Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ORGANISASI DAN LEMBAGA PENDIDIKAN


ISLAM DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Tugas


Pada Mata Kuliyah Sejarah Pendiidkan Islam
Dosen Pengampu
Bapak Dr. Jaenulloh, M.Pd

Di Susun Oleh ;
Aziz Abdullah Npm : 192210158
Ahmad Nur Sidiq Npm : 191210014

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF (IAIM ) NU
METRO – LAMPUNG
2020/2021

i
KATA PENGATAR

Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat melaksanakan

makalah ini sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam

yang dibimbing oleh Bapak Dr. Jaenulloh, M.Pd Tema yang akan dibahas di

makalah ini sengaja dipilih oleh Dosen Pembimbing kami, untuk kami pelajari

lebih dalam.

Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari

sempurna, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun,

sehingga kami dapat berusaha lebih baik lagi sesuai kemampuan yang kami miliki

dalam penyusunan tugas di masa yang akan datang. Atas kritik dan saran dari para

pembaca kami ucapkan terimakasih.

10 Desember 2020

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ,.............................................................................. i

KATA PENGANTAR...............................................................................  ii        

DAFTAR ISI.............................................................................................  iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

A.     Latar Belakang Penulisan..........................................................  1

B.     Rumusan Masalah...................................................................... 1

C. Tujuan Penulis ........................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................  2

A.     Organisasi Pendidikan Islam Di Indonesia................................ 2

1. Muhammadiyah ...................................................................... 2

2. Nahdatul Ulama ...................................................................... 4

3. Persatuan Islam ...................................................................... 6

4. Al-Jam’iat Al-Khairiyah ......................................................... 7

5. Al-Islah Wal Irsyad ................................................................. 8

6. Perserikatan Ulama ................................................................. 9

B.     Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia................................. 11

1. Masjid dan Langgar ................................................................. 11

2. Pondok Pesantren .................................................................... 12

3. Meunasah, Rangkang, Dayah (Aceh) ...................................... 13

4. Surau ........................................................................................ 14

5. Sekolah Dinas .......................................................................... 14

iii
6. Madrasah .................................................................................. 15

7. Pendidikan Tinggi Islam .......................................................... 18

BAB III PENUTUP................................................................................. 19

A.     Keseimpulan............................................................................... 19

B. Saran........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….... 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Dewasa ini, perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia sedikit demi


sedikit mengalami kemajuan setelah pasang surut beberapa abad yang lalu. Kini
pendidikan Islam berkembang kembali dengan ditandai munculnya beberapa
organisasi dan lembaga pendidikan Islam.

Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia diawali dengan lahirnya Organisasi


Muhammadiyah dan NU yang memiliki visi dan misi serta tujuan dalam bidang
pendidikan Islam. Begitu pun selanjutnya semakin berkembang organisasi-
organisasi lain serta muncul lembaga-lembaga yang mendukung perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia.

Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk menjelaskan organisasi-organisasi


serta lembaga-lembaga pendidikan yang mendukung perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penyusun membuat rumusan masalah


sebagai berikut:

1. Apa dan bagaimana pergerakanOrganisasi Pendidikan Islam di Indonesia?


2. Apa dan bagaimana pergerakanLembaga Pendidikan Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah, penyusun memiliki tujuan sebagai


berikut:

1. Menjelaskan Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia.

1
2. Menjelaskan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Organisasi Pendidikan Islam Di Indonesia

1. Muhammadiyah

Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum


perang dunia II adalah Muhammadiyyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran yang
diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. (Zuhairini, 2004:
171).

Selain sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid (pembaharuan), organisasi


Muhammadiyyah juga telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu media
untuk mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan. Penempatan ini selain
strategis juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa dalam rangka
mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu wahana untuk
berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa, Muhammadiyyah telah
merumuskan visi, misi, tujuan, dan kelembagaan pendidikannya. (Hamdan, 2009:
77).

a. Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyyah

Bagi Muhammadiyyah, pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis


dalam pencapaian maksud dan tujuan Muhammadiyyah, yakni menegakkan dan
menjungjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya. Menurutnya tujuan
Muhammadiyyah itu dapat diwujudkan dengan melaksanakan dakwah yang salah
satunya melalui pendidikan. (Hamdan, 2009: 78)

Menurut Hamdan (2009: 78) bahwa visi yang diemban oleh pendidikan
Muhammadiyyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berfikir) peserta

2
didik setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi
Muhammadiyyah. Sedangkan misinya ialah menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua aspek
kehidupan. Adapun implementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyyah ini
tentunya mendapat penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan
jenis dan jenjang pendidikannya.

b. Tujuan Pendidikan Muhammadiyyah

Sejak awal berdirinya, ormas Muhammadiyyah merupakan gerakan purifikasi


(pemurnian) pemikiran Islam dan sekaligus memosisikan diri sebagai gerakan
dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi keagamaan yang sangat concern
dengan dunia pendidikan, Muhammadiyyah telah menyelenggarakan berbagai
jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal
(sekolah), non-formal (di masyarakat, sekolah), dan informal (rumah tangga,
masyarakat, sekolah).(Hamdan, 2009: 80)

Sebenarnya tujuan umum pendidikan Muhammadiyyah secara resmi baru


dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di Betawi yang berisi, (1)
menggiring anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar
semangatnya, (2) badannya sehat, tegap bekerja, dan (3) hidup tangannya mencari
rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang besar dan berharga
hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama. (Hamdan, 2009:
84)

Kemudian di dalam konferensi di Pekajangan, Pekalongan tanggal 21-25 Juli


1955, rumusan itu diubah menjadi: “membentuk manusia muslim, berakhlak
mulia, cakap, percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.” Selanjutnya
tujuan pendidikan Muhammadiyyah dioperasionalkan oleh Majelis Dikdasmen
Muhammadiyyah dengan menuangkannya dalam lima kualitas output pendidikan
dasar dan menengah Muhammadiyyah, yakni:

a) Kualitas ke-Islaman. Ke-Islaman adalah ciri khas dari pendidikan


Muhammadiyyah. Ia merupakan dasar dan tujuan dari cita-cita dalam

3
proses pendewasaan manusia yang digagas oleh Muhammadiyyah.
Sebagai institusi pendidikan yang diharapkan menjadi lembaga yang
mencetak kader, sekolah/madrasah/pesantren Muhammadiyyah haruslah
menegaskan diri dalam menghasilkan peserta didik yang
mengejawentahkan nilai-nilai Islam.
b) Kualitas keindonesiaan. Kualitas ini berhubungan dengan rasa kebangsaan
peserta didik. Rasa kebangsaan akan tumbuh bila setiap warga negara
mematuhi hukum, dengan lebih mengedepankan pelaksanaan kewajiban
sebelum menuntut hak.
c) Kualitas keilmuan. Adalah tingkat kemampuan peserta didik menyerap
pengetahuan yang diajarkan. Ia bagian dari kecerdasan yang menjadi
target pencapaian dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan.
d) Kualitas kebahasaan. Adalah memiliki keterampilan dasar berbahasa
asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris.
e) Kualitas keterampilan. Merupakan kemampuan atau keterampilan
mengoperasionalkan teknologi, khususnya teknologi informasi.(Hamdan,
2009: 86-87)

c. Kelembagaan Pendidikan Muhammadiyyah

Menurut Ahmad Tafsir (Hamdan, 2009: 88) mengatakan bahwa program


pendidikan di SD, SMP, SMA Muhammadiyyah tidak sebatas pada program yang
sebagaimana tertulis di dalam buku kurikulum sekolah itu masing-masing.
Muhammadiyyah menganggap perlu juga adanya kegiatan pendidikan yang
bersifat menunjang kurikulum yang tertulis didalam kurikulum tersebut. Kegiatan
penunjang itu seperti Madrasah Diniyah sore hari, kursus bahasa Arab dan agama
Islam tiga hari dalam seminggu, dan kegiatan belajar lainnya yang menunjang.

2. Nahdatul Ulama

Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H di Surabaya yang


didirikan oleh alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa. Diantaranya:

4
a. K.H. Hasyim Asy’ari
b. K.H. Bisri Syamsuri
c. K.H. Abdullah Wahab Chasbullah
d. K.H. Abdul Chamid Faqih
e. K.H. Ridwan Abdullah
f. K.H. Abdul Halim
g. K.H. Mas Alwi bin Abdul Aziz
h. K.H. Ma’shum
i. K.H. A Dachlan Achjad
j. K.H. Nachrowi Thahir
k. K.H. R Asnawi
l. Syekh Ghanaim
m. K.H. Abdullah Ubaid

Latar belakang didirikannya organisasi ini pada mulanya adalah sebagai


perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan, (1) untuk
mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh di tangan
pembaharuan, (2) untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab,
agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. (Zuhairini, 2004: 179).

Masih dalam Zuhairini (2004: 181) bahwa maksud perkumpulan NU ialah


memegang salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat, yaitu: (1) Syafi’i (2)
Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan
kemaslahatan untuk agama Islam. Dan untuk mencapai maksud itu, maka
diadakan ikhtiar:

1. Mengadakan perhubungan antara ulama-ulama yang bermazhab di atas


tersebut.
2. Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah atau kitab-
kitab Ahli Bid’ah.
3. Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas
dengan jalan apa saja yang baik.

5
4. Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama
Islam.
5. Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-
surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihkwalnya anak-anak yatim
dan orang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan,
dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.

Demikian maksud dan tujuan NU sebagaimana yang tersebut dalam Anggaran


Dasar 1926 (sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan
pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberapa
madrasah di tiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan budi luhur
masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU
tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga mengadakan
tablig-tablig serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan
juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu. (Zuhairini, 2004:
181).

3. Persatuan Islam

Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920


ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju untuk
mengadakan pembaharuan dalam agama. Ide pendirian organisasi ini berasal dari
pertemuan yang bersifat kenduri (perjamuan makan) yang didakan secara berkala
di salah satu anggota kelompok di Bandung. Di sana mereka berbincang mengenai
masalah-masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang, oleh
Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jam’iat Khair. Juga
pembicaraan soal komunisme yang telah berhasil memecahkan Sarekat Islam
yang begitu kuat. (Zuhairini, 2004: 187)

Menurut Zuhairini (2004: 188) hal utama yang diperhatikan oleh Persis adalah
bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan

6
mengadakan pertemuan umum, tablig, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok
studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-
pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Dalam kegiatan ini Persis beruntung
karena mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan,
yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan
Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang
sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari
organisasi tersebut dalam kalangan terpelajar.

Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan


perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig serta publikasi.
Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya
dimasudkan untuk anak-anak dari anggota Persis, juga kursus-kursus dalam
masalah agama seperti masalah iman, ibadah dengan menolak segala kebiasaan
bid’ah. (Zuhairini, 2004: 190)

Sebuah kegiatan yang penting lainnya dalam rangka pendidikan Persis ini
adalah membentuk lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang diprakarsai
oleh M.Natsir dan terdiri dari beberapa buah sekolah seperti Taman Kanak-kanak,
HIS (keduanya pada tahun 1930), sekolah Mulo (1931), dan sebuah sekolah guru
(1931).Disamping pendidikan Islam, Persis juga mendirikan Pesantren di
Bandung pada bulan Mei 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai
keinginan untuk menyebarkan agama. Lalu pesantren ini dipindah ke Bangil, Jawa
Timur, ketika Ahmad Hasan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa
dari Bandung. (Zuhairini, 2004: 191).

4. Al-Jam’iat Al-Khairiyah

Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota


organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa adanya pandang bulu. Dua bidang
kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini adalah, (1) pendirian dan
pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, dan (2) pengiriman anak-anak muda

7
ke Turki untuk melanjutkan studi.Bidang yang kedua ini sering terhambat dan
kekurangan biaya juga karena kemunduran khilafah, dengan pengertian tidak ada
seorang pun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah memainkan peranan
penting setelah mereka kembali ke Indonesia. (Zuhairini, 2004: 159)

Sekolah dasar Jam’iat Khair ini bukan semata-mata mempelajari pengetahuan


agama tetapi juga memperlajari pengetahuan umum lainnya seperti berhitung,
sejarah Islam, ilmu bumi, dan sebagainya. Bahasa pengantar yang digunakan
adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Dan untuk memenuhi tenaga guru
yang berkualitas, Jam’iat Khair mendatangkan guru-guru dari daerah-daerah lain
bahkan dari luar negeri. (Zuhairini, 2004: 159)

Di samping membawa pembaharuan dalam sistem pengajarannya, menurut


Zuhairini (2004: 161) mereka juga memperjuangkan persamaan hak sesama
muslim dan pemikiran kembali ke Alquran dan As-Sunnah. Hal ini yang
kemudian menyebabkan mereka terasing dari kalangan Sayid dari Jam’iat Khair
yang melihat ide persamaan hak ini akan mengancam kedudukan mereka (Sayid)
yang lebih tinggi dibandingkan dengan golongan lain dalam masyarakat Islam di
Jawa. Hal ini akan berakibat lanjut terjadinya perpecahan dikalangan umat Jam’iat
Khair, yang kemudian melahirkan organisasi Al-Irsyad.

5. Al-Islah Wal Irsyad

Syaikh Ahmad Surkati yang sampai di Jakarta pada bulan Febuari 1912,
seorang alim yang terkenal dalam pengetahuan agamanya, beberapa tahun
kemudian meninggalkan Jam’iat Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri
bernama Al-Ishlah Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam
(reformisme). (Zuhairini, 2004: 162)

Zurairini melanjutkan (2004: 162) bahwa pada tahun 1914 berdirilah


perkumpulan Al-Ishlah Irsyad, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Irsyad,
yang terdiri dari golongan-golongan Arab bukan golongan Alawi. Tahun 1915
berdirilah sekolah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta yang kemudian disusul oleh
beberapa sekolah dan pengajian lain.

8
Al-Irsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan terutama
pada masyarakat Arab, ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan
masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia bukan termasuk orang Arab,
ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerja sama dengan
organisasi lain, seperti Muhammadiyyah dan Persatuan Islam, organisasi ini
meluaskan perhatian kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup
persoalan Islam umumnya di Indonesia. (Zuhairini, 2004: 163)

Sekolah Al-Irsyad di Jakarta memiliki berbagai jenis. Terdapat sekolah-


sekolah tingkat dasar, sekolah guru, bagian takhassus (dengan pelajaran 2 tahun)
dimana pelajar dapat mengajarkan spesialisasi dalam ilmu agama, pendidikan atau
bahasa.Murid-murid Al-Irsyad pada tahun-tahu pertama didirikan, terdiri dari
anak-anak dari kalangan Arab dan sebagian juga (walaupun sedikit) anak-anak
Indonesia asli dari Sumatera dan Kalimantan. Di luar Jakarta dan Surabaya murid-
muridnya terdiri dari anak-anak keluarga setempat saja. Mereka banyak terdiri
dari anak-anak penghulu, pedagang, dan guru-guru, serta beberapa diantaranya
anak-anak pegawai pemerintahan.

6. Perserikatan Ulama

Perserikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di


daerah Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif K.H
Abdul Halim. Enam bulan setelah kembali dari Mekkah pada tahun 1991, K.H
Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama dengan Hayatul
Qulub yang bergerak dibidang ekonomi maupun pendidikan. Anggotanya bermula
hanya sekitar enam puluh orang, umumnya terdiri dari petani dan pedagang.
Dalam bidang pendidikan K.H Abdul Halim mulanya menyelenggarakan
pelajaran agama sekali dalam seminggu untuk orang-orang dewasa yang diikuti
oleh 40 orang. Umumnya pelajaran yang ia berikan adalah pelajaran-pelajaran
fikih dan hadits. (Zuhairini, 2004: 168)

Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan para pedagang


Cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian dianggap oleh pemerintahan

9
sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang
setelah tiga atau empat tahun berdiri. Tetapi kegiatannya terus berlanjut walau
tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang ekonomi. Sedangkan untuk
bidang pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul
Ilmi. Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat,
terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan
sebuah lembaga pendidikan yang bersifat modern.Tetapi sistem berkelas dan
sistem koedukasi yang diintrodusir oleh K.H Ahmad Halim dalam lembaga lima
tahunnya tidak disukai. Maka dari itu untuk memperbaikinya, K.H Ahmad Halim
berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-irsyad di Jakarta.

Organisasi tersebut yang kemudian diganti dengan nama Perserikatan Ulama,


diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S
Cokroaminoto (Pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perserikatan Umat Islam
pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Ittahadiyatul
Islamiyah (AII), menjadi persatuan Umat Islam (PUI). (Zuhairini, 2004: 169)

Pada tahun 1932 (Zuhairini, 2004: 170) dalam suatu kongres Perserikatan
Ulama di Majalegka, K.H Ahmad Halim mengusulkan agar sebuah lembaga
didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja hanya dengan ilmu
agama dan ilmu umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa
pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung pada bakat dan
minatnya masing-masing.

Kongres itu pun menerima usul K.H Ahmad Halim.Suatu keluarga yang kaya
dari Ciomas menyediakan sebidang tanahnya, dipasir Ayu. Kira-kira sepuluh
meter dari Majalengka, untuk keperluan pelakasanaan cita-cita tersebut. Lembaga
ini dinamakan Santi Asrama yang dibagi menjadi tiga bagian: tingkat permulaan,
dasar, dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada
sekolah-sekolah lain dari Perserikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran
umum, pelajar-pelajar dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan
(besi dan kayu) menenun dan mengolah berbagai-bagai bahan, seperti membuat
sabun. Mereka harus tinggal di suatu asrama dibawah disiplin yang ketat, terutama

10
tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian
kedua tahun 1930 kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama
terebut sebagai pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-
anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut belajar pula.
(Zuhairini, 2004: 170-171).

B. Lembaga Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia

Proses Islamisasi di Indonesia dilalui lewat beberapa saluran yang diantaranya


ialah melalui perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Di
saat itu pendidikan masih bersifat informal. Kontak-kontak person antara mubalig
dan masyarakat masih belum terstruktur secara jelas dan tegas. (Daulay, 2009: 11-
13)

Sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia sampai sekarang, menurut


Zuhairini (2004: 192) telah terdapat berbagai macam lembaga pendidikan Islam
yang memegang peranan sangat penting dalam rangka penyebaran ajaran Islam di
Indonesia.

Jika dilihat dari bentuk dan sifat pendidikannya, lembaga-lembaga pendidikan


Islam tersebut ada yang bersifat non-formal dan juga ada yang bersifat formal. Di
sini akan dipaparkan berbagai macam lembaga yang ada di Indonesia.

1. Masjid dan Langgar

Sebagai implikasi dari terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat, maka


secara serta merta pula mereka membutuhkan masjid dan langgar untuk
melaksanakan ibadah. Dan pada akhirnya fungsi tersebut meluas hingga menjadi
tempat sarana pendidikan Islam untuk orang dewasa maupun anak-anak. (Daulay,
2009: 13)

Dalam kasus di pulau Jawa menurut Nata (2012: 199) lembaga pendidikan
seperti langgar selanjutnya berubah namanya menjadi Taman Pendidikan Anak-
anak (TPA) yang tersebar di seluruh pedesaan atau perkotaan. Melalui TPA ini

11
anak-anak dibimbing untuk mengenal huruf hijaiyah, mengucapkan kata-kata dan
kalimat-kalimat huruf Arab, dan selanjutnya membaca dan menghafal surat dan
ayat-ayat pendek. Selain itu anak-anak juga diberikan pelajaran tentang praktik
shalat, berdoa, akidah, akhlak, dan interaksi sosial.

2. Pondok Pesantren

Masih belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali
didirikan. Tetapi banyak yang mengatakan bahwa pesantren pertama kali muncul
pada zaman walisongo, dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang
yang pertama mendirikan pesantren. (Daulay, 2009: 13)

Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan
ilmu agama Islam. Kata pondok itu berasal dari kata funduk yang artinya adalah
pondok, penginapan, atau hotel.Sedangkan untuk kata pesantren mengandung arti
pesantrian yang berarti tempat santri.

Pada tahun 1899 berdirilah pondok pesantren Tebuireng di Jombang oleh K.H
Hasyim Asy’ari, madrasahnya yang formal berdiri pada tahun 1919 bernama
Salafiyah yang diasuh oleh K.H Ilyas. Madrasah ini memberikan pengetahuan
agama dan pengetahuan umum. (Zuhairini, 2004: 194)

Sesudah pondok pesantren Tebuireng, maka menyusul pondok pesantren


Tambak Beras di Jombang oleh K.H Wahab Hasbullah dan ponodk pesantren
Rejoso Peterongan di Jombang oleh K.H Tamin pada tahun 1919. Selanjutnya,
didirikan juga pondok pesantren Gontor oleh K.H Imam Zarkasy dan K.H Sahal.
(Zuhairini, 2004: 194).

Menurut Nasir (2010: 80) pondok pesantren ini pada perkembangannya memiliki
lima macam keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen suatu
pesantren, yaitu:

a) Pondok Pesantren Salaf/ Klasik

12
Yaitu pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf
(weton dan sorogan), dan bersistem klasikal (madrasah) salaf

b) Pondok Pesantren Semi Berkembang


Sama dengan pondok pesantren salaf, hanya saja bedanya pondok
pesantren ini menggunakan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan
kurikulum 90% agama dan 10% umum

c) Pondok Pesantren Berkembang


Sama dengan pondok pesantren semi berkembang, hanya saja kurikulum
pelajaran umum di sini lebih diperbanyak hingga 30%

d) Pondok Pesantren Khalaf/ Modern


Sama dengan pondok pesantren berkembang, hanya saja sudah lebih
legkap lembaga pendidikan yang ada di dalamnya, antara lain
diselenggarakannya sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah
(praktek membaca kitab salaf), PT (umum dan agama), adanya koperasi,
dan dilengkapi juga dengan takhasus (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris)

e) Pondok Pesantren Ideal


Sama dengan pondok pesantren modern, hanya saja lembaga pendidikan
ini sudah lebih lengkap terutama dengan adanya bidang pertanian, teknik,
perikanan, perbankan dan lain sebagainya dan juga benar-benar
memperhatikan kualitasnya disertai tidak menggeser ciri-ciri khusus
kepesantrenannya yang masih relevan dengan kebutuhan zaman.

3. Meunasah, Rangkang, Dayah (Aceh)

Menurut Hasjmy (Daulay, 2009: 14) menyatakan bahwa meunasah adalah


lembaga pendidikan pertama yang dapat disamakan dengan tingkatan sekolah
dasar. Di sini pula murid diajar menulis dan membaca huruf Arab, dan ilmu
agama Islam dalam bahasa Jawi (melayu). Dan pada perkembangannya

13
berkembang seperti madrasah-madrasah seperti di daerah-daerah lain. Lalu
rangkang adalah sebuah tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid.
Karena sang murid butuh mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat
tinggal untuk mereka di sekitar masjid. Dan yang terakhir adalah dayah.Istilah
kata dayah ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab zawiyah. Kata zawiyah itu
sendiri merujuk pada sudut satu bangunan dan sering dikaitkan dengan masjid
yang pada akhirnya berlangsung proses pendidikan dalam bentuk halaqah.
Zawiyah ini pada hakikatnya adalah suatu lembaga pendidikan Islam untuk
tingkat menengah.

4. Surau

Pengertian surau pada mulanya di Sumatera Barat erat kaitannya dengan


budaya setempat. Anak laki-laki yang sudah aqil balig tidak layak lagi untuk
tinggal di rumah orang tuanya sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin
dan di rumah itu akan datang laki-laki lain yang menjadi suami dari saudara
perempuannya sehingga anak laki-laki itu harus pindah ke suatu tempat yang
dinamakan surau. (Daulay, 2009: 15)

Di surau itu mereka belajar cara hidup sebagai laki-laki yang kelak harus
bertanggung jawab mencari nafkah. Mereka juga saling tukar-menukar
pengalaman.Di surau itu pula mereka belajar mengenai berpantun, latihan bela
diri yang diajarkan oleh orang yang lebih tua. (Nata, 2012: 198)

Selain dari fungsi budaya itu, maka surau juga mempunyai fungsi pendidikan
dan agama.(Daulay, 2009: 15)

Adapun surau yang pertama kali membuka madrasah formal menurut


Zuhairini (2004: 193) ialah Tawalib di Padang Pajag pada tahun 1921 M dibawah
pimpinan Syeikh Abdul Karim Amrullah, ayah Hamka.

5. Sekolah Dinas

Pedidikan agama Islam baru diadakan di sekolah-sekolah ketika berdirinya


sekolah-sekolah yang diasuh oleh organisasi Islam. Setelah Indonesia merdeka,

14
diterapkan departemen yang membimbing dan mengurus masalah agama yang
tiada lain diperuntukkan kepada departemen agama. Oleh karena pendidikan
agama telah dimasukkan menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah sejak
berlakunya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dengan Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, maka pada tahun 1946 ada tindak lanjut
seperti diberi kewenangannya Departemen Agama untuk mengangkat seorang
guru agama. (Daulay, 2009: 22).

Di bawah ini adalah jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia,

Jenjang Pendidikan Waktu


PAUD 1-2 Tahun
TK 1-2 Tahun
SD 6 Tahun
SMP 3 Tahun
SMA 3 Tahun
PT 1-6 Tahun
(Muchtar, 2005: 136)

6. Madrasah
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang berarti sekolah atau
tempat untuk belajar.Dalam perkembangan selanjutnya, madrasah sering dipahami
sebagai lembaga pendidikan yang berbasis kegamaan.Adapun sekolah sering
dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan
umum. (Nata, 2012: 199)
Nata (2012: 199) melanjutkan bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan
merupakan fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara
Islam, maupun negara-negara lainnya yang didalamnya terdapat komunitas
masyarakat Islam.

15
Abdul Mujib dan Jusuf mudzakir (Nata, 2012: 199) menyatakan bahwa
kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya memiliki
empat latar belakang, yaitu: (1) sebagai manifestasi dan realisasi pembaruan
sistem pendidikan Islam, (2) sebagai usaha menyempurnakan terhadap sistem
pendidikan pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan
lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum,
misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah, (3) adanya
sikap ental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpaku
pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka, (4) sebagai upaya untuk
menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren
dan sistem pendidikan modern dari hasil akuturasi.
Menurut Langgulung (2000: 125) madrasah berasal dari penduduk Nisapur,
tetapi tersiarnya dengan luas disebabkan oleh materi Saljuqi yang bernama Nizam
Al-Mulk yang mendirikan madrasah Nizamiyah yang berasal dari namanya, di
kota Baghdad pada tahun 458 H, lalu menyebar ke berbagai daerah seperti
Balakh, Harran, Asfhan, Basrah, Marw, Amal Tibrisan, dan di Mausil. Bahkan
banyak yang mengatakan bahwa di setiap kota Iran dan Khurasan pasti ada
madrasah.
Dari Irak dan Khurasan lalu menyebar ke negeri Syam yang didirikan pertama
kali di Damaskus pada tahun 491 H. dari situ berpindahlah ide pembentukan
madrasah di Mesir di bawah naungan Salahuddin Al-Ayyubi, yaitu pada tahun
567 H. Kemudian baru muncul di Afrika Utara seabad kemudian. (Langgulung,
2000: 126)
Menurut Gibb dan Kramers yang dikutip oleh Langgulung (2000: 126)
menyatakan bahwa Salahuddin Al-Ayyubi dipandang sebagai pendiri yang
terbesar bagi madrasah-madrasah setelah Nizam Al-Mulk. Ini karena kegiatan
utamanya, sebagai pendiri madrasah-madrasah adalah di negeri-negeri yang
menduduki tempat yang sangat penting bagi dunia Islam seperti Syria, Palestina,

16
dan Mesir. Dan dari negeri-negeri inilah madrasah-madrasah itu tersebar ke
seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia
Menurut Zuhairini (2004: 192) pendidikan Islam mulai besemi dan
berkembang pada awal abad ke-20 Masehi dengan berdirinya madrasah
Islamiyyah yang bersifat formal. Madrasah-madrasah yang bermunculan di
Sumatera antara lain: Madrasah Adabiyah di Padang, Sumatera Barat yang
didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini berubah
menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M. pada tahun 1910 M didirikan Madras
School I daerah Batu Sangkar, Sumatra Barat oleh Syeikh M. Taib Umar. Pada
tahun 1918 M Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan dari
Madras School.
Menurut Nata (2012: 201) khusus di Indonesia, dinamika pertumbuhan dan
perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan dinamika
pertumbuhan dan perkembangan di negara lain. Selain terdapat madrasah diniyah
yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Alquran, Hadits, fikih/Usul
Fikih, Akidah-Akhlak, Sejarah Islam, dan Bahasa Arab, juga terdapat madrasah
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari tingkat Ibtidaiyah
hingga Aliyah. Madrasah diniyah dimaksudkan untuk membangun sikap
keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya
berlangsung hingga kelas empat. Adapaun madrasah sebagai sekolahumum yang
berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap religiusitas bagi para
pelajar yang senantiasa akan menekuni bidang keahlian sesuai dengan pilihannya.
Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata lebih dari 80% berstatus
swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.
Di bawah ini adalah jenjang-jenjang pendidikan yang ada di Indonesia

Jenjang Pendidikan Waktu


TK/TPA/Bustanul Atfal/Raudlatul Atfal 1-2 Tahun

17
MI (Madrasah I’tibadiyyah) 6 Tahun
MTS (Madrasah tsanawiyyah) 3 Tahun
MA (Madrasah aliyyah) 3 Tahun
PT (Pesantren tinggi ) 1-6 Tahun
(Muchtar, 2005: 136)

7. Pendidikan Tinggi Islam

Lembaga pendidikan tinggi Islam pertama didirikan di Jakarta pada tanggal 8


Juli 1945 yang diberi nama dengan STI (Sekolah Tinggi Islam) yang dipelopori
oleh Masyumi. Sebuah organisasi besar saat itu. Tetapi karena kondisi politik
yang kurang kondusif saat itu, STI dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1948
dan dirubah namanya menjadi UII (Universitas Islam Indonesia) dengan memiliki
4 buah fakultas, yaitu fakultas hukum, fakultas agama, fakultas pendidikan, dan
fakultas ekonomi. Pada perkembangan berikutnya, fakultas agama UII ini diubah
statusnya menjadi negeri sehingga terpisah dari UII dan merubah namanya
menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) yang diresmikan pada
tahun 1950. Tetapi baru bisa dioperasionalkan pada tahun 1951. (Daulay, 2009:
23)

Dalam Zuhairini (2004: 197) pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan Penetapan
Menteri Agama No.1 tahun 1957. Tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan
pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau
menjadi petugas di bidang pendidikan Departemen Agama. Pada bulan Mei 1960
Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN Al-
Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah. Sampai saat ini sudah ada 14 buah IAIN di
seluruh Indonesia.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab pembahasan di atas, penyusun menyimpulkan kesimpulan


sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang membuat Baghdad menjadi lemah dan kemudian


hancur dapat dikelompokan menjadi dua, yakni faktor intern dan ekstern.
Di antara faktor intern adalah danya persaingan tidak sehat antara
beberapa bangsa yang tergabung dalam daulah Abbasiyyah, munculnya
konflik aliran pemikiran dalam Islam yang menyebabkan konflik berdarah
dan lain sebagainya. Sedangkan faktor eksternalnya adalah Perang salib
yang terjadi beberapa gelombang dan hadirnya tentara Mongol di bawah
pimpinan Hulagu Khan.
2. Kemunduran dan kehancuran kekuasaan Islam di Cordova, Spanyol
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tidak jelasnya sistem
peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya perebutan kekuasaan
di antara ahli waris, lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah
khususnya sesudah khalifah Al-Hakam II dan lain sebagainya.
3. Kehancuran total yang dialami oleh Baghdad dan Cordova sebagai pusat
pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi
pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga
pendidikan dan semua buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat
pendidikan di Timur dan di Barat dunia Islam tersebut, menyebabkan pula
kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam terutama dalam bidang
intelektual dan materil, tetapi tidak demikian halnya dalam bidang
kehidupan batin dan spiritual.

19
B. SARAN

Berdasarkan pembahasan di atas, masa kemunduran Islam terjadi karena


beberapa faktor diantaranya mengebaikan perkembangan dunia material dan lebih
memperhatikan kehidupan batin. Dari sejarah pendidikan Islam pada masa
kemunduran tersebut, alangkah baiknya jika kita mengambil pelajaran untuk
kemajuan pendidikan Islam sekarang ini, yaitu dengan menyeimbangkan antara
kehidupan dunia atau materian dengan kehidupan batin atau spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

 Daulay, H. P. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara.


Jakarta: Rineka Cipta.
 Hamdan. (2009). Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyyah.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
 Langgulung, H. (2000). Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al
Husna Zikra.
 Muchtar, H. J. (2005). Fikih Pendidikan. Bandung: Rosda.
 Nasir, R. (2010). Tipologi format Pendidikan Ideal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
 Nata, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
 Zuhairini. (2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

20

Anda mungkin juga menyukai