Dosen Pengasuh:
ASWAN, S.Ag, MM
NIDN. 2116077801
FATIMAH (1901020057)
YULI LESTARI (1901020181)
RISKI FAHRI (1901020042)
FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEMESTER VII PAI-A REG
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR AL ULUUM
ASAHAN-KISARAN
2022
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................i
Daftar Isi................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan...............................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................3
C. Tujuan Penulisan........................................................................................3
BAB II Pembahasan..............................................................................................4
A. Beberapa Problema yang Dihadapi IAIN...................................................4
B. Persiapan dalam Menghadapi Globalisasi..................................................10
C. IAIN dengan Mandate yang Diperluas.......................................................13
D. Perubahan IAIN Menjadi UI......................................................................14
BAB III Penutup....................................................................................................18
Daftar Pustaka.......................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
khususnya di kalangan remaja dan pelajar. Kemajuan kehidupan ekonomi
yang terlalu menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan material,
telah menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi “kaya dalam materi
tetapi miskin dalam ruhani”.
Era globalisasi adalah era persaingan mutu atau kualitas. Maka lembaga
pendidikan di era global ini hendaknya berbasis pada mutu. Dalam
menyediakan jasa pedidikan dan mengembangkan sumber daya manusia,
lembaga pendidikan khususnya IAIN hendaknya memperhatikan bahwa
keunggulan merupakan hal yang sangat penting diutamakan saat ini. Para
mahasiswa yang menimba ilmu pengetahuan dan skill di IAIN pada dasarnya
mengharapkan hasil berlipat ganda, yaitu ilmu pengetahuan, pengalaman, skill
atau keterampilan, keyakinan, perilaku atau akhlak mulia. Semua ini
diperlukan dalam rangka mempersiapkan diri memasuki atau membuka
lapangan kerja dengan mengharapkan kehidupan lebih baik dan sejahtera lahir
dan batin.1
Uraian di atas, dapat dilihat bahwa IAIN sebagai perguruan tinggi
agama Islam negeri memiliki banyak peluang sekaligus tantangan. Makalah
ini akan mencoba menuraikan bagaimana peluang dan tantangan IAIN di era
globalisasi.
1
Sufyarma, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 161.
2
B. Rumusan Masalah
Yang akan dibahas dalam makalah ini ialah:
1. Apa problem yang dihadapi IAIN ?
2. Bagaimana persiapan dalam menghadapi globalisasi ?
3. Bagaimana IAIN dengan mandate yang diperluas ?
4. Bagaimana perubahan IAIN menjadi UIN ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui problem yang dihadapi IAIN.
2. Untuk Mengetahui persiapan dalam menghadapi globalisasi.
3. Untuk Mengetahui IAIN dengan mandate yang diperluas.
4. Untuk Mengetahui perubahan IAIN menjadi UIN.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
letak keunggulan IAIN yang telah memberikan kontribusi besar
terhadap modernisasi masyarakat desa.2
2. Sarjana IAIN dianggap hanya siap bekerja di Departemen Agama
(Kementrian Agama)
Azyumardi Azra pernah mengkritik bahwa IAIN masih berfungsi
sebagai wadah pembinaan “calon pegawai” dan “guru.” IAIN lebih
berfungsi sebagai training center daripada center of learning and
research. IAIN belum berperan penuh sebagai pusat penelitian dan
pengembangan pembaharuan dan pemikiran Islam.3 Kritik Azra ini
bukanlah tanpa dasar, karena pada awalnya IAIN memang didirikan
sebagai pusat pelatihan pegawai Departemen Agama. Sebagaimana
yang dicantumkan dalam tujuan pendirian ADIA (embrio IAIN Jakarta)
berikut:
Untuk mempertinggi mutu tenaga guru jang berwenang untuk
mengadjarkan agama pada sekolah Lanjutan Atas maka mulai 1 Mei
1957 (tahun adjaran 1957/58) dengan penetapan Mentri Agama tanggal
1 Januari 1957 No.1 telah dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama(A.D.I.A)
dengan 2 jurusan Bahasa/Sastera Arab, jang sekarang telah mencapai
tingkatan tahun kedua dengan 80 orang mahasiswa. Siswa tersebut.
diambil dari guru-guru lulusan S.G.H.A dan P.G.A.A jang telah
berpraktek sekurangnya 2 tahun dan lulus ujian masuk.4
Kutipan di atas mempertegas bahwa pada awalnya IAIN memang
dipersiapkan sebagai pusat pelatihan pegawai departemen agama.
Namun dalam perkembangannya spirit training center ini terus
berlangsung hingga IAIN semakin berkembang ke seluruh Indonesia.
Marjinalisasi alumni IAIN menjadi warga kelas dua ini telah
membuat mental alumni IAIN menjadi inferior, tidak percaya diri dan
2
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: Kencana, 2006), h.172.
3
Karel Steenbrink,Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern.
(Jakarta: LP3ES,1994), h. 167.
4
D.P. Sati Alimin, Almanak Jawatan Pendidikan Agama 1959, (Jakarta: Penerbit Sinta
1958),h.146.
5
semakin khawatir menghadapi realitas kembali ke masyarakat setelah
menjadi Sarjana IAIN. Inferioritas alumni IAIN ini terus berlangsung
bertahun-tahun. Sampai-sampai di masyarakat sudah menjadi branding
dan hanya mengetahui bahwa alumni IAIN adalah tukang dakwah dan
tukang do’a, walau pun misalnya Sarjana IAIN tersebut adalah alumni
Fakultas Tarbiyah Jurusan Tadris di Program Studi Bahasa Inggris.
Alumni IAIN semakin berat menghadapi persaingan dengan universitas
yang semakin berkembang dan canggih. Bahkan bisa dikatakan alumni
IAIN seperti tidak bisa keluar dari kerja yang berada di bawah
Departemen Agama, misalnya madrasah, Kantor Urusan Agama.
3. Sarjana IAIN Tidak Menguasai Ilmu Agama (Islam)
Salah satu problem yang dihadapi IAIN ialahdianggap tidak begitu
banyak alumni IAIN yang benar-benar mampu dihandalkan dalam
memasyarakatkan (mendakwahkan) Islam sebagaimana yang menjadi
kebutuhan kongkrit di masyarakat. Salah satu penyebab degradasi
kemampuan ilmu keislaman ini salah satu faktornya adalah proses
penyeleksian yang tidak ketat dan sesuai minat mahasiswa. Saat ini
banyak mahasiswa IAIN yang tidak memiliki kecakapan bahasa Arab
dan dasar-dasar kajian keislaman yang masuk di Fakultas Syari’ah,
Fakultas Ushuluddin, dan Fakultas Dakwah yang sebenarnya menuntut
mahasiswa telah memiliki dasar yang mungkin dipelajari di pesantren.
IAIN pada dasarnya memiliki permasalahan internal, diantaranya:
Raw input, tenaga pengajar, output, proses belajar mengajar, dan
Kurikulum.5 IAIN memiliki permasalahan dalam hal mahasiswa yang
memilih kuliah di IAIN, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari
SMA yang tidak memiliki kemampuan Bahasa Arab6, sementara
Bahasa Arab adalah ilmu alat terpenting untuk mengkaji khasanah
5
Haidar Putra Daulay, IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut
Pendidikan Islam, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi
(Yogyakarta: Suka Press dan Ar-Ruzz,2005), h. 119.
6
Johan Meuleman, The Institut Agama Islam Negeri at the Crossroads: Some Notes on
the Indonesian State Institute for Islamic Studies, dalam Johan Meulman(ed.), Islam in the Era of
Globalization: Muslim Attitudes towards Modernity and Identity (New York: RoutledgeCruzon,
2002), h. 218.
6
Islam. Fenomena degradasi peran Bahasa Arab, hingga saat ini masih
menjadi masalah di seluruh IAIN ataupun UIN.
Karena lemahnya raw input alumni IAIN membuat terjadi
penurunan kualitas alumni IAIN khususnya sebagaimana yang
dibutuhkan masyarakat seperti: khotib, penceramah, Imam, dan
berbagai praktik ibadah yang membutuhkan seorang ahli yang tidak
bisa diharapkan dari alumni IAIN. Hal ini membuat masyarakat
menjadi menurun kepercayaannya kepada IAIN bahwa merupakan
sebuah lembaga yang paling punya otoritas dalam mempersiapkan
ulama.
4. Stigma Liberalisme, Pluralisme, dan Sekulerisme
Semakin berkembangnya kajian Islam dalam berbagai aspek kajian,
ternyata telah membuat jarak antara pandangan publik dengan para
akademisi di IAIN. Walau masyarakat akademik di IAIN memandang
bahwa kebebasan akademik telah dijamin oleh undang-undang, namun
tidak begitu yang dipahami masyarakat yang belum siap menerima
pandangan-pandangan baru para akademisi dari IAIN. Masyarakat
memandang bahwa IAIN tidak bisa lagi dihandalkan sebagai lembaga
akademik kum lembaga dakwah, karena menurut publik bahwa saat ini
IAIN telah terkontaminasi oleh liberalisme, sekulerisme, dan
pluralisme yang merupakan ciri khas Barat.
Banyaknya karya-karya yang dikeluarkan oleh para pemikir di
IAIN, sebut saja misalnya Prof. Dr. Harun Nasution, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, benar-benar telah menggemparkan masyarakat
Islam walapun disisi lain kedua tokoh pemikir asal IAIN ini telah
membuka keran modernisasi lembaga pendidikan Islam dalam hal ini
IAIN. Pandangan dua tokoh intelektual asal IAIN ini dianggap
terlampau liberal, sehingga sangat sulit untuk diterima masyarakat.
Masyarakat memandang bahwa kajian-kajian yang berkembang hampir
di seluruh IAIN saat ini telah bukan lagi mengkaji Islam secara
obyektif, namun telah mengikuti arus pemikiran Barat. Pandangan-
7
pandangan stigma negatif mengenai IAIN saat ini membuat apa saja
yang menjadi produk IAIN mendapatkan stempel liberal bahkan
sekuler, tentu menjadi sangat ironis ketika perguruan tinggi Islam telah
dianggap menjadi pusat sekulerisasi.
Jika pada awalnya IAIN bertugas menyiapkan penafsiran ajaran
Islam untuk disampaikan ke masyarakat dengan bahasa yang lugas dan
mudah dipahami. Maka saat ini masyarakat merasa asing bahkan gerah
terhadap kajian-kajian yang berkembang di IAIN, yang masyarakat
anggap telah jauh dari misi utama pendirian IAIN. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Islam yang dikaji di IAIN berbedan dengan Islam
yang berkembang di masyarakat. Permasalahan ini membuat IAIN
menjadi menara gading yang hanya terlampau disibukkan dengan
dirinya sendiri, namun terasing dari permasalahan masyarakat yang
kongkrit.
5. Alumni IAIN dianggap tidak Memiliki Kecakapan Kerja
Dikarenakan IAIN merupakan lembaga pendidikan Islam yang
mengembangkan cabang-cabang keilmuan dari: Ilmu Agama, Ilmu
Sosial, dan Humaniora maka masayarakat berpandangan bahwa sarjana
IAIN tidak memiliki kecakapan teknis dan hal-hal yang bersifat
teknologi. Di era industrialisasi dan komputerisasi ini membuat
masyarakat sangat pragmatis dalam memandang dunia kerja. Bagi
masyarakat bahwa mereka menempuh pendidikan harus mampu
sebagai bekal hidup kelak, yaitu bekal kecakapan teknis. Tidak seperti
yang dikembangkan di IAIN pada masa awal pendiriannya dan masih
berlangsung saat ini yang masih sangat fokus pada kajian sosial, filsafat
dan permasalahan teologis yang dianggap masyarakat tidak aplikatif di
dunia kerja. Sehingga tidak jarang masyarakat memandang bahwa
sarjana IAIN tidak lebih dari seorang tukang do’a.
6. Sulitnya Alumni IAIN memperoleh Kerja
Kutipan yang diambil Karel A.Steenbrink dari M.C. Ibrahim
yang terbit dalam Abadi tanggal 17 Januari 1971 berikut masih sangat
8
relevan untuk menggambarkan kondisi alumni IAIN dalam
memperoleh kerja yang masih terjadi hingga saat ini. Yakni suatu hal
yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan
Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya lapangan kehidupan
di luar keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan
pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren
maupun perguruan tingginya.7
Apa yang disampaikan Ibrahim 44 tahun lalu, hingga saat ini masih
merupakan kegelisahan mahasiswa IAIN yang sedang studi maupun
alumni IAIN. Dalam pengalaman empiris penulis sebagai pengajar di
IAIN, proyeksi pekerjaan setelah selesai kuliah di IAIN sering
membuat mahasiswa menjadi “limbung” dalam menyelesaikan
studinya. Bahkan tidak jarang motivasi belajar mereka menurun. Dalam
beberapa kasus yang penulis temui terdapat mahasiswa yang tidak
mempunyai alasan kuat untuk apa mereka studi di IAIN dan mengapa
mereka harus memilih proram studi yang sedang ditempuh.
7. IAIN yang tidak Mencerminkan Islam
Problem IAIN yang berasal dari kritik keras masyarakat adalah
masih jauhnya “panggang dari api” yaitu kelembagaan pendidikan
Islam dengan aplikasi yang Islami. Kritik ini bisa dilihat dalam
berbagai sudut pandang, misalnya: kondisi kampus IAIN, dan perilaku
sivitas akademika.
Jika dilihat dilihat dari sudut pandang kondisi kampus IAIN, hingga
saat ini IAIN masih terkesan sebagai kampus yang kumuh dan tidak
mencerminkan Islam. Tidak jarang masyarakat yang masuk ke dalam
kampus IAIN mengkritik kondisi-kondisi toilet yang tidak terawat,
kotor dan sangat jauh dari apa yang dikatakan dalam hadits Nabi
“kebersihan sebagian dari iman”. Tidak hanya kondisi toilet, jika
masyarakat masuk ke ruang-ruang kerja apakah itu tata usaha, ruang
dosen, atau pun ruang belajar, kampus IAIN belum memenuhi harapan
7
Karel A.Steenbrink, Pesantren…, h. 215.
9
masayarakat yang sangat ideal. Tidak jarang ruang tata usaha, ruang
dosen, dan ruang belajar sangat tidak tertata rapi dan berantakan. Hal
ini semakin mengesankan bahwa IAIN merupakan kampus marjinal.
Sedangkan permasalahan perilaku dan moral, civitas akademika
IAIN menyandang beban moral yang sangat berat karena menyandang
nama Islam. Olehkarena itu sedikit saja perilaku sivitas akademika
apakah itu yang terjadi di kampus atau pun di luar kampus akan
menciptakan citra negatif bagi IAIN secara kelembagaan yang
berdampak secara nasional. Banyak peristiwa yang berkenaan dengan
akhlak dan moralitas yang dilakukan oleh oknum namun berdampak
secara kelembagaan, misalnya korupsi, dan perilaku amoral.
10
kemasyarakatan.8 Pada awal pendirian IAIN ummat Islam behadap-hadapan
dengan “cendikiawan sekuler” hasil didikan Barat yang sangat terlatih berpikiran
rasional ala Barat. Sehingga kaum intelektual didikan Barat ini menjadi terasing
dari ajaran Islam, yang notabene merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Dengan keberadaan IAIN maka masyarakat mengharapkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi selaras degan dakwah Islam.
Besarnya harapan masyarakat akan munculnya ulama-ulama baru yang
dilahirkan dari IAIN membuat masyarakat menginginkan IAIN untuk tetap dalam
khittah perjuangannya yaitu sebagai lembaga akademik dan lembaga dakwah.
Olehkarena itu masyarakat sangat menginginkan kajian Islam yang berkembang
di IAIN jangan sampai mengabaikan ilmu-ilmu dan keterampilan yang
dibutuhkan bagi serang ulama kelak ketika mereka kembali ke masyarakat.
3. Adanya Perubahan Revolusioner di IAIN
Azyumardi Azra mengemukakan dua alasan mengapa IAIN harus
berubah menjadi UIN. Pertama, IAIN belum berperan secara optimal
dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan.
IAIN masih dikenal dengan orientasi dakwahnya, daripada
mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, kurikulum IAIN belum
merespon perkembangan ipteks dan perubahan masyarakat yang semakin
kompleks. Kajian agama yang normatif kurang mengalami interaksi
dengan ilmu lain bahkan terdikotomi.9 Azra melanjutkan keinginan Prof.
Dr. Harun Nasution dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk berubah
menjadi UIN. Hingga pada masa Azra IAIN Jakarta menjadi UIN, di
Yogyakarta masa kepemimpinan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dan di
Malang dimasa kepemimpinan Prof. Dr. Imam Suprayogo. Pada
perkembangannya tiga UIN ini telah menjadi model bagi perubahan IAIN
yang ingin menjadi UIN.
Ahmad Tafsir mengemukakan enam alasan mengapa IAIN harus
berubah menjadi UIN, sebagai berikut.
a. Kita memerlukan pemikir yang mampu berpikir komprehensif.
8
Haidar Putra Daulay,IAIN di Era Globalisasi…,h. 159.
9
Azyumardi Azra,Pendidikan Islam: Tradisi…. h. 175.
11
b. Ilmu agama memerlukan ilmu umum.
c. Meningkatkan harga diri Sarjana dan Mahasiswa Muslim.
d. Menghilangkan paham dikotomi Agama-Umum
e. Memenuhi harapan masyarakat muslim
f. Memenuhi kebutuhan lapangan kerja.10
Dalam poin kelima, dapat dilihat bagaimana masyarakat Muslim
menginginkan adanya perubahan kelembagaan IAIN menjadi UIN untuk
dapat mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi umum.
4. Menghilangkan Dikotomi Keilmuan di IAIN
Paradigma Ilmu Umum dan Ilmu Keislaman (akhirat) merupakan akar
masalah sulitnya terjadi perkembangan paradigma keilmuan di IAIN. IAIN
perlu memperluas paradigma keilmuannya sebagaimana berbagai konsep
dengan berbagai nama yang ditawarkan, sebut saja Interkoneksi Ilmu,
Integrasi Ilmu, atau Reintegrasi Ilmu.
Menghilangkan paradigma dikotomis ini tidak cukup lagi dengan
konsep-konsep akademis dan filosofis saja. Namun juga membutuhkan
langkah taktis berbentuk kebijakan yang diambil ole Pemerintah. Sehingga
tidak tertutup kemungkinan bahwa integrasi ilmu suatu saat diharapkan
juga terwujud menjadi integrasi kelembagaan. Pada tahap integrasi
kelembagaan inilah nntinya tidak akan ada lagi dikotomi. Karena dalam
sejarahnya dikotomi ilmu ini dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda atas
saran Snouck Hurgronje tentang perlunya memisahkan lembaga
pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan umum, sehingga dibentuk
berbagai ordonansi (peraturan).
12
banyaknya program studi umum di IAIN maka untuk membentuk kualitas
dosen seharusnya proses perekrutan tidak hanya menguji kecakapan atau
keahlian calon dosen di ilmunya saja, tetapi juga harus mengetahui atau
paling tidak peduli dengan corak dn paradigma keilmuan di IAIN. Maka
setiap calon dosen yang akan masuk di IAIN harus memiliki kecakapan
Bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadits, Sejarah Peradaban Islam dan Filsafat
Islam. Hal ini diperlukan agar proses integrasi dan menghapuskan
dikotomi ilmu di IAIN dapat berjalan dengan baik.
6. Memperkuat Riset dan Pengembangan
Pemerintah seyogyanya dapat mengeluarkan kebijakan yang pro bagi
aktivitas riset dan pengembangannya. Corak-corak penelitian di IAIN juga
mulai diarahkan tidak lagi semata-mata sebagai laporan beban kerja dosen,
namun benar-benar mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang
sedang dihadapi masyarakat. Tanpa adanya kegiatan riset yang berkualitas,
maka IAIN tidak akan mampu mengejar ketertingalan dalam berbagai
aspek keilmuan dibandingkan dengan masyarakat Barat. Jika Barat
berhasil sukses mengembangkan berbagai ilmu melalui riset. Maka
sebenarnya pemerintah akan dapat menyelesaikan permasalahan sosial
politik dan kebudayaan dengan pendekatan keilmuan yang dikembangkan
di IAIN yang didukung dengan riset.
13
perlu berubah menjadi UIN. Dengan adanya kebijakan yang tidak dikotomis,
maka pada masa mendatang IAIN dapat menjadi pusat keunggulan ummat
Islam, tanpa harus menghilangkan identitasnya.
Salah satu langkah taktis yang dapat dilakukan adalah masuknya IAIN
ke bawah naungan Kemenristek dan Dikti. Dikotomi keilmuan bisa
dihapuskan ketika tidak ada pemisahan kelembagaan. Jika IAIN masih tetap
terpisah dari blue print pemerintah untuk mengembangkan riset dan teknologi
maka IAIN akan semakin terstigma sebagai lembaga yang hanya fokus
melakukan pengkajian Islam yang minim aktivitas riset dan pengembangan
teknologi.
11
Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Rajawali Pers, 2005), h.399.
12
Abuddin Nata,Ibid,h. 399.
14
Pendidikan Islam tidak sepenuhnya bisa menghindar dari perubahan.
Dalam bahasa pesantren perubahan berkelanjutan “al-muhafadhah alal qadim
ash-shalih wal alhdzu bil jadid al-ashlah.” Institusi pendidikan Islam akan
terus melakukan perubahan dan adopsi inovasi tetapi tetap mempertahankan
tradisi yang baik dan bermanfaat.13Gagasan transformasi IAIN menjadi UIN
dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap perguruan tinggi Islam umumnya dan
IAIN khususnya.14 Abuddin Natta mengemukakan lima faktor mengapa IAIN
menjadi UIN, sebagai berikut: Pertama, adanya perubahan jenis pendidikan
pada Madrasah Aliyah yang telah menjadi sekolah umum; Kedua, adanya
dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum; Ketiga, perubahan menjadi
UIN akan membuka peluang bagi alumni di lapangan kerja yang lebih luas;
Keempat, perubahan menjadi UIN memberi ruang bagi alumni IAIN
melakukan mobilitas vertikal, bervariasi dan bergengsi; Kelima, ummat Islam
menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional
berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan.
Dengan perubahan menjadi UIN harapan publik akan pendidikan tinggi
Islam yang menjadi pusat dakwah sekaligus lembaga akademi bisa
diwujudkan. Selain itu transformasi menjadi UIN akan membuka peluang
kerja lebih luas di berbagai depertemen.15
Perempatan pertama tahun 1998, gagasan mentransformasi IAIN
menjadi UIN telah disampaikan pada masa Dr. Tarmizi Taher menjadi Mentri
Agama RI pada tahun 1993. Tiga IAIN: Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung
mengajukan proposal ke Departemen Agama RI. Dalam catatan Ahmad
Harris menyikapi keinginan IAIN menjadi universitas, Departemen Agama
memberikan tiga opsi berikut: 1) ingin tetap dalam bentuknya yang sekarang
(apa adanya); 2) melakukan perubahan dalam konteks Wider Mandate; 3)
melakukan perubahan langsung menjadi UIN. Ahmad Harris menyayangkan
13
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU
Sisdiknas (Jakarta: RajaGrafindo, 2013), h.182.
14
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 64.
15
Wisnarni, Pembaruan Sistem Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia: Telaah Konversi
IAIN ke UIN, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan
Islam di Nusantara (Jakarta: Kencana, 2013), h.352-353.
15
ketiga opsi tersebut tidak menjadi kebijakan resmi tertulis Departemen Agama
sehingga tidak tertuang dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Rencana perubahan IAIN menjadi UIN terdapat dua pandangan,
Pertama, kelompok pendapat yang menginginkan adanya perubahan
revolusioner yang kemudian disusul dengan program studi baru. Kedua,
pendapat konservatif yang menginginkan perubahan dilakukan belakangan,
yang terpenting adalah mempersiapkan perubahan tersebut, diantaranya
mempersiapkan tenaga pengajar untuk program studi baru yang merupakan
embrio, untuk selanjutnya barulah IAIN dirubah menjadi universitas.
Setelah dipelopori oleh IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta yang telah
sukses mentransformasi diri menjadi Universitas Islam Negeri. Selanjutnya
menyusul diantaranya: UIN Maliki Malang, UIN Syarief Kasim Pekanbaru,
UIN Alauddin Makassar. Baru-baru ini Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo meresmikan empat IAIN menjadi UIN, diantaranya: UIN Sumatera
Utara, UIN Palembang, UIN Semarang. Sebelumnya telah lebih dahulu IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh menjadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki catatan penting yang termaktub
dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama tanggal 23
Januari 2004, sebagian kutipannya sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan
Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dan UIN Malang, tugas pokoknya tetap sebagai institusi
pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program
non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan.” Kutipan surat
Mendiknas ini merupakan penegasan, bahwa IAIN yang telah berubah
menjadi UIN tidak boleh meninggalkan mandat utamanya dalam bidang
agama Islam.
IAIN yang memiliki konsep “al-Jami’ah” yang maksudnya adalah di
dalamnya terintegrasi antara kampus dan mesjid, dar al’-ulum dan dar al-
hikmah. Dimana konsekwensinya atas visi tersebut adalah memperluas IAIN
tidak hanya sebagai “institut” dalam arti sempit, tetapi berwawasan
“universitas.” Selanjutnya Nur Ahmad Fadhil Lubis mengatakan dalam
16
perubahan IAIN bukan sekedar pertukaran nama dan adanya bangunan fisik,
tetapi memperluas visi dan menghidupkan kembali jiwa serta fungsi lembaga-
lembaga pendidikan tinggi Islam yang dulunya telah mengantar zaman
keemasan Islam.
Perkembangan UIN bukanlah tanpa kritik, M. Atho Mudzhar
mengkritik bahwa transformasi UIN belum menampakkan hasil yang
memuaskan, karena belum menyerap ke dalam perubahan metodologi studi
Islam. Program studi yang ada di UIN saat ini masih baru tahap masuknya
program studi eksakta, konsep integrasinya tidak jelas. Selain itu pada
Program Pascasarjana di UIN masih berkutat pada pada program studi kajian
keislaman, demikian pula dengan topik tesis dan disertasi yang diangkat, tidak
ada bedanya ketika masih IAIN. Hingga saat ini di UIN belum ada Program
Pascasarjananya yang memiliki program unggulan selain kajian Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
Terdapat banyak problem yang dihadapi IAIN khususnya di era globalisasi
ini. Jika disederhanakan IAIN belum mampu menjawab tantangan zaman,
terutama dalam menghadapi dunia kerja. Selain itu di IAIN, ilmu agama
(Islam) tidak secara komprehensif dikuasai oleh sarjana IAIN, sehingga alumni
sering merasa gagap ketika menghadapi berbagai praktik keagamaan dan
permasalahan keagamaan di masyarakat. IAIN saat ini lebih cendrung kepada
lembaga akademik belaka dan melupakan konsep pendirian awal, yaitu juga
sebagai lembaga dakwah.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
18
Azra, Azyumardi.Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, Jakarta: Kencana, 2006.
Daulay, Haidar Putra.IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut
Pendidikan Islam, dalam Syahrin Harahap (ed.), Perguruan Tinggi Islam
di Era Globalisasi,Yogyakarta: Suka Press dan Ar-Ruzz,2005.
19