Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Shalat merupakan kewajiban hamba Allah Swt yang beriman. Bentuknya
adalah serangkaian gerakan dan do’a dengan menghadapkan wajahnya kepada
Yang Maha Pencipta. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diperhitungkan
dan pertama kali dihisab di hari akhir. Di dalam ibadah shalat ada dua macam
bentuk, yaitu: shalat wajib dan shalat sunat. Menurut haditst Bukhori, shalat wajib
adalah ibadah yang wajib dikerjakan oleh masing-masing orang muslim, apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa.
Shalat wajib ini ada lima macam waktu, diantaranya: shalat Subuh dikerjakan
menjelang fajar, shalat Dzuhur dikerjakan pada saat matahari melebihi bayangan
kita, shalat Ashar dikerjakan ketika sore sebelum matahari berwarna merah, shalat
Maghrib dikerjakan ketika matahari sudah tenggelam, dan yang terakhir shalat
Isya’ dikerjakan setelah shalat Maghrib. Dijelaskan dalam haditst Bukhori, bahwa
shalat sunat adalah adalah ibadah shalat yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan apabila tidak tidak dikerjakan tidak berdosa. Shalat sunah ada banyak
macamnya, diantaranya: shalat dhuha, shalat witir, shalat sunnah fajar dan lain
sebagainya.

B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimanakah kualitas dan pemahaman hadits tentang shalat sunnah fajar?

C. Metode, Pendekatan dan Teknik Analisis


1. Metode
Penelitian hadits ini menggunakan metode maudu’i, sebagaimana
dimaklumi bahwa dalam penelitian hadits -sebagaimana dalam metode
penelitian tafsir- ada empat metode yang digunakan yaitu; metode
tahlili, maudu’i, muqaran dan ijmali. Dalam menggunakan metode hadits
maudu’i ini, pemakalah menghimpun hadits-hadits yang berkaitan dengan

1
masalah yang akan dibahas yaitu shalat sunnah fajar.
Penelitian ini bersifat kualitatif karena data yang dikaji bersifat
deskriptif berupa pernyataan verbal. Adapun langkah-langkahnya,
sebagai berikut:
 Menentukan tema atau topik pembahasan yang akan dikaji.
Dalam hal ini, pemakalah membahas tentang s h a l a t s u n n a h
f a j a r , sehingga hadits-hadits yang dikaji adalah hadits-hadits
tentang s h a l a t s u n n a h f a j a r.
 Menghimpun atau mengumpulkan data hadits-hadits yang
terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara makna
melalui kegiatan takhrijul al-hadits.
 Melakukan kategorisasi dan klasifikasi berdasarkan kandungan
hadits dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan
peristiwa wurud hadits (tanawwu‘) dan perbedaan periwayatan
hadits (lafal dan makna).
 Melakukan kegiatan i’tibar dengan tujuan melacak
keberadaan syahid dan mutabi’ yang dilengkapi dengan skema
sanad. Melakukan penelitian sanad yang meliputi: penelitian
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang
menjadi sanad hadits bersangkutan, serta metode periwayatan
yang digunakan masing-masing periwayat.
 Melakukan penelitian matan yang meliputi: kemungkinan
adanya ‘illat (cacat) dan terjadinya syaaz \ (kejanggalan).
 Mempelajari term-term yang mengandung pengertian serupa
sehingga hadits tersebut bertemu pada satu muara tanpa ada
perbedaan dan kontradiksi, juga pemaksaan makna kepada
makna yang tidak tepat.
 Membandingkan berbagai syarah hadits dari berbagai kitab-kitab
syarah dengan tidak meninggalkan syarah kosa kata, frase dan
klausa.

2
 Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits atau ayat-ayat
pendukung dan data yang relevan.
 Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep
(grand concept) sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan
sebuah karya penelitian atau syarah hadits.
2. Teknik Interpretasi
Untuk memahami makna dari ungkapan verbal, yaitu matan hadits
Nabi Saw., dibutuhkan teknik interpretasi sebagai cara kerja memahami
hadits Nabi Saw., khususnya dalam pengkajian hadits tematik.
Pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: tekstual (gramatika literal),
intertekstual (mengaitkan dengan berbagai teks keagamaan),
kontekstual.

D. Takhrij Hadits

1. Metode yang digunakan

 Penelusuran hadits tentang shalat sunnah fajar ditempuh


dengan menggunakan kata kunci ‫ فجر‬melalui Mu’jam al-
Mufahras li al-Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī oleh A.J.
Wensick.1

 Memilih hadits dari kata kunci tersebut yang berkaitan


dengan tema shalat sunnah fajar.

2. Klasifikasi

Dari hasil penelusuran dengan metode tersebut diatas, maka


diklasifikasikan hadits-hadits berkaitan dengan shalat sunnah fajar
sebagai berikut:

1 A.J. Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Alfāẓ al-Ḥadīṡ al-Nabawī, Juz II (Leiden:


E.J. Brill, 1943), h. 273.

3
‫‪‬‬ ‫‪Terdapat dua hadits yang berkaitan dengan shalat sunnah fajar‬‬
‫‪yaitu:‬‬

‫ك ععسن أعنبعيِ إنسسععحاَ ع‬


‫ق ععععنن‬ ‫مسند أحمد ‪ :٦٢٣‬عحددثععناَ إنسبعرانهيِنم سبنن أعنبيِ اسلععدباَ ن‬
‫س عحددثععناَ عشنريِ ك‬
‫اسلعحاَنر ن‬
‫ث‬

‫ضعيِ د‬
‫ان ععسنهن‬ ‫ععسن ععلنييِ عر ن‬

‫ان ععلعسيِنه عوعسلدعم عقاَعل عكععاَعن يِنععوُتننر نعسنعععد اسلععذانن عويِن ع‬


‫صععلليِ الدرسكععتعسيِععنن نعسنعععد‬ ‫صدلىَّ د‬
‫ععسن الندبنليِ ع‬
‫ا س نلعقاَعمنة‬

‫‪Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Abu Al Abbas‬‬


‫‪Telah menceritakan kepada kami Syarik dari Abu Ishaq dari‬‬
‫‪Al Harits dari Ali, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Ali‬‬
‫‪berkata:‬‬

‫‪"Beliau mengerjakan shalat witir ketika adzan hendak‬‬


‫‪dikumandangkan dan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat‬‬
‫‪(shalat‬‬ ‫‪sunnah‬‬ ‫)‪fajar‬‬ ‫‪ketika‬‬ ‫‪iqamah‬‬ ‫‪hendak‬‬
‫"‪dikumandangkan.‬‬

‫‪Hadits ini ditakhrij dari Musnad Amad (623) kitab Musnad‬‬


‫‪Sepuluh Sahabat yang Dijamin Masuk Surga bab Musnad Ali bin Abu‬‬
‫‪Thalib Radliyallahu 'anhu‬‬

‫ق ععععنن اسلعحععاَنر ن‬
‫ث ععععسن‬ ‫ق أعسنبعأ ععناَ إنسسعرانئيِنل ععععسن أعبنععيِ إنسسعععحاَ ع‬
‫مسند أحمد ‪ :٧٢٥‬عحددثععناَ ععسبند الدردزا ن‬
‫ضعيِ د‬
‫ان ععسنهن عقاَعل‬ ‫ععلنييِ عر ن‬

‫صلليِ عرسكععتعسيِ اسلفعسجنر نعسنعد ا س نلعقاَعمنة‬


‫ان ععلعسيِنه عوعسلدعم نيِوُتننر نعسنعد اسلععذانن عويِن ع‬
‫صدلىَّ د‬ ‫عكاَعن عرنسوُنل د‬
‫ان ع‬

‫‪4‬‬
Musnad Ahmad 725: Telah menceritakan kepada kami
Abdurrazzaq telah memberitakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq
dari Al Harits dari Ali, dia berkata:

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat witir


ketika adzan akan berkumandang dan melaksanakan shalat sunnah dua
rakaat fajar ketika iqamah akan ditegakkan."

Hadits ini ditakhrij dari Musnad Ahmad (725) kitab Musnad


Sepuluh Sahabat yang Dijamin Masuk Surga bab Musnad Ali bin Abu
Thalib Radliyallahu 'anhu (764)

 Sebuah hadits tentang:

‫ دعوا الناس يرزق ال‬، ‫ "ل يبيع حاضر لباد‬:‫ قال رسول ال صلى ال عليه وسلما‬:‫عن أبي هريرة قال‬

"‫بعضهم من بعض‬

Hadits ini diriwayatkan oleh Nasai dalam sunannya


kitab buyu’ bab bai’ alhadir lilbaadi (7/256) nomor 4495,
Sunan at-Tarmidzi kitab albuyu’ aan Rasulillah Saw bab ma
jaa la yabi’u hadir libaadin (3/526) nomor 1223, Sunan Abi
Dawud kitab Ijarah bab fi an-nahyu an bai’ hadir libadin
(3/270) nomor 3442, Sunan Ibnu Majah kitab at-Tijaraat
bab an-nahyu an bai’ hadir libadin (2/734) nomor 2176.

 Sebuah hadits tentang bolehnya memaksa seseorang


untuk mengeluarkan sebagian dari keuntungannya
untuk kepentingan dan maslahat yang lebih besar:

5
‫ أن رسسسول ال س صسسلى ال س عليسسه وسسسلم‬-‫رضسسي ال س عنهمسسا‬- ‫حسسديث عبسسد ال س بسسن عمسسر‬

،‫ فكسسان لسه مسال يبلسسغ ثمسن العبسد ققسووما العبسسد عليسه قيمسة عسدل‬،‫"من أعتق ششرركْا له فسي عبسسد‬:‫قال‬

"‫ وعتق عليه العبد‬،‫فأعطى شركْاءه حصصهم‬

Hadits ini ditakhrij dari Shahih Bukhari kitab al-Itqu bab izaa
I’taqa abdan baina itsnani auw ummatun baina syuraka’ (2/892)
nomor 2386, Shahih Muslim kitab al-Itqu (2/1139) nomor 1.

3. I’tibar sanad

Setelah dilakukan takhrīj al-ḥadīṡ dan klasifikasi, maka kegiatan

berikut-nya yang dilakukan membuat i’tibār al-sanad. I’tibār al-sanad

bertujuan untuk mengetahui para periwayat pada hadits-hadits tersebut

dan melihat hubungan antar periwayat-periwayat tersebut.

Hadits yang dipilih untuk dibuatkan i’tibār al-sanadnya adalah


hadits tentang hukum tas’ir melalui tiga orang mukharrij; Ahmad,
Ibnu Majah, Tarmizi, Abu Dawud dan Ad-Darimiy dengan
menggunakan lima jalur, yaitu :

a. Ahmad Bin Hanbal

‫حدثنا سريج ومؤمل قال حدثنا حماد بن سلمة عن قتسادة وثسابت البنساني عسن أنسس بسن‬

‫مالسسك قسسال "غل السسسعر علسسى عهسسد رسسسول الس صسسلى الس عليسسه وسسسلم فقسسالوا يسسا رسسسول الس لسسو‬

‫سعرت فقال إن ال هو الخالق القسابض الباسسط السرازق المسعر وإنسي لرجسسو أن ألقسى الس ول‬

"‫يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دما ول مال‬

6
‫‪b. Ibnu Majah‬‬

‫حدثنا محمد بن المثنى حدثنا حجاج حدثنا حماد بن سلمة عن قتسادة وحميسد وثسابت‬

‫عن أنس بن مالك قال غلالسعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسسلم فقسالوا يسا رسسسول‬

‫ال قد غل السعر فسعرلنا فقال إن ال هو المسعرالقابض الباسط الرازق إنسسي لرجسوأن ألقسسى‬

‫ربي وليس أحد يطلبني بمظلمة في دما ول مال *‬

‫‪c. Tarmizi‬‬

‫حسسدثنا محمسسد بسسن بشسسار حسسدثنا الحجسساج بسسن منهسسال حسسدثنا حمسساد بسسن سسسلمةعن قتسسادة‬

‫وثابت وحميد عن أنس قال غل السعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسسلم فقسسالوا ‪:‬‬

‫يا رسول ال سعر لنا فقسسال إن الس هسسو المسسعرالقابض الباسسط السسرزاق إنسي لرجسسو أن ألقسسى‬

‫ربي وليس أحد منكسم يطلبنسي بمظلمسة فسي دما ول مسال قسسال أبسو عيسسى هسذا حسديث حسسن‬

‫صحيح قال الترمذي ‪ :‬حسن صحيح‪.‬‬

‫‪d. Abu Dawud‬‬

‫حدثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا عفان ثنا حماد بن سلمة أخبرناثسابت عسن أنسس وقتسادة‬

‫وحميد عن أنس قال قال الناس ‪ :‬يا رسول ال غل السعر فسعر لنا فقال رسول ال صسسلى‬

‫الس عليسه وسسلم إن الس هسو المسسعرالقابض الباسسط السرازق وإنسي لرجسو أن ألقسى الس وليسس‬

‫أحد منكم يطالبني بمظلمة في دما ول مال “‬

‫‪e. Ad-Darimiy‬‬

‫‪7‬‬
‫أخبرنا عمسسرو بسن عسسون أخبرنسا حمساد بسن سسلمة عسسن حميسد وثسابت وقتسسادة عسسن أنسس‬

‫قال غل السعر على عهد النبي صلى ال عليه وسلم فقال الناس يا رسول ال غل السعر‬

‫فسعر لنا فقال رسول ال صلى ال عليه وسلم إن ال هو الخسالق القسسابض الباسسط السرازق‬

‫المسسعر وإنسسي أرجسسو أن ألقسسى ربسسي وليسس أحسسد منكسم يطلبنسسي بمظلمسسة ظلمتهسا إيسساه بسسدما ول‬

‫مال"‬

‫‪Dengan diagram sanad sebagai berikut:‬‬

‫أنس بن مالك‬

‫حميد و قتادة و ثابت البناني‬

‫حماد بن سلمة‬

‫عفان‬ ‫عمرو بن عون‬ ‫حجاج‬ ‫سريج و مؤمل‬

‫عثمان بن أبي شيبة‬


‫الدارمي‬ ‫محمد بن بشار‬ ‫محمد بن المثنى‬ ‫أحمد بن حنبل‬

‫أبو داود‬ ‫الترمذي‬ ‫ابن ماجة‬

‫‪8‬‬
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tas’ir, Tujuan dan Ruang Lingkupnya

Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran yang artinya


menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir ( ‫ )التسعيِر‬seakar dengan kata as-si’r (
‫ = السعر‬harga) yang berarti penetapan harga.Kata as-si'r ini digunakan di pasar
untuk menyebut harga (di pasar) sebagai penyerupaan terhadap aktivitas
penyalaan api, seakan menyalakan nilai (harga) bagi sesuatu.

Dikatakan, Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan harga sesuatu


yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.2 Jika dikatakan, As arû wa
sa arû, artinya mereka telah bersepakat atas suatu harga tertentu. 3 Oleh karena
itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri (penetapan/penentuan harga).4

Adapun menurut pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut


Imam Ibnu Irfah (ulama Malikiyah) :

‫هوُ تحديِد حاَكم السوُق لباَئع المأكوُل فيِه قدراا للمبيِع بدرهم معلوُم‬

“Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang


dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan sejumlah dirham
tertentu.”5

Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :

‫أن يِأمر الوُالىَّ السوُقة أن ليِبيِعوُا أمتعتهم إل بسعر كذا‬

2 Al-Minawi, At-Ta’ârif, I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus,


cet. I. 1410H.
3 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt
4 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar Shadir, Beirut, cet. I. tt; Ar-Razi, Mukhtâr
ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415 H.
5 Muhammad bin Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu Irfah, II/35

9
“Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku pasar agar mereka
tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu.”6

Menurut Imam Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :

‫التسعيِر أن يِسعر الماَم أو ناَئبه علىَّ الناَس سعراا ويِجبرهم علىَّ التباَيِع به‬

“Tas’ir adalah penetapan suatu harga oleh Imam (Khalifah) atau wakilnya
atas masyarakat dan Imam memaksa mereka untuk berjual beli pada harga itu.”7

Menurut Imam Syaukani :

‫هوُ أن يِأمر السلطاَن أو نوُابه أو كل من ولىَّ من أموُر المسلميِن أمراا أهل السوُق أل‬
‫يِبيِعوُا أمتعتهم إل بسعر كذا فيِنمع من الزيِاَدة عليِه أو النقصاَن لمصلحة‬

“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang
mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual
barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang ada
tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.”8

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :

‫هوُ أن يِأمر السلطاَن أو نوُابه أو كل من ولىَّ من أموُر المسلميِن أمراا أهل السوُق أل‬
‫يِبيِعوُا السلع إل بسعر كذا فيِنمعوُا من الزيِاَدة عليِه حتىَّ ل يِغلوُا السعاَر أو النقصاَن عنه‬
‫ أي يِنمعوُن من الزيِاَدة أوالنقص عن السعر لمصلحة الناَس‬،‫حتىَّ ل يِضاَربوُا غيِرهم‬

“Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang
mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual
barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang
menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau
mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka

6 Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah Ath-Thalib, II/38


7 Al-Bahuti, Syarah Muntaha Al-Iradat, II/26
8 Imam Syaukani, Nailul Authar, V/335

10
dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan
masyakarat.”9

Dari berbagai definisi tersebut, kita bisa mengambil gambaran umum bahwa
ruang lingkup tas’ir adalah kebijakan politik yang dilaksanakan oleh pemimpin
suatu kaum atau yang menempati posisi tersebut yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan umum. Untuk itu dapat ditarik kesamaan dari definisi-definisi
tersebut sebagai berikut:

Pertama, penguasa atau yang menempati posisi pengambil kebijakan


sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan.

Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan, dengan
menakar harga dengan adil tanpa menzalimi pelaku pasar.

Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan dengan


memberlakukan kepada semua pihak tanpa terkecuali.

B. Landasan Normatif Tas’ir

Di dalam Al-Qur’an Allah Swt berfirman:

‫يِراَجِ ٍأريِتيرهاَجِ ٍاَلمذيِرن ٍآرمنكوُاَ ٍرلِ ٍترأمككلكوُاَ ٍأرممروُاَلرككمم ٍبترميَتنرككمم ٍبماَجِلمبراَجِمطمل ٍمإلِ ٍأرمن ٍترككوُرن ٍمتراَجِررةة ٍرعمن ٍترترراَ ض‬
‫ض ٍمممنككمم‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah engkau memakan


harta diantara kamu dengan cara yang batil, kecuali melalui perdagangan yang
kalian ridhoi…” (an-Nisa: 29)

Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada
transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Dalam ayat ini juga Allah mengharamkan
orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk
transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak

9 Taqiyuddin An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, hlm. 199.

11
dibenarkan oleh syari’at. Seseorang hanya boleh melakukan transaksi terhadap
harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas.

Adapun dalam hadits Rasulullah saw dijumpai beberapa hadits, yang dari
logika hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Faktor
dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama fiqh
adalah al-maslahah al-mursalah.

Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah


sebuah riwayat dari Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:

‫غل السعر علىَّ عهد رسوُل ا النععبيِ صععلىَّ اعع‬:‫عن أنس بن ماَلك رضيِ ا عنه قاَل‬
‫"إن ااا‬:‫فقاَل رسوُل ا النبيِ صلىَّ ا عليِععه وسععلم‬.َ‫يِاَ رسوُل ا سلعر لنا‬:‫ فقاَلوُا‬، ‫عليِه وسلم‬
‫ وليس أحد منكاام يطلبنااي‬،‫ وإني لرجو أن ألقى ربي‬،‫ الرزاق‬،‫ الباسط‬،‫ القابض‬،‫س ععر‬
‫هو المم س‬
"‫بمظلمة في دم ول مال‬

“Pada zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu


sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata: ya
Rasulullah, harga-harga dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan
harga itu. Rasulullah saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak)
menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya
berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang diantara kalian
menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa.”10

Dalil lainnya, hadits Nabi saw :

"‫ دعوُا الناَس يِرزق ا بعضهم من بعض‬، ‫"ل يِبيِع حاَضر لبلد‬

“Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah manusia,


Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.”

10 Hadits Riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad Ibn
Hanbal dan Ibn Hibban.

12
Dari hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga menjual
barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan
dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan
harga.11

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya:


penguasa melarang para pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih
tinggi dari harga pasar, sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan
barang itu. Maka dalam kondisi seperti ini penguasa mewajibkan pedagang
menjual dengan harga pasar, karena ini berarti mengharuskan keadilan. Padahal
keadilan adalah hal yang diperintahkan Allah.12

Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman
Rasulullah saw, itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang,
tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hokum ekonomi
apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab itu dalam
keadaan demikian Rasulullah saw, tidak mau campur tangan membatasi harga
komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap para
pedagang. Padahal, Rasulullah saw tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat
zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli.
Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan
karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam
masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para pedagang.

Dalam UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan pasal 25, mengatur


tentang pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh
wilayah Indonesia. Undang-undang ini bertujuan agar dalam rangka pelaksanaan
Ekonomi Terpimpin dan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi dan untuk
mencegah adanya kenaikan harga yang sewenang-wenang dari pelaku pasar.

11 HR al-Bukhari, Muslim.
12 Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah, hlm. 291. Pendapat ini adalah
juga pendapat gurunya, Ibnu Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 76-77.
Lihat Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm.
429.

13
Dengan regulasi tersebut diharapkan pemerintah harus mampu
mengendalikan harga pangan di pasaran, mengingat begitu banyak aktor yang
berpotensi untuk mengganggu stabilitas harga pangan ini. Misalnya para importir
pangan yang berharap harga komoditas pangan lokal tak terkendali sehingga
mereka berpeluang mendatangkan komoditas pangan impor dengan harga yang
lebih murah, kualitas tak terjamin namun berpotensi besar mematikan pertanian
lokal dengan komoditas pangan yang sama.

Dan juga otoritas dari Menteri Perdagangan untuk mengendalikan harga


perlu diawasi. Pengawasan ini sebaiknya dilakukan secara formal dan informal.
Formal bisa saja dengan membentuk tim pengawas yang memastikan kebijakan
pengendalikan harga yang diambil Menteri Perdagangan sesuai dengan kebutuhan
dan terlebih lagi tidak menomorduakan kepentingan rakyat dibanding kepentingan
politik atau lainnya. Pengawasan informal bisa dilakukan secara swadaya oleh
masyarakat.

C. Deskripsi Matan dan Sanad Hadits

1. Hadits tentang hukum tas’ir

 Sunan Abi Daud:

‫حدثنا سريج ومؤمل قسال حسدثنا حمسساد بسن سسلمة عسن قتسادة وثسابت البنساني عسن أنسس‬

‫بن مالك قال "غل السعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسلم فقالوا يا رسول الس لسسو‬

‫سعرت فقال إن ال هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وإني لرجو أن ألقى الس ول‬

"‫يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دما ول مال‬

‫حسسدثنا محمسسد بسسن عثمسسان الدمشسسقي أن سسسليمان بسسن بلل حسسدثهم قسسال حسسدثني‬

‫العلء بسسن عبسسد الرحمسسن عسسن أبيسسه عسسن أبسسي هريسسرة أن رجل جسساء فقسسال يسسا رسسسول الس سسسعر‬

14
‫فقسسال بسسل أدعسسو ثسسم جسساءه رجسسل فقسسال يسسا رسسسول الس سسسعر فقسسال بسسل الس يخفسسض ويرفسسع وإنسسي‬

‫لرجو أن ألقى ال وليس لحد عندي مظلمة"‬

‫‪2.‬‬ ‫‪Hadits tentang larangan orang kota menjual ke orang dusun karena‬‬
‫‪orang dusun tidak mengetahui harga pasar.‬‬

‫‪‬‬ ‫‪Sunan Nasa’i:‬‬

‫حسسدثنا محمسسد بسسن عثمسسان الدمشسسقي أن سسسليمان بسسن بلل حسسدثهم قسسال حسسدثني‬

‫العلء بسسن عبسسد الرحمسسن عسسن أبيسسه عسسن أبسسي هريسسرة أن رجل جسساء فقسسال يسسا رسسسول الس سسسعر‬

‫فقسسال بسسل أدعسسو ثسسم جسساءه رجسسل فقسسال يسسا رسسسول الس سسسعر فقسسال بسسل الس يخفسسض ويرفسسع وإنسسي‬

‫لرجو أن ألقى ال وليس لحد عندي مظلمة‬

‫‪3. Hadits tentang bolehnya memaksa seseorang untuk‬‬


‫‪mengeluarkan‬‬ ‫‪sebagian‬‬ ‫‪dari‬‬ ‫‪keuntungannya‬‬ ‫‪untuk‬‬
‫‪kepentingan dan maslahat yang lebih besar:‬‬

‫‪ Imam Bukhari‬‬

‫حدثنا عبد الس بسن يوسسف أخبرنسا مالسك عسن نسافع عسن عبسد الس بسن عمسر رضسي‬

‫ال عنهما أن رسول ال صلى ال عليه وسلم قال‪" :‬من أعتق شركْا له فسسي عبسسد فكسسان لسه مسسال‬

‫يبلسسغ ثمسن العبسد قسوما العبسسد عليسه قيمسة عسدل فسأعطى شسركْاءه حصصسهم وعتسق عليسه العبسد وإل‬

‫فقد عتق منه ما عتق"‬

‫)‪D. Kritik Sanand (Jalur Sanad Yang dipilih‬‬

‫‪1. Kritik Sanad: Metode, Proses dan Hasilnya‬‬

‫‪15‬‬
Untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti, maka terlebih
dahulu harus dilaksanakan penelitian tentang kualitas sanad. Kualitas
sanad dapat diketahui setelah meneliti kepribadian perawi yang terlibat
dalam periwayatan hadits tersebut. Di samping itu, akan dilihat
persambungan sanad mulai dari mukharrij sampai ke-pada periwayat
tingkat sahabat yang menerima hadits dari Nabi.13

Adapun hadits yang akan diteliti dalam makalah ini adalah hadits
tentang sikap hukum tas’ir m elalui jalur Ahmad Bin Hanbal.

Berikut jalur sanad hadits tentang tas’ir:

‫ "غل ال و‬: ‫أرواه أأنس بن مالك رضي ال عنه قال‬


‫ يا‬: ‫ فقالوا‬، ‫سرعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسلم‬

‫سوعر وإني لرجو أن أرلقى ال عز وجل‬


‫ إن ال هو القابض الباسط الرازق القم أ‬: ‫ت ؟ فقال‬
‫رسول ال لو أسزعرر أ‬

‫"ول يأطرقلبني أحد بأمرظلمة ظلرمقتها إياه في دما ول مال‬

‫أنس بن مالك‬

‫حميد و قتادة و ثابت البناني‬

‫حماد بن سلمة‬

‫سريج و مؤمل‬

a. Aḥmad bin Ḥanbal ‫أحمد بن حنبل‬

13M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 111; M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 64.

16
 Nama lengkapnya: Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal bin Hilāl bin

Asad al-Sya’ybānī Abū ‘Abdullah al-Marwazī. Beliau lahir di Kota

Bagdad pada awal Rabiulawal 164 H dan wafat pada tahun 241 H.14

 Gurunya di bidang periwayatan hadits sangat banyak, di antaranya

Sufyān bin ‘Uyaynah, Abū Daūd al-Ṭayālisī, Bisyr bin al-Mufaḍḍal,

Yazīd bin Harūn, Ismā’īl bin ‘Ulayyah, Surāij bin Nu’mān. Nama

terakhir tersebut adalah sanad pertama bagi Aḥmad untuk menerima

hadits yang sementara diteliti. Adapun murid-muridnya cukup banyak,

di antaranya Yaḥyā bin Ma’īn, al-Bukhārī, Mus-lim, Abū Daūd, dan

termasuk kedua anaknya, yaitu ‘Abdullah dan Ṣaliḥ.15

 Pernyataan para kritikus hadits tentang dirinya, sebagai berikut :

a) Al-‘Ajalī menyatakan bahwa beliau ṡiqah ṡābit fī al-ḥadīṡ.16

Sedangkan Ibnu Sa’ad menilai beliau ṡiqah ṡābit sudūq.17

b) Al-Nasā’ī menilainya ṡiqah ma’mūn.18

c) Ibn Ḥibbān menilai beliau adalah seoang ḥāfiẓ mutqin fāqih.19

Tampaknya tidak ditemukan seorang pun dari ulama kritikus hadits yang

mencela beliau, bahkan pujian yang diberikan oleh kritikus hadits berperingkat

tinggi dan tertinggi.20 Dengan demikian, pernyataannya bahwa dia menerima

hadits dari Surāij bin Nu’mān dapat dipercaya dan itu berarti bahwa sanad antara

dia dan Surāij bin Nu’mān tersambung.

14Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, Juz I (Beirut:
Dār al-Fikr, 1984), h. 62-65.
15Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, h. 62-63.

16Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, h. 64.

17Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, h. 66.

18Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, h. 65.

19Syihāb al-Dīn Aḥmad ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqalānī, Kitāb Tahżīb al-Tahżīb, h. 65.

20M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h. 102.

17
b. Surāij

 Nama lengkapnya: Surāij bin Nu’mān, Ibn Mārwān, Al-Imām Abul


Husein. Kadang juga dikenal dengan Abul Hāsān Al-Baghdādi Al-
Juhāiry Al-Lu’lu’ai. Imam Ibnu Hānbal berkata: “beliau wafat
bertepatan dengan Idul Adha tahun 217 H”21

 Guru-guru beliau di bidang periwayatan hadits diantaranya: Falih bin


Sulaiman, Nafi’ bin Amr al-Makki, Abdullah bin Mu’mal al-
Makhzumi, Hamad bin Salamah. Nama terakhir tersebut adalah
tempat Surāij untuk menerima hadits yang sementara diteliti. Adapun
murid-muridnya di antaranya: Al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Ahmad
bin Mani’, Muhammad bin Rafi’.22

 Pernyataan kritikus hadits tentang beliau, diantaranya:

a. Abu Daud menyatakan bahwa beliau siqah.

b. Nasai berkata bahwa laisa bihi ba’sa.

c. Terkadang beliau ghalath fil hadits.23

c. Hāmād bin Sālamāh

 Nama lengkapnya: Hāmād bin Sālamāh bin Dinar, Al-Imam


Qudwah, Syeikhlul Islam Abu Sālamāh Al-Bāshri. Beliau wafat
pada tahun 167 H dalam usia 76 tahun.24

 Guru-guru beliau di bidang periwayatan hadits diantaranya: Ibn


Abi Malikah, Anas bin Sirin, Muhammad bin Ziyad Al-Qurasy,
Tsābit Al-Bannāni, Qatadah bin Da’amāh, paman beliau Humaed.
Ketiga nama terakhir tersebut adalah tempat Hāmād bin Sālamāh

21 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 10-h.
219.
22 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 10-h.
220.
23 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 10-h.
220.
24 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 7-h.
445-453.

18
untuk menerima hadits yang sementara diteliti. Adapun murid-
murid beliau di antaranya: Ibnu Jurāij, Ibnu Mubārak, Yahyā Al-
Qattān, Surāij dll.25

 Pernyataan kritikus hadits tentang beliau, diantaranya:

a. Ibnu Muayyān berkata: beliau adalah orang berpendirian


kuat dan tsabit.

b. Ahmād bin Hanbāl: beliau adalah orang yang siqah.

c. Hāmād bin Zeid: kami tidak melihat seseorang benar-benar


belajar dengan niat yang baik kecuali Hamad bin
Salamah.26

Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sanad antara Suraij dan
Hamad bin Salamah bersambung.

d. Qatādāh

 Nama lengkapnya: Qatādāh bin Da’amāh bin Qatādāh bin Aziz.


Lahir tahun 60 H dan beliau wafat tahun 117 H.27

 Beliau meriwayatkan hadits dari guru-guru diantaranya: Abdullah


bin Sirjis, Abu Tafail Al-Kannāni, Said Bin Musayyāb Anas bin
Malik. Nama terakhir adalah sahabat Rasulullah Saw tempat
Qatādāh meriwayatkan hadits yang sementara diteliti. Murid-
murid beliau diantaranya: Ayyub as-Sukhtiyāni, Ibnu Abi Aruba,
Muāmmar bin Rāsyid, Auza’I, Hāmād bin Salāmāh dll.28

 Pernyataan kritikus hadits tentang beliau, diantaranya:

a. Ibnu Sirin: beliau adalah ahfadzun nas.

25 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 7-h.
445-453.
26 Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, juz 7-h.
450-451
27. Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, h. 269-
270.
28. Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, h. 269-
271.

19
b. Said bin Musayyab: tidaklah datang kepadaku seorang
Iraqy yang lebih ahfaz dari Qatādah.29

e. Anas bin Mālik

 Nama lengkap beliau adalah: Anas bin Mālik bin Nadr bin
Dhamdham bin Zeid bin Harām bin Jundub bin Amir bin
Ghanm bin Adiy bin Najjar, Abu Hamzah al- Anshari al-
Khazraji an-Najjāri al-Madani. Beliau adalah pembantu
Rasulullah Saw, orang dekatnya, muridnya, pengikut setianya,
dan termasuk sahabat yang paling terakhir wafat.30

 Beliau meriwayatkan dari Rasulullah Saw ilmu yang banyak,


Abu Bakar, Umar, Utsmān, Mu’az dan sahabat lainnya. Dan
begitu banyak tabi’in yang meriwayatkan hadits dari beliau
diantaranya: al-Hasan, Ibnu Sirin, as-Sya’bi, Umar bin Abdul
Aziz, Tsābit al-Bannāni, az-Zuhri, Qatādah. Dari nama terakhir
inilah hadits yang sedang diteliti jalurnya berasal.31

Dari uraian-uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa sanad hadits tersebut

bersambung. Hal tersebut dapat dilihat pada pertemuan antara para periwayat

mulai dari Ahmad bin Hanbal sampai kepada Anas bin Mālik. Di samping itu,

periwayat-periwayat hadits yang diteliti dari jalur Ahmad bin Hambal ini,

semuanya dinilai ṡiqah.

Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas pribadi para periwayat hadits yang

sementara diteliti tidak diragukan, sehingga hadits tersebut dapat dinilai sahih.

2. Kritik Matan: Metode, Proses dan Hasilnya

Terdapat lima mukharrij yang meriwayatkan hadits tentang tas’ir yaitu:

29. Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, h. 270-
283.
30. Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, h. 396.
31. Muhammad bin Ahmad Bin Utsman Az-Zahabi, Kitāb Seir A’lām an-Nubalā’, h. 396.

20
‫‪a. Ahmad bin Hanbal‬‬

‫حدثنا سريج ومؤمل قال حدثنا حماد بن سلمة عن قتادة وثابت البناني عن أنس بن مالك قال "غل‬

‫السعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسلم فقالوا يا رسول ال لو سعرت فقال إن ال هو الخالق‬

‫القابض الباسط الرازق المسعر وإني لرجو أن ألقى ال ول يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دما ول‬

‫مال"‬

‫‪b. Ibnu Majah‬‬

‫حدثنا محمد بن المثنى حدثنا حجاج حدثنا حماد بن سلمة عن قتسادة وحميسد وثسابت‬

‫عن أنس بن مالك قال غلالسعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسسلم فقسالوا يسا رسسسول‬

‫ال قد غل السعر فسعرلنا فقال إن ال هو المسعرالقابض الباسط الرازق إنسسي لرجسوأن ألقسسى‬

‫ربي وليس أحد يطلبني بمظلمة في دما ول مال *‬

‫‪c. Tarmizi‬‬

‫حسسدثنا محمسسد بسسن بشسسار حسسدثنا الحجسساج بسسن منهسسال حسسدثنا حمسساد بسسن سسسلمةعن قتسسادة‬

‫وثابت وحميد عن أنس قال غل السعر على عهد رسول ال صلى ال عليه وسسلم فقسسالوا ‪:‬‬

‫يا رسول ال سعر لنا فقسسال إن الس هسسو المسسعرالقابض الباسسط السسرزاق إنسي لرجسسو أن ألقسسى‬

‫ربي وليس أحد منكسم يطلبنسي بمظلمسة فسي دما ول مسال قسسال أبسو عيسسى هسذا حسديث حسسن‬

‫صحيح قال الترمذي ‪ :‬حسن صحيح‪.‬‬

‫‪d. Abu Dawud‬‬

‫‪21‬‬
‫حدثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا عفان ثنا حماد بن سلمة أخبرناثسابت عسن أنسس وقتسادة‬

‫ يا رسول ال غل السعر فسعر لنا فقال رسول ال صسسلى‬: ‫وحميد عن أنس قال قال الناس‬

‫الس عليسه وسسلم إن الس هسو المسسعرالقابض الباسسط السرازق وإنسي لرجسو أن ألقسى الس وليسس‬

“ ‫أحد منكم يطالبني بمظلمة في دما ول مال‬

e. Ad-Darimiy

‫أخبرنا عمرو بن عون أخبرنا حماد بن سلمة عن حميد وثسابت وقتسادة عسن أنسس قسال غل السعر علسى‬

‫عهد النبي صلى ال عليه وسسلم فقسسال النساس يسسا رسسسول الس غل السسعر فسسعر لنسا فقسال رسسسول الس صسسلى الس‬

‫عليسسه وسسسلم إن الس هسسو الخسسالق القسسابض الباسسسط السرازق المسسسعر وإنسسي أرجسسو أن ألقسسى ربسسي وليسسس أحسسد منكسسم‬

"‫يطلبني بمظلمة ظلمتها إياه بدما ول مال‬

Dari lima redaksi hadits di atas, tampak ada perbedaan redaksi antara satu
sama lain. Meskipun demikian, makna yang dikandungnya sama yaitu bahwa
tentang keadaan dimana harga-harga melonjak pada zaman Rasulullah Saw,
kemudian orang-orang berdatangan kepada Rasulullah Saw untuk dibuatkan
aturan tentang pengaturan harga di pasaran, namun Rasulullah Saw menolak
untuk menentukan harga sebagaimana permintaan oran-orang pada waktu itu.

Adapun penelitian kualitas matan hadits tersebut, dirujuk pada pendapat

Ṣalāḥ al-Dīn bin Aḥmad al-Adlabī sebagaimana yang dikutip M. Syuhudi Ismail

yang menyatakan bahwa tolok ukur penelitian kualitas matan hadits itu ada empat,

yaitu tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an; tidak bertentang-an dengan

hadits yang lebih kuat; tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indra, dan

sejarah; dan susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.32

32M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, h. 129.

22
Dengan syarat-syarat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa matan

hadits tentang tas’ir tidak mengandung cacat.

E. Syarah Hadits

Hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan hukum tas’ir:

‫غل السعر علىَّ عهد رسوُل ا النععبيِ صععلىَّ اعع‬:‫عن أنس بن ماَلك رضيِ ا عنه قاَل‬
‫"إن ااا‬:‫فقاَل رسوُل ا النبيِ صلىَّ ا عليِععه وسععلم‬.َ‫يِاَ رسوُل ا سلعر لنا‬:‫ فقاَلوُا‬، ‫عليِه وسلم‬
‫ وليس أحد منكاام يطلبنااي‬،‫ وإني لرجو أن ألقى ربي‬،‫ الرزاق‬،‫ الباسط‬،‫ القابض‬،‫س ععر‬
‫هو المم س‬
"‫بمظلمة في دم ول مال‬

“Pada zaman Rasulullah saw, terjadi pelonjakan harga dipasar, lalu


sekelompok orang menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata: ya
Rasulullah, harga-harga dipasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan
harga itu. Rasulullah saw, menjawab: sesungguhnya Allahlah yang (berhak)
menetapkan harga dan menahannya, melapangkan dan memberi rezeki. Saya
berharap akan bertemu dengan Allah dan jangan seseorang diantara kalian
menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta dan nyawa.”

1. Macam-Macam Tas’ir:

Para ulama fiqh membagi tas’ir kepada dua macam, yaitu :

Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah
para pedagang. Dalam harga seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya
sesuai dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya.
Pemerintah, dalam harga yang berlaku secara alami ini, tidak boleh campur
tangan, karena campur tangan pemerintah dalam kasus seperti ini boleh
membatasi hak para pedagang.

Kedua, harga suatu komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah


mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi para pedagang dan keadaan

23
ekonomi masyarakat. Penetapan harga dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir
al-jabari.

Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir, dalam perilaku
ekonomi, harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang tersedia banyak di
pasar, karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan konsumen
terdapat keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia sedikit,
sedangkan permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi
fluktuasi harga. Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak
pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh
menstabilkan harga itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi
dimaksud dan menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila
stok barang cukup banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak
pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini
disebabkan ulah para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan
tujuan menjualnya setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini
pemerintah berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut
dengan at-tas’ir al-jabari.

Ada beberapa rumusan at-tas’ir al-jabari yang dikemukakan para ulama.


Ulama Hambali mendefenisikan at-tas’ir al’jabari dengan:

‫أن يِسعر الماَم سعرأ وُيِﺟبرهم علىَّ التباَيِع به‬

“upaya pemerintah dalam menetapkan harga suatu komoditi, serta


memberlakukannya dalam transaksi jual beli warganya”

Imam as-Syaukani (1172-1250 H/1759-1834 M), tokoh usul fiqh,


mendefenisikannya dengan:

‫أن يِأمر السلطاَن أهل السوﻖ أن ل يِبيِعوا أمتعتهم إل بسعر معلوم لمصلحة‬

24
”Intruksi pihak penguasa kepada para pedagang agar mereka tidak
menjual barang dagangannya, kecuali sesuai dengan ketentuan harga yang telah
ditetapkan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bersama”

Kedua defenisi ini tidak membatasi komoditi apa saja yang harganya telah
ditentukan oleh pemerintah. Ada juga defenisi lain yang senada dengan defenisi-
defenisi di atas, hanya saja mereka membatasi komoditinya pada barang-barang
dagangan yang bersifat konsumtif. Misalnya, Ibn ‘Urfah al-Difki, pakar
fiqh Maliki, mendefenisikan at-tas’ir al-jabari dengan:

‫تحد يِد الحاَكم السوﻖ لباَيِع المأكول‬

“Penetapan harga oleh pihak penguasa terhadap komoditi yang bersifat


konsumtif”

Akan tetapi, Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus,


sependapat dengan ulama Hanabilah dan as-Syaukani di atas, karena kedua
defenisi itu tidak membatasi jenis produk yang boleh ditetapkan harganya oleh
pemerintah. Bahkan ad-Duraini lebih memperluas cakupan tas’ir al-jabari. Sesuai
dengan perkembangan keperluan masyarakat. Menurutnya, ketetapan pemerintah
itu tidak hanya terhadap komoditi yang digunakan dan diperlukan masyarakat,
tetapi juga terhadap manfaat dan jasa pekerja yang diperkukan masyarakat.
Misalnya, apabila sewa rumah nail dengan tiba-tiba dari harga biasanya atau harga
naik secara tidak wajar.

Sesuai dengan kandungan defenisi-defenisi diatas, para ulama fiqh sepakat


menyatakan bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu
adalah pihak pemerintah, setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi.
Dalam menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan
para pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duaraini, apa
pun bentuk komoditi dan keperluan warga suatu Negara, untuk kemaslahatan
mereka pihak pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis,
sehingga pihak produsen dan konsumen tidak dirugikan.

25
2. Pendapat ulama tentang hukum tas’ir:

Hadits tersebut mengandung pengertian mengenai keharaman penetapan


harga (termasuk upah dalam transaksi persewaan atau perburuhan) walau dalam
keadaan harga-harga sedang naik, karena jika harga ditentukan murah akan dapat
menyulitkan pihak penjual. Sebaliknya, menyulitkan pihak pembeli jika harga
ditentukan mahal. Sementara penyebutan darah dan harta pada hadits tersebut di
atas hanya merupakan kiasan.

Selain itu, karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi
maka kepadanya merekalah diserahkan fluktuasinya. Karenanya, imam atau
penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait dengan
keadaan bahaya terhadap masyarakat umum sebagaimana yang akan kami
jelaskan.

Menurut madzhab Syafi'i, penguasa tidak berhak untuk menetapkan harga,


biarkan masyarakat menjual dagangan mereka sebagaimana yang mereka
inginkan. Bahkan penetapan tersebut dikatakan sebagai tindakan zhalim. Hal ini
mengingat, bahwa masyarakat itu sebagai pihak yang menguasai harta mereka,
dan penetapan harga merupakan belenggu terhadap mereka. Penguasa memang
diperintahkan untuk melindungi maslahat umat Islam namun tidaklah
pandangannya pada kemaslahatatan pembeli dengan memurahkan harga itu lebih
utama dibandingkan pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan menaikkan
harga.

Sementara itu Imam Malik berpendapat sebaliknya, bahwa penguasa berhak


menetapkan harga. Penetapan harga pada masyarakat itu boleh dilakukan jika
dikhawatirkan pelaku pasar akan menafsirkan ketaatan kaum muslimin kepada
"mekanisme pasar" dengan penafsiran yang negatif atau disalahgunakan.

Semua ulama berdasarkan dzahir hadits di atas memang tidak


memperbolehkan penetapan harga kepada siapapun. Namun yang benar adalah
bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Parametenya adalah berdasarkan kepada

26
undang-undang yang tidak memuat kezhaliman terhadap pihak-pihak yang terkait,
dan undang-undang tersebut diperoleh dengan memperhatikan waktu dan
fluktuasi, serta situasi dan keadaan masyarakat.

Asy-Syaukani menyatakan, hadits ini dan hadits yang senada dijadikan dalil
bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan
suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak
menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian
melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut).
Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan
harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan
untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada
kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari
pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua
persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada
keduanya untuk berijtihad bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik
barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan.

3. Pembahasan menurut ekonomi salaf

Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindasikan


pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan
harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar
mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa
barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang
dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki
barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang
membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan membuatkan
permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga
meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena
dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena
keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang

27
Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga
pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah
itu. Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika
terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga
yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut
mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah
harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut
Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu
ya’la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap
keadaan itu.

Dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga


maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika
mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan
mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti
Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id,
menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus
menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu,
di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya

Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah


merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi
ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila)
menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari
pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk
sangat membutuhkan barang-barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada
tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar
adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa.
Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah al-mithl)
untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan
bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga
yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk

28
4. Menurut ekonomi modern

Secara teoritis, tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik


dengan modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau
harga keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan
penawaran (suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam
perekonomian modern teori dasar ini berkembang menyadi kompleks karena
adanya diversifikasi pelaku pasar, produk, mekanisme perdagangan, instrumen,
maupun perilakunya,yang mengakibatkan terjadinya distorsi pasar

Fenomena kenaikan harga sangat rentan terhadap jalan perekonomian,


dimana tingkat harga mempunyai korelasi yang siqnifikan terhadap kemampuan
masyarakat dalam mempertahankan hidup. Dalam teori kuantitas membedakan
sumber kenaikan harga secara umum atau inflasi menjadi dua, yakni teori demand
pull inflation dan cost push inflation. Demand full inflation terjadi karena adanya
kenaikan permintaan agregatif dimana kondisi produksi telah berada pada
kesempatan kerja penuh (full employment). Cost push inflation terjadi karena
kenaikan harga faktor produksi sampai pada jumlah tertentu.

29
5. Diperbolehkannya Ta’sir

Meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam


seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga.
Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi
dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini,
Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu
Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan
musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak
lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai
keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang
pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan
harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi,
keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan
tanpa persetujuan dan izin mereka.

Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi,


ia mengutip pendapat ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika
di balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para
penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan
kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak
mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa
persetujuan mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh
keuntungan, penetapan harga seperti itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan
kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menyadi
hancur.

6. Urgensi Penetapan Harga

Menurut Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi: “Penentuan harga
mempunyai dua bentuk; ada yang boleh dan ada yang haram. Tas’ir ada yang zalim,

30
itulah yang diharamkan dan ada yang adil, itulah yang dibolehkan.” Penetapan 33

harga yang tak adil dan haram, berlaku atas naiknya harga akibat kompetisi
kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan suplai
atau menaikkan permintaan. Ibnu Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari
kompetisi yang sempurna. Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa penduduk
menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk menjual,
merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.” Ini berarti,
penduduk memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari
pasar. Qardhawi menyatakan bahwa jika penentuan harga dilakukan dengan memaksa
penjual menerima harga yang tidak mereka ridai, maka tindakan ini tidak dibenarkan
oleh agama. Namun, jika penentuan harga itu menimbulkan suatu keadilan bagi
seluruh masyarakat, seperti menetapkan Undang-undang untuk tidak menjual di atas
harga resmi, maka hal ini diperbolehkan dan wajib diterapkan.34
Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah sebagaimana pada penjelasan
di atas yaitu penetapan harga diberlakukan apabila ada kedzaliman dalam
penentuan harga atau karena ada ketimpangan harga yang kiranya diperlukan
adanya tas’ir. Dan sah jika untuk kemashlahatan bersama. Menurut Qardhawi, jika
pedagang menahan suatu barang, sementara pembelimembutuhkannya dengan
maksud agar pembeli mau membelinya dengan harga dua kali lipat harga pertama.
Dalam kasus ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga
oleh pemerintah. Pihak yang berwenang wajib menetapkan harga itu. Dengan
demikian, penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai
demi tegaknya keadilan sebagaimana diminta oleh Allah. Sedang menurut Ibnu
Taimiyah, ”Harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran”. 35
Tak dapat dielakkan lagi bahwa penetapan harga sangat penting dan
dibutuhkan sekali pada saat terjadi monopoli, ketimpangan atau kedzaliman dalam
penentuan harga pada suatu pasar.

33 Dr. Yusuf Qardhawi. Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema Insani, 1997)
h.257
34 Dr. Yusuf Qardhawi. Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta : Gema Insani, 1997)
h.257
35 Ir.Adiwarman Karim, SE,MA.Ekonomi Mikro Islam h. 224

31
F. Analisis Pengembangan

Islam memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk melakukan


aktivitas pasar, mereka bebas melakukan jual beli barang-barang mereka tanpa
ada kezhaliman dari mereka, dengan cara apapun sekehendak mereka sesuai
dengan teori penawaran dan permintaan. Maka jika harga barang naik disebabkan
karena sedikitnya barang atau banyaknya permintaan, maka hal ini diserahkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia lah yang meluaskan dan menyempitkan
rizqi dengan kehendak-Nya, dan Dia juga yang menaikkan dan menurunkan harga
sesuai keinginan-Nya.

Naiknya atau mahalnya harga barang terjadi karena sedikitnya barang (di
pasaran), atau sebagaimana yang dikatakan banyaknya permintaan sedikitnya
penawaran (persediaan) barang sehingga terjadi perebutan barang dagangan, maka
terjadilah kenaikan harga. Dan naiknya harga bisa disebabkan karena sedikitnya
persediaan barang di pasaran, atau karena rakusnya sebagian masyarakat untuk
mengumpulkan (menimbun) barang dan menjualnya di kemudian hari. Mereka
memborong semua barang di pasar, lalu mereka menimbunnya sehingga menjadi
sedikitlah barang di pasaran dan otomatis harga barang pun naik. Itulah yang
menjadikan harga barang naik.

Sejatinya jika dalam keadaan normal hukum pasar akan berlaku dengan baik
di pasaran, namun dewasa ini kita sering menemukan fenomena yang membuat
kita bertanya-tanya, mengapa menjelang bulan Ramadhan secara umum di
Indonesia kita selalu mendapati harga-harga melonjak tinggi, atau pada momen-
momen tertentu pada perayaan-perayaan keagamaan?. Untuk itu pemerintah
diharapkan turun tangan untuk mengendalikan harga (buka menentukan harga)
dengan cara-cara yang tidak melukai kebebasan bertransaksi di pasaran. Sehingga
yang penulis merasa perlu dikembangkan ke depan adalah cara pemerintah untuk
mengendalikan harga dipasaran tanpa melukai kebebasan untuk bersaing.

32
BAB III

KESIMPULAN

33

Anda mungkin juga menyukai