Anda di halaman 1dari 15

HADIST DHA’IF

Oleh :

Gunawan
NPM. 2270031004

Mata Kuliah: Studi Al Sunah Tematik

Dosen Pengampu: Dr. Abdul Malik Ghozali, M.A

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


RADEN INTAN
LAMPUNG
2023

1
A. Pendauhluan
1. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa Hadits sebagai sumber ajaran Islam
menempati posisi yang sangat urgen bagi umat Islam, sebab tanpa Hadits
nampaknya beberapa hal yang terdapat di dalam Al - Qur’an masih belum rinci
dan jelas. Jumhur Ulama’ telah sepakat kalau Hadits menjadi sumber hujjah yang
kedua setelah Al - Qur’an dan sudah tidak diperdebatkan lagi, kecuali orang-orang
yang sengaja mungkir terha dap keberadaan Hadits sebagai sumber ajaran Islam
(Yuslem, 1997).
Hanya saja di dalam Hadits sendiri banyak terdapat Hadits – Hadits yang
tertolak dijadikan sebagai hujjah, karena beberapa faktor. Sehingga para ahli
Hadits sepakat membuat klasifikasi, mana suatu Hadits dapat dikatakan maqbul
(diterima) dan mana Hadits dapat dikatakan mardud (ditolak). Hadits ditinjau dari
sisi banyaknya perawi dibagi dalam klasifikasi mutawâtir dan ahad. Sedang
Hadits ahad ditinjau dari sisi jumlahnya perawi ada tiga yaitu masyhur, aziz dan
gharib. Sedangkan jika ditinjau dari sisi diterima dan ditolaknya maka ada tiga
yakni sahih, hasan dan Dha’if (Smeer, 2008).
Berangkat dari beberapa latar belakang di atas dan pembatasan masalah
yang akan dibahas, maka makalah ini hanya akan membahas seputar Hadits
Dha’if baik ditinjau dari pengertian, pembagian dan kehujjahan serta
meriwayatkannya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan malasah yang
diajukan adalah apaah yang dimaksud dengan hadist dha’if itu dan apa sajakah
macamnya?

2
B. Pembahasan
1. Definisi Hadist Dha’if
Penggunaan hadis dha’if menurut al-Suyuti adalah bahwa jika ditemukan
sebuah riwayat hadis dari jalur yang dha’if, maka tidak diwajibkan untuk
mencapai dari mengumpulkan kebaikannya. Akan tetapi, jika hadis dha’if tersebut
tidak begitu dha’if dan kedatangannya dari jalur riwayat lain yang dipercaya,
maka hadis tersebut menjadi hasan. Berkaitan dengan hal ini, al-Suyuthi
menetapkan tiga persyaratan kepada hadis yang dha’if agar dapat diterima
periwayatannya. Tiga persyaratan tersebut sebagai berikut (Al - Suyuthi , 2012):
1) Kelemahan-kelemahan tersebut tidak keterlaluan. Sehingga jika perawi
merupakan orang-orang yang memang dikenal sebagai orang yang pembohong,
atau tertuduh dusta, atau juga sebagai seseorang yang dikenal sangat tidak
akurat, maka periwayatan-periwayatan tidak bisa diamalkan. Syarat pertama ini
merupakan syarat yang disepakati oleh para ahli hadits.
2) Kedua, makna hadis yang dimaksud tersebut masih termasuk ke dalam suatu
tema dasar umum yang diakui. Sehingga setiap hadis yang “dikarang” begitu
saja seperti hadis mawdhu’, dan hadis yang tidak memiliki alasan sama sekali
harus ditolak.
3) Ketiga, pada saat penerapannya, hendaknya dipercayai dengan sikap ihtiyath
(berhati-hati). Dengan kata lain, hadis tersebut hendaknya dipercayai sebagai
hadis yang datangnya dari Nabi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
penisbahan suatu ucapan kepada beliau, sedangkan beliau sendiri tidak
mengucapkannya.

Al-Suyuthi selanjutnya mengatakan bahwa persyaratan yang ketiga dan


kedua dinukilkan dari Ibn Abd As-Salam dan Ibn Daqiq Al-‘Id. Sedangkan yang
pertama, menurut Al-‘Ala’iy, disepakati oleh para ahli hadits (Qardhawi, 1997).
Berdasarkan analisis terhadap hadis-hadis puasa ramadhan di atas dan mengikuti

3
ketiga persyaratan tersebut, kelemahan hadis-hadis yang al-Suyuthi cantumkan
dalam kitab tafsirnya tidak keterlaluan.

Hal ini terlihat setelah dilakukan penelitian dan i’tibar sanad pada tiap-tiap
hadis, keseluruhan melalui jalur periwayatan yang mana dalam jalur
periwayatannya tersebut terdapat perawi yang di-jarh. Beberapa pen-jarh-an yang
dilakukan menggunakan tingkat jarh yang menyifati rawi dengan sifat-sifat yang
menunjuk kelemahannya, akan tetapi sifat-sifat itu tidak menggugurkan
keadilannya dikarenakan berdekatan dengan tingkatan ’adil seperti ungkapan
layyin al hadits, sehingga ke-dha’if-an hadis tersebut tidak terlalu dha’if.
Contohnya terdapat pada hadis ke-sepuluh yang menyebutkan ‘Abdu Shamad bin
Ḫabīb merupakan perawi yang disebut Layyin, maka sesungguhnya rawi tersebut
tidak berarti gugur dan hadisnya jatuh. Ia hanya mengalami jarh karena suatu hal
dan tidak menggugurkan keadilannya. Begitu juga dengan perawi yang di jarh
dha’if (Ismail, 2006).
Selain ungkapan layyin, perawi yang disebut sebagai perawi yang mastūr
juga termasuk ke dalam pen-jarh-an tidak terlalu keras, sehingga ke-dha’if-an
tersebut tidak terlalu dha’if. Seperti pada Muhammad bin Muhammad al-Aswad,
perawi yang terdapat dalam analisis hadis ke-empat, yang dikatakan sebagai rawi
yang mastur1. Jumhur ulama berpendapat bahwa perawi yang mastūr boleh jadi
bukanlah periwayat yang adil, sehingga riwayatnya tidak dapat diterima jika
belum jelas karakteristiknya. Akan tetapi Ibnu Hajar berpendapat lain, beliau
menghendaki bahwa keadaan majhul al-hal atau mastūr bukanlah suatu jarh atau
cacat bagi perawi tersebut (Ismail, 2006).
Makna hadis-hadis yang al-Suyuthi cantumkan dalam kitab tafsirnya Tafsir
al-Durr al-Mantsur hadis yang dimaksud tersebut masih termasuk ke dalam suatu
tema dasar umum yang diakui. Contohnya pada hadis pertama dan kedua yang
1
Mastur: yaitu rawi majhul yang hadis-hadisnya diriwayatkan oleh dua orang atau lebih,
tetapi tidak seorang pun dari murid-muridnya itu menilainya sebagai orang yang tsiqah.

4
membahas tema berbuka puasa satu hari di bulan Ramadhan dengan tanpa
rukhshoh dan ‘udzur, maka harus menggantinya di hari yang lain. Hal ini
memiliki tema yang sama dengan Qs. Al-Baqarah [2]: 184.

Artinya:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan. Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik

bagimu jika kamu mengetahui.(Qs. al-Baqarah [2]: 184)

Ayat tersebut memiliki kandungan tema yang sama yakni tentang pengganti
puasa di hari yang lain apabila melewatkan puasa di hari-hari bulan Ramadhan,
sebagaimana juga yang terdapat dalam tema hadis ke dua belas. Hadist ke – 12.

Artinya:
Dari Abdullah bin Amr bertanya kepada Nabi saw. tentang pelaksanaan puasa
Ramadhan, Nabi menjawab: laksanakanlah puasa dengan berurutan dan jika
terputus, maka gantilah.

Apabila diriwayatkan sebuah hadis dari jalur yang dha’if, belum tentu hadis
tersebut merupakan hadis yang dha’if disebabkan kumpulan kedha’ifannya, akan
tetapi dimungkinkan terdapat jalur periwayatan lain yang terpercaya, maka jadilah
hadis tersebut naik derajatnya menjadi hadis yang ẖasan. Hal ini dikarenakan

5
sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya,
sehingga tingkatan hadisnya itu pun akan berbeda-beda dengan sendirinya.
Bahkan terdapat hadis yang kadar kelemahannya kecil sehingga hampir dihukumi
sebagai hadis hasan (Al - Suyuthi , 2012; Salihima, 2010).
Kedhaifan yang terjadi pada sanad belum tentu menunjukkan kedhaifan
pada matan. Hal ini salah satu hal penting yang yang menunjukkan kejelian
seorang peneliti hadis berkaitan dengan analisis kritis terhadap hadis. Kedhaifan
sanad yang terjadi tidak senantiasa menimbulkan dhaifnya matan. Persis
sebagaimana halnya kesahihan sanad tidak menjamin kesahihan matan. Dengan
kata lain, terkadang suatu hadis sanadnya dha’if tetapi matannya sahih karena
hadit tersebut ternyata diriwayatkan pula oleh jalur periwayatan yang lain,
sebagaimana terkadang suatu sanad yang sahih tetapi memiliki sanad yang sahih
tetapi matannya dha’if karena cacat atau memiliki kejanggalan (Salihima, 2010).
Terkait pembahasan tersebut muhadditsin memberikan komentar bahwa
apabila dijumpai suatu hadis dengan sanad yang dha’if, maka hendaklah dikatakan
“hadis ini dha’if menurut sanad ini”, dan jangan mengatakan “hadis ini dha’if”,
hal ini sebagaimana yang telah diungkapkan oleh sebagian mujtahid dalam ilmu
hadis. Ungkapan pertama menunjukkan bahwa yang dha’if adalah jelas terdapat
pada matannya, dan ungkapan yang kedua menunjukkan bahwa yang dha’if
adalah matannya dan sanadnya sekaligus, padahal yang baru diketahui adalah
sanadnya saja, sedangkan bisa jadi matan hadis yang sanadnya dha’if tersebut
merupakan matan yang sahih dikarenakan tredapat jalur lain yang lebih sahih juga
meriwayatkan hadis tersebut. Akan tetapi, dalam menghukumi suatu hadis pun
kita boleh berpegang kepada keterangan yang diberikan oleh seorang imam hadis
yang hafizh bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh jalur hadis lain yang
sahih, atau bisa juga berpegang pada penilaian lain yang dianggap mutlak bahwa

6
hadis tersebut dha’if, bisa juga berpegang kepada keterangan lain yang sudah
menjelaskan letak cacat dan kejanggalan hadis tersebut (Al - Suyuthi , 2012).
Terdapat beberapa macam hadits dhaif yang perlu diketahui umat Muslim
sebagai wujud kehati-hatian dalam beribadah, diantaranya adalah (Anonim,
2021):
a) Dhaif dari Sudut Sandaran Matannya
Dari sandaran matannya, hadits dhaif terbagi menjadi hadits mauquf dan
maqthu. Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat yang
berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. Sedangkan hadits Maqhtu
diriwayatkan dari Tabi’in.
Contoh hadits mauquf yaitu saat Ibnu Umar berkata, “Bila kau berada di
waktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada
diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu
sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk
persediaan matimu.” (Riwayat Bukhari).
b) Dha’if dari sudut Matannya
Hadits Syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqah
(terpercaya), namun kandungan haditsnya bertentangan dengan yang diriwayatkan
oleh para perawi yang lebih kuat derajat ketsiqahannya.

7
c) Hadist dari sudut Sanad atau Matan
Kedhaifan suatu hadits terkadang terjadi pada sanad atau matannya.
Mengenai hal ini, hadits dhaif dibedakan menjadi tiga, yaitu:
(1) Hadits Maqlub, yang sanad atau matannya berubah karena ada lafal
yang mestinya diakhirkan namun didahulukan, atau sebaliknya. Ini
disebabkan oleh kurang kuatnya hafalan perawi. Contohnya hadits
Muslim dari Abu Hurairah r.a yang artinya: “... dan seseorang yang
bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga
tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh
tangan kirinya”. Terjadi pemutarbalikan dengan hadits riwayat Bukhari
atau riwayat Muslim sendiri pada tempat lain yang berbunyi, “(hingga
tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan
kanannya.)”. Tukar menukar pada sanad juga bisa terjadi, contohnya
rawi Ka’ab bin Murrah menjadi Murrah bin Ka’ab.
(2) Hadits Mudraf, hadits yang di dalamnya terdapat sisipan atau tambahan.
(3) Hadits Mushahhaf. Terdapat perbedaan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh tsiqah, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf,
lafadz, atau makna yang diubah. Akibatnya maksud hadits menjadi jauh
berbeda dari makna semula.
d) Dha’if dari sudut Matan dan Sanadnya
Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanad adalah hadits
maudhu. Yakni hadits yang disanadkan dari Rasulullah SAW secara dibuat-buat
dan dusta, padahal sang Rasul tidak pernah mengatakan, melakukan, dan
menetapkannya. Yang kedua adalah hadits munkar, hanya diriwayatkan oleh
perawi yang lemah dan bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang terpercaya.
e) Dha’if dari segi Persambungan Sanadnya

8
Kategori hadits yang dhaif menurut persambungan sanadnya, yaitu:
(1) Hadits Mursal: perawi dari golongan sahabat hilang atau tidak
disebutkan. Ciri hadits mursal lazimnya disampaikan oleh tabi’in tanpa
menyebutkan nama sahabat, dan langsung menyebut nama Rasulullah
SAW.
(2) Hadits Mungqathi: hadits yang gugur pada sanadnya. Pada sanad
disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.
(3) Hadits Mu’dhal: hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih secara
berturut-turut. Baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in, atau
antara tabi’in dengan tabi’in.

2. Klarifikasi Hadist Dha’if


Secara teori, ulama hadits telah menyepakati diperbolehkannya
meriwayatkan hadits dhaif. Itu terbukti dengan banyaknya hadits-hadits dhaif
yang tersimpan di sejumlah kitabkitab hadits. Semisal kitab-kitab sunan (Sunan
Abi Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, dan
sunan-sunan yang lain). Imam Muhammad bin Thahir al Maqdisi dalam kitabnya
"Syurut al-Aimmah al-Sittah" menjelaskan metodemetode ulama-ulama kutubus
sittah (shahih al-Bukhari, shahih Muslim, sunan Abi Dawud, sunan al-Tarmidzi,
sunan an-Nasai, sunan Ibnu Majah) dalam meriwayatkan dan pengambilan suatu
hadits.
Dalam sunan Abi Dawud misalnya, imam Ibnu Thahir al-Maqdisi
menjelaskan bahwa metode Abu Dawud membagi hadits-haditsnya menjadi tiga
bagian; pertama: hadits shahih sebagaimana dalam shahih al-Bukhari dan Muslim.
Kedua: hadits shahih sesuai dengan standart Abu Dawud yang tidak ada di shahih
al-Bukhari dan Muslim. Ketiga: hadits tidak shahih, yang diriwayatkan untuk
melawan suatu pendapat dalam suatu bab fiqih (Muhammad, 1984).

9
Di sisi lain, Imam Abu Dawud sendiri juga telah menjelaskan metodenya
dalam kitabnya "Risalah Abi Dawud Ila Ahli Makkah fi Wasfi Sunanihi", beliau
mengatakan: "dalam kitab sunan yang saya karang ini tidak ada perawi yang
matruk (yang ditinggalkan haditsnya, yakni karena diduga berdusta), dan jika ada
hadits munkar (hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah
yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya),
maka saya jelaskan kemunkarannya,…dan jika ada hadits yang sangat lemah
maka akan saya jelaskan, dan juga ada hadist yang tidak shahih sanadnya (Al -
Sijistani, 1997).
Dalam sunan at-Tirmidzi, imam Ibnu Thahir al-Maqdisi menjelaskan bahwa
al-Tirmdzi membagi hadits dalam sunannya menjadi empat bagian; bagian ketiga
yaitu hadits yang diriwayatkan sebagaimana dalam bagian ketiga dalam sunan
Abu Dawud dengan menjelaskan kecacatan haditsnya. Bagian keempat yaitu tidak
ada satu hadits yang diriwayatkan al-Tirmidzi dalam sunannya kecuali telah
diamalkan oleh sebagian para fuqaha. Metode atau bagian keempat ini adalah
bagian yang cukup luas, yang mencakup hadits yang shohih sanadnya, dan juga
hadits yang tidah shahih sanadnya (Muhammad, 1984).
Dari pernyataan imam al-Maqdisi, serta pernyataan dari Imam Abu Dawud
dan Imam al-Tirmidzi sendiri telah menunjukkan adanya hadits-hadits dhaif di
kitab-kitab mereka. Bahkan kalau kita menganalisa kitab-kitab yang mensyaratkan
hadits shahih, seperti shahih Ibnu Hibban, mustadrak ala shahihain imam al-
Hakim, shahih Ibnu Khuzaimah dan kitab-kitab yang lain, kita akan menemukan
hadits dhaif pula. Bahkan Imam al-Bukhari dalam beberapa kitabnya, yang
sebagian orang dianggap sangat keras menolak hadits dhaif, akan kita temukan
hadits-hadits dhaif, seperti kitab al-Adab al-Mufrad, kitab Rafúl Yadain fi al-
Shalah, kitab al-Qiraáh Khalfil Imam, dan kitab-kitab yang lain.

10
Adapun hukum mengamalkan hadits dhaif, secara teori, imam Syamsuddin
bin Abdurrahman al-Sakhowi murid dari al-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani
menyebutkan ada 3 madzhab dalam mengamalkan hadits dhaif, antara lain (Al -
Sakhowi, 1979):
(1) Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam fadhail a'mal,
maupun dalam hukum syariat (halal, haram, wajib dan lain-lain) dengan
syarat dhaifnya tidak dhaif syadid (lemah sekali), dan juga tidak ada dalil
lain selain hadits tersebut, atau dalil lain yang bertentangan dengan hadits
tersebut. Prof. Dr. Nuruddin Itr mengatakan dalam manhaj al-naqd fi ulum
al-haditsnya bahwa ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Imam Abu
Dawud. Imam Ahmad berkata: hadits dhaif lebih kami sukai dari pada
pendapat ulama (ra'yu), karena dia tidak mengambil dalil qiyas kecuali
jika tidak ada nash lagi. Imam Ibnu Mandah juga berkata: imam Abu
Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad yag dhaif jika tidak ada dalil
lain selain hadits tersebut, karena menurut Abu Dawud hadits dhaif lebih
kuat dari pada (ra'yu). Prof. Dr. Khalil Mula al-Khatir dalam salah satu
kajiannnya yang berjudul "khuthurah Musawati al-Hadits al-Dhaif Bil
Maudhu ''menyatakan bahwa diantara para ulama hadits dan fuqoha yang
mengikuti madzhab ini adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi'I, Imam Ibnu Hazm, Imam Abu hatim al-Razi, Imam al-Auzai, Imam
Sufyan al-Tsauri”.
(2) Boleh dan sunnah mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal,
zuhud, nasehat, kisah-kisah, selain hukum syariat dan akidah, selama
hadits tersebut bukan hadits maudu' (palsu). Ini adalah madzhab jumhur
ulama dari muhaditsin, fuqoha dan ulama yang lain. Diantara ulama yang
berpendapat madzhab ini adalah Imam Ibnu alMubarak, Imam
Abdurahman bin al-Mahdi, Imam Ibnu al-Shalah, Imam al-Nawawi, Imam

11
al-Sakhawi, dan para ulama hadits yang lain, bahkan Imam al-Nawawi
menyatakan kesepakatan ulama hadits, ulama fuqoha dan ulama-ulama
yang lain dalam mengamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail a'mal, zuhud,
kisah-kisah dan halhal yang lain selain perkara yang berhubungan dengan
hukum syariat dan akidah.
(3) Tidak boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak, baik dalam hal
fadahil a'mal maupun dalam hukum syariat. Ini adalah madzhab Imam
Abu Bakar Ibnu alArabi, al-Syihab al-Khafaji, dan al-Jalal al-Dawwani.
Sekarang kita akan menganalisa pengamalan hadits dhaif dari para ulama
hadits sekaligus ulama fiqih secara praktis. Imam Malik semisal, Imam
Ibnu Abdil Bar dalam Tamhidnya menyatakan ada 61 hadits dengan shigat
balaghat (disampaikan) dan hadits mursal, namun semuanya
disambungkan sanadnya oleh beliau, kecuali 4 hadits. Dan hadist dengan
bentuk balaghot dan hadist mursal termasuk dalam kategori hadist dhaif.
Contoh lain dalam masalah mengusap kaos kaki dalam bersuci, Imam
Malik tidak menentukan waktunya berdasarkan perkataan sahabat dan
tabi'in, padahal ada hadits nabi dengan sanad muttasil menentukan
waktunya, 3 hari untuk musafir, sehari semalam untuk muqim.
3. Penjelasan
Sebagaimana diketahui bersama, bahwasannya Ulama sepakat bahwa
mengamalkan hadits dhaif dibolehkan, selama tidak berkaitan dengan hukum
halal dan haram, akidah, dan hanya sebatas fadha’il amal. Dengan demikian,
menyampaikan hadits dhaif, seperti mengutip hadits dhaif dalam buku atau
menyampaikannya dalam pengajian dan majelis taklim dibolehkan.
Banyak orang yang mengatakan bahwa hadits dhaif itu sama seperti hadits
maudhu/palsu. Padahal perbedaannya sangat jelas seperti di pembahasaan awal.
Berikut contoh dari hadits dhaif : Diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya

12
bin Abi Katsir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah menyatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang sholat 6 rakaat setelah sholat maghrib
dan tidak berbicara sedikit pun di antara sholat tersebut, maka baginya sebanding
dengan pahala ibadah selama 12 tahun”.
Imam ahmad dan Yahya bin Main mengatakan bahwa hadits dari Umar
tersebut adalah dhaif dan tidak bernilai sama sekali. Ini sependapat dengan Imam
Bukhari bahwa hadits tersebut termasuk dalam hadits munkar di mana urutan
sanadnya sangat lemah. Tak hanya itu, Ibnu Hibban menjelaskan bahwa tidak
halal menyebut hadits di atas kecuali untuk maksud mencatatnya. Sebab, dalam
suatu riwayat dikisahkan, Umar pernah memalsukan hadits atas nama Malik dan
Ibn Abi Dzib.
Contoh hadits lainnya : Diriwayatkan oleh Juraisy an-Nahdy dari seorang
laki-laki Bani Sulaim, Rasulullah bersabda, “Puasa itu setengahnya kesabaran dan
kesucian itu setengahnya iman”. Imam Ibunul Maidi dalam kitab Tahdibut
Tahdzin, sanad hadits ini dikatakan dhaif. Sebab, Juraisy Bin Kulaib adalah
seorang mahjul atau tidak dikenal.
Sedangkan contoh hadits palsu / maudhu yaitu : “Barangsiapa berpuasa di
waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia bagaikan puasa sepanjang waktu”. Hadits ini
dianggap maudhu' sebab menyalahi aqidah Islam dimana seharusnya pada hari
idul fithri sangat diharamkan untuk berpuasa. Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu al-
Bailami yang dikenal telah membuat hadits maudhu' kurang lebih sebanyak 200
hadits. Contoh hadits lainnya : Dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri
China!”. Hadist ini dianggap maudhu' sebab perawinya yang bernama Abu
'Atikah Tharif bin Sulaiman dikenal sebagai pemalsu hadist.
Dari contoh diatas bisa di bedakan bahwa hadits dhaif itu bukan hadits palsu
melainkan hadits yang lemah. Sedangkan hadits maudhu / palsu memang sengaja

13
dibuat dengan memalsukan hadits. Seperti di paragraf kedua bahwa hadits dhaif
boleh di amalkan selama tidak berkaitan dengan hukum halal dan haram, akidah,
dan hanya sebatas fadha’il amal. Sedangkan hadits maudhu / palsu tidak boleh
disebarluaskan apalagi digunakan dalam kehidupan manusia. Hadits maudhu’
tidak diperkenankan dalam alasan apapun untuk digunakan.
Kesimpulan dari pembahasan di atas bahwa hadits dhaif merupakan hadits
yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Hadits dhaif memang
dinisbahkan kepada Rasulullah, tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalan ataupun
kredibilitasnya, atau ada silsilah sanad yang terputus. Sedangkan hadits maudh/
palsu memang hadits yang sengaja di palsukan dan mengatasnamakan Rasulullah
SAW, tetapi sebenarnya bukan perkataan Rasulullah SAW.

C. Kesimpulan
Dari analisa dan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadist dhaif
memiliki macam-macam yang sangat banyak, yang kesemuanya tidak bisa
dihukumi untuk ditolak. Ada hadist dhaif yang bisa diamalkan, seperti hadist
dhaif yang yang disebabkan terputusnya sanad, atau karena majhul, dan yang lain
yang mana kedhaifan hadist tersebut dikategorikan ringan. Dan ada hadist dhaif
yang tidak bisa diamalkan, seperti hadist dhaif yang disebabkan adanya perawi
yang banyak salah dan lupanya (munkar), atau adanya perawi yang dituduh
berdusta (matruk), atau perawi yang pendusta (maudhu’). Untuk pengamalan
hadist dhaif tersebut bisa diamalkan dalam hal fadhoil a’mal, mauidhoh, kisah
dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan para muhadisin di atas.
Mengamalkan hadist dhaif dalam fadhoil a’mal ini merupakan pendapat yang
sudah disepakati para muhadisin dan fuqoha’.

14
Daftar Pustaka

Al - Sakhowi, I. S., 1979. Al-Qoul Al-Badi' Fi Al-Sholah Ala Al-habib Al-Syafi'.


Mesir: Dar Al-Rayyan Li Al-Turats.

Al - Sijistani, A. D., 1997. Risalah Abi Dawud Ila Ahli Makkah fi Wasfi Sunanihi.
Beirut: Al-Maktab Al-Islami.

Al - Suyuthi , A. -. H. J. A. -. D., 2012. Tadrīb Al - Rawī Fi Syarh Taqrīb Al -


Nawawi. Riyadh: Maktabah Al - Kautsar.

Anonim, 2021. Macam-macam Hadits Dhaif dan Hukum Berhujjah Dengannya.


[Online]
Available at: https://kumparan.com/berita-hari-ini/macam-macam-hadits-
dhaif-dan-hukum-berhujjah-dengannya-1viR676omxe/full
[Accessed May 2023].

Ismail, A. H. B. M., 2006. Al-Jawahir As-Sulaimaniah Syarah Mandhumah al-


Baiquniah. Riyadh: Dar al-Kayyan.

Muhammad, I. M. b. T., 1984. Syurut al-Aimmah al-Sittah. Beirut: Dar Kutub Al-
Ilmiyah.

Qardhawi, Y., 1997. Bagaimana Memahami Hadis Nabi. Bandung: Karisma.

Salihima, S., 2010. Historiografi Hadis Hasan dan Dhaif. Jurnal Adabiyah, 10(2),
pp. 212-222.

Smeer, Z. B., 2008. Ulumul Hadist. Malang: UIN Malang Press.

Yuslem, N., 1997. Ulumul Hadist. Ciputat: Departemen Agama Indonesia.

15

Anda mungkin juga menyukai