Anda di halaman 1dari 14

Pandangan Teori Strukturalisme Terhadap

Budaya Gotong Royong Dusun Sambisari

Nama

: Nurmani

(14250005)

Rakhmat Nur Ilmi

(14250007)

Raka Galih Sajiwo

(14250019)

Sufi Amalia

(14250023)

Amnil Izza

(14250026)

Mila Marlinda

(14250027)

Kelas

:A

Fak/Jur.

: Dakwah & Komunikasi/Ilmu Kesejahteraan Sosial

Mata Kuliah

: Sosiologi Untuk Kesejahteraan Sosial

Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi dan modernisasi sekarang ini. Banyak sekali budaya-budaya
barat yang masuk ke dalam masyarakat. Sehingga mempengaruhi budaya-budaya
tersebut. Proses masuknya budaya tersebut ada yang melalu asimilasi, akulturasi dan
ada yang melindungi sehingga tidak mempengaruhi budaya yang ada. 1
Gotong-royong adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Definisinya menurut kamus besar bahasa Indonesia ialah bekerja
bersama-sama (tolong- menolong, bantu-membantu).2 Kata gotong-royong ini juga
hanya dikenal di Indonesia. Diluar Indonesia memang ada yang seperti ini tetapi
dengan nama kerjasama. Tetapi makna di antara keduanya berbeda.
Desa sambasari yang terletak dipinggir kota Yogyakarta. Yang masih aktif
aktfitas gotong-royongnya sangat perlu sekali digali informasi secara mendalam.
Apalagi di zaman sekarang ini, khususnya di Indonesia. Dimana kebudayaan gotong
royong ini di berbagai belahan bumi Indonesia mulai ditinggalkan akibat adanya
modernisasi. Tidak hanya di kota tetapi juga di desa-desa telah mulai ditinggalkan
kebudayaan ini. Masyarakat semakin menjadi lebih individualistis dan menganggap
dirinya mampu tanpa bantuan orang lain.
Gotong-royong di dusun Sambisari ini. Perlu dikaji karena kami ingin
mengetahui lebih dalam kenapa hal ini masih terjadi di masyarakat. Sedangkan
kebudayaan ini telah banyak ditinggalkan. Desa Sambisari yang letaknya di tepi kota
Yogyakarta. Semakin cocok sekali menjadi contoh untuk tempat lain agar bisa
mempertahankan kebudayaan ini.

1 Bachtiar Alam, Globalisasi dan Perubahan Budaya Perspektif Teori Kebudayaan,


dalam Journal UI, hlm. 8. dari makalah yang dipresentasikan pada Widyakarya
Nasional Antropologi dan Pembangunan, 26-28 Agustus 1997, di Jakarta.
Journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/download/3325/2612
2 Kbbi.web.id, Kamus Besar Bahasa Indonesia offline.

Kenapa gotong-royong di desa ini masih terjadi. Dan bagaimana bisa seperti
itu, sedangkan di sekitar desa tersebut sudah berubah akibat. Apakah ada peran
penguasa, dan bagaimana tindakan masyarakat.
Hal inilah yang perlu kita sangkut pautkan dengan teori strukturalisme. Agar
nantinya bisa dimengerti bagaimana kebudayaan gotong royong ini masih eksis
ditengah-tengah masyrakat modern. Dan bagaimana masyarakat dusun Sambisari
dalam pandangan struktur sosialnya. Semoga penelitian ini bisa menjadi acuan untuk
mempertahankan budaya gotong-royong yang sangat bagus sekali dalam membentuk
kesatuan dan persatuan masyrarakat.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat disimpulkan yaitu:
1. Apa itu teori strukturalisme?
2. Bagaimana bentuk budaya gotong royong Dusun Sambisari?
3. Bagaimana hubungan antara teori strukturalisme dengan budaya
gotong royong Dusun Sambisari?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini untuk memenuhi tugas
ujian

akhir

semester

genap

mata

kuliah

sosiologi

untuk

kesejahteraan sosial.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pembaca, yaitu:
1. Pembaca mengerti makna strukturalisme
2. Pembaca dapat mengaitkan ritual sosial
strukturalisme
3.

dengan

teori

BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Teori Strukturalisme
Dalam membahas teori strukturalisme mamang sangat panjang sekali jika
dikaji dalam ruang lingkup sejarah. Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang
menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama
dan tetap. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere

(membangun), structura berarti bentuk bangunan.3Berbicara mengenai strukturalisme


berarti melibatkan sebuah fokus

pada berbagai struktur. Dan memang sebagian

sosiolog lebih cenderung memperhatikan struktur sosial.


Akan tetapi dalam strukturalisme ini yang menjadi perhatian
utama pada strukturalis adalah struktur linguistik. Dan tentu saja
ialah

karya

linguis

Swiss

Ferdinand

de

Saussure

dalam

perkembangan linguistik struktural. Terutama pembedaan Saussure


antara langue yang merupakan gramatika bagi sistem bahasa
formal dan parole yang merupakan tuturan sesungguhnya dari
pengucap.
Masih membahas Saussure, bahwa dalam pemikirannya
bahasa merupakan tanda yang mengandung penanda dan petanda.
Penanda di sini maksudnya ialah apa yang diucapkan orang berupa
bunyi dan bentuk. Sedangkan petanda ialah apa yang dibayangkan
orang

mengenai

penanda.

Semisal

saja

ketika

satu

orang

mengucapkan gotong royong maka yang tergambar di pikiran orang


lain ialah suatu aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama,
bahu-membahu dalam membuat sesuatu.4
Bagi Levi Strauss strauss, bahasa berasal dari dimensi yang
tidak sadar dalam pikiran manusia. Karenanya pemikiran manusia
bekerja dengan cara yang sama, apapun perbedaannya jelas pada
dasarnya semua diorganisasi atas prinsip-prinsip yang sama.
Selanjutnya, kebudayaan juga ciptaan dari proses pikiran tidak
3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 1040.
4 George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 10311033.

disadari yang sama. Kebudayaan, seperti bahasa, adalah sistem


tanda-tanda

dan

simbol-simbol

yang

pengorganisasiannya

mencerminkan tingkah polah pikiran manusia.5


Sebelum mendalami teori strukturalisme ini. Perlu diketahui
bahwa teori ini berbeda dengan teori fungsional-struktural. Letak
perbedaannya jika fungsional-struktural membahas tentang tatanan
dari

hubungan-hubungan

sosial.

Sementara

strukturalisme

membahas struktur-struktur pemikiran yang menjadi inti struktur. 6


Jadi

teori

strukturalisme

ini

adalah

sebuah

kajian

mendalami/lanjutan dari teori fungsional-struktural(-pent).


Dalam strukturalisme, semua bentuk pola hubungan dilihat sebagai hubungan
linguistik, simbolik, dan diskursi.

Pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh

kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin berjalan, pengetahuan tidak


mungkin melahirkan kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi berkerja melalui mekanisme
dari atas ke bawah yang langsung yang dimana penguasa menerapkan pembataspembatas. Penguasa menjaga kesepakatan bukan memberi ancaman-ancaman atau
hukuman melainkan membujuk agar meninternalisasi norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam tatanan sosial. Inilah yang dimaksud postrukturalisme, dari karya
Michele Foucault yang mengedepankan wacana dalam tindakan seorang penguasa..7
Menurut Ahimsa berkenaan dengan analisis Strauss yang
membagi struktur menjadi dua macam; surface dan deep structure.
Yang terpenting dalam membahas teori strukturalisme harus
ditekankan

pada

dampak

strukturalisme

terhadap

pemikiran-

pemikiran dan tindakan-tindakannya. Sehingga yang diperdalam


adalah

mengkaji

struktur-struktur

dalam

(deep

struktur)

dan

struktur-struktur luar (surface structure). Tetapi untuk surface


5 Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010), hlm. 201.
6 Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga Postmodern,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 265-266
7 Madansarug, Panduan Pengantar untuk memahami Postrukturalisme dan
Postmodernisme, (terjem. Yogyakarta: Jalasutra, 2008 cet, 2), hlm. 113

structure lebih mudah dipahami. Sehingga digunakankanlah struktur


dalam yang dapat digunakan untuk memahami fenomena budaya. 8
B. Budaya Gotong Royong di Dusun Sambisari
Dusun Sambisari adalah Dusun yang

terletak

di

Desa

Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah


Istimewa Yogyakarta. Semua Dusun pastilah memiliki ritual dan
budaya masing-masing, termasuk di Dusun Sambisari ini. Dusun ini
memiliki berbagai budaya diantaranya ada nyadran, tirakatan,
pengajian dan gotong royong yang masih bertahan dalam kegitan
modernisasi di daerah Yogyakarta. Hal inilah yang menjadi fokus
kajian yang perlu diperdalami.
Gotong royong adalah

sebuah

kebiasaan

masyarakat

Sambisari dalam kehidupan. Mereka membantu satu sama lain


dalam sebuah kegiatan tertentu dan seseorang yang telah dibantu
akan merasa berutang budi pada orang yang telah dibantu sehingga
berkeinginan membantunya kembali.
Bahu membahu dalam masyarakat ini di dasari atas rasa
kekeluargaan dan persaudaraan antar sesama mereka. Sehingga
menimbulkan kesan dalam mereka berpikir untuk saling membantu.
Merasa empati diantara mereka, sehingga menimbulkan perasaan
merasa senasib dan seperjuangan dalam kehidupan ini. Tidak bisa
hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Gotong royong ini dimanfaatkan oleh petinggi desa tersebut
(baca:RT).

Dalam

mengontrol

atau

memberi

kebijakan

agar

kebijakan tersebut bisa berfungsi melindungi agar budaya ini tidak


hilang. Meskipun petinggi desa Sambisari berasal dari luar daerah.
Tetapi kebijakan tersebut ada yang positif dan negatif. Sehingga bisa
dikatakan di sini bahwa struktur-struktur sosial yang ada di
masyarakat tersebut bisa mengatur prilaku masyarakat.

8 Ahimsa-Putra dan Heddy Shri, Strukturalisme Lev i-Strauss Mitos dan Karya
Sastrakepel, (Yogyakarta: Galang Press, 2006), hlm. 61

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengertian Metodologi
Metodologi adalah pengetahuan tentang berbagai cara kerja
yang disesuaikan dengan objek studi ilmu-ilmu yang bersangkutan. 9
Metodologi

dimaksudkan

sebagai

prinsip-prinsip

dasar,

bukan

sekedar sebagai (methods) atau cara untuk melakukan penelitian.


metodologi dalam arti prinsip dasar merupakan studi yang logis dan
sistematis tentang proses penelitian.10
B. Metode yang Digunakan
Beberapa metode yang kami gunakan dalam penelitian yaitu:
1. Observasi
Menurut Kartono (1980: 142) metode pengamatan ini adalah
studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan
gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan. 11
Adapun metode yang kami gunakan adalah observasi terbuka,
yaitu pada posisi ini kehadiran peneliti dalam menjalankan
tugasnya ditengah-tengah kegiatan responden diketahui secara
terbuka, sehingga antara responden dengan peneliti terjadi
hubungan atau interaksi secara wajar.12
2. Observasi tidak langsung
Pada kondisi ini peneliti dapat melakukan pengambilan data dari
responden

walaupun

mereka

tidak

hadir

secara

langsung

9 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2010) Cet.
II, hlm. 13.
10 Ibid, hlm. 14.
11 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Research Sosial, (Bandung: Alumni,
1980) hlm. 142.
12 Hamid Darmadi, Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Bandung: Alfabeta,
2013), hlm. 305.

ditengah-tengah

responden.13

Penelitian

dilakukan

dengan

pengambilan data menggunakan kemajuan teknologi berupa


internet.
3. Literatur
Pada metode ini kami mencari referensi dari berbagai buku yang
terdapat di perpustakaan dan sumber yang lain.
C. Subjek Penelitian
Sebuah dusun yang bernama Sambisari, terletak

di

desa

Purwomartani, kecamatan kalasan, kabupaten Sleman, Yogyakarta.


Dusun yang terletak pada pinggiran Kota namun tetap asri dan
kental akan kekerabatan yang jarang kita temukan di kota-kota,
seperti Yogyakarta.
D. Objek Penelitian
Kami meneliti satu kegiatan yang sudah menjadi ritual sosial di
Dusun tersebut, yaitu gotong-royong. Memang merupakan hal yang
sudah biasa terdengar, namun ini merupakan hal yang baru bagi
kami, karena jogja bukan daerah tempat tinggal kami. Terlebih lagi
daerah yang kami lihat kegiatan kegotong-royongannya adalah
daerah pinggiran kota, yang biasanya memiliki sifat Individualisme.

13 Ibid.

BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Setting Penelitian
1. Tempat penelitian
Terletak 10 km dari pusat kota Jogja, Dusun Sambisari
dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan baik roda dua
maupun roda empat. Melewati lintas jalan Jogja-Solo hingga
menemukan penunjuk jalan menuju Dusun Sambisari. Dengan
memiliki kurang lebih lima puluh kepala keluarga dan sebuah
Candi

yang

menjadi

simbol

Dusun

tersebut,

yakni

Candi

Sambisari. Suasana Di Dusun ini masih sangat asri walau terletak


di pinggiran kota yang identik dengan polusi.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 17 april 2015
hingga
B. Pembahasan
Dalam suatu kehidupan seseorang dapat dipastikan tidak
akan

dapat

hidup

sendiri.

Sebagaimana

strukturalisme

yang

menolak adanya eksistensialisme pada suatu masyarakat. 14 Karena


eksistensialisme menganggap peran individulah yang menghasilkan
struktur sehingga ia bebas diubah-ubah. Maka strukturalisme
merupakan kebalikannya, karena dengannya manusia dapat bekerja
sama atas dasar sistem yang sudah ada lebih dahulu sebelumnya.
Dengan menerapkan strukturalisme dalam masyarakat seperti
tolong menolong, gotong royong, dan lain-lain. Maka manusia akan
lebih

bisa

bersosialisasi

dengan

sesasmanya

Nah,

berbicara

mengenai pandangan strukturalisme terhadap budaya gotong


royong, pertama ini dapat dilihat melalui surface structur dan deep
structur-nya. Gotong royong dalam hal ini berlaku sebagai surface
structure karena ia adalah gambaran tindakan dalam masyarakat
14 George Ritzer, Ibid., hlm. 1030

berupa

bunyi.

kekeluargaan,

Adapun

deep

kerjasama

dan

structurnya
tanggung

adalah

nilai-nilai

jawab.

Karena

bagaimanapun juga strukturalisme merupakan usaha yang dilakukan untuk


mengkaji ritual budaya masyarakat.15
Ritual sosial gotong royong sendiri merupakan bahasa, yakni bahasa yang
digunakan untuk menyampaikan pesan kepada individu ataupun kelompok. Secara
nyata bahwa Levi Strauss telah memperlakukan bahasa sebagaimana mestinya
sebagai wujud komunikasi simbolik. Dalam suatu komunikasi/interaksi terjadilah
adanya pertukaran sebagai wujud hubungan sosial yang mana berarti Strauss berusaha
menjelaskan struktur masyarakat sebagai produk gagasan ketimbang kondisi materi.16
Sekali lagi kami melihat adanya proses timbal balik dalam budaya gotong
royong ini. Teorinya ialah berasal dari Marcel Mauss yang juga mempunyai
kontribusi bagi perkembangan teori strukturalisme, khususnya Levi Strauss. Menurut
Mauss timbal balik merupakan prinsip structural (dan juga norma) yang mendasari
tindakan (gotong royong). Dalam hubungan timbal balik ini ada suatu persamaan
(dalam derajat).

Prinsip structural tadi digunakan oleh Levi Strauss untuk

menganalisis sistem yang terdapat dalam masyarakat (gotong royong) di mana ia


menemukan prinsip struktural ini, juga berlaku pada semua budaya.

17

Jadi dapat

dipahami bahwasannya budaya gotong royong dilakukan atas dasar persamaan,


kekeluargaan, tanggung jawab.
Lalu bagaimana budaya gotong royong tersebut masih secara konsisten
dilakukan oleh masyarakat dusun Sambisari? Ialah atas dasar otoritas kekuasaan yang
berjalan di wilayah setempat. Sebagaimana telah disinggung di bagian teori,
bahwa kekuasaan memegang peranan penting dalam menjaga
sebuah ritual budaya. Meskipun pada kenyataannya masyarakat
dusun Sambisari kebanyakan memiliki pemimpin yang berasal dari
15 Sindung Haryanto, Ibid., hlm. 265
16 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 196
17Sindung Haryanto, Ibid., hlm. 265 Achmad Fedyani Saifuddin, Ibid., hlm 196

luar daerah. Akan tetapi ada suatu adaptasi sosial yang kami baca
dalam hal ini.
Adaptasi

sosial

tersebut

berkenanaan

dengan

masih

bertahannya budaya gotong royong. Bahwa petinggi desa yang


memiliki status sosial lebih tinggi justru melakukan adapatasi
terhadap

komunitas

yang

berstatus

lebih

rendah.

Karena

kecenderungan adaptasi sosial biasanya dilakukan oleh komunitas


yang berstatus sosial rendah kepada yang lebih tinggi. Mengapa
demikian? Jawabnya ialah karena dengan memahami bahasa
komunitasnya (gotong royong) suatu kepemimpinan semakin dapat
dibuktikan dan dilanggengkan.18
Sama halnya dengan postrukturalisme yang berasal dari
gagasan Michele Foucault. Bahwa otoritas kekuasaan yang didasari
oleh pengetahuan akan sangat mungkin digunakan untuk mengatur
masyarakat sehingga kekuasaan dapat terus dijalankan.

18 Mulyana Kajian Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 63

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang ada dapat disimpulkan bahwa
tindakan sosial yang terjadi dalam suatu daerah itu karena adanya
kebiasaan yang dipaksakan. Dengan adanya paksaan maka suatu
budaya dapat terbentuk dengan berbagai nilai yang ada di
dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Mulyana Kajian Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005),
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 265

Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis


Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 196

Anda mungkin juga menyukai