Anda di halaman 1dari 4

Kajian Ilmu Ma’anil Hadis

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis
dalam Program Studi Ilmu Hadis

Disusun Oleh :
Achmad Faiz Fadzlurrahman (070523002)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2024
A. Hadis Waswas Setan dalam Shalat

‫‌َح اَل ‌الَّش ْيَطاُن َبْييِن‬،‫ َيا َرُس وَل الَّلِه‬: ‫ ُقْلُت‬: ‫حدثنا امسعيل بن ارهيم عن اخلريري عن ايب العلالء بن الشخري عثمان‬
‫ِبِه‬ ‫ِخ‬ ‫ِه‬ ‫ِق‬
‫ َفِإَذا َحَسْس َت‬، ‫ «َذاَك َش ْيَطاٌن ُيَق اُل َلُه ْنَزٌب‬:‫ َفَق اَل َرُس وُل الَّل صلى اهلل عليه وسلم‬، ‫َو َبَنْي َص اَل يِت َو َر اَءيِت‬
‫ َو اْتُفْل ِم ْن َعْن َيَس اِر َك َثاَل ًثا‬، ‫َفَتَعَّو ْذ ِبالَّلِه ِم َن الَّش ْيَطاِن الَّر ِج يِم‬
Telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari al-Jurairi dari Abul
Ala’ bin Asy Syakhir bahwa Usman berkata “ “ya Rasulullah aku sering
diganggu setan dalam shalat, sehingga bacaanku menjadi kacau karenanya.
Bagaiamana itu? Maka bersabda Rasulullah Saw. ‘ya yang demikian itu
memang gangguan setan yang dinamakan Khanzab’. Karena itu bila engkau
diganggunya, maka segeralah mohon perlindungan kepada Allah dari
godaannya, sesudah itu meludah ke sebelah kirimu tiga kali kata Usman;
setelah kulakukan yang demikian, maka dengan izin Allah godaan seperti
itu hilang.

a. Kritik Sanad
Fokus penelitian yaitu hadis riwayat Imam Ahmad berikut penjelasan kritik sanad
untuk mengetahui suatu hadis apakah shahih atau tidaknya maka perlu dianalisis
dengan membuktikan beberapa kriteria keshahihan suatu hadis yaitu: sanadnya
bersambung (Ittishal sanad), para periwayatnya ‘adil, para periwayatnya dhabit,
terhindar dari syadz, terhindar dari ‘illat (Zuhri & Fatimah, 2014). Berikut uraian
kriteria sanad:
1.Ismail bin Ibrahim
Beliau merupakan perawi ke empat. Ismail bin Ibrahim yang wafat pada tahun 193
Hijriyah. Beliau menerima hadis dari Said bin Iyas al-Jurairi yang wafat pada tahun
144 Hijriyah. Said bin Iyas al-Jurairi adalah guru dari Ismail bin Ibrahim dan dapat
dikatakan keduanya pernah hidup semasa atau bertemu langsung. Adapun menurut
kritikus hadis yaitu Ali bin al-Madini dari Yahya bin Sa’id: Ibnu Ulayyah ‫وهيٌّبمٌّنأثبت‬.
Sedangkan menurut an-Nasa’i ‫ )ثبٌّتثقة‬Mizzi, 1978).
2. Said bin Iyas
Adalah perawi ke tiga, yang menerima hadis dari Abu al-Ala’. Said bin Iyas
merupakan periwayat yang tsiqoh yang mana Imam Bukhari dan Imam Muslim
sepakat dengan ketsiqohannya. Beliau wafat pada tahun 144 Hijriyah. Abu Al Ala’
juga tercatat sebagai guru dari Said al-Jurairi, begitupun sebaliknya. Adapun
lambang penerimaannya “’an” berarti lambang periwayatan menggunakan al-sima’.
Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka pernah hidup sezaman dan antar keduanya
terdapat ketersambungan sanad. Adapun penilaian kritikus terhadap beliau adalah
Yahya bin Sa’id al-Qathan dari Kahmas berkata: “‫ا‬PP‫الطاعوٌّنأياٌّم الجريرٌّيأنكرن‬, anNasa’i:
‫َةِقث‬,ٌ ٌّ‫ الطاعونٌّ أيامٌّ أنكر‬Abbas Adduri berkata dari yahya bin Ma’in: ٌّ ‫( ثقة‬Mizzi, 1983).
Mengenai penilaian ulama terhadap ke mukhtalithan al-Jurairi ini tidak memberi
pengaruh terhadap riwayat hadis ini. Sebab, hadis ini diriwayatkan darinya sebelum
terjadinya ikhtilath. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Dhawabit Jarh wa Ta’dil, di
antara orang yang tercampur aduk hafalannya adalah Said bin Iyas al-Jurairi. Rawi
yang mendengar darinya sebelum terjadinya ikhtilath adalah Sufyan ats-Tsauri, Ibnu
‘Ulayyah, Bisyr bin al-Mufaddhal (Al Abdullathif, 1410). Hadis ini juga dikeluarkan
di jalur Imam Muslim. Sementara al-Jurairi dijadikan hujjah oleh shahihain. Mereka
sepakat akan ke tsiqohannya dan mereka berdua berhujah dengannya.
3. Abu Al-‘ala
Beliau adalah perawi yang dinilai tsiqoh oleh an-Nasa’i, Abu Hatim menilainya
shalihul hadis. Beliau wafat pada tahun 111 H. Abu al-Ala’ tercatat sebagai murid
dari Utsman bin Abi al-Ash (Mizzi, 1983). Maka dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan terjadi ketersambungan sanad.
4. Usman bin Ani al-‘Ash
Merupakan seorang sahabat yang menerima hadis langsung dari Nabi Saw. beliau
wafat pada tahun 51 Hijriyah. Ketersambungan sanadnya tergambar pada sanad
sebelumnya Abu al-‘Ala’ tercatat sebagai murid Usman bin al-Ash begitu juga
sebaliknya. Dari semua perawi dalam jalur Imam Ahmad ini kritikus hadis menilai
mereka adalah orang yang ‘adil dan dhabit, tetapi ada satu perawi yang keadilannya
di mana satu waktu hafalannya berubah karena statusnya mukhtalith. Akan tetapi, hal
tersebut tidak mempengaruhi periwayatannya karena periwayatan hadis ini terjadi
sebelum hafalan kacau (mukhtalith) dan Imam Shahihain juga berhujjah dengannya
(Al Kayyali, 1999).
b. Kritik Matan
Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah Hal ini terjadi di zaman
Rasulullah Saw. sahabat mengadu kepada Rasulullah Saw. “Ya Rasul, saya merasa
setan telah mengganggu shalatku. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ‘jika kamu
merasakan gangguan, maka bacalah ta’awudz, dan meludahlah ke kiri tiga kali. Maka
sahabat tersebut melakukannya, maka hilanglah gangguan tersebut darinya. Dengan
demikian, hadis ini memang dilatar belakangi oleh pertanyaan sahabat pada masa
Rasulullah Saw. jadi hal ini tidak ada bertentangan dengan sejarah. 4) Susunan
pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi. Hal ini tentu saja perkataan dari
Nabi Saw. dilihat dari latar belakang hadis dan juga telah dilakukan analisis sanad
hadis, bahwa hadis ini bersumber dari Rasulullah Saw.

B. Hadis Larangan Meludah di dalam Masjid

‫ َعِن الَّنِّيِب صلى‬، ‫ َعْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك‬،‫ َعْن َقَتاَدَة‬، ‫ َعْن ِه َش اٍم الَّد ْس ُتَو اِئُّي‬، ‫َح َّد َثَنا َحُمَّم ُد ْبُن َيِز يَد اْلَو اِس ِط ُّي‬
‫ َو َك َّفاَر ُتَه ا َد ْفُنَه ا‬،‫ " ِإَّن ‌اْلُبَز اَق ‌يِف ‌اْلَمْس ِج ِد َخ ِط يَئٌة‬: ‫اهلل عليه وسلم َقاَل‬
Dari Muhammad bin yazid al-wasithi dari hisyam ad-dastuwai dari Qotadah
dari Anas bin Malik dan rasulullas Saw. Bersabda : Meludah di masjid
adalah dosa, dan kafaratnya adalah menguburnya.

Hadis di atas tentu tidak bisa diamalkan di zaman kita sekarang. Karena lantai
masjid di zaman Nabi masih berupa tanah, sedangkan lantai masjid di zaman kita
berupa keramik, marmer atau permadani. Penguburan air ludah di lantai masjid tentu
akan mengotori masjid bahkan bisa menyebabkan kerusakan fisik dan fasilitas masjid.
al-Utsaimin mengatakan :
adalah tidak halal bagi seseorang (sengaja) melakukan dosa lalu
melakukan kafarat terhadapnya, akan tetapi kafarat itu apabila
dosa dilakukan tanpa kesengajaan, adapun jika kamu melakukan
dosa dengan niat untuk dikafarati maka hal ini tidak
diperbolehkan.1
Maksudnya adalah kafarat dari dosa tersebut (dosa meludah) jika dia (terlanjur)
melakukannya adalah menguburnya, yaitu mengubur ludah tersebut di tanah atau pasir
masjid jika kondisinya demikian, dan jika tidak, maka harus dibuang keluar atau diusap
dengan tisu, dan konon dikatakan juga bahwa maksud dari menguburnya adalah
membuangnya keluar secara mutlak.”13 Jadi, hadis ini jika dipahami secara kontekstual
sesuai dengan zaman kita sekarang adalah “Jangan meludah di masjid, kecuali jika
terpaksa; dan jika kondisinya terpaksa maka meludahlah di tisu kemudian
membuangnya ke tong sampah di luar masjid.

1
Al-Utsaimin, Fathu Dzi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Bulugh al-Maram, (Kairo: al-Maktabah alIslamiyyah li al-
Nasyr wa al-Tauzi’, 2006), jld 1, no. 619.

Anda mungkin juga menyukai