Anda di halaman 1dari 19

AL QAWAID DALAM SKALA PRIORITAS

Maya Almalia Azhari1, Muhammad Umar Syawal2, Saskia Salsabilla3, M. Abrar


Kasmin Hutagalung, S.Ag, S.Pd, MA4
Email: mayalmalia16@gmail.com

Universitas Potensi Utama; JL. KL. Yos Sudarso Km. 6,5 No. mengelompokkan semua kaidah itu kedalam lima kaidah
3-A, Tanjung Mulia, Tj. Mulia, Kec. Medan Deli, Kota Medan, utama, yakni 1) al-umur bi maqashidiha, 2) al-yaqinu la
Sumatera Utara 20241; (061) 6640525 / (061-663630; yuzalu bi al-syakk, 3) al-masyaqqatu tajlinu al-taisir, 4) al-
@potensi-utama.ac.id dhararu yuzalu, 5) al-‘adatu muhakkamatun. Dari kelima
kaidah itu, semuanya mempunyai cabang-cabang yang tidak
dihitung secara pasti. Adapun fungsi kaidah fikih adalah
Dikirim : 18/06/2022
untuk menjadi alat bantu bagi mujtahid, hakim, imam, dan
Revisi : 28/06/2022 mufti. Hal ini mengingat permasalahan kehidupan di
Diterima : masyarakat semakin kompleks, dan juga tidak semua
masalah ada jawaban langsung baik itu di Al-Quran, Sunnah,
Diterbitkan :
Ijma' maupun Qiyas. Maka dari itu, kaidah fikih mempunyai
fungsi penting sebagai bagian dari metode dan instrumen di
dalam perumusan hukum Islam.

Kata Kunci: al-qawaid, al-fiqhiyyah, problematika, dan


hukum Islam

ABSTRAK

Al qawaid al fiqhiyyah belum ada pada zaman Nabi


Muhammad. Kaidah fikih muncul belakangan setelah fikih
dan ushul fiqh. Landasan perumusan kaidah fikih bersumber
dari nash-nash Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Terdapat perbedaan al qawaid al fiqhiyyah dengan al qawaid
al ushuliyyah, yakni al qawaid al fiqhiyyah itu kaidah
mayoritas yang dapat diaplikasikan pada sebagian besar
cabang-cabangnya. Sedangkan, qawaid ushuliyyah adalah
sarana untuk mengeluarkan hokum syariat amaliy. Tidak ada
jumlah baku semua kaidah fikih, namun para ulama

1. Pendahuluan

1
Pembahasan hukum Islam tidaklah hanya seputar fikih yang mana sudah
tercantum hukum-hukum yang sudah diproduksi (istinbath) melalui metode yang
dinamakan ushul fiqh. Salah satu perangkat ilmu penting yang dibutuh zaman
modern ini adalah al-qawaid al-fiqhiyyah atau kaidah-kaidah fikih.
Uniknya, al-qawaid al-fiqhiyyah muncul setelah massifnya karya-karya fikih
yang dihasilkan oleh para mujtahid hukum Islam. Kendati demikian, justru kaidah
fikih tersebut merupakan ‘alat bantu’ yang sangat mendukung dalam rangka
menganalisis serta menggali hukum atas-atas isu-isu kontemporer yang
berkembang di masyarakat. Tentu saja, kaidah yang dirumuskan tidaklah
sembarang. Ia telah melewati proses panjang oleh para pakar hukum, sehingga
fungsi al-qawaid al-fiqhiyyah sampai hari ini sangat bermanfaat terutama di
bidang ilmu fikih.
Sebelum memahami pengertian kaidah fikih, perlu diketahui bahwa pada
awalnya sebagian besar menempatkan kaidah-kaidah dalam dua cara: Pertama,
memposisikan kaidah yang disusun oleh mujtahid atas penggalian hukum-
hukum yang bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Cara ini
kemudian disebut sebagai ushul fiqh. Seperti Imam Syafi’i yang pertama kali
menyusun kitab ushul fiqh yang berjudul Al-Risalah. Kedua, menguraikan
kaidah-kaidah umum atas setiap bab-bab dalam fikih, lalu mendialogkan dan
menyelaraskan cabang-cabangnya1.
Salah satu perangkat ilmu penting yang dibutuh zaman modern ini adalah al-
qawaid al-fiqhiyyah atau kaidah-kaidah fikih. Uniknya, al-qawaid al-fiqhiyyah
muncul setelah massifnya karya-karya fikih yang dihasilkan oleh para mujtahid
hukum Islam. Kendati demikian, justru kaidah fikih tersebut merupakan ‘alat
bantu’ yang sangat mendukung dalam rangka menganalisis serta menggali
hukum atas-atas isu-isu kontemporer yang berkembang di masyarakat. Tentu
saja, kaidah yang dirumuskan tidaklah sembarang. Ia telah melewati proses
panjang oleh para pakar hukum, sehingga fungsi al-qawaid alfiqhiyyah sampai
hari ini sangat bermanfaat terutama di bidang ilmu fikih.
2. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan jenis studi kepustakaan. Dalam penelitian ini akan mencoba

1
Abdullah bin Said al-Lahji, Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Kuwait: Dar al-Dhiya', 2006, h. 12.

2
mendiskusikan mengenai hakikat qawaid fiqhiyah dalam mengatasi problematika
hukum Islam yang terjadi dewasa ini.
Metodologi Penelitian Kualitatif, merupakan metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) di mana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan
secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Karena metode penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata bahasa,

Gambar 1. Proses Penyusunan Qawaid Fiqhiyyah


Qawaid disusun berdasarkan materi-materi fiqh, untuk selanjutnya diverifikasi
untuk mendapatkan hasil qawaid yang lebih sempurna, untuk kemudian
tersusun kembali fiqh sebagai kelengkapan dari khazanah fiqh yang telah ada,
kemudian ketentuan-ketentuan hukumnya menjadi hasil akhir dari proses
tersebut.
3. Hasil dan Analisis
3.1 Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata,
yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian
tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫)قواعد‬.

3
Berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun
yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar
agama)2. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan
asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.
Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi
terdapat dalam al-Qur’an surah al-baqarah ayat 127 :
َ ‫ك َأ ْن‬
‫ت ال َّسمِي ُع ْال َعلِي ُم‬ ِ ‫َوِإ ْذ َيرْ َف ُع ِإب َْراهِي ُم ْال َق َواعِ َد م َِن ْال َب ْي‬
َ ‫ت َوِإسْ مَاعِ ي ُل َر َّب َنا َت َق َّب ْل ِم َّنا ۖ ِإ َّن‬

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama


Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.
Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

ُ ‫َق ْد َم َك َر الَّ ِذي َْن مِنْ َق ْبل ِِه ْم َفا َ َتى هّٰللا ُ ُب ْن َيا َن ُه ْم م َِّن ْال َق َواعِ ِد َف َخرَّ َعلَي ِْه ُم ال َّس ْقفُ مِنْ َف ْوق ِِه ْم َواَ ٰتى ُه ُم ْال َع َذابُ مِنْ َحي‬
‫ْث اَل‬
‫َي ْش ُعر ُْو َن‬

“Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan tipu


daya, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka mulai dari
pondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan
siksa itu datang kepada mereka dari arah yang tidak mereka sadari.”

Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (‫ )الفقه‬ditambah dengan ya nisbah


yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi
fiqh berarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud
pembicaraan dan perkataannya3.

Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah
at-taubah ayat 122 :
ۗ
ِ ‫ان ْالمُْؤ ِم ُن ْو َن لِ َي ْنفِر ُْوا َك ۤا َّف ًة َفلَ ْواَل َن َف َر مِنْ ُك ِّل فِرْ َق ٍة ِّم ْن ُه ْم َط ۤا ِٕى َف ٌة لِّ َي َت َف َّقه ُْوا فِى ال ِّدي‬
‫ْن َولِ ُي ْن ِذر ُْوا َق ْو َم ُه ْم ِا َذا‬ َ ‫َو َما َك‬
‫ࣖ ر َجع ُْٓوا ِالَي ِْه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َيحْ َذر ُْو َن‬
َ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke


medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka

2
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa al-Ta’lim, t.th. h. 509
3
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab , t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th. jld. IV, h. 3450.

4
tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar
mereka dapat menjaga dirinya.”

Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :

‫ت َعلَ ْي َنا ِب َع ِزي ٍْز‬ َ ‫ك لَ َر َجم ْٰن‬


َ ‫ك َۖو َمٓا اَ ْن‬ ُ ْ‫ض ِع ْي ًفا َۗولَ ْواَل َره‬
َ ‫ط‬ ُ ‫َقالُ ْوا ٰي‬
َ ‫ش َعيْبُ َما َن ْف َق ُه َك ِثيْرً ا ِّممَّا َتقُ ْو ُل َو ِا َّنا لَ َن ٰر‬
َ ‫ىك فِ ْي َنا‬

Mereka berkata, “Wahai Syuaib! Kami tidak banyak mengerti tentang


apa yang engkau katakan itu, sedang kenyataannya kami memandang
engkau seorang yang lemah di antara kami. Kalau tidak karena
keluargamu, tentu kami telah merajam engkau, sedang engkau pun bukan
seorang yang berpengaruh di lingkungan kami.”

Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

ِ ‫َمنْ ي ُِر ِد هللاُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِي ال ِّدي‬


4
‫ْن رواه مسلم‬

“Siapa yang Allah  kehendaki kebaikan baginya, Allah pahamkan


atasnya perihal agama.” Hadits tersebut merupakan penggalan hadits
riwayat Imam Al-Bukhori dalam kitab Kutubul ‘Ilmy no. 71.

3.2 Tujuan dan Kepentingan Mempelajari Qawaid Fiqhiyyah


Adapun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat
mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok
masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh. Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut,
maka manfaat yang diperoleh adalah; akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam
menerapkan materi-materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda,
untuk keadaan dan adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai
materi hukum; Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan
analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan
baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tempatnya.

4
Imam Muslim, Shahih Muslim, Hadis nomor 1037, Bab al-Nahyi al-Masa’alah, Jilid IV, h. 108.

5
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut : Pertama,
dari sudut sumber, qaidah merupakan media bagi peminat fiqh untuk
memahami dan menguasai maqashid al-Syari’ah, karena dengan
mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah
fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh
karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam
menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Abd al-Wahab Khallaf dalam kitab ushul fiqh nya berkata bahwa nash-
nash tasyri’ telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-
undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang
dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyri’ yang kully (tidak terbatas
suatu cabang undang-undang). Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu
luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa qaidah-qaidah kully yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ (cabang) menjadi
beberapa kelompok. Dengan berpegang pada qawaid fiqhiyyah, para
mujtahid merasa lebih mudah dalam meng-istinbath-kan hukum bagi suatu
masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di dalam
lingkup satu qaidah.
Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abd al-Salam menyimpulkan bahwa
qawaid fiqhiyyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu
maslahat dan menolak mafsadat, dan bagaimana menyikapi kedua hal
tersebut.
Al-Qrafy dalam al-Furuq menulis bahwa seorang fukaha tidak akan
besar pengaruhnya tanpa berpegang pada qawaid fiqhiyyah, karena jika
tidak berpegang pada qaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak
pertentangan dan berbeda antara cabang-cabang itu. Dengan berpegang
pada qaidah fiqhiyyah tentunya mudah menguasai cabangnya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya
3.3 Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qawaid Fiqhiyyah

6
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga
periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran,
5
pembukuan, dan penyempurnaan.
3.3.1 Peride Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan
pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari
zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi
fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman
Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih,
zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama
lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’
(pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid
fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang
jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat
menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya.
3.3.2 Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang
hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan
melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari
tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan
pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan
pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh
karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya
takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah
tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus
hukum baru.6
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin
ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah
fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi
memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan
pembukuan qawaid fiqhiyyah.

5
Ali Ahmad An-Nadwi, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam, 1998, h. 89.
6
Abdul Mun’im Saleh, Op.cit. h. 186.

7
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan
memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu
khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang
fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah
orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu
itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah. 7 Usaha ini
kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan alKarakhi (w. 340 H.)
dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah.8
Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al-
Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun
kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah
berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.
3.3.3 Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-
Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalkan qaidah:
(sesungguhanya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya
sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemiliknya). Jika dalam verdi
Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut
perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan
tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu
penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi
manusia.9
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab
kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi
yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-
Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym
al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang
berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.10
Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang
bernama Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154H) telah menyusun

7
Al-Burnu, Muhammad Sidqi b. Ahmad, Abu al-Harith al-Ghazzi (2003), op.cit., h. 69; Ahmad b. Muhammad al-
Zarqa’ (2001), op. cit., h. 37.
8
Ibid. h. 113.
9
Ibid., h 193.
10
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, op. cit., h. 40.

8
sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq.
Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya
mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad
dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah
disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-
Haqaiq.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah,
dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh
sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan
pembahasan qawaid fiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan
kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid
tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah. Sejumlah
permasalahan yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah
telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah.
Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu
qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid
fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang
kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah
permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara
keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan
qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah
diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.
3.4 Macam-Macam Kaidah Khusus Dalam Skala Prioritas
Dalam kehidupan ini, sering kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan yang
tidak mudah. Pilihan itu dihadapkan kepada kita, baik dalam masalah yang
bersifat individual, kehidupan keluarga, maupun masyarakat. Pilihan mana
yang diambil mengacu kepada nilai-nilai yang dianut oleh yang
bersangkutan tentang keyakinan akan kebenaran, kebaikan,
kemaslahatan, dan hati nuraninya, yang tersimpul dalam kearifannya
menentukan pilihannya. Dalam hal ini, pilihan tersebut mengedepankan
skala prioritas.11 Dibawah ini beberapa skala prioritas dalam memilih

11
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hal.163.

9
alternatif yang digali dari ilmu fikih yang disimpulkan oleh para ulama
dalam kaidah fikih :
َ ‫ب ْال َم‬
3.4.1 ‫صال ِِح‬ ِ ‫َدرْ ء ُْال َم َفاسِ ِد ُم َق َّد ٌم َعلَي َج ْل‬
“Menolak kemafsadatan didahulukan daripada meraih
kemaslahatan.”
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila pada waktu yang sama
kita dihadapkan kepada pilihan menolak kemafsadatan atau meraih
kemaslahatan, maka yang harus didahulukan adalah menolak
kemafsadatan. Karena dengan menolak kemafsadatan berarti kita
juga meraih kemlasahatan.12

3.4.2 َّ ‫ال َمصْ لَ َح ُة ْال َعام َُّة ُم َق َّد َم ٌة َعلَي ْال َمصْ لَ َح ِة ْال َخا‬
‫ص ِة‬
“Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada
kemaslahatan yang khusus”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila berebeturan antara
kemaslahatan umum dengan kemaslahatan yang khusus, maka
kemaslahatan yang umum yang di dahulukan, karena dalam
kemaslahatan yang umum itu terkandung pula kemaslahatan yang
khusus, tetapi tidak sebaliknya. Contoh : pencabutan hak milik
pribadi demi kemaslahatan umum, seperti dalam teori ta’ashuf dari
mazhab maliki yang membolehkan pemerintah/pengadilan
merampas hak milik pribadi yang digunakan untuk kejahatan. Misal,
pisau atau senjata lain yang digunakan untuk membunuh/melukai
orang lain.13
3.4.3 ‫ب َأ َخ ِّف ِه َما‬ َ ‫ان ر ُْوعِ َي َأعْ َظ ُم ُه َما‬
ِ ‫ض َررً ا ِبارْ ِت َكا‬ ِ ‫ض َم ْف َس َد َت‬ َ ‫ِإ َذا َت َع‬
َ ‫ار‬
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang
lebih besar madlaratnya dengan dikerjakan yang lebih ringan
kepada mudlaratnya”
Dengan kaidah ini dimaksudkan, manakala pada suatu ketika
datang secara bersamaan dua mafsadat atau lebih, maka harus
dipilih atau diseleksi, manakala diantara mafsadat itu yang lebih

12
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hal.164.
13
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hal.166

10
kecil atau lebih ringan. 14 Misalnya : merusak fisik itu adalah
memudaratkan, tetapi membiarkan penyakit dalam perut yang bisa
membawa kematian adalah lebih besar mudaratnya. Maka,
dibolehkan mengoperasi manusia demi untuk mengeluarkan
penyakit dalam tubuhnya.
3.4.4 ‫اِئل َأ َب ًدا‬ َ ‫م َُرا َع ُة الم َقاصِ ِد ُم َق َّد َم ٌة َعلَى ِر َعا َي ِة‬
ِ ‫الو َس‬
“Menjaga (memelihara) tujuan selamanya di dahulukan daripada
memelihara cara (media) dalam mencapai tujuan.”
Dalam hukum islam ada 2 hal yang harus dibedakan, yaitu : al-
maqashid (tujuan) dan al-wasa’il (cara mencapai tujuan). Tujuannya
adalah meraih kemlasahatan dan menolak kemafsadatan. Untuk
meraih kemaslahatan, ada media atau cara untuk mencapai
kemlasahatan (fath al-dzari’ah).15 Untuk menolak kemafsadatan ada
cara untuk menghindarinya (sadd al-dzari’ah). Contoh : Shalat jum’at
adalah wasilah berupa sadd aldzari’ah agar orang tidak melakukan
kesibukan lain pada waktu dikumandangkan azan shalat jumat
selain bersegera untuk melaksanakan shalat jumat. 16
3.4.5 ْ ‫الم َّت َف ُق َعلَ ْي ِه ُم َق َّد ٌم َعلَى‬
‫المخ َتلَفِ فِي ِه‬
“apa yang disepakati didahulukan daripada perbedaan”
Kaidah ini adalah dibicarakan skala prioritas, yaitu apa yang
disepakati didahulukan daripada perbedaan pendapat. Contoh:
pembentukan OKI (Organisasi Konferensi Islam) karena adanya
kesepakatan untuk sama-sama mewujudkan dunia islam dalam
bidang sosial, politik, dan ekonomi untuk hidup dalam keadaan
damai yang diikat oleh persamaan agama yang dilandasi oleh
ukhuwah Islamiyah.
3.4.6 ‫ظ المو جُو ِد َأ ْولَى مِن َتحْ صِ ي ِْل الم ْفقُو ِد‬
ُ ‫ِح ْف‬
“Memilihara yang telah ada adalah lebih utama daripada
mengharapkan (hasil) yang belum ada.”
Kaidah ini menegaskan untuk menjaga dan memanfaatkan apa
yang telah di tangan daripada mengangan-angankan sesuatu yang
14
Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah). (Jakarta: Suara Muhamadiyyah),
hlm. 30.
15
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 169-170.
16
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 171.

11
belum tentu dan tidak cukup meyakinkan akan keberhasilannya. 17
Izzuddin bin Abd al-Salam mencontohkan penerapan dalam
masalah penggantian kepemimpinan yang harus lebih baik dari
pemimpin yang ada. Apabila ditinjau dari berbagai aspek,
persyaratan kepemimpinan yang akan datang itu belum tentu lebih
maslahat, maka diteruskanlah kepemimpinan yang sekarang ada
untuk masa berikutnya.
3.4.7 ‫ض َق ِد َم الما ِن ُع‬ َ ‫ِإ َذا َت َع‬
ِ ‫ار َد الما ِن ُع َوالم ْق َت‬
“Apabila saling bertentangan antara ketentuan hukum yang
mencegah dengan yang mengharuskan pada waktu yang sama,
maka didahulukanlah yang mencegah”
Kaidah diatas menegaskan bahwa apabila ada dalil atau bukti
kenyataan yang bertentangan antara yang mencegah dengan yang
mengharuskan pada waktu yang sama, maka didahulukan yang
mencegah. Contoh : A menyewakan rumah kepada B untuk waktu 1
tahun. Kemudian sebelum habis waktu 1 tahun si A menjual rumah
kepada si C. Maka si A tidak bisa menyewakan rumah kepada C
sebelum habis kontraknya kepada si B. Dalam hal ini, yang
mecegah penyarahannya adalah rumah si A yang sedang
dikontrakan oleh si B, sedangkan yang mengharuskan penyerahan
adalah rumah kontrakan tersebut telah dibeli oleh si C dari si A. 18
3.4.8 ‫اِإلسْ َتدَا َم ُة َأ ْق َوى مِنْ اِإل ْب ِتدَا ِء‬
“Melanjutkan hukum yang telah ada lebih kuat daripada memulai”
Maksud kaidah tersebut adalah melanjutkan hukum yang telah
ada lebih kuat dari pada memulai. Kaidah ini berhubungan dengan
al-istishhab dalam ilmu ushul fiqh. Contohnya : seorang yang
memiliki suatu benda atau hak tertentu, maka benda atau hak
tersebut tetap menjadi miliknya selama tidak ada bukti-bukti lain
yang membatalkan haknya tersebut. Misalnya, ada bukti dia telah
menjualnya secara sah. Bahkan barang yang hilang atau dicuri

17
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 174.
18
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 175.

12
orang, maka barang tersebut menjadi hak pemiliknya. Sebab, dia
telah memilikinya sebelum benda itu hilang.19
ِ ‫اَأل ْخ ُذ ِبالثِي َقة َوال َع َم ُل ِباِإلحْ ِتيَاطِ فِي َبا‬
3.4.9 ‫ب ال ِع َبا َد ِة َأ ْولَى‬
“Mengambil yang terpercaya dan berbuat dengan hati-hati dalam
bab ibadah (hubungan manusia dengan Allah), itulah yang lebih
utama.”
Kaidah ini menghendaki bahwa dalam masalah hubungan
manusia dengan Allah harus mengambil dasar yang kuat dalilnya
dan harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila seorang muslim telah melakukan ibadah haji
misalnya tetapi dia slalu ingin melakukannya untuk yang kedua atau
ketiga kalinya. Karena dia merasa pada haji yang pertama ada
kekurangan sehingga batinnya tidak merasa puas. Padahal haji
kedua dan seterusnya hukumnya sunnah.20

3.5 Cara Mengetahui Prioritas Kaidah Khusus Dalam Skala Prioritas


Untuk mengetahui bahwa sesuatu itu lebih diprioritaskan dari pada yang
lain, ada dua cara yang bisa dipakai, yaitu dengan teks (nash) dan dengan
penalaran (ijtihad).
3.5.1 Prioritas dengan Metode Tekstual (at-Tanshish al-Aulawi)
Al-Qur’an dan as-Sunnah sering kali membuat gradasi dalam
perbuatan tertentu dengan menjadikan salah satu amaliah lebih
utama dibandingkan yang lainnya. Sebagian dari skala prioritas
yang disebutkan dalam nash baik al-Qur’an maupun as-Sunnah tadi
bisa diketahui ‘illat nya dan sebagian lain tanpa bisa diketahui
‘illatnya. Diantara yang tidak bisa diketahui ‘illatnya semisal
keutamaan Masjid Nabawi atas masjid-masjid lain, kelebihan
berpuasa sunnah di bulan Muharram dibanding bulan-bulan lain,
keutamaan Shalat Malam dibanding shalat sunnah yang lain, 21 dll.

19
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 176-177.
20
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media, 2019), hlm. 178.
21
Nabi SAW bersabda:”Afdhal ash-Shiyam ba’da Ramadhan, Syahrullahi al-Muharram, Wa Afdhal ash-Shalah
Ba’da al-Faridhah Shalat al-Lail.”, Muslim, Shahih Muslim, Kitab ash-Shiyam, Bab Fadhl Shaum al-Muharram,
Juz II/821.

13
Keutamaan-keutamaan yang seperti ini jelas tidak bisa diketahui
hikmahnya. Walaupun Allah tetap memberikan hikmah atas segala
perintah yang disampaikannya pada manusia atau kelebihan yang
Allah berikan pada suatu tempat atau waktu atas yang lainnya, akan
tetapi akal manusia tidak selamanya bisa menangkap hikmah
tersebut.
Sedangkan prioritas yang disebutkan melalui nash dan bisa
diketahui illatnya adalah semisal keutamaan ilmu atas ibadah, jihad
atas ibadah sunnah yang lain, shadaqah kepada kerabat dibanding
kepada orang lain, keutamaan orang yang fasih bacaan al-Qur’an
sebagai imam atas yang tidak fasih, dsb.
Prioritas yang disebutkan oleh nash al-Qur‟an atau as-Sunnah
tentang hal-hal tersebut dan yang semisalnya bisa diketahui
alasannya dan bisa dicari hikmahnya. Dan kalau diteliti lebih jauh,
hal ini tidak akan lepas dari adanya kaidah bahwa hal-hal termasuk
ibadah adalah ghair ma’qul al-ma’na atau ta’abbudi. Sedangkan
yang termasuk kategori mu’amalah sebagian besarnya adalah
ma’qul al-ma’na atau ta’aqquli. Dan ini tidak menafikan bahwa
syari’at dan hukum-hukum Allah pada manusia itu turun dengan
disertai ‘illat, yaitu untuk kemaslahatan manusia.
Muhammad al-Wakili mengatakan bahwa ada beberapa
parameter yang disebutkan oleh nash yang menjadikan suatu amal
itu lebih diutamakan dan diprioritaskan dibandaing amal yang lain.
Parameter-parameter itu antara lain:22
 Iman dan ketaatan
 Ilmu
 Urgensi
 Kecapakan
3.5.2 Prioritas dengan Metode Ijtihad (al-Ijtihad al-Aulawi)
Jika dalam metode tekstual (at-tanshish al-aulawi) prioritas
dibatasi dan ditentukan oleh asy-Syari‟, maka prioritas dengan
metode ijtihad dibatasi oleh mujtahid sendiri melalui penalarannya.
Wilayah ijtihad aulawi sendiri ada dua; yaitu pada teks-teks
22
Muhammad al-Wakili, Fiqh al-Aulawiyyat, ibid, hlm. 114 dst.

14
(nushush) dan dalil (adillah), dan dalam ketaatan dan pelaksanaan
perintah.
 Ijtihad Prioritas dalam hal teks dan dalil.
 Ijtihad prioritas dalam hal ketaatan dan pelaksanaan perintah
3.6 Cara Mengetahui Batasan-Batasan Kaidah Khusus Dalam Skala
Prioritas
3.6.1 Dalam pentahapan Dakwah
Pentahapan dalam berdakwah, sebagaimana telah disampaikan
merupakan sebuah keharusan untuk mencapai tujuan dakwah.
Tujuan sebuah dakwah tidak akan tercapai dalam sekali langkah
dan secara tiba-tiba, akan tetapi dengan berangsur-angsur dan
bertahap. Oleh karena itulah, maka penentuan skala prioritas
tentang tujuan dakwah yang mana yang harus didahulukan juga
sebuah keharusan. Dan hal itu bisa terlaksana dengan melihat pada
dua batasan berikut ini:

 Pengetahuan Akan Tingkatan Hukum


Pengetahuan akan peringkat hukum menjadi salah satu
batasan yang utama karena hukum itu tidak berada pada satu
posisi, akan tetapi bertingkat-tingkat. Dimulai dari peringkat wajib
sampai haram, qath‟i dan dzanni, rajih dan marjuh, dst.
Peringkat hukum ini akan menentukan prioritas amaliyah mana
yang harus didahulukan. Perintah, dalam hukum Islam, memiliki
dua tingkat, yaitu wajib dan sunnah.23
 Pengetahuan akan Realitas
Pengetahuan akan realitas dan kondisi yang melingkupi
seseorang menjadi faktor yang juga penting, karena tidak
adanya pengetahuan akan hal tersebut akan menjadikannya
terjatuh pada berbagai kesalahan yang sangat mungkin
berakibat fatal pada usaha dakwahnya.

23
Mengenai definisi wajib dan sunnah beserta tingkatannya masing-masing lihat Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm
Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), hlm. 97 dst., Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1986), I/46 dst.

15
3.6.2 Ketika Terjadi Benturan dalam Pelaksanaan Amal
Ketika ada dua buah hukum yang harus dilakukan secara
bersamaan yang sulit untuk mempertemukannya, maka seorang
mukallaf harus memilih salah satunya dalam skala prioritas.
Pemilihan dan penentuan skala prioritas dalam hal ini tentunya tidak
dilakukan secara acak, akan tetapi dengan berbagai batasan yang
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Batasan-batasan inilah
yang nantinya dipakai untuk menentukan sebuah amalan yang
harus lebih diprioritaskan dari pada yang lainnya. Di antara batasan-
batasan tersebut adalah:24
 Mengutamakan yang membawa kemaslahatan lebih besar.
 Menghindari yang membawa mafsadah yang lebih besar.
 Yang lebih dominan lebih diprioritaskan apabila berbenturan
antara maslahah dan mafsadah.
 Menghilangkan mafsadah lebih utama dibanding mendatangkan
maslahah apabila sisi maslahah dan mafsadahnya berimbang.
 Kemaslahatan yang menuju pada masyakat umum lebih
diutamakan dari pada kemaslahatan yang kembali pada individu.
 Lebih memprioritaskan tujuan dari pada sarana.
 Mengutamakan fardhu dan ushul dibandingkan sunnah dan
furu’.
3.7 Pembagian Kaidah Fikih
Pada bab pertama, As-Suyuthi mengulas tentang lima kaidah fikih dasar
yang dianggap ulama sebagai rujukan pelbagai persoalan fikih. As-Suyuthi
menyebutkan, dalam Mazhab Syafii, lima kaidah dasar tersebut adalah
hasil perampingan dari 17 kaidah yang pernah digagas Ad-Dabbas dalam
Mazhab Hanafi.
Pada saat itu, Abu Said hanya mencatat tujuh kaidah saja, lalu
singkatnya, ia kemudian merangkum itu menjadi 5 kaidah setelah
memahami hukum-hukum fikih dalam ajaran mazhab Syafi'i. Ke-lima
kaidah tersebut adalah:
 ‫( االمور بمقاصدها‬Segala perkara tergantung kepada tujuannya)

24
Muhammad al-Wakili menyebutkan dua puluh dua batasan tentang skala prioritas ini., lihat Muhammad
alWakili, Fiqh al-Aulawiyyat, hlm.197 dst.

16
  ‫( اليقين ال يزال بالشك‬Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan)
  ‫( المشقة تجلب التيسر‬Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan)
 ‫( الضرر يزال‬Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan)
 ‫( العادة محكمة‬Adat kebiasaan dijadikan hokum)
4. Kesimpulan
Penjelasan di atas membawa kita pada sebuah pemikiran bahwa masih
banyak kerancuan yang terjadi pada umat Islam pada umumnya dalam
menetukan skala prioritas. Kerancuan itu menjadikan banyak hal yang
terabaikan, selain menjadikan banyak hal yang tidak penting justru
menghabiskan energi dan pemikiran. Dari pemaparan materi diatas penyusun
telah memaparkan macam-macam, batasan-batasan kaidah khusus dalam skala
prioritas, semua kaidah tersebut dimaksudkan untuk mempermudah manusia
dalam mengambil suatu keputusan terhadap hal yang baru. Mengingat saat ini
sudah semakin berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi maupun pola pikir
manusia yang mengarahkan pada permasalahan baru yang harus ditemukan
solusinya yang sesuai dengan kaidah fikih dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Lalu yang telah penulis sampaikan di atas memang belum
mencakup keseluruhan batasan yang harus diketahui untuk menentukan skala
prioritas. Akan tetapi setidaknya bisa sedikit memberikan gambaran tentang
bagaimana menentukan batasan skala prioritas sebuah tindakan.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-


dalamnya, rasa hormat serta penghargaan setinggi-tingginya kepada dosen
pengampu dan teman-teman sejawat yang telah memberikan masukan,
dukungan, dorongan, koreksi dan nasehat terhadap keseluruahan proses
makalah ilmiah ini dengan selesai.

Kontribusi Penulis

Pak M Abrar Kasmin Hutagalung, S.Ag, S.Pd, MA mengusulkan topik; Maya


Almalia Azhari, Muhammad Umar Syawal dan Saskia Salsabilla menyusun dan
merancang model; Maya Almalia Azhari dan Saskia Salsabilla menganalisis
hasilnya.

17
Benturan Kepentingan

Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.

Referensi

Abdullah bin Said al-Lahji, Idhah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Kuwait: Dar al-Dhiya',
2006.

Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1994, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damaskus, Dar al-Qalam

Djazuli, A. Prof. H. 2019. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta : Prenada Media

Drs. H. Asjmuni A. Rahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih (Qawa’idul Fiqhiyyah).


(Jakarta: Suara Muhamadiyyah), hlm. 30.

Al-Qardhawi, Yusuf. 1996. Fikih Prioritas, Urutan Amal Yang Terpenting dari
Yang Penting, terj. Moh. Nur Hakim, Jakarta: Gema Insani Press.

‘Azzami, ‘Abd al-‘Aziz Muhammad, Dr., Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-
Hadits, 2005 M/1426H

Athiyyah Adlan, Athiyah Ramadhan, t.th. Maushu’ah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Al-


Iskandariyaimmah, Dar al-Iman.

Sudirman Suparmin, Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-Khassah Fil Al-Ibadah Wa


Tatbiqatihah, Jurnal Al-Irsyad, Vol. III, Juli -Desember 2013.

Muhammad al-Wakili menyebutkan dua puluh dua batasan tentang skala


prioritas ini., lihat Muhammad alWakili, Fiqh al-Aulawiyyat, hlm.197 dst.

http://dielfahad.blogspot.com/2016/01/kaidah-asasiyyah-niat.html

http://harryfaisalri.blogspot.com/2017/07/kaidah-fiqh-dalam-bidang-ibadah-
mahdhah.html

https://www.republika.co.id/berita/om1mmp313/7-ringkasan-kaidah-fikih-dari-
mazhab-syafii

18
19

Anda mungkin juga menyukai