Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KELOMPOK

INSTITUSI PENDIDIKAN MELAYU DAN PENGARUH ISLAM DI DALAMNYA

Dosen Pengampu:

Drs, Masyhur, M.Ag

Disusun Oleh:

Renda Trinanda Nurbaiti (2010901028)

Yayu Indriani (2010901030)

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulilah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas nikmat dan
karunia-nya berupa iman, waktu, dan kesehatan, kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam tercurah pada baginda tercinta kita, Rasulullah SAW. Semoga syafaatnya
menglir pada kita hingga akhir zaman. Aamiin yaa rabbal alamin.

Penulisan makalah berjudul “Institusi Pendidikan Melayu Dan Pengaruh Islam Di


Dalamnya” ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam & Peradaban Melayu.
Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Drs, Masyhur, M.Ag selaku dosen pada mata
kuliah Islamm & Peradaban Melayu, karena berkat tugas yang diberikan kami dapat menambah
wawasan terkait dengan materi pada makalah yang kami kerjakan. Kami sebagai penulis
mengakui masih ada kekurangan didalam makalah ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dan pengerjaan yang lebih baik
kedepannya. Demikan, apabila ada kesalahan serta kekurangan didalamnya, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, 26 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 2


Daftar Isi ............................................................................................................................. 3
Pendahuluan Bab I .............................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 5
Pembahasan Bab II ............................................................................................................. 6
2.1 Institusi Pendidikan Di Dunia Melayu Dan Pengaruh Islam Di Dalamnya .................. 6
2.1.1 Institusi Pendidikan Di Malaka ............................................................................... 6
2.1.2 Institusi Pendidikan di Aceh .................................................................................... 6
2.1.3 Jami’ah Baiturrahman ............................................................................................. 8
2.1.4 Institusi Pendidikan di Minangkabau: Surau ........................................................... 9
2.1.5 Institusi Pendidikan di Minangkabau: Surau ........................................................... 10
2.1.6 Institusi Pendidikan di Jawa .................................................................................... 11
Penutup BAB III ................................................................................................................. 15
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di era modern ini sangat berdampak
besar terhadap dunia pendidikan, khususnya terhadap kualitas pendidikan. Dalam hal ini
keintelektualan melayu menjadi pembahasan yang sangat menarik bagi kita sebagai
kalangan mahasiswa yang ingin memiliki intlektual yang tinggi dan ingin menjadi pelajar
yang di ingat sebagai mahasiswa yang pandai dan berperestasi. Intelektualitas melayu ini
sebagai gambaran awal bagi kita agar mengenal perkembangan ilmu pengetahuan pada
zaman itu hingga tahapan yang tinggi dan terlahir pada masa itu juga para ulama yang
termasyhur. Hingga hari ini, sebut saja Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji Munshi, Abdullah
Munsyi dan banyak lagi. Intelktualitas bermakna keadaan atau sifat penggunaan fikiran
yang mendalam, dalam mencari jawaban atau penyelesaian yang menuju ke arah
kesempurnaan, melalui proses berfikir yang bertahap-tahap, teratur dan tersusun. Ciri
intelektualitas ini dapat dilihat pada proses berfikir secara kreatif dan dapat dipertanggung
jawabkan. Intelktualitas melayu juga terjelma dalam bidang pendidikan, kesusastraan,
kesenian, dan sains serta teknologinya.
Menurut David wechsler mendefinisikan intelektualitas sebagai kumpulan atau totalitas
kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional,
serta menghadapi lingkungan secara efektif. Jadi intelektualitas adalah kemampuan untuk
memperoleh berbagai informasi berpikir abstrak, menalar, serta bertindak secara efisien
dan efektif. Intelektualitas bermaksud kemampuan menggunakan intelek dan akal budi
serta keadaan atau sifat penggunaan fikiran yang mendalam untuk mencari sesuatu jawaban
dan penyelsaian yang menuju kearah kesempurnaan melalui proses berfikir yang kreatif.
Tradisi intelektualitas orang melayu adalah berkait rapat dengan kelahiran karya-karya
agung Melayu. Ia menjadi bukti bahwa tradisi intelektual dalam masyarakat melayu
diperturunkan secara lisan dan melalui tulisan.
Kegiatan intelektual orang Melayu pada awalnya terbatas dalam lingkungan istana dan
aristokrat. Rakyat biasa pula menerima pendidikan tentang adat, tradisi, budaya, dan asas
agama dari orang tua di rumah10. Golongan dewasa lazimnya mengikuti pengajian agama
dari para imam ataupun saat haji. Tradisi pengajian agama sebelum kemunculan institusi
pondok adalah di surau atau masjid. Pengajian agama di pondok bermula apabila ulama

4
yang menamatkan pengajian di Mekah kembali ke kampung halamannya sendiri. Pengaruh
institusi pondok dalam kehidupan masyarakat Melayu islam di Nusantara terbukti dari
perkembangannya, dengan berbagai nama pondok pesantren. Pondok bermula pada awal
abad ke-12 di Patani dan berkembang di tanah Melayu. Perubahan tradisi intelektual orang
melayu berlaku pada akhir abad ke-19 apabila Inggris memperkenalkan sekolah vernakular
yang dikhususkan masing-masing kepada bangsa melayu. Pengajian al-quran yang menjadi
intelektualitas Melayu diajar pada waktu petang.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah pengaruh islam terhadap institusi pendidikan melayu?

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui pengaruh islam terhadap institusi pendidikan melayu.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Institusi Pendidikan Di Dunia Melayu dan Pengaruh Islam Di Dalamnya

Intelektualitas Melayu diasaskan oleh tradisi pendidikan yang cemerlang dan tersusun
yang telah terwujud, terutama sejak kedatangan Islam di alam Melayu. Bidang keilmuan yang
berkembang bukan hanya ilmu keagamaan, tetapi melibatkan juga bidang kesusastraan,
kesenian, bahasa, ilmu dan sebagainya.

2.1.1 Institusi Pendidikan Di Malaka

Pada mulanya, pusat pendidikan ialah di istana. Pada zaman kesultanan melayu Melaka,
pendidikan yang mendapat keutamaan ialah pendidikan islam. Istana juga dijadikan tempat
perpustakaan atau tempat penterjemahan dan penyalinan. Selain dari pada istana terdapat
tempat-tempat lain yang menjadi pusat pengajian malaka, yaitu madrasah, surau, masjid dan
sebagainya. Malaka adalah salah satu pusat pendidikan yang tertua di Malaysia selain dari
Pulau Pinang. Walaupun ukurannya kecil, terdapat banyak peluang pendidikan di Melaka.
Industri pendidikan di sini semakin berkembang beriringan dengan usaha-usaha yang diambil
oleh pemerintah negeri untuk menjadikan Melaka sebagai sebuah pusat pendidikan. Kini,
semakin banyak sekolah dan perguruan tinggi menghiasi daerah Melaka. Pekerja dan buruh
asing yang menetap di sini boleh memilih untuk mengantar anak-anak mereka ke institusi
pendidikan umum maupun swasta. Melaka juga mempunyai beberapa sekolah tinggi,
perguruan tinggi teknik serta sekolah sekolah agama dari sebagai ukuran dan kapasitas.

2.1.2 Institusi Pendidikan di Aceh

Aceh merupakan daerah yang pertama menerima Islam di nusantara. Dalam sejarah
perkembangan Islam di nusantara, kerajaan Islam Peureulak merupakan kerajaan Islam yang
pertama, kemudian baru muncul kerajaan-kerajaan lain yang sangat berjasa besar dalam
mengembangkan Islam di wilayah Asia tenggara. Setelah Perlak dalam perkembangan
selanjutnya, kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kejayaannya, kemegahan,
kemakmuran, dan kedamaian selalu tercipta dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada masa
sultan Iskandar Muda, sultan ini telah menjadikan Aceh sebagai pusat berbagai kegiatan
kerajaan Aceh, baik yang berhubungan dengan kegiatan dalam negeri maupun luar negeri.

6
Masa sultan Iskandar muda memerintah Aceh digambarkan dalam rentetan sejarah sebagai
masa sadar beragama dan mengamalkan ajarannya. Pada masa ini pula, dalam sejarah
perkembangan kerajaan Aceh Darussalam dikatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang
dengan cukup pesat, sultan berusaha memajukan berbagai sektor pendidikan, antara lain
pendidikan agama, pendidikan bahasa, pendidikan ilmu hukum, seni budaya, militer dan olah
raga. Di saat sultan Iskandar muda memegang tampuk kekuasaan Aceh merupakan pusat
pendidikan, sehingga Aceh dapat mencapai puncak kejayaan. Agama Islam benar-benar
meresap ke dalam jiwa pemeluknya, sehingga tidak berlebihan kiranya Aceh mendapat julukan
serambi Mekkah.

Para ahli sejarah lokal maupun internasional telah menulis dalam karya mereka tentang
sejarah Aceh, bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda memegang kekuasaan, Aceh adalah
pusat Ilmu pendidikan dan kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang masyhur di antara
kerajaan-kerajaan lain. Kemajuan bidang pendidikan, ekonomi, dan agama di raih melalui
lembaga pendidikan meunasah. Lembaga ini bukan hanya tempat ibadah semata melainkan
juga sebagai pusat yang multi-fungsi, baik untuk pendidikan, musyawarah, kenduri, mengadili
pelanggar hukum, menerapkan hukuman, pos keamanan, dan tempat istirahat masyarakat.
Kemajuan dan kejayaan kerajaan Aceh tidak bisa dipisahkan dari kemajuan pendidikannya,
karena pendidikanlah yang menentukan kejayaan dan kemakmuran suatu bangsa. Untuk
meningkatkan pendidikan agama dalam kerajaan Aceh, para sultan Aceh telah menempuh
berbagai kebijakan antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh sultan Iskandar
Muda, sebagaimana yang termaktub dalam Qanun Meukuta Alam, yakin menyusun lembaga-
lembaga pendidikan dalam tiga bidang dan tugas khusus: masalah pendidikan, pengajaran dan
pengembangan Ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut antara lain, 1) Balai
Setia Hukama; 2) Balai Setia Ulama; dan 3) Balai Jamiah Himpunan Ulama, yakni semacam
Studi Club atau tempat para Ulama berkumpul dan mendiskusikan masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran serta pengembangan Ilmu Pengetahuan (Ali Hasymy, 1975: 13)

Dalam rangka mencerdaskan rakyat kerajaan Aceh Darussalam membangun sarana-


sarana pendidikan untuk semua tingkatan pendidikan: meunasah (setingkat SD atau madrasah
Ibtidaiyah), Rangkang (setingkat SLTP) atau madrasah Tsanawiyah), Dayah (setingkat SMU
dan madrasah Aliyah), dayah tgk Chik (setingkat Perguruan Tinggi/akademi), Jami’ah
Baiturrahman (fakultas). Di zaman kerajaan Aceh Darussalam, ibukota Banda Aceh
merupakan pusat kegiatan pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan Asia Tenggara,

7
pada saat itu ada tiga tempat yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, yaitu mesjid Baiturrahim,
mesjid Baitul Musyahadah, dan mesjid Jami’ Baiturrahman. Banyak pelajar datang menuntut
Ilmu ke Aceh baik dari Minangkabau maupun dari Asia Tenggara. Sebuah Qanun yang
mengatur para pelajar dari luar Aceh di buat dengan membubuhkan sebuah pasal yang khusus
mengatur hal tersebut. Pada masa itu, tingkatan pendidikan dalam Kerajaan Aceh Darussalam
terdiri atas: Meunasah atau madrasah yaitu sekolah permulaan yang terdapat di tiap-tiap
gampong (kampung). Di sana anak-anak diajarkan membaca al-Qur'an, menulis dan membaca
huruf Arab, cara beribadat, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman. Rangkang, yaitu pondok-
pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fikih, ibadat, tauhid,
tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya terdiri dan bahasa
Melayu dan bahasa Arab.

Dayah, terdapat dalam tiap-tiap daerah, tetapi ada juga yang berpusat pada mesjid
bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan mesjid dan menyediakan
sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan tem-pat salat
berjamaah. Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan
kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata ajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat, tauhid,
tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang
mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan
(ekonomi). Dayah Teungku Chik, yakni satu tingkat lagi di atas dayah dan kadang-kadang
disebut juga Dayah Manyang. Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran
antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum perkawinan),
fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid,
filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadits.

2.1.3 Jami’ah Baiturrahman

Peringkat tertinggi sistem pendidikan ialah tinkat jamiah yang bertaraf universitas.
Jamiah ini merupakan mesjid. Peranan masjid pada masa itu sangat luas disamping sebagai
tempat beribadat, masjid juga dijadikan tempat pendidikan. Universitas ini mempunyai
beberapa fakultas yang disebut ‘dar’. Menjadikan bukti ketinggian ketamadudan melayu pada
umunya dan kehebatan serta keintelektualan masyarakat acheh khususnya pada masa itu.

Jami'ah ini terdapat di ibukota negara yang merupakan satu kesatuan mesjid Jami'
Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mempunyai bermacam-macam "Daar" yang kira-kira

8
kalau disetarakan sama dengan fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1)
Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-
Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-
Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-
Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar
al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan
Perbendaharaan Negara), (14) Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa
Arab), (16) Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).

Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah
berkuasa (1016-1045 H/1607-1636 M), guru-guru besar jami'ah tersebut selain terdiri dari
ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari luar seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India.
Berdasarkan catatan yang dapat ditelusuri, tak kurang dari 44 orang guru be-sar yang
didatangkan dari luar negeri pada masa itu.

2.1.4 Institusi Pendidikan Di Pasai

Samudra pasai memiliki dua bentuk sistem pendidikan islam, iaitu masjid dan halaqah.
Pada masa ini pun masjid tetap menjadi tempat penting dalam pendidikan. halaqah berasal dari
bahasa Arab, halaqo, yahluqo, halqotan, berarti lingkaran. Artinya, halaqah adalah
perkumpulan antara dua orang atau lebih yang membahas mengenai agama. Secara istilah,
halaqah berarti pengajian di mana orang-orang yang ikut di dalam pengajian tersebut akan
duduk secara melingkar. Ternyata, istilah halaqah ini juga memiliki pengertian yang pada
dasarnya sama dengan majelis ta'lim atau forum yang sifatnya keilmuan. Umumnya, materi
yang diulas dalam halaqah adalah aqidah, fiqih, hadis, sirah, dan sebagainya. Salah satu fungsi
dari halaqah adalah sebagai sarana untuk bertemu dan saling mengenal yang
disebut muakhhoh atau mempersaudarakan. Halaqah memiliki tiga kategori, 1) khusus untuk
anak-anak bagi pendidikan asas, 2) dikhususkan kepada pelajar yang lebih tinggi, dan 3)
dikhususkan kepada mereka yang mempelajari ilmu agama secara khusus. Halaqah ini diketua
oleh seorang guru yang dipanggil sheikh yang dibatu oleh beberapa pembantunya.

9
2.1.5 Institusi Pendidikan di Minangkabau: Surau

Surau, istilah Melayu-Indonesia “surau”, dan kontraksinya “suro”, adalah kata yang
luas penggunaannya di Asia Tenggara. Sejak waktu yang sangat lama, dalam pengertian yang
sama, istilah ini kelihatannya banyak digunakan di Minangkabau, Sumatera Selatan,
Semenanjung Malaysia, Sumatera Tengah dan Patani (Thailand Selatan). Secara bahasa, kata
“surau” berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau
adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek moyang. Karena
alasan inilah, surau paling awal biasanya dibangun di puncak bukit atau tempat yang lebih
tinggi dari lingkungannya.

Surau merupakan lembaga pendidikan tertua di Minangkabau, bahkan sebelum Islam


masuk ke Minangkabau surau sudah ada. Dengan datangnya Islam, surau juga mengalami
proses islamisasi, tanpa harus mengalami perubahan nama. Selanjutnya surau semakin
berkembang di Minangkabau. Di samping fungsinya sebagai tempat beribadah (shalat), tempat
mengajarkan Al- Qur'an dan Hadis serta ilmu lainnya, juga sebagai tempat musyawarah, tempat
mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat tidur
bagi pemuda yang mulai remaja dan bagi laki-laki tua yang sudah bercerai. Ini barangkali sudah
merupakan aturan yang berlaku di Minangkabau, karena di rumah orang tuanya tidak disiapkan
kamar untuk anak laki- laki remaja atau duda, maka mereka bermalam di surau. Hal ini secara
alamiah menjadi sangat penting, karena dapat membentuk watak bagi generasi muda
Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis.

Setelah Islam berkembang, arsitektur bangunan surau di Minangkabau masih


terpengaruh oleh budaya dan kepercayaan setempat. Misalnya, puncak bangunan surau ada
yang bergonjong. Ini sebagai refleksi dari kepercayaan mistis tertentu dan belakangan sebagai
lambang adat Minangkabau. Dengan berkembangnya lembaga pendidikan surau ini, terjadi
transformasi ilmu pengetahuan dan budaya terhadap pemuda-pemuda Minang. Ilmu yang
didapatkan di surau ini tidak hanya ilmu agama saja, tetapi juga ilmu yang dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti pengetahuan adat, ilmu bela diri, sopan santun, kemandirian dan
sebagainya. Surau ini walaupun ada yang berbentuk masjid, tetapi tidak sama dengan masjid.
Surau di Minangkabau tidak dilakukan shalat Jum'at padanya, sementara masjid tempat
dilaksanakan shalat Jum'at. Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja
fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh
Burhanuddin Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat

10
shalat juga digunakan oleh Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan agama Islam,
khususnya tarekat (suluk).

Verkerk Pistorious, seorang pejabat Belanda, seperti yang dikutip Azyumardi Azra,
pernah mengunjungi Minangkabau guna mengamati berbagai lembaga keagamaan di daerah
ini. la pun membagi surau-surau yang dikunjunginya ke dalam tiga kategori :
a. Surau kecil, yang dapat menampung sampai 20 murid.

b. Surau sedang, yang dapat menampung sampai 80 murid.

c. Surau besar yang dapat menampung antara 100 sampai 1000 murid.

Surau kecil kurang lebih sama dengan surau keluarga—atau sedikit lebih luas dari itu,
yang umumnya dikenal sebagai surau mangaji (surau tempat belajar membaca Al-Quran dan
melakukan shalat). Surau kategori ini lebih kurang sama dengan "langgar" atau mushalla. Jenis
surau seperti ini biasanya hanya mempunyai seorang guru yang sekaligus bertindak sebagai
imam surau. Sebaliknya, surau sedang dan besar dengan sengaja didirikan untuk tempat
pendidikan agama dalam pengertian lebih luas. Dengan kata lain, surau sedang dan surau besar
tidak sekadar berfungsi sebagai rumah ibadah seperti yang dilakukan surau mangaji, tetapi
yang lebih penting, sebagai pusat pendidikan agama di mana ajaran Islam yang lebih luas dalam
berbagai aspeknya diajarkan kepada murid-murid. 7 Surau sebagai lembaga pendidikan
lengkap atau besar merupakan komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-
bangunan untuk tempat belajar, dan surau-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan
murid-murid yang belajar di surau.

2.1.6 Institusi Pendidikan di Jawa

Selain acheh, pendidikan islam tersebar melalui pusat pengajian lain di Jawa, Banjar,
Riau, Pattani, Terengganu dan Kelantan. Di jawa, sistem pendidikan yang terkenal disebut
‘pesantren’. Pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang
secara nyata telah melahirkan banyak ulama'. Tidak sedikit tokoh Islam lahir dari lembaga
pesantren. Bahkan Prof.Dr.Mukti Ali pernah mengatakan bahwa tidak pernah ada ulama yang
lahir dari lembaga selain pesantren. Istilah ''pesantren'' berasal dari kata pe-''santri''-an, dimana
kata "santri" berarti murid dalam bahasa Jawa. Istilah ''pondok'' berasal dari bahasa Arab
''funduuq'' yang berarti penginapan.

Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok
pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka

11
biasanya dalam pesantren salaf(tradisional) disebut ''lurah pondok''.Tujuan para santri
dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri agar
dapat meningkatkan hubungan yang baik dengan kyai dan juga Tuhan.Ada beberapa elemen
pesantren yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain, yaitu; (1) pondok tempat
menginap para santri, (2) santri: peserta didik, (3) masjid: sarana ibadah dan pusat kegiatan
pesantren, (4) kyai: tokoh atau sebutan seseorang yang memiliki kelebihan dari sisi agama,
dan kharisma yang dimilikinya, (5) kitab kuning: sebagai referensi pokok dalam kajian
keislaman.

Penyelenggaraan pendidikan di pesantren salaf pada umumnya dengan menggunakan


metode sorogan, bandungan, dan wetonan. Sistem sorogan merupakan proses pembelajaran
yang bersifat individual pada dunia pesantren atau pendidikan tradisional, dan sistem
pembelajaran dasar dan paling sulit bagi para santri, sebab santri dituntut kesabaran, kerajinan,
ketaatan dan disiplin diri dalam menuntut ilmu. Seringkali santri tidak menyadari bahwa
mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan ini sebelum mengikuti sistem
pembelajaran selanjutnya di pesantren. Seorang santri yang telah mahir dalam penguasaan
sorogan ini menjadi kunci dalam penguasaan ilmu agama dan menjadi seorang alim.
Sedangkan sistem bandungan atau juga disebut wetonan yaitu sistem belajar kelompok dalam
arahan dan bimbingan kyai yang terdiri antara 5 sampai 500 orang santri.Mereka
mendengarkan seorang guru atau kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan
mengulas kitab-kitab dal;am bahasa arab dan santri masing-masing memperhatikan bukunya
sendiri dan membuat catatan-catatan yang dianggap sulit atau penting. Kelompok sistem ini
disebut halaqah. Jika kyai berhalangan untuk memberikan pengajaran dalam sistem ini,
biasanya kyai menunjuk santri senior untuk mewakilinya atau yang disebut ustadz. Dalam
sistem sorogan ini juga terjadi musyawarah atau diskusi tentang kajian Islam klasik dengan
sumber kitab yang jelas. Apa yang menjadi bahan diskusi dan hasil diskusi selalu dihadapkan
ke kyai untuk dikoreksi dan penguatan apabila hasil diskusi tidak menyimpang dan sudah
sesuai dengan teks-teks kitab klasik. Metode ini diberikan untuk melatih dan menguji
kematangan mental santri, agar kelak kemudian menjadi orang yang tangguh dalam beragama
atau menjadi ulama yang warasatul anbiya`. Sedangkan pesantren khalaf menejemen pesantren
dan kurikulum pesantren semuanya adalah sisten modern. Kyai tidak lagimengurus keuangan
pesantren, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada bendahara pesantren. Demikian juga
kurikulum yang ada dengan pola kurikulum modern dengan sistem pembelajaran klasikal. Di
sini tampak perbedaan bahwa pesantren khalaf sistem administrasi, menejemen, dan tata kelola

12
lembaga lebih terbuka dibandingkan dengan sistem pesantren salaf yakni sistem menejemen,
dan keuangan pesantren selalu dalam kendali otoritas kyai, meski telah dibantu oleh lurah
pondok sebagai pengendali operasionalnya, namun pelaksanaannya tetap mengacu kepada
restu kyai, atau dengan kata lain sistem pesantren salaf, semuanya masih serba kyai, semua
oleh kyai, duitnya kyai, utangnya juga kyai yang menanggung, santri tidak bayar juga urusan
kyai dan sebagainya.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan berdasarkan materi yang telah dipaparkan di atas bahwa islam
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia pendidikan melayu. Ada pengaruh islam
yang mengubah segala tata cara serta kebudayaan di beberapa daerah namun ada juga
pengaruh islam yang tidak ikut mengubah adat istiadat dan kebudayaan daerah tetapi
menjadi acuan dalam pendidikannya.

Kegiatan intelektual orang Melayu pada awalnya terbatas dalam lingkungan istana
dan aristokrat. Rakyat biasa pula menerima pendidikan tentang adat, tradisi, budaya, dan
asas agama dari orang tua di rumah10. Golongan dewasa lazimnya mengikuti pengajian
agama dari para imam ataupun saat haji. Tradisi pengajian agama sebelum kemunculan
institusi pondok adalah di surau atau masjid. Pengajian agama di pondok bermula apabila
ulama yang menamatkan pengajian di Mekah kembali ke kampung halamannya sendiri.

Pengaruh institusi pondok dalam kehidupan masyarakat Melayu islam di Nusantara


terbukti dari perkembangannya, dengan berbagai nama pondok pesantren. Pondok
bermula pada awal abad ke-12 di Patani dan berkembang di tanah Melayu. Perubahan
tradisi intelektual orang melayu berlaku pada akhir abad ke-19 apabila Inggris
memperkenalkan sekolah vernakular yang dikhususkan masing-masing kepada bangsa
melayu. Pengajian al-quran yang menjadi intelektualitas Melayu diajar pada waktu petang.

14
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Dayah: Sejak Sultan Hingga Sekarang. Dalam


https://acehprov.go.id/berita/kategori/jelajah/dayah-sejak-sultan-hingga-sekarang. (diakses 26
November 2022.

Anonim. 2021. Pendidikan Di Melaka. Dalam


https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Melaka. (diakses 26 November 2022)

Hadi, Abdul. 2014. Dinamika Sistem Institusi Pendidikan Di Aceh. Jurnal Ilmiah
Peuradeun. Vol 2, No 3 Hal: 179-194.

Sajadi, Dahrun. (2021). Sistem Pendidikan Islam di Indonesia. Jurnal Pendidikan Islam
Tahdzib Al-Akhlaq. Vol. 4, No.1, 2021.

Syafe’i, Imam. 2017. Pondok Pesantren:


Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam,
Volume 8, Mei 2017

Zein, Mas,ud. 2011. Sistem Pendidikan Surau :


Karakteristik, Isi, Dan Literatur Keagamaan. Jurnal Sosial Budaya, Vol. 8 No. 01 Januari –
Juni 2011.

15

Anda mungkin juga menyukai