Anda di halaman 1dari 4

MENANGANI ANAK BERBAKAT

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang membedakan antara manusia


dengan binatang adalah kemampuan intelektualnya. Dengan kemampuan ini manusia
dapat melakukan perubahan kebudayaan maupun pembaharuan teknologi di dalam
masyarakat. Oleh karenanya pendidikan yang antara lain berfungsi mengembangkan
kemampuan ini, tidak boleh hanya semata-mata menyajikan kumpulan pengetahuan yang
sifatnya materi hafalan belaka. Sekolah-sekolah sebagai institusi pendidikan seyogyanya
dapat mewujudkan lingkungan yang baru, penuh kekayaan pengalaman yang bersifat
human, fleksibel dan mengandung tantangan untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap
individu. Bila diamati secara cermat, setiap manusia memiliki ciri, kecenderungan dan
potensi sendiri-sendiri sebagai anugerah Tuhan dan alam (a gift of God and nature). Di
sini kita akan menemukan anak manusia dengan kemampuan biasa (rata-rata) atau luar
biasa (di bawah atau di atas rata-rata). Anak dengan karakteristik yang beragam itu
memerlukan cara perlakuan dan penanganan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai
tumbuh kembang yang optimal.
Khusus untuk anak-anak yang berkemampuan di atas rata-rata (dalam konteks ini
dikatakan sebagai anak berbakat) perlu ditemukenali lebih jauh agar para guru dan
orangtua dapat memahami kemampuan anak berbakat dibandingkan dengan kemampuan
anak lainnya, sehingga para guru dan orangtua akan lebih efektif dalam membina dan
membimbing anak. Sementara bagi sang anak sendiri, akan tercukupi kebutuhan-
kebutuhannya serta terpuaskan keinginannya untuk mengembangkan bakatnya.
Siapa sebenarnya anak berbakat itu? Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-
orang profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi
karena memiliki kemampuanh yang unggul. Kemampuan yang dimaksud tidak sebatas
kemampuan melihat hubungan-hubungan logis dan mengadaptasi prinsip-prinsip abstrak
kepada situasi konkret, tetapi juga memiliki kemampuan menggeneralisasikan, lebih dari
orang lainnya. Oleh karenanya, kita dapat mendefinisikan anak berbakat itu sebagai anak
yang : (1) memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata; (2) memiliki tanggung jawab
(komitmen) yang tinggi terhadap tugas; (3) memiliki kreativitas yang tinggi. Dengan
demikian, anak berbakat akan mampu mengembangkan sifat-sifat tersebut dan
menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat.
Anak berbakat (gifted) harus dibedakan dengan anak genius. Karena anak genius adalah
anak berbakat tetapi dengan taraf sangat tinggi (highly gifted) jauh di atas anak berbakat
pada umumnya walaupun anak berbakat itu sendiri telah memiliki kemampuan di atas
rata-rata.
Berdasarkan teori Triarchic, pada prinsipnya ada 3 macam keberbakatan:
Pertama, bakat analitik, yakni bakat dalam memilah masalah dan memahami bagian-
bagian dari masalah tersebut. Kedua, bakat sintetik, yakni bakat dalam kemampuan
intuitif, kreatif dan cakap dalam mengatasi situasi-situasi tertentu. Ketiga, bakat praktis,
yakni bakat dalam analitik maupun sintetik dalam kehidupan sehari-hari
Bagian terpenting dari teori di atas menurut Stenberg adalah kemampuan
mengkoordinasikan 3 aspek kemampuan dan bagaimana mengaplikasikannya untuk
memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu menurut Stenberg, orang yang berbakat adalah
orang yang mampu mengelola sendiri cara berpikir yang baik.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian Terman, ada empat macam keberbakatan
dengan segala macam karakteristiknya:
Pertama, keberbakatan akademik dengan karakteristik antara lain : memiliki
perbendaharaan yang maju, meninat terhadap buku dan membaca lebih dini, menyukai
buku bacaan orang dewasa, cepat dalam belajar dan mudah mengingat, cepat memahami
hubungan sebab akibat, memiliki rasa ingin tahu yang besar dan sebagainya.
Kedua, keberbakatan kreatif dengan karakteristik antara lain: menyukai kerja
sendiri dengan cara sendiri, senang bereksperimen dan penuh imajinasi, mampu berpikir
dengan banyak cara, banyak menghasilkan ide-ide bagu dan sebagainya.
Ketiga, keberbakatan kepemimpinan dan sosial dengan karakteristik: menarik dan
rapi dalam penampilan, diterima oleh mayoritas, memberikan sumbangan yang positif
dan konstruktif, bersikap adil/netral, memiliki tenggang rasa, dan sebagainya.
Keempat, keberbakatan seni dengan karakteristik mampu menyusun nada-nada
orisinal, menyukai aktivitas musikal, mudah mengingat dan memproduksi melodi,
memiliki titi nada yang sempurna, dapat memainkan berbagai instrumen/alat musik, dan
sebagainya.
Anak berbakat memerlukan berbagai kebutuhan khusus sesuai dengan ciri
keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Kebutuhan khusus inilah yang
memerlukan layanan khusus dalam bentuk pendidikan luar biasa (special education)
karena sifatnya yang amat khusus.
Menurut Virgil Ward, pendidikan anak berbakat intelektual berbeda dengan anak
yang lain dan seyogyanya amat menekankan pada aspek aktivitas intelektualnya.
Disamping itu, pembelajaran anak berbakat harus diwarnai kecepatan dan tingkat
kompleksitas yang lebih sesuai kemampuannya yang secara riil lebih tinggi dari anak
biasa.
Sementara Kitano dan Kirby menambahkan bahwa individu berbakat memerlukan
pertimbangan khusus dalam pendidikannya, karena secara kualitatif berbeda dengan
individu lainnya. Program pendidikan yang dirancangpun harus berbeda dengan program
pendidikan untuk anak lainnya, dengan penekanan luar biasa pada perkembangan kreatif
dan proses berpikir tinggi. Sehubungan dengan itu, hafalan dalam pembelajaran bagi
anak berbakat harus sejauh mungkin dicegah. Tekanannya justru pada teknik yang
berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
Di sinilah dibutuhkan kurikulum yang berdiferensiasi bagi anak berbakat, terutama yang
mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan
menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual
tingkat tinggi, meskipun kurikulum nasional sepenuhnya juga diperlukan oleh anak
berbakat. Agar materi belajar tidak terlalu sempit maka berbagai wahana luar sekolah
seperti kegiatan di masyarakat atau kegiatan ekstrakurikuler dengan pengkajian suatu
obyek perlu lebih digiatkan untuk mendukung kurikulum yang berdiferensiasi.
Sementara bagi orangtua, anak berbakat tetap harus dibimbing dan diasuh sebagai anak
lainnya, yakni dicukupi kebutuhan-kebutuhannya baik fisik (sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan, dll) maupun psikis (kenyamanan, ketenangan, kasih sayang dan
perlindungan maupun rekreasi) secara penuh. Itu artinya, anak berbakat memerlukan
perlakuan dan penanganan khusus agar anak berbakat dapat berkembang secara optimal
sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tugas guru dan orangtua adalah mengkondisikan
situasi lingkungan belajar anak agar mampu mendukung tumbuh kembang
keberbakatannya sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.

Golden age, merupakan masa-masa penting bagi tumbuh kembang anak-anak.


Para ahli psikologi dan pendidikan, sepakat tentang hal ini. Dr. Maria Montessori, ahli
pendidikan anak dari Itali (1870-1952), pernah mengatakan “Working with children older
than 3 years is too late to have the most beneficial effect on their life”.

Penanganan golden age di Indonesia diakomodir oleh pemerintah melalui jalur


nonformal. Sejak dicantumkan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas,
pendidikan untuk anak usia dini mulai disosialisasikan oleh Depdiknas bersama
masyarakat. Secara nyata, dapar terlihat dari meningkatnya jumlah berbagai
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD) di berbagai daerah. Menurut data
yang tercatat tahun 2006 lalu, ada sekitar 71,2 % anak usia 0-6 tahun di tanah air yang
sebagian darinya menjadi target rangkulan program PAUD.

Keruwetan antara PAUD dan TK Pendidikan untuk anak usia dini adalah salah
satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke
arah pertumbuhan dan perkembangan fisik anak (koordinasi motorik halus dan kasar),
kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio
emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan
keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini (2 s/d 4 tahun).

Masalah klasik yang kerap muncul di setiap diskusi tentang PAUD, yaitu masalah
pembatasan pendidikan formal dan nonformal antara PGTK dan PAUD, yang pada
prakteknya hingga kini masih dianggap tidak memiliki pembatasan yang jelas. TK
(pendidikan formal), mencakup usia 4 s/d 6 tahun. Sedangkan PAUD (pendidikan
nonformal) pun menyediakan konsepnya untuk anak usia 2 s/d 6 tahun. Masalah ini
kembali mengemuka di sesi dialog interaktif dalam acara Pelatihan Capacity Building
dan Rakor HIMPAUDI (Himpunan pendidik dan Tenaga Kependidikan Indonesia)
tanggal 26 s/d 28 Januari 2007, yang dihadiri tak kurang dari 30 orang pimpinan cabang
HIMPAUDI dari berbagai daerah di Indonesia. Antara lain dari Yogya, Jakarta, Bandung,
Banten, hingga Flores.

Direktur PTK-PNF, Erman Syamsudin memberikan tanggapannya atas masalah


tersebut. Ada beberapa ide yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan keruwetan ini. Ia
memaparkan, akan sangat menyepakati ide-ide untuk berbagi lahan. Misalkan saja, untuk
perkotaan menjadi cakupan lahan bagi TK, dan PAUD “mengisi” lahannya di pedesaan.
PAUD pun bisa mengatasinya jika di daerah tersebut tidak tersedia Taman Kanak-kanak.
Untuk TK dan PAUD yang berada dalam satu atap, maka disarankan olehnya untuk
berbagi usia peserta didik. PAUD mengambil calon murid yang berusia 2 s/d 4 tahun,
sedangkan TK mencakup anak-anak yang berusia 4 s/d 6 tahun. Namun menurut
penuturannya, sampai sekarang memang belum semua pemahaman bisa sama, belum
semuanya bisa disepakati dan dijalankan di lapangan karena sejauh ini ide-ide berbagi
lahan dan berbagi usia peserta didik belum menjadi sebuah kebijakan di tingkat diknas
sendiri. Kualitas Pendidik PAUD Menurut data yang cukup sering dipaparkan Direktorat
PTK-PNF (Dittentis tahun 2004), didapati kekurangan jumlah tenaga pendidik PAUD
sebesar 311.028 orang dari jumlah ideal yang seharusnya dipenuhi yaitu sebanyak
359.235 orang. Kini, tercatat ada 48.000 lebih tenaga pendidik PAUD yang tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia.

Dari beberapa masalah yang disampaikan pada acara Pelatihan Capacity Building
dan Rakor HIMPAUDI pada akhir Januari lalu, antara lain adalah masalah tentang mutu
tenaga pendidik PAUD yang masih disangsikan. Masih banyak tenaga pendidik yang
dianggap ‘jadi-jadian’ karena back ground pendidikan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan PAUD. Walaupun banyak sarjana yang menjadi tenaga pendidiknya, tetapi
PAUD terkesan menjadi tempat “batu loncatan” bagi para lulusan perguruan tinggi.
Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak menguasai paedagogi dan andragogi.

Diungkapkan pula beberapa kerisihan terhadap konsep dan model-model


pendirian PAUD yang ada sekarang. Terhadap masalah ini, diharapkan agar PAUD
memliki standarisasi konsep dan sistem pengelolaan yang sama untuk semua PAUD di
seluruh Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai