Anda di halaman 1dari 5

MEMAHAMI HADIS DHAIF DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Ahmad Faizal Baharudin

2250510047

Institut Agama Islam Negeri Kudus

Email: ahmadfaizalb215@gmail.com

Abstrack

This article aims to understand Daif's hadith in everyday life. As Muslims, hadith
becomes a guide in everyday life. Hadith is also a guide for humans, especially
Muslims. In everyday life humans always carry out individual activities such as
eating, drinking, dressing, sports, earning a living and other activities. Carrying
out activities has sharia rules that become guidelines for human life. Aspects of
understanding Islamic law that guide Muslims are the Qur'an and Hadith.

Keywords: hadis, daif,

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk memahami hadis Dhaif dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai umat Islam, hadis menjadi sebuah pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis juga menjadi sebuah pedoman untuk manusia, khususnya umat Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu melakukan aktivitas individu seperti
makan, minum, berpakaian, olahraga, mencari nafkah dan aktivitas-aktivitas
lainnya. Melakukan aktivitas memliki aturan syariat yang menjadi pedoman bagi
kehidupan manusia. Aspek pemahaman syariat Islam yang menjadi pedoman
umat muslim yaitu Al-Qur’an dan Hadis.

Kata Kunci: hadis, daif,


A. Pendahuluan

Hadis merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-
Qur’an. Secara bahasa berarti khabar atau kabar, sedangkan secara istilah adalah
segala hal yang di sandarkan kepada kepada Rasulullah SAW baik perkataan,
perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Mempelajari ilmu yang berkaitan dengan
hadis merupakan sebuah hal yang mendasar bagi seorang muslim yang harus
dipahami oleh setiap individunya, terutama tentang kualitas dari sebuah hadis.
Secara umum jika dilihat dari kesahihannya hadis terbagi menjadi beberapa jenis,
yaitu Hadis Sahih, Hadis Hasan, Hadis Dhaif (Lemah), dan Hadis Maudhu
(Palsu). Membahas mengenai hadis dhaif, banyak orang-orang yang meragukan
kesahihan dari jenis hadis tersebut karena di anggap lemah dalam periwayatan, isi,
atupun sanadnya.

Para ulama berbeda dalam mendifinisikan hadis dhaif, namun secara


bahasa mereka menyepakati bahwa dhaif itu lawan dari qawy (kuat),jadi hadis
dhaif adalah hadis lemah. Perbedaan tersebut terjadi dalam mengistilahkan hadis
daif. Mahmud Thahan medifinisikan hadis daif sebagai “Hadis yang di dalamnya
tidak terkumpul syarat yang wajid ada dalam hadis hasan, disebabkan tidak
adanya satu syarat yang menjadi syarat hadis hasan”, Nur Din Itr sebagaimana
dikutip oleh Mashum Zein mendifinisikan sebagai “hadis yang di dalamnya tidak
ditemukan satu syarat dari syarat hadis yang diterima (maqbul)”.

Definisi lain datang dari Ibn Shalah sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Dahlan dalam kumpulan tulisan ilmu sanad hadis sebagai “hadis yang tidak
memenuhi syarat hadis sahih dan hasan”, namun definisi ini dibantah oleh Zain
al-Din al-Iraqi yang mengatakan bahwa cukup menyebutkan hadis hasan tanpa
menggunakan hadis sahih, karena kalau hadis hasan tidak sampai derajat sahih.
Sedangkan, Muh Zuhri mendifinisikan hadis yang tidak memenuhi syarat hasan
karena sanadnya ada yang terputus serta periwayatnya tidak dikenal dikalangan
ulama hadis.
B. Pembahasan

Adanya hadis memang difungsikan sebagai sandaran hukum umat Islam.


Di samping itu hadis juga memuat beberapa amalan-amalan tertentu yang
memiliki fadhilah sangat besar. Namun, masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui mana yang hadis sahih, hadis hasan, ataupun hadis dhaif. Oleh
karenanya masyarakat masih ragu untuk melakukan amalan-amalan yang
bersumber dari hadis. Keraguan ini disebabkan oleh ketakukan jika melakukan
amalan yang tidak sahih akan mendapatkan dosa.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menanggapi


pengamalan hadis dhaif. Sebagian kecil ulama hadis ada yang mengatakan bahwa
hadis dhaif tidak boleh digunakan dalam hal apapun. Hal ini dikarenakan sikap
kehati-hatian mereka dalam menyikapi suatu hadis. Namun, sejak dahulu sebagian
besar ulama hadis membolehkan meriwayat dan mengamalkan hadis dhaif karena
dinilai bahwa hadis dhaif itu lemah, bukan palsu dan tidak jarang suatu hadis yang
awalnya dinilai lemah bisa naik menjadi hasan atau bahkan sahih setelah diteliti
lebih lanjut.

Imam Nawawi yang merupakan tokoh ulama Syafi’i berkata:

‫وع‬
ِ cc‫ض‬ ُ ْ‫ث َو َغي ِْر ِه ُم التَّ َساهُ ُل فِي اَأْل َسانِي ِد َو ِر َوايَةُ َما ِس َوى ْال َمو‬
ِ ‫َويَجُو ُز ِع ْن َد َأ ْه ِل ْال َح ِدي‬
ِ c‫الَى َواَأْلحْ َك‬cc‫ت هَّللا ِ تَ َع‬
‫ام‬c ِ ‫فَا‬c‫ص‬ ِ c‫ض ْعفِ ِه فِي َغ ْي‬
ِ ‫ر‬c َ ‫ان‬ ِ َ‫ َو ْال َع َم ُل بِ ِه ِم ْن َغي ِْر بَي‬،‫يف‬
ِ ‫ض ِع‬ َّ ‫ِمنَ ال‬
‫ق لَهُ بِ ْال َعقَاِئ ِد َواَأْلحْ َك ِام‬
َ ُّ‫ َو ِم َّما اَل تَ َعل‬،‫َك ْال َحاَل ِل َو ْال َح َر ِام‬

“Menurut para pakar hadis dan selain mereka, boleh menganggap mudah dalam
sanad-sanad hadis dhaif, meriwayatkan hadis dhaif selain hadis maudhu’ (palsu),
dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kelemahannya dalam selain sifat-sifat
Allah Ta’ala, hukum-hukum seperti halal dan haram, dan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan aqidah dan hukum.”
Kesimpulan dari perkataan Imam Nawawi tentang hadits dhaif tersebut
adalah kebolehan mengamalkan isi-isi dari hadits dhaif dengan syarat pengamalan
tersebut tidak dalam lingkup hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah,
aqidah, dan hukum Islam(fikih).

Sementara itu, al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi mengatakan bahwa hadits-


hadits dhaif boleh untuk diamalkan asalkan masih dalam wilayah cakupan yang
berkaitan dengan fadha’il al-a’mal, kisah-kisah para nabi dan orang-orang
terdahulu, mau’izhah hasanah atau targhib dan tarhib serta yang sejenisnya.  Imam
Nawawi dan al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi adalah dua dari banyaknya para ulama
yang membolehkan pengamalan hadits dhaif dengan batasan-batasan yang mereka
buat.

C. Penutup

Sebagai seorang muslim yang mungkin masih awam dalam hal tersebut,
sebaiknya kita mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama.
Selain itu juga, kita tidak perlu memperselisihkan perbedaan pendapat diantara
orang yang mengikuti ulama yang tidak memperbolehkan dalam pengamalan
hadis Dhaif karena pendapat tersebut juga memiliki dasar yang sama kuat. Kita
dapat menentukan pilihan dan meyakini bahwa apa yang kita ikuti tersebut dapat
memberikan manfaat dan hal yang baik kepada diri dan lingkungan di sekitar kita.

Berdasarkan pendapat sebagian besar ulama hadis, dapat disimpulkan


bahwa hadis dhaif dapat diamalkan dengan syarat-syarat yaitu:

1. Tidak menyangkut hukum halal-haram.

2. Tidak menyangkut akidah dan sifat-sifat Allah SWT.

3. Bukan hadis yang sangat lemah (dhaif jiddan).

4. Digunakan dalam masalah fadhail amal (keutamaan amal-amal yang baik) atau
mengajarkan adab yang baik.
5. Isi hadisnya sejalan atau tidak berkontradiksi dengan hadis-hadis hasan ataupun
sahih, apalagi Al-Qur’an.

6. Ketika menyampaikannya, ada baiknya juga disebutkan atau diindikasikan


bahwa hadis ini lemah (sebagai bentuk kejujuran intelektual dan kehati-hatian).

DAFTAR PUSTAKA

Asari, H. (2020). Hadis-Hadis Pendidikan sebuah penelusuran akar-akar ilmu


pendidikan Islam. Perdana Publishing.

Yuhadi, I., & Murtini, N. B. (2021). Implementasi Hadis-hadis Sabar dalam


Menghadapi Bencana (Studi Kasus Bencana Banjir di Kepatihan Jember). Al-
Majaalis: Jurnal Dirasat Islamiyah, 8(2), 395-411.

Dalil, F. Y. M. (2017). Hadis-Hadis tentang Farmasi; Sebuah Kajian Integratif


dalam Memahami Hadis Rasulullah. Proceeding IAIN Batusangkar, 1(1), 309-
326.
Asni, F. A. H. M., Sulong, J., & Ismail, A. (2017). Penggunaan hadis daif dalam
fatwa mengenai wasiat di Malaysia serta langkah penyelesaiannya. Journal of
Hadith Studies.

Yusram, M. (2017). Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis Daif untuk


Fadhail al-A'mal. NUKHBATUL'ULUM: Jurnal Bidang Kajian Islam, 3(1), 1-11.

Muzayyin, A. (2017). Kualitas Hadis Ditentukan Oleh Kualitas Terendah Rawi


Dalam Sanad. Jurnal Al-Mutaaliyah: Jurnal Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah, 2(1), 237-244.

Anda mungkin juga menyukai