusan menyangkut hidupnya, dituangkan dalam
Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. YM.02.04.3.5.2504
tertanggal 10 Juni 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan
Rumah Sakit, antara lain:
a. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan
dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.
b. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya
dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.

4. Kedudukan Informed Consent Dalam Penolakan Tindakan Medis


Dalam mengambil suatu tindakan medik seringkali dokter maupun institusi
kesehatan meminta pasein untuk menandatangani surat pernyataan yang dikenal
sebagai “Informed Concent” atau “Persetujuan Tindakan Medik”. Persetujuan
tindakan medik ini sangatlah penting bagi dokter maupun suatu institusi kesehatan
untuk membuktikan bahwa tindakan medik yang diambil telah diketahui,
dimengerti oleh pasien ataupun keluarganya dengan baik mengenai segala
keuntungan/kerugian dan resiko dari tindakan tersebut serta disetujui oleh diri
pasien sendiri/istri/suami/anak/ayah/ibu/ lainnya. Surat persetujuan tindakan
medik ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk komunikasi antara
dokter dan pasien ataupun keluarga pasien. Dokter tidak berhak melakukan
tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun tindakan itu
untuk kepentingan pasien itu sendiri. Semua tindakan medik baik tindakan
diagnostik, terapeutik mau pun paliatif memerlukan persetujuan tindakan medik
secara lisan maupun tertulis. Setiap tindakan medik yang mengandung resiko
cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat
tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta resiko yang berkaitan
dengannya. Namun seringkali persetujuan tindakan medik ini oleh dokter hanya
dipandang sebagai suatu prosedur untuk memperoleh ijin atau tanda tangan atau
persetujuan pengobatan maupun tindakan medis dan penelitian saja.
Oleh karena itu sudah selayaknyalah persetujuan tindakan medik ini
mendapat perhatian yang utama bagi dokter dalam mengambil suatu tindakan
medik, karena persetujuan tindakan medik merupakan salah satu bagian yang
penting dalam suatu kontrak terapeutik antara dokter dan pasien, karena
persetujuan tindakan medik mempunyai banyak korelasi atau hubungan dengan
masalahmasalah malpraktek medik (medical malpractice) baik dari segi hukum
maupun etika. Dari sudut hukum, informed consent dapat dilihat dari aspek
hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi maupun hukum disiplin
tenaga kesehatan.
Selain persetujuan tindakan medik yang telah diuraikan di atas, dikenal juga
dengan surat pernyataan “Penolakan Tindakan Medik” atau “Informed Refusal”.
Penolakan tindakan medik ini merupakan hak pasien yang berarti suatu penolakan
yang dilakukan pasien sesudah diberi informasi oleh dokter. Penolakan Tindakan
Medik ini pada dasarnya adalah hak asasi dari seseorang untuk menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Penolakan dari pasien untuk
dilakukan tindakan medik tertentu diputuskan sesudah pasien diberikan informasi
oleh dokternya yang menyangkut segala sesuatu yang berkenaan dengan tindakan
medik yang akan diambil. Dalam hal ini pasien dianggap sudah memahami segala
konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari penolakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai