Abstract
Through critical analysis and phenomenological studies the present writer could clearly see Asad’s concept on the
Qur’anic exegesis. It is recognized that in identifying Islamic principles on state and government, Asad based
merely on a clearly textual ordinance (nushush, sing. nash) of the Qur’an and the Sunnah being the real and eternal
Islamic syari’ah. By this he excludes fiqh and a far broader sphere of all things and activities left unspecified by the
Law-Giver (God and His Prophet) –neither command nor forbid in terms of nash—should be considered as lawful
(mubah) in view of syari’ah, and therefore requires ijtihad (independent reasoning).
Keywords:
Textual Exegesis; Rationality; Ijtihad.
__________________________
Abstrak
Melalui analisa kritis dan kajian fenomenologis, penulis dengan jelas dapat melihat konsep Asad mengenai tafsir Al-
Qur’an. Diakui bahwa dalam mengidentifikasi prinsip-prinsip Islam mengenai negara dan pemerintahan, Asad
hanya mendasarkannya pada teks Al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan syariah Islam yang nyata dan abadi.
Karena hal ini, ia mengeluarkan fikih dan lebih luas lagi segala sesuatu dan aktifitas yang tertinggal yang tidak
dispesifikkan oleh Pembuat hukum (Allah dan Rasulnya) – baik perintah maupun larangan dalam hubungannya
dengan Nash - seharusnya tidak dianggap sebagai hal yang mubah dalam pandangan syariah dan oleh karena itu
menuntut ijtihad (pemikiran yang mandiri).
Kata Kunci:
Tafsir Tekstual; Rasionalitas; Ijtihad.
__________________________
64 Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70 65
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
66 Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
definitif dan agenda yang jelas. Asad memilih agama pun orang harus dibimbing
berlandaskan pada ayat: “Katakanlah (Hai oleh akalnya, yang dengan akal itu akan dapat
Muhammad): ‘Inilah jalanku: Bersandarlah diketahui sejauh mana agama itu dapat
pada pandangan yang dapat dimengerti akal memenuhi kebutuhan manusia, baik fisik
(ala bashirah), aku menyeru kamu semua maupun spiritualnya.19 Dan Asad menyatakan
kepada Allah. Aku dan mereka yang bahwa agama yang seperti itu adalah Islam.
mengikutiku’” (QS. 12:108).17 Dalam Tentang Qur’an, Asad menyatakan bahwa
menjelaskan ayat ini, Asad mengatakan: berbeda dengan kitab suci lain al-Qur’an
“Adalah tidak mungkin untuk menjelaskan “menekankan pada akal sebagai jalan
ekspresi ‘ala bashirah ini ke dalam cara keimanan”20
yang lebih ringkas lagi. Diambil dari kata Dalam bukunya This Law of Ours and
kerja bashura atau bashira (‘dia menjadi
Other Essays Asad banyak membahas tentang
melihat’ atau ‘dia memandang’), kata benda peran ijtihad dan pandangan kreatif atas para
bashirah (seperti juga kata kerjanya) sahabat Nabi dan para fuqaha yang telah lalu
mempunyai konotasi abstrak dari ‘melihat seperti Ibn Hazm dari Cordova (w. 456
dengan pikiran seseorang’: maka ia H/1064 M) dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah
menandakan ‘fakultas pemahaman (w. 751 H/1350 M) mengenai pentingnya
berdasarkan pada pandangan yang sadar’ pemikiran independen berdasarkan pada
juga, sama dengan, ‘bukti yang dapat Qur’an dan Sunnah Nabi. Asad mengakui
diterima oleh akal’ atau ‘dapat diverifikasi bahwa pandangannya banyak kesamaan
oleh akal’. Maka, ‘seruan pada Allah’ yang dengan Ibn Hazm.21
diucapkan oleh Nabi dijelaskan dalam ayat Tentang ijtihad ulama fiqh masa lalu Asad
di atas sebagai hasil dari pandangan sadar menyatakan bahwa “tidak semua hukum yang
yang dapat diterima oleh, dan diverfikasi
membentuk yurisprudensi Muslim
oleh, akal manusia: sebuah pernyataan yang konvensional (fiqh) berdasarkan keputusan-
mendefinisikan kesempurnaan pendekatan keputusan yang diekspresikan dalam istilah-
Qur’an pada semua pertanyaan tentang istilah perintah dan larangan yang jelas dalam
keimanan, etika dan moralitas, dan Qur’an dan Sunnah.” Menurut Asad,
digemakan secara banyak sekali dalam kebanyakan hukum fiqh merupakan hasil dari
ekspresi seperti ‘supaya kamu metode berpikir deduktif di mana qiyas
menggunakan akal’ (la’allakum ta’qilun) (deduksi dengan analogi) banyak dilakukan.22
atau ‘maka tidakkah kamu menggunakan Keberatan Asad tidak hanya pada level
akal?’ (a fa-la ta’qilun), atau ‘supaya metodologi. Keberatannya juga didasarkan
mereka mengerti (kebenaran)’ (la’allahum pada konteks. Menurut Asad, “Kebanyakan
yafqahun), atau ‘supaya kamu dapat fuqaha memang telah melakukan studi mereka
berpikir’ (la’allakum tatafakkarun); dan,
atas Qur’an dan Sunnah. Studi mereka
akhirnya, dalam pernyataan yang seringkali memang dalam. Tetapi hasil dari studi itu
diulang bahwa risalah Qur’an itu berarti seringkali subjektif: yaitu, berlandaskan pada
secara khusus ‘bagi orang yang berpikir’ pendekatan keilmuan mereka dan penafsiran
(li-qawmin yatafakkarun).”18 atas sumber-sumber hukum Islam dengan
Demikianlah, Asad betul-betul percaya warna intelektual dan sosial pada zamannya.”
pada akal (reason) sebagai metode untuk Karena konteks fuqaha itu berbeda dengan
mencari kebenaran. Begitu percayanya, konteks Asad saat itu, maka Asad
sehingga Asad menyatakan bahwa untuk berkeyakinan bahwa kesimpulan-kesimpulan
19
Muhammad Asad. The Principles of State, 9.
17 20
Muhammad Asad. This Law of Ours and Other Elma Ruth Harder, Op. cit., 543.
21
Essays, 34. Muhammad Asad. This Law of Ours and Other
18
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an Essays, 2.
22
(Dar al-Andalus, Gibraltar, 1980), 354, catatan 104. Muhammad Asad. The Principles of State, 11.
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70 67
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
“deduktif” fuqaha itu akan berbeda dengan juga, Nabi tidak menyatakan bahwa ijtihad
kesimpulan-kesimpulan yang mungkin dicapai Mu’adz itu mengikat setiap orang di luar
umat Islam pada zamannya. Menurut Asad, wilayah dan waktu juridiksinya, apalagi
“Inilah yang menjadi sebab mengapa banyak kepada generasi Muslim berikutnya.26
Muslim modern enggan mengaplikasikan Menurut Asad, para sahabat sendiri
hukum-hukum yang menjadi produk fiqh memang tidak menganggap ijtihad-nya itu
konvensional pada masalah-masalah politik mengikat, dalam pengertian religius, kepada
dan ekonomi kontemporer.”23 siapa saja. “Hati mereka dianugerahi oleh
Menurut Asad, perintah Rasulullah untuk keikhlasan yang tinggi sehingga tidak pernah
melakukan keputusan ijtihadi banyak terdapat mereka mengklaim diri mereka sebagai
dalam hadits. Tetapi yang paling mengesankan pemberi-hukum untuk segala zaman.” Namun
Asad adalah percakapan Nabi dengan Mu’adz dalam sejarahnya, demikian Asad, orang-
bin Jabal: orang sesudahnya telah menganggap mereka
Ketika dia (Mu’adz bin Jabal) diutus seperti sebagai pemberi-hukum dan tidak
(sebagai gubernur) Yaman, Nabi bertanya melihat pada elemen ketidaksempurnaan yang
padanya: “Bagaimana kamu akan melekat pada sifat manusia. Asad kemudian
memutuskan kasus-kasus yang ada di menjelaskan, “Dalam kebutaan pandangan
hadapanmu?” Mu’adz menjawab: “Saya mereka, mereka melakukan kesalahan dengan
akan memutuskannya sesuai dengan Kitab menganggap setiap detail ijtihad Sahabat
Suci (Qur’an).” “Dan jika kamu tidak dalam masalah politik merupakan ‘preseden
menemukannya dalam Kitab Suci?” “Maka legal’ yang mengikat pada umat selama-
saya akan memutuskannya menurut Sunnah lamanya: ini merupakan pandangan yang tidak
Nabi-Nya.” “Dan jika kamu tidak sah secara syari’ah maupun secara akal
menemukannya dalam Sunnah Nabi?” sehat.27
“Maka,” demikian Mu’adz, “saya akan “Islam adalah agama akal (a religion of
melakukan ijtihad dengan akal saya tanpa reason)”, tegas Asad. Namun, Asad
ragu-ragu.” Lalu Nabi pun menepuk menyayangkan bahwa seringkali ulama
dadanya dan berkata: “Segala puju bagi mengebiri pemikiran independen tentang
Allah, yang telah menyebabkan Rasul-Nya agama yang pada akhirnya menyebabkan umat
meridlhai apa yang akan terjadi.24 Islam hanya mengulang formula-formula
ulama terdahulu yang sebetulnya sudah basi.28
Asad juga menyatakan bahwa memang para Begitulah keyakinan Asad tentang
sahabat seringkali berbeda dalam hasil-hasil metodenya dalam pemikirannya tentang
ijtihad-nya. Menurut Asad, pernyataan ketatanegaraan dalam Islam. Akan kita lihat
Rasulullah di atas itu tidak lebih dan tidak nanti (dalam pembahasan tentang konsepnya
kurang merupakan persetujuannya kepada akal mengenai Negara Islam) bahwa setelah
sehat (common sense) sahabatnya itu dalam merujuk pada teks Qur’an dan Hadits, ia
mengklaim bagi dirinya hak untuk membuat langsung menginterpretasikannya dengan
keputusan sendiri (independent decision) konteksnya secara ijtihadi.
dalam segala hal yang tidak tercantum dalam
kerangka hukum nash-nash al-Qur’an.25 3. Peristilahan Islam
Namun, dari hadits ini Asad menyimpulkan Seperti yang sering diungkapkannya, Asad
bahwa ijtihad Mu’adz tidak bisa dianggap menginginkan umat Islam kembali ke akar
tambahan yang permanen pada hukum-hukum mereka, yaitu Qur’an dan Sunnah Rasulullah,
yang ada dalam Qur’an dan Sunnah. Demikian termasuk dalam hal pemilihan istilah. Hal ini
23 26
Ibid. Ibid., 25.
24 27
HR Tirmidzi dan Abu Dawud dari Mu’adz bin Ibid., 26.
28
Jabal.Muhammad Asad. The Principles of State, 25. Muhammad Asad. This Law of Ours and Other
25
Ibid. Essays, 14.
68 Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
penting karena menurut Asad, baik dari Kemudian tentang istilah teokrasi, apakah
kalangan Muslim maupun Barat seringkali Islam itu bersifat teokrasi atau tidak? Asad
menggunakan peristilahan politik Barat yang menjawab masalah ini dengan menyatakan
tidak pada tempatnya. Dia mencontohkan bahwa sebenarnya hal ini tidak dapat dijawab
tentang penyebutan bahwa “Islam itu dengan jawaban mudah “ya” ataupun “tidak”.
demokratis” atau bahwa tujuan pendirian Jika teokrasi adalah sebuah sistem sosial yang
negara Islam adalah masyarakat yang dianggap undang-undang duniawinya berasal
“sosialis” yang muncul dari kalangan intern dari teologi masyarakatnya, maka Islam
umat Islam. Atau istilah “totalitarianisme” adalah teokratik. Tetapi jika teokrasi
Islam dari kalangan Barat.29 disamakan dengan Zaman Pertengahan Eropa,
maka jawabannya ternyata tidak.32
Bagi Asad, hal ini bukan saja saling
Disebabkan distorsi-distorsi itulah, maka
kontradiktif, tetapi juga kesalahan pandangan
Asad mengajukan peristilahan Islam, yang
dalam melihat masyarakat Islam dari semata-
diambil dari penyelidikannya terhadap Qur’an
mata pengalaman Barat. Menurutnya, hal ini
Sunnah. Maka kemudian Asad pun menyebut
dapat saja dijustifikasi (justifiable) atau dapat
Parlemen sebagai Majlis Syura. Asad lebih
ditolak (objectionable), tetapi jelas bahwa
memilih istilah Amir daripada Presiden.
peristilahan ini betul-betul berada di luar
Begitulah seterusnya.
pandangan dunia (world-view) Islam.30
Alasan Asad pertama adalah bahwa
Asad juga menyatakan tentang adanya
masyarakat Barat sudah tidak dapat dijadikan
evolusi terminologis dalam tiap-tiap
cermin lagi. Gambaran Barat yang ada di
peristilahan Barat. Bagi Barat sendiri memang
benak Asad adalah perjuangan dan
tidak menjadi masalah karena terus menerus
peperangan yang tidak henti-henti, kerusakan
direvisi dan disesuaikan. Tetapi bagi kalangan
sosial, kepincangan ekonomi, yang
non-Barat peristilahan itu bisa diambil dengan
ditimbulkan oleh Kapitalisme dan
tidak mengindahkan konteksnya. Asad
penghapusan kemerdekaan perseorangan
mencontohkan tentang istilah demokrasi.
seperti yang terdapat dalam komunisme.
Menurutnya, demokrasi yang dikonsepsikan
Alasan kedua adalah agar umat Islam tidak
Barat modern itu lebih dekat dengan konsep
meniru bentuk-bentuk politik yang
Islam tentang kebebasan, dibanding dengan
digambarkan oleh dunia Barat. Mereka harus
konsep Yunani kuno tentang hal tersebut,
walaupun kata demokrasi itu sendiri datang kembali kepada kemurniannya sendiri.33 Bagi
Asad, kemurnian sumber-sumber termasuk
dari kebudayaan Yunani kuno. Karena,
istilah-istilah Islam inilah yang pada
demikian Asad, Islam menetapkan bahwa
gilirannya dapat membuktikan Islam sebagai
semua manusia secara sosial itu sama dan
suatu program. Dalam kata-kata Asad:
dengan demikian harus diberikan kesempatan
Alasan itu ialah kesempatan yang belum
yang sama untuk pengembangan dan ekspresi
pernah sebelum ini diberikan kepada umat
diri.31
29
Muhammad Asad. The Principles of State, 18. usul kata demokrasi itu sendiri. Di Yunani demokrasi
30
Ibid. berarti “pemerintahan dari, atau oleh, rakyat”. Yang
31
Menurut Asad, istilah demokrasi yang implikasinya adalah bentuk pemerintahan oligarkis.
berkembang di Barat sekarang ini adalah pengaruh dari Dalam negara-kota Yunani itu, “rakyat” itu sinonim
Revolusi Perancis yang berarti bahwa prinsip dengan “warga”, yaitu penduduk negara yang lahir
persamaan sosio-ekonomis semua warga, dan bebas, yang kira-kira berjumlah 10% dari jumlah total
pemerintahan oleh seluruh penduduk dewasa melalui penduduk. Lainnya adalah para budak dan pembantu.
perwakilan yang dipilih berdasarkan prinsip “one Hanya yang disebut para warga itulah yang berhak
person, one vote” (satu orang, satu suara). Implikasinya untuk aktif dalam politik. Muhammad Asad. The
adalah bahwa semua masalah publik dipecahkan Principles of State, 19-20.
32
berdasarkan prinsip suara mayoritas (majority vote) Ibid., 21.
33
yang menjadi “kehendak rakyat”. Hal ini berbeda sekali Muhammad Asad, Islamic Constitution Making,
dengan konsep demokrasi Yunani, yang menjadi asal- 79.
Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70 69
M. Taufiq Rahman Rasionalitas sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas
Pemikiran Muhammad Asad)
C. SIMPULAN
Setelah mengkaji rasionalitas sebagai basis
tafsir tekstual Muhammad Asad, dapat diambil
beberapa kesimpulan berikut ini:
1. Asad percaya bahwa karena manusia
berasal dari Tuhan, maka hukum Tuhan itu
pulalah yang cocok untuk dianut oleh
manusia.
2. Dalam rangka menafsirkan wahyu Tuhan,
Asad mengajukan bahwa akal manusia,
observasi dan pengalaman menjadi hal-hal
yang mendukung keberadaan teks wahyu
tersebut.
3. Secara falsafi, Asad percaya pada
humanisme tetapi tetap harus di dalam
kerangka Syari’ah.
4. Asad percaya bahwa Islam mengatur semua
aspek kehidupan.
5. Asad percaya bahwa peristilahan Islam
sudah cukup untuk merangkumi masalah
sosial-politik.
34
Ibid., 80.
70 Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016): 63-70