Pengertian
Maqbul menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan. Sedangkan
menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang telah sempurna syarat-syarat
penerimaannya . Adapun syarat-syarat penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan
dengan sanad-nya yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari segi
matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.[1]
Hadits maqbul ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat bahwa
hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik hadits shohih maupun hadits
hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang
hafalannya dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih terkenal sebagai
orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta.
Kedua macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama
yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat
dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya
hukum atau ketentuan lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka dari itu, apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi dua, yakni
Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat pula diamalkan, inilah yang disebut
dengan hadits maqbul ma’mulun bih. Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat
diamalkan, yang disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah rincian
dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut :
Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu hadits-hadits
yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang dapat mempengaruhi artinya.
Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat
dipakai sebagai hukum lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2) Hadits Mukhtalif.
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara istilah ialah
hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul
lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.
Kedua buah hadits yang berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya.
Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung
dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Contoh dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak sekali. Secara garis besar pembagiannya ialah
hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits lain dan hadits yang terjadi perlawanan
dengan hadits lain. Sebagai contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki
perlawanan dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini.
“janganlah kamu larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi
sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu Umar)[4]
Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain tetapi salah satu dari hadits tersebut
telah menghapus ketentuan hukum yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits
nasikh). Yakni sebagai berikut :
Barra berkata : “sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama
enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)
Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya :[5]
“hendaklah kamu menghadapkan mukamu kearah masjidil haram (ka’bah). (QS. Albaqarah :
144)
yakni hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui takwilnya.
Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya, tetapi tidak boleh diamalkan.
Yakni sebuah hadits maqbul yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat.
Kalau yang ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh)
oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
5) Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir, akal yang sehat
dan ijma’ ulama.
Contoh dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang hadits yang
bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang diturunkan di
malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu Abi Hatim dari Riwayat Ibnu
Abbas r.a)[6]
Hadits tersebut secara akal sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan
menurut akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan kelupaan (ma’shum)
dalam menyampaikan syariat dan wahyu.