Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Para ulama muhadditsin telah menetapkan suatu pengkajian yang komperenship tentang hadits. Semuanya dirumuskan dalam salah satu ilmu yang esensial dalam agama islam yakni ilmu hadits. Dalam usaha untuk menjadikan hadits sehingga bisa menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya, maka sangatlah diperlukan pemeriksaan kerena untuk mendapatkan hadits ini tidaklah mudah perlu pengkajian tentang keberadaanya dan sumbernya. Pemahaman dan penyelidikan tersebut haruslah dilakukan dengan saksama karena persoalan tentang hadits ini secara umum berbeda dengan al-quran dan hadits mutawatir yang menfaedahkan secara ilmu darury. Maka dari itu, persoalan yang perlu dipahami dalam masalah ini ialah hadits ahad. Salah satu titik pokok dari kajian dalam ilmu hadits ini ialah hal yang berkenaan dengan bidang pengetahuan haditshadits yang kuat dari yang lemah dan tentang hal-ihwal para perawi yang diterima haditsnya dan ditolak menghasilkan suatu kesimpulan-kesimpulan ilmiah dan istilah-istilah yang mengindikasikan keshahihan atau kedhaifan suatu hadits. Salah satu kajian dari penelitian tersebut ialah ditetapkannya salah satu pembagian hadits dari sisi kehujjahannya. Inilah yang dimaksud dengan hadits yang maqbul dan hadits yang mardud. Yang maqbul ialah yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai hujjah dan yang mardud ialah yang tertolak untuk dijadikan hujjah. B. Batasan Masalah Pembahasan makalah ini hanya terbatas pada persoalan mengenai tinjauan hadits dari sisi diterima tidaknya untuk menjadi hujjah. Yaitu hadits yang maqbul beserta permasalahan pokok yang berkaitan dengannya dan hadits mardud beserta permasalahan pokok yang berkaitan dengannya. C. Tujuan Pembahasan Tujuan dari pembahasan ini ialah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca tentang salah satu bentuk kajian dalam ilmu hadits dari sisi diterima atau ditolaknya suatu hadits untuk dijadikan hujjah. Sehingga pambaca diharapkan bisa mengetahui tentang bagaimana maksud dari hadits yang maqbul dan mardud beserta contoh-contohnya masingmasing. Disamping itu pembahasan ini juga dimaksudkan untuk memenuhi tugas diskusi mata pelajaran ilmu hadits kelas XII dalam topik pembahasan tentang pemahaman mangenai macam-macam hadits ditinjau dari diterima atau ditolaknya menjadi hujjah.

BAB II PEMBAHASAN A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya Pengertian Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.[1] Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta. Klasifikasi Hadits Maqbul Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :

1. 2.

Hadits Shohih[2], baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih. Hadits Hasan[3], baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.

Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW. Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul mamulun bih. Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu mamulin bih. Berikut ini adalah rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut : Hadits Maqbul yang Mamul bih. 1) Hadits Muhkam

Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun. Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit. 2) Hadits Mukhtalif.

Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya. 3) Hadits Rajih

Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya. 4) Hadits Nasikh

Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya. Contoh dari hadits Maqbul mamulul bih banyak sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini. janganlah kamu larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar)[4] Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits nasikh). Yakni sebagai berikut : Barra berkata : sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan. (Riwayat Bukhari) [5]: Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya hendaklah kamu menghadapkan mukamu kearah masjidil haram (kabah). (QS. Albaqarah :144) 1. 1) Hadits Maqbul Ghairu Mamul bih

Hadits Mutasyabih

yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan. 2) Hadits Mutawaqqaf fihi

Yakni dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah dibekukan sementara. 3) Hadits Marjuh

Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh, 4) Hadits Mansukh

Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian. 5) Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan alQuran, Mutawatir, akal yang sehat dan ijma ulama.

Contoh dari hadits Maqbul ghairu mamul bih ini salah satunya ialah tentang hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini : Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[6] Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan menurut akal sehat dan putusan ijma nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan (mashum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu. 1. Persoalan seputar hadits Maqbul

Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka : 1. 2. 3. Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulakan (mengkompromikan) kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila dapat dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan. Kalau usaha pertama gagal, maka kita mencari, mana diantara kedua hadits tersebut yang datang lebih dahulu (Nasikh), dan mana yang datang kemudian (mansukh).[7] Kalau usaha mencari nasikh tidak pula berhasil, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad ataupun matannya untuk ditarjihkan. Dalam hal ini hadits yang lebih kuat tersebut (rajih) diamalkan, sedangkan hadits yang lemah tersebut (marjuh) untuk tidak diamalkan.[8] Jika usaha terakhir juga gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. B. Hadits Mardud dan Permasalahannya 1. 1. Pengertian Hadits Mardud

4. 5.

Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi dhoif[9] Simpulan tentang penyebab-penyebab tidak diterimanya hadits ini akan dijelaskan berdasarkan klasifikasi hadits mardud ini sebagai berikut : 2. Klasifikasi Hadits Mardud a. Adanya Kekurangan pada Perawinya Dalam hal ini, kekurangan pada perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni terbagi menjadi : 1) 2) Dusta (hadits maudlu) Tertuduh dusta (hadits matruk)

3) 4) 5) 6) 7) 8)

Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal Banyak waham (prasangka) disebut hadits muallal Menyalahi riwayat orang kepercayaan Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham) Penganut Bidah (hadits mardud) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

b. Karena sanadnya tidak bersambung 1) 2) 3) 4) Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits muallaq Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mudlal Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi

c. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu.

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan Penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa hadits bila ditinjau dari diterimanya sebagai hujjah terbagi menjadi hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits yang dapat diterima sebagai hujjah disebut dengan hadits maqbul, dengan klasifikasinya terbagi menjadi hadits shohih dan hadits hasan. Sedangkan sebaliknya, hadits yang tidak dapat diterima sebagai hujjah disebut dengan hadits mardud, dengan klasifikasinya terbagi kepada segala macam bentuk hadits dhoif.

B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad

Ahad (baca: aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad . Bila waahid atau ahadberarti satu, maka aahaad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang diberikan oleh ulama batasan hadistahad antara lain berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadistmutawatir , baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk

dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir.

2. Pembagian Hadis Ahad


a. Hadist Masyhur (Hadist Mustafidah)

Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadistmutawatir . Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir . Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini: Yang artinya: Rasulullah SAW bersabda: Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.

b. Hadist Aziz

Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi. Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist aziz. Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini: Yang artinya: Rasulullah SAW bersabda: Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat. (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)

Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist aziz.

c. Hadist Gharib

Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad. Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib. Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut: Yang artinya: Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)

3. Kedudukan Hadis Ahad


Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadistahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist tersebut harus ditolak.

KLASIFIKASI HADIST BERDASARKAN KUALITAS


Label: Kumpulan makalah

I. Pembahasan 1. Hadits Shohih Pengertian Ibnu Sholah mendefinisikan bahwa hadist shohih adalah hadist yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari orang yang memiliki kualitas serupa hingga akhir sanad serta tidak mengandung kejanggalan dan cacat .

Imam Nawawi meringkas definisi diatas menjadi; Hadist yang sanadnya bersambung antara orang-orang yang adil dan sempurna hafalannya dengan tanpa ada kejanggalan ataupun cacat . Dari kedua definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada lima ketentuan hadist shohih, yaitu: 1. al-Musnad (bersambung sanadnya). Maksudnya tiap tiap perawi mendengarkan langsung sanad hadits dari orang yang meriwayatkan sebelumnya. Dengan demikian mengecualikan hadist yang sanadnya tidak bersambung seperti hadist mursal, munqati , muadlal, dll. 2. Diriwayatkan oleh perawi yang adil. Adil adalah orang Islam yang sudah akil balig, berakal, memiliki agama yang kuat, berakhlak baik, tidak fasiq dan terjaga kehormatannya. 3. Masing-masing perawi merupakan orang yang dhabit (memiliki ingatan yang kuat dan pemahaman yang sempurna atas hadist yang diriwayatkan serta mampu menjaga sejak dia memperoleh hadist tersebut sampai kemudian menyampaikannya). Dhabith dibagi menjadi dua : Dhobith Shadri, yaitu ingatan perawi tersebut benar benar kuat menyimpan apa yang ia dengar dalam pikirannya dan mampu mengeluarkan ingatan tersebut kapanpun diperlukan. Dhobith Kitabi, yaitu perawi itu kuat ingatannya berdasarkan catatannya yang dia tulis semenjak dia mendengar / menerima hadits dan mampu menjaga tulisan hadits tersebut dari kerusakan /cacat. 4. Hadist yang diriwayatkan bukan merupakan hadist yang syadz (mengandung kejanggalan). Seperti riwayat tersebut berbeda dengan riwayat yang lainnya. 5. Hadist yang diriwayatkan bebas dari illat (cacat). Yakni sifat sifat buruk yang tersembunyi yang menyebabkan hadist tersebut cacat dalam penerimaannya. Kelima ketentuan di atas disepakati secara mutlak oleh para Muhaditsin. Namun di samping itu ada pula beberapa ketentuan yang masih diperdebatkan, seperti syarat harus hadist Aziz sebagaimana yang dikriteriakan oleh al-Hakim Ubai Abdullah, perawi harus faqih menurut Abu Hanifah dan lain sebagainya . Pembagian Hadits shohih dibagi menjadi dua bagian, yaitu : Hadits Shohih Lidzatihi (Murni) Yaitu hadist yang memenuhi sifat-sifat penerimaan hadist pada tingkat tertinggi, atau dengan kata lain memenuhi lima kriteria di atas secara sempurna. Contoh: Hadits Shohih Lighorihi (Tidak murni) Yaitu hadits yang tidak memenuhi lima kriteria hadits shahih secara sempurna . Merupakan bentuk dari ketidaksempurnaan misalnya suatu hadist diriwayatkan oleh perawi yang adil namun dlabitnya tidak sempurna sehingga digolongkan dalam hadits hasan. Namun karena didukung oleh hadits lain yang semakna, dengan jalur sanad lain yang kualitasnya sama atau lebih baik maka naik menjadi hadist shahih . Contoh: : ( Hadist di atas jalur sanadnya melalui Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Meskipun Muhammad bin Amr diragukan hapalannya, kekuatan ingatan dan kecerdasannya, namun karena diriwayatkan pula oleh Abi Salamah dari gurunya lagi maka termasuk kategori hadist shahih lighoirihi. Hadist ini juga diriwayatkan dari abu Hurairah oleh banyak orang, seperti al-Araj bin Humuz dan said al-Maqbari). Variasi Hadits Shohih Mutlak :Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan. Muqoyyad :Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan/kelompok bi Shohabi sahabat (ulama) tertentu. Muqoyyad :Hadits yang keshahihannya dikenal di wilayah/negara tertentu bil Balad

Tingkat keshahihan hadist juga berbeda berdasarkan kota dimana hadist tersebut diriwayatkan. Jumhur Ulama sepakat bahwa hadist yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Madinah, kemudian penduduk Basrah dan kemudian penduduk Syam . Begitu pula derajat keshahihan hadist berbeda. Menurut jumhur Ulama, tingkatan hadist yang paling shahih adalah: 01. Hadist yang diriwayatkan oleh oleh Bukhari dan Muslim 02. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari 03. Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim 04. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Bukhari dan Muslim, meskipun mereka tidak meriwayatkannya. 05. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Bukhari 06. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan syarat shahih dari Muslim 07. Hadist yang dianggap shahih oleh imam-imam yang lain. Hukum Hadist shahih adalah hadist yang maqbul (diterima) dan dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum syariat Islam serta wajib pula diamalkan. Kitab-Kitab Hadits Shahih Shahih Bukhari. Kitab yang disusun oleh imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Mughirah bin bardizbah al-Jafi al-Bukhari ini dikenal sebagai kitab pertama yang hanya memuat hadist shahih . Shahih Muslim. Kitab ini disusun oleh Hujjatul Islam Abu al-Husain Muslim ibn Hujjaj al-Qasyiri alNaisaburi. Dll 2. Hadits Hasan Pengertian Teriminologi hadist hasan masih terjadi perbedaan di kalangan ulama hadits. Hal itu mengingat posisinya yang berada di tengah-tengah antara shahh dan dlaf. Juga dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja . Menurut kami, definisi yang paling komprehensif adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, yaitu Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil namun tidak sempurna kekuatan hafalannya/dhabith serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat di dalamnya . Jadi menurut Ibn Hajar hadist hasan adalah hadits shahh yang kurang pada daya ingat/hafalan perawinya. Istilah hadist hasan pertama kali dipopulerkan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi melalui kitabnya Jami at-Tirmidzi. Bahkan Imam Taqiyuddin ibn Taimiyah berkomentar bahwa at-Turmudzi adalah orang yang pertama kali mengklasifikasikan hadist ke dalam kategori shohih, hasan dan dhoif . Pembagian Hadits Hasan Lidzatihi Yaitu hadist hasan sebagaimana definisi di atas. Dinamakan dengan hasan lidzatihi, karena sifat hasanan muncul secara independen. Hadist hasan ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, namun nilainya masih di bawah hadist shahih berdasarkan ingatan para perawinya . Contoh : : ( Hadist di atas jalur sanadnya melalui Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. Karena Muhammad bin Amr diragukan hapalannya, kekuatan ingatan dan kecerdasannya, maka hadist ini terkategori hasan lidztihi. ) Pada dasarnya kriteria hadist hasan lidzatihi sama persis dengan shahih lighoirihi. Perbedaan diantara keduanya adalah bila shahih lighoirihi ada syarat harus didukung oleh hadits lain yang semakna, dengan jalur sanad lain yang kualitasnya sama atau lebih baik, sedangkan hasan lidztihi tidak disyaratkan seperti itu. Hadits hasan Lighoirihi Yaitu hadist yang dalam sanadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya dan tidak bisa dipastikan ahli atau tidaknya. Namun ia bukanlah orang ceroboh yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta, serta matannya didukung oleh mutabi atau syahid . Pada asalnya hadist hasan lighoirihi adalah hadist dhoif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hadits hasan karena didukung oleh hadits lain yang memiliki jalur sanad lain yang semakna dan kualitasnya sama/lebih baik. Dinamakan dengan hasan lighoirihi karena sifat hasannya muncul dari luar (tidak independent), yaitu beragamnya jalur sanad. Dengan demikian, ada perbedaan mendasar antara hadist hasan lidztihi dan hasan lighoirihi.

Perbedaannya adalah bila hasan lidzatihi telah memenuhi kriteria sanadnya bersambung, perawinya adil namun dhzbitnya tidak sempurna serta tidak ada syzdz dan illat, maka dalam hasan lighoirihi kriteria-kriteria di atas ada yang tidak terpenuhi . Hukum Hadist hasan mempunyai derajat yang sama dengan hadist shahih dalam segi kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadits shahih. Oleh karena itu, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya. Mayoritas ulama hadits dan Ushul juga menjadikannya sebagai hujjah, kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidn). Sementara ulama yang dikenal lebih longgar (al-Mutashiln) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits shahh, seperti al-Hkim, Ibn Hibbn dan Ibn Khuzaimah namun disertai komentar bahwa ia di bawah kualitas shahih seperti yang telah dijelaskan sebelumnya . Hadits Yang Shahh Sanadnya Atau Hasan Sanadnya Ungkapan ahli hadist, Ini adalah hadits yang shahih sanadnya maksudnya adalah tingkatnya di bawah kualitas hadits Shahih. Sedangkan ungkapan, Ini adalah hadits yang hasan sanadnya maksudnya di bawah kualitas hadits hasan, karena bisa jadi hadist tersebut shahih atau hasan sanadnya tanpa matan (redaksi/teks)nya akibat adanya syudzdz atau illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits). Apabila ada ungkapan, Ini adalah hadits Shahih, maka berarti telah terjamin hadist tersebut memenuhi ke-lima syarat keshahihan. Sedangkan bila dikomentarkan dengan, Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, maka artinya hadist tersebut terjamin telah memenuhi tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (dhabith)-nya, sedangkan ketiadaan syudzdz atau illat pada hadits itu, belum terjamin karena perawi belum mengecek kedua hal itu lebih lanjut. Akan tetapi, bila seorang Hfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya menyatakan, Ini adalah hadits yang shahih sanadnya, tanpa menyebutkan illat, maka secara eksplisit berarti matannya juga shahh, sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada illat di situ dan juga tidak ada syudzdz . Makna Ungkapan Hadits Hasan Shahh Kadang kadang para ahli hadits menyebut suatu hadits dengan dua kriteria/ sebutan, yaitu hadits hasan shohih. Secara implisit, ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits hasan kurang derajatnya dari hadits shahh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hal tersebut, namun yang paling mendekati kebenaran adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Hajar. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa hadits tersebut bersifat shohih menurut jalur tertentu dan hasan menurut jalur lainnya . Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih, maka maknanya adalah Ia adalah hasan bila ditinjau dari satu sisi sanad dan shahh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah hasan menurut sekelompok ulama dan Shahh menurut sekelompok ulama yang lain. Selain itu, perlu diperhatikan perbedaan mendasar diantara keduanya agar tidak terjadi kerancuan antara hadist shahih dan hasan. Perbedaan itu ialah bahwa sifat adil pada perawi hadist shahih disandang oleh orang yang benar-benar kuat ingatannya, sedangkan pada hadist hasan oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, namun keduanya sama-sama bebas dari syadz ataupun illat . Kitab-Kitab Hadits Hasan Para ulama belum ada yang mengarang kitab secara terpisah (tersendiri) yang hanya memuat hadits hasan sebagaimana hadits shahh, akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits hasan. Di antaranya: Kitab Jmi at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku ini juga sekaligus merupakan induk dalam mengenal hadits Hasan. Kitab Sunan Abi D`d. Kitab Sunan ad-Druquthny. 3. Hadits Dhoif Pengertian Hadist dhoif ialah hadist yang tidak memenuhi kriteria hadist shahih dan hasan sebagaimana penjelasan di atas. Ada juga yang mendefinisikan dengan hadist yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hadist maqbul. Perbedaan di atas hanya bersifat redaksional, sedang

substansi dari kedua pengertian tersebut adalah sama . Pembagian Hadist dhaif sangat bervariasi, dan pembagiannya tidak sesederhana hadist shahih maupun hadist hasan. Hal tersebut karena kemungkinan kekurangan persyaratan shahih dan hasan juga sangat beragam. Oleh karena itu, ada ulama ahli hadist yang membagi hadist dhaif menjadi 42 macam, 63, 81 bahkan ada yang sampai 129 macam . Sebab kedhaifan suatu hadist dapat disebabkan oleh sanad, yaitu terputusnya sanad. Terputusnya sanad dapat terjadi baik pada tingkat Sahabat, Tabiin, maupun tingkat sesudahnya. Begitu pula baik terputus hanya satu tingkat ataupun lebih. Dari segi keterputusan sanad, hadist dhaif terbagi menjadi: Hadist mursal : yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Tabiin langsung dari Nabi SAW, dengan tanpa menyebutkan Sahabat. Disebut mursal karena perawinya melepas hadist begitu saja tanpa mengikatnya dengan Sahabat yang menerima langsung dari Rasulullah. Hadist Munqathi : yaitu hadist yang salah satu rawinya gugur tidak pada Sahabat, tetapi bisa terjadi pada perawi yang di tengah atau di akhir. Hadist Mudlal : yaitu hadist yang dua orang rawi atau lebih hilang secara berurutan dalam rangkaian sanad. Hadist Mudallas : yaitu hadist yang perawinya meriwayatkan hadist tersebut dari orang yang sezaman dengannya, tetapi tidak menerimanya secara langsung dari orang tersebut. Hadist mudallas terbagi menjadi dua: a. Tadlis Isnad: Adalah hadist yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu, namun ia tidak mendengar langsung hadist tersebut darinya. Misalnya perkataan Ali bin Khasiram: Kami sedang berada di dekat Sofyan ibn Uyainah dan ia berkata bahwa az-Zuhri berkata demikian. Ketika Sofyan ditanya apakah mendengar itu dari az-Zuhri secara langsung, Sofyan menjawab bahwa yang menyampaikan kepadanya adalah Abd. Razak yang menerima dari Mamar dari az-Zuhri. Jadi Sofyan hidup semasa dengan az-Zuhri dan perrnah bertemu dengannya, tetapi ia tidak mengambil hadist dari az-Zuhri secara langsung melainkan mengutipnya dari Abd. Razaq. Sedangkan Abd. Razaq menerimanya dari Mamar dan Mamar meriwayatkan dari az-Zuhri. b. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang mengatakan; orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau penghafal yang sangat kuat hafalannya berkata kepadaku. Hadist Muallal : adalah hadist yang kelihatannya terbebas dari cacat, akan tetapi sebenarnya memiliki cacat yang tersembunyi baik pada sanad maupun matannya atau juga pada keduanya. Untuk menemukan illat (cacat) hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Sebab ilat itu sendiri tidak tampak, bahkan bagi orang-orang yang menekuni ilmu hadist . Sedangkan dari segi yang lain, hadits dhaif terbagi menjadi: Hadits Mudoaf : yaitu hadits yang diperselisihkan oleh para ahli hadits mengenai kuat atau lemahnya sanad dan matannya. Hadits ini adalah hadits yang paling tinggi tingkatan doifnya. Ibn Jauzi adalah ulama yang pertama kali menggunakan terminologi ini . Hadits Mudharab: adalah hadits yang diriwayatkan oleh beberapa orang yang masing-masing mempunyai periwayatan yang berbeda-berbeda dan tidak mungkin mengunggulkan satu riwayat atas riwayat yang lainnya. Idtirab (kekacauan) kebanyakan terjadi pada sanad dan sangat sedikit sekali yang terjadi pada matan. Contoh hadits yang kacau sanadnya adalah hadits Abu Bakar. Ia bertanya kepada Nabi SAW: Ya Rasulullah, aku melihat sikap anda berubah?. Rasulullah menjawab: Surat Hud dan semisalnya telah membuatku berubah. Menurut ad-Daruqutni, hadits di atas mudharab, karena hanya diriwayatkan oleh Abu Ishaq saja, dan diriwayatkan dengan sepuluh cara yang berbeda. Ada yang meriwayatkan secara mursal, muttasil, ada yang menganggapnya dari musnad Abu Bakar, musnad Saad, dan ada yang menganggapnya dari musnad Aisyah. Mengunggulkan salah satu perawi dengan mengalahkan perawi-perawi yang lain adalah hal yang tidak mungkin karena ketsiqohannya, sedangkan mengumpulkannya juga terlalu sulit . Hadits Maqlub : hadist yang terjadi pembalikan baik pada sanad, nama periwayat maupun matannya. Maksudnya perawi mendahulukan apa yang seharusnya diakhirkan dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan serta meletakkan sesuatu di tempat yang lain. Contoh maqlub pada matan adalah hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim:6 :( , ) Sedangkan dalam dua kitab shahih, matan hadist di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda, yaitu . . . .

Hadist Syadz : hadist yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tsiqah (terpercaya), tetapi riwayatnya menyalahi riwayat mayoritas perawi yang tsiqah pula. Dengan kata lain, hadist tersebut diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima namun berlawanan dengan orang yang lebih utama daripadanya.6 Hadist Munkar : hadist yang diriwayatkan oleh orang yang lemah periwayatannya serta berbeda dengan riwayat yang tsiqah. Perlu dicatat bahwa hadist ini adalah perbandingan dari hadist maruf (hadist yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah dan berlawanan dengan perawi yang dhaif).6 Hadist Matruk : hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang suka berdusta, nyata kefasikannya dan pelupa atau ragu dalam periwayatan.6

Hukum Secara umum, jumhur ulama sepakat bahwa hadist dhaif tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk diamalkan. Namun demikian, terdapat tiga golongan dengan tiga pendapat yang saling berbeda. Menolak sama sekali hadist dhaif, baik yang menyangkut hukum-hukum syariat (halal dan haram), targhib wa tarhib (motivasi dan kecaman), fadhail al-amal (keutamaan ibadah) dan lain sebagainya. Ulama yang menganut pendapat ini diantaranya ialah: Yahya bin Main, Abu Bakar bin alarabi, Bukhari dan Muslim. Menerima dan mengamalkan kehujjahan hadist dhaif secara mutlak, bila tidak ditemukan hadist lain yang lebih baik kualiasnya. Hadist dhaif yang dimaksud dalam hal ini adalah yang tidak berat kedhaifannya, misalnya hadist mursal. Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah: Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Daud. Menerima dan mengamalkan kehujjahan hadist dhaif dalam masalah targhib dan tarhib, mawaidz (nasehat-nasehat) dan fadhail al-amal serta sejenisnya. Akan tetapi tidak menerima bila dijadikan sebagai hujjah hukum syariat dan akidah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama, baik dari kalangan muhaditsin maupun fuqaha. Hadist dhaif yang mereka terima adalah yang memenuhi persyaratan: Kedhaifannya tidak terlalu berat.[ Isinya tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat[ Hukum yang dikandung termasuk dalam prinsip umum yang ditetapkan oleh al-Quran dan hadist shahih.[ Dalam pengamalannya, tidak boleh diyakini bahwa Nabi benar-benar telah melaksanakan atau menyebabkannya, melainkan hanya untuk lebih berhati-hati atau untuk kesempurnaan amal.[

Daftar Pustaka as-Shalih,Subhi. 1995. Ulum al-Hadist wa Musthalahuhu. Lebanon: Dar al-Ilm li al-Malayin as-Shalih,Subhi. 1997. Membahas Ilmu-ilmu Hadist,Terj. Jakarta: Pustaka Rizqi Putra Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve. Hasbi, Muhammad Ash Shiddieqy. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka Rizki Putra. Hasyim, Muhammad Umar. Qawaid Ushul al-Hadist. tt, Beirut: Dar al-Fikr Jamaluddin, Muhammad al-Qasimi. Qawaid al-Tahdist. tt, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah Kurdi,Muhammad eL-Byzant. 23 Juli 2005. Membedah Diskursus Studi Kritik Hadist. http://www.myquran.org/forum/showthread.php Ujaj, Muhammad Khatib. 1989. Ushul al-Hadist. Beirut: Dar al-Fikr Zahrah, Abu. tt. Al-Hadist wa al-Muhadditsun. Lebanon: Dar al-Fikr al-Arabiyah

Anda mungkin juga menyukai