Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia hidup senantiasa menghadapi tantangan dan persaingan, baik
dalam mempertahankan kehidupannya maupun dalam rangka meningkatkan
taraf hidupnya. Namun, tidak semua orang diberikan kekayaan yang melimpah.
Hanya sebagian manusia yang diberi kemudahan dalam memperoleh kekayaan
sehingga dengan pengalamannya itu, pandangan hidup mereka telah terpola.
Tidak heran bila dari keluarga kaya lahir orang-orang yang sukses dalam
berbagai bidang usahanya, sedangkan dari keluarga miskin, lahir orang yang
telah mempersiapkan dirinya sebagai pekerja kasar dan sebagainya.
Namun, perkembangan alamiah itu tidak berlaku bagi orang-orang yang
berfikir positif dan kreatif. Sebab, ternyata banyak orang kaya yang terlahir
dari keluarga miskin, dan banyak pula pejabat yang berasal dari keluarga petani
miskin, banyak orang pintar yang berasal dari keluarga yang tidak mengenal
dunia pendidikan tinggi.
Dasar pemikiran inilah yang seharusnya dijadikan pijakan dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Artinya, pengentasan kemiskinan lebih diarahkan
pada peningkatan pola pikir dan SDM, bukan pada pemberian makanan dan
pekerjaan saja. orang yang pola pikirnya maju akan mencari pekerjaan yang
tidak terlalu menguras energy, namun dapat menghasilkan uang yang besar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja ayat yang menjelaskan tentang pengembangan ekonomi?
2. Bagaimana tafsir, asbabun nuzul, da nisi kandungannya?
3. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan?
4. Apa saja factor penyebab kemiskinan?
5. Bagaimana upaya dalam rangka pengentasan kemiskinan?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ayat yang menjelaskan tentang pengembangan ekonomi
2. Untuk mengetahui tafsir, asbabun nuzul, dan isi kandungan dari ayat
tersebut
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kemiskinan
4. Untuk mengetahui factor penyebab kemiskinan
5. Untuk mengetahui upaya dalam rangka pengentasan kemiskinan

2
BAB II

ISI

A. Ayat Tentang Pengembangan Ekonomi


‫َو َج َعلْنَا الل َّ ْي َل َوالهَّن َ َار آي َ َتنْي ِ ۖ فَ َم َح ْواَن آي َ َة الل َّ ْي ِل َو َج َعلْنَا آي َ َة الهَّن َ ِار ُم ْبرِص َ ًة ِل َتبْتَغُوا فَضْ اًل ِم ْن‬
‫اب ۚ َولُك َّ يَش ْ ٍء فَ َّصلْنَا ُه تَ ْف ِصياًل‬ َ ‫الس ِن َني َوالْ ِح َس‬ ّ ِ ‫َر ِبّمُك ْ َو ِل َت ْعلَ ُموا عَدَ َد‬
Artinya:
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan
tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari
kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan
perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (QS Al-
Isra (17): 12)

1. Tafsir
a. Tafsir Jalalain
(Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda) yang kedua-duanya
menunjukkan kekuasaan Kami (lalu Kami hapuskan tanda malam) Kami tutup
cahayanya dengan kegelapan malam hari supaya kalian tenang berada di
dalamnya; idhafat di sini menunjukkan makna bayan (dan Kami jadikan tanda
siang itu terang) seseorang dapat melihat berkat adanya cahaya (agar kalian
mencari) pada siang hari (karunia dari Rabb kalian) dengan berusaha (dan
supaya kalian mengetahui) melalui malam dan siang hari itu (bilangan tahun-
tahun dan perhitungan) waktu-waktu. (Dan segala sesuatu) yang diperlukan
(telah Kami terangkan dengan jelas) artinya Kami telah menjelaskannya secara
rinci.

b. Tafsir Quraish Shihab


Kami jadikan malam dan siang--dengan segala bentuk dan perputaran silih
berganti yang ada padanya--sebagai tanda yang menunjukkan keesaan dan
kekuasaan Kami. Kami hilangkan sinar pada malam hari, sehingga tidak

3
tampak sesuatu apa pun. Sebagai tandanya adalah kegelapan yang tidak
disinari oleh matahari. Itu merupakan tanda yang paling besar. Kami jadikan
siang terang benderang. Dan matahari--yang merupakan tanda yang paling
besar--tampak kelihatan. Dengan adanya sinar pada siang hari kalian dapat
mencari penghidupan. Dan dengan pergantian siang dan malam kalian dapat
mengetahui bilangan tahun, perhitungan bulan, hari dan segala sesuatu yang
mendatangkan maslahat bagi kalian. Semua itu telah Kami terangkan dengan
jelas sehingga dapat menjadi bukti bagi kalian setelah sempurnanya
kenikmatan.

2. Isi Kandungan
Allah Swt. menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di alam
semesta, dengan maksud agar supaya manusia memikirkan dan merenungi
Penciptanya. Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia menciptakan malam dan
siang, masingmasing sebagai tanda kekuasaan Nya. Siang dan malam
merupakan dua peristiwa yang selalu silih berganti yang sangat berguna bagi
kemaslahatan manusia dalam menjalankan kewajiban agama dan urusan-
urusan duniawi. Pergantian yang teratur seperti itu merupakan tanda kekuasaan
Allah yang sangat jelas bagi manusia. Barang siapa yang memperhatikan dan
memikirkan pergantian siang dan malam itu tentu akan yakin bahwa alam
semesta ini ada yang mengaturnya dengan aturanaturan yang sangat baik dan
tepat, yang menunjukkan bahwa pengaturannya sangat teliti, sehingga dengan
demikian, manusia akan dapat mengakui adanya Pencipta jagat raya ini dan
seluruh isinya.
Di samping itu adanya pergantian siang dan malam merupakan anugerah
yang dapat dirasakan secara langsung oleh manusia dalam kehidupan mereka
sehari hari. Di waktu siang mereka dapat berusaha memenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan di waktu malam mereka dapat beristirahat untuk
melepaskan lelah. Allah Swt. menjelaskan lebih lanjut bahwa Dialah yang
menghapuskan tandatanda malam yaitu hilangnya cahaya bulan dengan cahaya

4
matahari. Perubahan siang dan malam itu sangat berguna bagi manusia untuk
mengetahui bilangan tahun, bulan dan hari serta perhitungannya.

B. Pengertian dan Jenis-jenis Kemiskinan


Kemiskinan berasal dari bahasa Arab sakana-yaskun artinya diam tidak
bergerak. Sedangkan miskin berarti yang fakir, yang rendah. Dalam KBBI
miskin berarti tidak berharta, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Di
dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam Q.S An-Nisa: 36
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri”
Adapun di dalam Q.S al-Balad ayat 16 yang artinya: “Atau kepada orang
miskin yang sangat fakir.”
Ayat ini menjelaskan bahwa yang bernama miskin itu adalah orang yang
tidak memiliki apa-apa, atau yang menurut bahasa seperti ucapan Ibnu Katsir,
―Orang miskin itu adalah orang yang terlantar dan terbuang di jalan.‖ Beliau
mengartikan miskin sebagai orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat
dibelanjakan (Ibn Katsir, 2004: 2181). Miskin diartikan juga sebagai orang-
orang yang membutuhkan yakni orang yang tidak mendapatkan pihak yang
memenuhi kifayahnya. Maka Allah menyuruh manusia untuk membantu
mereka dengan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanya dan menghilangkan
kemudaratanya (Ibn Katsir, 1998: 645).1
Menurut Quraish Shihab terjadi perbedaan pendapat mengenai tolak ukur
kemiskinan dan kefakiran. Demikian karena tidak adanya definisi yang
dikemukaan Al-Qur’an untuk kedua istilah tersebut. sebagian berpendapat
bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan

1
Fauzi Arif Lubis, Miskin dalam perspektif Al-Qur’an Tansiq, Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2018

5
pokonya. Sedangkan miskin adalah mereka yang berpenghasilan lebih dari
orang fakir. Namun ada pula yang mendefinisikan sebaliknya. 2
Imam Syafi‟i memberikan pengertian lebih jelas dalam membedakan fakir
dan miskin. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta yang mencukupi
kehidupannya dan tidak memiliki mata pencaharian. Sedangkan miskin adalah
orang yang memiliki harta dan mata pencaharian tapi tidak mencukupi („Abd
alSalam Hamdan dan Mahmud Hasyim, 2009: 320).
Sementara jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, miskin
adalah mereka yang dalam satu hari memperoleh penghasilan sebesar US 1,9
atau Rp. 25.500. perkumpulan Prakasa mengatakan bahwa IKM (Indeks
Kemiskinan Multidimensi) menghitung kemiskinan dengan tiga dimensi, yakni
pendidikan, kesehatan, dan kualitas kehidupan.
Dilihat dari factor penyebabnya, kemiskinan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu kemiskinan structural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural
adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor keturunan dan lingkungan yang
telah terpola sebagai orang miskin. Adapun kemiskinan structural yaitu
kemiskinan yang disebabkan oleh kekalahan dalam bersaing merebut status
sosial sehingga selalu tersingkir.3 Sedangkan menurut Muhammad Mulyadi,
kemiskinan paling tidak ada tiga sebab, yakni kemiskinan alamiah, kemiskinan
structural, dan kemiskinan kultural.
Al-Qur’an menyebut kemiskinan atau perbedaan antara si kaya dan si
miskin sebagai ujian agar si kaya dapat mensyukuri kekayaannya daan agar si
miskin menyadari kekurangannya lalu bekerja keras mengejar
ketertinggalannya.
Kemiskinan natural yaitu keadaan miskin karena dari awalnya memang
miskin. Kemiskinan natural terjadi antara lain akibat kondisi alamai keturunan.
Seseorang yang miskin misalnya cacat mental, cacat fisik, usia lanjut, dan
keturunan. Adapun hadits yang berkaitan dengan kemiskinan yang artinya:

2
Andi Suseno, Tesis: Pengentasan Kemiskinan Perspektif Nabi, 2018
3
Rosyanti, Imas. Esensi Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002

6
”Dari Aisyah ra. Berkata: beliau pernah melakukan kecuali dalam
keadaan ‘paceklik’ (krisis ekonomi), dan semua manusia dalam keadaan
lapar, beliau ingin agar orang kaya memberi makan kepada orang miskin”
Sedangkan kemiskinan Kultural yaitu kemiskinan yang bersumber dari
kualitas sumber daya alam dan atau sumber daya manusia yang rendah
sehingga kreativitas dan produktivitas relative kecil. Salah satu bentuk
kemiskinan jenis ini adalah kemiskinan mental yang diakibatkan pengalaman
di masa penjajahan berupa penekanan dan pengekangan dari pihak penjajah
atau karena pemahaman dan penafsiran ajaran agama yang salah sehingga
melahirkan etos kerja yang sangat lemah dengan berbagai dalih yang
bernuansakan agama.
Kemiskinan structural yaitu kemiskinan yang timbul akibat kebijaksanaan
pemerintah atau pemodal besar atau adanya kolusi di antara dua kelompok
tersebut sehingga membatasi kesempatan membangun ekonomi bagi rakyat
atau pemodal kecil. Oleh karena itu, kemiskinan jenis ini sering disebut
kemiskinan buatan. Kategorisasi lain adalah kemiskinan ekonomi dan
kemiskinan rohani.
Kriteria orang yang termasuk golongan orang miskin dalam Al-Qur‟an :
1. Pihak-pihak yang berhak menerima zakat. Sebagaimana yang terdapat
dalam QS. At-Taubah ayat 60.
2. Orang miskin itu lebih baik keadaannya daripada orang fakir dikarenakan
mereka memiliki perahu atau bahtera yang dapat dijadikan alat untuk
mencari nafkah. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Kahfi ayat 79.
3. Miskin walaupun lebih baik dari orang fakir adalah jika orang tersebut
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana yang
terdapat dalam QS. al-Balad ayat 16.
4. Orang miskin adalah orang yang berhak dibantu, sebagaimana ayat yang
menyebut orang miskin sebagai pihak yang harus dibantu kehidupan
ekonominya sebanyak 21 ayat, yaitu al-Baqarah [2]: 83, 177, 184, 215,
alNisā‟ [4]: 8, 36, al-Mā‟idah [5]: 89, 95, al-Anfāl [8]: 41, at-Taubah [9]:
60, al-Isrā‟[17]: 26, an-Nur [24]: 22, ar-Rūm [30]: 38, al- Mujādilah [58]:

7
4, Fauzi Arif Lubis: Miskin Menurut Pandangan Al-Qur‘an 77 al-Hasyr
[59]: 7, al-Hāqqah [69]: 34, al-Mudaṡir [74]: 44, al-Insān [76]: 8, al-Fajr
[89]: 18, al-Balad [90]: 16 dan al-Mā‟ūn [107]: 3. 4

C. Faktor Penyebab Kemiskinan


1. Keterbatasan Sumber Daya Alam (SDA) dan Kelemahan Sumber
Daya Manusia
Manusia yang hidup di muka bumi senatiasa bergantung kepada bum,
baik untuk keperluan pangan, sandang, maupun papan. Pada zaman purba,
manusia tidak banyak mengolah dan merekayasa penghasilan bumi.
Namun, seiring dengan perkembangan komunitas manusia, secara
bertahap manusia melakukan pengolahan terhadap bumi sehingga
produktivitasnya berlipat ganda.
Manusia dapat mengatasi keterbatasan keterbatasan SDA dengan
meningkatkan SDM lalu mengolah SDA yang terbatas dengan teknologi
tinggi sehingga memiliki nilai jual yang berlipat ganda atau menjual SDM
ke Negara-negar yang membutuhkan sehingga bisa memanfaatkan SDA
yang dimiliki Negara lain.
Perkembangan SDM tidak sepenuhnya bergantung pad SDA, karena
manusia merupakan makhluk yang dinamis. Artinya, mereka dapat
kecerdasan dan keterampilannya sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
Logikanya, semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin cepat
pengentasan kemiskinan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa materi pelajaran yang paling dominan
adalah alam. Artinya, segala sesuatu selain Allah SWT. semakin kuat
SDM seseorang, ia semakin mampu memanfaatkan sumber daya alam
yang ada. Oleh karena itu, eksplorasi sumber daya alam mutlak
memerlukan SDM yang memadai dan keterbatasam sumber daya alam

4
Fauzi Arif Lubis, Miskin dalam perspektif Al-Qur’an Tansiq, Vol. 1, No. 1, Januari – Juni 2018

8
ditambah lemahnya SDM merupakan factor penyebab kemiskinan yang
pertama. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah (2): 273
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang
tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri dari
mintaminta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang
baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Mengatahui.”

2. Budaya dan Kerja yang rendah


Etos kerja merupakan bagian dari mental yang bisa dibangun melalui
proses belajar dan mengajar. Namun tidak selamanya demikian, banyak
SDM yang rendah kadang memiliki etos kerja yang sangat tinggi,
sebaliknya tidak sedikit pula orang yang SDM-nya tinggi, tetapi etos
kerjanya rendah.
Etos kerja merupakan modal dasar yang sangat dominan bagi
peningkatan kualitas hidup seseorang dalam berbagai aspeknya. Banyak
Negara yang kurang dalam hal SDA, tetapi memiliki etos kerja yang
sangat tinggi, sehingga mereka dapat tampil sebagai Negara maju yang
sangat diperhitungkan dimata dunia.
Factor penyebab kemiskinan yang kedua ini akan menimbulkan
kemiskinan yang sangat fatal, apalagi bil disertai factor penyebab yang
pertama, akibatnya teramat sulit untuk dientaskan dari kemiskinannya.

3. Terbatasnya Peluang dan Lapangan Kerja


Peluang usaha dan peluang lapangan kerja sering kali lebih berarti
daripada kuatnya SDM. Namun, peluang harus didukung dengan etos kerja
yang tinggi. Peluang yang ditambah SDM yang kuat, serta etos kerja yang
tinggi dalam perhitungan manusia dapat membawa kesuksesan dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, apabila peluang usaha dan

9
lapangan kerja tertutup, SDM yang kuat dan etos kerja yang tinggi menjadi
kurang berarti.
Persaingan dunia usaha dan dunia kerja akan mempersempit peluang
tersebut. semakin ketat tingkat persaingannya, semakin sempit pula
peluangnya. Dalam kondisi demikian, pihak-pihak yang bermodal besar
biasanya akan lebih besar peluangnya. Dengan demikian, kebijaksanaan
pemerintah dalam keadaan ini sangat menentukan nasib pihak-pihak yang
terancam.
Yang sangat ironis adalah apabila keterbatasan peluang itu justru timbul
karena kebijaksanaan pemerintah yang kurang memperhatikan rakyat kecil
sehingga hanya pemodal-pemodal besar yang diberi kesempatan. 5
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hasyr (59): 8 yang Artinya: “(juga)
bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. mereka Itulah
orang-orang yang benar.”

Menurut Kuncoro, penyebab kemiskinan antara lain (Mudrajat Kuncoro,


2000: 107):

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola


kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan
timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah
terbatas dan kualitas rendah.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya
manusia, karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti
produktivitas juga rendah, upahnyapun rendah. Rendahnya kualitas
sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang
beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan.
3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
D. Format Pengentasan Kemiskinan
5
Rosyanti, Imas. Esensi Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002

10
Kemiskinan lahir bukan semata-matadisebabkan oleh faktor takdir,
melainkan lebih kepada penganiayaan terhadap diri sendiri. Hal ini senada
dengan arti etimologis ‘miskin’ itu sendiri, yaitu ‘diam atau tidak bergerak’.
Dari sini diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah
sikap berdiam diri, enggan, atau tidak mau bergerak atau berusaha, dan
keengganan berusaha adalah bentuk penganiayaan terhadap diri sendiri.
Padahal Allah swt. telah menjamin rizki setiap orang di muka bumi.
Kewajiban setiap individu adalah berusaha mencarinya dan keluar dari
rongrongan kemiskinan. Allah berfirman dalam QS. Hud ayat 6 dan QS. Al-
Dzariyat ayat 58:
Artinya: “dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezkinya...”. (QS. Hud [11]: 6).
Artinya: “Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Al-Dzariyat [51]: 58).
Ayat ini berbicara tentang konsep perubahan masyarakat, yang menurut
Quraish Shihab, ditafsirkan sebagai sebuah proses perubahan yang memberi
posisi manusia menjadi pelaku perubahan. Dalam posisinya sebagai pelaku
perubahan, di samping manusia bergerak sebagai wujud personal, juga bagian
dari komunitas dan masyarakat. Berdasarkan ayat tersebut, betapa Allah
menegaskan bahwa perubahan sosial, baik personal maupun masyarakat, juga
lahir dari kuasa diri.6
Adapun Al-Qur’an sebagai kitab yang dapat memeberikan solusi terhadap
segala permasalahn hidup, menawarkan sejumlah format pengentasan
kemiskinan, yaitu sebagai berikut:

1. Inteksifikasi dan Pendayagunaan ZIS


Al-Qur’an menegaskan bahwa orang-orang miskin harus dibantu.
Kebanyakan bentuk bantuan ini diistilahkan dengan ith’an (memberi

6
Syaiful Ilmi: Konsep Pengentasn Kemiskinan Perspektif Islam. Jurnal Al-Maslahah – Volume 13
Nomor 1 April 2017

11
makan). Petunjuk ini skeilas menggambarkan bahwa Islam lebih
menginginkan pengentasn kemiskinan secara konsumtif.
Zakat dalam ajaran Islam termasuk salah satu kewajiban yang harus
dilakuakan sebagai pembersih diri dari kekayaan, seperti disebutkan dalam
firman Allah SWT.
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi
mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi maha mengetahui”. (QSAt-
Taubah: 103).
Dengan zakat, umat Islam juga melakukan kegiatan sosial terhadap
orang-orang yang membutuhkan dan berhak menerima (mustahiq zakat).
Zakat merupakan salah satu hal penting dalam upaya mengentaskan
kemiskinan di masyarakat. Sebab, melalui zakat dapat berkumpul dana
yang sangat besar. Selanjutnya, hanya tinggal sejauh mana tingkat
kedisiplinan pengelolaan dan pendistribusian agar sampai kepada
kelompok-kelompok mustahiq.

2. Upaya Peningkatan SDM dan etos kerja


Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa
Islam kurang menyambut baik kehadiran harta. Pada hakikatnya,
pandangan Islam terhadap harta sangat positif. Manusia diperintahkan
Allah swt. untuk mencari rezeki bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya, tetapi juga untuk mencari apa yang diistilahkan dengan
fadlullah, yang secara harfiah berarti ‘kelebihan’ yang bersumber dari
Allah swt. Kelebihan yang bersumber dari Allah tersebut hanya bisa
digapai melalui faktor etos kerja yang dimiliki seseorang.
Etos kerja pada hakikatnya merupakan bagian dari konsep Islam
tentang manusia karena etos kerja adalah bagian dari proses eksistensi diri
manusia dalam lapangan kehidupannya yang amat luas dan kompleks.
Menurut Musa Asy’ari, etos kerja adalah rajutan nilai-nilai yang

12
membentuk kepribadian seseorang dalam bekerja, yang kemudian
membentuk semangat yang membedakannya, antara yang satu dengan
yang lainnya. Etos kerja dalam Islam dengan demikian merupakan refleksi
pribadi seseorang yang bekerja dengan bertumpu pada kemampuan
konseptual yang bersifat kreatif dan inovatif. Salah satu ayat yang
mendorong setiap individu untuk membangun etos kerja adalah QS. Al-
Jumu’ah ayat 10:
Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10).
Semangat etos kerja ini juga dikaitkan dengan konsep Islam tentang
perubahan sosial. Sejarah telah mencatat bahwa perubahas sosial, termasuk
di dalamnya juga perubahan ekonomi, merupakan misi utama sejak
pertama kali al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. empat
belas abad silam. Bahkan Nabi sendiri sejak muda sudah menjadi seorang
pembisnis dan pengembala sebagai bentuk memberikan teladan kepada
para sahabat. Maka provokasi Nabi melalui hadisnya terhadap masyarakat
Arab pada waktu itu, merupakan hal yang sangat realistis. Nabi bersabda:
“Tidak ada satu makananpun yang dimakan seseorang yang lebih baik
dari hasil kerja tangannya sendiri. Dan Nabi Daud as. makan dari
tangannya sendiri.(HR. Imam Bukhari)
Etos kerja merupakan senjata utama dalam memerangi kemiskinan. Ia
adalah sarana pertama untuk menghasilkan harta benda dan membangun
kesejahteraan masyarakat.Dalam etoskerja terkandung “spirit” atau
semangat untuk mengubah sesuatu menjadi jauh lebih baik. Dengan etos
kerja pula, kemiskinan dapat diperangi sehingga seseorang dapat dan
mampu keluar dari jurang kemiskinan.7

7
Syaiful Ilmi: Konsep Pengentasn Kemiskinan Perspektif Islam. Jurnal Al-Maslahah – Volume 13
Nomor 1 April 2017

13
3. Peranan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Kemiskinan bukan hanya menjadi beban pribadi, tetapi juga menjadi
beban dan tanggung jawab bersama untuk menanggulanginya. Dalam
konteks ini, hemat penulis, sangat diperlukan adanya kesadaran bersama
yang harus dibangun guna menanggulangi kemiskinan, baik kesadaran
tersebut sifatnya personal atau individu yang dialakukan oleh masyarakat,
maupun kesadaran penuh yang menjadi tanggung jawab pemerintah
melalui kebijakannya.
Pertama, kesadaran personal. Kesadaran personal atau individu dalam
upaya mengentaskan kemiskinan merupakan salah satu instrumen yang
tidak kalah penting. Bahkan kesadaran personal tersebut telah digagas pula
oleh al Qur’an. Cukup banyak ayat al-Qur’an yang mengupayakan
pembentukan pribadi luhur, dermawan, dan berani berkorban. Hal itu bisa
tumbuh, berangkat dari kesadaran bahwa harta bukan tujuan, melainkan
sebatas sarana untuk bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain.
Artinya: “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari
keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Al-
Rum [30]: 38).
Islam—sebagai agama—sudah seharusnya memperhatikan aspek moral
yang luhur, dan tidak mencukupkan pada hak-hak seperti yang diatur
dalam undang-undang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Karena aspek
legal dan pelaksanaan oleh pemerintah bukanlah satu-satunya sarana untuk
merealisasikan solidaritas antar manusia. Islam bukan hanya
memperhatikan moralitas yang luhur, tapi lebih dari itu, Islam mendorong
terbentuknya pribadi yang saleh.
Kedua, peran pemerintahan. Aspek pemerintahan bukan merupakan
sarana utama. Namun demikian, peran pemerintah sangat menentukan,
baik dalam membuat masyarakat menjadi miskin, maupun keluar dari
kemiskinan. Kebijakan yang kurang tepat dan ketidakberpihakan terhadap

14
masyarakat miskin akan menciptakan kemiskinan yang semakin
akut.Indonesia sebagai negara penganut konsep walfare state (negara
sejahtera) seharusnya sudah mampu melahirkan kebijakan-kebijakan yang
dapat mensejahterakan rakyatnya, namun dalam realitasnya hal ini belum
dapat dilaksanakan secara maksimal.
Selama ini beberapa kebijakan yang notabene diharapkan mampu
mengentaskan kemiskinan masih banyak yang bersifak konsumtif. Sebut
saja bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin), Bantuan Langsung Tunai
(BLT), dan subsidi lainnya yang kurang tepat sasaran, seperti BBM dan
listrik, di mana anggaran keduanya pada RAPBN-P 2014 mengalami
pembekakan sampai 110,7 triliun.Padahal pengguna subsidi keduanya
kebanyakan dinikmati masyarakat yang tidak tergolong ‘miskin’.
Namun di sisi yang berbeda, sebenarnya sudah ada program
pemerintah yang bersifat produktif. Misalnya kebijakan program PNPM
Mandiri Pedesaan dengan total anggaran Rp. 10,3 triliun pada 2013, Kredit
Usaha Rakyat (KUR), dan lain sebagainya. Hanya saja dalam realitasnya
realisasi program tersebut belumlah maksimal, bahkan dengan adanya
anggaran yang begitu besar—sedangkan tindakan pengawasan tidak
berjalan dengan baik—program-program tersebut bisa jadi akan dijadikan
lumbung ‘pencurian uang rakyat’ oleh para koruptor.
Dalam pengentasan kemiskinan—baik pemerintah maupun masyarakat
secara personal—harus menggerakkan segala kemampuan, berusaha
memenuhi kebutuhan serta memanfaatkan potensi yang dimiliki, baik
potensi basyariyah (kemanusiaan) atau potensi material, untuk selalu
berusaha menghancurkan ‘taring-taring’ kemiskinan dan menjinakkan
keganasannya. Dengan semakin bertambahnya produksi dan semakin
meningkatnya pemasukan secara umum akan berdampak positif dan
efektif dalam memerangi fenomena kemiskinan

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Memperhatikan pemaran di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan
dalam pandangan Al-Qur‟an lebih dominan bersifat struktural dari pada
kultural. Artinya kemiskinan lebih disebabkan karena sistem struktur sosial dan
politik. Karena kemiskinan lebih dominan bersifat struktural, Al-Qur‟an
memberikan solusi multidimensi dalam rangka mengatasinya yaitu dalam
bentu ikhtiar bagi masing-masing individu, taa‟wun (tolong menolong) sesama
manusia melalui konsep ZISWAF dan bentuk akad kerjasama, selanjutnya
peran pemerintah dalam menyediakan dan mendorong tersedianya kesempatan
bagi pihak yang ingin meningkatkan taraf hidupnya). Al-Qur‟an membangun
motivasi kepedulian sosial, meniscayakan tanggung jawab dan jaminan sosial
baik dalam sisi etika maupun dalam sisi sarana aplikasi peduli sosial,
pendistribusi kekayaan yang adil, penegakkan hukum, dan memperingatkan
dampak negatif akibat kemiskinan dan mental takut miskin.

B. Saran
Secara keseluruhan, kemiskinan merupakan suatu problematika yang harus
kita pecahkan bersam-sama, sehingga diharapkan semua umat muslim dapat
berkontribusi dalam rangka pengentasan kemiskinan ini. sehingga format
pengentasan kemiskinan yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dapat
dilaksanakan dengan baik dan lancar.

16
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi Arif Lubis, Miskin dalam perspektif Al-Qur’an Tansiq, Vol. 1, No. 1,
Januari – Juni 2018

Andi Suseno, Tesis: Pengentasan Kemiskinan Perspektif Nabi, 2018

Rosyanti, Imas. Esensi Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002

Syaiful Ilmi: Konsep Pengentasn Kemiskinan Perspektif Islam. Jurnal Al-


Maslahah – Volume 13 Nomor 1 April 2017

M Nur Rianto Al Arif: Wakaf Uang dan Pengaruhnya terhadap Program


Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, Indo-Islamika, Volume 2, Nomor 1,
2012/1433

Tarigan, Azhari Ahmad, Tafsir Ayat-ayat ekonomi. Bandung: Cipustaka Media


Perintis, 2012

17

Anda mungkin juga menyukai