Anda di halaman 1dari 24

FILOSOFI DAN TERMINASI

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pengantar pendidikan
khusus yang diampu oleh

Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd

Disusun oleh:

Kiki Rezkiani 2112905

Usep 2208879

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan
HidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah filosofi dan terminasi
pendidikan khusus tanpa suatu halangan yang berarti. Tak lupa Shalawat serta Salam
tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad saw yang telah membawa
petunjuk hidup umat manusia.
Dalam pembuatan makalah, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar penyusunan makalah. Maka dari itu dengan segala
kerendahan hati kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Imas Diana Aprilia, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Pendidikan
Inklusif, teman-teman mahasiswa serta pihak-pihak yang telah memberikan bantuan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya
dan kami khususnya. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah masih jauh
dari sempurna untuk itu kami menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan ke arah kesempurnaan.

Bandung, Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………… 2

Daftar Isi …………………………………………………………………………. 3

A. Pendahuluan ……………………………………………………………… 4

B. Kajian Teori ………………………………………………………….…… 7

C. Pembahasan ……………………………………………..……….……… 17

D. Kesimpulan ……………………………………………………………… 23

Daftar Pustaka …………………………………………………………………… 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin kelangsungan hidup yang bermartabat. Negara berkewajiban
memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada seluruh warga
negara, termasuk para penyandang berbagai kemampuan (difabel) tanpa
terkecuali, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Namun,
dalam implementasinya sistem pendidikan Indonesia belum mengakomodasi
keberagaman sepenuhnya, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi
lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan
perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh anak.
Fragmentasi kelembagaan ini telah menghalangi individu untuk belajar
menghargai realitas keragaman dalam masyarakat. Dampak langsung
dirasakan oleh anak berkebutuhan khusus yang kerap tertinggal dalam bidang
pendidikan. Mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan Pasal 31(1) UUD
1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab Pasal 5(1) menyatakan bahwa semua warga negara mempunyai
hak yang sama atas pendidikan yang bermutu. Warga negara dengan
disabilitas fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
mendapatkan pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak
penyandang disabilitas dan/atau anak dengan potensi kecerdasan atau bakat
khusus berhak atas kesempatan pendidikan yang sama dengan anak (normal)
lainnya.
Dalam rangka mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar dan
mengatasi permasalahan pendidikan anak berkebutuhan khusus, pendidikan
yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus hingga saat ini cenderung
masih dikotak-kotakkan berdasarkan hambatan yang dimiliki oleh anak
tersebut. Pendidikan luar biasa yang diimplementasikan dalam sekolah luar
biasa dan pendidikan terpadu, dinilai masih belum memenuhi kebutuhan
pemerataan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, hingga muncul
pendidikan inklusif. Diyakini bahwa perhatian lebih harus diberikan kepada
anak berkebutuhan khusus untuk mencapai pendidikan dasar wajib dan

4
mengatasi masalah mendidik anak berkebutuhan khusus, baik yang terdaftar
di sekolah reguler tetapi tidak menerima layanan pendidikan khusus, atau anak
berkebutuhan khusus yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali karena
tidak diterima di terdekat atau karena lokasi sekolah luar biasa jauh dari
tempat tinggalnya. Pendidikan inklusif mempertemukan anak berkebutuhan
khusus dengan anak lain (normal) untuk mencapai potensi maksimalnya
melalui pendidikan di sekolah terdekat. Tentu saja, sekolah terdekat harus
mempersiapkan segalanya.
Dengan semakin meningkatnya kepedulian dan kepekaan masyarakat
yang yang bertumpu pada hak asasi manusia (HAM), dimana anak
berkebutuhan khusus merupakan makhluk sosial yang memiliki potensi,
sehingga berpeluang untuk berkontribusi dan berperan secara optimal dalam
segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat mendasari
perlunya untuk mengetahui hal-hal esensial yang mendasari pendidikan
khusus di Indonesia agar dapat mengupayakan implementasi pendidikan
khusus yang dapat mencakup dan adil bagi seluruh anak berkebutuhan khusus
di Indonesia.
Saat ini sedang terjadi proses transformasi pemikiran dari konsep
pendidikan khusus (special education) ke konsep pendidikan kebutuhan
khusus (special needs education). Terdapat perbedaan orientasi antara
pendidikan khusus dengan pendidikan kebutuhan khusus. Konsep pendidikan
kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat
holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki
hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar yang bervariasi.
Oleh karena itu menurut paham ini pembelajaran seharusnya berpusat pada
anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan
perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi.
Konsep yang sangat ideal seperti itu mendapat respon positif dari semua
kalangan, ada usaha-usaha para praktisi pendidikan di lapangan mulai
mencoba mempraktekan prinsip-prinsip pendidikan yang dapat
mengakomodasi kebutuhan setiap anak. Namun demikian konsep tentang
pendidikan kebutuhan khusus dan inklusi harus secara terus menerus
diperkenalkan kepada para pendidik dan calon pendidik, agar pemahaman
tentang pendidikan inklusif semakin dipahami dan dan diterima.

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan permasalah-permasalahan yang dikaji dalam makalah ini sebagai
berikut: “Bagaimana filosofi dan terminasi pendidikan khusus di Indonesia?”

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui filosofi pendidikan khusus di Indonesia
2. Mengetahui terminasi pendidikan khusus di Indonesia

6
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Landasan Filosofis Pendidikan Khusus

Landasan filosofis dalam implementasi pendidikan inklusif di Indonesia


adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas
fondas yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono
Abdurrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia,
baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal
sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan
pengendalian diri dan banyak lagi hal lainnya. Sedangkan, kebhinekaan horizontal
diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat
tinggal, daerah, afiliasi politik. Karena berbagai keberagaman namun dengan
kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk
membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, hambatan dan keberbakatan yang
dimiliki anak berkebutuhan khusus hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti
halnya perbedaan suku, ras, bahasa, budaya, atau agama. Dalam diri individu
berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya
di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena
tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Hambatan dan
keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti
halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan
dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya
pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap
silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang
dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.

Landasan Filosofis Pengamalan Pancasila


Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mendasari pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Kelima sila tersebut sebagai asas bahwa anak berkebutuhan
khusus merupakan masyarakat Indonesia juga yang keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat umum.

7
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara
pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial,warna kulit dan sebagainya.
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
d. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira..
e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
f. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
3. Persatuan Indonesia
a. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dannegara sebagai kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
b. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
c. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
a. Sebagai warga Negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
b. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

8
a. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.

Landasan Filosofis Pengamalan Bhinneka Tunggal Ika


Bhineka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Beraneka
Ragamnya suku, budaya, etnik, adat istiadat masyarakat Indonesia menuntut
sekali bhineka tunggal ika sebagai tujuan akhir dari semua perbedaan masyarakat
indonesia ini. Termasuk pendidikan Inklusi walaupun dari segi fisik, mental,
kemampuan, latar belakang, permasalah setiap individu itu berbeda-beda tetapi
terdapat ada satu wadah yang menjadi penampung perbedaan itu untuk
bersama-sama mencapai satu tujuan yakni pendidikan inklusi yang di dalamnya
menanggalkan semua perbedaan dan menuntut setiap individu menjadi satu
kesatuan yang utuh mencapai cita-cita bersama dengan saling membantu satu
sama lain toleransi dan menanamkan nilai-nilai yang baik antar individu sehingga
tercapai apa yang ingin dicapai bersama terutama kesuksesan yang sama dalam
bidang akademik pada pendidikan inklusi ini. Adapun cerminan-cerminan lain
dari Landasan Filosofis Pendidikan Inklusi yang lain adalah :
Pendidikan inklusif sebagai Hak Asasi Manusia Bab ini akan meninjau sekilas
tentang dokumen-dokumen internasional mengenai hak asasi manusia yang terkait
dengan Pendidikan Inklusif. Kemudian akan dibahas kekuatan dan kelemahan
dokumen-dokumen internasional tersebut. Instrumen-instrumen Internasional
yang relevan dengan Pendidikan Inklusif:
1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien
4. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para
Penyandang Ketunaan
5. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus
6. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
7. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar
8. 2000: Tujuan Pembangunan Milenium yang berfokus pada Penurunan Angka
Kemiskinan dan Pembangunan

9
9. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Ketunaan

Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948

Pada deklarasi tersebut ditegaskan bahwa:“ Setiap orang mempunyai hak atas
pendidikan.” Namun, anak dan orang dewasa penyandang ketunaan sering kali
direnggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini sering didasarkan atas asumsi
bahwa penyandang ketunaan tidak dipandang sebagai umat manusia yang utuh,
maka pengecualian pun diberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan
melakukan lobi-lobby, kelompok penyandang ketunaan memastikan bahwa
instrumen-instrumen hak asasi manusia PBB berikutnya menyebutkan secara
spesifik orang penyandang ketunaan, dan menekankan bahwa SEMUA
penyandang ketunaan, tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas
pendidikan.

2. Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989.


Suatu instrumen yang secara sah mengikat, yang telah ditandatangani oleh semua
Negara kecuali dua Negara (Amerika Serikat dan Somalia), lebih jauh
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya “wajib dan bebas biaya bagi
semua” (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat Prinsip
Umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan:
● Non diskriminasi (Pasal 2) menyebutkan secara spesifik tentang anak
penyandang ketunaan
● Kepentingan Terbaik Anak (Pasal 3)
● Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (Pasal 6)
● Menghargai Pendapat Anak (Pasal 12)

Prinsip penting lainnya yang dinyatakan oleh komite monitoring adalah bahwa
“Kesemuahak itu tak dapat dipisahkan dan saling berhubungan”. Secara singkat,
ini berarti bahwa meskipun menyediakan pendidikan di sekolah luar biasa untuk
anak penyandang ketunaan itu memenuhi haknya atas pendidikan, tetapi ini dapat
melanggar haknya untuk diperlakukan secara non-diskriminatif, dihargai
pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam lingkungan keluarga dan
masyarakatnya.

10
3. Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua

Di Thailand tahun 1990 mencoba untuk menjawab beberapa tantangan ini.


Deklarasi Jomtien tersebut melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal
dalam Pasal III tentang “Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan”.
Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai
kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak
perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan
daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara
khusus disebutkan para penyandang ketunaan. Walaupun istilah ‘inklusi’ tidak
digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan
pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan
akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.

4. Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang


ketunaan
Terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang
ketunaan. Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan
dokumen Jomtien, pendidikan bagi para penyandang ketunaan harus merupakan
bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa Negara seyogyanya
bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang ketunaan. Terlalu sering,
pendidikan untuk penyandang ketunaan diselenggarakan oleh lembaga swasta,
sehingga ‘membebaskan’ pemerintah dari tanggung jawabnya.

B. Terminasi Pendidikan Khusus di Indonesia

Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang yang


disebut Pendidikan Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education),
selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu
dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat
dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan. Sejarah
menunjukkan bahwa selama berabad abad di semua Negara di dunia, individu
yang keadaannya berbeda dari kebanyakan individu pada umumnya (memiliki
hambatan), kehadirannya ditolak oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya
anggapan anak berkebutuhan khusus tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap
kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan disingkirkan,

11
tidak mendapatkan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna, keberadaan
penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya. Di masa lalu, ketidaktahuan
orang tua dan masyarakat mengenai hakekat dan penyebab kecacatan
menimbulkan rasa takut dan perasaan bersalah, sehingga berkembang
macam-macam kepercayaan dan takhayul. Anak berkebutuhan khusus sering
disembunyikan oleh orang tuanya, karena dianggap sebagai aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan barus
mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk
hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan
anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat
menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang
lebih maju dari sari suatu bangsa, meskipun anak-anak penyandang cacat
memerlukan perhatian ekstra (Miriam, 2001). Keberadaan anak berkebutuhan
khusus mulai dianggap, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus,
rumah-rumah perawatan, dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan
merawat anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus awalnya disebut ortopedagogik


yang secara terminologi diartikan sebagai pendidikan yang bersifat meluruskan,
memperbaiki, menyembuhkan, atau menormalkan kehidupan anak-anak
berkebutuhan khusus atau anak luar biasa. Dengan kata lain istilah ortopedagogik
berarti ilmu pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa
(Mulyono, 1994). Ortopedagogik merupakan istilah yang diambil dari bahasa
Yunani yang dalam perkembangan selanjutnya di dunia internasional dikenal
dengan berbagai sebutan, seperti Special Education, Special Needs Education,
Supportive Education, dan Individually Adjusted Education (Skjorten, 2001).
Special education sering diterjemahkan menjadi pendidikan luar biasa. Istilah ini
dipahami sebagai pendidikan yang menyediakan setting khusus seperti kelas
khusus, sekolah khusus dan sekolah atau lembaga khusus dengan pengasramaan.

Anak berkebutuhan khusus dipandang memiliki karakteristik yang berbeda


dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan
pendekatan dan metode khusus sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu
pendidikan anak berkebutuhan khusus harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari
pendidikan anak-anak lainnya. Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut

12
dengan Special Education (di Indonesia diterjemahkan menjadi Pendidikan Luar
Biasa atau Pendidikan Khusus), yang melahirkan sistem sekolah segregasi
(Sekolah Luar Biasa). Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan
Khusus) dan dalam sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat
dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan
layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan
pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya
terdapat sekolah khusus/Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, dan tunadaksa).

Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa disebut dengan sistem


pendidikan segregasi. Pendidikan luar biasa dalam konteks ini sering hanya
ditargetkan pada anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita atau tunadaksa.
Penyediaan pendidikan semacam ini tidak selalu memenuhi kebutuhan pendidikan
anak. Di banyak negara, anak yang mempunyai kesulitan khusus dalam berbahasa,
membaca, menulis dan/atau matematika, serta yang mengalami gangguan emosi,
perilaku maupun Attention Deficit & Hyperactivities Disorder (ADHD) tidak
terlayani secara baik. Program yang diberikan biasanya dalam bentuk-bentuk
pengajaran remedial (Skjorten, 2001).

Special Needs Education (pendidikan kebutuhan khusus), Supportive


Education (pendidikan suportif), atau Individually Adjusted Education
(pendidikan yang disesuaikan secara individual) merupakan perkembangan baru
dari istilah pendidikan luar biasa setelah adanya keputusan politis yang dibuat di
beberapa negara. Konferensi dunia tentang anak di Salamanca misalnya,
menyebutkan ‘Regular schools with this inclusive orientation are the most
effective means of combating discriminatory attitudes, creating welcoming
communities, building an inclusive society and achieving education for all, more
over, they profide an effective education to the majority of children and improve
the efficiency and ultimately the cost effectiveness of the entire education system.’
Deklarasi Dakar tahun 2000 menghasilkan keputusan politis dan strategis tentang
‘education for all’. Dalam deklarasi tersebut antara lain disebutkan bahwa
‘Menjamin kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi
melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup (life
skills) yang sesuai. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak (termasuk

13
penyandang cacat), khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit
dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses dan menyelesaikan
pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik.’ Deklarasi
Internasional Bukittinggi tahun 2005, antara lain juga menghasilkan pernyataan
yang sama, antara lain ‘penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif
ditunjang kerjasama yang sinergis dan produktif antara pemerintah, institusi
pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orangtua serta masyarakat.

Memperhatikan perkembangan pendidikan luar biasa di dunia sebagaimana


tersebut di atas, menunjukkan adanya perkembangan cara pandang baru terhadap
pelayanan anak berkebutuhan khusus dan berkebutuhan pendidikan khusus
lainnya. Anak tidak hanya dapat dilayani di sekolah khusus, tetapi juga
dimungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah reguler, di
panti-panti, lembaga-lembaga khusus bahkan juga dapat dilayani di rumah.
Intinya bahwa setiap anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang
berkualitas dan tidak terdiskriminasi. Anak tidak dilayani karena jenis kelainannya
melainkan juga dari segi kebutuhan pendidikan khususnya (special needs
education). Dalam konteks ini maka pendidikan khusus atau special education
merupakan bagian dari konsep ‘special needs education’ yang mencakup
kebutuhan khusus yang sifatnya permanen (disability/ketunaan/kelainan) dan
kebutuhan khusus yang temporer.

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia sejak berdirinya


hingga sekarang telah mengalami perjalanan yang panjang. Di Indonesia,
pendidikan khusus sebagai disiplin ilmu melalui tiga fase, yaitu: (1) sebagai
aplikasi teori-teori ilmu lain, terutama ilmu kedokteran dan psikologi, (2) sebagai
bagian dari pedagogik, dan (3) sebagai disiplin ilmu yang otonom (Abdul Salim,
Munawir Yusuf, 2009). Dengan adanya pendidikan khusus sebagai disiplin ilmu
memperkuat.

Setelah fase panjang tersebut, implementasi dari pendidikan khusus muncul


berbagai bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

1. Pendidikan Segregasi

14
Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak
berkebutuhan khusus terpisah dari sistem pendidikan anak pada umumnya.
Penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan
terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak pada umumnya.

Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak


berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk
sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar
Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak
tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita),
SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.
Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB
dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan
yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler,
baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai
pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi
ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena
lingkungan pergaulan yang terbatas.

2. Pendidikan Integrasi
Sistem pendidikan integrasi di sekolah merupakan kemajuan yang baik, tetapi
tidak mudah. Sistem pendidikan integrasi merujuk pada bersekolahnya
seorang anak berkebutuhan khusus pada sekolah regular. Dapat diartikan pada
proses memindahkan seorang siswa pada lingkungan yang tidak terlalu
terpisah. Seorang anak berkebutuhan khusus yang bersekolah pada sekolah
regular, tetapi berada pada unit atau kelas khusus. Meskipun siswa tersebut
berada pada kelas khusus, jelas bahwa apabila kelas tersebut pada sekolah
regular, peluang untuk berinteraksi dengan warga sekolah secara umum jauh
lebih besar dari pada anak yang berada pada sekolah khusus yang terpisah.
Konsep pendidikan integrasi memiliki penafsiran yang bermacam-macam
antara lain:
● Menempatkan anak dengan disabilitas dengan anak pada umumnya secara
penuh

15
● Pendidikan yang berupaya mengoptimalkan perkembangan kognisi, emosi,
jasmani, intuisi
● Mengintegrasikan pendidikan anak autis dengan pendidikan pada
umumnya
● Mengintegrasikan apa yang dipelajari disekolah dengan tugas masa depan
● Mengintegrasikan manusia sebagai makhluk individual sekaligus makhluk
sosial

3. Pendidikan Inklusif
Sistem pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha
mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Sistem pendidikan inklusi merupakan perubahan praktis yang
memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda
bisa berhasil dalam belajar.
Sistem pendidikan inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi
dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam
program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus adalah pentingnya pendidikan Inklusif. Pendidikan
inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang
terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian
anak berkebutuhan khusus akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Inklusi terjadi pada
semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya,
pada sekolah, dan pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya.

16
BAB III

PEMBAHASAN

Dari beberapa hal pada landasan filosofis pendidikan inklusi, secara garis
besar bahwa pendidikan inklusi yang berdasarkan pada landasan filosofis
pendidikan inklusi adalah pancasila dan bhineka tunggal yang di jadikan
pedomana yang dipusatkan dalam pendidikan inklusi yang berlandaskan pada
filosofis ini.

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sejak berdirinya hingga sekarang


telah mengalami perjalanan yang panjang. Di Indonesia, pendidikan khusus
sebagai disiplin ilmu melalui tiga fase, yaitu: (1) sebagai aplikasi teori-teori ilmu.
Pada mulanya pendidikan khusus bukan merupakan disiplin ilmu karena hanya
merupakan aplikasi dari teori-teori disiplin ilmu tertentu, terutama ilmu
kedokteran dan psikologi. Dalam bidang kesehatan banyak ditemukan
gejala-gejala suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan melalui penggunaan
obat-obatan atau terapi medik. Para dokter menyarankan agar digunakan terapi
pendidikan (educational therapy). Teknik penyembuhan yang bersifat mendidik
tersebut oleh para psikolog seperti halnya para dokter, disebut pendidikan anak
berkebutuhan khusus. (2) sebagai bagian dari ilmu pendidikan. Diketahui bahwa
bidang telaah atau obyek ontologis ilmu pendidikan adalah situasi pendidikan
anak untuk mencapai kedewasaan. Usaha memecahkan masalah pendidikan,
khususnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terpisah-pisah dalam
penanganannya oleh para dokter dan psikolog, menyebabkan banyak ilmuwan
pendidikan yang merasa tidak puas. Ketidakpuasan tersebut mendorong
dimasukkannya pendidikan khusus yang semula hanya dipandang sebagai teknik
penyembuhan medik/psikologik ke dalam disiplin ilmu pendidikan. dan fase
terakhir adalah (3) sebagai disiplin ilmu. ilmu pendidikan telah berkembang,
perkembangan yang pesat disebabkan oleh adanya kecenderungan dari para
ilmuwan untuk melakukan spesialisasi telaah kajiannya agar diperoleh tingkat
analisis yang lebih tajam dan lebih seksama. Pendidikan khusus sebagai disiplin
ilmu dalam praktiknya memerlukan dukungan atau penunjang ilmu-ilmu lain yang
selanjutnya disebut ilmu-ilmu penunjang pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Ilmu-ilmu penunjang pendidikan khusus diantaranya adalah ilmu kedokteran, ilmu

17
psikologi, ilmu pendidikan, bimbingan dan konseling maupun ilmu-ilmu sosial.
Pendidikan khusus sebagai disiplin ilmu merupakan bidang yang kompleks karena
bersifat multidisipliner. Wilayah kajiannya sangat jelas yaitu hambatan belajar,
hambatan perkembangan, dan kebutuhan khusus pendidikan, baik yang sifatnya
temporer maupun permanen. ‘Area of congruence’ disiplin ilmu pendidikan
khusus mencakup tiga aspek meliputi: (1) interaction and communication
impairment, (2) behavior and social – emotional impairment, (3) perceptual motor
impairment. Area ini dapat terjadi pada setiap jenis anak berkebutuhan khusus,
seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar,
anak cerdas dan berbakat istimewa, maupun jenis kelainan yang lain.

Dalam bidang pendidikan, sebelum menjadi pendidikan khusus, di Indonesia


lebih dikenal sebagai pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa dimaksudkan
mencegah, mengurangi, atau menghilangkan kondisi-kondisi yang mengakibatkan
gangguan-gangguan yang signifikan terhadap keberfungsian anak dalam bidang
akademik, komunikasi, lokomotor, atau penyesuaian, dan anak yang menjadi
targetnya disebut “exceptional children” (anak berkelainan atau anak luar biasa).
Namun, seiring waktu atas dasar persamaan hak dan kesetaraan berubah menjadi
pendidikan khusus. Pendidikan khusus berarti pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.

Peraturan Standar berakar pada gerakan hak penyandang ketunaan dan


mencerminkan pengalaman berbagai kelompok penyandang ketunaan.
Penyandang tunanetra dan tunarungu (meskipun jumlahnya sedikit) memperoleh
banyak keuntungan dari sistem pendidikan segregasi. Tanpa SLB, mereka
mungkin tidak memperoleh kesempatan pendidikan atau tidak dapat mengakses
kurikulum di sekolah reguler. Konferensi Salamanca setahun kemudian
didasarkan atas perspektif para profesional yang bekerja di sekolah-sekolah, yang
berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama.
Perbedaan utamanya adalah bahwa Peraturan Standar membicarakan tentang suatu
kelompok tertentu (penyandang ketunaan) dan hak-haknya. Dalam Salamanca
fokusnya terletak pada Keberagaman karakteristik dan kebutuhan pendidikan
anak.

18
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan
Khusus(1994).Hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama
tentang prinsip- prinsip dan praktek Pendidikan Inklusif. Dokumen ini
mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental. Beberapa
konsep inti Inklusi meliputi:
a. Anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan
kebutuhannya.
b. Perbedaan itu normal adanya.
c. Sekolah perlu mengakomodasi semua anak
d. Anak penyandang ketunaan seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar
tempat tinggalnya.
e. Partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi.
f. Pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari inklusi
g. Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan
kebalikannya.
h. Inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat.
i. Inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia
secara penuh.
j. Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk SEMUA anak karena membantu
menciptakan masyarakat yang inklusif.
k. Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.
Pendidikan Inklusif tidak hanya menyangkut inklusi penyandang ketunaan.
Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapat banyak kelompok
yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan inklusi pada esensinya adalah
menciptakan system yang dapat mengakomodasi semua orang. Namun, demi
alasan historis dan alasan lainnya (dibahas kemudian), inklusi penyandang
ketunaan telah memberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakan
dan praktik sistem pendidikan umum. Dokumen-dokumen selanjutnya yang
spesifik mengenai penyandang ketunaan setelah dokumen Jomtien lebih jauh
mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan hak penyandang ketunaan atas
pendidikan dalam prakteknya.

Sebelum pendidikan inklusi, Indonesia mengenal sistem pendidikan segregasi.


Pendidikan segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus

19
dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa
satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan
peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak
tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa),
SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB)
terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan
pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah dari sistem
pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan,
sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya.

Kelebihan dari sistem pendidikan segregasi adalah memberi rasa ketenangan


pada anak luar biasa, komunikasi yang mudah dan lancar, metode pembelajaran
yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak, guru dengan latar
belakang pendidikan luar biasa, sarana dan prasarana yang sesuai, merasa diakui
kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan,
dapat mengembangakan bakat, minta. dan kemampuan secara optimal, lebih
banyak mengenal kehidupan orang normal, mempunyai kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, harga diri anak luar biasa
meningkat, dapat menumbuhkan motivasi dalam belajar, guru lebih mudah untuk
merencanakan dan melakukan pembelajaran, dan siswa tidak menjadi bahan
ejekan dari siswa lain yang norma. Sedangkan kelemahannya adalah sosialisasi
terbatas, penyelenggaraan pendidikan yang relatif mahal, bebas bersaing, egoistik,
menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan, efektif dan efisien untuk
kepentingan individu, menumbuhkan disintegrasi, tidak terikat, dan mahal dan
butuh fasilitas banyak spesifik dan spesial.

Seiring berkembangnya waktu dan gaung kesetaraan pendidikan yang terus


digaungkan karena ketidakpuasan pada sistem pendidikan segregasi yang dinilai
terlalu mengkotak-kotakkan, memunculkan sistem pendidikan baru, yaitu
pendidikan integrasi. Pendidikan integrasi adalah sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan
integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang
membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak
normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan

20
dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian,
jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah
siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus
melayani berbagai macam kelainan

Kelebihan dari sistem integrasi adalah anak berkebutuhan khusus dapat


bermain bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Ini berarti ada proses
sosialisasi sedini mungkin, saling mengenal antara anak berkebutuhan khusus dan
yang tidak, begitu pula sebaliknya. Ini akan berdampak pada pertumbuhan sikap
anak-anak tersebut, yang akan bermanfaat pula kelak jika mereka telah dewasa.
Kelebihan lain adalah anak berkebutuhan khusus mendapatkan suasana yang lebih
kompetitif, karena di sekolah umum ada lebih banyak anak dibanding SLB, anak
berkebutuhan khusus dapat membangun rasa percaya diri yang lebih baik, anak
berkebutuhan khusus dapat bersekolah di mana saja, bahkan sekolah yang dekat
dengan tempat tinggalnya, asal ia memenuhi persyaratan yang diminta; jadi tidak
perlu terpisah dari keluarga mereka, dan dari sisi kurikulum, dengan menempuh
pendidikan di sekolah umum, anak berkebutuhan khusus akan mendapatkan
materi pelajaran yang sama dengan anak pada umumnya.

Kelemahan dari sistem integrasi adalah anak berkebutuhan khusus harus


menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan kurikulum yang ada. Pada
saat-saat tertentu, kondisi ini dapat menyulitkan mereka. Misalnya, saat anak
diwajibkan mengikuti mata pelajaran ”menggambar.” Karena memiliki hambatan
penglihatan, tentu saja siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus tidak
bisa ”menggambar.” Tapi,karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang
”ketat”, ”tidak fleksibel,”tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun siswa
berkebutuhan khusus untuk melakukan ”adaptasi atau substitusi” –untuk mata
pelajaran ”menggambar” tersebut.Yang dimaksud substitusi adalah menggantikan
mata pelajaran tersebut dengan tugas lain yang memiliki nilai kompetensi sama.
Misalnya, menggambar adalah mata pelajaran yang melatih kreatifitas otak kanan
untuk bidang visual; bisa digantikan dengan tugas lain yang memiliki tujuan
kompetensi sama atau setara, misalnya mengarang.

21
Sistem pendidikan integrasi yang dinilai belum mengimplementasikan
kesetaraan pendidikan bahkan cenderung dianggap sebagai kegagalan
memunculkan sistem pendidikan yang dianggap dapat mencakup kebutuhan serta
menjunjung nilai kesetaraan, yaitu pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah
sistem layanan pendidikan yang mengatur agar siswa dapat dilayani di sekolah
terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Tanpa harus
dikhususkan kelasnya, siswa dapat belajar bersama dengan aksesibilitas yang
mendukung untuk semua siswa tanpa terkecuali difabel. Pendidikan inklusif
bertujuan untuk menyatukan atau menggabungkan pendidikan reguler dengan
pendidikan khusus ke dalam satu sistem lembaga pendidikan yang dipersatukan
untuk mempertemukan kebutuhan semua. Pendidikan inklusif bukan sekedar
metode atau pendekatan pendidikan melainkan suatu bentuk implementasi filosofi
yang mengakui kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk
membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Tujuan pendidikan inklusif
adalah untuk menyatukan hak semua orang tanpa terkecuali dalam memperoleh
pendidikan.

Kelebihan dari sistem pendidikan inklusi adalah anak berkebutuhan khusus


maupun anak pada umumnya dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan
tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat
terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Kelemahan dari sistem pendidikan ini
adalah minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusif
menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar –benar dipersiapkan
dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang
memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel).

22
BAB IV

KESIMPULAN

Filosofi pendidikan khusus adalah landasan yang ingin mensejajarkan semua


individu menjadi suatu kesatuan yang kokoh dengan tidak memandang perbedaan
demi menciptakan keselarasan antar individu yang mempunyai kelebihan maupun
kekurangan agar bersatu padu dan menciptakan tujuan yang sama dengan
berpedoman pada pancasila dan makna yang terkandung didalamnya, juga pada
semboyan negara kita bhineka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap
satu jua, sebagaimana besarnya perbedaan individu terutama di bidang pendidikan
tetapi satu tujuannya untuk mencerdaskan bangsa ini

Fokus perhatian pendidikan luar biasa lebih diarahkan kepada label kecacatan,
dan layanan pendidikan didasarkan pada kategori kecacatan. Konsekuensi dari
konsep pendidikan luar biasa melahirkan bentuk layanan pendidikan bagi
anak-anak penyandang cacat bersifat segregasi dan integrasi. Sementara itu istilah
pendidikan khusus bukan istilah baru sebagai pengganti istilah pendidikan khusus,
tetapi merupakan perluasan konsep pendidikan luar biasa. Fokus perhatian
pendidikan khusus diarahkan pada perbedaan individu dalam perkembangan dan
hambatan belajar. Oleh karena itu layanan pendidikan anak anak seperti itu tidak
harus selalu di sekolah khusus, tetapi dapat dilayani di sekolah biasa sepanjang
hambatan belajarnya dan kebutuhannya dapat dilayani. Dengan perkembangan
cara pandang baru berdampak positif terhadap layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Dengan adanya sistem pendidikan segregasi, integrasi, dan
inklusi, para anak berkebutuhan khusus dapat menentukan alternatif yang tepat
untuk mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Murni Winarsih. 2017. Pendidikan Integrasi dan Pendidikan Inklusi. Universitas


Negeri Jakarta. Hikmah: Vol. XIII, No. 2, hal. 113-136.

Ratnaningsih, Erna. (2016). Pergeseran Paradigma Tentang Penyandang


Disabilitas dalam UU No. 8 Tahun 2016. diakses melalui
https://business-law.binus.ac.id/2016/04/29/pergeseran-paradigma-tentang-
penyandang-disabilitas-dalam-uu-no-8-tahun-2016/ pada 07/10/2022 pukul
15.00

Rigmalia, Dr. Dante, M.PD dan Lismainar, S.Psi, M.Pd., Psikolog. 2019. Prosedur
Layanan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada Sekolah
Penyelenggara Pendidikan Inklusif. Cetakan I : Juli 2019. Jawa Tengah:
CV. Intishar Publishing.

Rochyadi, Endang. 2011. Belajar dari Kegagalan Sistem Layanan Pendidikan


Integrasi. Universitas Pendidikan Indonesia. JASSI_Anakku: Vol.10
Nomor 1, hal. 90-105

Salim, Abdul. Gunarhadi, dan Mohammad Anwar. 2015. Pembelajaran


Terdiferensiasi bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif. UNS
Press: 2015. Surakarta.

Santoso, Meilanny Budiarto; Nurliana Cipta Apsari. (2017). Pergeseran


Paradigma dalam Disabilitas. Journal of International Studies. Volume 1
No. 2 Mei 2017 e-ISSN. 2503-443X halaman 166-176

Widyawati, Setya. Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu


Pendidikan. Gelar: Jurnal Seni Budaya Volume 11 No. 1, Juli Tahun 2013.
Hal. 87-96.

24

Anda mungkin juga menyukai