Anda di halaman 1dari 7

TEORI KONSUMSI

A. Teori Konsumsi
Konsep konsumsi, yang merupakan konsep yang di Indonesiakan dari bahasa
inggris ”Consumtion”. Konsumsi adalah pembelanjaan atas barang-barang dan
jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Teori Konsumsi
adalah teori yang mempelajari bagaimana manusia / konsumen itu memuaskan
kebutuhannya dengan pembelian / penggunaan barang dan jasa. Sedangkan
pelaku konsumen adalah bagaimana ia memutuskan berapa jumlah barang dan
jasa yang akan dibeli dalam berbagai situasi.
Pembelanjaan masyarakat atas makanan, pakaian, dan barang-barang
kebutuhan mereka yang lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-
barang yang di produksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi
kebutuhannya dinamakan barang konsumsi.
Fungsi konsumsi adalah suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan di
antara tingkat konsumsi rumah tangga dalam perekonomian dengan pendapatan
nasional (pendapatan disposebel) perekonomian tersebut. Fungsi konsumsi dapat
dinyatakan dalam persamaan : i. Fungsi konsumsi ialah : C = a + By. Dimana a
adalah konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0, b adalah
kecondongan konsumsi marginal, C adalah tingkat konsumsi dan Y adalah
tingkat pendapatan nasional.
Ada dua konsep untuk mengetahui sifat hubungan antara pendapatan
disposebel dengan konsumsi dan pendapatan diposebel dengan tabungan yaitu
kosep kecondongan mengkonsumsi dan kecondongan menabung. Kecondongan
mengkonsumsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu kecondongan mengkonsumsi
marginal dan kecondongan mengkonsumsi ratarata. Kencondongan
mengkonsumsi marginal dapat dinyatakan sebagai MPC (berasal dari istilah
inggrisnya Marginal Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai
perbandingan di antara pertambahan konsumsi (ΔC) yang dilakukan dengan
pertambahan pendapatan disposebel (ΔYd) yang diperoleh. Nilai MPC dapat
dihitung dengan menggunakan formula : MPC = Yd . CΔ
Kencondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan dengan APC (Average
Propensity to Consume), dapat didefinisikan sebagai perbandingan di antara
tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposebel pada
ketika konsumen tersebut dilakukan (Yd). Nilai APC dapat dihitung dengan
menggunakan formula : APC = Yd.C
Kecondongan menabung dapat dibedakan menjadi dua yaitu kencondongan
menabung marginal dan kecondongan menabung rata-rata. Kecondongan
menabung marginal dinyatakan dengan MPS (Marginal Propensity to Save)
adalah perbandingan di antara pertambahan tabungan (ΔS) dengan pertambahan
pendapatan disposebel (ΔYd). Nilai MPS dapat dihitung dengan menggunakan
formula : MPS = Yd.SΔ.
Kecondongan menabung rata-rata dinyatakan dengan APS (Average
Propensity to Save), menunjukan perbandingan di antara tabungan (S) dengan
pendapatan disposebel (Yd). Nilai APS dapat dihitung dengan menggunakan
formula : APS = Yd. S.

B. Faktor-faktor penyebab konsumsi


1. Faktor- Faktor Ekonomi
a. Pendapatan rumah tangga (household income)
Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat
konsumsi. Biasanya makin naik (tinggi) tingkat pendapatan, tingkat
konsumsi makin tinggi. Karenanya ketika tingkat pendapatan meningkat,
kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi
menjadi makin besar. Atau mungkin juga pola hidup menjadi makin
konsumtif, setidaktidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.
b. Kekayaan rumah tangga (household wealth)
Kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (misalnya rumah, tanah,
dan mobil) dan finansial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat
berharga). Kekayaan-kekayaan tersebut dapat meningkatkan konsumsi,
karena menambah pendapatan disposabel. Misalnya, bunga deposito yang
diterima tiap bulan dan dividen yang diterima setiap tahun menambah
pendapatan rumah tangga. Demikian juga, rumah, tanah, dan mobil yang
disewakan. Penghasilan-penghasilan tadi disebut sebagai penghasilan
nonupah (non wages income). Sebagian dari tambahan penghasilan tersebut
akan dipakai sebagai konsumsi. Tentunya, hal ini akan meningkatkan
pengeluaran konsumsi.
c. Tingkat bunga (interest rate)
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi/mengerem keinginan
konsumsi, baik dilihat dari sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang
maupun yang kekurangan uang. 19 Dengan tingkat bunga yang tinggi,
maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan
semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang
dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas
kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik
menunda/mengurangi konsumsi. Sama halnya dengan mereka yang
memiliki banyak uang. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan
menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang
dihabiskan untuk konsumsi. Jika tingkat bunga rendah, yang terjadi adalah
sebaliknya. Bagi keluarga kaya, menyimpan uang di bank menyebabkan
ongkos menunda konsumsi terasa lebih besar. Sementara bagi keluarga
yang kurang mampu, biaya meminjam yang lebih rendah akan
meningkatkan keberanian dan gairah konsumsi.
d. Perkiraan tentang masa depan (household expectation about the future)
Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik, mereka
akan merasa lebih leluasa untuk melakukan konsumsi. Karenanya
pengeluaran konsumsi cenderung meningkat. Jika rumah tangga
memperkirakan masa depannya makin jelek, mereka pun mengambil
ancang-ancang dengan menekan pengeluaran konsumsi.
2. Faktor-Faktor Demografi (Kependudukan)
a. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar
pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata
per orang atau per keluarga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat
konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk
Singapura, tetapi secara absolut tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia
lebih besar daripada Singapura. 20 Sebab jumlah penduduk Indonesia lima
puluh satu kali lipat penduduk Singapura. Tingkat konsumsi rumah tangga
akan sangat besar. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar,
bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat
tinggi.
b. Komposisi penduduk Komposisi penduduk suatu negara dapat dilihat dari
beberapa klasifikasi, diantaranya usia (produktif dan tidak produktif),
pendidikan (rendah, menengah, tinggi), dan wilayah tinggal (perkotaan dan
pedesaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi
dijabarkan sederhana seperti di bawah ini.
1) Makin banyak penduduk yang berusia kerja atau usia produktif (15-64
tahun), makin besar tingkat konsumsi, terutama bila sebagian besar dari
mereka mendapat kesempatan kerja yang tinggi, dengan upah yang
wajar atau baik. Sebab makin banyak penduduk yang bekerja,
penghasilan juga makin besar.
2) Makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya
juga makin tinggi. Sebab pada saat seseorang/suatu keluarga makin
berpendidikan tinggi, kebutuhan hidupnya makin banyak. Yang harus
mereka penuhi bukan lagi sekedar kebutuhan untuk makan dan minum,
melainkan juga kebutuhan informasi, pergaulan masyarakat yang lebih
baik serta kebutuhan akan pengakuan orang lain terhadap
keberadaannya (eksistensinya). Seringkali biaya yang dikeluarkan
untuk memenuhi kebutuhan ini jauh lebih besar daripada biaya
pemenuhan kebutuhan untuk makan dan minum.
3) Makin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban),
pengeluaran konsumsi juga makin tinggi. Sebab 21 umumnya pola
hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibanding masyarakat
pedesaan.
3. Faktor-Faktor Non Ekonomi
Faktor-faktor non ekonomi yang paling berpengaruh terhadap besarnya
konsumsi adalah faktor sosial-budaya. Misalnya saja, berubahnya pola
kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru
kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat (tipe ideal). Contoh
paling kongret di Indonesia adalah berubahnya kebiasaan berbelanja dari
pasar tradisional ke pasar swalayan. Begitu juga kebiasaan makan, dari
makan masakan yang disediakan ibu di rumah menjadi cepat saji (fast food).
Demikian juga, rumah bukan hanya sekedar tempat berlindung dari panas dan
hujan, melainkan ekspresi dari keberadaan diri. Tidak mengherankan bila ada
rumah tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahkan miliaran rupiah,
hanya untuk membeli rumah idaman.
C. Cardinal Utility
Pendekatan kardinal dalam analisis konsumen didasarkan pada asumsi bahwa
tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dari konsumsi suatu barang dapat
diukur secara langsung dengan angka menggunakan satuan tertentu seperti uang,
jumlah atau buah.Oleh karena itu, pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan
kardinal (cardinal approach). Pendekatan ini juga mengandung anggapan bahwa
semakin berguna suatu barang bagi seseorang, maka akan semakin diminati.
Kata utilitas berasal dari bahasa inggris yaitu utility. Utilitas memiliki satuan
yang disebut util. Utilitas yang diperoleh dari konsumen dalam
mengonsumsi  dapat berupa utilitas total (total utility) dan utilitas marjinal
(marginal utility). Teori utilitas menyatakan utilitas barang dan jasa tertentu tidak
bisa diukur dengan skala objektif, konsumen berwenang dalam memberikan
peringkat terhadap beberapa alternative yang berbeda.
Dalam pendekatan ini, digunakan konsep Total Utility (TU) dan Marginal
Utility (MU). Untuk memahami penerapan pendekatan utilitas kardinal ini,
misalnya setelah berolahraga, Anda akan merasa haus. Untuk menghilangkan rasa
haus tersebut, Anda memutuskan untuk meminum air dalam gelas. Kali pertama
Anda meminum satu gelas air, Anda akan mendapatkan tingkat utilitas atau
utilitas tertentu. Selanjutnya, Anda meminum air dalam gelas yang kedua.
Dengan mengonsumsi air dalam gelas kedua, total utilitas Anda akan meningkat
karena air dalam gelas kedua memberikan tambahan utilitas.[2] (Prathama
Rahardja dan Mandala Manurung, 2008)
Demikian juga, jika Anda memutuskan untuk meminum air dalam gelas
ketiga, nilai total utility akan bertambah karena air dalam gelas ketiga
memberikan tambahan utilitas. Tambahan utilitas ini disebut utilitas marjinal atau
marginal utility .Sejalan dengan hukum utilitas marjinal yang semakin berkurang
(the law of diminishing marginal utility), semakin banyak Anda mengonsumsi air,
utilitas tambahan yang diperoleh dari mengonsumsi air tersebut semakin
berkurang.
Utilitas marjinal yang semakin berkurang muncul dari kenyataan bahwa
kenikmatan yang Anda peroleh dari meminum air tersebut akan menurun sejalan
dengan makin banyaknya air yang dikonsumsi. Dengan semakin berkurangnya
utilitas tambahan tersebut, utilitas total akan meningkat dengan laju yang semakin
menurun. Nilai utilitas total akan maksimum pada saat nilai utilitas marjinal sama
dengan nol (MU = 0).

DAFTAR PUSTAKA

N. Gregory Mankiw, Makro Ekonomi , Jakarta: Erlangga, 2000


Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu
Pengantar. (Edisi Ketiga). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004
Sukirno, S. (2005). Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA.

Anda mungkin juga menyukai