Anda di halaman 1dari 3

1.

Ciri-ciri hadis maudhu (lemah) pada sanad (silsilah periwayat)


Berhubungan dengan masalah ini, ulama telah mengemukakan beberapa cara untuk mengetahui hadis
maudhu berdasarkan pada perawi-perawinya:

 Melalui pengakuan dari perawi (periwayat) tersebut yang menyatakan bahwa dia telah membuat

hadis-hadis tertentu. Ini adalah bukti yang paling kuat untuk menilai suatu hadis.

 Hal ini dilihat pada pengakuan yang dibuat oleh beberapa individu yang mengaku telah
menciptakan hadis.
 Melihat tanda-tanda atau bukti yang dianggap seperti pengakuan dan pemalsu hadis. Cara ini
tidak dapat dilakukan kecuali dengan mengetahui tahun lahir dan kematian perawi, serta
melacak negeri-negeri yang pernah dikunjunginya. Oleh sebab itu, ulama hadis membagi perawi
kepada beberapa peringkat dan mengenali mereka dari semua sudut sehingga tidak tersembunyi
sesuatupun keadaan perawi tersebut.

Dengan melihat pada perawi yang telah dikenal dan dinyatakan sebagai pendusta.

Baik melalui suatu riwayat yang berbeda dengan riwayat yang sahih, dan tidak ada perawi tsiqah yang
meriwayatkannya.

2. Ciri-ciri hadis maudu berdasarkan matan


untuk mengetahui kepalsuan suatu hadis berdasarkan pada matan, di antaranya:

 Bertentangan dengan nash al-Qur’an. Contohnya hadis yang berkenaan dengan umur dunia
hanya tujuh ribu tahun, hadis ini merupakan suatu kedustaan karena seandainya hadis
tersebut sahih pasti setiap orang akan mengetahui jarak waktu saat ini hingga hari kiamat. Hal
ini bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa hari kiamat adalah hal gaib
yang hanya diketahui oleh Allah.
 Bertentangan dengan Sunnah. Setiap hadis yang memberi makna kepada kerusakan,
kezaliman, sia-sia, pujian yang batil, celaan yang benar, semuanya tidak berhubungan dengan
Nabi. Contohnya hadis tentang orang yang bernama Muhammad dan Ahmad tidak akan
masuk Neraka, hadis ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena orang tidak dapat
diselamatkan dari Neraka hanya karena nama atau gelar, akan tetapi diperoleh melalui iman
dan amal salih.
 Bertentangan dengan ijma. Setiap hadis yang menyebutkan dengan jelas tentang wasiat Nabi
kepada Ali bin Abi Thalib atau pemerintahannya adalah maudhu. Karena pada dasarnya Nabi
tidak pernah menyebut tentang seorangpun sebagai khalifah setelah wafat.
 Kandungan hadis yang mengada-ada dalam pemberian pahala terhadap sesuatu amalan kecil
dan ancaman yang besar terhadap perbuatan yang buruk.
 Kandungan hadis yang tidak dapat diterima oleh akal.
3. Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Umat Islam telah sepakat (ijmak) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’
dengan sengaja adalah haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum syarak, cerita-
cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya.

Yang menyelisihi ijmak ini adalah sekumpulan ahli bid’ah, di mana mereka mengharuskan
membuat hadits-hadits untuk menggalakkan kebaikan (targhib), menakut-nakuti kepada
kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Mereka berpendapat bahwa targhib dan
tarhib tidak masuk dalam kategori hukum-hukum syarak.

Pendapat ini jelas salah karena, Rasulullah dengan tegas memberi peringatan kepada orang-
orang yang berbohong atas nama beliau seperti sabdanya “Sesungguhnya pembohongan atas
namaku tidak seperti pembohongan atas siapapun. Siapa yang berbohong atas namaku, maka
dia dengan sengaja menyiapkan tempatnya di dalam neraka”, “Janganlah kamu berbohong atas
namaku, karena sesungguhnya orang yang berbohong atasku akan masuk neraka”.[viii]

Para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, sepakat mengharamkan berbohong dalam perkara-
perkara yang berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan targhib dan
tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu dari dosa-dosa besar. Para ulama telah berijmak
bahwa haram berbohong atas nama seseorang, apalagi berbohong atas seorang yang
diturunkan wahyu kepadanya.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlu Sunnah wal Jamaah berkenaan dengan
kedudukan orang yang membuat hadits tersebut, apakah dia menjadi kafir dengan
perbuatannya itu dan adakah periwayatannya diterima kembali sekiranya dia bertaubat.
Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa orang yang membuat hadits-hadits maudhu’ tidak
menjadi kafir dengan pembohongannya itu, kecuali ia menganggap perbuatannya itu halal.

Tetapi menurut Abu Muhammad al-Juwaini, ayah Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali (W.478H),
salah seorang mazhab Syafie, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan pembohongan
tersebut secara sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat ini dianggap lemah oleh
Imam al-Haramain sendiri.

4. KESIMPULAN
 Hadits Maudhu’ bisa berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik itu dari golongan orang biasa
yang sengaja membuatnya demi kepentingan tetentu, atau para ahli hikmah, orang zuhud,
bahkan Isra’iliyyat. Selain itu bisa juga merupakan kesalahan rawi dalam periwayatan dengan
syarat dia mengetahui kesalahan itu namun dia membiarkannya
 Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para ‘ulama hadits sebagai dasar memeriksa benar
tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang maudhu’ secara
garis besar terbagi menjadi dua, yaitu dilihat dari sudut pandang matan dan sanad. Oleh karena
itu para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan
juga mereka memperhatikan matannya.

5. DAFTAR PUSTAKA

 Al-Khatib, Ajjaj. 1981, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Mushthalahuh. Beriut: Dar Al-Fikr


 Al-Siba’i, Mustafa. 1985. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al_tasyri’ al-Islami. Beirut : al-Maktab al-
Islami.
 Zarkasih. 2012. Pengantar Studi Hadits. Yogyakarta : Aswaja Pressindo

[1] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Cet. Ke-4,
hlm. 275.

[2] Hadis ini mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 60 sahabat, bahkan ada yang mengatakan lebih dari
200 sahabat.

[3] Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm. 416-417 dan Subhi al-Shalih, op.cit., hlm. 266-267.

[4] Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 92-93.

[5] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 79.

[6] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 86-87.

[7] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 86-87.

[8] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 215

[9] ‘Ajjaj al-Khatib, op.cit., hlm.432-436

[10] Musthafa al-Siba’i, op.cit., hlm. 91-95.

Anda mungkin juga menyukai