Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Konsep Konsumsi

Kata konsumsi dalam Kamus Besar Ekonomi diartikan sebagai tindakan

manusia baik secara langsung atau tak langsung untuk menghabiskan atau

mengurangi kegunaan (utility) suatu benda pada pemuasan terakhir dari

kebutuhannya (Sigit dan Sujana, 2007)

Menurut Suwiknyo (2010) konsumsi merupakan perilaku manusia dalam

memenuhi hidup yaitu sandang, pangan dan papan. Konsumsi mempunyai arti

yang cukup luas tidak hanya terbatas pada pola makan dan minum. Segala

aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan atas penggunaan suatu

produk sehingga mengurangi atau menghabiskan daya guna juga merupakan

cakupan konsep konsumsi.

Mankiw (2006), mendefiniskan konsumsi sebagai pembelanjaan barang

dan jasa oleh rumah tangga. Barang mencakup pembelanjaan rumah tangga pada

barang yang tahan lama, kendaraan dan perlengkapan dan barang tidak tahan lama

seperti makanan dan pakaian. Jasa mencakup barang yang tidak berwujud konkrit,

termasuk pendidikan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konsumsi dapat didefinisikan

sebagai kegiatan pembelian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan akan

makanan dan minuman rumah tangga konsumen.

13
2.1.2. Teori Konsumsi

1. Teori Konsumsi John Maynard Keynes

Menurut John Maynard Keynes (dalam Hendra, 2013), teori

konsumsi dinamakan “absolute income hypothesis” teori konsumsi Keynes

adalah teori yang paling sering dibicarakan dalam dunia akademik

khususnya ilmu ekonomi. Teori konsumsi Keynes menyatakan konsumsi

dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, dari kedua variabel tersebut dapat

digambarkan fungsi konsumsi sebagai berikut

C=a+bYd

Keterngan:

C = konsumsi rumah tangga (agregat)

a = konsumsi otonom (besarnya konsumsi ketika pendapatan 0)

b = MPC

Yd = pendapatan disposible

Berdasarkan fungsi konsumsi tersebut Keynes membuat dugaan

atau asumsi mengenai teori konsumsi, yaitu sebagai berikut:

1) Kecenderungan mengkonsumsi marginal (marginal propensity to

consume) yaitu jumlh yang dikonsumsi dalam setiap tambahan

pendapatan adalah antara nol dan satu. Dari asumsi tersebut

dijelaskan jika pada saat pendapatan seseorang semakin tinggi

maka akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi dan tabungannya.

2) Rasio konsumsi terhadap pendapatan, atau kecenderungan

mengkonsumsi rata-rata (average prospensity to consume) turun

14
ketika pendapatan naik karena sebagian sisa dari pendapatan

dialokasikan untuk saving.

3) Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan

konsumsi yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran

penting.

Berdasarkan teori konsumsi dari Keynes maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa tingkat konsumsi seseorang sangat dipengaruhi

oleh besarnya tingkat pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka

semakin tinggi pula tingkat konsumsinya, begitupun sebaliknya. Oleh

karena konsumsi mempunyai pengaruh terhadap kemiskinan karena

pendapatan digunakan untuk konsumsi rokok. Selain itu faktor

pendapatan dapat juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap

kemiskinan melalui faktor konsumsi (Anggraini, 2010).

2. Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Permanen (Milton Friedman)

Teori ini disampaikan oleh Milton Friedman. Menurut teori ini

pendapatan masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu pendapatan

permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory

income) dengan definisi sebagai berikut:

1) Pendapatan permanen ialah pendapatan yang orang harapkan untuk

terus bertahan di masa depan (Mankiw, 2006).

2) Pendapatan sementara ialah pendapatan yang tidak bisa

diperkirakan sebelumnya. (Guritno dan Algifari, 1998)

15
Mankiw (2006) menyatakan, jika pendapatan sekarang secara

temporer naik di atas pendapatan permanen, kecenderungan untuk

mengkonsumsi rata-rata secara temporer akan turun. Bila pendapatan

sekarang turun secara temporer di bawah pendapatan permanen,

kecederungan mengkonsumsi rata-rata secara temporer akan naik

Kesimpulannya, teori konsumsi dari Milton Friedman berpikiran

bahwa pendapatan permanen akan mempengaruhi besarnya jumlah

kecenderungan mengkonsumsi rata-rata masyarakat. Kecederungan

mengkonsumsi tersebut bisa saja mengarah pada jenis makanan atau

non makanan bergantung pada besar-kecilnya jumlah pendapatan yang

diterima oleh masyarakat.

3. Teori Konsumsi

Teori konsumsi ini dikemukakan oleh A. Ando dan Franco

Modigliani tahun 1963. Menurut teori ini, faktor penentu tingkat konsumsi

agregatif adalah sumber daya yang dimiliki oleh konsumen, tingkat

pengembalian modal (rate of return on capital) dan umur konsumen itu

sendiri Konsumen dalam menentukan konsumsinya memperhitungkan

seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tingkat konsumsi agregatif

bukan hanya ditentukan oleh jumlah pendapatan yang diterima suatu

waktu, akan tetapi nilai kekayaan yang dimiliki (Tarmizi, 2015)

4. Teori Konsumsi Pendapatan Relatif

Teori konsumsi ini dikemukakan oleh James Duessenbery tahun

1949 dengan asumsi:

16
a. Tingkat konsumsi adalah bersifat interdependent terhadap tingkat

pendapatan tinggi yang terjadi sebelumnya.Tingkat pendapatan

yang akan mempengaruhi konsumsi adalah nilai pendapatan relatif

terhadap tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki

sebelumnya.

b. Tingkat konsumsi bersifat irreversible, bermakna bahwa apa yang

terjadi pada waktu pendapatan naik, tidak akan selalu merupakan

kebalikan apabila terjadi penurunan pendapatan. Ini menunjukkan

bahwa, bila tingkat konsumsi sebelumnya pernah tinggi akibat

kenaikan pendapatan maka pada waktu pendapatan turun,

penurunan konsumsi tidak akan proporsional.

Berdasarkan kedua asumsi tersebut dapat dinyatakan fungsi konsumsi:

C/Y = a + b (C/Y0) ; 0 < b < 1

Dimana :

C = Konsumsi agregat

Y = Pendapatan

Y0 = Pendapatan tertinggi sebelumnya

a = Tingkat konsumsi pada pendapatan nol (subsistence)

b = Marginal Propensity to Consumption (MPC)

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Rahardja dan Manurung (2016) mengemukakan bahwa, ada enam faktor

ekonomi yang mempengaruhi tingkat konsumsi, yaitu:

17
1) Pendapatan rumah tangga (household income)

Pendapatan rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap

tingkat konsumsi. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka tingkat

konsumsi akan semakin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan

meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan

konsumsi menjadi makin besar, atau mungkin juga pola hidup menjadi

konsumtif, setidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.

2) Kekayaan rumah tangga (household wealth)

Kekayaan rumah tangga adalah kekayaan riil (misalnya rumah,

tanah, dan mobil) dan finansial (misalnya deposito berjangka, saham dan

surat-surat berharga). Kekayaan-kekayaan tersebut dapat meningkatkan

konsumsi, karena menambah pendapatan disposibel. Semakin bertambah

jumlah kekayaan akan meningkatkan pengeluaran konsumsi.

3) Jumlah barang-barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat

Pengaruh jumlah barang-barang konsumsi tahan lama dalam

masyarakat terhadap tingkat konsumsi bisa bersifat menambah (positif)

dan mengurangi (negatif). Barang-barang tahan lama biasanya harganya

mahal, yang untuk memperolehnya dibutuhkan waktu untuk menabung.

Apabila membelinya secara tunai, maka sebelum membeli harus banyak

menabung (konsumsi berkurang). Namun apabila membelinya dengan cara

kredit, maka masa untuk menghemat adalah sesudah pembelian barang.

18
4) Tingkat bunga (interest rate)

Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi,

baik dilihat dari sisi rumah tangga yang memiliki kelebihan uang maupun

yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya

ekonomi (opportumity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal.

Bagi mereka yang ingin mengonsusmsi dengan berutang dahulu, misalnya

dengan meminjam dari bank, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih

baik menunda atau mengurangi konsumsi. Sama halnya dengan mereka

yang memiliki banyak uang. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan

menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang

dihabiskan untuk kosumsi.

5) Perkiraan tentang masa depan (household expectation about the future)

Jika rumah tangga memperkirakan masa depannya makin baik,

maka mereka akan cenderung akan merasa leluasa untuk melakukan

konsumsi. Karenanya pengeluaran konsumsi cenderung meningkat. Jika

rumah tangga memperkirakan masa depannya makin jelek, mereka pun

mngambil ancang-ancang dengan menekan pengeluaran konsumsi.

6) Kebijakan pemerintah mengurangi ketimpangan distribudi pendapatan

Dengan tingkat pendapatan nasional yang sama, maka besarnya

konsumsi masyarakat akan menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya

karena kebijakan pemerintah melakukan redistribusi pendapatan nasional.

Faktor-faktor demografi (kependudukan) yang mempengaruhi tingkat

konsumsi, antara lain:

19
1) Jumlah penduduk

Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran

konsumsi secara menyeluruh walaupun pengeluaran rata-rata per orang

atau per keluarga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi

rata-rata penduduk Indonesia relatif rendah daripada penduduk Singapura,

tetapi secara absolut tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar

daripada Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh satu

kali lipat penduduk Singapura.

2) Komposisi penduduk

Komposisi penduduk dapat dilihat dari beberapa klasifikasi :

a. Semakin banyak penduduk yang berusia kerja produktif (15-64

tahun), maka akan semakin besar tingkat konsumsi, terutama

apabila sebagian besar dari mereka mendapatkan kesempatan kerja

yang tinggi dan dengan upah yang baik.

b. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin

tinggi tingkat konsumsinya. Sebab pada saat seseorang/suatu

keluarga makin berpendidikan tinggi, maka kebutuhan hidupnya

akan semakin banyak.

c. Semakin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan

maka pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi. Sebab umumnya

pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif dibandingkan

dengan masyarakat pedesaan.

20
Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh terhadap

besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Misalnya,

berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai

karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih

hebat (tipe ideal). Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sulit untuk

menentukan faktor faktor apa mempengaruhi apa, sehingga

menyebabkan terjadinya perubahan atau peningkatan konsumsi.

Faktor-faktor ekonomi, demografi dan non ekonomi saling berkaitan

erat dan saling mempengaruhi.Oleh karena itu, bisa saja terjadi dalam

kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah yang memaksakan

untuk membeli barang dan jasa yang sebenarnya tidak sesuai dengan

kemampuannya

2.1.4 Komoditas Rokok

Rokok adalah salah satu produk olahan dari tembakau untuk dibakar,

dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau

bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana

Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin

dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan (Peraturan Pemerintah Nomor 109

Tahun 2012).

Levy (1984) dalam Amelia (2009) mendefinisikan merokok sebagai

kegiatan seseorang membakar dan menghisap tembakau, yang juga menimbulkan

asap yang dapat terhisap oleh orang disekitarnya. Pendapat serupa juga

dikemukakan oleh Armstrong (1990) dalam Putra (2013) yang mengartikan

21
merokok sebagai kegiatan menghisap asap tembakau yang dibakar kemudian

dihembuskan lagi. Pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa merokok adalah

kegiatan membakar daun tembakau ntuk dihisap asapnya lalu dihembuskaan

kembali, yang mana hembusan asap tersebut dapat terhirup oleh orang

disekitarnya dan dapat membahayakan kesehatan.

Secara umum perokok digolongkan menjadi dua macam, yaitu perokok

aktif dan perokok pasif. Perokok aktif yaitu seseorang yang merokok dan

menghisap langsung asap tembakau sedangkan perokok pasif adalah seseorang

yang secara tidak langsung menghirup asap rokok. Sementara menurut Sitepoe

(2000) dalam Putra (2013) menggolongkan perokok berdasarkan jumlah

konsumsinya, antara lain perokok ringan yaitu seseorang yang mengkonsumsi

rokok kurang dari 10 batang perhari, perokok sedang yaitu seseorang yang

mengkonsumsi rokok 11-23 batang perhari, dan perokok berat yaitu orang yang

mengkonsumsi rokok lebih dari 24 batang perhari.

Pemerintah telah banyak menetapkan peraturan mengenai pengendalian

konsumsi temabakau dan rokok guna untuk mengendalikan konsumsi rokok pada

masyarakat Indonesia, diantaranya yaitu :

1. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 81 tahun 1999

Peraturan Pemerintah nomor 81 tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi

Kesehatan sebagai perwujudan dari pasal 44 Undang-Undang nomor 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan. Peraturan Pemerinah ini berisi tentang kadar

kandungan nikotin dan tar yang diperbolehkan, syarat produksi dan penjualan

rokok, peryaratan iklan dan promosi rokok, peran masyarakat dalam

22
pengamanan rokok bagi kesehatan, dan penetapan kawasan bebas rokokdan

ini harus dilakuka pengujian empiris untuk mengendalikannya.

2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 ini merupakan hasil revisi dari

Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 yang berkaitan dengan iklan

rokok. Iklan rokok dapat dilakukan di media elektronik, media cetak atau

media luar ruangan denan persyaratan promosi rokok hanya dapat dilakukan

oleh setiap orang yang memproduksi rokok dan atau yang memasukkan rokok

kedalam wilayah Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang menyatakan

larangan siaran iklan rokok yang menampilkan wujud rokok. Iklan di media

elektronik hanya diperbolehkan tayang pada pukul 21.30 sampai 05.00 WIB.

4. Peraturn pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 berisi tentang pengendalian

tembakau. Hal yang diatur dalam peraturan ini antara lain ukuran dan jenis

peringatan kesehatan, batas waktu penayangan iklan rokok dimedia

elektronik, serta pengujian kadar tar dan nikotin. Pada pasal 22 dinyatakan

bahwa tempat kesehatan tempat kerja, tempat ibadah, tempat proses belajar

mengajar, tepat bermain anak serta angutan umum merupakan kawasan bebas

rokok

23
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 berisi tentang Kesehatan mengatur

pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif. Pencantuan

peringatan kesehatan diwajibkan bagi produsen roko atau yang memasukkan

rokok ke kawasan Indonesia. Pada pasal 115 menyatakan bahwa instansi

pendidikan merupakan kawasan tanpa rokok.

6. Peratuan Bersama Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011

tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Perturan ini memuat pedoman penetapan kawasan tanpa rokok dala rangka

memberikan perlindungan dan lingkungan yang sehat bagi masyarakat.

Penyediaan kawasan khusus merokok diperbolehkan dengan persyaratan

terpisah darii tempat aktivitas, jauh dari tempat berlalu-lalang dan memiliki

sirkulasi udara yang baik.

7. Peraturan Pemeintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012

Peraturan Ppmemrintah Nomor 109 Tahun 2012 ini tentng Pengamanan

Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi

Kesehatan berisi ketentuan produksi tembakau, penjaualan, dan juga aturan

iklan. Peraturan Pemerintah ini juga berisi tentang informasi tentang

ketentuan kadar nikotin dan tar, bahaya rokok bagi kesehatan, dan juga

larangan menjual dan memberikn rokok pada ibu hamil dan anak berusia

dibawah 18 tahun.

8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013

24
Permenkes RI Nomr 28 tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan

Kesehatan dan Informasi kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau wajib

mencantumkan peringatan kesehatan dan informasi kesehatan pada kemasan

produk tembakau. Industri rokok wajib mencantumkan gambar dan tulisan

peringatan kesehatan seluas 40% pada bagian dan belakang kemasan rokok.

Informasi kadar nikotin dan tar, larangan konsumsi rokok pada perempuan

hamil dan anak berusia dibawah 18 tahun, serta bahaya merokok bagi

kesehatan juga wajib dicantumkan dalam kemasan rokok.

2.1.5 Kemiskinan

Teori pembangunan yang berkembang tidak menyinggung fenomena

kemiskinan secara eksplisit sebagai suatu permasalahan yang memerlukan

pendekatan khusus dalam penyelesaiannya. Teori pembangunan yakin masalah

kemiskinan akan teratasi dengan sendirinya melalui mekanisme pertumbuhan

ekonomi. Bahkan Kuznets berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan

merupakan syarat keharusan bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jadi pada

awal pertumbuhan ekonomi tingkat kesenjangan ekonomi makin tinggi sampai

pada tingkatan tertentu baru menurun. Teori Harrod-Domar juga menyatakan

demikian, dimana untuk pertumbuhan yang tinggi diperlukan akumulasi modal

(capital) melalui tabungan (saving). Komponen masyarakat yang mampu

menabung adalah kelompok orang kaya, bukan dari kelompok orang miskin.

Sehingga pertumbuhan ekonomi hanya dapat dimotori oleh kelompok masyarakat

yang mampu memupuk modal (Todaro, 2012).

25
Konsep kemiskinan menurut BPS diukur berdasarkan ketidakmampuan

rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Kuncoro (2000) bahwa kemiskinan adalah

ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum atau ketimpangan

pendapatan dan pengeluaran.Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan

dan bukan makanan yang diukur dari tingkat pengeluaran. Terdapat dua bentuk

kemiskinan secara sosioekonomis (Sumodiningrat, 1998):

1. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dari jumlah

pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum,

seperti kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan,

GNP per

kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain.

2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan

perbandingan antara pendapatan yang satu dengan pendapatan yang lain.

Mengacu pada Kartasasmita, (1996) dan Sumodiningrat, (1998), terdapat

beberapa bentuk Kemiskinan, yaitu:

1. Kemiskinan natural, yaitu suatu kondisi miskin dari awalnya yang

disebabkan karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik

sumberdaya alam, manusia maupun pembangunan. Kemiskinan ini

dianggap telah kronis dan terjadi secara turun temurun “persisten poverty”

2. Kemiskinan kultural, yaitu suatu keadaan miskin pada suatu masyarakat

yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya. Mereka

26
tidak mudah diajak untuk merubah dan memperbaiki tingkat

kehidupannya, dan merasa sudah hidup berkecukupan walaupun

pendapatannya rendah menurut ukuran secara umum.

3. Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan

ekonomi yang menurunkan kesejahteraan masyarakat

Pertentangan terhadap sebab-sebab kemiskinan diutarakan oleh Sen (2003)

bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas.

Kedua hambatan tersebut mendeterminasi terhadap pola perkembangan hidup

individu.

2.1.6 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Konsumsi Rokok pada Rumah


Tangga Miskin

1. Pendapatan Kepala Rumah Tangga

Pendapatan rumah Kepala tangga adalah pendapatan/penghasilan

yang diterima oleh kepala rumah tangga. Pendapatan rumah tangga ini

dapat diukur dari tingkat kempampuan kepala keluarga dalam memenuhi

kebutuhan materinya dalam satu kurun waktu tertentu yang umumnya

dalam satu bulan. Tingkat pendapatan ini sering dihubungkan dengan

suatu standar kehidupan yang umum berlaku pada masyarakat

bersangkutan. Pendapatan kepala rumah tangga sangat besar pengaruhnya

dengan tingkat konsumsi rokok. Untuk rumah tangga miskin, pendapatan

sangat besar pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran rokok.

Implikasinya adalah semakin besar pendapatan rumah tangga miskin maka

semakin tinggi proporsi pengeluaran untuk rokok (Ika Rahma Ginting,

2020).

27
2. Usia Kepala Rumah Tangga

Surjono dan Handayani (2013) melakukan studi keterkaitan antar

usia dan konsumsi rokok. Hasil studi menemukan bahwa semakin tua usia

individu, maka individu akan cenderung membeli rokok dengan harga

murah, yang mengindikasikan adanya penurunan pengeluaran konsumsi

rokok seiring dengan peningkatan usia. Namun berbeda dengan penelitian

yang dilakukan oleh John dkk. (2011) yang juga memasukkan variabel

usia dalam penelitiannya terkait pengeluran tembakau pada rumah tangga

di Kamboja. Hasil penelitiannya mengatakan ketika usia naik satu tahun,

kemungkinan menjadi perokok naik 2 persen diperkotaan dan meningkat 3

persen di perdesaan.

3. Jenis Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Pada kasus pekerjaan, individu yang bekerja pada sektor nelayan

merupakan jenis pekerjaan yang mempunyai proporsi terbesar perokok

aktif dibanding jenis pekerjaan lainnya. hal ini dikarenakan lingkungan

kerja nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan yang sering menghadapi

kondisi kerja yang sulit dan berbahaya di laut serta kelelahan akibat

berlaut berhari-hari yang dapat memicu stress. Salah satu bentuk

pengalihan stress yang dilakukan nelayan adalah merokok (Syukriadin,

2016). Vahtera (2005) yang menjelaskan bahwa tingkat stres pekerjaan

dapat meningkatkan intensitas konsumsi rokok. Didalam penelitiannya,

tenaga kerja yang memiliki level stres lebih tinggi, cenderung

merupakan perokok berat yakni mengonsumsi 20 batang per hari

28
atau lebih. Intensitas merokok yang lebih tinggi dikarenakan tenaga

kerja menganggap bahwa dengan merokok maka dapat mengurangi rasa

stress akan tekanan pekerjaan. Selain itu lingkungan juga memiliki peran

dalam konsumsi rokok di kalangan tenaga kerja. Lingkungan

pekerjaan yang mayoritas terdiri atas kalangan perokok akan

memengaruhi seseorang untuk meningkatkan konsumsi rokoknya.

4. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Pendidikan mempengaruhi pola konsumsi rokok seperti yang

kemukakan dalam penelitian John dkk. (2011). Dalam penelitiannya

menemukan bahwa individu yang tidak pernah bersekolah mempunyai

kemungkinan untuk mengkonsumsi rokok sebesar 60 persen diperkotaan

dan kemungkinan merokok 22 persen di perdesaan. Pendidikan berkaitan

juga dengan akses informasi tentang bahaya dan dampak kesehatan terkait

rokok. Individu yang mengeyam pendidikan cenderung mempunyai akses

informasi terkait bahaya dan dampak terhadap kesehatan dari merokok.

Hasil yang berbeda dipaparkan dalam studi yang dilakukan Sugihari dkk.

(2015) yang menemukan adanya penurunan jumlah perokok untuk

kategori dengan pendidikan sekolah dasar (SD), namun ada peningkatan

yang cukup tinggi pada kategori jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Marianti (2020) meneliti tentang Analisis Pengaruh Faktor Sosial

Ekonomi, Pendapatan dan Harga Rokok terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor sosial ekonomi,

29
pendapatan, dan harga rokok terhadap konsumsi rokok. Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang bersumber dari Indonesia Family

Life Survey (IFLS). IFLS merupakan survei berkelanjutan mengenai keadaan

kesehatan dan sosial ekonomi dan kesehatan rumah tangga di Indonesia. Metode

analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi pengujian ini adalah analilis

regresi linear berganda. Hasil penelitian yang dilakukan mengenai analisis

pengaruh faktor sosial ekonomi, pendapatan dan harga rokok terhadap konsumsi

rokok di Indonesia, memperoleh bahwa (1) faktor sosial ekonomi yaitu jenis

kelamin dan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rokok di

Indonesia (2) Pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rokok

di Indonesia (3) Harga rokok tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi

rokok di Indonesia.

Afif (2019) meneliti tentang Pengaruh Kemiskinan, Pendapatan Per

Kapita, Harga Rokok, Produksi Rokok terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kemiskinan,

pendapatan per kapita, harga rokok, dan produksi rokok terhadap konsumsi rokok

per kapita di Indonesia. Data variabel konsumsi rokok per kapita adalah data

sekunder yang berasal BPS dari tahun 1986-2016. Penlitian ini menggunakan

model regresi linear berganda yang menggunakan data Sekunder dari tahun 1986-

2016. Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel kemiskinan berpengaruh positif

dan signifikan terhadap konsumsi rokok per kapita. Variabel pendapatan per

kapita berpengaruh postif dan signifikan terhadap konsumsi rokok per kapita.

Variabel harga rokok tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok per kapita dan

30
variabel produksi rokok berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi

rokok per kapita. Hasil estimasi menunjukan bahwa variabel kemiskinan

berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi rokok per kapita. Variabel

pendapatan per kapita berpengaruh postif dan signifikan terhadap konsumsi rokok

per kapita. Variabel harga rokok tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok per

kapita dan variabel produksi rokok berpengaruh positif dan signifikan terhadap

konsumsi rokok per kapita.

Arisna (2016) meneliti tentang Pengaruh Tarif Cukai Tembakau Dan

Pesan Bergambar Bahaya Rokok terhadap Konsumsi Rokok di Banda Aceh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tarif cukai tembakau, pesan

bahaya rokokbergambar pada bungkusan rokok, penetapan Kawasan Tanpa

Rokok (KTR), tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat terhadap konsumsi

rokok di Kota Banda Aceh. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data

skunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tarif cukai tembakau, kawasan

tanpa rokok, dan pengeluaran terhadap rokok berpengaruh positif dan signifikan

terhadap tingkat konsumsi rokok, hal ini menggambarkan bahwa konsumen rokok

memiliki elastisitas yang inelastis terhadap harga rokok. Sedangkan pesan bahaya

rokok bergambar dan tingkat pendapatan memiliki pengaruh yang negatif dan

signifikan terhadap tingkat konsumsi rokok. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok

tidak mengurangi konsumsi rokok, hanya mengurangi frekuensi perokok yang

merokok pada lokasi-lokasi Kawasan Tanpa Rokok. Pendapatan konsumen

merupakan penentu konsumsi rokok. Responden dengan pendapatan tinggi akan

cenderung untuk tidak merokok biasanya responden yang berpendapatan tinggi

31
cenderung berpendidikan tinggi. Terdapat pengaruh yang signifikan antarvariabel

secara model namun secara parsial hanya tarif cukai tembakau, kawasan tanpa

rokok dan tingkat pengeluaran yang positif dan signifikan.

Sari dkk (2017) meneliti tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Pengeluaran Konsumsi Rokok pada Rumah Tangga Miskin di Provinsi Aceh.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga rokok terhadap

pengeluaran rokok di Provinsi Aceh. Model analisis untuk menganalis faktor-

faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga

miskin menggunakan OLS dengan model regresi linier berganda yang diturunkan

dari fungsi permintaan Marshallian. Hasil penelitian ini adalah variabel

pendapatan rumah tangga dan pengeluaran makanan tanpa rokok mempengaruhi

pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Aceh tahun 2010. Di

tahun 2015 ada penambahan variabel, yaitu pengeluaran pendidikan dan

pengeluaran kesehatan yang berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi rokok

pada rumah tangga miskin. Artinya masyarakat Aceh pada tahun 2015 semakin

lebih baik dibandingkan tahun 2010 karena sudah mulai ada pengetahuan akan

pentingnya pendidikan dan kesehatan. Kedua, pola pengeluaran konsumsi rokok

pada rumah tangga miskin pada tahun 2010 dan 2015 berbeda secara signifikan.

Hal ini terlihat dari besaran koefisien pada setiap variabel bebas yang berpengaruh

terhadap pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga miskin. Besaran

koesfisien variabel bebas pada tahun 2010 lebih besar pengaruhnya daripada

tahun 2015. Artinya sedikit saja terjadi kenaikan pada variabel bebas yang

32
berpengaruh pada tahun 2010, pengaruhnya lebih besar dibandingkan pada tahun

2015 terhadap pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Aceh.

Sari (2018) meneliti tentang Analisis Konsumsi Rokok Pada Rumah

Tangga Miskin dan Tidak Miskin di Kabupaten Aceh Besar. Peneitian ini

bertujuan untuk menganalisis pengaruh harga rokok terhadap mempengaruhi

konsumsi rokok rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh, untuk

menganalisis pengaruh pendidikan terhadap mempengaruhi konsumsi rokok

rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh Besar, untuk

menganalisis pengaruh umur terhadap mempengaruhi konsumsi rokok rumah

tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh Besar, untuk menganalisis

pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap mempengaruhi konsumsi rokok

rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh Besar, untuk

menganalisis pengaruh lingkungan perokok terhadap mempengaruhi konsumsi

rokok rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh Besar, dan untuk

menganalisis peluang seseorang menjadi miskin akibat mengonsumsi rokok di

Kabupaten Aceh Besar. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data primer. Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model regresi logistik dengan analisis secara statistik deskriptif kuantitatif dan

kualitatif. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa (1) Variabel harga rokok,

pendidikan dan usia memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap

konsumsi rokok pada rumah tangga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Aceh

Besar. (2) Variabel jumlah tanggungan keluarga memiliki pengaruh yang positif

dan signifikan terhadap konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Kabupaten

33
Aceh Besar. (3) Variabel lingkungan perokok juga memiliki pengaruh yang positif

dan signifikan pada konsumsi rokok pada rumah tangga miskin dan tidak miskin

di Kabupaten Aceh Besar. (4) Seorang perokok akan berpeluang menjadi miskin

sebesar 8 kali jika lingkungan sekitar mendukungnya untuk mengonsumsi rokok.

(5) Peluang seorang perokok menjadi miskin akan berkurang jika harga rokok

dinaikkan, jika ia berpendidikan tinggi dan jika ia sudah tua.

Surjono (2013) meneliti tentang Dampak Pendapatan Dan Harga Rokok

Terhadap Tingkat Konsumsi Rokok Pada Rumah Tangga Miskin Di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsumsi rokok rumah tangga miskin

ketika terjadi kenaikan pendapatan dan harga rokok dan untuk mengetahui belanja

komoditi yang dikorbankan rumah tangga miskin ketika konsumsi rokok

meningkat. Data bersumber dari data Susenas Panel tahun 2008-2010 dan Potensi

Desa (Podes) 2008. Penelitian ini menggunakan model LA/AIDS. Berdasarkan

hasil penelitian tersebut, rokok merupakan barang normal bagi rumah tangga

miskin, ketika ada kenaikan pendapatan maka konsumsi rokok akan meningkat.

Permintaan rokok pada rumah tangga miskin bersifat inelastis. Ketika terjadi

kenaikan harga rokok, maka konsumsi rokok pada rumah tangga miskin

berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 pada tahun 2009, dan

0,7799 pada tahun 2010. Ketika ada kenaikan harga rokok, maka rumah tangga

miskin mengorbankan konsumsi kelompok komoditi lainnya. Pada tahun 2008,

rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran hampir seluruh komoditi,

kecuali biaya kesehatan. Pada tahun 2009 komoditi yang dikorbankan adalah

komoditi padipadian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, bahan minuman,

34
tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan serta non makanan

lainnya. Sedangkan pada tahun 2010, rumah tangga miskin mengorbankan

pengeluaran untuk semua komoditi.

Satria (2017) meneliti tentang Korelasi Jumlah Pengeluaran Konsumsi

Rokok dengan Jumlah Pengeluaran Konsumsi Makanan Pada Masyarakat Miskin

(Studi Kasus Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar). Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui korelasi jumlah pengeluaran konsumsi rokok dengan

jumlah pengeluaran konsumsi makanan pada masyarakat miskin di Kecamatan

Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. penelitian ini penulis menggunakan metode

korelasi Pearson. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan antara jumlah

pengeluaran konsumsi makanan dengan jumlah pengeluaran konsumsi rokok pada

masyarakat miskin di Kecamatan Darul Imarah adalah negatif, negatif artinya

ketika jumlah pengeluaran konsumsi rokok meningkat akan mengurangi jumlah

pengeluaran untuk konsumsi makanan, dan masyarakat miskin di kecamatan

tersebut lebih banyak mengeluarkan uangnya untuk konsumsi rokok dari pada

pengeluaran untuk konsumsi makanan, namun hubungan antara jumlah

pengeluaran konsumsi makanan dengan jumlah pengeluaran konsumsi rokok

tersebut adalah lemah, lemah karena terdapat faktor-faktor lain yang

mempengaruhi jumlah pengeluaran konsumsi rokok diluar jumlah pengeluaran

konsumsi makanan. Misalnya selera, usia, biaya kesehatan, pendidikan atau

bahkan perilaku.

Yunita (2018) meneliti tentang Pengaruh Konsumsi Rokok terhadap

Kemiskinan di Provinsi Aceh, (2014-2018). Penelitian ini bertujuan untuk

35
menganalisis pengaruh konsumsi rokok terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi

Aceh. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data panel.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan beberapa olah data

menggunakan alat analisis menyimpulkan sebagai berikut : hubungan antara

jumlah pengeluaran konsumsi rokok pada masyarakat miskin di Kabupaten/Kota

se Provinsi Aceh adalah positif. Artinya ketika jumlah jumlah konsumsi rokok

tetap dan terus bertambah maka secara linear kemiskinan akan terus meningkat.

Neli (2020) meneliti tentang Cigarette Consumption and Poverty Case

Study : Poor Smoker Household in Bangka Belitung Island. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui dampak konsumsi rokok terhadap status kemiskinan,

dengan simulasi mengubah pengeluaran rokok menjadi pengeluaran makanan dan

menganalisis karakteristik pengaruh sosial, ekoomi dan demografi terhadap

perubahan status kemiskinan. digunakan dalam penelitian adalah data hasil PKL

mahasiswa Politeknik Statistika STIS Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017.

Analisis regresi logistik bineri digunakan untuk mengetahui pengaruh

karakteristik sosial, ekonomi dan demografi terhadap perubahan status

kemiskinan. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa rumah tangga miskin

di Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar adalah perokok. Mereka

mengalokasikan pengeluarannya untuk konsumsi rokok cukup besar dibandingkan

pengeluaran makanan lainnya. Selanjutnya, rokok menjadi penyumbang terbesar

kedua terhadap garis kemiskinan di pulau Bangka Belitung. Hasil simulasi dengan

mengubah pengeluaran rokok menjadi pengeluaran makanan yang mengandung

36
kalori, beberapa rumah tangga dapat mengubah status kemiskinannya dari rumah

tangga miskin menjadi rumah tangga tidak miskin. Sehingga edukasi tentang

bahaya rokok bagi kesehatan perlu ditingkatkan.

Nizamie, 2020. Meneliti tentang Analisis Probabilitas Faktor Sosial

Ekonomi Yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok di Indonesia. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok di

Indonesia. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari konsumsi rokok yaitu perokok

berat dan perokok ringan sebagai variabel dependen dan tingkat pendidikan,

pendapatan, status pekerjaan, usia, jenis kelamin, serta status pekerjaan sebagai

variabel independen. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Data yang

digunakan adalah data sekunder yang berasal dari Indonesian Family Life

Survey (IFLS 5) dengan 5600 responden terpilih. Metode analisis yang digunakan

yaitu analisis regresi logit. Hasil dari penelitian ini yaitu tingkat pendidikan,

pendapatan, status pekerjaan, usia, dan jenis kelamin signifikan berpengaruh

terhadap konsumsi rokok. Hasil estimasi yaitu meningkatnya tingkat pendidikan

akan menurunkan probabilitas perokok berat sebesar 2,52 persen, peningkatan

pendapatan meningkatkan probabilitas perokok berat sebesar 3,74 persen, status

pekerjaan informal menurunkan probabilitas perokok berat sebesar 1,9 persen,

bertambahnya usia meningkatkan probabilitas perokok berat sebesar 1,35 persen,

dan jenis kelamin laki-laki meningkatkan probabilitas sebesar 13,22 persen. Status

pernikahan tidak signifikan terhadap konsumsi rokok.

Hermawan (2020), meneliti tentang Analisis Dampak Sosial Ekonomi

Terhadap Permintaan Rokok Di Provinsi Banten. Peningkatan konsumsi rokok di

37
Provinsi Banten tidak lepas dari banyaknya perokok dari usia muda. Karakteristik

rumah tangga memberikan peran terhadap konsumsi rokok sehingga bagaimana

peran dari sosial ekonomi terhadap permintaan rokok di Provinsi Banten. Data

SUSENAS Bulan Maret 2019 menjadi basis data untuk model OLS yang

digunakan. Hasil penelitian menunjukkan elastisitas harga terhadap permintaan

rokok untuk permintaan total, jenis SKM, SKT dan SPM menunjukkan tidak

elastis. Rokok juga merupakan barang normal dengan elastisitas pendapatan yang

kurang dari 1. Variabel umur, jumlah anggota rumah tangga dan tingkat

pendidikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap konsumsi rokok, kecuali

untuk jenis kelamin yang memberikan pengaruh yang negatif. Variabel wilayah

perdesaan berngaruh positif, kategori miskin berpengaruh negatif dan jaminan

kesehatan memberikan pengaruh negatif terhadap konsumsi rokok.

Suryawati (2012), meneliti tentang Konsumsi Rokok Rumah Tangga

Miskin Di Indonesia Dan Penyusunan Agenda Kebijakannya. Penelitian ini

bertujuan untuk memperoleh deskripsi beban biaya kesehatan RT miskin, pola dan

faktor yang berpengaruh pada konsumsi rokok RT miskin di Indonesia tahun 2007

dan menyusun agenda kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat dari bahaya

rokok. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian Indonesia Family

Life Survei (IFLS) yang dilaksanakan tahun 2007 mencakup 13 propinsi, 13.995

RT dan 50.580 sampel individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sebanyak

35,71% RT miskin mempunyai kebiasan merokok, terbanyak sigaret (81,81%)

dan rokok ramuan sendiri (29,19%). Rerata perhari 9,72 batang rokok, usia

pertama kali merokok rata-rata 18,89 tahun dan 93,20% RT miskin masih

38
merokok sampai survei dilakukan. Dibandingkan pengeluaran total RT miskin,

rerata pengeluaran rokok sebulan Rp. 86.496,96 (13,13%) sedangkan pengeluaran

kesehatan hanya Rp.7.440,87 (1,13%). Kecilnya pengeluaran kesehatan antara

lain disebabkan adanya Jamkesmas yang mencakup 51,48%. Model demand

rokok dengan analisis regresi berganda menunjukkan bahwa harga rokok,

pengeluaran per kapita, pengeluaran pangan, umur awal merokok mempengaruhi

konsumsi rokok.

Monica (2022), meneliti tentang Analysis Of Cigarette Demand Among

Poor Households In Indonesia: An Islamic Economic Approach. Penelitian ini

bertujuan untuk mengkaji perubahan perilaku merokok pada penerima zakat

(mustahik) yang disebabkan oleh perubahan harga rokok dan pendapatan.

Menggunakan dataset dari SUSENAS 2018 dan memiliki pendekatan had kifayah,

penelitian ini menggunakan regresi model dua bagian dan menemukan bahwa

peningkatan pendapatan menyebabkan peningkatan konsumsi rokok, sedangkan

kenaikan harga rokok menurunkan konsumsi rokok. Rumah tangga mustahik lebih

responsif terhadap perubahan. Kepekaan rumah tangga mustahik terhadap rokok

memiliki implikasi penting bagi lembaga zakat dalam memastikan dan memantau

pemanfaatan dana zakat di kalangan mustahik.

Nugroho (2020), meneliti tentang The Effect of Socio-Economic Factors on the

Individual Smoking Status: Case of Indonesia. Penelitian bertujuan untuk

memahami kemungkinan status merokok danfaktor yang mempengaruhi status

merokok individu di Indonesia. Data yang digunakan olehIndonesian data family

life survey (IFLS) 2014 dan 2007. Subyek daripenelitian adalah individu berusia

39
15 tahun atau lebih di 24 provinsi. Studi tersebut menggunakanjenis kelamin,

umur, status perkawinan, status kepala rumah tangga, pendidikan, pendapatandan

jenis suku individu. Pengolahan data menggunakan metode regresi probitdan

pembedaan berdasarkan kota dan desa. Hasilnya menunjukkan, jenis kelamin,

kepalarumah tangga dan pendidikan berpengaruh signifikan terhadap probabilitas

individumerokok di kota dan desa. Meningkatkan pendidikan lama satu tahun

mengurangi probabilitas individu untuk merokok sebesar 1,34 poin persentase di

kota-kota dan 0,85persentase poin di wilayah desa. Signifikansi variabel

pendidikan negative menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting untuk

menurunkan prevalensi merokok.

Cendekia (2018), meneliti tentang Keterkaitan Transfer Pemerintah Untuk

Perlindungan Sosial Terhadap Perilaku Merokok Pada Rumah Tangga Miskin Di

Indonesia. Data dari BPS menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi untuk rokok

merupakan pengeluaran kedua terbesar pada rumah tangga miskin setelah beras.

Di sisi lain, rumah tangga miskin juga mendapatkan program perlindungan sosial

dari pemerintah untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan. Oleh karena itu,

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan banyaknya jenis program

bantuan perlindungan sosial yang diterima dengan perilaku merokok pada rumah

tangga miskin. Dengan metode regresi linier berganda, hasil penelitian ini

menemukan bahwa variabel banyaknya jenis bantuan perlindungan sosial yang

diterima memiliki keterkaitan terhadap rata-rata rokok yang dikonsumsi kepala

rumah tangga (KRT) pada rumah tangga miskin. Selain itu, penelitian ini

menemukan bahwa KRT pada rumah tangga miskin yang menerima tiga jenis

40
program bantuan perlindungan sosial sekaligus, yaitu Raskin, BLT, dan BSM

memiliki rata-rata rokok yang dikonsumsi per minggu dalam sebulan yang lalu

lebih besar dibandingkan dengan KRT pada rumah tangga miskin yang sama

sekali tidak mendapatkan program bantuan perlindungan sosial.

2.3 Kerangka Pemikiran

Konsumsi pada umumnya memiliki arti menghabiskan nilai guna suatu

barang/jasa. Konsumsi adalah sebuah kata dengan makna yang sederhana tetapi

memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian, karena dengan adanya

konsumsi perekonomian dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya (tanpa

mengabaikan fungsi ekonomi lainnya). Sementara salah satu faktor yang

mempengaruhi konsumsi, yaitu pendapatan, memiliki arti total imbalan setelah

dikurangkan pajak, yang diterima oleh seseorang karena usaha/pekerjaannya.

Pendapatan seseorang dapat berasal dari gaji/upah, bonus, deviden, dan lainlain.

Sebenarnya konsumsi yang dilakukan oleh rumah tangga dapat dipengaruhi oleh

banyak faktor selain faktor pendapatan. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga diantaranya adalah kebiasaan

adat sosial budaya, gaya hidup, jumlah penduduk, dan komposisi penduduk.

Namun, banyak dari teori konsumsi yang terkenal menyatakan bahwa faktor yang

paling dominan dalam mempengaruhi pengeluaran konsumsi adalah pendapatan.

Salah satunyanya teori konsumsi yang terkenal adalah teori dari Keynes. Teori

konsumsi dari Keynes tersebut didasarkan atas dasar hukum psikologis yang

mendasar tentang konsumsi, yang mengatakan apabila pendapatan mengalami

kenaikan, maka konsumsi juga akan mengalami kenaikan, tetapi dengan jumlah

41
yang lebih kecil. Kecenderungan mengkonsumsi rata-rata akan semakin kecil

apabila tingkat pendapatan naik.Kecenderungan menabung rata-rata akan semakin

besar apabila pendapatan naik.

Secara umum konsumsi rumah tangga dibedakan menjadi dua macam

yaitu konsumsi pangan dan non pangan Menurut tingkat kepentingannya,

konsumsi pangan termasuk dalam kategori kebutuhan primer. Makanan yang

dikonsumsi umumnya mengandung zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin,

dan mineral) yang berbeda-beda. Namun ada pula makanan yang tidak memiliki

kandungan gizi sama sekali. Salah satunya adalah rokok, karena rokok

mengandung 4.000 macam zat berbahaya bagi tubuh manusia. Selain berkaitan

dengan kesehatan penggunanya saja, rokok juga berpengaruh terhadap kondisi

yang memperparah urusan ekonomi atau kemiskinan. Ironisnya konsumsi rokok

di Indonesia didominasi oleh kelompok berpendapatan rendah. Tingginya tingkat

konsumsi rokok pada rumah tangga miskin menyebabkan kebutuhan pokok rumah

tangga sering terabaikan. Sering kali mereka terjebak antara konsumsi rokok

dengan kebutuhan dasarnya ketika berhadapan dengan jumlah pendapatannya.

Pendapatan disini merupakan salah satu variabel yang digunakan dalam

penelitian, selain itu ada lima variabel lainnya yang digunakan untuk mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok pada rumah tangga

miskin di Kecamatan Kuala Jambi, yaitu Pendapatan, usia kepala rumah jenis

pekerjaan kepala rumah tangga dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal

ini dapat dilihat pada gambar 2.1

42
Teori Konsumsi

Teori Keynes

Konsumsi Pangan Konsumsi Non Pangan

Konsumsi Rokok Kemiskinan

Konsumsi Rokok Rumah


Tangga Miskin

Karakteristik Sosial Pola Konsumsi Faktor-Faktor yang


Ekonomi Rumah Rokok Rumah Mempengaruhi
Tangga Miskin Tangga Miskin Konsumsi Rokok Pada
Rumah Tangga Miskin

1. Pendapatan kepala
rumah tangga
2. Usia kepala rumah
tangga
3. Jenis pekerjaan
kepala rumah tangga
4.Tingkat pendidikan
kepala rumah tangga

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

43
2.4 Hipotesis Penelitian

Berdsarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka penelitian,

maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah :

“Diduga pendapatan kepala rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumah

tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan usia kepala rumah tangga

berpengaruh signifikan terhadap konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di

Kecamatan Kuala Jambi Kabupaten Tanjung Jabung Timur”

44

Anda mungkin juga menyukai