Anda di halaman 1dari 9

Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan

Ramadlan
Azhari Asri

Sering kali kita mendengar para khatib di atas mimbar membawakan hadits-
hadits tentang Ramadlan dan keutamaannya. Di antara hadits-hadits yang
mereka bawakan ada yang shahih dan ada yang dlaif, bahkan maudlu' (palsu).
Namun sangat disayangkan ketika membawakan hadits-hadits lemah, mereka
tidak menerangkan tentang kelemahannya kepada hadirin yang awam tentang
permasalahan hadits sehingga orang-orang yang mendengarnya menyangka
bahwa hadits-hadits itu adalah ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
padahal sama sekali bukan!
Oleh karena itu penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai
nasehat kepada seluruh kaum muslimin, baik para khatibnya maupun
pendengarnya.
 
Tidak Boleh Beramal dengan Hadits Lemah dalam Hal Fadlailul A'mal
(Keutamaan Amal)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hafidhahullah berkata: "Di kalangan
ahli ilmu dan para penuntut ilmu telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh
diamalkan dalam fadlailul a'mal. Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak
diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan
dalam berbagai kitab beliau bahwa hal itu telah disepakati. Tetapi pernyataan
beliau itu terbantah karena perselisihan dalam masalah ini ma'ruf. Sebagian
besar para muhaqiq (peneliti hadits) berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh
diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun
keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At-Tahdits hal. 94 mengatakan
bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak,
pent) diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam 'Uyunul Atsar dari Yahya bin
Ma'in dan dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin
Al-Arabi. Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu
Hazm.
Aku (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak
ada keraguan padanya karena beberapa perkara: Pertama, hadits dlaif hanya
mendatangkan sangkaan yang salah (dhanul marjuh). Tidak boleh beramal
dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh
beramal dengan hadits dlaif dalam fadlailul a'mal, hendaknya dia mendatangkan
bukti. Sungguh sangat jauh! Kedua, yang aku pahami dari ucapan mereka
tentang fadlail a'mal yaitu amal-amal yang telah disyariatkan berdasarkan hadits
shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan
pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits lemah dalam
keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam fadlailul a'mal[1], karena hal itu
bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang
pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan
sebagian ulama dimaksudkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah
dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam
perkara fadlail walaupun tidak didukung secara ijma' sebagaimana keterangan
Imam Nawawi. Yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Kitab dan Sunnah.
Dengan dasar inilah maka beramal dengan hadits lemah diperbolehkan jika
telah ada hadits shahih yang menunjukkan disyariatkannya amal itu. Akan tetapi
kebanyakan orang yang berpendapat seperti itu tidak memaksudkan makna itu.
Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dengan hadits-hadits dlaif yang
tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih. Seperti Imam Nawawi dan yang
mengikutinya menganggap sunnah menjawab ucapan orang yang
mengumandangkan iqamah ketika mengucapkan dua kalimat (qad qamatis
shalah, qad qamatis shalah) dengan ucapan aqamahallah wa adamaha (semoga
Allah menegakkannya dan melazimkannya), padahal hadits tentang masalah ini
lemah[2]. Amal ini tidak ditetapkan pensyariatannya kecuali pada hadits lemah
tersebut. Meskipun demikian mereka menganggap hal itu sunnah. Padahal
perkara sunnah adalah salah satu hukum di antara kelima hukum [3] yang harus
ditetapkan berdasarkan dalil.
Betapa banyak perkara-perkara yang mereka anggap disyariatkan dan
disunnahkan bagi manusia hanya didasari dengan hadits-hadits dlaif yang tidak
ada asal pensyariatannya dalam hadits shahih. Akan tetapi di sini tidak mungkin
untuk mencantumkan berbagai contoh. Cukuplah salah satu contoh yang telah
aku sebutkan.
Yang terpenting di sini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini
mengetahui bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlail tidak
mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al Hafidh Ibnu Hajar
berkata dalam Tabyinul 'Ujab hal. 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-
mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang fadlail walaupun memiliki
kelemahan selama tidak maudlu' (palsu). Seharusnya hal itu diberi syarat yaitu
orang yang beramal dengannya meyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak
memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits lemah dan
mensyariatkan apa yang tidak disyariatkan. Atau sebagian orang-orang jahil
menyangka bahwa hadits itu adalah shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-
Ustadz  Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain-lain.
Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.

ٌ ‫ث ُي َرى َأنَّ ُه َك ِذ‬


‫ب َف ُه َو‬ ٍ ‫ح ِد ْي‬
َ ِ‫ي ب‬
ْ ّ‫ح َّدثَ َع ِن‬
َ ‫ن‬
ْ ‫َم‬

.‫ن‬
َ ‫كا ِذبِ ْي‬ َ ‫َأ‬
َ ‫ح ُد ا ْل‬
Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia
termasuk pendusta.
Maka bagaimana orang yang mengamalkannya?! Tidak ada perbedaan antara
mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara fadlail,
sebab semuanya adalah syariat.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkan beramal dengan hadits lemah:
1. Hadits itu tidak maudlu'.
2. Orang yang mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu dlaif.
3. Tidak memasyhurkan beramal dengannya.
Tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih
orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits
tanpa mengetahui kelemahannya. Kalaupun mereka mengetahui kelemahannya
mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah
sehingga tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya
sebagaimana halnya beramal dengan hadits-hadits shahih! Oleh karena itu
banyak ibadah-ibadah di kalangan kaum muslimin yang tidak shahih dan
memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan
sanad-sanad yang shahih.
Kemudian syarat-syarat tersebut menguatkan pendapat kami bahwa
sebagian besar ulama tidak menginginkan makna yang kami anggap kuat tadi.
Sebab satu pun di antara syarat-syarat itu tidak diterapkan sebagaimana yang
tampak.
Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidh Ibnu Hajar cenderung kepada tidak
boleh beramal dengan hadits lemah berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat
bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara
hukum atau dalam fadlail sebab semuanya adalah syariat.
Inilah yang hak, karena hadits dlaif yang tidak ada penguatnya kemungkinan
adalah dusta, bahkan pada umumnya dusta dan palsu. Hal ini ditegaskan oleh
sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "...yang tampak bahwa hadits itu dusta." Yaitu
dia menampakkan seperti itu. Oleh karena itu Al-Hafidh menambahkan dengan
ucapannya: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?!'
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Imam Ibnu Hibban bahwa setiap orang
yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia
termasuk dalam hadits (yang berisi ancaman tersebut). Dan kita katakan seperti
perkataan Al-Hafidh: 'Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya?'
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidh tersebut. Adapun jika ucapan
beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu' dan tidak ada
perbedaan antara perkara hukum dan fadlail adalah sangat jauh dari konteks
ucapan Al-Hafidh. Sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dlaif,
bukan maudlu'. Sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.
Apa yang kami sebutkan tidak menafikan bahwa Al-Hafidh menyebutkan
syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dlaif. Sebab kita katakan bahwa Al-
Hafidh menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan
memakai hadits lemah dalam perkara fadlail selama tidak maudlu'. Seakan-akan
beliau berkata kepada mereka: 'Jika kalian berpendapat demikian maka
seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini.'
Al-Hafidh tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka
dalam pembolehan (beramal dengan hadits-hadits lemah, pent) dengan syarat-
syarat itu. Bahkan di akhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang
telah kita terangkan.
Kesimpulannya bahwa beramal dengan hadits lemah dalam perkara fadlailul
a'mal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya.
Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat tersebut dan
konsisten dengan syarat-syarat iltu ketika mengamalkan hadits lemah. Wallahul
muwaffiq." Sampai di sini keterangan Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah
hal. 34-38.
 
Hadits-hadits Lemah yang Berkaitan dengan Bulan Ramadlan
Setelah kita mengetahui bahwa pendapat yang kuat dalam masalah hadits
dlaif adalah tidak boleh dipakai sekalipun dalam fadlailul a'mal dan seandainya
diperbolehkan harus dipenuhi syarat-syarat tersebut.
Maka pada pembahasan terakhir ini kita akan menukil beberapa hadits lemah
yang diucapkan para khatib dan diamalkan di bulan Ramadlan dari kitab Shifat
Shaum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam fi Ramadlan karya Syaikh Salim Al-Hilali
dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 109-113. Beliau berdua menyebutkan
beberapa hadits beserta penilaiannya.

‫ت ُأ َّمتِي َأ ْن‬ َ ‫اد َما فِي َر َمضَانَ لَ َت‬


ْ ‫م َّن‬ ُ َ‫لَ ْو َي ْعل‬
ُ َ‫م ا ْل ِعب‬

ْ َّ‫ج َّن َة لَ ُت َزي‬


‫ن‬ َ ‫ن ا ْل‬
َّ ‫ ِإ‬،‫الس َن َة ُكلَّ َها‬
َّ ‫ان‬
ُ ‫ض‬َ ‫َي ُك ْونَ َر َم‬

...‫ل‬ َ ‫ل ِإلَى ا ْل‬


ِ ‫ح ْو‬ ِ ‫ح ْو‬ ِ ‫ن َرْأ‬
َ ‫س ا ْل‬ ْ ‫لِ َر َمضَانَ ِم‬
Seandainya hamba-hamba itu mengetahui apa yang ada di bulan Ramadlan
niscaya umatku berangan-angan agar Ramadlan setahun penuh. Sesungguhnya
surga dihiasi untuk Ramadlan dari ujung tahun ke tahun berikutnya. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1886, Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudlu'at
2/188-189, Abu Ya'la dalam Musnadnya sebagaimana di dalam Al-Mathalib
Al-'Aliyah (qaf 46/alif-ba/naskah manuskrip) dari jalan Jarir bin Ayub Al-Bajali
dari Sya'bi dari Nafi' bin Bardah dari Abu Mas'ud Al-Ghifari).
Hadits ini maudlu', cacatnya pada Jarir bin Ayyub. Ibnu Hajar menyebutkan
biografinya dalam Lisanul Mizan (2/101) dan berkata: "Dia terkenal dengan
kelemahannya." Kemudian Ibnu Hajar menukil ucapan Abu Nu'aim tentang dia:
"Dia pemalsu hadits," sedang dari Bukhari: "Dia meriwayatkan hadits mungkar"
dan dari Nasai: "Dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)!! Ibnul Jauzi
menghukumi dia sering memalsukan hadits.

‫ش ْه ٌر‬
َ ،‫م‬
ٌ ‫ظ ْي‬
ِ ‫ش ْه ٌر َع‬ ْ ‫اس َق ْد َأظَلَّك‬
َ ‫ُم‬ ُ ‫يَا َأيُّ َها ال َّن‬

‫صيَا َم ُه‬
ِ ‫هللا‬
ُ ‫ل‬ َ ‫ج َع‬
َ ‫ش ْه ٍر‬ ِ ‫ن َأ ْل‬
َ ‫ف‬ ْ ‫خ ْي ٌر ِم‬ ٌ َ‫ه لَ ْيل‬
َ ‫ة‬ ِ ‫فِ ْي‬

‫ه‬
ِ ‫ب فِ ْي‬ ْ ‫ َم‬،‫ه تَطَ ُّوعً ا‬
َ ‫ن تَق ََّر‬ ِ ِ‫م لَ ْيل‬
َ ‫ض ًة َوقِيَا‬
َ ‫َف ِر ْي‬

‫ما‬ َ ‫ن َأ َّدى َف ِر ْي‬


َ ‫ض ًة فِ ْي‬ ْ ‫م‬ َ ‫ن ا ْل‬
َ ‫خ ْي ِر َكانَ َك‬ ٍ َ ‫صل‬
َ ‫ة ِم‬ ْ ‫خ‬
َ ِ‫ب‬

‫سط ُُه َم ْغ ِف َر ٌ]ة‬


َ ‫ة َو َو‬
ٌ ‫م‬ ْ ‫ش ْه ٌر َأ َّول ُُه َر‬
َ ‫ح‬ َ ‫ه َو‬
ُ ‫ َو‬...‫س َوا ُه‬
ِ

...‫ار‬
ِ ‫ن ال َّن‬
َ ‫ق ِم‬
ٌ ‫ع ْت‬
ِ ‫خ ُر ُه‬
ِ ‫َوآ‬
Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan yang di dalamnya
ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasa
pada bulan itu sebagai kewajiban dan shalat malam sebagai sunnah.
Barangsiapa bertaqarub di dalamnya dengan satu kebaikan, maka dia seperti
menunaikan suatu kewajiban pada bulan lain... Ramadlan adalah bulan awalnya
adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan dan akhirnya adalah
kemerdekaan dari api neraka...
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 1887, Al-Muhamili dalam
Amalinya no. 293, Al-Ashbahani dalam At-Targhib (qaf/178, ba'/naskah
manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid bin Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari
Salman.
Sanad hadits ini lemah, karena kelemahan Ali bin Zaid. Ibnu Sa'ad berkata:
"Dia (Ali bin Zaid) lemah, tidak dapat dijadikan hujah." Ahmad bin Hanbal
berkata: "Dia tidak kuat." Ibnu Ma'in berkata: "Dia dlaif." Ibnu Abi Haitsamah
berkata: "Dia dlaif dalam segala hal." Ibnu Khuzaimah berkata: "Aku tidak
berhujah dengannya karena hapalannya jelek." Demikian dalam Tahdzibut
Tahdzib (7/322-323).
Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits tersebut, dengan
ucapan: "Jika hadits ini shahih." Ibnu Hajar berkata dalam Al-Athraf: "Tidak
diperselisihkan tentang Ali bin Zaid bin Jad'an, dia adalah dlaif.
Ibnu Abi Hatim menukil dari ayahnya (Abu Hatim) di dalam I'lalul Hadits
1/249): "Hadits ini mungkar."

‫ح ْوا‬
ُّ ‫ص‬
ِ َ‫ص ْو ُم ْوا ت‬
ُ
Puasalah kalian, niscaya kalian sehat.
Ini adalah potongan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Al-Kamil
7/2521 dari jalan Nahsyal bin Said dari Ad-Dlahhak dari Ibnu Abbas radliyallahu
'anhuma. Nahsyal adalah matruk, dia berdusta dan Ad-Dlahhak tidak mendengar
langsung dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma.
Diriwayatkan pula oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath (1/qaf – 69/alif –
Majma'ul Bahrain). Demikian pula Ibnu Bukhait dalam Juz'unya sebagaimana
dalam Syarhul Ihya' 7/401 dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud
dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Abu Hurairah
radliyallahu 'anhu.
Sanad hadits ini lemah. Abu Bakar Al-Atsram berkata: "Aku mendengar
Ahmad berkata: "Mereka (orang-orang Syam) meriwayatkan beberapa hadits
munkar dari Zuhair." Abu Hatim berkata: "Hapalan Zuhair jelek. Haditsnya
ketika di Syam lebih munkar daripada haditsnya di Irak karena hapalannya
jelek." Al Ajali berkata: "Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh penduduk Syam
darinya tidak menakjubkan aku." Demikian dalam Tahdzibul Kamal 9/417.
Aku (Syaikh Ali) katakan bahwa Muhammad bin Sulaiman adalah penduduk
Syam. Biografinya terdapat dalam Tarikh Dimasyk 15/qaf 386 – naskah
manuskrip). Riwayatnya dari Zuhair –sebagaimana ditegaskan oleh para imam-
adalah munkar. Di antaranya adalah hadits ini.

َ ‫ن غَ ْي ِر ُع ْذ ٍر َوال‬ ْ ‫ن َأ ْفطَ َر َي ْو ًما ِم‬


ْ ‫ن َر َمضَانَ ِم‬ ْ ‫َم‬

.‫صا َم ُه‬
َ ‫ه ِر َوِإ ْن‬
ْ ‫ص ْو ُم ال َّد‬
َ ‫ه‬
ِ ‫ض‬ ْ َ‫ض ل‬
ِ ‫م يَ ْق‬ ٍ ‫َم َر‬
Barangsiapa membatalkan (puasanya) satu hari dari bulan Ramadlan tanpa
udzur dan sakit, maka tidak dapat diqadla` walaupun dia puasa sepanjang
tahun.
Hadits ini disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya (4/160 – Fathul Bari)
secara mu'alaq tanpa sanad. Disebutkan sanad-sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah
dalam Shahihnya 1987, Tirmidzi 723, Abu Dawud 2397, Ibnu Majah 1672, Nasai
dalam Al-Kubra, sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 10/373, Al-Baihaqi 4/228,
Ibnu Hajar dalam Ta'liqut Ta'liq 3/170 dari jalan Abul Muthawwis dari ayahnya
dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu.
Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/161: "Hadits ini banyak
diperselisihkan pada Habib bin Abi Tsabit. Sehingga hadits ini memiliki tiga 'ilat
(cacat), yaitu: idltirab (sanadnya goncang), keadaan Abul Muthawis majhul
(tidak dikenal), Abul Muthawwis mendengar dari ayahnya dari Abu Hurairah
diragukan.
Ibnu Khuzaimah setelah meriwayatkan hadits ini berkata dengan ucapan:
"Aku tidak mengetahui siapa Ibnul Muthawis dan ayahnya." Sehingga hadits ini
juga dlaif.
Demikian empat hadits yang didlaifkan oleh para ulama. Meskipun demikian
masih sering terdengar dan terbaca pada setiap bula Ramadlan yang diberkahi
ini khususnya. Memang sebagian hadits tersebut mengandung makna yang
shahih yang terdapat dalam syariat kita yang lurus ini, namun tidak boleh kita
sandarkan hadits yang tidak shahih itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Wallahu a'lam.
 
Sumber: Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M rubrik
Mabhats

[1] Yakni dari segi adanya dalil tentang asal amal itu, bukan dari segi adanya dalil yang
menetapkan pahala yang khusus pada amal itu. (Ilmu Ushulil Bida' hal. 15)
[2] Lihat keterangan kedlaifannya dalam Al-Irwa` 241, Ilmu Ushul Bida' 157.
[3] Yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.

Anda mungkin juga menyukai