Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kinerja (performance) menjadi isu dunia saat ini. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi tuntutan
masyarakat terhadap kebutuhan akan pelayanan prima atau pelayanan yang bermutu tinggi. Mutu tidak
terpisahkan dari standar, karena kinerja diukur berdasarkan standar. Melalui kinerja klinis perawat dan
bidan, diharapkan dapat menunjukkan kontribusi profesionalnya secara nyata dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan dan kebidanan, yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan secara umum
pada organisasi tempatnya bekerja, dan dampak akhir bermuara pada kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat.

Evaluasi merupakan bagian penting dari administrasi yang efektif dalam suatu organisasi. Hal ini
suatu proses bantuan kepada staf untuk mencapai tujuan organisasi. Hasil yang diharapkan dikaitkan
dengan standar yang digunakan dalam pelayanan kesehatan akan bermakna apabila tujuan dapat
dicapai dengan hasil yang baik. Hasil tersebut sangat tergantung pada kualitas kinerja yang ditampilkan
oleh klinisi, termasuk perawat dan bidan. Oleh sebab itu salah satu bagian yang penting dalam
proses manajemen adalah melakukan monitoring untuk mengetahui bagaimana perawat dan bidan
melakukan pekerjaannya.
Dalam melakukan monitoring kinerja perawat dan bidan, perlu ada seorang koordinator untuk
perawat dan koordinator untuk bidan. Dengan demikian diharapkan kinerja perawat dan bidan dapat
dipertanggungjawabkan dan segera diketahui bila terjadi penyimpangan, namun keputusan harus dibuat
berdasarkan informasi yang lengkap. Hasil monitoring ini harus dilaporkan dan bila terdapat
penyimpangan segera ditindaklanjuti tetapi sebaliknya bila terdapat peningkatan kinerja perlu diberikan
penghargaan. Monitoring merupakan bagian dari evaluasi yang dilakukan dalam proses kegiatan/evaluasi
formatif. Sedangkan evaluasi selain berisi monitoring juga melihat kembali kegiatan yang dilakukan
secara keseluruhan/evaluasi sumatif.
Perubahan yang begitu cepat dalam pelayanan kesehatan, peningkatan kebutuhan masyarakat
akan pelayanan dan keterbatasan sumber daya, telah mendorong kearah tersedianya pelayanan yang
berkualitas dengan melaksanakan sesuatu yang benar pada saat yang tepat dengan upaya yang sesuai.
Prinsip ini perlu diterapkan sehingga diperlukan adanya jaminan mutu, standar, indikator kinerja, uraian
tugas serta sistem monitoring dan evaluasi yang berdasarkan standar dan kebutuhan pelayanan.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai konsep evaluasi kinerja.

1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas dari mata kuliah manajemen
keperawatan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Evaluasi


World Health Organization (WHO) merumuskan evaluasi sebagai suatu proses dari pengumpulan
dan analisis informasi mengenai efektivitas dan dampak suatu program dalam tahap tertentu sebagai
bagian atau keseluruhan dan juga mengkaji pencapaian program. Definisi lain dikemukakan oleh
Swansburg (1996) yang menyatakan bahwa evaluasi kinerja adalah suatu proses pengendalian dimana
kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan standar.
Evaluasi adalah suatu proses pengumpulan data menganalisis informasi tentang efektifitas dan
dampak dari suatu tahap atau keseluruhan program . Evaluasi juga termasuk menilai pencapaian
program dan mendeteksi serta menyelesaikan masalah dan merencanakan kegiatan yang akan
datang(WHO). Evaluasi adalah proses pemberian informasi untuk membantu membuat keputusan
tentang objek yang akan dievaluasi
Banyak orang berfikir bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan di akhir suatu
program/proyek dan itu tidak membutuhkan pikiran yang serius , pendapat ini adalah suatu hal yang
salah karena evaluasi membutuhkan perencanaan sebelum mengerjakan suatu program /proyek dan
termasuk evaluasi formatif dan sumatif.
Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama program atau kegiatan berlangsung dan ini
dikaitkan dengan proses monitoring.Informasi yang diperoleh dari monitoring memungkinkan untuk dapat
membuat dan menetapkan tentang bagaimana program tersebut dapat berjalan atau bagaimana
sebaiknya proses untuk mencapai tujuan; contoh monitoring dari suatu pencapaian artinya bahwa anda
dapat terus menerus mengkaji ulang kemajuan dan mengidentifikasi sesuatu untuk menyakinkan bahwa
hal itu realistik dan dapat dicapai dan dimodifikasi atau bila perlu memperbaikinya sementara program
masih berjalan.

2.2 Tujuan Evaluasi


Tujuan evaluasi adalah :
1. Menentukan kompetensi pekerjaan.
2. Meningkatkan kinerja dengan menilai dan mendorong hubungan yang baik diantara pegawai (perawat
dan bidan).
3. Menghargai pengembangan staf dan memotivasi pegawai kearah pencapaian kualitas yang tinggi.
4. Menggiatkan konseling dan bimbingan dari manajer.
5. Memilih perawat dan bidan berkualitas untuk pengembangan dan peningkatan gaji.
6. Mengidentifikasi ketidakpuasan pegawai.
Secara umum Sistem Manajemen Kinerja Klinis memberi kerangka kerja pengembangan program
melalui; kinerja yang disadari (performance awareness), pengukuran kinerja (performance
measurement) dan peningkatan kinerja (performance improvement).

2.3 Pengertian Kinerja


Kata kinerja (performance) dalam konteks tugas, sama dengan prestasi kerja. Para pakar
banyak memberikan definisi tentang kinerja secara umum, dan dibawah ini disajikan beberapa
diantaranya:
1. Kinerja: adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan
tertentu selama kurun waktu tertentu (Bernardin dan Russel, 1993).
2. Kinerja: Keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan (As'ad, 1991)
3. Kinerja adalah pekerjaan yang merupakan gabungan dari karakteristik pribadi dan pengorganisasian
seseorang (Kurb, 1986)
4. Kinerja adalah apa yang dapat dikerjakan sesuai dengan tugas dan fungsinya (Gilbert, 1977)
Kinerja mengandung dua komponen penting yaitu:
1. Kompetensi berarti individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat
kinerjanya.
2. Produktifitas: kompetensi tersebut diatas dapat diterjemahkan kedalam tindakan atau kegiatan-kegiatan
yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome).
Dari berbagai pengertian tersebut diatas, pada dasarnya kinerja menekankan apa yang
dihasilkan dari fungsi-fungsi suatu pekerjaan atau apa yang keluar (out-come). Bila disimak lebih lanjut
apa yang terjadi dalam sebuah pekerjaan atan jabatan adalah suatu proses yang mengolah in-put
menjadi out-put (hasil kerja). Penggunaan indikator kunci untuk mengukur hasil kinerja individu,
bersumber dari fungsi-fungsi yang diterjemahkan dalam kegiatan/tindakan dengan landasan standar yang
jelas dan tertulis. Mengingat kinerja mengandung komponen kompetensi dan produktifitas hasil, maka
hasil kinerja sangat tergantung pada tingkat kemampuan individu dalam pencapaiannya.
Menurut Gibson (1987) ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang antara lain :
1. Faktor individu: kemampuan, ketrampilan, latar belakang keluarga, pengalaman tingkat sosial dan
demografi seseorang.
2. Faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi dan kepuasan kerja
3. Faktor organisasi : struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan (reward
system).

2.4 Tujuan kinerja


1. Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu maupun dalam kelompok setinggi tingginya.
Peningkatan prestasi kerja perorangan pada gilirannya akan mendorong kinerja staf.
2. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan meningkatkan hasil kerja melalui prestasi
pribadi.
3. Memberikan kesempatan kepada staf untuk menyampaikan perasaannya tentang pekerjaan, sehingga
terbuka jalur komunikasi dua arah antara pimpinan dan staf.

2.5 Kinerja Klinis


Pengembangan dan managemen kinerja pada dasarnya sebuah proses dalam managemen
sumber daya manusia. Implikasi dari kata "manajemen" berarti proses diawali dengan penetapan tujuan
dan berakhir dengan evaluasi. Kata "klinis" menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan berada
pada tatanan pelayanan langsung kepada asuhan pasen.
Secara garis besar ada lima kegiatan utama yaitu:
1. Merumuskan tanggung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh seorang perawat/bidan dan disepakati
oleh atasannya. Rumusan ini mencakup kegiatan yang dituntut untuk memberikan kontribusi berupa hasil
kerja (outcome).
2. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu, termasuk
penetapan standar prestasi dan tolak ukurnya.
3. Melakukan "monitoring", koreksi, memfasilitasi serta memberi kesempatan untuk perbaikan.
4. Menilai prestasi perawat/bidan tersebut dengan cara membandingkan prestasi aktual dengan standar
yang telah ditetapkan.
5. Memberikan umpan balik kepada perawat/bidan yang dinilai berhubungan dengan seluruh hasil
penilaian. Pada kesempatan tersebut atasan dan staf mendiskusikan kelemahan dan cara perbaikannya
untuk meningkatkan prestasi berikutnya.
2.6 Metode Evaluasi Kinerja
Dalam tatanan klinik dapat digunakan metoda evaluasi yang bervariasi. Manajer atau supervisor
harus mempertimbangkan tujuan dari evaluasi kinerja klinis, kemampuan bekerja yang akan dievaluasi.
Ini berarti harus jelas deskripsi pekerjaan dan kegiatan yang didasarkan pada standar setiap posisi klinis.
Menegakkan indikator evaluasi harus mencerminkan deskripsi pekerjaan yang harus mereka
lakukan dan harus sederhana, khusus dan jelas. Penilaian kinerja klinis dapat menggunakan tehnik
kualitatif untuk mengukur kompetensi pekerjaan di bagian khusus. Susunan indikator harus
dikembangkan berdasarkan kekhususan fungsi dan tugas dan itu juga digunakan untuk mengukur proses
dari outcomes kilnis. Metoda evaluasi kinerja bervariasi seperti:

a. Catatan Anecdotal
Catatan Anecdotal adalah catatan individu berdasarkan peristiwa, kegiatan klinik dan hasil serta masalah
yang terjadi pada pegawai yang bersangkutan. Setiap pegawai mempunyai catatan/buku anecdotal. Isu
yang dicatat akan dibahas antara manajer atau supervisor dengan pegawai/staf yang bersangkutan dan
ditandatangani oleh pegawai dan supervisor. Walaupun catatan anecdotal memberi satu arti sistematis
untuk pencatatan observasi, mereka tidak dapat menjamin bahwa observasi akan dibuat sistematis atau
khusus terhadap perilaku yang relevan diobservasi. Hal ini memerlukan pertimbangan waktu pencatat
observasi. Dokumen anecdotal disimpan oleh manajer, dan menulis laporan rekapitulasi serta mengirim
laporan anecdotal kepada seksi keperawatan dan kebidanan di rumah sakit / koordinator di Puskesmas.
b. Penilaian Diri Sendiri
Penilaian diri sendiri adalah metoda lain untuk evaluasi kinerja dan sedikit digunakan dilapangan.
Masalah penilaian diri sendiri bagi pelaksana sama dengan penilaian supervisor dimana membutuhkan
suatu pelatihan dalam menilai diri sendiri. Mereka menjadi terbiasa untuk setiap posisi klinik.
Pertanyaan yang akan memfasilitasi penilaian diri sendiri adalah:
 Pikirkan siapa yang lebih efektif untuk menilai?
 Perilaku dan hasil apa yang dapat mendukung pilihan?
 Pikirkan perilaku dan hasil yang membuat anda bicara dengan diri anda sendiri “Akankah menjadi lebih
baik bila setiap orang mengerjakannya ?
 Kebiasaan apakah dari pekerjaan yang berkaitan dengan tugas untuk dinilai?
 Bagaimana perbedaan dari orang berpenampilan rata-rata dengan orang yang sempurna?
c. Check List
Check List dapat mengkaji kategori kehadiran atau absen, atau karakteristik yang diharapkan atau
perilaku. Check list harus digunakan untuk variabel nyata seperti inventaris perlengkapan. Metoda ini
dapat pula digunakan untuk evaluasi ketrampilan keperawatan atau kebidanan klinis dan disarankan
untuk mencatat perilaku esensial dalam keberhasilan kinerja.
d. Peer Review
Peer Review adalah proses evaluasi diantara teman sekerja dan seprofesi dengan kemampuan yang
sama praktek. Mereka secara kritis mereview praktek sejawatnya dengan menggunakan standar kinerja
yang baku. Ini adalah self-regulation dan mendukung prinsip autonomi. Peer review terdiri dari sejawat
yang memeriksa tujuan asuhan langsung dari sejawatnya dengan standar yang khusus, indicator kritis
dari asuhan yang ditulis oleh sejawat. Tujuan peer review adalh untuk mengukur akontabilitas, evaluasi
dan meningkatkan pemberian asuhan, identifikasi kekuatan dan kelemahan, mengembangkan policy
yang baru atau diubah.
Umumnya sistem manajemen kinerja klinis adalah untuk memberi kerangka kerja pengembangan
program melalui kinerja yang disadari ( performance awareness),pengukuran kinerja( performance
measurement) dan peningkatan kinerja (performance improvement). Pengembangan kinerja klinis
keperawatan dan kebidanan tidak dapat dipisahkan dari upaya pengembangan sumber daya manusianya
yaitu perawat dan bidan itu sendiri. Pengembangan diri secara terus menerus dapat dilakukan dengan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, melalui pelatihan (training) dan dapat juga dilakukan
melalui refleksi diskusi kasus (RDK). RDK dapat dikategorikan sebagai suatu “in-service training” untuk
selalu mengembangkan kemampuan dan dapat dipakai sebagai salah satu indikator pengembangan staf.

2.7 Outcomes Evaluasi


Ada 3 komponen outcomes evaluasi dalam organisasi, yaitu :
1. Clinical outcomes
Clinical outcomes berfokus pada penilaian proses asuhan sebagai perkembangan pasen melalui suatu
sistem yang luas dan spesifik. Umumnya penilaian harus memenuhi outcomes yang mungkin dapat
diterapkan dalam pelayanan. Contoh indikator clinical outcomes adalah :
a. Angka infeksi. Outcome yang diharapkan harus bermakna seperti penurunan infeksi nasokomial menjadi
nol.
b. Pasen jatuh/kecelakaan. Outcome yang diharapkan nol, berarti pasen harus sering diobservasi terutama
pada pasen yang siap ambulansi.
2. Administrative outcomes
Outcomes ini khusus berkaitan dengan organisasi sebagai keseluruhan dan mempengaruhi sistem
kepegawaian, staf, dokter dan alur bawah organisasi. Dasar pengukuran indikator dalam sistem
pelayanan kesehatan adalah implikasi dari organisasi seperti :
1. Kepuasan pegawai. Ini merupakan indikator kritis dari outcome untuk keberhasilan program dan asuhan
pasen. Sistem ini harus meningkatkan kualitas lingkungan kerja pegawai meskipun membutuhkan waktu.
Sistem yang lebih efektif dan efisien didasarkan pada filosofi kerja kelompok dan asuhan yang berfokus
pada pasen. Mengukur kepuasan pegawai harus dikaji atas peratuaran yang mendasar.
2. Analisis budaya dan suasana organisasi. Suatu perencanaan yang baik dan efektif dirancang dengan
proses keseinambungan. Patokan kasus umum memberi implikasi positif baik terhadap budaya maupun
suasana organisasi. Budaya membangun “spirit kelompok” dengan berfokus pada pasen dan proses. Ini
adalah nilai nyata adanya pendidikan dimana belajar menghargai diantara sesama staf, dokter dan
manajemen. Transformasi suasana ke dalam lingkungan ini menumbuhkan autonomi staf, mendorong,
menghargai kreativitas dan inovasi, mendukung kemampuan manajerial dan suatu kebersamaan
diantara anggota kelompok.
3. Service/delivery outcomes
Ada satu komponen tetap dari indikator pelayanan dasar yang dapat dievaluasi dan langsung menilai
outcomes. Indikator outcomes pelayanan sedikit dan lebih sederhana, antara lain :
a. Kepuasan pasien. Banyak metoda dan alat yang cocok untuk menilai kepuasan pasen yang akurat
sebagai indikator kritis. Kegagalan mendengar dan menanggapi persepsi pasen dalam sistem pemberian
asuhan akan mengakibatkan ancaman kegagalan dari organisasi. Data yang berkaitan dengan
kepuasan pasen harus disampaikan kepada semua staf secara regular, hanya outcomes terbaik
memberikan “inovasi” lebih jauh untuk meningkatkan kinerja . Penilaian yang kurang akan memberi
dampak kepada organisasi.
b. Lamanya menunggu (Respone Time). Adalah indikator pelayanan yang sempurna untuk menilai
efektivitas sistem. Suatu birokrasi yang kompleks, lamban, aturan sistem menghasilkan keterlambatan
pemasaran. Pasen sensitif terhadap keterlambatan dan keterbelakangan yang menimbulkan kesan
negatif terhadap organisasi berdasarkan pengalaman dalam proses sewaktu masuk ke rumah sakit.
Evaluasi data penyimpangan kinerja adalah satu bagian penting dalam peningkatan
kinerja. Ada dua jenis penyimpangan. Pertama, penyebab umum terjadinya penyimpangan yang erat
kaitannya dengan penyimpangan minor yang terjadi dalam satu organisasi pelayanan kesehatan, tanpa
memperdulikan sistem yang telah mapan. Penyebab umum terjadi penyimpangan mungkin juga
termasuk penyimpangan minor dalam penampilan kinerja staf, dimana prosedur yang tidak jelas dan
keterbatasan peralatan.
Oleh karena itu, keterbatasan sumber untuk mendeteksi penyebab setiap penyimpangan minor
dapat ditoleransi. Kedua, penyebab khusus terjadinya penyimpangan, mungkin termasuk kesalahan
pegawai, kurangnya pengetahuan dalam menjabarkan peralatan. Target indikator adalah menggunakan
deviasi standar untuk mengidentifikasi penyebab penyimpangan tertentu yang dapat mentoleransi
fluktuasi penyebab umum. Penyebab khusus terjadinya penyimpangan biasanya mudah dikoreksi dari
pada penyebab umum terjadinya penyimpangan. Sebagai contoh; Keharusan mencuci tangan secara
rutin mungkin ditingkatkan dengan drastis, apabila staf sadar dan menerima bahwa praktek cuci tangan
akan di evaluasi. Rencana tindakan adalah kunci untuk menghilangkan penyebab khusus terjadi
penyimpangan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Mengukur kinerja perawat dan bidan dengan menggunakan indikator kinerja klinis merupakan
suatu langkah yang mempunyai keuntungan ganda. Pertama, cara ini akan memberikan kesempatan
bagi staf perawat dan bidan untuk melakukan "self assessment“sehingga dapat mengetahui tingkat
kemampuannya, dan berusaha untuk memperbaikinya. Peningkatan kemampuan dan produktifitas
individu-individu akan memberikan kontribusi peningkatan mutu pelayanan pada organisasinya yang
bermuara. pada kepuasan pasen dan staf. Sistem penilaian kinerja dengan indikator kunci akan
memberikan kesempatan kepada manager dan staf untuk melakukan komunikasi interpersonal yang
efektif, sehingga secara bersama.-sama dapat dilakukan evaluasi dan perbaikan yang mengarah pada
perbaikan kinerja dan bermuara pada peningkatan mutu pelayanan.
Evaluasi merupakan bagian penting dalam manajemen kinerja klinis perawat dan bidan dalam
rangka meningkatkan dan mempertahankan mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan dan disisi lain
meningkatkan kualitas kesehatan pasen. Temuan monitoring di"feedback"kan kepada staf untuk
diketahui seberapa jauh pencapaian kinerjanya. Manajer menggali penyebab masalah dan
merencanakan monitoring sebagai tindak lanjut untuk perbaikan. Hasil monitoring dilaporkan kepada
pimpinan untuk dipergunakan sebagai informasi dalam pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA

DR. Achmad S. Ruky. 2001. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia.

WHO dan Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. 1998. Petunjuk Pelaksanaan
Mutu Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta.

Latar Belakang
Penilaian kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi
berdasarkan standar-standar tertentu. Literatur dalam penilaian kinerja ini banyak, hal ini
menunjukkan betapa pentingnya ini dalam manajemen. Penelitian yang berperan telah
dilaksanakan terhadap berbagai aspek dalam proses penilaian kinerja ini.
Baik pegawai maupun manajer sepertinya tidak menyukai penilaian kinerja ini. Beberapa
pegawai menganggap penilaian kinerja sebagai sesuatu hal yang dianggap lebih bernilai untuk
kepentingan manajer puncak daripada mereka atau penyelianya. Beberapa manajer tidak
menyukai untuk melakukan penilaian kinerja ini karena membuat mereka merasa bersalah:
“Apakah Saya benar-benar adil terhadap para pekerja?”. Manajer lain merasa takut untuk
menghadapi reaksi para pekerja terhadap penilaian.
Penilaian kinerja memerlukan perencanaan cermat, pengumpulan informasi, dan
wawancara formal yang luas, proses yang memerlukan banyak waktu. Manajer biasanya
melakukan aktivitas dalam waktu yang singkat, mengikuti pertemuan, melakukan perilaku tidak
rutin, dan berfokus pada informasi baru, semua jangka aktivitas jangka pendek dalam
perbandingan dengan penilaian kinerja terus menerus. Selanjutnya, proses ini biasanya tidak
interaktif, bergerak lambat, pasif, terisolasi, dan tidak berorientasi pada masyarakat.
Pengukuran terhadap kinerja seseorang bersifat tidak akurat. Seringkali titik perhatian
tertuju pada formatnya, bukan pada orangnya. Dalam beberapa organisasi, departemen sumber
daya manusia mengirimkan format penilaian pada departemen segera sebelum tahun anggaran
berakhir. Formulir-formulir ini harus dilengkapi dengan segera dan dilakukan dengan sedikit
atau tanpa pelatihan dan pemisahan baik rater (pemberi latihan) atau ratee (orang yang diberi
latihan). Hasilnya tidak dapat dipercaya oleh pekerja dan ditakuti oleh manajer.
Sebuah survei terhadap 1300 perusahaan Fortune (1000 perusahaan industry dan 300
non-industri) menunjukkan bahwa 29% dari para pegawai harian tidak terevaluasi oleh system
penilaian formal. Tiga puluh Sembilan persen dari responden menunjukkan bahwa, bilamana
digunakan, sistem penilaian kinerja “amat sangat efektif” atau “sangat efektif”.
Sistem penilaian kinerja ini memerlukan tanggung jawab manajemen puncak. Sistem ini
dapat disatukan dalam suatu siklus perencanaan dengan menghubungkannya pada anggaran
personel atau mencakupkannya sebagai rencana manajemen.
(Swansburg, 2000).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam makalah ini adalah tentang Penilaian Kinerja.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui Penilaian Kinerja.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian penilaian kinerja.
b. Mengetahui tujuan penilaian kinerja.
c. Mengetahui prinsip-prinsip penilaian
d. Mengetahui alat ukur dalam penilaian kinerja.
e. Mengetahui metode penilaian kinerja.
f. Mengetahui permasalahan penilaian kinerja.
g. Mengetahui integrasi peran kepemimpinan dan fungsi manajemen dalam penilaian kinerja

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-
fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (As’ad, 2003).Penilaian
kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan standar-standar
tertentu (Swansburg, 2000). Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh
manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas (Nursalam, 2007).

B. Tujuan
Penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif untuk mengarahkan perilaku pegawai
dalam rangka menghasilkan barang dan jasa dalam volume dan kualitas tinggi. Perawat manajer
juga dapat menggunakan proses penilaian kinerja untuk mengatur arah kinerja dalam memilih,
melatih, bimbingan perencanaan karier, serta pemberian penghargaan personel. Survey dari
Fortune 1300 menunjukkan bahwa 80% menggunakan sistem Penilaian kinerja untuk menilai
peningkatan penghasilan, memberikan umpan balik, dan mengidentifikasikan calon yang akan
dipromosikan, kesemuanya ini merupakan tujuan jangka pendek. Penilaian kinerja yang telah
diterapkan ini juga terlibat dalam tujuan jangka panjang dari perencanaan suksesi dan
perencanaan karier, disamping itu juga banyak berperan dalam perencanaan strategis.
Selain digunakan dalam rangka kegiatan promosi, terminasi, penyeleksian, dan
kompensasi, pengawasan kinerja juga ditemui dalam tujuannya untuk mewujudkan pekerja yang
efektif. Penilaian kinerja merupakan alat manajemen yang mampu memfasilitasi tingkatan-
tingkatan kinerja dalam rangka mencapai objektif dan misi dari perusahaan.
Penilaian kinerja harus memenuhi tuntutan-tuntutan legalitas yang mencakup berbagai
hal yang terkait dengan formulir-formulir standardisasi, analisa kerja yang jelas dan berhubungan
dengan tingkatan pelatihan. Bila hal ini tidak terpenuhi, tindakan disiplin termasuk pemecatan
tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan
manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1. Performance improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil
tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2. Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja
yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3. Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4. Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi
pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5. Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir
yang dapat dicapai.
6. Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7. Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan
yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-
analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8. Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9. External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu
kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan
sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi
peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.

C. Prinsip-Prinsip Penilaian
Menurut Gilles (1996), untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil, maka menejer
sebaiknya mengunakan prinsip-prinsip tertentu, yaitu:
1. Evaluasi pekerjaan seharusnya didasarkan pada standar pelaksanan kerja orientasi tingkah laku
untuk posisi yang ditempati (Rommber, 1986 dikutip gilles 1996). Karena diskripsi kerja dan
standar dan pelaksanan kerja dilaksanakan ke pegawai selama orientasi sebagai tujuan yang
harus dilaksanakan, pelaksanaan kerja seharusnya dievaluasi berkenaan dengan sasaran yang
sama.
2. Sampai tingkah laku perawat yang persentatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi
pelaksanaan kerjanya. Penelitian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau
tingkah laku konsistennya serta guna menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Perawat sebaiknya diberi salinan kerjanya, standar pelaksanan kerja, dan bentuk evaluasi untuk
peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi sehingga sebaiknya perawat maupun supervisior
dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka yang sama.
4. Didalam melaksanakan penulisan pelaksanan penilaian kerja pegawai, menejer sebaiknya
menunjukkan segi-segi dimana pelaksananya kerja itu bisa memuaskan dan perbaikan apa yang
diperlukan. Supervisior sebaiknya merujuk pada contoh kasus-kasus yang mengenai tingkah laku
yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar
komentar yang bersifat evaluatif.
5. Jika diperlukan menejer menjelaskan area mana yang diprioritaskan seiring dengan usaha
perawat untuk meningkatkan pelaksanan kerja.
6. Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan menejer,
diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang cocok untuk keduanya.
Baik laporan evaluasi maupan pertemuan sebaiknya disusun dengan terencana sehingga
perawat tidak merasa bahwa pelaksanan kerjanya sedang dianalisa (Simson,1985). Seorang
pegawai dapat bertahan dari kecaman menejer yang menunjukkan pertimbangan atas perasaan
serta menawarkan bantuan untuk meningkatkan pelayanan kerja.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam buku pengembangan sumber daya manusia, prinsip
penilaian kerja antara lain:
1. Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job realated), artinya sistem penilaian
harus benar-benar menilai prilaku atau kinerja.
2. Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standart): Standar pelaksanaan adalah ukuran
yang dipakai untuk menilai prestasi kerja.
3. Praktis. Sistim penilaian yang praktis mudah dipahami dan mudah dimengerti dan mudah
digunakan baik oleh penilai maupun karyawan.

D. Alat Ukur dalam Penilaian Kinerja


Menurut (Nursalam, 2002) berbagai macam alat ukur telah dalam penelitian pelaksanan
kerja karyawan keperawatan. Agar efektif, alat evaluasi sebaiknya dirancang untuk mengurangi
bias, meningkatkan objektifitas serta menjamin keabsahan dan ketahanan. Setiap supervisor
menunjukkan beberapa tingkatan bias dalam evaluasi kerja bawahan. Beberapa supervisior
biasanya meremehkan pelaksanan kerja perawat asing. Beberapa diantaranya menaksir terlalu
tinggi pengetauan dan ketrampilan dari perawat yang menarik, termasuk juga dalam kerapian
dan kesopanan.
Objektivitas, yaitu kemampuan untuk mengalihkan diri sendiri secara emosional dari
suatu keadaan untuk mempertimbangkan fakta tanpa adanya penyimpangan oleh perasaan
pribadi.
Keabsahan diartikan sebagai tingkatan alat mengukur pokok isi serta yang diukur. Alat
ukur yang digunakan dalam menilai pelaksanan kerja dan tugas-tugas yang ada didalam diskripsi
kerja pada perawat perlu dirinci satu demi satu dan dilaksanakan secara akurat.
Jenis alat evaluasi pelaksanan kerja perawat yang umumnya digunakan ada lima yaitu:
laporan bebas, pengukuran yang sederhana, cheklis pelaksanaan kerja, penilaian grafik, dan
perbandingan pilihan yang dibuat-buat (Hendarson, 1984, dalam Nursalam, 2002).
1. Laporan tanggapan bebas
Pemimpin atau atasan diminta memberi komentar tentang kuwalitas pelaksanan kerja
bawahan dalam jangka waktu tertentu. Karena tidak adanya petunjuk yang harus dievaluasi,
sehinga penilain cenderung menjadi tidak syah. Alat ini kurang obyektif karena mengabaikan
sesuatu yang penting, dimana penilaian hanya berfokus pada salah satu aspek.

2. Cheklis pelaksanaan kerja


Cheklist terdiri dari daftar kriteria pelasanaan kerja untuk tugas yang paling penting
dalam diskripsi kerja karyawan, dengan lampiran formulir dimana peneliti dapat menyatakan
apakah bawahan dapat bertingah laku seperti yang diiginkan atau tidak.

E. Metode Penilaian Kinerja


Banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis
besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang
berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods(penilaian kinerja yang
berorientasi ke masa depan) (Werther dan Davis, 1996).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas kinerja seseorang dari
pekerjaan yang telah dilakukannya. Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama
secara kuantitatif. Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga
kadang-kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh seseorang.
Selain itu, metode ini kadang-kadang sangat subjektif dan banyak biasnya.
Future based methods adalah penilaian kinerja dengan menilai seberapa besar potensi
pegawai dan mampu untuk menetapkan kinerja yang diharapkan pada masa datang. Metode ini
juga kadang-kadang masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih digunakan
sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari metode ini adalah
keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana kinerja seseorang pada
masa datang.
Pengklasifikasian pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan
klasifikasi yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur,
Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu: pendekatan trait,
pendekatan perilaku dan pendekatan hasil.
Pendekatan trait adalah pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang.
Pendekatan ini melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti inisiatif,
loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait memiliki kelemahan karena
ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses
dengan melakukan penilaian kinerja berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja
seseorang. Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau
produk. Metode penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan hasil seperti
metodemanagement by objective (MBO) (Kreitner dan Kinicki, 2000).
Metode-metode penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas
yang paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993) adalah:
1. Written essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai
kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan saran-
saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
2. Critical incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator mencatat mengenai apa
saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai.
3. Graphic rating scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai kinerja
pegawai dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor).
Misalnya adalah dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang
digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika
tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, misalnya, maka ia diberi nilai 3
atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan
metode umum yang paling banyak digunakan oleh organisasi.
4. Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu
evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan
dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan pelanggan. Bila
pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang
berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan,
ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini
mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada
contoh di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari pelanggan. Nilai 7
dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan bantuan. Dengan
mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam penilaian.
5. Multiperson comparison, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai
dibandingkan dengan rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna
untuk menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
6. Management by objectives. Metode ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai
berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya.
Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan disepakati
bersama oleh para pegawai dan manajer.
Setiap metode di atas memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga
tidak baik bagi organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis
metode saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan
lingkup organisasinya, Mondy dan Noe (1993).

F. Permasalahan Penilaian Kinerja


Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian
yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis
pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah
prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan
penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut Werther dan Davis (1996)
adalah:
1. Hallo effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya.
Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh nilai positif
pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai
akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian.
2. Liniency and severity effect. Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka
harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang baik
terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung mempunyai
falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan
memberikan nilai yang buruk.
3. Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah
kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu berlebihan
tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang rata-rata.
4. Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai
pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai
yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri
dengannya. Sedangkan differential effect,yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang
memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka
inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya.
5. First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan
kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya
hingga jangka waktu yang lama.
6. Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka
saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.

G. Integrasi Peran Kepemimpinan dan Fungsi Manajemen dalam Penilaian Kinerja


Pengukuran kinerja sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, menuntut
manajer sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan bawahannya. Manajer
dengan pengukuran kinerja tersebut harus berusaha menjamin, selain pekerjaan yang diberikan
sesuai dengan karasteristik personal, juga menjamin pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan
pencapain tujuan organisasi secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Mangkunegara (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, PT. Remaja Rasdakarya,
Bandung

Nursalam (2003), Proses dan Dokumentasi Keperawatan / Konsep dan Praktek, Salemba, Jakarta

Swarburg R C (2000). Pengaturan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Untuk Perawat


Klinis, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Swarburg R C (2000). Pengembangan Staf Keperawatan Serta Pengembangan SDM, Buku


Kedokteran EGC, Jakarta.

Gilles D A (1996). Manajemen Keperawatan, Edisi 2, WB Sounder Company, Philedeplia.

Notoadmojo I (2000). Sumber daya Manusia,PT. Renika Cipta, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai