Anda di halaman 1dari 14

TEORI DAN KAJIAN ANTOPOLOGI HUKUM

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata kuliah Antropologi Hukum
Dosen Pengampu : Seno Aris Sasmito, M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Lukman Ari Ramadana (172121086)
2. Muhammad Maskur Arifin (172121118)
3. Indah Novi Dwi Mustika Sari (182121178)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2020

0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum hakekatnya merupakan gejala dalam kenyataan kemasyarakatan
yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek dimensi dan faset. Hukum
berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan
(politik, ekonomi, social budaya, teknologi, keagamaan dan
sebagainya),dibentuk dan membentuk tatanan masyarakat, bentuknya
ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekali-kali ikut
menentukan bentuk dan sifat masyarakat itu sendiri. Jadi, dalam dinamikanya,
hukum itu dikondisi dan mengkondisikan masyarakat, karena tujuan utamanya
untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat,
maka dalam hukum terkandung baik kecenderungan konservatif
(mempertahankan dan memelihara apa yang sudah tercapai) maupun
kecenderungan modernisme (membawa, mengkanalisasi dan mengarahkan
perubahan). Dengan kata lain menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam
implementasinya, hukum memerlukan kekuasaan dan sekaligus menetukan
batas-batas serta cara-cara penggunaan kekuasaan itu.

Antara ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial lainnya mempunyai hubungan


yang erat bahkan saling berkaitan didalam menjalankan fungsinya. Apabila
dari berbagai ilmu social tersebut ditinjau dari aspek keluarnya,timbullah
berbagai macam ilmu pengetahuan tentang hukum.

Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai Teori-teori Antropologi


Hukum dan kajiannya.
Tujuan kami membuat makalah ini untuk menjadikan referensi tentang
materi Teori dan kajian antropologi hukum. Dan juga untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Antropologi Hukum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Antropologi Hukum


Antropologi semakin berkembang karena adanya teori-teori yang
bermunculan dan berkembang. Teori antropologi tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Teori Evolusionisme Deterministik


Teori Evolusionisme Deterministik dapat dikatakan sebagai teori tertua
di deretan teori antropologi. Teori ini dikembangkan oleh Lewis Henry Morgan
dan Edward Burnet Tylor. Teori ini muncul dari anggapan adanya hukum
universal yang mengendalikan perkembangan semua kebudayaan manusia.
Berdasarkan teori ini setiap kebudayaan mengalami fase-fase atau evolusi.
2. Teori Partikularisme
Teori partikularisme muncul setelah berakhirnya masa teori
evolusionisme. Pemikiran baru ini dipelopori oleh Franz Boas (1858-1942)
yang menentang teori evolusionisme. Teori ini disebut juga sebagai
partikularisme historic. Boas tidak setuju dengan teori evolusi tentang adanya
hukum universal yang menguasai kebudayaan. Boas berpendapat meskipun
hanya satu unsur, kebudayaan tetap harus dipelajari dalam konteks masyarakat
di mana unsur tersebut berada. Teori partikularisme berpandangan bahwa
perkembangan tiap kebudayaan mempunyai kekhasan sendiri-sendiri dan tidak
dapat digeneralisasikan ke dalam aturan atau hukum yang universal
3. Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-
1942). Teori ini beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan adalah bagian-
bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut berada.
Pandangan fungsionalis menekankan bahwa setiap pola perilaku, kepercayaan
dan sikap yang menjadi bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memiliki
peran mendasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan.

2
TEORI-TEORI ANTROPOLOGI HUKUM

Teori Forum Shopping-Shopping Forum dari Keebet von Benda


Beckmann merupakan hasil penelitiannya di Sumatera Barat yang berlangsung
bulan Juni 1974 - September 1975. Teori ini dibangun dari fakta persengketaan
harta warisan kolam Batu Panjang yang diklaim oleh dua kaum yang berbeda.
Dari fakta-fakta penelitian itu, Keebet membangun sebuah teori yang di-
analogkan dari istilah hukum perdata internasional, yaitu Forum Shopping-
Shopping Forum. Forum Shopping berarti orang-orang yang bersengketa dapat
memilih lembaga dan mendasarkan pilihannya pada hasil akhir apakah yang
diharapkan dari sengketa tersebut. Sedangkan Shopping Forum berarti pihak
pengadilan, baik pengadilan adat ditingkat masyarakat maupun di pengadilan
pemerintah terlibat memanipulasi sengketa yang diharapkan dapat memberikan
keuntungan politik atau malah menolak sengketa yang mereka (hakim)
kawatirkan akan mengancam kepentingan mereka.
Dikaitkan dengan kondisi sekarang ini, pada Forum Shopping, para
pihak yang bersengketa bebas memilih model penyelesaian sengketa apakah
melalui jalur di luar pengadilan (ADR) ataukah di pengadilan sesuai dengan
hasil akhir yang diharapkan. Sedangkan Shopping Forum, pihak lembaga
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, juga advokat) mempunyai kekuasaan
apakah akan meneruskan perkara yang diajukan kepadanya ataukah dipeti-
eskan/deponeer/SKPP/ SP3 sesuai dengan hasil akhir yang diharapkan.
Teori berikutnya dari Marc Galanteryang bertajuk Justice in Many
Rooms. Pada masa itu terjadi dua pandangan yang berbeda tentang hukum, di
satu sisi dilihat dalam kacamata sentralisme hukum, sedangkan yang lain
melihatnya dari dimensi pluralisme hukum. Galanter melihat bahwa pada
dimensi sentralisme terdapat kelemahan-kelemahan, seolah-olah keadilan itu
produk eksklusif dari lembaga yang mendapat wewenang yuridis dari negara.
Dengan demikian ada gerak sentripetal dari masyarakat untuk menyelesaikan
perkaranya, artinya satu-satunya cara untuk mencari keadilan hanya ditemukan
di temukan di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah. Akibatnya
terjadi banyak penumpukan perkara (terutama di MA) sehingga membutuhkan

3
waktu yang panjang, tenaga dan biaya yang berlebih. Di Amerika Serikat,
dengan menunjuk studi S.Macaulay, bahwa banyak sengketa yang menurut
peraturan atau perjanjian bisa diajukan ke pengadilan, ternyata banyak yang
dibiarkan berlalu, dielakkan, dibatalkan, atau diselesaikan sendiri melalui jalur
ADR (Alternative Dispute Resolution). Melihat kenyataan yang demikian,
Marc Galanter berpendapat bahwa setiap komunitas biasanya mempunyai self
regulation termasuk dalam penyelesaian sengketa yang tejadi diantara mereka.
Hingga akhirnya, Marc Galanter mencetuskan teori Justice in Many
Rooms yang mengatakan bahwa keadilan itu dapat ditemukan diberbagai
tempat, tidak hanya di lembaga peradilan yang dibentuk oleh pemerintah.
Aplikasi teori Galanter di Indonesia yang bernuansa pluralistik dapat kita
temukan, misalnya negosiasi, mediasi, arbitrase baik sengketa tentang rumah
tangga, di tempat kerja, perdagangan dan lain sebagainya. Contoh konkritnya
lembaga bipartit dan tripartit untuk sengketa perburuhan, mediasi kasus
pencemaran sungai Tapak di Semarang dan sungai Asahan di Sumatera Utara
untuk sengketa lingkungan, peran orang tua'sesepuh untuk perkara rumah
tangga dan masih banyak lagi. Bahkan sejak tahun 1999 pemerintah telah
memberikan wadah dengan dikeluarkannya Undang Undang No.30 tahun 1999
tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Selanjutnya teori Semi
Autonomous Social Fields yang merupakan hasil penelitiannya di bidang
agraria di Tanzania, tepatnya pada suku Chagga.
Latar belakang munculnya teori ini bermula dari adanya dikotomi
tentang hukum, dari Roscoe Pound dan Cochrane. Ahli sosiologi hukum
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum itu berfungsi sebagai alat untuk
merubah/merekayasa masyarakat (law as a tool of social engeneering), artinya
dengan pemberlakuan hukum dari pemerintah maka perilaku masyarakat dapat
diarahkan sesuai dengan hukum tersebut (perubahan sosial). Sebaliknya
Cochrane mengemukakan bahwa masyarakatlah yag menentukan hukum,
bukan masyarakat yang diarahkan oleh hukum dari pemerintah. Dengan bekal
pendapat yang kontradiktif tersebut, Moore ingin membuktikannya dengan
melakukan penelitian pada Suku Chagga di Tanzania yang sedang

4
diberlakukan UU Agraria yang baru yang intinya tidak ada lagi tanah milik
pribadi tetapi semua tanah milik negara, setiap warganegara hanya mempunyai
hak menggarap. Ternyata penerapan UU tersebut oleh pemerintah Tanzania
yang sosialis, tidak mencapai hasil yang diharapkan.
Orang-orang yang dulunya tuan tanah, dan sekarang tanahnya diambil
oleh negara dan kemudian diberi tanah garapan yang luasnya sama dengan
lainnya, ternyata secara terselubung tetap menjadi "tuan tanah", karena jika ada
orang yang dulunya tidak punya tanah kemudian dengan UU baru dia dapat
tanah, tidak dapat menggarap tanah tersebut karena tidak punya biaya.
Kemudian yang terjadi, secara diam-diam tanahnya dijual sedikit kepada "tuan
tanah" untuk memperoleh uang. Sehingga yang terjadi keadaan kembali seperti
sebelum adanya UU Agraria, yang tuan tanah kembali jadi tuan tanah, yang
miskin tetap miskin. Akhirnya muncul satu teori dari Semi Autonomous Social
Fileds dari Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa dalam suatu bidang
kehidupan sosial secara internal dapat membangkitkan aturan-aturan,
kebiasaan-kebiasaan, sistem-sistem, tetapi di lain pihak juga rentan menjadi
sasaran dari aturan-aturan dan kekuatan- kekuatan lain yang berasal dari
eksternal yang mengitarinya. Teori terakhir dari Michel Lipsky yang bertajuk
Street Level Bureaucracy berpendapat bahwa para birokrat tingkat bawah yang
langsung berhadapan dengan masyarakat mengamban dua tugas sekaligus:

1). sebagai pelaksana peraturan/kebijakan;


2). dalam diri mereka melekat diskresi (kebijaksanaan).
Teori Steet Level Bureaucracy mengatakan bahwa ada untuk
melakukan diskresi yang kecenderungan birokrat tingkat bawah
menguntungkan dirinya sendiri. Berbagai contoh di Indonesia, adalah
pungutan-pungutan liar untuk mengurus KTP, SIM, Paspor, perijinan, sertifikat
tanah, bahkan termasuk pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain.

5
B. Kajian Antropologi Hukum
Kajian antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia, baik tingkah laku individu maupun tingkah laku kelompok. Tingkah
laku yang dipelajari tidak hanya kegiatan yang dapat diamati, tetapi juga yang
ada dalam pikiran. menggali norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Selain
itu antropologi hukum juga mempelajari manusia dan budaya hukum,
karenanya kaidah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok
penelitian antropologi hukum. Dalam kajian antropologi hukum adalah norma
dan nilai-nilai, yang merupakan pola ulangan prilaku dalam masyarakat.
Norma dasar yang ada dalam masyarakat yang dapat mengukur perilaku
manusia agar dapat menilai mana perbuatan benar dan yang tidak. Dalam hal
ini norma memiliki aspek hukum ketika aparat menjatuhkan sanksi karena
perbuatan yang menyinpang (melanggar hukum).1
Kajian antropologi juga memberikan pemahaman tentang hukum-
hukum yang non state law (Non Undang-Undang). Ilmu antropologi hukum
bertugas untuk memberikan kajian, memberi secara mendalam yang kelak
akan menjadi sistem kajian referensi pembuat undang-undang. Ilmu ini akan
terlihat dalam persidangan-persidangan atau penyelesaian sengketa yang
berlangsumg di Pengadilan untuk memutuskan perkara sengketa, akan
menggali sumber-sumber hukum yang hidup dan berkembang ditengah-tengah
masyarakat atau di dalam masyarakat.2
Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya juga
sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka kebudayaan yang
serba luas. Sarjana-sarjana atropologi seperti baron, Radciliffe-Brown,
Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian pada hukum sebagai
suatu gejala sosia-budaya. Sesudah embiro dari antropologi hukum timbul,

1
Ihromi, T.O. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan Antropologi. Catatan-
Catatan untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm. 112
2
Hadikusuma, H. Pengantar Antropologi Hukum. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1992), hlm. 71-79

6
maka pandangan para sarjana seperti Schapera, Gluckman, Hoebel, dan
lainnya mempunyai peranan besar di dalam perkembangan A.H.3
Menurut Ihromi, relevansi menelaah hukum dari segi antropologi,
antara lain adalah: Pertama, Berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya
bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum atau
modernisasi hukum. Kedua, berkenaan dengan kemungkinan munculnya
masalah bila warga masyarakat dari lingkungan sukubangsa tertentu masih
mempunyai norma-norma tradisional yang kuat dan menuntut ketaatan
mengenai hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis
dan berlaku secara nasional, hal-hal yang harus ditaati itu justru dirumuskan
sebagai hal yang terlarang.
Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian
dari aturan-aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam
mengambil keputusan mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-
tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya. Kajian yang diusulkan tersebut
lazimnya disebut sebagai kajian terhadap gejala hukum empiris (law in
action). Dengan demikian, hukum dalam lingkup kajian Antropologi Hukum
(selanjutnya ditulis A.H.) ditanggapi sebagai gejala empirik yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam konteks ini tidak ditanggapi
seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara dogmatik).4
Secara umum metode AH adalah sebagai berikut: pertama, deskriptif –
yakni pemerian gejala hukum empirik dalam masyarakat yang diteliti, kedua,
ideology (menelusuri aturan normatifnya), ketiga, telaah kasus (case study
method), ditambah dengan metode komparasi (perbandingan). Metode yang
satu ini mendorong, antara lain diberlakukannya konsepsi cultural relativism
(relativisme budaya). 5

3
S. Soekanto, dkk. Antropologi Hukum Perkembangan Ilmu Hukum Adat. (Pers. Jakarta,
1984), hlm. 159-160
4
Sartono Sahlan, The Other Laws di Era Otonomi Daerah (Studi Antropologi Hukum), Vol
5, nomor 2, juli 2010
5
Ibid,

7
Selain metode di atas, dapat ditambahkan pendekatan historis yang
mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dengan sudut proses
sejarah yang dijabarkan, dianalisis, dan diulas beberapa pendekatan yang
digunakan dalam sejarah perkembangan sub disiplin antropologi hukum dalam
mengkaji hubungan hukum dengan masyarakat dan kulturnya. Selain itu
pendekatan berikutnya yang kemudian populer, dan beberapa bagiannya
hingga kini masih diterapkan oleh banyak pengkaji antropologi hukum adalah:
pendekatan terhadap penyelesaian sengketa (trouble cases). Pendekatan itu,
umumnya, menelusuri sebab-sebab sengketa, pihak-pihak yang terlibat dan
bagaimana penyelesainnya (termasuk siapa yang menyelesaikan, dan
bagaimana sanksi yang diterapkannya). Sengketa itu hal yang melekat pada
hubungan sosial, sehingga:6
Pertama, bila hubungannya erat, maka penyelesaiannya cenderung damai
(“win-win solution”)
Kedua, bila hubungannya renggang, maka penyelesaiannya cenderung
adjudication (semacam win - loose solution). Dalam konteks ini, juga ditelaah
mengenai lembaga hukum yakni: lembaga yang digunakan oleh warga untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara para warga dan merupakan alat
untuk tindakan balasan (counteract) setiap penyalahgunaan yang menyolok
dan berat dari aturan yang ada pada lembaga lain dalam masyarakat. Tujuan
menelusuri proses sengketa adalah untuk menemukan “intisari” hukum.
Berbagai kajian penyelesaian sengketa dari pelbagai masyarakat dan
kebudayaan kemudian diungkapkan dan ditelusuri. Karena penggunaan
metode komparasi untuk berbagai penyelesaian sengketa semakin sering dan
mendalam, akibatnya unsur-unsur kemajemukan pun semakin terpupuk.7
Mengenai konflik (conflict) menganalisis tiga tahapan dari pertikaian
(dispute), diantaranya yaitu : (a) keluhan atau tahapan pra-konflik, dimana
orang merasa diperlakukan tidak adil, b) tahapan konflik (conflict), dimana
pihak yang dirugikan bertikai dengan pihak lain, dan c) tahap sengketa
6
S. Soekanto, dkk. Antropologi Hukum Perkembangan Ilmu Hukum Adat…. Hlm 47
7
R. Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society. (Stanford University Press.
California, 1959) hlm. 209

8
(dispute), dimana konflik meningkat ke arah konfrontasi publik karena
melibatkan pihak ketiga. Mode-mode penanganan sengketa sangat bervariasi
tetapi dapat diklasifikasikan ke dalam suatu prosuder yang bersifat umum.
Beberapa berupa penanganan dyadic (dua arah), seperti negosiasi yang
mencakup dua pihak saja, yang mengembangkan aturanaturannya sendiri dan
mencapai kesepakatan melalui kompromi. Namun banyak bentuk dari
penyelesai sengketa adalah triadic dan melibatkan pihak-pihak ketiga. Peran
dan kekuasaan dari pihak ketiga itu tergantung pada struktur dari proses
resolusinya. Mediasi, merupakan proses yang bersifat mendamaikan
(conciliatory), pihak ketiga membantu dua pihak yang bersengketa mencapai
suatu penyelesaian tetapi tidak memiliki otoritas untuk memaksa salah satu
pihak. Dalam arbitrasi, pihak-pihak yang bersengketa sepakat pada tingkat
yang lebih tinggi, untuk menerima keputusan pihak ketiga sebagai hal yang
mengikat. Dalam ajudikasi, negara memberi kuasa (kepada) hakim untuk
membuat keputusan yang mengikat tanpa harus mempertimbangkan
persetujuan para pihak yang bersengketa. Dalam ajudikasi, negara memberi
kuasa (kepada) hakim untuk membuat keputusan yang mengikat tanpa harus
mempertimbangkan persetujuan para pihak yang bersengketa Selain
pendekatan di atas, terdapat pula pendekatan trouble-less cases. Pendekatan
ini, ringkasnya menyatakan bahwa dalam proses hukum sehari-hari yang lebih
banyak terjadi bukanlah kasus sengketa, namun justru proses hukum non-
sengketa (misalnya saja,proses perkawinan, jual-beli dan lainnya). 8 Proses
seperti ini, walaupun tidak harus melalui proses sengketa, tetap saja
merupakan proses hukum penting karena di dalamnya tercermin aturan-aturan
(normatif) maupun prakteknya sehari-hari. Gambaran semacam ini ikut
“membulatkan” gambaran sistem hukum pada masyarakat yang diteliti.
Interaksi (hukum) non sengketa juga bisa terjadi pada pihak-pihak yang
berbeda sistem hukumnya. Dan seringkali mereka juga tidak bersengketa.
Pendekatan selanjutnya adalah yang populer dengan sebutan ‘Kemajemukan

8
J.Van Baal, "Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya
(Hingga Dekade 1970)." (Jakarta: PT. Gramedia, 1988) hlm. 21

9
Hukum” (legal pluralism) . Konsep menyatakan bahwa selain state law,
terhadap sistem-sistem hukum lain yang juga aktif berfungsi dalam pelbagai
lapisan dan kelompok masyarakat. Benturan antara implementasi state law
dengan sistem-sistem hukum lain itulah yang menjadi konsentrasi pendekatan
yang satu ini. Pendekatan ini mulai populer di tahun 1980an, dan hingga kini
masih diminati oleh banyak pengkaji antropologi hukum. Pengertian
kemajemukan hukum, ringkasnya adalah:
Pertama, Dalam dunia pragmatis setidaknya ada dua sistem aturan yang
terwujud
Kedua, bagaimana hukum berperan dan menyesuaikan diri dalam kondisi
kemajemukan budaya.Pendekatan yang satu ini, lazimnya dikaitkan dengan
pemahaman mengenai “plural society” (masyarakat majemuk) yang
dijabarkan sebagai masyarakat yang terdiri dari populasi multi etnik yang
didalamnya terjadi suatu kegiatan ekonomi yang tersebarkan dan aturan politik
yang tersentralisasi oleh salah satu kelompok tertentu .
Pada masa Orba, gambaran plural society memang lebih nampak. Pola
patron-client relationship dikembangkan sedemikian rupa untuk lebih
mencapai tujuan tertentu. Pola ini digunakan untuk melingkupi hubungan
antara berbagai pihak yang majemuk, sehingga kadangkala memunculkan
benturan. Kajian Kemajemukan Hukum dapat dikaitkan dengan pendapatnya
Lawrence Friedman yang menyatakan bahwa hukum itu terdiri dari tiga
komponen, yakni:
Pertama, legal Substance: norma-norma, aturan-aturan yang digunakan secara
institusional, dan pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum;
Kedua, Legal structure: lembaga-lembaga hukum;
Ketiga Legal culture: kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir yang
dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial.
Ketiga komponen itu dapat dikaji kemajemukannya semuanya. Namun,
bisa saja salah satu komponennya saja. Masing-masing komponen itu, bila
dikaji, kelak akan memunculkan dampak maupun konteks yang berbeda-beda.
Yang jelas, para ahli antropologi hukum menekankan bahwa hukum buatan

10
negara hanyalah salah satu dari sistem pengaturan yang relevan untuk menjadi
pedoman berperilaku warga masyarakatnya. Dengan demikian, the other laws
juga punya hak untuk Di ketahui, dikemukakan dan diberi kesempatan untuk
berkiprah di tengah kemajemukan masyarakat dan budaya yang ada. Sistem
hukum-hukum lain jika ditelah, juga memiliki ke tiga komponen di atas yang
bisa saja berbeda atau memiliki kemiripan tertentu dengan state law. Jadi,
Pada dasar Pengkajian Antropologi Hukum telah memberikan celah akan hasil
kreasi, distribusi dan transmisi hukum yang ada. Kajian mengenai bagaimana
kekuasaan hukum berproses dan memberi dampak dalam masing-masing
masyarakat. Selanjutnya akan menampilkan bagaimana feed back dan
pengaruh masyarakat-masyarakat terhadap kekuasaan hukumnya.

11
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Antropologi semakin berkembang karena adanya teori-teori yang
bermunculan dan berkembang. Teori antropologi tersebut adalah yaitu Teori
Evolusionisme Deterministik, Teori Partikularisme Teori Fungsionalisme

Kajian antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku


manusia, baik tingkah laku individu maupun tingkah laku kelompok. Tingkah
laku yang dipelajari tidak hanya kegiatan yang dapat diamati, tetapi juga yang
ada dalam pikiran. menggali norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Selain
itu antropologi hukum juga mempelajari manusia dan budaya hukum,
karenanya kaidah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok
penelitian antropologi hukum. Dalam kajian antropologi hukum adalah norma
dan nilai-nilai, yang merupakan pola ulangan prilaku dalam masyarakat.
Norma dasar yang ada dalam masyarakat yang dapat mengukur perilaku
manusia agar dapat menilai mana perbuatan benar dan yang tidak. Dalam hal
ini norma memiliki aspek hukum ketika aparat menjatuhkan sanksi karena
perbuatan yang menyinpang (melanggar hukum).9

9
Ihromi, T.O. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan Antropologi. Catatan-
Catatan untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta:
Gramedia, 2000), hlm. 112

12
DAFTAR PUSTAKA

adikusuma, H. Pengantar Antropologi Hukum. (Bandung : PT. Citra


Aditya Bakti, 1992),
Ihromi, T.O. Kajian Terhadap Hukum dengan Pendekatan
Antropologi. Catatan-Catatan untuk Peningkatan Pemahaman Bekerjanya
Hukum dalam Masyarakat. (Jakarta: Gramedia, 2000),
.Van Baal, "Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya
(Hingga Dekade 1970)." (Jakarta: PT. Gramedia, 1988) hlm. 21
R. Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society.
(Stanford University Press. California, 1959) hlm. 209
S. Soekanto, dkk. Antropologi Hukum Perkembangan Ilmu Hukum
Adat. (Pers. Jakarta, 1984),
Sartono Sahlan, The Other Laws di Era Otonomi Daerah (Studi
Antropologi Hukum), Vol 5, nomor 2, juli 2010

13

Anda mungkin juga menyukai