Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Salah satu pertanyaan yang sangat serius yang dikemukakan oleh regulasi
internet adalah persoalan yurisdiksi, yaitu kemampuan suatu pengadilan untuk
memutus sengketa mengenai diri seseorang secara nasional, yurisdiksi (baik
perdata maupun pidana) didasarkan pada kehadiran fisik si individu tersebut dalam
forum hukum, ataupun setidak-tidaknya perilaku oleh si individu yang terikat ke
forum tersebut.

Tetapi lain halnya dengan internet. Teknologinya tidak peduli pada lokasi fisik.
Komunikasi di internet adalah “komunikasi cerdas”, yang berarti bahwa paket
informasi yang dikirim melalui internet dilewati melalui jalur yang paling tidak,
penuh sesak yang makin memperumit masalah, lokasi seseorang pemakai tidak
penting lagi bagi fungsi internet, dan lokasi memang sulit ditetapkan.1

Perlindungan hak-hak pribadi maupun golongan umum dan arus informasi


lintas batas merupakan sisi dilematis yang dihadapi oleh masyarakat informasi,
Disatu pihak ingin dicapai kebasan arus informasi (free flow of information),
sementara di lain pihak harus tetap menjamin perlindungan terhadap hak-hak
pribadi ataupun golongan masyarakat tertentu. Ciri-ciri instrinsik teknologi
computer dan sistem yang dikembangkannya memungkinan penyebaran infomasi
tersebut menjangkau lintas batas Negara (transborder).2

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana siber yang bersifat


transnasional dan memiliki karakteristrik teknologi informasi dan komunikasi
membutuhkan adanya harmonisasi pengaturan (regulasi) tindak pidana siber dalam
hukum nasional negara-negara di dunia. Oleh karena itu, regulasi mengenai tindak

1
Nudirman Munir, Pengantar Hukum Siber Indonesia, Raja Grafinso Persada, Depok 2017, hlm.77
2
Ibid.
1
pidana siber dalam hukum nasional menjadi tidak mudah karena berkaitan dengan
dengan yurisdiksi Negara-negara lain.3

Salah satu dari kasus yang pernah terjadi mengenai perbedaan yurisdiksi ini
adalah kasus antara LICRA dan UEJF yang berdomisili di Perancis dengan Yahoo Inc
yang berdomisili di Amerika, Yahoo dituntut di Prancis karena melanggar hukum
Prancis yang melarang pameran memorabilia Nazi. Tribunal de Grande Instance de
Paris memerintahkan Yahoo untuk membatasi tampilan memorabilia dan gambar
Nazi di situs lelang bertema Yahoo. Di Amerika Serikat. Display semacam itu
dilindungi oleh Amandemen Pertama di Amerika Serikat, sementara hal tersebut
dinyatakan ilegal di Prancis. Pengadilan Prancis beralasan bahwa karena bahan
ofensif dapat diakses di Prancis dan karenanya menyebabkan kerugian bagi warga
negara Prancis, sehingga pengadilan memiliki kekuatan untuk menghukum Yahoo.
Terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan Prancis Yahoo! mencari bantuan dari
pemerintah Amerika Serikat dan Yahoo! mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik
San Jose di California yang mempertanyakan apakah Yahoo! terikat dengan putusan
pengadilan Prancis itu. Yahoo! Meminta sebuah deklarasi bahwa pengadilan Prancis
tidak memiliki yurisdiksi atas operasi berbasis Yahoo di Amerika Serikat, dan bahwa
perintah pengadilan Prancis melanggar hak-hak yang dijamin oleh Konstitusi
Amerika Serikat. Yahoo Berpendapat bahwa hanya pengadilan Amerika Serikat yang
memiliki yurisdiksi untuk menentukan apakah perintah pengadilan Prancis dapat
diterapkan di Amerika Serikat.

Hakim Jeremy Fogel yang memeriksa perkara tersebut tidak sependapat


dengan pihak LICRA dan menolak permohonan itu kemudian memutuskan untuk
melanjutkan pemeriksaan. Pada November 2001, hakim Fogel memutuskan bahwa
Yahoo tidak terikat dengan putusan Pengadilan Perancis tersebut. Para penyedia
jasa internet yang menyelenggarakan bisnis di Amerika Serikat hanya tunduk
kepada hukum Amerika Serikat.

3
Sigid Suseno, Yuridiksi Tindak Pidana Siber, Refika Aditama,Bandung, 2012, hlm.vii
2
Kasus masalah yurisdiksi antara Yahoo! dan LICRA ini merupakan hal yang
menarik untuk dikaji terkait dengan upaya menciptakan kepastian hukum bagi
masyarakat internasional dalam penggunaan internet dan hal ini akan menjadi
bahasan dalam makalah yang kami susun ini.

1.2. Rumusan Masalah.

Dilihat dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok


yang diungkapkan lebih lanjut dalam penulisan ini, yaitu:
1. Bagaimanakah dampak dari kasus yang terjadi antara Yahoo! dan LICRA
dikaitkan dengan pengaturan mengenai yurisdiksi dalam penggunaan
internet.
2. Upaya-upaya hukum apakah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir atau
menyelesaikan sengketa yuridiksi dalam kasus hukum yang berkaitan dengan
siber.

1.3. Tujuan Penulisan.

Adapun tujuan penulisan yang kami susun ini adalah :


1. Untuk memenuhi dan melengkapi tugas perkuliahan Magister Hukum Sekolah
Tinggi Hukum Bandung mata Kuliah Hukum Siber.
2. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai masalah yurisdiksi pada kasus yang
berkaitan dengan hukum siber.

1.4. Metode Penulisan

Metode Penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif analisis, yaitu


untuk memperoleh gambaran mengenai situasi dan keadaan yang ada dengan cara
mengumpulkan data-data yang diperoleh dari informasi fakta buku, tulisan yang
menjadi bahan referensi penulis untuk menganalisis yang berhubungan dengan
hukum siber melalui berbagai analisis tersebut nantinya akan disusun beberapa
kesimpulan dan saran. Selanjutnya untuk menjawab keseluruhan permasalahan
yang diteliti maka digunakan metode penulisan terhadap asas-asas hukum dan
peraturan perundang-undangan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Yurisdiksi.

Yurisdiksi adalah refleksi dari kedaulatan suatu Negara, yang dilakukan dalam
batas-batas wilayahnya. Apabila kedaulatan merupakan atribut atau ciri khusus dari
Negara maka yurisdiksi merupakan lambang kedaulatan suatu Negara.4

Pengertian yurisdiksi lebih luas dikemukakan oleh James George meliputi


kekuasaan Negara untuk menetapkan hukum pidana dan hukum yang bersifat
regulative sertaa menegakan hukum melalui tindakan administrative dan yudisial.5
Dengan perkataan lain lingkup yurisdiksi meliputi yurisdiksi untuk menetapkan
hukum, yurisdiksi untuk menetapkan, yurisdiksi untuk menerapkan hukum dan
yurisdiksi untuk menuntut atau mengadili.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka yurisdiksi Negara yang


berdaulat terhadap orang, perbuatan, harta benda atau peristiwa hukum meliputi
tiga jenis yurisdiksi, yaitu untuk membuat hukum (jurisdiction to prescribe),
yurisdiksi untuk menerapkan hukum (jurisdiction to enforce) dan yurisdiksi untuk
menuntut dan mengadili (jurisdiction to adjudicate).6

Ketiga jenis yurisdiksi tersebut tersebut dalam konteks yurisdiksi terhadap


tindak pidana siber sama pentingnya, masing-masing mempunyai peran saling
terkait. Walaupun jurisdiction to prescribe adalah kedaulatan penuh suatu Negara
dan tidak terkait dengan kedaulatan Negara lain sehingga tampak tidak ada
masalah, namun apabila dalam melaksanakan jurisdiction to prescribe tersebut
masih terdapat kesenjangan dengan regulasi Negara lain akan menimbulkan
masalah dalam peneapannya. Berkaitan dengan hal ini walaupun menurut Barda
Nawawi Arief masalah yurisdiksi yang menonjol adalah jurisdiction to adjudicate

4
Ibid, hlm.54
5
Ibid
6
Ibid, hlm.57
4
dan jurisdiction to enforce namun juga diakui bahwa dalam melaksanakan
jurisdiction to prescribe dapat berbeda-beda dan bahkan berbenturan antara satu
Negara dengan negara lain, sehingga dapat menimbulkan masalah dalam
penerapannya. Dengan demikian maka kesenjangan dalam jurisdiction to prescribe
akan menghambat pelaksanaan jurisdiction to adjudicate dan jurisdiction to
enforce.7

Berdasarkan uraian yurisdiksi tersebut, baik pidana maupun perdata,


menunjukan bahwa yuridiksi universal menjadi pilihan dan paling baik untuk
sementara ini dalam menyelesaian persoalan yurisdiksi cyber.8

2.2. Aspek Hukum Siber.

Menurut Nudirman Munir, berapa Aspek Hukum Siber antara lain :

a. Aspek Hak Cipta

Hak cipta yang sudah diatur dalam UU Hak Cipta. Aplikasi Internet seperti
website dan e-mail membutuhkan perlindungan hak cipta. Publik
beranggapan bahwa informasi yang tersedia di internet bebas untuk di
download, diubah dan diperbanyak. Ketidakjelasan mengenai prosedur dan
pengurusan hak cipta aplikasi internet masih banyak terjadi.

b. Aspek Merek Dagang

Aspek merek dagang ini meliputi identifikasi dan membedakan suatu sumber
barang dan jasa, yang diatur dalam UU Merek.

c. Aspek Fitnah dan Pencemaran Nama Baik

Hal ini meliputi gangguan atau pelanggaara terhadap reputasi seseorang,


berupa pertanyaan yang salah, fitnah, pencemaran nama baik, mengejek, dan
penghinaan. Walaupun semua tindakana tadi dilakukan dengan
menggunakan aplikasi internet, namun tetap tidak menghilangkan tanggung

7
Ibid.
8
Nudirman Munir, Op.Cit.hlm.90
5
jawab hukum bagi pelakunya. Jangan karena melakukan fitnah atau sekedar
olok-olok di e-mail atau chat room maka kita bebas melenggang tanpa rasa
bersalah. Ada korban dari perbuatan kita yang tak segan-segan mengambil
tindakan hukum.

d. Aspek Privasi

Di banyak Negara maju dimana computer dan internet sudah diakses oleh
mayoritas warganya, privasi menjadi masalah tersendiri. Makin seseorang
mengantungkan pekerjaannya kepada komputer, makin tinggi juga privasi
yang dibutuhkan. Adanya beberapa persoalan yang muncul dari hal privasi ini.
Pertama, informasi personal apa saja yang dapat diberikan kepada orang
lain?. Lalu apa sajakah pesan informal pribadi yang tidak perlu diakses orang
lain? Apakah dan bagaimana dengan pengiriman informasi pribadi yang
anonym.

Menurut Sinta Dewi Rosadi, isu perlindungan data privasi menjadi suatu
isu yang yang menjadi perhatian masyarakat global. Menggunakan istilah data
privasi karena ada dua istilah yang digunakan secara bergantian, yaitu
perlindungan privasi dan data pribadi yang sebenarnya secara teori memiliki
pengertian dan ruang lingkup yang berbeda karena privasi memiliki
pengertian dan konteks yang lebih abstrak dan luas, yaitu hak untuk tidak
diganggu (non interference), akses terbatas (limited assessibility) atau kendali
atas informasi pribadi (information control), sedangkan perlindungan data
pribadi adalah perlindungan secara khusus tentang bagaimana undang-
undang melindungi, bagaimana data pribadi dikumpulkan, didaftarkan,
disimpan, dieksploitasi, dan disebarluaskan.9

e. Aspek Yurisdiksi

9
Sinta Dewi Rosadi, Cyber Law, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan
Nasional, Refika Aditama, Bandung, hlm.1
6
Dalam hukum siber di mana ada ruang tanpa batas (ruang maya) atau ruang
siber, maka pelaku pelanggaran sering kali sulit untuk dijerat hukum karena
permasalah aspek yurisdiksi khususnya di Indonsia. Hal ini disebabkan tidak
adanya ketentuan yang mengatur secara jelas mengenai yurisdiksi terhadap
pelaku yang melakukan perbuatan hukum khususnya di mana perbuatan
hukum itu terjadi atau perbuatan hukum dilakukan. Hal ini juga menjadi
masalah karena pelanggaran hukum yang dilakukan bersifat transnasional
atau melintasi batas Negara sehingga mengakibatkan akibat hukum serta
implikasi hukum.10

Akibat hukum ini sangat terasa dalam hal menetapkan di pengadilan


mana akan dilakukan persidangan terhadap pelaku kejahatan siber. Bahkan
dalam hal masalah perdata sekalipun walaupun didalam UU ITE sudah
digambarkan mengenai yurisdiksi, tetapi tidak dengan jelas menyebutkan di
mana yurisdiksi yang harus ditetapkan terhadap sebuah perbuatan melawan
hukum atau suatu ingkar janji (wanprestasi). Atas dasar itulah aspek yurisdiksi
mempunyai peran sangat penting dalam menentukan yurisdiksi kejahatan
dilakukan atau wanprestasi terjadi.

2.3. Asas-Asas Yurisdiksi.

Dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena
hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan
perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat
transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.
Menurut Darrel Menthe, dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis yuridikasi,
yaitu:

1. Yuridiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe)


2. Yuridiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce)

10
Ibid, hlm.91
7
3. Yuridiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal beberapa


asas yang biasa digunakan, yaitu:

a. Subjective territoriality : Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan


berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya
dilakukan di negara lain.
b. Objective territoriality : Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak
yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan
c. Objective territoriality : Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak
yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan
d. Nationality : Menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
e. Passive nationality : Menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan
korban.
f. Protective principle : Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas
keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang
dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban
adalah negara atau pemerintah.
g. Universality : asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait
dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai
“universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa
setiap Negara berhak unutk menangkap dan menghukum para pelaku
pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara, dll. Meskipun di masa mendatang asas yuridiksi
universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti komputer,
cracking, carding, hacking dan virus. Namun perlu dipertimbangkan bahwa

8
penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius
berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional. Oleh karena itu,
untuk ruang cyber, dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-
batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang
hanya dibatasi oleh screens dan passwords. Secara radikal, ruang cyber telah
mengubah hubungan antara legally signifikan (online) phenomena dan
physical location.

2.4. Konsep Yurisdiksi berdasarkan Konvensi Dewan Eropa 2001.

Konvensi Dewan Eropa tentang tindak pidana siber telah mengatur hukum
pidana substantive dalam Pasal 2 sampai dengan pasal 11, yang merumuskan
beberapa tindakan pidana siber termasuk percobaan/attem, aiding dan abetting.
Daya berlaku hukum pidana substantive tersebut didasarkan pada ketentuan-
ketentuan tentang yurisdiksi dalam Pasal 22 yang mengatur prinsip-prinsip
yurisdiksi sebagai dasar berlakunya yurisdiksi criminal terhadap tindak pidana
siber.11

Tujuan pengaturan yurisdiksi dalam Pasal 22 Konvensi Dewan Eropa 2001


adalah agar Negara pihak dalam Konvensi menetapkan berlakunya yurisdiksi
terhadap tindak pidana siber (pasal 2 sampai dengan pasal 11 Konvensi) dalam
hukum nasionalnya. Pengaturan yurisdiksi juga dimaksudkan untuk menghadapi
terjadinya dua atau lebih Negara pihak yang menuntut yurisdiksi terhadap tindak
pidana siber. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan yurisdiksi berkaitan dengan
tindak pidana teknologi informasi, yaitu bagaimana mentapkan tempat dimana
tindak pidana dilakukan (locus delicti) dan hukum mana yang harus ditetapkan,
termasuk masalah ne bis in idem dalam hal terdapat multiple jurisdiction. Termasuk

11
Sigid Suseno, Op.Cit. hlm.251
9
juga bagaimana menyelesaikan terjadinya konflik yurisdiksi positif dan menghindari
terjadinya konflik yurisdiksi negatip.12

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 22 tersebut, tampak bahwa prinsip-


prinsip yurisdiksi yang digunakan dalam Konvensi Eropa 2001 sebagai dasar
berlakunya yurisdiksi criminal terhadap tindak pidana siber mencakup prinsip
territorial dan ekstra-teritorial. Penjelasan mengenai prinsip-prinsip yurisdiksi
dalam Konvensi tersebut adalah :13

1. Prinsip Teritorial.

Konvensi Dewan Eropa 2001 menempatkan prinsip territorial sebagai dasar


utama dalam menetapkan berlakunya yurisdiksi criminal terhadap tindak
pidana siber sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 22 ayat 1 huruf a. Setiap
Negara wajib wajib menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana siber yang
ditetapkan dalam Konvensi dan dilakukan dalam wilayah terotorialnya.
Negara pihak menyatakan dengan tegas yurisdiksi teritorialnya bila pelaku
melakukan serangan terhadap sistim computer dan korbannya berada dalam
wilayah teritorialnya atau jika sistim computer diserang di wilayah teritorial
dan pelakunya berada di luar wilayah teritorialnya.

2. Prinsip Nasional.

Prinsip ekstra-teritorial dalam Konvensi ini didasarkan pada prinsip nasional


(kebangsaan). Dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d terdapat dua kewajiban yang
harus dilakukan negara fihak, yaitu : pertama, Negara pihak wajib
menetapkan yurisdiksi terhadap tindak pidana siber dalam Konvensi yang
dilakukan oleh warga Negara dalam wilayah negaranya dan perbuatan
tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum negara tersebut.
Pembatasan prinsip nasional adalah dengan adanya persyaratan
terpenuhinya prinsip dual criminality, yaitu bahwa perbuatan tersebut juga

12
Ibid, hlm.252
13
Ibid, hlm.253
10
harus merupakan tindak pidana berdasarkan hukum Negara tersebut. Kedua,
Negara wajib menerapkan yurisdiksi terhadap tindak pidana yang dilakukan
oleh warga Negara pada suatu tempat di luar yurisdiksi teritorial setiap
Negara.

Prinsip yurisdiksi criminal dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d berlaku terhadap
warga Negara pihak yang melakukan tindak pidana bila tindak pidana tersebut
diancam dengan pidana berdasarkan hukum pidana dimana dimana tindak
pidana tersebut dilakukan atau jika tindak pidana dilakukan di luar yurisdiksi
teritorial dari setiap Negara.14

14
Ibid, hlm. 255
11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kasus Posisi Sengketa antara LICRA dan UEJF yang berdomisili di Perancis dengan
Yahoo Inc yang berdomisili di Amerika.

Salah satu kasus perbedaan yurisdiksi tang pernah terjadi antara lain kasus
antara LICRA dan UEJF yang berdomisili di Perancis dengan Yahoo Inc yang
berdomisili di Amerika.15

Kasus ini bermula dari adanya lelang barang-barang kenangan peninggalan


NAZI (NAZI Memorabilia) seperti bendera swastika dan lain-lainnya yang dilelang
pada situs Yahoo.com. Barang-barang kenangan itu semula terdapat dalam situs
Yahoo! di Perancis (yahoo.fr). Namun karena berbagai tekanan, pihak yahoo.fr
menarik barang kenangan NAZI itu dari situsnya. Meskipun demikian, pengguna
internet dari Perancis masih dapat mengakses barang kenangan NAZI itu dengan
mengunjungi situs Yahoo International (yahoo.com).

Dua organisasi di Perancis, yaitu Liga untuk menentang Rasisme dan Anti
Semitisme [la Ligue Contre le Racisme et L’Antisemitisme (LICRA)] dan Perhimpunan

15
Disadur dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5551/internet-di-simpang-jalan

12
Mahasiswa Jahudi Perancis (UEJF) memajukan gugatan kepada perusahaan internet
Amerika Yahoo! Pada Tribunal de Grande Instance de Paris, pengadilan di Perancis
meminta agar barang-barang kenangan NAZI itu ditarik dari situs Yahoo yang dapat
diakses di Perancis.

Organisasi-organisasi tersebut mengeluh bahwa lelang Yahoo! lebih dari 1200


item nazi yang berhubungan dengan “banalization of Nazism” telah melanggar
hukum Perancis. Item-item yang ditawarkan dan dijual disitus tersebut adalah
berhubungan dengan Nazi seperti bendera, seragam, gesper, dan medali.

3.2. Putusan Terkait Sengketa antara LICRA dan UEJF yang berdomisili di Perancis
dengan Yahoo Inc yang berdomisili di Amerika.

Pada November 2000, Hakim Gomez memutuskan bahwa pengadilan


Perancis memiliki yurisdiksi atas Yahoo! untuk pelanggaran yang terjadi di Perancis.
Ia memerintahkan Yahoo! untuk memblokir akses warga Perancis untuk lelang
barang Nazi dalam waktu tiga bulan atau membayar denda 15.000 Euro ($13.000
pada saat itu) per hari.

Pengadilan Perancis tersebut membenarkan tuntutan kedua organisasi itu


dan memerintahkan Yahoo, Inc untuk menarik barang kenangan NAZI itu dari
situsnya atau supaya Yahoo, Inc menggunakan teknologi yang memungkinkan
pengguna internet dari Perancis tidak dapat mengakses barang kenangan NAZI itu
dari Perancis.

Hakim Jean Jacques Gomez yang menangani perkara tersebut, mewajibkan


Yahoo to “take all necessary measures to dissuade and make impossible any access
via Yahoo.com to the auction service for Nazi merchandise as well as to any other
site or service that may be construed as an apology for Nazism or contesting the
reality of Nazi crimes.”

Tidak berapa lama setelah putusan itu, Yahoo! mengajukan gugatan di


Pengadilan Distrik San Jose di Kalifornia yang mempertanyakan apakah Yahoo
terikat dengan putusan pengadilan Perancis itu. Namun pada 2 Januari 2001, pihak

13
Yahoo mengumumkan menarik semua barang-barang peninggalan NAZI itu dari
situsnya tetapi perkaranya tidak dicabut dari Pengadilan karena mereka ingin
menguji hukum.

Selanjutnya, pihak LICRA mengajukan permohonan kepada pengadilan agar


menghapuskan perkara itu dari pengadilan (dismissal motion) karena dengan
tindakan Yahoo menarik barang kenangan NAZI dari situsnya pihak Yahoo
sebetulnya sudah melaksanakan putusan Pengadilan Perancis tersebut.

Hakim Jeremy Fogel yang memeriksa perkara tersebut tidak sependapat


dengan pihak LICRA dan menolak permohonan itu kemudian memutuskan untuk
melanjutkan pemeriksaan. Pada November 2001, hakim Fogel memutuskan bahwa
Yahoo tidak terikat dengan putusan Pengadilan Perancis tersebut. Para penyedia
jasa internet yang menyelenggarakan bisnis di Amerika Serikat hanya tunduk
kepada hukum Amerika Serikat.

Permasalahan yang timbul antara lain adalah :

1. Masalah kedaulatan

Perkara LICRA v Yahoo, Inc ini merupakan perkara pertama yang paling
menarik perhatian dalam bidang cyberlaw. Putusan hakim Gomez dalam
perkara tersebut telah menjadi landmark decision dan memang mempunyai
dampak yang sangat besar, antara lain :
a. Pemerintah Jerman memerintahkan semua penyedia jasa internet di
Jerman untuk tidak menjual buku Mein Kampf karya Adolf Hitler dalam
situsnya. E-bay, sebuah situs yang menjadi saingan utama dari Yahoo.
Inc, terpaksa mengumumkan pada Mei 2001 bahwa semua barang
kenangan peninggalan Nazi dicabut dari situsnya karena ketakutan akan
mendapat tuntutan hukum di negara lain.
b. Sebuah situs perjudian di Inggris pada Januari 2002 telah menggunakan
suatu teknologi yang membuat pengguna internet dari Amerika Serikat
tidak dapat mengunjungi situsnya. Pasalnya, hukum di beberapa negara

14
bagian di Amerika Serikat sangat keras menyangkut perjudian dari
internet dan mereka khawatir jika sampai mendapat tuntutan hukum.

Putusan hakim Gomez, secara teknis telah dianggap bertentangan


dengan sifat hakiki dari internet sebagai suatu Galactic Networks. Putusan
Hakim Gomez di atas juga telah membuat kalang kabut kalangan pakar-pakar
hukum, baik di Uni Eropa maupun di Amerika Serikat. Isu kedaulatan kembali
merebak.
2. Siapa yang berwenang mengatur isi dari suatu situs

Amerika Serikat yang sangat terkenal mengagungkan Amandemen


Pertama dari Konstitusinya mengenai kebebasan menyatakan pendapat telah
dibuat kelabakan dengan putusan Hakim Gomez. Semua isi dari situs yang
didirikan di bawah hukum Amerika Serikat dan menjalankan operasinya dari
Amerika Serikat mempunyai keistimewaan di bawah Amandemen Pertama
dari Konstitusi tersebut.

Tidak satu negara pun dapat mengatur apa yang menjadi isi dari situs-
situs dari Amerika Serikat. Ahli-ahli di Perancis mengecam pandangan ini
dengan mengatakan, “hanya karena Amerika Serikat memiliki Amandemen
Pertamanya lalu mereka akan berhak menentukan material apa yang
melanggar dan tidak melanggar hukum di negara lain.”

Suatu situs sekali di-launch akan dapat diakses di seluruh dunia di


manapun akses ke Internet tersedia. Sangat mustahil untuk membuat suatu
situs hanya dapat di akses dari suatu tempat tertentu, tetapi tidak dapat
diakses dari tempat lainnya. Teknologi yang digunakan oleh situs perjudian
dari Inggris sebagaimana disebut di ataspun masih diragukan keampuhannya.

Sebaliknya, pakar dari Amerika Serikat memandang bahwa putusan


Hakim Gomez itu merupakan suatu upaya untuk menundukkan perilaku di
dunia maya tunduk di bawah hukum Perancis.

15
3. Pengadilan mana yang berwenang mengadili sengketa yang mungkin timbul
(masalah jurisdiksi).

Hakim Gomez berpendirian bahwa Pengadilan Perancis berwenang


untuk mengadili siapapun yang melakukan pelanggaran yang terjadi di
sebagian atau di seluruh wilayah hukum Perancis yang mungkin akan
mengganggu kepentingan nasional dari Perancis. Masalahnya di sini adalah
Yahoo tidak mempunyai bisnis di Perancis, kecuali saham-saham pada
Yahoo.fr. Apakah pengadilan Perancis dapat mengadili entitas yang tidak ada,
tidak menjalankan usaha, dan tidak memiliki aset di Perancis?

4. Apa yang dapat dilakukan

Putusan hakim Gomez memang masih belum dapat diterapkan secara


langsung dalam kasus-kasus selanjutnya. Namun, putusan hakim Gomez
merupakan suatu peringatan bahwa sangat mungkin pengadilan suatu negara
akan mengadili suatu situs yang dioperasikan dari negara lain yang melanggar
hukum dari negara yang bersangkutan.

Misalnya pengadilan Amerika sangat mungkin akan mengadili pemilik


situs di Indonesia, jika menurut pihak Amerika Serikat situs yang bersangkutan
merugikan kepentingan nasional Amerika Serikat. Misalnya, jika situs yang
bersangkutan berisi material yang menurut pandangan Amerika men-support
terorisme. Sebaliknya, pihak-pihak yang sangat anti dengan pornografi di
Indonesia dapat menyeret perusahaan di Amerika Serikat yang
menyelenggarakan bisnis pornografi di pengadilan Indonesia.

Kasus Yahoo adalah contoh keinginan negara-bangsa untuk menegakkan dan


menerapkan hukum nasional mereka ke media global dan multi-nasional seperti
internet. Pendekatan Perancis dalam arti mirip dengan pendekatan Jerman di mana
CompuServe ditemukan bertanggung jawab di bawah hukum pidana Jerman untuk
distribusi konten ilegal melalui internet (terutama pornografi anak). Keputusan
tersebut dikeluarkan meskipun ada upaya dari Jaksa Penuntut yang setuju dengan

16
pembelaan bahwa "secara teknis tidak mungkin untuk menyaring semua materi
semacam itu" melalui Internet. Sementara ada lebih banyak konsensus mengenai
isu pornografi anak sebagai konten ilegal. yang sama tidak benar untuk hate
speechla dan tampilan atau iklan memorabilia nazi tidak ilegal di banyak negara,
dan tentu saja tidak di Amerika Serikat di mana Yahoo! Inc. menawarkan
layanannya.

Dengan adanya sengketa seperti yang terjadi antara Yahoo dengan LICRA,
maka perlu dibuat suatu aturan yang dapat diterapkan secara internasional, oleh
karena itu negara-negara Eropa membuat suatau aturan yang dituangkan dalam
Konvensi Dewan Eropa tentang tindak pidana siber telah mengatur hukum pidana
substantive dalam Pasal 2 sampai dengan pasal 11, yang merumuskan beberapa
tindakan pidana siber termasuk percobaan/attem, aiding dan abetting. Daya
berlaku hukum pidana substantive tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan
tentang yurisdiksi dalam Pasal 22 yang mengatur prinsip-prinsip yurisdiksi sebagai
dasar berlakunya yurisdiksi criminal terhadap tindak pidana siber.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 22 tersebut, tampak bahwa prinsip-


prinsip yurisdiksi yang digunakan dalam Konvensi Eropa 2001 sebagai dasar
berlakunya yurisdiksi criminal terhadap tindak pidana siber mencakup prinsip
territorial dan ekstra-teritorial. Ketentuan yang diatur dalam Konvensi Eropa 2001
dapat diikuti oleh negara-negara lain sebagai acuan yang dapat diterapkan dalam
mengantisipasi yurisdiksi criminal terhadap tindak pidana siber mencakup prinsip
territorial dan ekstra-teritorial.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Perkara LICRA v Yahoo, Inc ini merupakan perkara yang menarik perhatian
dalam bidang cyberlaw, dimana satu pihak berdomisili di Perancis dan satu pihak
lagi berdomisili di Amerika. Putusan hakim Gomez dalam perkara tersebut telah
menjadi landmark decision dan mempunyai dampak yang sangat besar, dalam
yurisdiksi yang berkaitan dengan masalah hukum siber.

Salah satu jalan untuk meminimalisir akibat-akibat yang tidak diharapkan


dalam kasus hukum siber, salah satunya dengan adanya Konvensi Dewan Eropa 200,
khususnya yang diatur dalam Pasal 22 Konvensi Dewan Eropa tersebut. Apabila
terjadi konflik yurisdiksi, negara-negara yang bersangkutan dapat menempuh cara
kerjasama internasional untuk menyelesaikannya sejalan dengan Konvensi Eropa
tersebut.

4.2. Saran
Meskipun Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, namun adabaiknya Indonesia ikut meratifikasi Konvensi
Dewan Eropa 2001. Keuntungan dari meratifikasi konvensi ini adalah Indonesia bisa
menjalin kerja sama dengan peserta apabila terjadi kasus cybercrime yang
merugikan Indonesia terutama jika si pelaku melakukan cybercrime tersebut di luar
wilayah Indonesia, posisi Indonesia dalam mengajukan permohonan untuk
mengekstradisi pelaku akan menjadi lebih kuat dan keuntungan lain adalah

18
Indonesia dapat menjalin kerjasama di bidang teknologi informasi agar Indonesia
tidak ketinggalan dalam penanganan kasus cybercrime.

19

Anda mungkin juga menyukai