Anda di halaman 1dari 91

BAB 4

KARAKTERISTIKANAK-ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Anak-anak berkebutuhan khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru


menurut Kauffman & Hallahan ( 2005:28-45), antara lain sebagai berikut.
1. Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak-anak dengan
hendaya perkembangan (Child with development impairment).
2. Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak-anak yang berprestasi
rendah (Specific Learning Disability).
3. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive).
4. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder).
5. Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness)
6. Tunanetra (Partiallyseing and Legally blind) atau disebut dengan anak-
anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan .
7. Anak-anak Autistik (Autistic children).
8. Tunadaksa (Physical disability).
9. Tunapada (Multiple Handicapped).
10. Anak-anak berbakat (Giftedness and special talents).

A. ANAK-ANAK TUNAGRAHITA (ANAK-ANAK DENGAN


HENDAYA PERKEMBANGAN)
1. Karakteristik
Anak-anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intelek-
tual di bawah rerata. Selain itu juga mengalami hambatan terhadap perilaku
adaptif masa perkembangan hidupnya dari 0 tahun hingga 18 tahun, sesuai
dengan batasan dari AAMD (Grossman ,1983:1 1) sebagai berikut.

Mental retardation refers to signiflcantlysubaveraye general in tellectuol


functioning resulting in or associated with concurrent impairments in
adaptive behavior and manifested during the developmental period"
(Smith, Ittenbach, and PattoR. 2002:54; Hallahan & Kauffman,
1991:80).

Definisi AAMD (1983) mengisyaratkan adanya kemampuan intelektual


jika diukur dengan WISC-R111 (1991), mempunyai skor IQ 70, mempunyai
hambatan pada komponen yang tidak bersifat intelektual, yakni perilaku adaptif
(adaptive behavior). Dewasa ini berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan's
(1997) berkaitan dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual, dan
keterampilan sosial, maka pengertian perilaku adaptif mengalami perubahan
pandangan. Semula perilaku adaptif hanya bersifat komponen pelengkap yang
dianggap kurang penting dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Namun,
saat ini perilaku adaptif justru sama pentingnya dengan kemampuan intelektual
dalam menentukan seseorang termasuk, sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang
perilaku adaptif yang menjadi perhatian untuk diobservasi meliputi hal-hal
sebagai berikut.
a. Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi, meliputi: makan,
minum, menyuap, berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara
kesehatan diri.
b. Perkembangan fisik, meliputi keterampilan anak (gross dan fine motor)
c. Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.
d. Keterampilan sosial, meliputi keterampilan bermain, keterampilan
berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam
pergaulan, perilaku seksual, tanggungjawab terhadap diri sendiri, kegiatan
memanfaatkan waktu luang, dar. ekspresi emosi.
e. Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar (seperti
pengetahuan tentang warna), rnembaca, menulis, fungsi-fungsi pengenaian
terhadap angka, waktu, uang, dan pengukuran.
f. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,
berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan
diri, memelihara diri secara praktis.
g. Keterampilan barbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelania kegiatan
di bank, dan cara mengatur pembelanjaan.
h. Keterampilan domestik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan
memperbaiki barang-barang yang pada di rumah, cara membersihkan data
mencul, keterampilan dapur, dan menjaga keselamatan rumah tangga.
Pembelajaran Anak-anak Berkebutuhan Khsusus
i. Orientasi lingkungan, meliputi keterampilan melakukan perjalanan,
memanfaatkan sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, dan
menjaga keselamatan lingkungan.
j. Keterampilan, vokasional, meliputi kebiasaan bekerja serta perilakunya,
keterampilan mencari pekerjaan, penampakan diri sebagai karyawan/
pekerja, perilaku sosial dalam pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja.
(Smith dkk, 2002:99).

Berdasarkan definisi tersebut, maka karakteristik anak-anak dengan hendayo-


perkembangan (tunagrahita), meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti
anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.
b. Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali
melakukan kesalahan (expectancy for filure).
c. Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi
kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness).
d. Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
e. Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial
(socialbehavioraiD.
f. Mempunyai masalah berkaitan dengan karakteristik belajar.
g. Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan.
h. Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.
i. Kurang mampu untuk berkomunikasi.
j. Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak.
k. Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala,
depresif menurut hasil penelitian dari Meins tahun A995 (Smith, et at.,
2002:278-289).

2. Perspektif Berdasarkan Definisi


Dewasa ini definisi American Association on Mental Disorder (AAMD) dari
Grossman 0983), bergeser dan digantikan dengan definisi American Asso
Ciation of Mental Retardation dari Luckasson (1992). Definisi AAMR_ 0 992)
menyatakan bahwa:

Mental Retardation "refers to substantial limitations in present


functioning. It is characterized by sign ifican dy s uba verage intellectual
functioning, existing concurrently with related limitations in two or more
of the following applicable adaptive skills areas.
communication, selfcare, homeliving, social skills, community use, self
direction, health and safety, functional academic, leisure and work.
Mental retardation menifests before age 18" (Luckasson, 1992:1 dalam
Snith, et al. 2002:56).

Secara implicit definisi tersebut mengemukakan adanya empat fungsi,


yang esensial dan perlu mendapatkan perhatian saat penerapan di lapangan.
Keempat fungsi tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.
a. Saat proses asesmen diterapkan, asesmen dapat dikatakan valid bila'
penggunaan instrurnen dan proses kegiatannya memperhatikan aspek-=
aspek budaya dan perbedaan linguistik, dan cara melakukan komunikas
serta faktor-faktor berkaitan dengan perilaku.
b. Terjadinya keterbatasan kemampuan untuk menyesuaikan diri
(adaptivebehavior) berkaitan eras dengan lingkungan kehidupan yang
bersifat khusus dari pasangan seumurnya. Keterbatasan penyesuaian diri
daps dipalkai sebagai petunjuk bahwa anak-anak dengan hambatan
perkernbanga6, memerlukan bantuan layanan untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya
c. Keterbatasan dalam menyesuaikan diri selalu diikuti dengan kernuncula
kemampuan pribadi lainnya.
d. Melalui bantuan layanan dalam periode waktu yang cukup lama seta terus-
menerus, keberfungsian kehidupan pribadi anak, dengan hambata
perkembangan pada umumnya dapat meningkat.

Terdapat beberapa perubahan signifikan yang muncul pada definisi AAM


(Luckasson, 1992) yang belum narnpanak pada definisi AAMD (Grossma 1983),
antara lain sebagai berikut.
a. Spesifikasi perilaku noradaptif ditentukan dengarrmelihat adanya dua atau,
lebih "kelainan" yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan
adaptif, yakni komunikasi, bina diri, melakukan kegiatan sehari-hari di
rumus keterampilan social, kemampuan menggunakan peralatan yang
pada rumah, mengatur diri sendiri, menjaga kesehatan dan keselarnatan di
kemampuan akademik, pekerjaan, dan cara menggunakan waktu luang.
b. Teterdapat tiga langkah prosedur pemberian layanan anak-anak dengan
henpada perkembangan berkaitan dengan pola mendiagnosis, pola
mengkla fikasikan, dan pola mengidentiflkas-I.Langkah-langkah dari
ketiga proses tersebut adalah:

1. melakukan diagnosis berkaitan dengan ketidak mampuan diri terhadap


sepuluh daerah keterampilan (dua atau lebih);
2. melakukan klasifikasi dan pendeskripsian kemampuan atau kelema
han dan kebutuhan terhadap layanan khususnya; dan
3. menentukan profit dan iritensitas kebutuhan khusus, meliptui tiga
dimensi yakni berupa keberfungsian intelektual dan keterampilan
dalam penyesuaian diri, mempertimbangkan faktor psikologis dan
emosional, mempertimbangkan kesehatan pribadi atau etiologi, serta
pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

c. Terdapat sistem baru dalam pengklasifikasian setia pribadi anak-anak


yang mempunyai hendaya perkembangan berkaitan dengan rekomendasi
sampai sejauhmana "tingkat keberadaannya" apakah sewaktu-waktu,
secara terbatas, secara meluas, atau menembus sesuai dengan keperluan-
nya inii berarti klasifikasi tidak berdasarkan atas skor intelligence
quotients.
d. Perkembangan profif kebutuhan layanan akan berdasarkan pada empat
dimensi yaitu:
1. keberfungsian intelektual dan kemampuan beradaptasi;
2. Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan psikologikal atau
emosional;
3. Pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan kesehatan atau etiologi;
dan
4. pertimbangan-pertimbangan berkaitan dengan lingkungan hidup.
Instrurnen asesmen yang rnenghasilkan skor IQ yaitu Wechsler
Intelligence Scale for Children Revised (WISCR), dan The AAMD Adaptive
Behavior ScaleSthool Edition atau The Adaptive Behavior Inventory for Children
(ABIC) yang menghasilkan informasi berkaitan dengan perilaku adaptif yang
bersifat non akademik, sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan di Indonesia.
Termasuk sudah penentuan klasifikasi terhadap anak-anak dengan hendaya
perkembangan serta patokan dalam pemberian layanan khusus terhadapnya. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa pendapat para ahli yang menyatakan bahwa
terdapat beberapa kelemahan jika bentuk tes tersebut di terar)kan pada wilayah di
luar Amerika Serikat.

Hallahan dan Kauffman (1991:93), menyatakan bahwa pada empat hat


Yva I N perlb diperhatikan pada kedua tes, yaitu: WISCR dan AAMD Adaptive
BehaviorScale School Edition atau Adaptive Behavior Inventory for Children
akan ti erapkan di ;apangan, antara lain sebagai berikut.
a. Kemampuan individu akan berubah secara dramatis dari waktu ke waktu
sehingga memungkinkar. skor IQ berubah pula.
b. Seluruh item tes IQ akan menemui kesulitan bila diterapkan pada anak-
anak anak-anak yang berlatar belakang di luar budaya bangsa Amerika
tempat instrumen tersebut dibuat.
c. Tes IQ terhadap anak-anak usia dini hainpir tidak mungkin dapat
dilaksanakan, padahal validitasnya cukup tinggi.Terhadap anak-anak usia
mupada dan dewasa tes mempunyai validitas dan rebilitas
berkecenderungan sangat rendah.
d. Tes IQ bukan "merupakan titik awal dan titik akhir" atau " and end all"
untuk dipergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kemampuan individu
secara menyeluruh dalam fungsi kehidupan sosial.

3. Perspektif Sosiologikal Anak-anak dengan Hendaya Perkembangan


Jane Mercer (1973 dalam Patton, 1986:43) kurang mer.yetujui penggunaan
suatu pendekatan yang berhubungan dengan pembatasan atau definisi
"ketunagrahitaan" seperti yang telah dikemukakan oleh Heber (definisi tahun
1959 dan 1961) maupun Grossman (definisi tahun 1973 dan 1983) dalam
menentukan apa yang disebut dengan "ketidak normalan perilaku."
Pendekatan atau definisi Heber dan Grossman merupakan pandangan
Yang bersifat tradisional atas dasar perspektif klinis dan patologis/ medis, dan
model statistik. Model patologis memandang suatu "ketunagrahitaan" sebagai
bentuk "kelainan" akibat penyakit atau a disease, ditandai dengan kemunculan
gejala-gejala (Symptoms).
Model statistik selalu mengidentifikasikan satu bagian tertentu dari suatu
populasi yang dianggap abnormal. Model statistik membuat perbedaan antara
seorang individu dengan cara membandingkan prestasi individu dengan prestasi
yang dianggap kelompok normal." Pendekatan patologis dan statistik semestinya
hanya cocok dipergunakan dalam kegiatan mengidentifikasi terhadap kasus-kasus
atau pokok-pokok persoalan yang pada anak-anak dengan hendaya
perkembangan.
Dapat dikatakan bahwa apa yang pada dalam definisi AAMD (Grossman ,
1983) kurang memuaskan karena mengandung aspek-aspek pendekatan
tradisional ke arah patologis dan statistik. sebagai alternatif pemecahan, Jane
Mercer perspektif sistem sosial ( a social system perspective). sistem ini dapat
dipakai sebagai pencapaian status sosial seseorang dalamsuatu sistem sosial
tertentu tempat individu bersangkutan tinggal. la menyatakan sebagai berikut.

'The status of mental retardate is associated with a role which person


occupaying that status are expected to play. A person's careerin
acquaring the status playing the role of mental retardate can be described
in the same fashion as the career of a person who ocquaries any others to
tus such as lawyer ban kpresiden t or teacher" (Mercer, 7974dolorn
Patton, 1986:46).

Berdasarkan pernyataan Mercer tersebut, maka pendekatan dengan sistem


sosial memungkinkan diterapkan sebagai pola keseimbangan, dalam masyarakat.
Pendekatan ini dilakukan terhadap sejumlah anak-anak usia sekolah dari
kelompok sosial ekonomi yang rendah dan budaya minoritas.

4. Perspektif Psikometrik Anak-anak dengan Hendaya Perkembangan


Psikometrik merupakan ukuran variabel patologis berkaitan dengan inteligensi,
kemampuan berperilaku adaptif; dan kelainan atau gangguan emosional.
Memperhatikan definisi anak-anak dengan hendaya perkembangan dari
Grosman (1983) maka akan nampanak secara jelas kelemahan-kelemahan dari
definisi ini. Hal ini terjadi disebabkan dalam definisi tersebut hanya bersifat
perbandingan secara garis besar dari individu tertentu yang diicientifikasikan
sebagai "anak-anak dengan hendaya perkembangan".
Dapat dikatakan bahwa definisi tersebut kurang dapat mewakili sebagai
bentuk diagnosis secara objektif. Alasan untuk hal ini antara lain sebagai berikut.
Tidak praktis atau susah dalam penerapannya, karena dalam definisi tidak
dilengkapi dengan keobjektifan diagnosis.
a. IQ tes tidak mampu untuk menguji rasa takut (anxiety), kesehatan y4ng
rendah (poorhealthy), dan kelangkaan motivasi (lack ofmotivation).
Keadaan yang berkaitan dengan rasa takut dan kelangkaan motivasi
sesungguhnya berkaitan dengan prestasi seseorang.
b. IQ tes dilakukan sepenuhnya dengan secara lisan (verbal). Ini berarti
bahwa terhadap anak-anak berkebutuhan khusus, IQ tes tidak dapat
diterapkan karena sebagian besar mereka tidak mampu untuk melakukan
tanya-jawab secara tatap muka seperti anak-anak "normal", kecuali
dilakukan dengan cara observasi langsung. Faktor lainnya, tidak dapat
diterapkannya IQ tes disebabkan oleh faktor bahasa (linguistik yang tidak
terstandar seperti Inggris-Amerika). Jika dipaksa diterapkan, secara
otomatis individu yang bersangkutan larigsung menjadi "mentally
retarded."
c. IQ memberikan pandangan yang berat sebelah dalam asesmen berkaita
dengan inteliaensi bagi anak-anak yang berasal dari golongan yang
berbudaya minoritas dan kelompok ekonomi sosial yang rendah (Patio'et
al., 1986:50).

Banyak psikologi kurang menyetujui terhadap berbagai aspek yang pada


dalam definisi Grossman (1983), mereka menyatakan sebagai berikut,
a. Landasan dasar pemilihan terhadap kesepuluh wilayah keterampilan
berperilaku adaptif sebagai patokan penentuan perilaku nonadaptif
merupakan tindakan yang sewenang-wenang.
b. Pada beberapa kemampuan perilaku adaptif yang bukan merupakan
penting untuk dilakukan suatu diagnosis, seperti: keterampilan
menggunakan waktu luang (leisure time).
c. pengukuran yang berkaitan dengan perilaku adaptif ana dengan hendaya
perkembangan hanya bersifat tekni, (Smith, et 2002:101).

5. Perspektif Anak-anak isis Perilaku Sosial Anak-anak dengan Henpada


Perkembangan
Sidney Bijou (1966:2) memandang keterbelakangan perkembangan perila
merupakan fungsi interaksi seseorang yang diukur sejalan dengan keadaan sosial,
fisik, dan lingkungan biologis dari diri bersangkutan (dalam Patto 1986:50),
seperti pernyata3n berikut.
"Developmental retardation be treated as observable, objectively defined
stimuf, response relationships without recourse to hypothetical mental
concepts such "defective intelligence" and hypothetical biological
abnormalities such as "dinic inferred brain injury". From this poin t of
view a retarded individual is one who has lim repertoryof behaviorshaped
byevents that constitute the history."

Sejalan dengan pendapat Bijou , Repp (1983) berpendapat menge


perspektif anak-anak isis perilaku sosial sebagai berikut.
a. Semua perilaku-adaptif dan maladaptifdiperoleh dan diputuskan
berdasarkan prinsip-prinsip belajar yang sama terhadap anak-anak
hendaya perk bangan yang mampu belajar , walaupun mereka akan belajar
lebih lama dibandingkan dengan anak-anak "normal". Jadi sebaiknya
mereka tidak dengan petunjuk-petunjuk atau peraturan-peraturan tertentu
yang bepada dengan keberadaannya;
b. Sudah merupakan suatu asumsi dasar bahwa perilaku seseorang tergantung
pada kondisi-kondisi lingkungan" (dalam Patton, 1986:50).

Pendekatan anak-anak isis perilaku untuk anak-anak dengan hendaya


perkembangan dari Bijou sangat bijaksana bila diterapkan di Indonesia. Dengan
demikian maka yang paling logic berkaitan dengan pemberian definisi anak-anak
dengan hendaya perkembangan adalah,"Sornpai sejauhmana kemampuan
seseorang mampu merubah perilakunya sehingga sesuai dengan kondisi di
sekitarnya 7 " Kemampuan mengubah perilaku sesuai dengan kondisi sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan dengan intervensi-intervensi
yang mengarah kepada penyernbuhan. Intervensi yang bersifat penyembuhan
dapat dilakukan dengan menerapkan permainan terapeutik dan pola gerak. Hal itu
dikarenakan intervensi ini bersifat naturalistik dan mullah diterapkan terhadap
anak-anak berkebutuhan khusus (Bijou , 1966; Ullman & Krasner , 1969;
-Repp, 1983; Mercer, 1975: a.b.; dalam Patton, et al., 1986:52).

Orientasi perilaku sosial meluas melampaui prinsip-prinsip perilaku yang


mendasar yaitu: motivasi emosional, kognitif bahasa, dan sensorimotor. Ketiga
dasar perilaku itu sangat berguna untuk diterapkan pada situasi belajar mengajar.
Belgian merupakan suatu bentuk penjabaran tentang suatu sistem perkembangan
perilaku yang kompleks, diperoleh melalui interaksi individu dengan faktor-faktor
lingkungar. Berdasarkan hal ini maka ketiga bentukdasar rilaku tersebut dapat
dipergunakan saat berlangsungnya proses pembenkan perilaku seseorang (Staats,
1975; dalam Patton, et a1.,1986:52). pandangan tersebut, Konse dari fokus utama
orientasi perilaku sosial bagi anak-anak dengan hendaya perkembangan mengacu
pada perkembangan kete atau kecakapan, kondisi-kondisi pembelajaran (berupa
faktor-faktor linggkungan, dan pemberian penguatan terhadap elemen yang
menyertai dasar yang dan perilaku saat dilakukan pembelajaran sedang
berlangsung (Staat & Burn, 1981:290 dalam Patton, 86:52).
B. ANAK-ANAK DENGAN KESULITAN BELAJAR (LEARNING
DISABILITY) DAN ANAK-ANAK BERPRESTASI RENDAH

1. Anak-anak dengan Kesulitan Belmar atau Berprestasi Rendjh,


(Learning Disability)

Anak-anak yang berprestasi rendah (underachievers) umumnya kita temui di


sekolah; karerna mereka pada umumnya tidak mempunyai nenguasai bidang studi
tertentu yang diprogramkan oleh guru berdasarkan kurikulum yang berlaku. Pada
sebagian besar dari mereka mempunyai nilai pelajaran sangat rendah ditanpada
pula dengan tes Q berpada di bawah rata-rata normal. Untuk golongan ini dis but
dengan slow learners. Pencapaian prestasi rendah umumnya disebabka oleh faktor
minimal brain dysfunction, dyslexia, atau perceptual disability. Amerika Serikat
anak-anak yang berprestasi rendah disebut dengan istilah Sped Learning
Disability, dengan batasan sebagai berikut.
'Specific learning disability means a disorder in one or more of the basic
physiolog processes involved in understanding or in using language,
spoken or written, which m manifest it self in on imperfect ability to listen,
think, speak, read, write, spell, or to mathematical calculations. The term
indude-- such condition as perceptual handicapes, b injury, min .:Mal
brain dystunct..'ondysle Kiaand developmental aphosia. The term does
disru, bance, orofenvironmentalculturc7lorecono.-nicdisadl an tage"(1JS
Office of Educat 1977: p.65 083; Ashman and Elkins, 1994:242;
Hallahan & Kauffman, 1991:126,

Berdasarkan definisi tersebut, maka peserta didik yang tergolong dalam


specific learning disability mempunyai karakteristik sebagai berikut.
a. Kelainan yang terjadi berkaitan dengan faktor psikologis sehingga
menganggu kelancaran berbahasa, saat berbicara, dan menulis.
b. Pada umumnya mereka tidak mampu untuk menjadi pendengar yang
baik , untuk berpikir, untuk berbicara, membaca dan menulis, meng huruf,
bahkan perhitungan yang bersifat matematika.
c. Kemampuan mereka yang rendah dapat dicirikan melalui hasil test atau
tes prestasi belajar khususnya kemampuan-kemampuan berkas dengan
kegiatan-kegiatan di sekolah.
d. Kondisi kelainan dapat disebabkan oleh perceptual handicapes, brain ini
minimal brain dysfunction, dyslexia, dan developmental aphasia.
e. Mereka tidak tergolong ke dalam penyandang tunagrahita, tunalaras, atau
mereka yang mendapatkan hambatan dari faktor lingkungan, budaya atau
faktor ekonomi.
f. Mempunyai karakteristik khusus berupa kesulitan di bidang akademik
(academic difficulties), masalah-masalah kognitif (cognitive problems),
dan masalah-masalah emosi sosial (social emotional problems).

Kesulitan yang mereka dapatkan pada bidang akademik antara lain rnembaca
(Berry & Kirk, 1980), menulis dalam rnenyampaikan ide, mengeja suatu tulisan
yang bersifat cerita, melakukan komunikasi melalui tulisan atau Surat-menyurat;
dan matematika.Terutama pernaharnan terhadap konsep-konsep dan cara
melakukan perhitungan angka-angka (Bourke & Reevers, 1977; Mercer &
Miller, 1992).
Pada bidang kognitif, berkaitan Brat dengan kemampuan berpikir.
Umumnya peserta didik yang berprestasi rendah menunjukkan kekurang
mampuan dirinya dalam mengadaptasi proses informasi yang datang pada dirinya.
Baik melalui penglihatan , pendengaran, maupun persepsi tubuhnya (visual,
auditory and spatial perception). Mereka memedukan latihan untuk dapat
mengefektifkan daya ingatannya, perhatian dan kesadaran dirinya terhadap tugas-
tugas sesuai dengan karakteristik kelainannya (yang bersifat memory attention,
and metacognition).
Pada perkembangan emosi sosial, pada empat lingkup yang memerlukan
perhatian guru di sekolah, berupa:
a. konsepdiri terhadap fisiknya, daya berpikirnya, dan sosiainya
(selfconcept);
b. kepercayaan terhadap kesuksesan dalam melakukan tugas (causal
attributions);
c. berhubungan dengan keyakinan dirinya yang kurang menaruh perhatian
penuh terhadap sesuatu (learned helpessness); dan
d. kemampuan untuk bergaul atau berteman (social interaction).

Frustasi selalu dirasakan oleh anak-anak dengan kesulitan belajar. Hal ini
disebabkan mereka mempunyai masalah belajar di sekolah. Walaupun
kemampuan inteligensinya tidak lebih rendah dengan teman-teman sekelasnya
yang, normal. Umumnya anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
mempuynai kesulitan belajar satu atau lebih pada bidang akademik. Mereka Juga
memungkinkan mempunyai hendaya penyerta hiperaktif dan kurang atensi.

Indikasi untuk anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah


kekurangan atau terhambatnya perkembangan dalam beberapa bagian dari proses
belajar. Kesulitan belajar mungkin terjadi dalam satu atau lebih dari proses-
proses dasar pemahaman atau penggunaan bahasa tulis maupun lisan Contohnya,
anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar mernpunyai hambatan data
membaca, menulis, maternatika, mengeja huruf, mendengarkan, berpikir dan
mengingat-ingat, penyimpangan dalam keterampilan persepsi, keterarnpila, aerak,
atau pada aspek-aspek belajar lainnya. Oleh karena itu sebagian para ahli banyak
menggunakan istilah kesulitan belajar khusus (specific learnt disability) (Geddes,
D., 1981:111; Reynolds, CA.& Mann, L., 1987:1483; Lern J.W., 1985:7; Ashman
, A. & Elkins, J., 1994:241; PL-USA. 94-142).

Istilah kesulitan belajar khusus (specific learning disablity) banyak


diterapkan oleh para pendidik yang menunjukkan pada indikasi bahwa pada yang
bersangkutan secara jelas mempunyai masalah khusus dalam proses belajar.
Sebagai contoh, anak-anak yang tergolong ke dalam tipe disleksia yaitu
ketidakmampuan membedakan secara visual menjadi penyebab tidak mampu
mengidentifikasi huruf yang bentuknya hampir serupa, seperti huruf "b" dengan
huruf "d".

Walaupun beberapa anak-anak dengan kesulitan belajar khusus menunjuk


bukti-bukti yang kuat adanya cedera pada sistem saraf pusat, dibandingkan
dengan teman-teman yang normal, namun sesungguhnya mereka harus
mempunyai sistem saraf pusat yang tidak berfungsi (dysfunction). Halini dengan
adanya ketidak berfungsian otak anak bukan disebabkan adanya cara pada lapisan
otak. Para ahli menyatakan dengan istilah dysfunction sebabkan tidak ditemukan
bukti adanya cedera pada sistem saraf pusat ternyata saat dilakukan diagnosis
terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan (Hallahan & Kauffman,
1991:123).

Beberapa anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar juga mempun


permasalahan dalam bidang sosial emosional. Oleh karena itu pembuat program
pembelajaran nya hendaknya lebih menitik beratkan pada penyesuaian sosial.
Melalui latihan-latihan persepsi dimungkinkan dapat mendapatkan keterampilan
perseptualnya. Umumnya latihan-latihan perse, berkaitan erat dengan anak atau
perceptual motor (Hallahan & Kaun 1991:123). Kekurangan dalam pengalaman
satu atau lebih dari komponen- komponen dasar dalam proses belajar berkaitan
erat dengan perilaku pemotor (sensory motor & perceptual motor) (Geddes, D.,
1981:112; Lerne 1985:265). Kekurangan itu dapat dijembatani dengan
memanfaatkan anak (motorpattern) dan keterampilan anak (motorskills) sebagai
salah satu upaya intervensi guru dalam pembelajaran individual terhadap anak-
anak dengan hendaya kesulitan belajar. Dengan hal tersebut, dikemudian hart
siswa yang bersangkutan diharapkan dapat mencapai kemampuan secara umum
dan rnemperoleh peningkatan dalam kehidupanya. Poles anak (motor pattern)
dan keterampilan anak (motorskills) merupakan landasan utama dalam anak
irama (body movement) setiap individu.
2. Konsep Anak-anak dengan Hendaya Kesulitan Belajar (Learning
Disability)
a. Pengertian Anak-anak dengan Kesulitan Belajar
Permasalahan berkaitan dengan "arti kata" muncul saat memberikan definisi
terhadap istilah kesulitan belajar (learning disability). Hal tersebut terjadi saat
proses belajar ditinjau berdasarkan orientasi yang bersifat pendidikan dan klinis.
Para ahli klinis meriyebutnya dengan istilah "ketidak berfungsian cerebral secara
minimal atau adanya cedera pada otak" (minimal cerebral dysfunction or brain
injured) (Geddes, D., 1981:111; Lerner, J., 1985:51), ketidak berfunasian otak
anak secara minimal (minimal brain dysfunction) (Kelly & Vergason, 1978:91;
Lerner, J., 19885:35), disleksia (dyslexia) dan ketidak mampuan perceptual
(perceptual disabi,ity)(Ashrnan, A & Elkins, J., 1994:238).

Di sisi lain, para pendidik menyebutnya dengan istilah "hambatan dalam


pendidikan (educationally handicapped); atau hambatan berkaitan dengan
persepsi (perceptually handicapped). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
, secara umum mempunyai inteligensi yang berpada di rata-rata normal atau di
bawah rata-rata normal. Mereka yang dikategorikan sebagai anak-anak dengan
inteligensi di bawah normal, tidak diklasifikasikan sebagai tunagharita.

Pada dues definisi tentang kesulitan belajar (learning disability) yang


sangat berperan dalam penyusunan definisi yang pada Public Law (PL) 94-142,
the Education for All Handicapped Children Act (Departemen Pendidikan
Amerika Serikat, 1977). Kedua definisi tersebut adalah:
1. definisi dari hasil kongres panitia penasihat nasional untuk anak-anak luar
biasa di Amerika Serikat, dikenal dengan nama Congres of the National
Advisory Committee on Handicapped Children (1968), dan
2. definisi dari panitia kerja sama nasional untuk kesulitan belajar , dikenal
dengan nama: the NationalJoint Committee on Learning Disabilities
(NJDD) tahun 1981.

Konsep-konsep dasar utama dalam definisi pertama (PL 94-142), memuat


empat hal sebagai berikut.
1. Seseorang dinyatakan mempunyai hendaya kesulitan belajar dalam satu
atau lebih dari proses dasar psikologis (proses mengacu pada kemampuan
hakiki sebagai prasyarat penguasaan suatu keterampilan, seperti memori,
persepsi pendengaran, persepsi penglihatan , dan berbahasa secara lisan)
2. Seseorang mempunyai hambatan dalam belajar , khususnya berkaitan
dengan berbicara, mendengarkan, menulis, membaca (seperti, keteram-
pilan mengenali huruf dan pernahaniannya), dan maternatika
(penghitungan dan mengemukakan alasan-alasan).
3. Masalah kesulitan belajar yang pada bukan disebabkan oleh kasus-kasus
utama seperti hendaya visuaidan pendengaran, kelainan gerak,
tunagrahita, gangguan emosional, gangguan ekonomi, lingkungan, atau
keadaan yang merugikan yang diperoleh dari suatu budaya.
4. Terlihat adanya perbedaan yang sangat mencolok di antara potensi nyata
belajar anak-anak dan pencapaian kecakapan taraf rendah dari anak-anak
yang bersangkutan.

Sedangkan konsep-konsep utama dari definisi kedua (NJDD), meliput hal-


hal sebagai berikut,
1. Hendaya kesulitan belajar merupakan kelompok kelainan yang beraneka
ragam. Seseorang dengan hendaya kesulitan belajar banyak memunculkan
permasalahan yang berbeda.
2. Perrnasalahan yang terjadi merupakan masalah yang benar-benar pada
perorangan. Diartikan bahwa hendaya kesulitan belajar terjade akibat
adanya faktor yang pada diri sendiri bukan dari faktor-faktor eksternal
seperti sistem lingkungan atau sistem -pendidikan.
3. Perhatian terhadap hendaya kesulitan belajar hendaknya tertuju pada
ketidak berfungsian sistem saraf pusat. Karena telah dikenali sebaga
masalah yang mendasar dari faktor biologic.
4. Hendaya kesulitan. belajar , umumnya diikuti dengan kondisi kelainan lain
, Telah diketahui secara nyata bahwa umumnya Seseorang dengan
hendaya kesulitan belajar diikuti dengan hendaya penyerta seperti kelainaa
emosional pada saat yang bersamaan.

Menurut Nathan (1963), istilah kesulitan belajar (learning disabilit


diberikan kepada anak-anak yang mengalami kegagalan dalam situasi
pembelajaran tertentu. Dalam hal ini belajar didefinisikan sebagai "perubahan
perilaku yang terjadi secara terus-menerus yang tidak diakibatkan oleh kelelahan
atau penyakit" (dalam Cruickshank & Hallahan , 1975:4). Maka setiap
karakteristik yang bersifat individu merupakan hasil dari perpaduan pengaruh-
pengaruh lingkungan dan kondisi-kondisi genetika. Dengan demikian variabel-
variabel organismik, dan genetika sangat berpengaruh terhadap perilaku selarna
lingkungan juga turut berpengaruh. Pengaruh organismik dan genetika
memeriukan adanya respon lingkungan yang efektif (Throne, 1970,1972 dalam
Cruickshank & Hallahan , 1975:4).

Perubahan-perubahan dalam perilaku dan belajar setiap individu dapat


terjadi melalui manipulasi variabel lingkungan dan genetika pada situasi khusus
dari suatu perkembangan yang bersifat individu. Dengan demikian terhadap anak-
anak dengan hendaya kesulitan belajar (learning disability), tunagrahita (mentally
retarded), dan cerebral palsy mempunyai dampak terhadap kemampuan
mengatasi kondisi-kondisi lingkungan secara luar biasa yang berbeda dengan
anak-anak normal. Jika inteligensi didefinisikan secara operasional sebagai
"proses melalui pembelajaran terhadap anak-anak yang menggunakan sarana
budaya dalam upaya untukmengetahui dan melakukan manipulasi lingkungan",
maka dapat dikatakan bahwa setiap perkembangan inteligensi secara langsung
berkaitan dengan dukungan yang berhubungan dengan azas keturunan (genetika)
dari perseorangan dan beberapa lingkungan tempat anak-anak hidup. Perbedaan
lingkungan mempunyai pengaiuh yang berbeda terhadap perkembangan
inteligensi. Dan secara relatif proporsi genetika dan lingkungan akan berbeda-
bepada pula hasilnya dalam tes inteligensi.

Faktor-faktor lingkungan anak, nutrisi, dan kesehatan merupakan hal yang


penting bagi perkembangan dan pertumbuhan bayi dan anak-anak. Perhatian
terhadap perbedaan-perbedaan dalam, strategi belajar yang memasukkan
pengaruh-pengaruh lingkungan dan perkembangan mental merupakan aspek
aspek kualitatif dari perilaku anak-anak. Konsep dasar dalam kesehatan
menyatakan bahwa pemberian makanan secara tepat dalam kuantitas an kualitas
merupakan prasyarat bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi bayi dan anak.
Dengan demikian malnutrisi saat kehidupan dini mempunyai kontribusi terhadap
keberfungsian di bawah normal dan ketidak, mampuan belajar di kemudian hari
(Cruickshank & Hallahan , 1975:27). Interpretasi dari peran nutrisi terhadap,
perkembangan mental dan belajar merupakan hal yang rumit. Hal tersebut terjadi
karena malnutrisi merupakan akhir (out come) ekologis. Sebagai ilustrasi (pada
halaman berikut), digambarkan beberapa hubungan antara faktor-faktor biologis,
sosial, budaya, dan ekonomi yang menghasilkan malnutrisi pada masa bayi.

Proses belajar pada seorang anak-anak dilakukan melalui penerirnaan


secara selektif dan diterima sebagai masukan sensori yang memberikan informasi
berkaitan dengan lingkungan hidup. Untuk mendapatkan makna, stimuli sensori
yang bekerja harus mampu melakulan proses, dapat menghubungkan, dan
berintegrasi dalam lapisan otak(conex) untuk menyalurkan informasi dan
mendapatkan iDengertian yang sama. Informasi diperoleh melalui kemampuan
persepsi dan keterampilan kesadaran tubuh, disimpan di otak anak untuk nantinya
digunakan sebagai bentuk respon. Tipe respon antara lain berbicara, menulis,
mengeja huruf, bahasa tubuh, ekspresi wajah, gerak, keterampilan husus
psikomotor (seperti memukul bola). (Lihat Diagram 7.1))
Keterbelakangan Daya beli yang Sebagian besar waktu kerja
Teknologi rendah digunakan sebagai upaya
pemenuhan untuk hidup yang
layak.

Tidak ada persediaan atau


Meningkatnya
Meninggalkan kelebihan.
kemungkinan
sekolah pada saat
Perkawinan yang tidak
awal.
berpendidikan
Sumber-sumer yang kurang
memadai atau kelebihan untuk
ditabung dalam senitasi
Kemungkinan
lingkungan.
meningkatnya keluarga
esar dalam kepadatan
Buta huruf
ruang.
Ketekunan terhadap konsep-
konsep kesehatan primitif.
Pemeliharaan anak
yang kurang tepat. Hilangnya
kesempatan untuk
menerima informasi- Ketekunan terhadap tradisi
informasi yang dalam distribusi persediaan
Meningkatnya persentase
memadai. makanan yang tak cukup
dari belanja untuk
layanan kesehatan
anoxia
Kegagalan untuk mengenal
kebutuhan-kebutuhan
INFEKSI higienis bayi.
Berkurangnya
penghasilan oleh
adanya anak kecil

Keselamatan Sanitasi keluarga yang


perorangan yang tidak memadai
rendah Berat tubuh yang
rendah

Diagram 7.1 Interrelasi Faktor-faktor


Biososial dan Berat Tubuh yang Rendah.
(Cruickshank & Hallahan, 1975:30)

Selanjutnya, tingkat kemampuan persepsi perlu adanya pertimbangan terhadap


tingkat yang paling rendah pada jenjang pengalaman-pengalaman belajar dalam
kognisi.
Privalensi terjadinya hendaya kelainan belajar pada seorang anak-anak
bery riasi dan sangat sulit. Hal ini disebabkan adanya permasalahan berkaitan
dengan semantik (ilmu berkaitan dengan anti kata) yang terlibat saat mernberika
definisi. Kirk (1972, dalam Geddes. D., 1981:112) menyatakan bahwa privalen
berkisar 3 hingiga 15 persen bahkan lebih dari seluruh populasi anakan usia
sekolah. Lerner, J. '11985:16) menyatakan bahwa sekitar satu hingga persen dari
populasi anak-anak usia sekolah Sedangkan Departemen Pendikan Amerika
Serikat 0 989, dalam Hallahan & Kauffman, 1991:127, menyatakan sekitar
4,41, persen dari populasi anak-anak usia sekolah yang berumur di antara 6
hingga 17 tahun.

Penyebab terjadinya hendaya kesulitan belajar (Geddes, 1981:113) adal


faktor organ tubuh (organically based etiologies), dan lingkungan (environme
tally based etiologies). Ahli lainnya menyebutkan bahwa Penyebab terja anak-
anak dengan hendaya kesulitan belajar adalah disebabkan oleh tiga katego yaitu:
1. faktor organik dan biologis (organic and biological factors),
2. faktor genetika (genetic factors), dan
3. faktor lingkungan (environmental factors) (Hallahan & Kauffma
1991:128).

Penyebab dari faktor organ tubuh (Geddes, D., 1981:113), disebabkan


adanya faktor-faktor berikut.
1. Konsep tentang minimal disfungsi ltak. Kegiatan otak anak yang berpada
bawah optimal tidak terjadi dikarenakan adanya cedera pada struki
lapisan luar otak anak (cortex).
2. Faktor patologis terjadinya disfungsi otak, disebabkan adanya kondisi
seperti cerebral emorrhage, penyakit, luka akibat kecelakaan pada kepala,
kelahiran prematur, anoxia (kelangkaan oksigen), ketid sesuaian faktor Rh,
kecacatan bawaan, dan faktor-faktor genetika.
3. Hubungan di antara tipe-tipe disfungsi otak anak keterampilan neural di
optimal menyebabkan terjadinya hendaya pada daerah cerebral berkait
dengan manifestasi tanda-tanpada yang bersifat neurologic halus.
4. Hubungan antara disfungsi otak anak dan kelainan belajar khusus
dimungkinkan menunjukkan:
a. gejala-gejala disfungsi otak anak tetapi tidak terdeteksi mempunyai
ketidakmampuan belajar,
b. kedua-duanya, baik disfungsi otak anak dan ketidakmampuan belajar ,
atau
c. adanya ketidakmampuan belajar tetapi tanda-tanpada adanya
malfungsi otak anak tidak teramati (Myers & Hammill, 1976 dalam
Geddes, D, 1981:113).
5. Adanya kelainan-kelainan yang bersifat medis dewasa ini (Kauff -mar, &
Hallahan , 1976), lebih menitik beratkan pada kegiatan melakukan
hipotesis tentang kasus-kasus yang meliputi: kelainan kelenjar,
hypoglycemia, norcolepsy complex, penyimpangan penggunaan vitamin,
dan alergi.

Sedangkan berdasarkan atas faktor lingkungan (Geddes,D.,


1981:113), meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Pengaruh dari gangguan emosional. Indikasinya adalah anak-anak dengan
masalah-masalah emosional berkecenderungan mempunyai kelemahan
dalam persepsi, bicara, dan mata pelajaran akademik (Myers & Hammill,
1976).
2. Pengalaman-pengalaman yang tidak memadai yang diperoleh
sebelumnya. Diperlukan adanya peningkatan dalam proses sensori motor
untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan perseptual (oleh karena
itu dalam setiap program yang berkaitan dengan persepsi-anak selalu
diimplementasikan sensori motor guna meningkatkan keterampilan
perseptual) (Myers & Hammill, 1976).
3. Kehilangan lingkungan (Kauffman & Hallahan , 1976). Kecenderungan
kehilangan lingkungan bagi seorang anak-anak akan menimbulkan
masalah 1 belajar yang mungkin menjadi Penyebab adanya
pengalaman-pengalaman belajar yang kurang memadai, kegiatan belajar
yang sangat jarang rendahnya perawatan yang bersifat medis menjadikan
seorang anak-anak mempunyai cedera pada otak.

Faktor organik dan biologis sebagai penyebab anak-anak dengan hendaya


belajar (Hallahan & Kauffman, 1991:128), adalah sebagai berikut.
1. Adanya pengembangan terhadap suatu teori yang menyatakan bahwa
mixed dominance sebagai indikasi dari patologi otak anak sebagai
penyebab -adanya kesulitan membaca. Mixed dominance merupakan
istilah yang diterapkan terhadap seseorang yang mempunyai kondisi yang
mengutamakan penggunaan secara tetap campuran sisi anatomisnya,
sehingga memberikan gambaran adanya perkembangan tidak normal pada
otak. Contohnya, kegiatan yang dilakukan lebih mengutamakan
menggunaka anak campuran dari beberapa anggota tubuh secara,
bersamaan, sepertj tangan kanan dengan mata sebelah kiri (Orton, 1937
dalam Hallahan Kauffman, 1991:128; Kelly & Vergasson, 1978:91).
2. Kebanyakan anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai
getaran otak anak yang tidak normal,jika diukur dengar, komputer digital
dan dilakuka anak-anak isis dengan electroencephalogram (EEG).
Pencatatan kegiatan elektri pada otak anak dengan rnenernpatkan
elektrode pada lokasi yang berbeda di kepala anak-anak bersangkutan.
3. Melalui penggunaan metode baru, seperti penggunaan computerize
tornogrophir. scans (CT scans), bertujuan untuk meninjau sampai sejauh
mana fisiologi otak anak merupakan suatu teknik menggunakan komputer
bersamaan dengan X-ray untuk dapat thelihat sampai sejauh mana
gambaran tentang otak anak seseorang (anak) yang menyebabkan adanya
ketidak normalan secara neurologic pada anak-anak dengan henday
kesulitan belajar (Hynd & Semrud-Dikeman, 1989 dalam Hallahan
Kauffman, 1991:128).

Dari ketiga pendapat hasil penelitian tersebut, para ahli mempercayai


bahwa ketidak berfungsian otak anak (the brain dysfunction) merupakan
penyebab utama (the root of) dari hendaya kesulitan belajar. Di sisi lainnya
menyatakan juga bahwa hendaya kesulitan belajar terjadi jadi diakibatkan adanya
ganggu terhadap perkembangan saraf pada saat perkembangan seorang bayi pada
usia dini (Hynd & Semrud-Dikeman, 1989 Mann Hallahan &
Kauffma1991:123).

Menurut Hallahan & Kauffman (1991:128), faktor genetika


menunjukkan bahwa keturunan sebagai penyebab terjadinya hendaya kesulitan
belar khususnya pada hambatan membaca. Misalnya, seringkali terjadi ketika
satu anak-anak kembaran mempunyai ketidak mampuan membaca, kembali
lainnya juga sama mempunyai ketidakmampuan membaca. Mereka bersangkutan
dikatakan mempunyai monozygoticdaritelur yang sama. Mono gotic terjadi dari
adanya pemisahan dari satu telur saat pembuahan sehin dildentifikasi sebagai
komposisi genetik (Kelly & Vergasson, 1978:92).

Sedangkan faktor lingkungan (Hallahan & Kauffman, 1991:129), men


takan bahwa kasus lingkungan sebagai kasus yang dianggap sulit untuk di
kumentasikan. Namun yang paling memungkinkan pada kasus lingkun sebagai
penyebab hendaya kesulitan belajar adalah kekurangan penangabelajar (poor
teaching). Apabila anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar dapat ditangani
semenjanak usia sekolah secara dini, dirnungkinkan hendaya kesulitan belajar
tersebut dapat dihindari.

Karakteristik anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar khusus, sangat


berbeda dengan anak-anak lain. Oleh karena itu beberapa tipe umum dari
karakteristik mereka sering dipakai oleh para pendidik, karakteristik tersebut
sebagai berikut.
1. Kemampuan persepsi yang rendah.
2. Kesuliatan menyadari tubuh sendiri.
3. Kelainan gerak.
4. Tingkat atensi yang tidak tepat.
1. Kemampuan Persepsi yang Rendah (Poorperceptual abilities)
Kemampuan persepsi yang rendah, berkaitan dengan:
a. persepsi pendengaran,
b. persepsi visual, dan
c. persepsi taktik.

Kekurangan dapat terjadi pada kemampuan persepsi pendengaran


(auditory perception) menyangkut:
a. membedakan pendengaran, yaitu kemampuan untuk dapat membedakan
suara, bunyi hidup bunyi coati (konsonan) yang sama,
b. pengakhiran pendengaran, kemampuan untuk melakukan sintesis bunyi-
bunyi dari bagian keseluruhan (contohnya, mendengar bagian suatu kata,
dan kemudian mengetahui apa yang pada dalam seiuruh kalimat),
c. bentuk dasar pendengaran, kemampuan untuk menghiraukan latar
belakang suara yang tidak selaras, dan
d. atensi dan penglokasian pendengaran, kemampuan untuk mengetahui
lokasi sumber suara dan arah suara.

Di antara tipe-tipe urnurn dari kekurangan persepsi pendengaran adalah


"auditoryagnosia", yaitu ketidakmampuan untuk mengenal suara atau kombinasi
bunyi dengan memperhatikan rnaknanya. Sedangkan yang lainnya, adalah
"auditory dissociation" (disosiasi pendengaran) yaitu bunyi dapat didengar dan
dikenali tetapi tidak mampu untuk diartikan secara keseluruhan.

Pada persepsi visual (visual perception), kekurangan kemungkinan terjadi


dalam kemampuan-kemampuan persepsi visual seperti berikut.
1. Klosur visual (visual dosure). Pola melengkapi, mekanisme
tanggungjawab, untuk melengkapi secara otomatis terhadap simbol-simbol
visual sudah dikenal (contohnya, melihat bagian yang tidak lengkap
gambar dan tabu bagaimana bentuk keseluruhan dari gambar tersebut
Diartikan sebagai kemampuan "untuk menggambarkan keseluruhan hanya
dengan melihat sebagian dari bentuk keseluruhan. Latihan visual sangat,
berguna bagi anak-anak yang mempunyai kesulitan pada menghubungkan
bagian-bagian tertentu yang merupakan suatu bagian utuh secara
(Vergasan, 1978:142)
2. Membedakan secara visual (visual discrimination). Kemampuan untuk
mengetahui perbedaan antara benda-benpada yang bentuknya sama surat,
atau kata-kata (seperti huruf "b" dan "d" dapat ditangkap oleh anak).
3. Membedakan bentuk secara visual (visual form discrimination).
Kemampuan untuk dapat membedakan adanya perbedaan antara bentuk
masa kini (contohnya, dapat membedakan antara segi tiga dan bey gambar
intan pada sebuah kartu gambar).
4. Menghubungkan figur dasar secara visual (visual figure groundrelatiorts
5. Viampu mengidentifikasi satu bentuk figur seseorang (misalnya dari
gambar yang memunculkan tiga figur yang sama . persepsi terhadap
ukuran (size perception). Kemampuan untuk merasa secara tepat tentang
ukuran suatu benpada dengan kemampuan vise.
6. Persepsi mengenai jaranak dan kedalamnya (depth and distance percepd
Kemampuan terhadap persepsi ukuran, panjang, kedalaman, dan jaranak
berbagai benpada dan mampu melihat benda-benpada yang bergerak
7. Mengenali suatu benpada (object recognition), kemampuan untuk
meintegrasikan rangsang visual ke dalam bentuk secara keseluruhan.

Pada persepsi taktil (tactile perception), kemampuan persepsi taktil utania


adalah membedakan benpada dengan merasa. Kemampuan untuk mengenal
benda-benpada yang dikenal, atau tekstur dan lokasi dari yang badan yang dapat
disentuh oleh seseorang. Jenis-jenis taktil antara lain:
1. taktil agnosia (astereognosis), yaitu ketidakmampuan untuk meng benda-
benpada melalui sentuhan,
2. agnosia jari-jari (fingeroynosia), yaitu ketidakmampuan Jntuk mengenali
suatu objek melalui jari-jarinya tanpa melihat terlebih dahulu,
3. tactile defensiveness, yaitu ketidak tepatan, tanggapan yang bersifat
berlebihan terhadap masukan taktual. Dalam hal ini dimungkinkan
tanggapannya terlalu negatif untuk dapat diraba atau menghindari
kontanak dengan permukaan yang dapat dipakai sebagai masukan taktual
yang kuat, seperti bahan-bahan untuk permadani dan sikat.

2. Kesulitan Menyadari Tubuh Sendiri (body awareness difficulties)


Kesadaran terhadap tubuh didefinisikan sebagai konsep dan pemahaman bahwa
adanya sating keterhubungan yang erat antara tubuh seseorang dengan
lingkungannya selama proses perubahan perilaku. Faktor-faktor yang terlibat
dalam perkembangan kesadaran terhadap tubuh adalah kinesthesia, asimilasi, dan
perlengkapan visual. Kesulitan-kesulitan terhadap kesadaran tubuh dimungkinkan
terjadi dalam wilayah keterarnpilan gerak, sebagai berikut.
1. Orientasi Mang (spatial orientation), yaitu pemahaman terhadap ruang
sekitar diri seseorang berkaitan dengan jarak, arah, dan posisi.
2. Secara kesamping (laterality), yaitu mengetahui yang mana sisi kiri atau
kanan dari tubuh.
3. Secara teganak lurus (vertically), yaitu konsep tentang arah ke atas dan ke
bawah.
4. Terhadap kesan tubuh (body image) yairu konsep pemahaman bagian-
bagian tubuh.
5. Berkaitan dengan garis tengah tubuh (midtinebody), yaitu konsep tentang
garis tengah tubuh secara teganak lures dari tubuh manusia yang memisah-
kan tubuh ke dalam dua sisi yang sama.
Permasalahan yang sering dijumpai dalam pemahaman tubuh antara lain:

a. kelainan tubuh untuk-memaksulkan orientasi dan ketidakmampuan


untuk mengenal bagian-bagian tubuh (autotopegnosis), dan
b. ketidakmampuan untuk mengenali jari-jari selama dilakukan tes
lokalisasi jari-jari (finger agnosia).

3. Kelainan Kegiatan Anak (disorder of motor activity)


Kelainan anak seringkali dapat diamati pada anak-anak dengan hendoya kesulitan
belajar. Hal itu dimungkinkan karena masalah anak dalam kesulitan belajar
mempunyai etiologi yang sama (Myeres & Hammill, 1976 dalam Geddes, D.,
1981:116).

Kelainan anak dapat diamati melalui:


1. kegiatan saat mempertahankan keseimbangan dan bentuk tubuh (balance
and postural mainbtenance), yaitu dalam kesulitan untuk duduk berdiri,
mempertahankan postur dan keseimbangan khusus;
2. anak dasar dan anak lokomotor (iocomotion and basic movement),
kekurangan terjadi pada keterampilan untuk berjalan, berlari, memanjat,
mekanisasi tubuh, melompat, i-neloncat-loncat, dan pola-pola anak tubuh
secara gross motor.

Termasuk tipe-tipe umum kelainan anak antara lain:


1. hyperoctivity yaitu mobilitas yang resah, tidak, menentu, secara
serampangan, dan mobilitas yang berlebihan;
2. hypokinethesis, yaitu sifat pendiam, tidak aktif, dan kegiata geraknya
kurang cukup;
3. dumsiness, yaitu sifat kesulitan dalam mengontro anak dengan adanya
ketidak serasian dan ketidak efisien perilaku anak dalam bentuk
kekakuan
4. secara fisik dan tidak pada koordinasi gerak;
5. apraxia (dysproxio), yaitu ketidakmampuan untuk berinisiatif atau
melakukan anak dalam pola-pola anak yang rumit, seperti serangkaian
toga anak untuk melakukan loncatan;
6. ketekunan (perseveration), yaitu sifat yang secara otomatis dan sering
secara suka rela untuk menindaklanjuti perilaku yang dapat diamati
sewaktu melakukan kegiatan berbicara, menulis, membaca secara
menggambar dari melukis; dana yaitu ketidakmampuan untuk melakukan
anak alternatif dan anak cepat.
4. Kesulitan dalam keterampilan psikomotor sangat erat hubungann
denganketidak berfungsian persepsi khusus, antara lain sebagai berikut.
1. Respon psikomotor yang lemah terhadap petunjuk yang diperoleh melalui
pendengaran berupa perbedaan suara dengan kegiatan yang berbeseperti
kata-kata "talk" dan "walk" dalam bahasa Inggris, "jalan" deng"jualan"
dalam bahasa Indonesia.
2. Respon psikomotor terhadap persepsi visual yang lemah. Kemampu
persepsi visual yang spesifik penyebab adanya respon psikomo terhadap
persepsi visual yang lemah, dapat menyebabkan seseortidak mampu
membedakan bola putih yang dilambungkan di udara dengan latar
belakang awan sehingga yang bersangkutan tidak dapat menangkap bola
putih dengan baik .
3. Rendahnya respon psikomotor terhadap persepsi taktil. Ketidak tepatan
respon psikomotor terhadap ciri-ciri khusus taktil menjadi penvebab
kesalahan membedakan benda-benpada dengan cara taktil. Contohnya,
seorang anak-anak tidak mampu membedakan dua nikel dalam
kumpulannya dengan dua perempat nikel yang pada di atas meja.

Kesulitan berikutnya adalah dalam memanipulasi, berkaitan dengan hal-


berikut.
1. Ketidaktepatan dalam keterampilan fine motor tangan saat digunakan
untuk memanipulasi gerak. Misalnya, koordinasi tubuh dengan mata saat
memegang sesuatu benpada (pinsii, crayon) secara tepat.
2. Kekurangan tingkat atensi menyebabkan daya atensi yang kurang atau
atensi yang berlebihan. Atensi yang tepat merupakan prasyarat motivasi
yang sangat diperlukan dan pencapaian prestasi yang berhasil. Pada dua
tingkat atensi yang kurang tepat, yaitu:
a. atensi yang kurang cukup, yaitu ketidakmampuan untuk menggam-
barkan ekstra rangsangan, sering disebut dengan istilah "kekacauan
pikiran" (distractibility), pemahaman yang berlebihan (,hyperawa-
reness), lekas marah secara berlebihan (hyperirritability') atau waktu
atensi yang pendek, dan
b. atensi yang berlebihan, ketidaknormalan perasaan yang mendalam saat
atensi terhadap perincian-perincian yang dianggap tidak penting saat
munculnya kejadian-kejadian yang tidak perlu.

3. Kestabilan emosi, sering diiringi dengan kesulitan belajar sebagai akibat


adanya hendaya gerak, dan frustasi disebabkan karena kegagalan dalam
melakukan kontanak hubungan dengan orang lain. Dampak dari itu
seorang anak-anak akan mempunyai persepsi sosial yang tidak pada
tempatnya.
4. Kesulitan dalam memori berupa jangka pendek dan jangka panjang.
Kesulitan memori ini bisa terjadi saat asimilasi, penyimpanan dan atau
pencarian informasi. Kesulitan itu berkaitan dengan kemampuan taktual,
visual, pendengaran, dan sistem belajar. Misalnya, seorang anak-anak
tidak mampu menghubungkan secara tepat antara ingatan pendengaran
terhadap kata yang pernah ia dengar - dengan kata yang sama saat ia
mendengarkan dalam waktu berikutnya. Dengan demikian yang
bersangkutan mempunyai hendaya ingatan visual;
5. Kesulitan dalam melakukan simbolisasi, baik secara verbal maupun dalam
proses simbolis verbal. Kesulitan simbolisasi terdiri atas hal-hal berikut.
a. Simbolisasi penerimaan pendengaran (receptive-auditory simboli
zation). Anak-anak tidak memahami kata-kata dalam pembicaraan
atau kebingunaan terhadap perintah-perintah verbal.
Contohnya,echolalia;
b. Simbolisasi daya tangkap visual (receptive-visuals,vmbolizati).
Contohnya, daya ingat visual terhadap pola-pola kata dan tulisan
(strephosymbolio), dan ketidaktepatan antara masukan visual baru
kata-kata tertulis dengan kesan pendengaran terhadap huruf-huruf
(dislexia visual). Misalnya pada huruf c, e, c, b, p, d, h, dan n atau pad
kata "pot" dibacanya "top";
c. Simbolisasi ucapan yang bersifat pernyataan perasaan (expressly oral
symbolization). Anak-anak tidak mampu mengartikan ucapan
mengenai suatu benpada atau fungsi-fungsinya, karena tidak
memahami tentang kalimat (syntax) dan ekspresi ide-ide secara
ucapan;
d. Simbolisasi anak yang menyatakan perasaan (expressive motor
symbolization). Anak-anak tidak mampu Mengapresikan dirinya
berbicara, menulis, atau melalui ekspresi gerak-tubuh atau anak mimik
muka (dysgraphia, yaitu ketidakmampuan mengekspresi pikirannya
melalui tulisan, surat dengan tendensi kata atau tulisan yang tidak
benar).

6. Kesulitan dalam kemampuan untuk mergategorikan dan melakukan


perbedaan-perbedaan klasifikasi. Misalnya, perbedaan tingkat
perkembangan terhadap konsep ke arah konkret (seperti, apel dan jeruk
kedua-duanya berbentuk bulat), ketidakmampuan membedakan
keberfungsi (bahwa apel dan jeruk kedua-duanya dapat dimakan), dan
melakukan abstraksi (seperti, apel dan jeruk adalah buah-buahan).

b. Perspektif Teori Bag, Anak-anak dengan Kesulitan Belajar


Beberapa sebagai kerangka dasar untuk mengevaluasi dan menga anak-anak
dengan hendaya kesulitan belajar dan implikasinya, adalah teori yang mencakup
pandangan terhadap perspektif perkembangan kedewasa proses secara psikologis,
penguasaan kemampuan akademik, dan pendeka kognitif. Memaharni sebuah
teori sebagai landasan pengetahuan terhadap hendaya kesulitan belajar merupakan
dasar yang sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menginterpretasikan
berbagai cabang ilmu. Selain itu dapat juga membantu para pendidik untuk
menyeleksi dan mengevaluasi terhadap hal-hal yang sangat membingungkan
dalam penggunaan dan pengaplikasian suatu media baru, teknik-teknik, instrumen
elektronik, dan nietode.

Tujuan suatu teori adalah untuk menyajikan bentuk, hubungan, dan arti
tentang apa yang diamati dalam kenyataan-yang sebenarnya. Teori juga
merupakan tuntunan praktis dalam kegiatan, menciptakan katalisator untuk
penelitian lanjutan, mernbangun teori baru dan mengklarifikasi, serta membentuk
proses berpikir. Maka peran suatu teori adalah menyajikan kerangka dasar kreatif
guna melakukan penyesuaian dari hendaya kesulitan perilaku. secara umum, teori-
teori merupakan ianjutan dari lapangan (dalam hal ini adalah sekolah) untuk
memahami dan membantu guru khusus untuk mempeiajari aplikasi secara
signifikan, khususnya di sekolah-sekolah luar biasa dan sekolah reguler yang
menerapkan sistem pembelajaran inklusif.

Pandangan lebih jauh terhadap suatu hendaya kesulitan belajar (learning


disablity) dibentuk oleh adanya konsep-konsep perkembangan psikologi,
berdasarkan anak-anak isis cara berpikir anak-anak melalui penelitian dan
perkembangan secara-bertahap berkaitan dengan kemampuan kognitifnya. Dalam
pandangan Perkembangan anak-anak dinyatakan bahwa kemampuan anak maju
secara normal terjadi dalam suatu kondisi-kondisi yang cocok. Oleh karena itu
memahami suatu perkembangan kemajuan dan perkembangan kognitif anak-anak
secara norfyisf' dapat dijadikan landasan perbandingan guna memahami
permasalahan yang mempunyai hambatan-hambatan belajar yang dikenai dengan
anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar.

Berdasarkan konsep keterlarnbatan kematangan diri ditinjau dari aspek


petkembangan neurologic, seorang anak-anak mempunyai tingkat perkembangan
N berbeda-beda, termasuk di dalamnya adalah fungsi kognitif (Bender, dalam
Lerner, J. 1985:168). seorang anak-anak yang menunjukkan adanya kesesuaian
di antara berbagai kemampuan tidak semata-mata disebabkan oleh adanya
ketidakberfungsian sistem saraf pusat atau adanya cedera otak anak Agaknya
ketidaksesuaian itu dapat juga menunjukkan adanya kemampuan yang mengacu
pada kematangan pada tingkat yang bepada dengan demikian hipotesis terhadap
anak-anak dengan hendaya kesulitan arti baik berbeda dengan hipotosis terhadap
anak-anak lain tanpa adanya dakberfungsian dari sistem saraf pusat.

Konsep tentang kelambatan kematangan diri, menunjukkan bahwa


beberapa hendaya kesulitan belajar yang muncul pada diri seorang anak-anak
dapat saja terjadi disebabkan oleh adanya perilaku-perilaku masyarakat yang pada
di sekitarnya. Perilaku masyarakat tersebut dapat menjadi suatu "tekanan" Pada
diri seorang anak-anak sebelum anak-anak tersebut slap menghadapi kegiatan
pencapaian prestasi akadeniknya. Hal ini dibuktikan oleh suatu penelitian yang
dilakukan di Ameiika Serikat terhadap 177 siswa-siswa dengan hendaya kesulitan
belajar (learning disability) dalam kelas-kelas khusus. Hasilnya menunjukkan
bahwa mereka secara signifikan menunjukkan adanya " perkembangan yang
larriba" dalam pencapaian piestasi akadenniknya (Koppitz, 1972• 1973 dalam Le.-
ner,J.,1935:163).Penelitiar, tersebut juga menunjukkan adanya ketidak
berkembangan dan sangat rendahnya pengintegrasian diri mereka sehingga
mereka membutuhkan waktu belajar yang lebih banyak dalam upaya untuk
melakukan kompensasi diri terhadap kelambatan dalam perkembangan
neurologisnya. Pada umumnya mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun
atau lebih untuk rnenyelesaikan pendidikan yang diterima dibandingkan dengan
siswa lain. Menurut Koppitz, apabila anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
diberikan waktu tambahan yang cukup pada dilakukan bantuan-bantuan dalam
pembelajaran pada umumnya, pada bersangkutan dapat menyelesaikan prestasi
akademiknya dengan baik .

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sovern Hagin (1966) terhadap anak-
anak dengan hendaya kesulitan belajar yang pada di klinik Bellevue Hospita
Hygiene menunjukkan bahwa anak-anak remaja dengan hendaya kesulitan beiaja
usia 7 hingga 24 tahun tidak menunjukkan adanya hambatan dalam orienta
terhadap simbol-simbol, membedakan berdasarkan pendengaran, atau
membedakan antara sisi kiri dan kanan. Beberapa anak-anak dengan hendaya
kesulitan belajar tersebut, tidak mempunyai hambatan belajar lagi setelah melalui
suatu proses perkembangan dirinya. Pada anak--anak-anak dengan hendaya
kesatuan belajar di usia taman kanak-kanak-anak diprediksi mempunyai
kelemahan data membaca, dan mengeja huruf. Selanjutnya, penelitian dari Jans
dan Langford (1966) telah membuktikan bahwa teori tentang keterlambat
kematangan diri anak-anak merupakan faktor yang sangat penting sa
memperkirakan tingkat pencapaian kemampuan membaca (dalam Lern J.,
1985:168).

Mengenai tingkat perkembangan kedewasaan anak, Piaget menyata


bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam serangkaian tingkatan dan dalam
keadaan sating keteragntungan. Setiap tingkatan, anak-anak harus mampu belajar
pada tugas-tugas kognitif tertentu (Piaget ,1970 dalam Lerner, J., 1985:169).
Kemampuan berpikir dan belajar anak-anak akan berubah sesuai dengan
umurnya. Dengan kata lain, bahwa kemampuan berpikir dan belajar anak-anak
dicapai melalui serangkaian perkembangan pada tingkat perkembangan
kedewasaannya. Selama helajar akan terjadi tingkatan-tingkatan perkembangan
fungsi kemampuan dalam kuantitas, kualltas, kedalaman, dan keluasan belajar.

Tingkat perkembangan anak-anak berdasarkan teori Piaget (1970, dalam


Lerner, J , 1981:169-17 1) secara sistematis menunjukkan tingkatan-tingkatan
sebagai berikut.
1. Periode pertama disebut dengan periode sensori motor (sensorimotor
period). Periode ini terjadi pada usia satu hingga dua tahun. Selama masa
ini anak-anak belajar melalui indera dan anak serta melakukan interaksi
dengan lingkungan secara fisik. Pada masa ini, mereka belajar melalui cara
memindahkan, menyentuh, memukul, menggigit, dan memanipulasi
benda-benpada secara fisik. Anak-anak mulai mempelajari tentang ruang,
waktu, lokasi, ketetapan dan sebab-akibat. Pada anak-anak dengan,
hendaya kesulitan belajar, perkembangan anak difokuskan pada anak
sensori (sensory-motor) dan anak persepsi (perceptual motor). Misalnya,
dalam anak keseimbangan seorang anak-anak dengan hendaya kesulitan
belajar akan. terlihat ketidakmampuannya dalam melakukan koreksi
terhadap posisi tubuh dan hubungan tubuhnya dengan gaga berat.
Umumnya, anakdengan hendaya kesulitan belajar tidak mampu
melakukan koordinasi anak dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan
gross motor (anak dengan menggunakan otot-otot besar). Dalam
koordinasi anak yang menggunakan fine motor (anak dengan
menggunakan otot-otot halus), anak-anak dengan hendaya kesulitan
belajar kurang memaharni -kemampuan tubuh sendiri, tidak tahu arch,
serta merasa bingung untuk melakukan anak secara menyamping (Lerner,
J., 1985:266).
2. Periode kedua disebut dengan periode preoperasional (preoperational
period). Periode ini terjadi pada usia dua hingga tujuh tahun. Pada masa ini
anak-anak mulai melakukan pertimbangan-pertimbangan intuisi tentang
hubungan-hubungan antarobjek dan berpikir tentang simbol-simbol.
Bahasa menjadi hat yang amat penting, karena anak-anak mulai belajar
menggunakan simboi-simbol untuk menggambarkan dunia nyata (concrete
world). Anak-anak mulai mempelajari lambang dan sifat objek yang pada
di sekitar dirinya.

Daya berpikir anak-anak didominasi oleh pernikiran yan-- berkaitan


dengan persepsi, khususnya dimensi rua,ig dan waktu. Dalam menghadapi
bendabenpada secara simbolik, anak-anak memerlukan pengamatan-
pengamatan terhadap waktu dan ruang Serta hubungan antara keduanya
terhadap objek dan kejadian-kejadian yang ada. Untuk kepentingan ini,
program-program berkaitan dengan pengembangan kemampuan konsep
dan kognitif hanyanak diiakukan sebagai upaya pendekatan pendidikan
terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar. Pendekatan
pendidikan tersebut dilakukan melalui upaya pengaplikasian teori-teori
tentang anak persepsi.

Persepsi merupakan keterampilan yang perlu dipdajari oleh anak-anak


dengan hendaya kesulitan belajar dalam proses belajar seharusnya
kegiatan dapat diarahkan langsung dengan adanya fasilitas-fasilitas
berkaitan dengan persepsi. Beberapa bentuk persepsi yang mempunyai
irnplikasi dalam pembelajaran , terhadap anak-anak dengan hendaya
kesulitan belajar antara lain konsep-konsep persepsi berkaitan dengan
pengandaian, persepsi bagian-bagian dan keseluruhan, persepsi
pendengaran, persepsi yang berkaitan dengan indera raba, persepsi
pengandaian silang, persepsi bentuk dan arah, serita persepsi social.
3. Periode ketiga disebut dengan periode operasi konkret (concrete
operation). Periode ini terjadi pada usia tujuh hingga sembilan tahun. Pada
masa ini anak-anak mulai mampu berpikir melalui hubungan
(relationship), merasakan konsekuensi dari tindakan-tindakan, dan
melakukan pengelompokkan yang sungguh-sungguh berdasarkan cara-
cara logic. Anak-anak mulai mampu melakukan, sistimatisasi dan
pengorganisasian cara berpikirnya. Pemikiran pemikiran mereka dibentuk
melalui pengalaman-pengalaman sebelum nya dan tergantung pada objek-
objek konkret dengan cara memanipulas atau memahami sesuatu melalui
pancainderanya.
4. Periode keempat adalah periodeoperasi nyata (formal operations). Period
ini terjadi pada usia 11 tahun dan menggambarkan adanya perubaha besar
dalam proses berpikir. Dalam periode operasi nyata ini, berpik anak-anak
mengarahkan pengamatan-pengamatan langsung, tidak sepert periode-
periode sebelumnya yakni pengamatan-pengamatan meng arahkan cara
berpikir. Anak-anak mulai mempunyai kapasitas kerja dengan abstraksi,
teori-teori, dan hubungan antarobiek secara logic mengacu pada hal yang
konkret. Lebih lanjut, periode operasi nyat menyediakan orientasi secara
rnenyama ratakan ke arah kegiatan yan bersifat pemecahan masalah.

Menurut Piaget, transisi dari satu tingkat ke tingkat berikutnya melibatkan


kedewasaan. Tingkatan-tingkatannya bersifat berurutan dan berjenjang, dan hal
yang esensial adalah anak-anak diberikan kesempatan untuk memantapkan
perilakunya, dan memikirkan tentang apa yang pada dalam setiap tingkatan. Di
sisi lain, kurikulum sekolah seringkali memerlukan pengonseptualisasian terhadap
perkembangan anak-anak dan perkembangan logikanya dengan memberikan
kesempatan yang cukup untuk mencapai pemahaman pada tingkattingkat
sebelumnya (Lerner, J., 1985:171).

Implikasi dari teori perkembangan kedewasaan terhadap anak-anak


dengan hendaya kesulitan belajar sangat signifikan, khususnya dalam memahami
dan memperlajari tentang "keberadaan kelainannya". Teori ini menyatakan bahwa
kemampuan kognitif anak-anak selalu berbeda secara kualitatif. Dengan
demikian, perkembangannya akan selalu berurutan, sehingga perubahan cara
berpikir akan terjadi secara terus-menerus. Dalam hal ini sekolah hendaknya dapat
rnenyusun suatu pola pembelajaran berdasarkan pengalaman-pengalaman belajar
anak-anak guna mencapai pertumbuhan secara alamiah yang lebih menitik-
beratkan pada landasan berpikir dan adanya kesiapan untuk belajar (readiness)
dari anak-anak bersangkutan. Misalnya kesiapan untuk berjalan akan
memerlukan tingkatan perkembangan gabungan dari sistern neurologic, kekuatan
otot yang memadai, dan perkembangan fungsi motorik. Jadi, bagi anak-anak
dengan hendaya ke ulitan belajar memerlukan perhatian yang lebih khusus dari
guru-kelasnya. Perhatian secara khusus oleh guru sangat membantu
perkembangan anak-anak melalui pemberian latihan-latihan berkaitan dengan
kemampuan kesiapan , belajar sebagai prasyarat untuk melakukan langkah-
langkah belajar berikutnya. Bagi anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
(learning disability) yang belum siap dalam mempelajari suatu masa pelajaran
tertentu, hendaklah dilakukan to evaluasi yang sensitif dan pola pembelajaran
yang bersifat klinis.

Pembelajaran klinis (dinical teaching), merupakan proses asesmen


mbelajar an dalam bentuk khusus guna membantu siswa yang mempunyai
hambatan-hambatan belajar. Tujuan dari pembelajaran yang bersifat klinis adalah
untuk menyesuaikan pengalaman-pengalaman, belajar siswa yang sangkutan
terhadap kebutuhan unik dari siswa dengan hendaya kesulitan belajar melalui
asesmen dan anak-anak isis terhadap masaiah belajar anak-anak yang khusus,
maka hasil-hasilnya dapat dijadikan informasi penting dalam usunan program
pembelajaran klinis oleh guru khusus.

Asesmen tidak berhenti ketika prosedur treatmen khusus dimulai, karena


kenyataannya esensi pembelajaran klinis merupakan kegiatan asesmen dan
pembelajaran secara terus-menerus serta saling berkaitan. Guru khusus
rnernodifikasi pembelajaran sebagai bentuk nyata untuk mernenuhi "kebutuhan"
ball, sehingga beberapa intervensi yang berbeda dapat dipergunakan dalam
pembelajaran klinis. Guru khusus bagi pembelajaran klinis merupakan seorang
yang selalu memperhatikan, mengawasi, dan mengamati anak-anak terhadap apa
yang teiah dilakukan oleh seorang anak-anak dalam kegiatan belajar di sekolah.
Mengamati bentuk-bentuk kesalahan siswa adalah suatu kegiatan yang amat
Denting untuk pencapaian keberhasilan belajar siswa yang bersangkutan. Dari
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh siswa bersangkutan dapat dijadikan
petunjuk mengenai tingkat perkembangan siswa, cara berpikir, pokok-pokok yang
mendasari sistem bahasa siswa, dan cara belajar siswa. sebagai contoh, seorang
guru harus yang memperhatikan kesalahan kesalahan yang telah dibuat siswanya
saat membaca buku bacaan, merupakan petunjukyang sangat berharga bagi
pembinaan proses mental siswa. Petunjuk tersebut merupakan landasan pokok
dalam membina ker-narnpuan membaca siswa bersangkutari. Kesalahan-
kesalahan siswa yang muncul saat membaca, merupakan suatu "perilaku terbuka"
(overt behavior) dari siswa bersangkutan dan dapat menjadi aspek ungkapan
dalam proses intelektual yang akan dianak-anak isis oleh guru khusus (Goodman
& Gollasch, 1980 1981 dalam Lerner,. 1985:100).

Pembelajaran klinis dapat juga dipakai sebagai tinjauan terhadap seat


proses alternatif dalam bentuk "mengajar tes mengajar tes, kedudukan, guru dalam
kegiatan ini adalah sebagai pengajar dan penguji. sebagai contoh dalam dilihat
kasus di bawah ini.
Andiseorangsiswe kelas tiga Sekolah Dosar, membaca kohmat, "Soya telah milih
Orang botuk yang sebetulnya bacaan tersebut berbunyi: "Soya telah
melihat ora% botok" Gurukhususdapatrnenyimpulkan bahwo Andi
mempunyai kesalahan baed yang perlu diperbaiki, do n memperkirokon
apo yang menjadi sebob siswa bersangkutan salah baca. pembelajaran
klinis yang akan diterapkan terhadap siswa bersangkutan akan
tergantung pada basil anak-anak isis kesalahan. Hasil anak-anak isis
guru terhadopkesolahan bacasiswo tersebut berkaiton dengan, Apokoh
kesalahan tersebut disebabkan adanya kesalahan-kesalahan persepsi
visual, kola kato yang rerlih tidak tepat, rendohnya daya ingat siswo
bersangkutan, kelongkoon keterornp ilon un melihat kato-kato, atau
karma tidak memahomi suatu teksbacaan?

Proses lengkap dari pembelajaran klinis merupakan siklus yang teratas:


1. diagnosis (dalam hal ini melakukan asesmen)
2. perencanaan pembelajaran ,
3. implementasi,
4. evaluasi sebagai arahan untuk melakukan, dan
5. modifikasi diagnosis. Selanjutnya kembali pada siklus semula, dan
seterusnya.

Dalam pembelajaran klinis, sistem ekologis (ecological system)


merupakan faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Sistem ekologis disini
adalah suatu interaksi di antara individu siswa dengan berbagai bentuk lingkungan
tempat siswa yang bersangkutan hidup dan tumbuh. misalnya lingkungan yang
pada di sekitar rumah, kelompok sosial tertentu, dan lingkungan budaya lokal
yang semuanya dapat memengaruhi tingkat kemampuan belajar siswa.

Sistem ekologis yang haik, sangat membantu terhadap kemajuan siswa.


Disamping itu dapat membantu siswa untuk memaharni suatu mata pelajaran
terlentu. Oleh karma itu guru kelas harus lebih sensitif terhadap pengaruh-
pengaruh sistem ekologis terhadap cara belajar , sikap, dan tingkat kernajuan
siswanya. Menurut Borsch (1965 dalam Lerner, 1985:1 OP, faktor-faktor yang
memengaruhi pembelajaran dapat disesuaikan kembali dalam proses kegiatan
pembelajaran klinis oleh guru khusus (dalam hal ini biasanya dilakukan oleh guru
kelas). Fakto--fak-tor tersebut adalah ruang,waktu, keserbaragaman tugas, tingkat
kesulitan yang dihadapi siswa, bahasa, dan hubungan yang bagus antara pribadi
siswa dengan guru.

C. Pembelajaran bags AnakderganKesulitanBelajar


Strategi pembelajaran terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
pembelajaran jokus pada cara menyajikan kegiatan-kegiatan yang dapat mewakili
keterampilan anak dan fungsi persepsi (terutama visual, pendengaran, dan
kesadaran terhadap tubuh). Dalam kegiatan pembelajaran tersebut kegiatan-
kegiatan Yang berkaitan dengan kerja otot-otot besar (gross motor) diusahakan
dapat melibatkan seluruh otot tubuh dan kernarnpuan untuk bergerak dari
berbagai anggota tubuh, seperti pengaruh daya bobot, anak menyamping, dan erat
yang menyadari akan adanya garis tengah tubuh. Tujuan semacam itu adalah
untuk pengembangan secara bertahap terhadap efektivitas anak tubuh. Dengan
dernikian hal tersebut dapat meningkatkan pancaindera siswa berkaitan dengan
orientasi ruang, dan kesadaran tubuh. Kegiatan-kegiatan itu menyangkut kegiatan
keseimbangan seperti berjalan di atas balok (balance), dan kegiatan-kegiatan anak
gross motor lainnya seperti berjalan, menagkap dan melempar, serta koordinasi
anak mata.

Kegiatan latihan-latihan berkaitan dengan kemampuan persepsi


hendaknya bertujuan untuk mencapai prestasi akademik terutama sekali dalam
membaca. Terdapat lima fungsi persepsi visual sebagai bagian dari bentuk yang
esensial dalam meningkatkan kemampuan persepsi visual, yaitu:
1. koordinasi anak visual,
2. persepsi terhadap bentuk dasar tubuh,
3. persepsi kekonstanan,
4. persepsi-poSist dalam suatu ruangan, dan
5. persepsi terhadap hubungan antarruang (Frostig, 1968 dalam Lerner,
1985:299).
Dalam latihan-latihan "persepsi membedakan" terdapat tiga gugus tugas
yang sumbangannya sangat tinggi yaitu:
1. kemampuan untuk membaca huruf dan ungka,
2. kemampuan untuk menirukan pola -pola yang berbentuk georrietri, dan
3. kemampuan untuk rnenjodohkan kata-kata.

Keterampilan "persepsi membedakan" yang diterapkan melalui pemberian


tugas-tunas dalam latihan keterampilar, persepsi-visual dapat meningkatkan
kemampuan membaca (Carrot, 1965 dalam Lerner, 1985.299).
Beberapa contoh kegiatan yang dapat meningkatkan persepsi visual antara
lain latihan keterampilan menggunakan media teka-teki (puzzle), menyusun
bagian-perbagian, menyusun balok-balok, menemukan subbagian dari suatu
bentuk yang hilang dalam gambar, mengklasifikasikan bentuk-bentuk, ukuran,
warna terhadap bentuk bzmgun geometri, perrnainan domino, bermain kartu,
menemukan bagian-bagian yang dihilangkan, persepsi visual terhadap kata-kata,
rrienggambarkan-bentuk bangun geometri yang sesuai dengan huruf.

Berkaitan dengan persepsi pendengaran, kegiatan latihan sebaiknya


ditujukan pada kegiatan-kegiatan yang lebih menititikberatkan pada keteramDilan
membangun kesiapan belajar (readiness), meliputi sensitivitas pendengaran,
kesiapan menerima pembelajaran , membedakan pendengaran, memahami suara
dalam sebuah kalimat, dan daya ingat melalui pendengaran

Strategi pembelajaran yang disusun guru hendaknya diupayakan agar


dapat meningkatkan kemampuan persepsi pendengaran siswa. Kegiatan-kegiatan
Yang sangat dianjurkan berkaitan dengan penggunaan strategi pembelajaran
adalah kegiatan yang menggunakan latihan mendengarkan suara, mencatat bunyi-
bunyian dari sumber bunyi, mendengarkan bunyi-bunyi yang ditanya oleh guru,
membedakan bunyi makanan yang dikunyah oleh mulut, bunyi-bunyi melalui
guncangan-guncangan, dan membedakan dari sumber yang berbeda-beda.

d. Aplikasi Gera k I rama dalam Pern belajar an Anak-anak dengan


Learning Disability.
Aplikasi anak irama dalam pembelajaran terhadap siswa dengan hena kesulitan
belajar lebih difokuskan pada peningkatan kemampuan (keterampilan anak dan
pola gerak) dan kemampuan persepsi siswa dapat meningkatkan kemampuan
kognitif dan perkembangan konsept dalam kenyataannya, siswa dengan hendaya
kesulitan belajar mempui hambatan satu atau lebih dalam proses dasar
pemahaman atau penggun ragam lisan maupun ragam tulis. sebagai contoh dalam
hal ini adalah pada hambatar, dalam membaca, menulis, matematika, mengeja
huruf, mer ngarkan, berpikir, dan daya ingat. Disamping adanya penyimpangan
keterampilan perseptual, keterampilan gerak, atau juga pada aspek belajar lainnya.
Kekurangan dalam satu atau lebih dari komponen-komponen belajar
berkaitan dengan perilaku psikomotor. Seorangan akan mempola secara selektif
terhadap hal-hal yang telah diterima oleh sensori yang pada di otak anak yang
memberikan informasi masukan berkaitan dengan linakungan kehidupannya.
Untuk mernperoleh arti, stimulasi sensori tersebut harus berproses sebagaimana
mestinya, dapat berhubungan, dan menyatu dalam lapisan luar otak anak (cortex)
untuk memperoleh gambaran informasi yang diperoleh sebelumnya. Informasi
yang diperoleh (merupakan kemampan dan keterampilan berkaitan dengan
pemahaman tubuh) disim dalam otak anak untuk dapat digunakan pada masa yang
akan datang terjadinya respon. Respon psikomotor akan dimunculkan setelah pada
anak-anak isis. Tipe dari respon itu dapat berupa bicara, menulis, mengeja, isyi
tubuh, ekspresi wajah, melaftukan pola-pola gerakan, atau keterampilan motor
khusus seperti memukul bola.

e. Pendekatan yang Diperlukan dalam Aplikasi Anak Irama bisabilty


Berdasarkan pengamatan para ahli, anak, dalam kesulitan belum mempunyai
keterampilan anak yang kakis, keseimbangan yang kurang ketangkasan Langan
yang sangat kurang, atau keterlambatan dalam memori keterampilan anak (seperti
dalam keterampilan: mengendarai menangkap bola, menggunakan peralatan
makan). Anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar juga Sering menunjukkan
ketidakrnampuan dalam koordinasi gerakan mendapatkan gangguan persepsi
berkaitan dengan masalah, masalah belajar. Misalnya,
1. tulisantangan yang tidak dapat saja diakibatkan oleh adanya masalah pada
finernotot berupa kesulitan dalam koordinasi gerakan antara mata dan
Langan,
2. kelainan berbicara dimungkinkan adanya hambatan anak pada mekanisme
alas bicara, (seperti kurangnya kemampuan kontrol terhadap anak lidah
atau bibir), dan
3. masalah kegiatan menjumlahkan angka seringkali berkaitan, dengan
adanya hambatan terhadap persepsi ruang (,Lerner, J., 1985:264).

Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut, maka fokus pembelajaran


terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar sebaiknya ditujukan pada
pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan anak sensori dan, anak
persepsi. Menurut Piaget (1936-1952) pendekatan terhadap pembelajaran anak
sensori sejanak usia dini merupakan landasan untuk memhangun perkembangan
kognitif dan persepsi yang kompleks pada diri anak-anak (data dalam, 1985:265).
Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran melalu peningkatan anak sensori dan
anak persepsi akan mencakup konsep-konse tentang kesegaran jasmani (physical
fitness), olahraga (exercise) dan kegiatan-kegiatan anak (anak disini, diartikan
sebagai keterampilan dan pola anak dalam cakupan body movement atau anak
irama) yang merupakan elemen esensial untuk mencapai kesehatan diri dan
meningkatkan kehidupan pada keriabagisetiap individu tidak terkecuali bagi
anak-anak dengan hendaya kesulita belajar.

Lebih lanjut, pendekatan pembelajaran dengan menggunakan strate


Pembelajaran kognitif terhadap siswa dengan hendaya kesulitan belajar
hendaknya berfokus pada "bagaimana" (How) caranya belajar , bukan pada
113a°(What)yang dipelajari. Umumnya, anak-anak dengan hendaya kesulitan
belajar tidak menggunakan strategi belajar dengan baik dan tidak tabu bagaiman
cara belajar. Perar, guru khusus sangat penting dalam upaya menyusu kerangka
kerja belajar setiap siswa yang mempunyai perinasalahan belajar

Peran guru dalam hal ini adalah mengusahakan agar setiap siswa dapa
m0mahami proses es berpikir dan mengernbangkan strategi belajar yang tela
diPerolehnya. Pemahaman terhadap proses berpikir diharapkan dap meningkatkan
kemampuan belajar siswa atau keterampilan akaderniknya.

Penguasaan keterampilan akademik bagi siswa dengan hendaya kesulitan


belajar merupakan bentuk pendekatan pembelajaran kognitif. Pembelajaran ini
lebih menekankan pada hasil anak-anak isis terhadap, tugas-tugas akademik ber-
kaitan dengan keterampilan mata pelajaran tertentu, yang mengarah pada
pencapaian tugas-tugasnya (Lerner, J., 1985:192). Tentu saja, teori-teori yang
berkaitan dengan belajar merupakan kerangka kerja untuk dipahami oleh guru
kelas dalam menangani siswa dengan hendaya kesulitan belajar. Tujuannya untuk
membentulk perkembangan kemampuan belajar terhadap suatu mata pelajaran
(khususnya membaca) pada diri siswa bersangkutan.

Siswa dengan hambatan membaca, yang telah menerima intervensi pen-


didikan secara khusus seringkali menunjukkan adanya perkembangan yang sangat
baik. Intervensi ini diterima oleh siswa melalui pendekatan khusus. Pendekatan-
pendekatan khusus yang digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca
pada umurnnya melalui pembelajaran yang eras kaitannya dengan kegiatan untuk
mengenal kata secara sepintas, keterampilan-keterampilan phonic, dan rnengenali
kata-akhir (Hewison, 1982 dalam Batsahaw & Perret, 1986:29). Pendekatan
semacam ini dikenal dengan metode Orton-Gillingham yaitu penggunaan teknik
Visual - Kinesthetic - Tactile (VAKT) yang telah dimodifikasi dengan
menggunakan multisensori, sintetik Jan metode alfabetik.

Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan menggunakan metode. Siswa


mulai belajar membaca dengan cara menyeleksi kata yang dipelajarinya,
kemudian melakukan pengejaan, pengucapan bunyi, dan dibagian atas suku kata.
Baru kemudian dilanjutkan dengan mempelajari menuliskan dan menelusuri kata
dengan jari-jarinya- Setelah itu, siswa Phuliskan kata yang pada dalam
ingatannya, dilanjutkan dengan memasukkan tersebut kedalam kotak anak yang
telah berisi kakata-kata baru. Pada akhirnya barulah siswa rnenuliskan kalimat dan
menceritakan sebuah cerita. Pendekatan pembelajaran untuk mata pelajaran
membaca dan peribahasa model Gillingham dan Fernald berdasarkan pada
orientasi secara koneurologis. Sejumlah materi dan kegiatan disusun berdasarkan
atas hasil smen terhadap persepsi dan pemprosesan informasi. Pemprosesan
terrsebut menggunakan tes baku semacam Tes of Psycholinguistic Abili(ITPA),
yaitu suatu tes yang disusun untuk mengukur pemahaman bahasa era verbal dan
nonverbal. Selain itu juga dengan Direct Instructional System Teaching and
Remediation (DISTAR),adalah suatu sistem pembelajaran yang disusun untuk
mengajar keterampilan dasar dan konsep-konsep dalammembaca, menghitung
angka, dan bahasa pada anak-anak berkebutuhan khusus tingkat Sekolah Dasar.
Model ini disusun berdasarkan atas anak-anak isis tugas (task anak-anak ysis)
dari keterampilan-keterampilan dasar dan penyajian bahan-bahan dalam suatu
model pembelajaran secara langsung. Kedua tes tersebut berisikan tentang materi
membaca dan bidang lainnya berkaitan dengan prinsip-prinsip anak-anak isis
perilaku (Wallace & Mduoghlin, 1979 dalam Reynolds & Mann, 1987: 922):

Pendekatan secara visual kinesthetic tactile serta model Fernald sangat


sesuai bila diterapkan secara bersamaan dengan model pembelajaran pola
gerak(motcrpatern) dan keterampilan anak (motor Salah -,atu alascnnya adalah
bahwa anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar mempunyai masalah dalam
anak sensori dan anak persepsi (khususnya pada persepsi visual, pendengaran, dan
keseirt-ibangan) yang memerlukan latihan-latihan khusus berkaitan dengan
peningkatan koordinasi anak pada gross dan finernotor. Lerner (1985:269)
menyatakan bahwa tahap awal seseorang belajar mengenali lingkungan, yakni
dengan mempelajari motor dan motor ski fl. Hal ini dilakukan melalui respon
gerakan otot dan perilaku anak untuk melakukan interaksi dan mempelajari
tentang kehidupan di lingkungan dirinya, atau dikenal lebih bagus sebagai body
movement atau anak irama.

Pendekatan ketiga yaitu dengan pengaiaman bahasa, seorang guru


memberikan kesempatan pada siswa untuk bercerita dan guru menuliskan kata-
kata secara persis dengan yang diucapkan siswa. Guru kemudian membacanya
dan selanjutnya siswa membaca tulisan itu sampai dapat menguasai seluruh
bacaan Pendekatan keempat, adalah dengan menggunakan metode pemberia
warna. Sekelompok kata atau kalimat diberikan warna yang khas, dan. kombinasi
huruf dipelajari dengan paduan warna. Pendekatan kelima, adalah. pendekatan
secara neuropskilogis. Pendekatan secara neuropsikologis lebih menekankan pada
penggunaan fungsi neurologic untuk membantu strategi pengembangan remedial
(Hync.t & Cohen, 1983 dalam Batshaw & Perret, 1986:292). Penekanan khusu
diidentifikasikar, dalam testing secara neuropsikologis.

f. Rancangan Pembelajaran untuk Leorningi Disability


Seperti yang telah diuraikan bahwa anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar
mempunyai hambatan pada faktor gerak, persepsi, dan keseimbanga Dampak dari
hambatan-hambatan itu faktor perkembangan konseptual dalam kognitif menjadi
kurang berfungsi secara optimal. Guru kelas atau guru khusus Sebaikn-baiknya
mewaspadai adanya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siswa dengan
hendaya kesulitan belajar sewaktu menyelesaikan tugas-tugas akademik di
sekolah. Artinya guru tidak bisa secara langsung membuat rancangan
pembelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar sebelum melakukan observasi dan
anak-anak isis secara sensitif terhadap kesalahan yang telah dibuat oleh siswa
bersangkutan. Jika terjadi kesalahan-kesalahan. pada hasil kerja iswa dengan
hendaya kesulitan belajar ,sebaiknya guru kelas melakukan pembelajar an klinis
terlebih dahulu. Pembelajaran klinis sangat diperlukan sebelum program kegiatan
akademik suatu mata pemlajaran tertentu diterapkan.

Pembelajaran klinis mempunyai bentuk siklus tersendiri, yakni di awali


dengan fase asesmen. Guru melakukan diagnosis terhadap kesalahan-kesalahan
yang telah dilakukan oleh siswa pada hasil kerja suatu tugas akademik di sekolah.
Face kedua adalah fase perencanaan. Guru menganak-anak isis kesalahan yang
terjadi, guru menentukan hambatan dan bentuk kesulitan yang menyebkan siswa
melakukan kesaiahan Berdasarkan ienis kesalahan tersebut guru membuat
rancangan pembelajaran klinis berupa perencanaan pemberian tugas-tugas khusus
dalam kegiatan belajar secara tersendiri. Dalam hat ini anak-anak isis tugas (task
anak-anak ysis) perlu diterapkan. Pada fase ketiga, yaitu fase ementasi
menerapkan rancangan pembelajaran klinis dalam bentuk anak-anak isis tugas
terhadap siswa dengan hendaya kesulitan helajar, dilanjutkan dengan fase
keempat yaitu fase evaluasi. Dalam fase ini guru kelas melakukan evaluasi
terhadap prestasi belajar siswa bersangkutan. Bila ternyata hasilnya belum
optimal, maka fase kelima yakni fase modifikasi dari bentuk asesmen diterapkan
guna membantu dan mengarahkan, kemampuan kognitif melalui perkembangan
konseptual yang telah dikuasai oleh siswa yang bersangkutan. Base-case dalam
putaran ini dapat berlangsung secara terus-menerus selama siswa dengan hendaya
kesulitan belajar belum mencapai prestasi yang diinginkan berkaitan dengan
kemampuan persepsi dan geraknya.

Jika dianggap terjadi perkembangan yang nyata dari pembelajaran klinis


tersebut, maka guru kelas dapat melanjutkan program pembelajaran yang
mengaplikasikan anak irama sebagai upaya untuk pencapaian perkembanaan
kedewasaan secara optimal.Tahapan-tahapan yang dilakukan sebelum menyusun
rancangan pembelajaran sebagai program aplikasi anak irama dalam pembelajaran
terhadap anak-anak dengan hendaya kesulitan belajar ,sebagai
erikut.'
1. Melakukan skrining atau asesmen awal dengan menggunakan instrumen
Geddes Psychomotor Inventory profit I & /I (GPI P.1 & 11), serta daftar
cek kemampuan persepsi untuk mengetahui penyimpangan –
penyimpangan perilaku psikomotor berupa anak sensori, anak persepsi,
dan keseimbangan tubuhnya.
2. Melakukan anak-anak isis hasil skrining atau assesmen awal yang telah
dilakukan pada langkah 1.
3. Membuat skematis dan bagan pola anak yang akan diterapkan appada
rancangan pembelajaran dengan megaplikasikan anak irama.
4. Membuat rancangan pembelajaran untuk mata pelajaran untuk mata
pelajaran tertentu dengan memasukkan unsur-unsur pola anak dalam
kegiatan belajar mengajar terhadap siswa dengan hendaya kesulihan
belajar yang spesifik.
5. Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran yang
mengaplikasikan anak irama terhadap siswa dengan hendaya kesulitan
belajar spesifik. Evaluasi menggunakan instrumen GPI. 1 dan II serta
daftar cek kemampuan persepsi. Hasil evaluasi ni kemudian di
perbandingkan dengan hasil skrining yang telah dilakukan pada langkah
satu. Jika ternyata hasilnya pada peningkatan, maka kegiatan belajar
berikutnya dapat langsung menggunakan rancanagn pembelajaran yang
bersifat umum bila masih belum pada perkembangan maka dilakukan
kembali pembelajaran klinis. Jika hasil perolehan rata-rata dari seluruh
daftar cek mencapai nilai tiga sampai empat dinyatakan berhasil. Namun
apabila kurang dari tiga dinyatakan belum berhasil.
C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK HIPERAKTIF (HYPERACTIVE
STUDENT)
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms.
(Batshaw & Perret, 1986: 261). Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor
brain damage, demotional disturbance hearing deficit, ormental retardation. Hal
ini dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak-anak mempunyai kelainan intensi
disorder dengan hiperaktif (Attention'Deficit Disorder- with Hyperactivity) atau
intensi disorder tanpa hiperaktif (Attention Deficit Disorder).

Dewasa ini banyak kalangan medic masih menyebut anak-anak hiperaktif dengan
istilah attention deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4).

Banyak sebutan nama atau istilah hiperaktif atau ADDH, antara lain
minirnal cerebrol dysfunction, minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak
mempunyai nilai atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis),
minimal cerebral palsy, hyperactive child syndrome, dan attention deficit disorder
with hyperactivity (Batshaw & Perret 1986:262). Gejala-gejala "kelainan" dari
anak-anak hiperaktif antara lain in-atensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Anak-
anak hiperaktif memerlukan suatu layanan dengan cara pemberian intervensi
dengan terapi farmakologi dikombinasikan dengan terapi perilaku (behavior
modification). Jika anak-anak hiperaktif tidak mendapatkan layanan terapi,
mereka yang bersangkutan di kemudian hari akan berkembang ke arah "kriminal",
suka mengutil batang, mencuri, mencoba-coba narkoba, rnerusanak properti dan
cenderung berkembang ke arah problem yang lain, yaitu conduct disorder (CD)
(Solek, P. 2004.5).

Ciri yang paling mudah dikenal bagi anak-anak hiperaktif adalah anak-
anak akan selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, Selain itu yang
bersangkutan sangat jarang-untuk berdiam selama kurang lebih 5 hingga 10 menit
guna melakukan suatu tugas kegiatan yang diberikan gurunya. Oleh karenanya, di
sekolah anak-anak hiperaktif mendapatkan kesulitan untuk berkonsentrasi dalam
tugas-tugas kerjanya. la selalu mudah bingung atau kacau pikirannya, tidak suka
memperhatikan perintah atau penjelasan dari gurunya, dan selalu tidak berhasil
dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sekolah, sangat sedikit kemampuan
mengeja huruf, tidak mampu untuk meniru huruf-huruf (Rapport & Ismond,
1984 dalam Betshaw & Perret, 1986:263).

Definisi mengenai hiperaktif, menurut Stewart (1970:94) sebagai berikut.


Hyperactive child syndrome, typically a child with this syndrome is
continually ir, motion, cannot concentrate for more than a moment, acts
and speaks on impulse, is impatient and easily upset. At home he is cons
tanlyin trouble ofhis restlessness, noisin and disobedience. In school he is
readtydistracted, rarelyfinishes his work, tends to do and talk outof turn in
dass and becomes labeled o discipline problems"(dalom Kauffm J. M.,
1985:174).

Ciri-ciri yang sangat nyata berpada sarkar. Definisi tersebut bagi peserta
didik hiperaktif adalah sebagai berikut.
a. Selalu berjalan-jalan rnernutari ruang kelas dan tidak mau diam.
b. Sering mengganggu teman-teman di kelasnya.
c. Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan sang
jarang untuk tinggal diam rrienyelesaikan tugas sekolah, paling lama
tinggal diam di tempat sekitar 5 sampai 10 menit.
d. Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di seko
e. Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu.
f. Kurang member perhatian untuk mendengarkan orang lain berbicara
g. Selalu mengalami kegagalan dalam melaksanakantugas-tugas di sekolah
h. Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat yang
bersamaan.
i. Mempunyai masalah belajar hampir di seluruh bidang studi.
j. Tidak mampu menulis Surat, mengeja huruf dan berkesulitan dalam surat-
menyurat Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan
masa belajar karena persepsi visual dan auditory yang lemah.
k. Karena sering menurutkan kata hati (impulsiveness), mereka sering
mendapat kecelakaan dan luka. (Rapport & Ismond, 1984 dald
l. Batshaw & Perret, 1986:263).

Kesulitan belajar anak-anak hiperaktif disebabkan pula adanya kontrol


diri yang kurang dan sering impulsif dalam setiap kegiatan yang ia lakukan,
sangat mudah untuk marah dan seringkali suka berkelahi. Dari adanya impulsif
ini, umum anak-anak hiperaktif sering menciapatkan "kecelakaan" dan
mendapatkan luka. di antara mereka tidak suka berolahraga karena adanya
kecanggungan kekakuan gerak. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua anak-
anak den hiperaktif atau kesulitan belajar mempunyai attention deficit disorder
(ADD)

Hubungan antara attention deficit disorder, learning disability dan by


active dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.
Learning Disability

Attention
Deficit Hyperactivity
Disorder

Gambar3.1
Hubungan antara Kesulitan Belajar , In-atensi dan hiperaktif
(Batshaw & Perret, 1936:263).

Anak-anak dengan ADD atau ADD-H selalu mendapat kesulitan di


sekolah. Mereka selalu gagal untuk melakukan hubungan sosial dalam
pembelajaran olahraga, sedangkan dirumah mereka juga sedikit mendapatkan
dorongan untuk menghilangkan kesulitannya. Anak-anak hiperaktif tersebut
dapat dipastikan mempunyai kesulitan untuk memahami konsep, dan selalu gagal
untuk segala kegiatan yang ia coba lakukan.

1. Kasus lainnya berkaitan dengan hiperaktif, antara lain sebagai berikut.


Anak-anak tunagrahita dapat juga mempunyai kelainan atau hendaya
penyerta hiperaktif, seperti adanya in-atensi, perilaku impulsif, frustasi,
dan rendahnya kemampuan dalam bidang kognitif. Pendekatan secara
medic dalam kasus semacam ini, pengobatannya kurang efektif.
2. Sifat in-atensi dan hiperaktif terdapat juga pada anak-anak yang
mempunyai seizure disorder, terhadapnya terdapat problem perilaku
disebabkan oleh adanya teaks: terhadap toxic levels of phenobarbital atau
anticonvulsant lainnya.
3. Anak-anak dengan hendaya pendengaran dapat juga mempunyai sifat
hiperaktif atau problem perilaku lainnya. Problem ini disebabkan oleh
kerusakan pada sebagian sel-sel saraf pada otak, atau adanya kesalahan
mendiagnosis.
4. Pada anak-anak dengan kesulitan psikiatrik dapat dimungkinkan
mempunyai hiperaktif disebabkan oleh adanya perasaan tidak aman pada
dirinya atau salah mengenai tanggapan dirinya dan kurang responsivitas
terhadap orang lain.

Pengobatan terhadap anak-anak ADD umumnya dilakukan dengan


berbagai pendekatan termasuk program pendidikan khusus, modifikasi perilaku,
pengobatan melaiui obat-obatan, dan konseling. Di samping pendekatan yang
kontroversial antara lain dengan melakukan diet khusus, dan penggunaan obat-
obatan serta vitamin-vitamin tertentu.

Pendekatan secara pendidikan; umumnya diberikan suatu penempatan


sekolah yang tepat dalam suatu program khusus. Penempatan itu dianggp sangat
penting diterapkan guna "penyembuhan" anak dengan ADD. Pada anak-anak
ADD umumnya mempunyai kesulitan belajar disebabkan adanya hiperaktif sifat
impulsif, dan menurunnya daya atensi saat mengikuti pelajaran (Straus &
Lehtinen, 1955 dalam Batshaw & Perret, 1986:266). Untuk perkembangan dan
pertumbuhan diri anak-anak bersangkutan, diperlukan suatu bentuk program
pembelajaran spesifik dalam sebuah kelas khusus dengan didampingi seorang
asisten yang dapat membantu kegiatan selama layanan pembelajaran berlansung.

Pada anak-anak dengan ADD-H pendekatan yang efektif adalah dengan


menerapkan modifikasi perilaku saat pelaksanaan pembelajaran . Metode yang
digunakan akan melibatkan tata cara pengaturan program. Lingkungan yang
terstruktur, dan bentuk re-inforcement terhadap perilaku dianggap hal yang
penting. Alasan utama digunakannya modifikasi perilaku disebabkan bahwa
perilaku dapat dikontrol melalui konsekuensi-konsekuensi yang diperlakukan
akibat adanya perilaku sasaran pembelajaran tersebut. Jadi apabila hasil perilaku
sasaran tertentu mendapatkan reward, maka akan memperoleh manfaat dengan
berulangkalinya perilaku tertentu di masa yang akan datang. Jika perilaku tidak-
mendapat reword, maka tidak akan muncul lagi. Anggapan ini berdasarkan atas
tiga landasan utama dari suatu metode pengontrolan terhadap perilaku, yaitu
reinforcement, punishment, dan extinction. Dengan menggunakan modifikasi
perilaku, maka saat mencatat semua hasil perilaku sasaran yang kemunculanya
diharapkan, model evaluasi terhadap subjek tunggal sangat memegang peranan
penting (single-case design: A-B; A-B-A; atau A-B-A-B).

Suatu program untuk layanan pembelajaran atau bimbingan konseling


terhadap anak-anak ADD-H diperlukan suatu model tersendiri bersifat spesifik
dengan berlandaskan pada pola Input out - Process - Output. Dalam input, diper-
lukan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan (a) skrining atau asesmen guna
mengetahui informasi berkaitan dengan karakteristik khusus dari anak-anak ber-
sangkutan, (b) masukan informasi berkaitan dengan program yang lalu, keadaan
dan keberadaan guru, therapist, konselor setempat, sarana dan prasarana, serta
tahapan kegiatan yang pernah dilakukan atau diterapkan pada anak-anak bersang-
kutan. Masukan lingkungan berkaitan deligan norma, tuntutan, tujuan suatu
kegiatan, serta keadaar, lingkungan anak-anak merupakan informasi yang sangat
berguna dan sangat memegang peranan penting bagi kegiatan input.

Selanjutnya proses kegiatan layanan spesifik diperlukan suatu program


pembelajaran /konseling/terapi yang bersifat individu dan dibuat secara
khusus.Tentunya dengan melihat kurikulum yang berlaku, perilaku nonadaptif
atau matadjustment tertentu, cara melaksanakan kegiatan intervensi, dan
bagaimana melakukan refleksi kegiatan pembelajaran .

Selama proses kegiatan untuk "penyembuhan" terahadap anak, ADD-H


diperlukan program tertentu yang lebih menitikberatkan pada model modifikasi
perilaku. Siklus kegiatannya diperlukan adanya tindakan (act), perencanaan
(plan), pengarnatan (observation), refleksi hasii kegiatan pembelajaran
(reflextion), dan perencanaan kembali (re-plan) dan seterusnya, sampai ditemukan
kesempurnaan perilaku sasaran tertentu pada sasaran akhir (annual goals).

Dalam output atau keluaran, program hendaknya berfokus pada perilaku


sasaran yang telah ditentukan, dan merupakan konsekuensi berikutnya. Semua
hash yang berkaitan dengan tingkat kestabilan perkembangan perilaku tertentu
perlu dicatat dalam sebuah formulir pencatatan khusus (disebut dengan recording
sheet for rate data). Semua hasil catatan itu kemudian di rekapitulasi dan
dipetakan dalam sebuah grafik single-case design. Penghitungan stabilitas
perkembangan (trend stability) merupakan anak-anak isis -untuk menghitung
kadar, perkembangannya, apakah masih labil (disebut: Variable) atau sudah tetap
(disebut dengan Constant). Disebut dengan con stant apabila nilai trend stability
berpada 85% ke atas.
D. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK TUNALARAS
(ANAK-ANAK DENGAN HENDAYA PERILAKU M MENYIMPANG

Definisi berkaitan dengan tunalaras atau emotionally handicapped atau behavioral


disorder sekarang lebih terarahkan herdasarkan definisi dari Eli M. Bower
(1981). Definisi Bower (1981) menyatakan bahwa anak-anak dengan hambatan
emosional atau kelainan perilaku, apabila ia menunjukkan adanya satu atau lebih
dari lima komponen berikut ini.
a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensor),
atau kesehatan.
b. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan
guru-guru.
c. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
d. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan pervasive dan tidak
menggembirakan atau depresi.
e. Bertendensi ke arah symptoms fisik seperti rnerasa sakit, atau ketakutan
berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.

Berdasarkan definisi Bower tersebut, masalah hambatan dalam belajar


merupakan karakteristik dan merupakan aspek yang signifikan di sekolah. Dari
definisi harnbatan emosional tercatat dalam Peraturan Pernerintah Amerika
Serikat (Public law 94-142 Secdtion 121 a. 5), antara lain sebagai berikut.

1. Mempunyai kondisi satu atau lebih dari komponen. Bower akan


berpengaruh terhadap kinerja pendidikan untuk periode waktu yang
panjang .
2. Secara pasti bahwa ketidk mampuan belajar bukan disebabkan karena
faktor-faktor berkaitan dengan kemampuan intelektual, sensory dan
kesehatannya.
3. Tidak mampu untuk melakukan kerja sama yang memuaskan dengan
teman-teman dan guru-gurunya.
4. Mempunyai tipe perilaku yang tidak pada tempatnya atau perasan yang
tidak umum dengan lingkungannya.
5. Mempunyai perasaan tidak gembira atau suka depresi.
6. Bertendensi ke arah symptom fisik. Misalnya, perasaan takut. terhadap
perorangan atau permasalahan yang pada di sekolah.
7. Istilan tersebuttermasukkepada mereka yang menyandang schizophrenic,
C, atau autistic. Tetapi tidak menyangkut kepada mereka yang tidak
mampu beradaptasi secara sosial.

Banyak anak-anak dan remaja yang menunjukkan kelainan perilaku


menyimpang (tunalaras). Biasanya kelainan perilaku berkaitan dengan hendaya
penyerta lainnya, seperti hambatan perkembangan fungsional (mental retardation)
dan kesulitan belajar yang spesifik (specific learning disability). Guru kelas
hendaknya mampu mengatasi siswa-siswa dengan hendaya perilaku menyimpang
melalui program pembelajaran yang sesuai dengan kondisi mereka. Umumnya, di
sekolah-sekolah reguler anak-anak dengan kelainan perilaku menyimpang banyak
dijumpai dengan tingkat ringan. Sedangkan anak-anak dengan kelainan perilaku
tingkat sedang banyak di tempatkan di sekolah-sekolah khusus. Untuk tingkat
berat umumnya mereka ditempatkan pada tempat dengan situasi dan kondisi yang
spesifik (mereka ini antara lain schizophrenic, psychopatic, dan behavior).

Para ahli psikoanak-anak isis memercayai bahwa interaksi negatif yang


terjadi sejanak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak-anak
merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan
kelainan perilaku yang series. Para orang tua yang menerapkan disiplin rendah
terhadap anak-anaknya tetapi selalu memberikar, reaksi terhadap perilaku yang
kurang baik, tidak sopan, suka menolanak sepertinya dapat menjadi sebab
seorang anak-anak menjadi agresif, nakal atau jahat (delinquent) (Hallahan &
Kaufmann, 1978 dalam Geddes, D. , 1981:1 124).

Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat dipakai


sebagai patokan untuk menggunakan program pembelaiaran yang mengarah pada
intervensi khusus untuk rnenurunkan atau bahkan menghilangkan perilaku
menyimpang. Jika anak-anak mempunyai masalah psikologis, diperiukan model
psikoanak-anak itis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Jika anak-anak
menunjukkan penyimpangan dalam berperilaku bermasyarakat (agresif,
menghindar dari keramaian, dan sikap beitahan diri), diperlukan penanganan
dengan model perilaku, pendekatan penyembuhannya dengan cara memodifikasi
perilaku untuk berperilaku yang benar daripada membetulkan kasusasusnya.

Anak-anak yang mempunyai kelainan perilaku urnumnya tidak mampu


untuk berteman karena yang bersangkutan selalu menernui kegagalan saat
melakukan hubungan dengan orang lain. Kegagalan mengadakan hubungan engan
orang lain . disebabkan oleh adanya ketidak puasaan dirinya terhadap I
(Hallahan & Kauffman, 1986:144-148). Elemen-elemen lingkungan sosialnya
oleh karenanya perilaku guru dan teman sekelasnya harus dapat dikondisikan agar
situasi interaksi di dalam kelas dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak
dengan hendaya perilaku menyimpang untuk melakukan interaksi dengan
kompetensi sosial dan perangai yang memadai (Thomas et al., 1968 dalam
Hallahan & Kauffman, 1986:159). Maka program pembelajaran individual
yang disusun guru hendaknya lebih menekankan pada bentuk- bentuk interaksi
antara guru - murid - teman sekelasnya.Apl:Masi anak irama terhadap program
pembelajaran individual sernacam ini sangat meinbantu guru kelas dalam
mewujudkan interaksi antara ketiga unsur murid, guru, dan teman sekelas melalui
pola-pola anak tubuh. Dengan kata lain bahwa anak irama bertujuan untuk
"membentuk" jahrian hubungan interaksi dalam proses kegiatan pembelajaran
terhadap anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku.

1. Konsep Anak-anak dengan Hendhya Perilaku Menyimpang (Tunalaras)


a. Penngertian Hendaya Perilaku Menyimpang
Behavioral impairment atau hendaya perilaku menyimpang (tunalaras) merupakan
istilah berkaitan dengan kelainan perilaku yang banyak dibicarakan oleh para
pendidik. Definisi dan pemberian Hama-Hama lain, antara lain berkaitan dengan
istilah-istilah, seper-16: gangguan emosional (emotionally disturb), perilaku sosial
emosional yang maladaptif (maladaptive social emotional behavior), kelainan
perilaku (behaviorally disorder), hambatan dalam pendidikan (educationally
handicapped), dan kelainan psikologis (psychological disordered) (Geddes, D.,
1981:123). Sedangkan Hallahan & Kauffman (1986:146), memberikan istilah
kelainan perilaku dengan Hama gangguan perilaku atau kelainan perilaku
(Behavioral disturbance/ behavioral disorder).

Definisi tentang anak-anak dengan hendaya perilaku saat ini masih


memakai pendapat Eli M. Bower (1981), yang menyatakan bahwa "anak-anak
yang mempunyai hendaya perilaku secara emosional adalah mereka yang menun-
jukkan satu atau lebih dari kelima karakteristik berikut ini yang terjadi secara
terus-menerus Serta menjadi lebih berkernbang" Karakteristik anak-anak yang
mempunyai kelainan perilaku menyimpang, menurut Geddes, D. (1981:124) dan
Kauffman, J.M. (1985:22), adalah mereka yang menunjukkan lima karakteristik
sebagai berikut.

1. Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh faktor


faktor intelektual, sensori, atau faktor kesehatan.
2. Ketidakmampuan untuk rnembangun hubungan antarpribadi secar
memuaskan, sehingga hubungan antarpribadi (dengan teman-teman dan
guru) yang sangat rendah.
3. Berperilaku dan berperasaan yang tidak semestinya.
4. Pada umumnya, mereka merasa tidak bahagia atau depresi.
5. Betendensi terjadi peningkatan gejala-gejala fisik yang kurang sehat, rasa
sakit, atau rasa takut yang bersifat psikologis berkaitan dengan masalah-
masalah saat melakukan hubungan dengan orang dan sekolah (Bower ,
1969 cialam Geddes, D., 1981-124; dalam Kauffman; J.M., 1986:22).

Kelima karakteristik tersebut mengacu pada pernyataan-pernyataan


berkaitan dengan pemberian suatu definisi berdasarkan atas penyelidikan yang
banyak dipakai dalam berbagai kegiatan para ahli pendidikan (Cullinan &
Epstein, 1979; Epstein et al, 1977, dalam Kauffman, 1985:18), yang
menunjukkan adanya beberapa komponen yang dapat diidentifikasi, sebagai
berikut.
1. Adanya kelainan emosi atau perilaku
2. Permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan ketidak-
mampuan melakukan hubungan antarpribadi (interpersonal relationship).
3. Ketidakmampuan belajar dan pencapaian keterampilan-keterampilan di
sekolah.
4. Perilaku yang berbeda dengan perilaku pada umumnya atau tidak sesuai
dengan harapan-harapan yang diinginkan sesuai dengan kecocokan umur.
5. Permasalahan yang disandangnya dalam kurun waktu yang panjang.
6. Permasalahan berkaitan dengan hendaya perilakunya dikategorikan dalam
tingkat begat (severe).
7. Membutuhkan bantuan pendidikan khusus (special education).

Kelainan perilaku merupakan perilaku yang menyimpang dari perilaku


normal. Hal itu diakibatkan adanya pertentangan dengan orang dan masyarakat
sekitarnya. Kebanyakan dari mereka mempunyai skor rendah dalam belajar dan,
tes inteligensi. Prevalensi terjadinya anak-anak dengan hendaya perilaku
menyimpang bervariasi. Namun diperkirakan berkisar antara 2 hingga 22 persen
dari anak-anak usia sekolah, dan diidentifikasikan banyak terjadi pada anak-anak
laki-laki daripada anak-anak perempuan. Pendapat lain, bahwa privalensi dari
anak-anak dengan hendaya perilaku berkisar lima hingga 20 persen atau bahkan
lebih dari populasi anak-anak usia sekolah (Kauffman, J.M.; 1985:25). Sulitnya
memperkirakan privalensi secara tepat disebabkan oleh adanya beberapa hal
sebagai berikut.
1. Sebelum jumlah anak-anak dengan hendaya perilaku di definisikan,
perkembangannya masih belum dapat dipastikan secara akurat dan
reliabel.
2. Adanya perbedaan-perbedaan, dalam metodologi dapat menyebabkan
hasil-penelitian berkaitan dengan hendaya nakdengan kelainan perilaku
menjadi berbeda
3. Adanya pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang pada kebijakan sosial Serta
faktor-faktor ekonoin; yang turut berperan dalam memberikan definisi dan
metodologi. Kebijakan dari hasil latihan-latihan para ahli pen(Jidikan dan
pertimbangan-pertimbangan klinis masih terabaikan (Maglioca & Stevens,
1980 dalam Kauffman, J.M., 1985:25).

Kasus yang banyak ditemukan berkaitan dengan hendaya perilaku


menyimpang sangat erat hubungannya dengan adanya defisit pada faktor-faktor:
biologis atau organik, kelainan psikdogis atau psikodinamis, konflik-konflik di
lingkungan, masyarakat, dan perilaku sosioadaptif yang tidak herkemampuan
menyesuaikan diri (ma(adjustmeni).

Menurut Kauffma n, J. M. (1985:91-164 faktor-faktor yang paling


dominan penyebab adanya hendaya perilaku (behavior disorders) yaitu:
1. faktor keluarga,
2. faktor biologis, dan
3. faktor sekolah.

Defisit dalam aspek organik secara tersendiri atau kombinasi dengan


faktor-faktor lingkungan dapat menyebabkan adanya perilaku yang menyimpang.
dengan hendaya ketidak berfungsian, stem saraf pusat atau kelainan secara
biokemikal (seperti: nutrisi yang rendah, kurang tidur) dapat mengakibatkan
kerusakan secara fisik, seperti adanya ketidak seimbangan dalam hormon, cedera
otak, kerusakan enzim dan schizophrenia denotype. Kerusakan secara organi atau
biologis sangat sulit untuk diidentifikasi walau pun kondisinya secara nyata
sangat berat, seperti pada anak-anak dengan sindrorn kelangkaan komunikasi
(Ow tism) dan anak-anak dengan sindrom kelainan psikis (schizophrenia).

Masalah-masalah pribadi atau psikologis pada anak-anak dan remaja


banyak dibicarakan dan telah dilakukan penelitian-penelitian oleh para ahli. secara
teori banyak dibicarakan melalui model psikoanak-anak isis dari Freud dan
pendekatan psikologis kemanusiaan melalui teori-teori dari Adler, Maslow,
Allport, Combs, dan Rogers (Reinert, 1976 dalam Geddes, D., 1981:124). Para
ahli psikoanak-anak isis mer-nercayai bahwa interaksi negatif yang terjadi
sejanak usia dini antara orang tua dan anak, khususnya ibu dan anak-anak
merupakan penyebab utama dari permasalahan-permasalahan berkaitan dengan
kelainan emosional yang serius. Orang tua yang menerapkan disiplin rendah tetapi
selalu rnemberikan reaksi terhadap perilaku yang kurang baik , tidak sopan, dan
suka menolanak dapat menyebabkan seorang anak-anak menjadi agresif atau
nakal (delinquent) (Hallahan & Kauffman 1978, dalam Geddes, D., 1981:125).

Adanya tekanan yang sering terjadi di masyarakat terhadap anak, ditambah


dengan ketidak berhasilan anak-anak bersangkutan dalam pergaulan ling-
kungannya sering menjadi penyebab perilaku-perilaku yang menyimpang. papas
juga terjadi bila seorang anak-anak kurang memahami akan aturan-aturan yang
pada dalam kehidupan masyarakat. Selain itujuga dapat terjadi oleh karena adanya
suatu pandangan yang keliru terhadap sekelornpok minoritas tertentu. Hal tersebut
dapat menjadi penyebab anak-anak yang suka melawan hukum atau aturan-aturan
tertentu dan selalu memberontanak untuk melawan orang yang berkuasa.
Perilaku sosioadaptif perlu dipertimbangkan dalam memberikan reaksi
dan melakukan penyesuaian oleh seseorang saat merespon terhadap pengalaman-
pengalaman hidup yang diperoleh dalam lingkungannya. Faktor-faktor
sosioadaptif antara lain perkembangan kedewasaan, penyesuaian sosial, dan
kemampuan belajar. Jika seseorang mempunyai penyimpangan tingkat
penyesuaian normal secara kronologis, dapat dipastikan akan menjadi anak-anak
yang kurang dapat menyesuaikan diri (maladjustment) atau perilaku yang
menyimpang.
Identifikasi terhadap kasus kelainan perilaku menyimpang dapat juga dipakai
sebagai patokan untuk menggunakan program penyembuhan. sebagai contoh, jika
seorang anak-anak mempunyai masalah psikologis, diperlukan model psikoanak-
anak itis yang lebih menekankan pada psikodinamis. Di sisi lain, jika seorang
anak-anak menunjukkan penyimpangan perilaku dalam bermasyarakat
'diperlukan penanganan dengan model perilaku, yaitu dengan cara memodifikasi
untuk belajar berperilaku yang benar daripada membetulkan kasuskasusnya.Tipe
perilaku yang tampak, merupakan refleksi-refleksi dari perasaan diri seperti
marah, merasa sering menemui kegagalan, takut, frustasi, ketakutan tanpa sebab,
konsep diri yang kurang,tidak merasa aman, penerimaan terhadap dirinya yang
kurang, masaiall-masalah identitas, dan merasa diacuhkan oleh orang lain. Pe.
ilaku semacam ini sering diikuti dengan masalah-masalah lain berkaitan dengan
kegagalan dalam belajar dan berbicara dengan gagap.

Pada tiga perilaku utama yang ttampak pada seorang anak-anak dengan
kelainan perilaku menyimpang, yaitu agresif, suka menghindar diri dari
keramaian, dan sikap diri. Agresif merupakan perilaku dalam wujud bermusuhan
(hostility), suka berkelahi (belligevency), suka berteriak (veiling), ledakan kema-
rahan (ternperoutbuats), suka menyindir (teasing), suka mengacaukan (vanda-
lism), suka melawan terhadap kewenangan orang dewasa (resiteonce to adult
authority), suka melakukan kenakalan atau kejahatan (delinquency), suka mernu-
kul secara fisik pada orang lain (physically striking others), dan sikap menolanak
untuk bekerja sama (refusing to cooperate).
1. Withdrawal atau sifat suka menghindarkan diri dari orang lain, merupakan
perilaku yang mudah dilihat oleh guru. Umumnya anak-anak yang
mempunyai perilaku semacam ini, pada dasarnya adalah seorang anak-
anak yang berperilaku baik. Namun kelainan perilaku semacam ini
berkaitan dengan perilaku yang bersikap pasif (passivity), suka melamun
(day dreornig), ketidakdewasaan (immaturity), suka menghisap ibu jarinya
(thumb sucking), mempunyai rasa takut yang berlebihan (extreme fear),
sering gagal untuk berbicara (failure to talk), tidak suka bergaul
(reluctance to sosialize), bermain sendirian (playing alone), sering
mengeluh merasakan sakit (complaining offeeling ill,, tidak menaruh
perhatian terhadap lawan berbicara saat berbicara dengan orang lain,
berperilaku suka merangsang diri (melakukan onani), dan sangat mudah
untuk depress (muram atau sedih).
2. Sikap bertahan diri (defensive behavior), merupakan perilaku yang
dilakukan untuk melindungi diri dari situasi berbahaya secara psikologis.
Mekanisme ini selalu digunakan oleh semua orang dalam populasi secara
umum tetapi bila digunakan secara berlebihan oleh seseorang maka ia
mempunyai hendaya kelainan perilaku menyimpang, karena cara-cara
perlindungan diri sendiri yang dilakukannya dilakukan secara tidak wajar.
Contohnya, suka menyalahkan orang lain . bila dirinya melakukan
kesalahan atau kekurangan, berperilaku kekanak-kanakan, suka melamun
atau berfantasi untuk lari dari kenyataan yang sebenarnya, tindakan-
tindakannya selalu menggunakan alasan-alasan yang tidak masuk akal,
adanya hambatan atau kelangkaan ingatan disebabkan sering mendapatkan
kejadian-kejadian yang penuh ketegangan, suka mengembangkari
keterampilan khusus atau bakat tertentu untuk penyesuaian terhadap
kekurangan dirinya, menganggap dirinya seperti seseorang yang ia
kagumi.

Tipe-tipe perilaku lainnya antara lain ketidak hadiran diri (absenteism),


suka rnelarikan diri dari kenyataan, bersikap selalu lamban, suka berbohong, suka
menipu, suka mencuri, tidak bertanggung jawab, sering kehilangan barang-
barangnya dan menghindar diri jika disuruh kerja.

b. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Anak-anak dengan Hendaya


Kellainan perilaku
Hambatan yang pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang
pada usia Sekolah Dasar dan Taman anak-anak, pada umumnya berkaitan dengan
sering terjadi konflik dengan orang tuanya, dengan pasangan saudara kembar
sehingga mempunyai perwatakan yang keras, menyangkut perilaku lekas marah,
dan mempunyai pola tidur dan makan yang tidak umum. Pada umurnnya, bila
anak-anak sering rriendapatkan tanggapan-tanggapan negatifdari teman dan
orang lain dalam lingkungan kehidupannya, akan menyebabkan anak-anak
menjadi lebih agresif dan lebih sering menghindarkan diri dari kerumunan orang-
orang di sekitarnya. Oleh karenanya, program intervensi menjadi lebih efektif
terhadap anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku pada tingkat Sekolah
Dasar.

Pada anak-anak usia Sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama,


umumnya mereka mempunyai hambatan pada penyesuaian diri terhadap
lingkungan (socially molodjusted), sehingga menjadikan diri mereka
berpendidikan menyimpang dengan suka mengindarkan diri seperti anak-anak
autistik hingga menjadi anak-anak yang agresif suka nakal dan melakukan
kejahatan.

Program intervensi yang dianggap-tepat adalah pemberian kegiatan


keteram pilan hidup sehari-hari dalam suatu lingkungan khusus sebagai
lingkungan tempat melakukan latihan-latihan kehidupan yang baik, disamping
dipersiapkan suatu kurikulum yang tidak umum atau spesifik dengan latihan-
latihan vokasignal yang khusus.
Kurikulum yang spesifik seharusnya disusun dengan memperhatikan suatu bentuk
kurikulum yang bermuatan kegiatan.Tentu saja dengan berdasarkan pengalaman-
pengalaman esensial yang harus dimplementasikan ke dalam suatu rancangan
pembelajaran yang di arahkan pada fokus keterampilan khusus dan secara rinci.
Dengan kata lain bahwa kurikulum yang disusun tidak berisikan suatu mata
pelajaran untuk diajarkan suatu keterampilan pengalaman secara langsung
berdasarkan atas pokok bahasan yang dituangkan dalam garis-garis besar program
pembelajaran ,hendaknya dimasukkan suatu bentuk keterampilan-keterampilan
spesifik yang bersifat permainan yang mengandung unsur kesenangan dan rasa
saling menyayangi, Serta dapat dipergunakan dalam kehidupan anak-anak
bersangkutan (Kauffman, J. M., 1985:342).

Pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku yang sudah dewasa,


hambatan yang nampanak adalah kesulitan dirinya untuk hidup menyadari secara
bebas, dan hidup yang berproduktif. Mereka mempunyai kelainan perilaku yang
diklasifikasikan dalam. psikotik (autistic dan schizophrenic) dan kelainan perilaku
khusus, seperti agresif yang berlebihan (Hallahan & Kauffman,1986:179-181).

c. Aplikasi Anak Irama dalam Pembelajaran Anak-anak Tunalaras a.


a. Pendekatan yang Diperlukan
Anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang mengacu pada adanya
perilaku yang sangat ekstrim. Masalah yang sangat kronis yaitu sulitnya untuk
menghiiangkan perilaku yang tidak diterima oleh lingkungan sosial dan budaya
tertentu. Mengenai hal tersebut, maka, pendekatan dalam dunia pendidikan yang
dapat diterapkan adalah sebagai berikut.
1. Pendekatan secara psikoanahtis dalam pendidikan, merupakan tuntunan-
tuntunan berdasarkan prinsip-prinsip psikoanak-anak isis. Masalah yang
dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku menyimpang
dipandang sebagai ketidak seimbangan secara patogois antara bagian-
bagian dinamis dari pikiran ide, ego dan super ego. Para praktisi
pendidikan mengupayakan untuk membantu dalam meningkatkan
keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan prestasi ke arah yang lebih
baik. Penekanannya teranak pada pembentukan hubungan yang baik
antara guru dan siswa, agar diri siswa mempunyai perasaan diterima dan
bebas untuk mengemukakan keadaan dirinya. Dengan demikian maka
perhatian guru lebih tertuju pada upaya-upaya untuk membantu anak-anak
dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan mengubah
perilaku kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik,
(Berkowitz & Rothman, 1960 dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173).
2. Pendekatan - secara psikoedukasional. Terhadap anak-anak dengan
hendaya kelainan perilaku yang diasumsikan bahwa kelainannya
melibatkan kelainan psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku
yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan
pendekatan secara seimbang antara sasaran yang bersifat terapeutik
(penyembuhan) dengan sasaran untuk pencapaian prestasinya. Motivasi
terhadap ketidak- sadaran diri dan faktor-faktor yang bersifat patologi
perlu mendapatkan pertimbangan dalam pembelajarannya, melalui
penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap individu dan
pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang rnemanfaatkan kegiatan
kreatif seni, seperti musik, sari, dan kegiatan yang bersifat seni.
3. Pendekatan secara humanistik. Pendekatan ini berdasarkan atas pandangan
psikologi hunlanistik sehingga memungkinkan adanya perubahan dalam
pendidikan, dan sebagai revolusi perubahan. terhadap konsep-konsep
pendidikan tradisional sejanak tahun 1960-an. Masalah utama, para
pendidik adalah bahwa anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku
belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang mempunyai perhatian. Selain
itu masih belum dianggap penting dalam lingkungan pendidikan
tradisional. Hal yang perlu disarankan kepada para praktisi kependidikan
adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guns
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengatur diri sendiri, mampu
mengevaluasi diri, dan emosional dalam pembelajaran yang diterapkan
dalam lingkungan pendidikan yang nontradisional. Fungsi guru dalam hal
ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam pembelajaran
nya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru dan siswa bekerja
sama saling memberikan informasi dalam keadaan yang saling mengun-
tungkan-dan berkesan. Biasanya kata-kata yang dipergunakan tidak
bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan,bersifat ke arah evaluasi
diri,afektif,terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan & Kauffman,
1986:175) .
4. Pendekatan secara ekologis. Elemen-elemen lingkungan seperti sekolah,
lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang
interaksi bagi atiak. Oleh karenanya praktisi pendidikan sebaiknya menjadi
bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem. Dalam hal ini anak-anak
merupakan bagian yang terlibatdi dalamnya.Sasaran dari pendekatan ini
adalah mengubah lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu
intervensi terhadap perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya
diberlakukan dalam ruangan kelas Baja, tetapi meliputi kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh keluarga dan anak-anak yang bersangkutan,
tetangganya, dan orang-orang yang pada di lingkungannya. Pendekatan
secara ekologis membutuhkan seorang guru yang cakap dalam
memberikan keterampilan spesifik yang berguna, termasuk di dalamnya
keterampilan akademik, rekreasi, dan keterampilan untuk hidup sehari-
hari.
5. Pendekatan perilaku. Pendekatan ini menggunakan dasar-dasar pengon-
disian yang bersifat operant dan respondent. Asumsinya adalah bahwa
permasalahan yang bersifat perilaku, yang menjadi penyebab tidak
tepatnya pembelajaran pada anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku
dapat dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku
dapat dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak. Hal
itu tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari
perilaku anak-anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa
tanggapantanggapan anak-anak hendaknya dapat segera disadari oleh
guru atau praktisi serta dapat diukur secara cerrnat. Dengan demikiam
fokus dalam pendekatan perilaku adalah memberikan batasan secara tepat
dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi masalah, dan
memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak-anak yang
bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.

b RancanganPembelajaran
Program pembelajaran bagi anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku
menyimpang sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan Sosial-
ernosionalnya. Untukitu diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan
sosial emosional dan psikoniotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan
sosial emosional, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Kepuasan diri, yaitu merasa sehat, meningkatkan konsep diri, mening-
katkan kepercayaaii diri, aktualisasi diri, dan peningkatan kesadaran
terhadap tubuh.
2. Perkembangan fungsional, yaitu sikap bermasyarakat, dan terhadap nilai-
nilai, kepribadian, dan menyenangi hubungan antar pribadi dalam suatu
lingkungan kehidupan.
3. Perkembangan emosional, yaitu kestabilan emosi, merasa senang, suka
menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, dan bergaul eras sesama
Leman.

Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat


meningkatkan hubungan enterpersonal. Selanjutnya suatu program pembelajaran
bagi anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya tiga hal
berikut.
1. Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan sportivitas,
dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak-anak yang
bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
2. Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk memperoleh pengalaman-
pengalaman -yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan dapat
dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
3. Keaiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan,
seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kegiatan-kegiatan layanan


pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan:
1. adanya kesempatan pada anak-anak untuk dapat mengekspresikan dirinya
sendiri,
2. dapat meningkatkan persahabatan,
3. adanya kesempatan pada anak-anak untuk dapat mernecahkan masalah-
masalahnya secara sendiri;
4. menggunakan gerakan-gerakan ritmis, dan dilakukan dengan
memodifikasi perilaku yang bersifat operantcondition, dengan penguatan
yang positif (positive reinforcement), hukuman (punishment.), dan
penarikan/ penghentian kegiatan (time out).

c. Langkah-langkah Kegiatan Pembuatan Rancangan Pembelajaran


1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan
fungsional psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes
Psychomotor Inventory GPI Profile 1 dan II (sebagai pretest).
2. Menganak-anak isis seluruh hasil skrining atau pretest dengan instrumen
GPI Profile I dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian
psikomotor anak-anak yang bersangkutan disesuaikan dengan
perkembangan sosial emosionalnya.
3. Membuat suatu pola anak yang merupakan bahan intervensi guru dalam
kegiatan pembelajaran nya.
4. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak,
berdasarkan hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum
yang berlaku.
E. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK TUNARUNGU WICARA
(ANAK-ANAK DENGAN HENDAYA PENDENGARAN DAN BICARA)

Bentuk mimik peserta didik dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu
wicara) berbeda dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang lain. Hal ini karena
mereka tidak pernah mendengar atau mempergunakan pancaindera telinga dan
mulut. Oleh sebab itu mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkan
dan dikatakan oleh orang lain. Pengertian hendaya pendengaran adalah seseorang
yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar sebagian
atau seluruhnya, diakibatkan tidak berfungsinya sebagian atau seluruh indera
pendengaran.

Alat audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan


pendengaran dengan ukuran decibel (dB). Derajat kemampuan berdasarkan
ukuran instrumen audiometer menyebabkan klasifikasi anak-anak dengan
hendaya pendengaran sebagai berikut.
1. 0 - 26 dB masih mempunyai pendengaran normal
2. 27 -40 dB rnempunyai kesulitan mendengartingkat-ringan, masih mampu
mendengar bunyi-bunyian yang jauh. Individu tersebut membutuhkan
terapi bicara.
3. 41 -55 dB termasuk tingkat menengah, dapat mengerti bahasa percakapan.
Individu tersebut membutuhkan alat bantu derngar.
4. 56 - 70 dB termasuktingkat menengah berat. Kurang mampu mendengar
dari jaranak dekat, memerlukan alat bantu dengar dan membutuhkan
latihan berbicara secara khusus.
5. 71 - 90 dB termasuk tingkat berat. Individu tersebut termasuk orang
yangmengalami ketulian, hanya mampu mendengarkan suara keras yang
berjaranak kurang lebih satu meter. Kesulitan membedakan suara yang
berhubungan dengan bunyi secara tetap.
6. 91 dan seterusnya, termasuk Individu yang mengalami ketulian
sangat,berat. Tidak dapat mendengar suara. Sangat membutuhkan bantuan
khusus secara intensif terutama dalam keterampilan percakapan
berkomunikasi.
7. Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan hendaya pendengaran
di sekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan data perkembangan
bahasa dan komunikasi (Gregory, S. et al., 1998:47-57).
Ciri-ciri umum hambatan perkembangan bahasa dan komunikasi antara
lain sebagai berikut.
1. Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas.
2. Selalu memiringkan kepalanya, sebagai upaya untuk berganti posisi
telinga terhadap somber bunyi, seringkali is meminta pengulangan
penjelasan guru saat di keias.
3. Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.
4. Keengganan untuk berpartisipasi secara'oral, mereka mendapatkan
kesulitan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena
hambatan pendengarannya.
5. Adanya ketergantungan terhadap petunjuk atau instruksi saat di kelas. 6.
6. Mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara.
7. Perkembangan intelektual peserta didik tunarungu wicara terganggu
8. Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam
membaca.

(Hallahan & Kauffman, 1991: 232-274; Gearheart & Weishan, 1976:33-


45; Kirk & Gallagher, 1989:300-305).

Di negara-negara maju telah terjadi perubahan yang sangat mencolok


dalam pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya pendengaran dan bicara.
Layanan pendidikan mereka lebih dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian para ahli
berkaitan dengan pemberian layanan khusus, perkembangan teknolooi, dan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat menentukan peranan panting dalam
pencapaian suatu pola layanan pendidikan (Watson, L. dalam Gregory, et al.,
1999:1-dan 9).

Pola layanan pendidikan lebih menekankan pada kebeehasilan suatuproses


pembelajaran yang berfokus pada usaha pemberian keterampilan membaca,
berhitung dan pemahaman bahasa. Pemberian layanan keterampilan fiendaknya
didahului dengan melakukan deteksi dini guns mengetahui informasi berkaitan
dengan kemampuan atau kelemahan dan kebutuhan yang sesuai dengan
keberadaannya (dikenal dengan nama: needs assessment). Keterampilan
membaca, menulis, dan latihan-latihan teknis berkaitan dengan Pemahaman
bahasa merupakan usaha-usaha pemerintah di beberapa negara atau untuk
menjadikan warganya "melek huruf" (literacy). Melek huruf merupakan hal pokok
dan memegang peranan penting, khususnya bagi anak-anak dengan hendaya
pendengaran dan bicara, pada setiap program pembelajaran .

Hendaya pendengaran merupakan hambatan yang dianggap cukup besar


bagi perkembangan berbahasa seseorang secara normal, sehingga akan
berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan intelektual seseorang (Hallahan
& Kauffman, 1991:264). Berdasarkan atas pandangan fisiologikal dan
eedukasional terhadap hendaya pendengaran, maka anak-anak dengan hendaya
pendengaran dapat dikategorikan sebagai deaf dan hearing imporment. Jadi anak-
anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada tingkat di atas intensitas
maka yang bersangkutan disebut dengan deaf children. Sedangkan mereka yang
hanya mengalarni kesulitan mendengar pada tingkat intensitas tertentu disebut
sebagai hard of hearing. Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur dengan
decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara.
Terhadap anak-anak yang mempunyai kepekaan suara sekitar 90 dB atau lebih
maka Berdasarkan atas pandangan fisiologikal disebut dengan children.
Sedangkan mereka yang kepekaan suara di bawah 90 dB disebut dengan hard of
hearing.

Pandangan secara edukasional mengukur klasifikasi terhadap anak-anak


dengan hendaya pendengaran dengan pertanyaan, "Sampai sejauhmana pengaruh
kemampuan mendengar seorang anak-anak berdampak pada kemampuannya
untuk berbicara dan pengembangan bahasanya?" Ini dilakukan karena adanya
pendapat para ahli yang menyatakan bahwa terdapat hubungan eras antara
ketiadaan kemampuan mendengar dengan kemunduran perkembangan berbahasa
seseorang. Oleh definisi mengenai hendaya pendengaran (hearing impairment)
dapat rnengacu pada the Conference of Executive of American School for the Deaf
sebagai berikut.
"Hearing impairment. A generic indicating a hearing 7 disability that may
range in severity from mild to profound; itindudes the subsets of deaf and
hard of hearing. A deafperson is one whose hearing disabiiitypredudes
succesful processing of linyuis tic information through audition, with or
without aheariny aid. A hard ofheoriny person is one who, generallywith
the use ofhearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesful
prc>cessingoffinguisticinformation through audition "(Hallahan
&Kauffman, 1986:24x; dan 1991.266).

Mereka yang termasuk kedalam hendaya pendengaran terdiri atas kategori


yaitu mereka yang tuli sejanak dilahirkan disebut dengan congenitally deaf, dan
mereka yang tuli setelah dilahirkan disebut dengan adventitiously deaf.
Sedangkan klasifikasi Berdasarkan atas ambang Batas kemampuan mendengar
terdiri atas ringan (26-54 dB), sedang (55-69 dB), berat (70-89, dan sangat berat
(90 dB ke atas).

Beberapa hasil penelitian (Ittyerah & Sharman, 1997; Wiegersma & Van
Der Velde, 1983) telah menernukan suatu kenyataan bahwa anak-anak dengan
hendaya pendengaran (deaf children) mempunyai kesulitan pada ;
1. Koordinasi dinamika anak (dynamic coordination) antara lain padahal
berjalan mundur dan maju sepanjang titian yang sempit ke atas Dumpiny
& skipping), dan melompati rintangan direntangkan.
2. Kernarnpuan koordinasi anak visual, seperti memasukkan tali dalam
lobang yang pada pagan berlobang khusus.
3. Dalam melakukan gerakan berpindah (movement) lebih lambat
dibandingkan dengan anak-anak yang mampu mendengar. Hal ini dise
perkembangan persepsinya kurang (dalam Lewis, V., 2003:98).

Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa anak-anak


dengan hendaya pendengaran sangat memerlukan suatu khusus yang bersifat
dapat dilihat (auditorycues) (Wiegersma &Varij 1983). Sedangkan penelitian dari
Salversberg, et al. (1991) lebih mukan bahwa kesalahan-kesalahan anak Sering
dilakukan pada 13 tahun yang mempunyai hendaya pendengaran, antara lain:
1. selalu boleh menangkap bola yang dilemparkan pada pola atau lebih
meskipun dilakukan dengan bantuan tanda-berupa visual (visual signal)
dengan intensitas suara 20 Db;
2. anak-anak dengan hendaya pendengaran selalu menekan tombol dengan
kedua belah tangannya walaupun tanpada suara dengan intensitas 15 dB
(selalu lambat data respon to visual stimulus).

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa yang berhubungan dengan


pendengaran dapat melakukan respon bagi sebagian besar anak-anak dengan
pendengaran (deaf children)".

Perkembangan persepsi anak dari anak-anak dengan dengaran sangat


disarankan untuk dilakukan tes terhadap hisasi semori (sensory compensation
hypothesis). Hal ini perlu dilakukan disebabkan adanya pendapat yang
menyatakan bahwa hilangnya satu indera tubuh seseorang dapat saja "digantikan"
oleh indera lainnya. Hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut telah
membuktikan adanya fakta-fakta sebagai berikut.

1. Apabila tanda-tanpada visual dan auditory cukup jeias, maka anak-


anaktanpa hendaya pendengaran dapat lebih cepat dan tepat dalam
merespot, dibandingkan dengan anak-anakyang mempunyai hendaya
pendengaran (Slaversberg, et al., 19911 dalam Lewis,V., 2003:99).
2. Anak-anak dengan hendaya pendengaran yang telah memperoleh alat
pendengaran (cochlearimplonts) penampilannya sama dengan mereka
yang dapat rnendengar dalam hal melakukan tugas berkaitan dengan atensi
visual (visual attention task). Sebaliknya anak-anak dengan hendaya
pendengaran yang tidak mendapat cangkokan alat pendengaran wring
melakukan kesalahan-kesalahan dalam tugas yang berkaitan dengan atensi
visual (Quittner, 1994 dalam Lewis, V., 2003:99).
3. Setelah setahun menggunakan cangkokan alat pendengaran, ternyata anak-
anak dengan hendaya pendengaran mampu meningkatkan atensi visualnya
(Quittner, 1994 dalam Lewis,V., 2003:99).
4. Anak-anak dengan hendaya pendengaran sebaiknya dikondisikan dengan
pemberian tanda-tanpada khusus secara tatap muka langsung atau dengan
keterarahan wajah. Dengan cara ini kemampuan visual mereka akan sama
dengan orang-orang ciewasa "normal". Berdasarkar. hal ini maka
sebaiknya diberikan:
a. perhatian khusus dalam pengondisian dengan pemberian tandatanpada
yang bersifat keterarahan wajah semenjanak usia dini;
b. latihan-latihan bahasa isyarat (sign language) perlu dilakukan sejanak
usia dini, karena bahasa ;syarat akan lebih meningkatkan kemampuan
ruang visual (visual spatial). Dengan kata lain, bahwa pada anak-anak
dengan hendaya pendengaran memerlukan latihan-latilhan bahasa
isyarat untukdapat meningkatkan perkembangan persepsi geraknya'

Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendayo pendengaran


secara umum cukup baik, khususnya dalam segi berpikir dan pemahaman.
Nantinya bahwa mereka mempunyai perkembangan kognisi dikarenakan pada
hubungan yang erat antara perkembangan berbahasa dengan berpikir. Menu
Watson (1913) bahwa proses berpikir anak-anak dengan hendaya pendenoara
sebenarnya merupakan kebiasaan-kebiasaan anak yang pada pang tenggorokan
(larynx). Terdapat kesamaan dalam proses berpikir secara dengan proses
pencapaian kemampuan berbahasa. Sebaliknya, Chomsky menyatakan bahwa
perkembangan berbahasa anak-anak dengan hendaya pendengaran terpisah
dengan kemampuan kognisi mereka. la menyatakan secara lebih jauh bahwa
struktur bahasa muncul dalam benaknya sejanak yang bersangkutan dilahirkan,
sehingga setiap anak-anak mernerlukan pengalaman-pengalaman berbahasa agar
lebih mengembangkan kemampuan berbahasanya.

Bagaimanapun perbedaan yang telah pada Watson dar, Chomsky, namun


beberapa ahli lainnya telah menyatakan pendapat mereka tentang perkembangan
kognisi seorang anak-anak sebagai berikut.
1. Kemampuan berpikir dan berbahasa saling berkaitan walatipun pada
perbedaan di antara keduanya khususnya mengenai apakah kemampuan
berpikir dapat menentukan kemampuan berbahasa, atau sebaliknya
(Piaget , 1967).
2. Kemampuan berbahasa menentukan kemampuan berpikir (Sapir, 1912).
3. Kemampuan berbahasa dan berpikir dapat saling memengaruhi antara
satu sama lainnya (Vigotsky , 1962).
Menurut Piaget (1967), bahwa inteligensi merupakan kemampuan
kognisi seorang anak-anak yang sangat tergantung pada tindakan-tindakannya.
Hal tersebut berkaitan dengan yang bersangkutan dalam mengadaptasi lingku-
ngannya dan sikapnya untuk mampu mengambil konsekuensi-konsekuensi dari
tindakan yang ia ambil. Melalui sikap ini, seorang anak-anak akan memahami
dan melihat bentuk yang pada di lingkungannya berdasarkan atas refleksi yang
telah pada dalam inteligensinya. Dengan kata lain bahwa apabila terjadi
perkembangan pada kognisi seorang anak-anak maka kemampuan berbahasapun
berkernbang. Hal ini terjadi sebagai bentuk-antisipasi-terhadap perubahan-
perubahan dalam pemahaman terhadap lingkungannya. Jadi kemampuan
berbahasa seorang anak-anak dapat memengaruhi kemampuan berpikirnya
walaupun Piaget menyadari bahwa kemahiran berbahasa terpisah dari kegiatan
berpikir.

Berbeda dengan pendapat Piaget, pendapat dari Sapir yang kernudian


dikembangkan oleh Whorf (1940, Reprinted in Mandelbaum, 1958) menyatakan
bahwa persepsi dan pengalaman terhadap lingkungan tergantung pada suatu
bahasa yang digunakan. Bila kemampuan berbahasa anak-anak sudah mahir
untuk menghubungkan gejala-gejala atau pengetahuannya ierhadap suatu konsep,
maka anak-anak yang bersangkutan akan mempunyai pengalaman dan dapat
mernahami suatu konsep atau suatu atribut tertentu. Bila konsep atau atribut tidak
diekspresikan dalam kemampuan berbahasanya maka anakyang bersangkutan
belum mempunyai pengalaman atau pemahaman terhadap suatu konsep atau
atribut.

Sedangkan Vigotsky (1962) menyatakan bahwa berpikir dan kemampuan


berbahasa pada awalnya merupakan hal yang terpisah dan berkembang secara
sejajar pada seorang anak-anak - hingga mencapai umur dua tahun. Antara
berpikir dan kemampuan berbahasa keduanya saling mengisi sehingga bahasa
dapat, digunakan untuk membantu berpikir,dan pikiran yang pada dapat
mernengaruhi kemampuan berbahasa seorang anak. Dengan kata lain, bahwa
hubungan antara; berpikir dan kemampuan berbahasa saling berkaitan sangat
eras.

Penelitian terhadap anak-anak dengan hendaya pendengaran (deaf


children) berkaitan dengan hubungan antara kemampuan berbahasa dan kognisi
diperoleh hasil bahvja jika anak-anak dengan hendaya pendengaran tidak,
punyoi kemampuan berbahasa, (yang sesungguhnyo bahwa bahasa merupa~ kon
prosycrat dari kemampuan kognisi) maka anak-anak dengan hendaya pende
ngoran akan r-nendapatkon kesuliton dolour kemampuan berpikirnyo bohka
ditnungkinkan kemampuan berpikir yang sudah odopLIn akan menghilang Jadi
kemampuan berbahasa sangat rnenentukan kemampuan kognis sehingga
pengetahuan dan pemahaman seorang anak-anak dengan hendaya pew; dengaran
hendaknya sepadan dengan kemampuan dan pemahaman ana yang mampu
dengan.
Dari beberapa teori yang dikernukakan tersebut, dapat diarnbil kesimpulan
bahwa: "Kemampuan berbahasa sesunggunya merupakan komponen suatu bahasa
" atou " the language is spoken languoye. Dengan demikian bahasa isyarat seperti
American sign language (ASL) pada British sign language (BSL) merupakan
ucapan bahasa yang dapat diterima, sebagai ungkapan berbahasa di antara mereka
yang mempunyai henpada pendengaran. Hal ini dapat dilihat bahwa ASL
mempunyai tanda-tanpada yan terdiri atas gerakan-gerakan tangan yang dilakukan
secara simbolik, seta umum menyatakan ungkapan keseluruhan suatu konsep. Arti
setiap geraka gerakan tangan tergantung pada bentuk, lokasi, perpindahan, dan
orientaf dari satu atau kedua tangan. Komponen-kornponen ini akan muncul secs
simultan yang disebut dengan "cheremes" dan dapat menyampaikan sua,,
ungkapan pengganti bunyi sebagai hasil produksi kata dalam bahasa ucap

Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan teknologi dan teori-t belajar


sangat memegang peranan penting guna menemukan pengem ngan metode-r-
rVetode baru Serta intervensi yang lebih efektif dalam proses pembelajaran
terhadap anak-anak dengan hendaya pendengaran dan berbicara. Hal tersebut
dilakukan di berbagai negara maju guna mengatasi permasalahan yang berkaitan
dengan pemahaman bahasa. Penemuan-penemuan yang diperoleh dari hasil
penelitian tersebut pada urnurnnya berkaitan dengan cara-cara baru yang
merupakan bentuk intervensi layanan yang lebih efektif dan banyak dimuat dalam
jurnal-jurnal ilmiah. Sayangnya para guru dan ahli terapi wicara masih banyalk
yang belum mau menerima cara-cara baru hasil penernuan penelitian tersebut. Hal
ini disebabkan mereka disibukkan dengan pekerjaan rutinnya di sekolah-sekolah
atau di klinik klinik.- Bishop (1999) menyatakan dalam bukunya yang berjudul
Uncommon Understanding Development and Disorder's of Language
Comprehension in Children, la menyatakan sebagai berikut.

"Many researchers justify their theoritical studies with the statement: ifwe
will be able to devise more effective intervention, but all often this is a
hollow premire because the researd i is b urried in scien tificjurnals tha
tare not accessible to the typical speech -therapist or teacher working in a
busyschool or dinik"(p. vii)

Secara umum kemahiran berbahasa (yang berard kemampuan berbicara)


merupakan proses yang sifatnya susah dikembangkan. Sebenarnya belum pada
cara untuk menghambat ketidakberdayaan seorang anakdalam mengatasi
keterbatasan kemampuan berbahasanya (Pinker, 1984:29 dalarr. Bishop,
1999:19). Walaupun secara nyata penyebab hambatan perkembangan bahasa
belum jelas, namun para ahli mencoba untuk memecahkannya berdasarkan aspek-
aspek neurologi,etiologi atau genetika dan proses kognitif. Faktor genetiklo
diyakini sepenuhnya sebagai fak-tordon-jinan (dibandingkan dengan faktor
neurologi atau proses kognitif) penyebab terjadinya hambatan perkembangan
bahasa yang implikasi sangat berpengaruh terhadap hambatan tangan berbahasa
seseorang. Hal ini dikenal dengan Hama "developmental aphasia'; "developmental
dysphasia', specific development language disorder", sekarang lebih populer
dinamakan dengan "specific developmental language impairment" (Bishop,
1999:19). Kata impair berarti hendaya (Maslim, R., 2000:119) atau "penurunan
kemampuan atau berkurangnya kemampuan dalann s'egi kekuatan, nilai, kualitas
dan kuantitas" (American Heritage Dictio,17ary, 1982:644). Kata specific
menunjukkan bahwa "hendaya perkembangan ahasa merupakan kebalikan dari
perkembangan normal".
Sejanak pertengahan abad ke-19, para ahli yang mempelajari anatonni tubuh
anusia (Histologists) telah mengetengalikan penemuannya bahAa terdapatindera
penerima khusus pada setiap otot, tendon atau jaringan otot. Indera penerima
khusus ini mampu "menggantikan" suatu kelangkaan atau "hilan nya" salah satu
indera tertentu. Indera penerima khusus ini dapat dipakai seba gai media
penghubung kesadaran anak tubuh. Berdasarkan sistem saraf,'Sherrington
menyatakan bahwa indera penerima khusus ini dibedakan Men- jadi dua bentuk
yaitu, meliputi "pancaindera" atau "the five sense" disebut dangan
"exteroceptive", dan "kesadaran terhadap kesan gambaran tubuh" atau "the image
of the body" disebut dengan Hama "proprioceptive". Sherringto adalah seorang
ahli berkaitan dengan teori tentang fungsi otak anak dan siste kerja saraf mak.
Pada abad ke-19, is telah menulis buku yang sangat terker, berjudul " Two ways
of the Mind". Isi buku tersebut antara lain mengemukak, pernyataannya bahwa
pada dua bentuk kegiatan kerja otak anak untuk berkom nikasi, yang satu
berkaitan dengan anak tubuh (movement) dan lainnya kaftan dengan adanya
hubungan antara dunia luar atau lingkungan deng pancaindera (sebagai sensory
input).

Hasil penemuan oleh Frenchman dan Pierre Paul Broca pada tah 1861
berkaitan dengan pancaindera atau exteroceptive adalah terpada hubungan secara
utuh (integritas) pada tonjolan ketiga di bagian kiri de lapisan luar otak anak (the
left frontal lobe of the brain cortex) Yana merupa prasyarat seseorang untuk
mampu berbicara secara normal. Kerusakan pa bagian tersebut mengakibatkan
seseorang tidak mampu mengucapkah k atau kalimat. Penelitian lebih lanjut oleh
Broca pada tahun 1863 telah m mukan bahwa kerusakan pada bagian depan
coping kanan belahan otakti merupakan penyebab gangguar. berbicara (Jokl, E.,
dalam Basic Book ofSp Medicine, 1978:314).
Pierre Paul Broca adalah seorang ahli bedah klinis dari Perancis. Dia or
Yang banyak menekuni masalah otak anak dan tengkoranak sehingga ;a merupa
"orang panutan" dan merupakan orang kund dalam pengetahuan berka dengan
ilmu antropologi fisikdi negara Perancis hingga saat ini.la telah mene kan adanya
kerusakan pada jaringan atau simpul ketiga bagian kiri depan la luar otak anak
yang menjadi penyebab hilangnya kemampuan seseorang u berbicara. Hal ini
menuniukkan adanya hubungan antara kegiatan tubuh s spesifik dengan daerah
khusus yang pada dalam otak anak (Reynolds, C., A., 1987-

Terhadap mereka yang tergolong aphasia, adalah istitah generik


menunjukkan adanya kesulitan untuk berkomunikasi melalui organ.Broca
menekankan bahwa otot-otot organ bicara secara normal masih bekerja untuk
berbicara walaupun mereka mempunyai hambatan bagian kiri depan lapisan luar
otaknya. Kelainan berbicara berkaitan dengan kesulitan dalam menggerakkan
otot-otot tersebut disebut dengan "motor aphasia." Sedangkan terhadap seseorang
yang berbicara secara pelan dan mendapatkan kesulitan pada artikulasi atau
berbicara secara cepat tetapi susunan kata tidak teratur dan tidak berbentuk
disebut dengan "sensoryaphasia". Termasuk kelainan sensory aphasia adalah
mereka yang berbicara hanya dengan satu kata, dengan kalimat pendek, atau
dengan pengucapan anakkalimat yang tidak lengkap, Kaufman (1981 dalam
Reynolds & Mann, 1987:107) menyebutnya sebagai "nonfluent aphasics".

Terjadinya sensory aphasia disebabkan oleh adanya kerusakan pada bagian


kiri depan otak anak (the left temporal lobe of the brain). Golongan "motor apha-
sia" umumnya mereka masih mampu menyusun suatu pembicaraan meskipun
yang bersangkutan tidak mampu mengucapkan kata atau kalimat.Dengan
denlikian dapat dikatakan bahwa anak-anak dengan motor aphasia masih mampu
menulis kata atau kalimat tanpa menernui banyak kesuiitar..

Program layanan pendidikan terhadap mereka yang mempunyai kelainan


aphasia (motor aphasia dan sensory aphasia) hendaknya dilakukan secara
komprehensif. Pendidikan diawali dengan melakukan evaluasi secara multifaktor
terhadap kemampuan neuropsychoiogikal (Reynolds & Mann, 1987:107-108).

Secara garis besar hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan


hendaya pendengaran meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Hasil penelitian para ahli di Amerika Serikat menyatakan bahwa satu di
antara tujuh anak-anak yang mempunyai hendaya pendengaran
mempunyai permasalahan berkaitan dengan kesehatan mental.
Kesehatan mental ini mengarah pada schizophrenia atau kelainan psikis,
paranoid atau -kelainan psikis karena selalu dihantui rasa takut,
affective psychosis atau kelainan emosi secara psikis, dan depression
atau kemuraman (the Departement of Health of USA, 1995 dalam
Gregory, et al., 1999:17).
2. lingkungan hidup, budaya, dan model peran dari anak-anak dengan
hendaya pendengaran (Gregory, et al., 1999:19).
3. Dalann keterampilan kognitif berkaitan dengan prestasi akademik pada
umumnya kemampuan mengingat dari anak-anak dengan hendaya
pendengaran sangat sing kat, h a nya hitungan beberapa
detiktidaksampai menit. Keadaan seperti ini memerlukan kegitan-
kegatan khusus dalam layanan pendidikan agar mereka mampu
membaca, memaha.mi isi bacaan dan mengingat angka-angka. Banyak
terjadi anak-anak dengan hendaya pendengarar, berkesulitan membaca
(Lewis, V., 20003:136). Karena itu mereka memerlukan suatu metode
pernbelajar an yang lebih menekanan pada pengucapan bahasa.
4. Pada kelompok tertentu dari anak-anak dengan hendaya pendengaran
mendapatkan ketidakrnampuan dalam belajar misalnya disebabkan oleh
adanya hendaya visual, ketidakmampuan belajar yang spesifik atak-,
dyslexia, cerebral palsy, dan masalah-masalah berkaitan dengan
Derilaku atau emosi (Gregory, et al., 1999:31).
5. Perkerrbangan bahasa dan komunikasi anak-anak dengan hendaya
pendengaran secara umum kurang sempuma, khususnya saat meng-
gunakan bahasa seperti pada kemampuan pemahaman bahasa,
berbahasa dan berbicara (Hallahan & Kauan, 1986:251 dan
1991:274).
6. Prestasi akademik anak-anak dengan hendaya pendengaran khususnya
dalam kemampuan membaca sangat kurang (Hallahan & Kauffman,
1991:276).-anak-anak dengan hendaya pendengaran tumbuh hidup dan
hidup.
7. Dikarenakan anak-anak dalam lingkungan yang terisolir, maka, mereka
membutuhkan interaksi sosial dan perasaan diterima oleh orang-orang
sekelilingnya. Ini berarti anak-anak dengan hendaya pendengaran
mempunyai hambatan dalam berkomunikasi. Dalam hal ini diperlukan
pendekatan khusus dalam kegiatan belajar -mengajar yang berkaitan
dengan aspek komunikasi, seperti pernberian iatihan auditori (auditory
training); dikondisikan pada berbicara bibir (lips reading); penggunaan
bahasa isyarat dan ejaan huruf dengan jari-jari (sign language and
finger spelling).

Latihan auditori melibatkan tiga sasaran pokok, yaitu:


a. perkembangan kesadaran bunyi,
b. perkembangan kemampuan membuat perbedaan secara nyata
tentang bunyi-bunyi yang pada di lingkunannya, dan
c. perkembangan kemampuan membedakan bunyi-bunyi dalam
kegiatan berbicara.

Pada tiga bentuk yang berbeda dari rangsang bunyi yang dibutuhkan
dalam suatu program latihan terhadap anak-anak dengan hendaya
pendengaran, yaitu:
a. rangsang yang diperoleh dari lingkungan tempat komunikasi itu
terjadi,
b. rangsang secara langsung diikuti dengan pesan tetapi bukan bagian
dari hasil kemampuan berbicara,
c. rangsangan langsung berkaitan dengan r)roclLlksi bunyi pembicaraan
(Hallahan & Kauffman, 1987:258-263; dan 1991:279--282).

8. Data penelitian para ahli menyatakan bahwa anak-anak dengan hendaya


pendengaran umumnya mempunyai kesulitan dalam melakukan anak
keseimbangan dan koordinasi anak tubuh, termasuk didalamnya koordinasi
dinamika gerak, koordinasi gerakvisual, dan anak berpindah (Lewis, V.,
20003:98). Kesulitan anak keseimbangan dan koordinasi anak tubuh pada
anak-anak dengan hendaya pendengaran merupakan salah satu alasan
utama diperlukannya pendekatan pembelajaran dengan menggunakan
permainan terapeutik dan poly anak irama.

Hambatan yang dihadapi oleh anak-anak dengan hendaya berbicara, secara


garis besar disimpulkan sebagai berikut.
1. Anak-anak dengan hendaya berbicara mempunyai kornunikasi yang
kurang baik (defective in communication) seperti berbicara menggagap,
bicara pelat atau terbata-bata, ucapan yang mernbingungkan, dan
bicaranya tidak jelas atau sulit dipahami. Saat berkomunikasi dengan
anak-anak dengan hendaya berbicara, sistem verbal Sering digunakan
sebagai alat berinteraksi dengan mengenal tanda-tanpada nonverbal
meliputi kontanak rnata, ekspresi wajah, orientasi tubuh, dan kornunikasi
yang dilakukan dengan jaranak dekat dengan bertatap wajah langsung atau
keterarahan wajah (Ashman & Elkins, 1994:172).
2. Anak-anak dengan hendaya berbicara pada umumnya mempunyai
hambatan dalam perkembangan bahasa khususnya dalam struktur kalimat
yang kompleks. Di sekolah, penerapan latihan-latihan berbahasa dengan
menggunakan keterampilan metalinguistik sangat penting. Metalinguistik
diartikan sebagai penggunaan bahasa untuk mengomentari ucapan-ucapan
dalam komunikasi yang salah ucap misalnya "kapang dara bang ri"
dikomentari secara langsung saat kejadian, dengan "kapal Udara terbang
sendiri" (Ashman & Elkins, 1994:191).
3. Terdapatnya kelemahan pada otot-otot alat bicara atau motorspeech
dsorder. Motor speech dsorde adalah adanya kelumpuhan pada alat bicara
(misal adanya paralysis) yang diakibatkan adanya atau artikulasi bicara
yang kurang baik yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada sistem
saraf pusat.
4. Pada tidakt dalam koordinasi neurologikal sehingga dapat terlihat kacau
walaupun otot-otot pada organ bicara masih dapat bekerja dengan baik.
Saat berbicara banyak dilakukan lompatan, banyak berhenti dan sering
mengulang kata yang disebabkan oleh adanya dysproxici atau opaxia atau
ketidakmampuan untuk berbicara karena faktor hendaya anak pada otot-
otot organ bicara berkaitan dengan proses, intern eurosen sory (Ashman
& Elkins, 1994:195.).
5. Adanya penurunan kemampuan persepsi bicara sehingga dalam berbicara
kata-kata yang diucapkan sangat sedikit. Salah satu sebabnya dikarenakan
aria faktor kesuiaan phonological (Bishop, 1999:51) atau articulation
disorder (Haliahan & Kauffman, 1986:199). Kemampuan persepsi
bicara melibatkan dua ketrampilan yang saling melengkapi yaitu
kemampuan untuk mengucapkan bunyi yang berbeda (discrimination),
dan kemampuan untuk mengucapkan bunyi akustik yang berbeda
(phoneme constancy). Untuk mengembangkan persepsi berkaitan dengan
pendengaran atau persepsi dengar perlu dilihat adanya tiga perbedaan
kemampuan yang saling terkait yaitu keterkaitan antara:
a. deteksi bunyi atau detection of sound, adalah kemampuan
mengeluarkan suara;
b. kemampuan membedakan bunyi (discrimination beiween sound) yaitu
kemampuan untuk dapat mengatakan bunyi-bunyi yang berbeda
secara terpisah,
c. klasifikasi bunyi (dassification of sounds) adalah kemampuan untuk
menginterpretasikan bunyi rnelalui hubungan diantara klasifikasi bunyi
berdasarkan alas pengalaman sebelumnya (Bishop, 1999:52).

F. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK TUNANETRA (ANAK-ANAK


DENGAN HENDAYA PENGLIHATAN )
Anakyang mengalami hambatan penglihatan atau tunanetra atau anak-anak
dengan hendaya penglihatan , perkembangannya berbeda dengan anak-anak
berkebutuhan khusus lainnya, tidak hanya dari sisi penglihatan tetapi juga dari
hal lain. Bagi peserta didik yang memiliki sedikit atau tidak melihat sama sekali,
jeias ia harus mempelajari lingkungan sekitarnya dengan menyentuh dan
merasakannya. Perilaku untuk mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara
dari objek yang akan diraih adalah perilakunya dalam perkembangan motorik.
Sedangkan perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, kemudian
menarik ke depan dan ke belakang, menggosok dan memutarkan Serta menatap
cahaya sinar merupakan perilaku anak-anak dengan hendaya penglihatan . Hal
ini sering dilal-ukannya guna mengurangi tingkat stimulasi sensordalam melihat
dunia luar. Untukdapat merasakan perbedaan dari setiap objek yang dipegangnya,
anak-anak dengan hendaya penglihatan selalu menggunakan indera raba dengan
jari-jarinya. Kegiatan ini merupakan perilakunya untuk menguasai dunia persepsi
dengan menggunakan indera sensorik. Anak-anak dengan hendaya penglihatan
sangat sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menguasai dunia
persepsi.

Mengenai perkembangan kognitif anak-anak dengan hendaya penglihatan


menurut Lowenfeld (1948), terdapat tiga hal yang berpengaruh buruk terhadap
perkembangan kognitifnya, antara lain sebagai berikut.
1. Jaranak dan beragamnya pengalaman yang dimiiiki oleh peserta didik
dengan hendaya penglihatan . Kemampuan ini terbatas karena mereka
mempunyai perasaan yang tidak sama dengan anak-anak yang mampu
melihat.
2. Kemampuan yang telah diperoleh akan berkurang dan akan berpengaruh
terhadap pengalamannya terhadap lingkungan.
3. Peserta didik dengan hendaya penglihatan tidak rnemiliki kendali yang
sama terhadap lingkungan dan diri sendiri, seperti hal yang dilakukan oleh
anak-anak awas.

Perkembangan komunikasi peserta didik dengan hendaya penglihatan


pada umumnya sangat berbeda dengan anak-anak awas. Pada beberapa hal yang
perlu diperhatikan oleh guru berkaitan dengan perkembangan kornunikasi anak-
anak dengan hendaya penglihatan , antara lain sebagai berikut.
1. Bahasa akan sangat berguna bagian penglihatan untuk mengetahui apa
yang sedang terjadi di lingkungannya, dengan menanyakan apa yang
terjadi dilingkungannya, dan akhirnya orang lain mampu berbicara
dengannya.
2. Peserta didik dengan hendaya penglihatan membutuhkan waktu yang
lebih lama dibandingkan dengan anak-anak awas untuk mengucapkan
kata Pertama,walaupun susunan kata yang diucapkan sama dengan anak-
anak awas.
3. Peserta didik dengan hendaya penglihatan mulai kata-kata ketika
perbendaharaan katanya mencakup sekitar 50 kata, dan menggunakan kata
yang ia miliki untuk berbicara tentang kegiatan dirinya pada kegiatan
orang lain.
4. Secara umum peserta didik dengan hendaya penglihatan dalam
menggunakan dan mernaharni kata ganti orang, sering antara "saga"
dengan "kamu".
Dalam perkembangan sosialnya, peserta didik dengan hendav melakukan
interaksi terhadap lingkungannya dengan, cara mendengar objeknya. Hal tersebut
dilakukan karena tidak pada penampilan ekspresi wajah yang kurang, dan
kurangnya penghalang lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang
menalarnya (Levis,V, 2003:32-59).,

Istilah-istilah umum yang dipakai dalam dunia pendidikan pada tahap


anak-anak yang mengalami hendaya penglihatan yaitu child, visually
impairment, dan child who is low vision atau partially: nd, visually impairment,
dan child who is low vision atau partially: Menandakan bahwa anak-anak dengan
hendaya penglihatan adalah yang mempunyai kemampuan lain". Kemampuan
lain di sini berart; kemampuan inteligensi yang cukup baik dan daya ingat yang
kuat itu juga terdapat kemampuan taktil (synthetic touch dan ana situ kemampuan
merasakan objek melalui ujung jari-jarinya sebagai indera penglihatan .

Intregensi dengan nendaya penglihatan secara umum dalam hambatan yang


berarti. Hayes (1950 dalam 87:294) menyatakan bahwa "kemampuan inteligensi
anak-anak dengan penglihatan tidak secara otomatis menjadikan diri mereka
yang rendah".

Daya lihat yang kuat pada anak-anak dengan hendaya penasihat mereka
mempunyai kemampuan konseptual (concep. es). Daya ingat itu didapat setelah
mereka melakukan latihan secara alam memaharni teori-teori Matematika, Serta
latihan-latihan benda-benpada untuk mampu mengetahui hubungan secara
kegiatan pembelajaran yang bersifat vokasional (Hatwell, 1966; St irube, 1982;
dalam Hallahan , 1987:295).

Kemampuan taktil yang tinggi pada anak-anak dengan hend hatan


disebabkan adanya kemampuan persepsi taktual dan anak. Synthetic touch adalah
kemampuan diri melakukan isplorasi melalui indera peraba terhadap benda-
benpada bentuknva cukup kecil tetapi masih dapat diraba oleh satu atau indera
peraba terhadap beberapa bagian tertentu dari suatu indera anak-anak yang
bersangkutan secara "mental" dapat menghubunghubungkan bagian yang terpisah
dari suatu objek atau benpada menjadi suatu konsep utuh tentang objek atau
benpada tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi disebabkan anak-anak dengan
hendaya penglihatan mempunyai kemampuan dalam mengembangkan persepsi
dirinya terhadap pengintegrasian suatu konsep tentang objek atau benpada
(develop integrated concepts). Misalnya, seorang anak-anak dengan hendaya
penglihatan dapat dengan mudah -menemukan suatu benpada yang diinginkan
yang tersimpan dalam suatu tas, padahal benpada tersebut telah bercampur dengan
benda-benpada lainnya. la dapat menemukan benpada yang diinginkan yang
berpada cii dalam sebuah tas hanya dengan cara menyentuh dan memegang
dalam kurun waktu tertentu pada benpada tersebut (Hallahan , 1987:296;
Hallahan , 1991:3090.

Stjanak tahun 1940-an pendidikan untuk anak-anak dengan hendaya


penglihatan banyak mengalami perubahan secara drastis. Semula mereka
ditempatkan dalam residential school hingga ke sekolah yang lebih terintegrasi
dengan "anak-anak s". Dewasa ini penempatan pendidikan di sekolah berubah dari
bentuk yang mainstreaming ke arah indusion (Spungin, S., J., dalam Holbrook,
M.C. & Koening, AJ., 2003:IX).

Para guru yang rnenangani anak-anak dengan hendaya penglihatan diper-


lukan kemampuan mengambil keputusan dalam strategi pembelajaran yang
dianggap paling cocok bagi mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan
pemahaman yang jelas mengenai isu-isu yang kompleks dalam penyusunan suatu
program pembelajaran nya.

Pendeatan baru untuk mengajar anak-anak hendaya penglihatan yakni


Apemberian latihan-latihan yang lebih banyak terhadap kemampuan. Misainya
nenggunakantongkatputih (white cane) di kenal dengan sebutan hoover cane agar
dapat melakukan bepergian secara aman, mandiri, dan efektif. Kegiatan latihan ini
dikenal dengan orientasi mobilitas atau mobility training. Tahun 1950 pendekatan
orientasi mobilitas banyakditerapkan kepada orang dewasa dengan hendaya
penglihatan . Pada tahun 1974 hampir semua ahli tentang orientasi mobilitas
memberikan layanan latihan khusus terhadap semua anakdengan hendaya
penglihatan pada tingkat usia sekolah.

Orientasi (orientation) diartikan sebagai kemampuan mengetahui posisi


diri berkaitan dengan objek-objek lain yang beradadalam suatu ruangtertentu.
Sedangkan mobilitas (mobility) diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak
dari satu tempat ke tempat lain, objek atau lingkungan tertentu secara aman,
mandiri dan efektif (Ashman & Elkins, 1994:371).

Tujuan diberikannya program pembelajaran yang menitikberatkan pada


orientasi mobilitas kepada anak-anak dengan hendaya penglihatan antara lain
sebagai berikut.
1. Agar dapat meningkatkan kemampuan refleks bersyarat (condition
reflex), sehingga proses kemampuan anak dapat terintegratif melalui
proses pembelajaran . Refleks bersyarat muncul sejanak seseorang
dilahirkan dan berkembang setelah mengalami latihan-latihan dan koreksi
secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama.
2. Agar perkembangan anak dan pertumbuhan anak-anak dengan hendaya
penglihatan sejalan dengan kemampuan don iinan yang telah
dimilikinya. Misalnya kemampuan taktil, dax/a ingat yang tinggi, dan
inteligensi yang tinggi dibandingkan butuhan khusus lainnya.
3. Agar lebih mendorong kemampuan persepsi sensomotorik (scnsomotoric
perceptual function).
4. Dapat membantu kelancaran proses pembelajaran dan mampu mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
5. Dapat membantu anak-anak dengan hendaya penglihatan untuk mampu
melampaui masa transisi dari kehidupan lingkungan sekolah ke arah
lingkungan masyarakat secara sukses.

Layanan terhadap anak-anak dengan hendaya penglihatan di sekolah-


sekolah secara umum terdiri atas dua kategori yakni anak-anak dengan hendaya
penglihatan secara total atau totally blind, dan anak-anak dengan hendaya
penglihatan yang masih dapat menggunakan sisa-sisa penglihatan nya atau
disebut dengan kata I lainnya low vision atau partially sight. Anak-anak low
vision masih mampu menggunakan indera penglihatan saat mereka membaca
suatu bacaan dengan huruf berukuran normal. Anak-anak totally blind sama
sekah tidak dapat menggunakan indera penglihatan nya kecuali dengan cara
meraba atau taktil untuk mengenali lingkungan. Keadaan fisik, mental, emosi, dan
interaksi sosial para peserta didik dengan hendaya penglihatan secara umum
dapat dikatakan normal. Namun dalam pendidikannya, mereka memerlukan
layanan dan bantuan agar perkembangan kemampuan dirinya dapat berkembang
lebih baik . Khususnya pada kemampuan bergerakuntuk mengenal lingkungan
yang amat tergantung pada kemampuan mengenali ruang (spatial) melalui peme-
taan kognitif (cognitive mapping).

Pemetaan kognitif merupakan suatu cara yang sangat fleksibel guna


mengetahui, mengenali, dan mengendalikan suatu objek atau lingkungan tertentu
(Haliahan, 1978:298). Misalnya, untuk mampu bergerak mencapai suatu tempat
diperlukan suatu tahapan-tahapan gerak. Tahapannya yaitu dari tempat A ke
tempat B, baru ke tempat C, dan seterusnya. Untuk ke tempat C terlebih dahulu
harus melewati tempat B. Bagi anak-anak dengan hendaya penglihatan yang
telah mempunyai keterampilan rnemetakan secara kognitif, is dapat melakukan
orientasi mobilitas dari tempat A langsung ke tempat C tanpa melalui tempat B.

Faktor utama untuk mampu melakukan anak orientasi ke suatu tempat,


ruang atau lingkungan tertentu diperlukan motivasi diri yang tinggi (selfmoti-
vation). Motivasi diri ini membantu untuk mengenali tanda-tanpada atau petunjuk
khusus (cues) yang pada di sekitarnya, seorang anak-anak dengan hendaya
penglihatan akan dengan mudah melakukan anak menuju ternpatyang dituju (to
detect physical obstructions in the environment). Kemampuan memahami tanda-
tanpada khusus yang pada di lingkungan dikatakan oleh beberapa ahli sebagai
obstade sense. Obstade sense dapat tumbuh berkat adanya latihanlatihan tertentu
pada "indera ekstra" (extra sense). Indera ekstra tersebut dapat dirnilki oleh setiap
anak-anak dengan hendaya penglihatan dengan cara melakukan latihan-latihan
khusus. Latihan ini bertujuan untuk mendeteksi perubahanperubahan frekuensi
tinggi dari suatu pantulan bunyi yang datang dari bendabenpada sekitarnya saat
yang bersangkutan bergerak ke arah objek yang dituju (Hallahan , 1991:311).

Dari penjeiasan tersebut, pembelajaran yang disusun guru sebaiknya


mengarah kepada:
1. kemampuan orientasi mobilitas mengarah pada kemampuan meng-
koordinir keseluruhan anak jasmani;
2. kemampuan anak dengan menggunakan anak halus atau fine motor, -3.
kemampuan mengoordinir ketepatan reaksi geralk, dan
3. kemampuan mengoordinir daya kekuatan otot-otot anak sesuai dengan
kebutuhannya.

Proses penyesuaian diri anak-anak dengan hendaya penglihatan lebih


ditujukan pada kepercayaan diri sendiri agar mampu melakukan kegiatan-kegiatan
di fingkungannya, Percaya diri ini akan memunculkan harga diri dan perasaan
diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Harga diri menyangkut perasaan bahwa
dirinya cukup dihargai, mempunyai kemampuan, dan diperlukan oleh masyarakat
sekitarnya. Harga diri dapat muncul disebabkan adanya faktor internal dan
eksternal. Faktor internal menyangkut persepsi diri, kemampuan rnembela diri,
merasa dirinya bernilai, dan kemampuan beraspirasi dalam pergaulan hidup.
Faktor eksternal secara khusus diarahkan oleh adanya reaksi positif orang lain
yang pada di sekitarnya terhadap perilaku diri mereka yonchillia, P.E. dan
Ponchillia, S.N., 1996:81).

Peningkata•. harga diri anak-anak dengan hendaya penalihatan dapat


diupayakan oleh guru melalui perenc:anaan pembelajaran yang lebih menidtikhe-
ratkan pada:
1. komunikasi yang bersifat efektif,
2. monitoring dalam kecepatan penyampaian, dar.
3. penggunaan penguatan (reinforcement) terhadao kesuksesan belajar.

Komunikasi yang bersifat efektif dilakukan secara verbal maupun nonver-


bal. Komunikasi ini mampu menjembatani antara pencapaian' tujuan
pembelajaran dan hendaya-hendaya yang pada anak-anak bersangkutan.
Kriteria-1 komunikasi semacam ini antara sebagai berikut.
1. Menggunakan bahasa yang tepat dan sesuai dengan situasi sebenarnya.
Hindarilah penggunaan kata-kata "di sin," atau "di sand', sebaiknya
diguna kan kata-kata "di sebelah kirimul" atau "duo langkah di depanmul"
2. Menggunakan anak-anak ogi atau perbandingan saat menyampaikan
sesuatu agar dapat memberikan kejelasan suatu deskripsi bahan ajar.
Misalnya "cobalah berjolon sepuluh longkoh ke arah depan tango suara
berisik sepertil semilirnya angin pagi hori."
3. Menggunakantanda-tanpada khususya-ig dapat ditangkap oleh slat-
dengan` Misalnya, penggunaan bola plastikyang dimodifikasi dengan
media bunyt gemerincing untuk memberikan arah yang dituju, khususnya
pada anak" beta total (totally bliiid).
4. Menggunakan taktil atau rabaan dalam mengenali suatu model. Misalnya;"
saat memberikan pengetahuan tentang gelombang dalam suatu proses
pembelajaran hendaknya menggunakan media berkaitan dengan adanya
bentuk cekungan longitudinal pada sisi atas dan bawah serta dapat bergeta
menirukan suara dery gelombang lautan saat disentuh dan digerakkan.
5. Taktil lebih diutamakan dalam mengenali ukuran suatu objek sebaga I it
model. Misalnya, dalam mengenali "model pesawat terbang" sebaikny
digunakan "prototipe pesawat terbang" sehingga dapat dikenali bagiart,
bagian dari pesawat terbang tersebut.
6. Menggunakan manipulasi anak dalam upaya niemahami suatu gera
melalui penjelasan guru secara benar. Misalnya, saat memberikan polanak
"pivot" atau bergerak memutar dengan salah satu kaki menjadi
tumpuannya yang sering dilakukan dalam permainan bola basket. Guru
harus memberikan arahan anak pada anak-anak dengan hendaya
penglihatan melalui kegiatan meraba anak kaki guru yang sedan g
melakukan gerakan pivot, dan kemudian anak-anak menirukan serta
dikoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi secara berulangkali.

G. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK AUTISTIK (AUTISTIC CHILD)


Autism syndrome merupakar) kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada
ketidakmampuan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-
gejala penyandang autism menurut Delay & Deinaker (1952), dan rviarholin &
Philips (1976) antara lain sebagai berikut.
1. Senang tidur bermalas-rnalasan atau duduk menyendiri dengan tampang
acuh, rnuka pucat, dan mats sayu dan selalu memandan g ke bawah.
2. Selalu diam sepanjang waktu.
3. Jika pada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pecan dengan npada
monoton, kemudian dengan suara yang aneh is akin mengucapkan atau
menceriterakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri
lagi.
4. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya
keinainan yang bermacam-macam tidak menyenangi sekelilingnya.
5. Tidak tampak ceria.
6. Tidak perduli terhadap lingkungannya, kecuali pada benda yang
disukainya, misalnya boneka.

Secara umum anak-anak autistik mengalami kelainan dalam berbicara,


disamping mengalami gangguan pada kemampuan intelektual serta fungsi saraf.
Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya keganjilan perilaku dan ketidak-
mampuan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Rincian tentang
kelainan anak-anak autistik sebagai berikut.
1. Kelainan berbicara. Keterlarnbatan serta penyimpangan dalam berbicara
m,enyebabkan anak-anak autistik sukar.berkomunikasi serta tidak
mampu memahami percakan orang lain. Sebagian anak-anak autistik
nampaknya seperti bisu (mute) dan bahkan tidak mampu menggunakan
isyarat anak saat berkomunikasi dengan orang lain, sehingga penggunaan
bahasa isyarat tidak dapat dilakukan. Suara yang keluar biasanya bernada
tinggi
2. dan terdengar aneh , berkecenderungan meniru, terkesan menghafa kata-
kata tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu berkomunikasi. Walaupun
pengucapan kata cukup baik, namun banyak mempunyai hambatan saat
mengungkapkan perasaan diri melalui bahasa lisan. Dengan demikian
sepertinya anak-anak autistik mengalami afasia (aphasia), kehilangan
kemampuan untuk memahami kata-kata disebabkan adanya kelainan pada
saraf
3. Kelainan fungsi saraf dan intelektual. Umumnya anak-anak autistik
mengalami keterbelakangan mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50.
Mereka tergolong tidak mempunyai kecakapan untuk memahami benda-
bench abstranak atau simbolik. Namun di sisi lain mereka mampu
memecahkan teka-teki yang rumit dan mampu mengalikan suatu bilangan.
Walaupun ia mampu membaca koran dengan penuh perasaan namun ia
tidak rnencierti terhadap bacaan yang pada koran tersebut.
4. Perilaku yang ganjil. Anak-anak autistik akan mudah sekali marah bila
pada perubahan yang dilakukan pada situasi atau lingkungan tempatia
berada, walau sekecil apapun. Mereka sangat tergantung pada sesuatu
yang khas bagi dirinya. Misalnya, selalu membawa-bawa barang yang
paling ia sayangi sewaktu ia bepergian kemanapun semacam selimut, atau
karet gelang. Seringkali anak-anak autistik menunjukkan sikap yang
berulang-ulang. Misalnya, suka menggerak-gerakkan badannya dan
bergoyang-goyang saat ia sedang duduk di kursi, terkadang secara tiba-
tiba berteriak atau tertawa tanpa sebab yang jelas. Bahkan sering
melakukan tindakan untuk menyakiti dirinya sendiri. Misalnya
membenturkan kepala atau mengorek matanya . Saat makan tiba ia sering
menolanak makanan yang disodorkannya, ia hanya memakan satu jenis
makanan dan dimakan hanya sedikit saja.
5. Interaksi sosial, anak-anak autistik kurang suka bergaul dan sangat
terisolasi dari lingkungan hidupnya, terlihat kurang ceria, tidak pernah
menaruh perhatian atau keinginan untuk menghargai perasaan orang lain,
dan suka rnenghindar dengan orang-orang disekitarnya sekalipun itu
saudaranya sendiri. Dengan kata lain kehidupan sosial anak-anak autistik
selalu aneh dan terlihat seperti orang yang selalu sakit.

H. KARAKTERISTIK MIRK TUNADAKSA ATAU ANAK-ANAK


DENGAN HENDAYA FISIK-MOTORIK (Physical Disability)

1. Pendahuluan
Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua
bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebrai (cerebral system) dan kelainan
pada sistem otot dan rangka (musculoskeletol system).

Peserta didik tunadaksa mayontas rnemiliki kecacatan fisik sehingga


mengalami gangguan pada koordinasi gerak, persepsi, dan kognisi disamping
adanya kerusakan saraf tertentu. Dengan detnikian dalam memberikan layanan di
sekolah memeriukan modifikasi dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga
kategori umum,vaitu kerusakan saraf. kerusakan tulang,dan anak-anak dengan
gangguan kesehatan lainnya.

Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan anak


berasal dari disfungsi otak.Adajuga kelainan gerak yang diakibatkan bukan karena
disfungsi otak, tetapi disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau
organ palsy yang diakibatkan oleh kerusakan otot (distrophy muscular). Karena
adanya disfungsi otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy mempunyai
kelainan dalam bahasa, bicara, menulis, emosi, belajar , dan gangguan-gangguan
psikologis. Cerebral palsy didefinisikan sebagai "Laterasi perpindahan yang
abnormal atau fungsi otak anak yang muncul karena kerusakan, luka, atau
penyakit pada jaringan saraf yang terkandung dalam rongga tengkorak" (The
American Academy of Cerebral Palsy, 1953). Definisi lainnya Menyatakan
bahwa:
"Cerebral Palsy merupakan kondisi yang bersifat klinis yang disebabkan
oleh cedera pada otak. Salah satu komponennyo merupakan gangguan
otak. Dengandernikian, cerebraipalsydapat digamborkan 5ebagai kondisi
ketidak berfungsia ngeral<, bermula soot kanak-kanak, dicirikan dengan
paralysis, kelemahan, kurang koordinasi atau penyimpangan fungsi anak
lainnya yang disebabkan kelainan fungsi anak pada pusat pengendali
anak pada otak. Disamping disfungsi anak tersebut cerebral palsy bisa
menyebabkan terjadinya kesulitan belajar gangguan psikologis, kerusakan
sensori, penyokitkejarig dan behavioral pada origin organik"(United
Cerebral PalsyResean-h and Educational Foundation, 1985).

Cerebral Palsy diklasifikasikan sebagai kelainan yang berbeda lainan


neuromuscular, maka Cerebral palsy meliputi kelainan spastic, 3,d, ,toksia,
tremor, dan rigid.

Pada kasus-kasus yang rh igan, anak-anak spastik bisa mengembangkan


kes tangannya untuk sedikit mengendalikan gaga berjalan. Pada kelainan tingkat
sedang, peserta didik spastik dapat memegang lengan Uk- jiararkan ke tubuhnya,
mernbengkokkan sikunya dengan mernbengko- gannya, dengan kaki yang diputar
secara hati-hati pada lutut, dan mean '351 Ikanjalan gaya gunting. Sedangkan pada
kasus-kasustingkat rnerniliki pengendalian yang lemah pada tubuhnya, tidak
mampu berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alas penguat.

Ciri utama peserta didikataksia, gerakannya kurang kuat, berjalan langkah


yang panjang dan mudah jatuh, terkadang masa tidak dapat menggerakan masa
tertegu (nystagmus). Pada tremor dan rnereka mempunyai gangguan pada
keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural dan
akilbat hambatan berlawanan.

Hendaya kondisi fisik merupakan keticiakmampuan secara fisik gerak.


Ketidakmampuan seorang anak, dengan adanya secara fisik nonsensori (fisik-
motorik), menyebabkan ia permasalahan untuk hadir kesekolah dan belajar di
kolas. Ketidakmampuan, secara fisik motorik pada anak-anak untuk melakukan
gerakan tubuh membutuhkan layanan-layanan khusus, latihan dengan pola
peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung lainnya. Anak-anak yang
mempunyai hendaya kondisi fisik, juga mempunyai penyerta lain seperti hendaya
perkembangan fungsional, kesulitan: F. gangguan emosional, kelainan berbicara
dan berbahasa, atau keberbakatan tertentu (Hallahan & Kauffman: 1991:344).

Anak-anak dengan hendaya kondisi fisik memerlukan penanganan, guna


memperbaiki dan mesiaobati kelainan tubuhnya. Tetapi fisik tersebut ternyata
mempunyai masalah pendidikan, belajar khusus perlu penanganan oleh guru
khusus di sekolah. Pengolah guru khusus memerlukan suatu metode pembelajaran
bersifatkhusus sesuai dengan kelainan anak-anak bersangkutan. Untuk hal dapat
diaplikasikan dalam program pembelajaran. Tujuanny untuk dapat
mengembangkan keterampilan anak siswa dengan kondisi fisik motorik
Umumnya masalah utama pada anak yang dihadapi oleh anak-anak spina
bifipada adalah kelumpuhan dan kurangnya kontrol gerak. Pada anak-anak
hydrocephalus masalah yang dihadapi ialah mobilitas gerak. Anak-anak dengan
cerebral palsy mempunyai masalah dengan persepsi visual meliputi gerakan-
gerakan untuk menggapai, menjangkau dan menggenggam benda, Serta hambatan
dalam men iperkirakan jaranak dan arah (Lewis, V., 2003: 157). Cerebral Plasy
merupakan kelainan koordinasi dan kontrol otot disebabkan oleh luka (menda-
patkan cedera) di otak anak sebelum dan sesudah dilahirkan atau pada awal masa
anak-anak (Hallahan & Kauffman, 1991:345).

2. Konsep Anak-anak dengan Her.dayaFisik-.Motorik


a. Pengertian Hendaya Fisik Motorik
Salah satu kasus utama hendaya fisik.motorik pada anak-anakadalah kerusakan
ataukemunduransistemsarafpusat,yaitupadaotakatausaraftulangbelakang. Seorang
anak-anak dengan kerusakan otak anak seringkali menunjukkan adanya berbagai
gejala yang bersifat perilaku. Misainya, masalah-masalah belajar , masalah yang
bersifat persepsi, kelangkaan koordinasi, suka membuat keonaran, gangguan
emosionai, kelainan berbicara, dan berbahasa. Gejala-gejala lain yang
menunjukkan adanya cedera otak anak atau malfungsi yaitu adanya hendaya
fungsi gerak, kelumpuhan, dan beberapa tipe dari serangan Secara tiba-tiba pada
jantung sehingga menyebabkan kejang-kejang atau gangguan kontraksi
sekelornpok otot (seizure) (Hallahan & Kauffman, 1991:346).

Walaupun otak anak seseorang dalam keadaan utuh dan berfungsi sebagai-
mana mestinya, seseorang bisa Baja mempunyai hendaya yang bersifat neurologis
yang disebabkan oleh adanya cedera pada saraf tulang belakang, dedera pada saraf
tulang belakang dapat menyebabkan seorang anak-anak kehilangan perasaan atau
sensasi, tidak mampu mengontrol gerakan, tidak mampu merasakan atau
melakukan gerakan pada beberapa bagian tubuh.

Hendaya secara neurologis disebabkan beberapa kasus, termasuk penyakit


menular, kehabisan oksigen, keracu na n, ketidakberfungsian baw dan trauma
psikis karena kecelakaan. Polio atau kelumpuhan semenjanak anak-anak
merupakan suatu contoh dari penyakit menular yang menyewa saraf, otak anak
dan saraf tulang belakang penyebab kelumpuhan. Spin merupakan contoh dari
ketidak berfungsian bawaan pada tulang penyebab kelumpuhan.
Dalam beberapa kasus pada cedera otak anak sangatlah sulit untuk me
tifikasi secara tepat penyebab dari suatu hendaya. Hal yang ini yakni ketika sistem
saraf seorang anak-anak mengalami cedera. Kelemahan pada otot atau
kelumpuhan hampir selalu merupakan petunjuk terhadap gejala-gejala adanya
cedera pada sistem saraf. Kelumpuhan pada anggota tubuh menyebabkan seorang
anak-anak tidak dapat bergerak seperti yang dilakukan anak-anak lainnya. Oleh
karena itu tipe pendidikannya dilakukan secara terus serta memerlukan peralatan
yang spesifik, prosedur khusus, atau modasi.

Hendoya keadaan fisik motorik yang paling menonjol dan banyak difaku-i
layanan pendidikan antara lain cerebral palsy (CP), spina bifipada (SB), dan
elopmental coordination disorder (DCD). Bahasan berfokus pada implikasi usus
untuk dapat memahami proses-proses perkembangannya.

Cerebral Palsy (CP) bukan suatu penyakit dalam pengertian bahasa, tidak
dan tidak progresif atau makin lama makin memburuk, kecuali tidak? dapatkan
penyembuhan yang benar sehingga terjadi komplikasi latihan & Kauffman,
1991:347). Cerebral Palsy merupakan kelainan gerakan kelainan postur tubuh
disebabkan oleh adanya cedera yang permanen pada otak anak saat masih dalam
perkembangan (Bax, 1964 dalam Haskell & Barret, 93:2). Kelainan pada aspek
anak seringkali diikuti dengan kerusakan pada penglihatan , pendengaran,
berbicara, dan inteligensi. Hal ini ditandai puia ngan kelangkaan kontrol terhadap
lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, angnya rasa pada daya, kelainan
berkaitan dengan pengenalan ruang tempat, dan seizure. Kondisi kelainan CP bisa
terjadi saat dalam kandungan, dilahirkan, dan saat setelah dilahirkan atau
konibinasi dari ketiga faktor -sebut.

Kasus anak-anak dalam kandungan (pre natal) meliputi faktor keturunan.


maupun sangat jarang, penyakit infeksi yang dikandung sang ibu saat
mengandung. Faktor-faktor antara lain kekurangan oksigen pada anak janin,
prematur atau kelahiran sebelum waktunya, kelainan metabolic pada sang ibu
seperti diabetes atau toxaemia, dan seorang ibu hamil yang sering. mendapatkan
sinar X-rays sehingga terjadi cedera otak anak pada janin. berapa kasus CP pada
pre natal lainnya tidak diketahui. Kasus dalam proses alahirkan (peri natal)
meliputi cedera saat dilahirkan, dan penurunan suplai sigen pada otak anak bayi.
Pada saat sesudah dilahirkan (post natal) yaitu infeksi ipada otak, seperti
meningitis dan encaphalitis.

Pada tiga macam CP yaitu spastik atetosis, dan ataksia, terkadang


ketiganya ling bercampur. Terjadinya CP adalah 0,6 persen hingga 5,9 persen
setiap 00 kelahiran bayi (Hasket & Barrel, 1993:17). Lihat gambar 4.1 berikut.
Gambar4.1
Bentuk-bentuk Cerebral Pafsy
(Hasket & Barrell, 1993:16)

1. Bentukpertama CP yaitu Spasticity (Spastik)


Sebanyak 60 persen penyandang Cerebral Palsy dimungkinkan mempunyai
kelainan spastik yang disebabkan oleh kerusakan di bagian otak. Kerusakan ini
berbentuk piramid (pyramidal tracts) di dalannya terdapat saraf yang Paling
bertautan dalam otak anak bagian luar (cerebral cortex) yang berperan sebagai
pengatur inisiatif gerakan cepat. Sel-sel saraf yang pada dalam lapisan luar otak
anak yang mengatur anak (motorcortex) turun menuju ke lapisan luar yang berhu-
bungan dengan otak anak (cerebral cortex) melalui saraf tulang belakang (spinal
cord) ke otot-otot anggota badan. Kekejangan di diagnosis sebagai peningkatan
pada gerak otot atau situasi yang menyebabkan otot-otot menjadi tegang.

Anak-anak spastik menunjukkan adanya bentuk tubuh atau postur yang


abnormal dan kegiatan refleksnya melebihi anak-anak normal. Secara nyata
anggota tubuhnya mempunyai kelainan. Klasifikasi yang paling umum dari
spasticity adalah sebagai berikut.
1. Hemiplegia, yakni bagian kiri atau kanan anggota tubuh terjadi kelumpuhan,
lengan lebih berkelainan daripada kaki. Anggota tubuh yang berkelainan
tumbuh lebih lambat. Privalensinya sekitar 35 sampai 40 persen dari anak-
anak CR Spastic hemiplegics merupakan kelompok yang terbanyak pada
populasi CP. Gambaran yang iebih rind dari spastic hemiplegics dapat dilihat
pada pola perkembangan:
a. keterlambatan dalam kemampuan duduk,
b. berjalan dan berbicara berpada pada tingkatan seorang bayi, dan
c. mempunyai kelainan persepsi dan belajar.

Ketidaknormalan perkembangan fisik diikuti dengan salah satu kaki menjadi


pendek, rotasi pinggul secara induksi dan internal, ketegangan pada siku dan
pergelangan tangan, anak kontraksi dan atropi otot-ototnya tidak pada
semestinya. perkembangan tulang pada satu sisi menjadi berkurang. Anak-
anak spastic hemiplegics mempunyai inteligensi rendah, kesulitan bergerak,
daya taktil yang kurang, mempunyai penyakit sawan yang datang secara tiba-
tiba, berkesulitan dalam berbicara, bermasalah dalam melihat dan mendengar,
sulit berperilaku, sulit bernafas, dan sulit berkontraksi. Anak-anak
spostichemiplegics juga mernerlukan banyak bantuan saat di sekolah dan di
rumah, khususnya dalam mengatasi tekanan-tekanan saat melakukan interaksi
sosial.
2. Triplegia, terjadi pada tiga anggota tubuh yang mendapatkan kelainan atau
kesulitan gerak.
3. Quadriplegia (Tetraplegia), berarti melibatkan empat anggota tubuh yang
terkena kelainan. Privalensinya sekitar 15 sampai 20 persen dari populasi
spasticity.
4. Paraplegia muncul jika kedua kaki mempunyai kelainan tetapi muka dan
tangannya normal. Dalam hal ini berbicara lancar, inteligensinya normal dan
jarang terjadi kelainan sawan. Prevalensi paraplegia sekitar 10 hingga 20 %
dari populasi spasticity. Banyak ditemui anak-anak yang mempunyai
hambatan ringan dalam perkembangan bagian tubuh bagian atas, sehingga
secara togas didefinisikan sebagai displegics. Sebagian besar anak-anak
displegic mempunyai kelainan inteligensi dan penyakit sawan.
5. Double hemiplegia berpengaruh terhadap empat-anggota tubuh. Bagiall
lengan menjadi lebih mudah terkena kelumpuhan daripada kaki. Klasifikasi
berdasarkan tipe cedera pada otak anak dan konsekuensi tipe dari
ketidakbermarnpuan anak meliputi: pyramidal, extrapyircmidat. Dan mixed
types. Dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut.

a. Pyramidal (spastic), seseorang pada tipe ini mempunyai cedera di bagian


pengatur anak pada kulit luar otak anak (motor-cortex) atau pada bentuk
piramid pada otak. Dampak dari cedera tersebut menyebabkan masalah
pada anak voluntari dan terjadi spasticity, osticity, adalah kekejangan
pada otot-otot dan terjadi gerakan voluntari di luar kontrol sehingga
gerakannya tidak tepat. Privalensinya sekitar 50 persen pada kasus-kasus
yang menunjukkan spasticity.
b. Extrapyrarnidal (chcreoatt-)etoid, rigid, dan atonic) cedera terjadi di luar
bentuk piramid otak anak (pyramidal tracts). Excrapyrarnisal mempunyai
akibat secara mendadak pada kelainan gerakan di luar kemauan
(involuntary movements), dan mempunyai kesulitan dalam
mempertahankan tubuh (choreoathetoid), terjadi kekakuan (rigid), atau
kelayuan pada otot (atonic). Diperkirakan sekitar 25 persen dari kasus-
kasus yang merupakan gejala-gejala berkaitan dengan cedera pada
extrapyramidal,
c. Tipe campuran (Mixed), yakni cedera terjadi di daerah otak anak
pyramidal dan extra pyramidal. Anak-anak penderita ini menunjukkan
kedua gejala kelainan, seperti spasticity di kaki dan rigidity pada kedua
lengan. sekitar 25 persen dari kasus dikategorikan sebagai tipe campuran.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar4.2.
Daerah Otak anak Penyebab Bentuk-bentuk Cerebral Plasy
(Hallahan &Kauffman, 1991:349).

2. Be ntukkedua dari CP adalah Athetosis

Athetosis merupakan jenis CP kedua. Dikarakteristikkan dengan adanya pening-


katan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tanpa sengaja atau di luar
kemauan. Gerakan bisa secara pelan dan menggeliat atau secara tiba-tiba dan
gerakannya tersentak-sentak. Gerakan-gerakan ini tidak akan terjadi sebelum
tidur atau saat anak-anak tersebut dalam keadaan rileks. Gerakan-gerakan yang
tidak terkontrol menyebabkan pengejancian otot-otot pada anak-anak athetosis.

Gerakan yang terus - menerus pada refleks-refleks utama menyebabkan


gerakan yang tidak simetris dari refleks tonic dan refleks morn dan selalu diikuti
dengan adanya kelainan. Gerakan-gerakan muka seringkali tidak normal, meliputi
gerakan-gerakan pada gigi,bibir,dan pernafasan. Otototot yang melakukan kerja
berbicara juga sering mendapatkan kelainan sehingga yang bersangkutan
berkondisi sebagai dysorthia. Inteligensi anak-anak athetoid umurnnya normal,
namun mempunyai kecenderungan yang sangat tinggi untuk mendapatkan
kebutaan.

Seperti halnya anak-anak spastik, anak-anak athetoid umumnya kurus


disebabkan oleh adanya gerakan-gerakan mereka yang berkelebihan. Kerusakan
otak anak pada kasus athetosis terjadi pada sistem extrapyramidal dan
berpengaruh terhadap sel-sel pada bagian pusat (basal ganglia) yang gerakan-
gerakan tubuh dan mengarahkan kontrol gerakan.

3. Bag ian Ketiga dari CP adalah Ataxia


Ataxia hanya terjadi pada sebagian kecil anak-anak. Penyebabnya ialah kerusakan
atau cedera pada sebelum yang bertugas untuk memperhalus gerakan-gerakan otot
yang terkontrol oleh gerakan lapisan luar otak anak (cortex). Anak-anak ataxia
mengalami kegagalan untuk melakukan integrasi informasi yang relevan ke dalam
rongga posisi dan rongga keseimbangan yang pada otak. Kondisi tersebut
berpengaruh terhadap lengan, gerakan-gerakan yang dilakukan secara tepat, dan
penyebab dari kelumpuhan atau kelayuan tubuh. seringkali seluruh dari empat
anggota tubuh tidak berfungsi. Kelainan kaki lebih berat daripada lengan,
seringkali nystagmus dan tremor.
Istilah-istilah lain berkaitan dengan Cerebral Palsy antara lain sebagai
berikut.
a. Hypotonia atau floppiness yang sering digunakan dalam buku-buku
rujukan yang menyatakan athetoid dan mempunyai indikasi penurunan
kekejangan otot,
b. Hypertonia, berkaitan dengan bentuk spastik dari CP dan mengacu
pada peningkatan kekejangan otot.
c. Rigidity, istilah ini merupakan aplikasi dari hipertonia yang tidak
piramidal menyebabkan kekakuan terhadap otot-otot.
d. Tremor, gemetaran secara ritmis dari anggota tubuh, dikarak
teristikkan dengan goyangan atau gerakan-gerakan yang sulit.

Epilepsy
Epilepsy merupakan gangguan serangan yang hebat terhadap fungsi otak yang
terjadi secara tiba-tiba, secara spontan dan mempunyai tendensi untuk terjadi
kernhali. Epilepsy terjadi bersamaan dengan ketidak mampuan lain seperti
cerebral palsy dan hydrochepalus. Kelainan epilepsy merupakan perwujudan
hilangnya konsentrasi atau bahkan ketidak sadaran diri, biasanya diikuti pula
dengan gerakan-gerakan yang tidak diinginkan oleh tubuh. Rangsangan muncul
dimulai pada bagian khusus dari otak anak sehingga menimbulkan kejang-kejang
pada bagian tertentu tanpa kehilangan kesadaran.

Dengan kata lain, rangsangan menyebar dan melibatkan keseluruh bagian


otak anak yang dapat menimbulkan kejang-kejang secara menyeluruh dengan
kehilangan kesadaran diri. Prevalensi kelainan epilepsy antara 0,3 hingga 18,6
persen setiap 1000 kelahiran (Caveness, 1976: Donohae, 1979 dalam & Barret,
1993:21).

Pengobatan epilepsy yang paling sering digunakan adalah dengan obat


anticonvulsonts, sekitar 70 persen . dapat menurunkan kejang-kejang pada anak-
anak epilepsi. Pengobatan dengan onticnnvulsonts secara potensial
berpenghasilkan pengaruh sampingan. Obat-obatan yang sedikit mempunyai
pengaruh sampingan, antara lain carbamozepine, sodium valproate, dan dobazam.
Sedangkan obat-obatan yang sangat banyak mempunyai pengaruh sampingan
antara lain phenytoin, the barburates, dan donazepam. Pengaruh sampingan dari
obat-obatan tersebut antara lain perasaan kantuk, kelelahan, lemah konsentrasi,
berkurangnya fungsi kognitif, dan kemunduran daya ingat.

Hydrocephalus
Hydrocephalus sering terjadi bersamaan dengan spina bifi pada atau berdiri secara
tersendiri. Hydrocephalus terjadi ketika terlalu banyak cairan cerebrospinal dalam
rongga otak. Dengan demikian otak anak yang lembut, dan rongga yang pada otak
anak mendapatkan tekanan dari cairan yang mengisi rongga otak. Dampak dari
tekanan menjadikan lapisan luar otak anak menjadi tipis dan mengkerut dan
seringkali terjadi cedera yang permanen.

Pada bayi yang masih kecil, tulang-tulang di bagian atas kepala masih ini
bersatu sehingga cairan dapat keluar menekan bagian ini mengakikan kepala
menjadi lebih besar. Gejala-gejala ini menunjukkan adanya kelainan, dikenal
dengan nama hydrocephalus. Terhadap hydrocephalus yang telah berat
memerlukan operasi langsung untuk menghilangkan cairan agar jari dari rongga
otak. Operasi dapat dilakukan dengan cara merangsang (shunt) dari rongga otak
anak disalurkan ke bilik kiri atau kanan hati dengan operasi. Operasi semacam ini
disebut dengan atrial sehingga cairan yang pada rongga otak anak dapat diserap
melalui peredaran darah. Atau dengan cara ventriculo peritoneal shunt yang
langsung mengarahkan pada rongga otak anak ke rongga perut, langsung ke usus.
Operasi spinoitonoafshunt merupakan upaya lain guna mengarahkan cairan secara
langsung dari bilik rongga otak anak ke rongga sekitar sumsum tulang belakang
dan kemurian diarahkan ke rongga perut.
Spina Bifida
Istilah "spina-bifida" diartikan sebagai "tulang belakang yang terbagi atau iek".
Pada seorang bayi, kondisi semacam ini terjadi disebabkan salah satu jian atau
lebih, dari tulang belakang belurn terbentuk secara penuh. Pada tulang belakang
yang normal, terdapat sebuah "kanak-anak atau saluran" melalui satu yang berisi
saraf tulang belakang,"Kanak-anak " ini berfungsi sebagai rumah of yang
menghubungkan otak, ke berbagai bagian tubuh. Apabila terjadi pada tulang
belakang, maka kanak-anak pusat tidak sepenuhnya memenuhi arah tulang
belakang jadi hanya sampai pada tempat yang robek saja. Oleh karena itu
dimungkinkan saraf tulang belakang menutupi sebagian tulang belakang yang
terbuka tersebut. Hal ini menunjuklkan adanya gumpalan atau tonjolan pada
bagian belakang seorang bayi.

Adanya kerusakan dan gangguan pada saraf di bagian tulang belakang,


berarti pesan-pesan antara otak, batang tubuh, dan anggota badan terjadi hambatan
yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan. Pesan-pesan dari tubuh ke otak
menunjukkan adanya rintangan pada perasaan sentuhan, rasa, dan posisi. Robek
pada tulang belakang dapat terjadi di beberapa tempat. namun seringkali terjadi
pada bagian bawah tubuh. Hal semacam ini merupakan risiko yang tinggi pada
situasi kandungan, karena kemungkinan anak yang dilahirkan mempunyai
kelainan spina bifida.

Terdapat erdapat tiga bentuk spina bifida, yaitu sebagai berikut.


a. Bentuk pertama, kelainannya ringan disebut dengan spina bifipada occulta.
Bentuk kecacatan tulang belakang terjadi pada posisi bagian bawah dari
tulang punggung. Tidak terjadi tonjolan yang keluar pada sumsum tulang
belakang, dan cedes atau kerusakan ditutupi oleh kulit. Posisi ini tidak
menjadi masalah yang besar terhadap medis dan pendidikan.
b. Bentuk kedua merupakan hal yang serius disebut dengan "meningocele"
(cele berarti kantung). Pada bentuk ini sumsum tulang belakang menutupi
bagian yang terbuka.Tonjolan meningocele dapat berupa tonjolan terbuka
dan tonjolan tertutup oleh lapisan kulit. Tonjolan sering terjadi di antara
tulang belakang, di bagian punggung, atau bagian atas punggung. Umum-
nya kondisi ini menyebabkan adanya ketidakberfungsian pada fungsi
buang air besar, fungsi buang air kecil, dan anggota tubuh.
c. Bentuk ketiga yaitu, myolocele (myelomeningocele atau
meningomyeiocele). Hal ini terjadi di daerah lumbar atau daerah pinggang,
yaitu bagian tubuh antara rongga dpada dan panggul (lihat Gambar 4.3).
Pada bentuk ini saraf dalam tulang belakang menonjol keluar, penyebab
terjadinya kelumpuhan kedua belah kaki dan kehilangan rasa. Saraf yang
tidak bekerja menyebabkan hambatan untuk buang air besar dan buang
air kecil. Semakin tinggi posisi robek yang terjadi pada tulang punggung,
semakin tinggi pula ketidak berfurigsian fungsi tubuh. Bentuk ketiga ini
merupakan bentuk yang sangat parah

Gambar 4.3. Spina Bifipada dengan Meningomyelibcele


(Hallahan & Kauffman, 1991:353)

4. PenyimpanganTulang Belakang (Spinal Deformities)


Penyimpangan tulang belakang urnumnyadisebabkan oleh adanya (conita/) atau
kelainan neuromuscular seperti spina bifida, cerebral palsy, dan musir dystrophy.
Kasus lainnya terrnasuk tumor; infeksi, dan penyakit metabolik tipe spinal
deformities yaitu Scoliosis, Lcrdosis, dan Kyphosis.

Scoliosis, adalah terjadinya pembungkukan tulang belakang ke samping .


salah satu bahu lebih menonjol atau pinggul lehih tinggi daripada lainnya. ini
disebabkan adanya perubahan penjajaran batang tubuh sehingga terjadi
penyimpangan pada pinggul, dada, dan kepala. Penyimpangan tersebut
mnyebabkan anak yang tidak sejajar seperti posisi semula. jika sosialisasi akan
terjadi penyimpangan tubuh yang sangat berat. Penyimpangan berat ini dapat
mengubah kurungan rongga tulang rusuk. Dengan kelain ini maka terjadi
penyimpangan pada ikatan tulang belakang yang pada daerah pinggang, sehingga
menyebabkan rasa sakit pada pinggang dan meningkat Ula pada gerakan sekecil
apapun.

Lordosis, adalah adanya pembungkukan ke arah depan tulang belakang


dilihat dari sisi samping. Hal ini menyebabkan lengkungan tulang belakang
daerah pinggang yang berlebihan. Misalnya pada kelainan neuromuscular
iususnya pada cerebral palsy, muscular dysthrophy, dan myelorneningocele.
penyimpangan yang sangat berlebihan sangat rnempersulit bahkan mungkin anak
dapat duduk, berbaring, dan berjalan.
Kyphosis, merupakan kelainan disebabkan karena adanya lengkungan
pada lang belakang di daerah pantat. Kelainan ini menyebabkan lengkungan tuna
belakang menjadi berlebihan dari posisi normal di daerah bagian leper 3n rongga
dada. Pada kasus berat dapat menurunkan kemampuan paru-paru 3n terjadi
penyimpangan berupa status yang memendek. Pengobatan teradap penyimpangan
tulang belakano tergantung pada seberapa lugs pemungkukan pada lokasi, dan
usia anak. Selain itu juga termasuk pengamatan, rthotic, dan pembedahan. Deteksi
awal terhadap penyimpangan tulang elakang sangat penting. Pola dan
penggunaan alas penguat berupa braces, ?rta waktu dan banyaknya pembedahan,
secara khusus dilakukan untuk anak-anak ang mempunyai kelainan ganda. Hal ini
sangat penting karena adanya etergantungan pada hasil pengamatan yang
dilakukan secara hati-hati.

5. Hambatan-HambatanyangDihadapiAnakTunadaksa
Hambatan-hambatan yang pada anak-anak dengan hendaya kondisi fisik (tuna-
laksa) teranak pada kesulitan anak dan kelainan postur, khususnya bagi anak-
anak dengan kelainan cerebral palsy. secara urnurr, hambatan yang pada anak-
anak dengan hendaya kondisi fisik, antara lain sebagai berikut.

1. Ketidakmampuan untuk melakukan orientasi ruang.


2. Gangguan koordinasi anak karena kondisi fisik motorik yang lemah.
3. Umumnya kurang sanggup menyesuaikan diri karena terialu banyakrnen-
dapatk.an tekanan-tekanan dari lingkungan saat melakukan interaksi sosial
(aspek psikologis).
4. Ketidakmampuan untuk memecahkan suatu masalah.

Pada anak-anak dengan kelainan spasticity sering dijumpai adanya


kekejangan sebagai tanpada adanya kelainan spastik. Disamping itu, anak-anak
dengan spasticity mempunyai hendaya pada penglihatan , pendengaran, dan
berbicara. Disamping itu juga terdapat ketidakmampuan melakukan kontrol
terhadap lidah dan bibir, kelainan persepsi visual, hilangnya daya rasa.
Kelumpuhan pada kaki merupakan hambatan utama anak-anak spina bifida.
Penderita akan mendapatkan kesulitan anak disekitar daerah kaki. Perkembangan
tulang yang berkurang menyebabkan anak-anak spastic hemiplegics mempunyai
inteligensi rendah, berkesulitan gerak, daya tak-til yang kurang, sulit berbicara.

Pada anak-anak athetoid hambatan utama adalah pada gerakan yang terjadi
di luar kemauan, pelan, dan sering menggeliat. Hal ini diikuti dengan pengejangan
otot-otot sehingga gerakannya tidak simetris dan di luar kontrol. Anak-anak
athetoid juga memerlukan latihan orientasi ruang.
Ketidak normaian perkembangan fisik pada anak-anak dengan hendaya
fisikmotorik yakni salah satu kaki menjadi pendek. Adanya ketegangan pada siku,
pqrgelangan tangan dan anak kontraksi otot yang tidak semestinya menyebabkan
terjadinya hambatan dalam belajar. Seorang anak-anak dengan hendaya yang
berat karena mendapatkan cedes serius pada daerah pengatur anak di otak,
menyebabkan ia mempunyai kesulitan anak pada kedua kaki dan kedua
tangannya. sebagai contoh adalah quadriplegia, yang bersangkutan juga
mempunyai hambatan kemampuan berpikir (kognitif).

6. Aplikasi Anak Irama dalam Pembelajaran Anak Tunadaksa


Dalam lingkungan sekolah, guru khusus hendaknya dapat bekerja sama dengan
para ahli tempi (seperti physical therapists, occupational therapists, orthopae-
dist). Dalam program layanan khusus seharusnya lebih menekankan aspek
pendidikan dibandingkan dengan aspekmedis. Dengan demikian anakdengan
hendaya fisik motorik dapat belajar di ruangan keias bersama-sama dengan yang
normal. Karena penekanan terhadap aspek pendidikan, maka guru khusus
hendaknya berpikir untuk mencari upaya-upaya pelayanan dengan memberikan
metode yang tepat, berpartisipasi dalam suatu tiro kerja, dan selalu mencatat
kegiatan-kegiatan. Upaya-upaya tersebut berkaitanjuga dengan upaya untuk
memperoleh metode pembelajaran dengan menggunakan prinsip-prinsip tera-
peutik yang dapat diterapkan dalam kegiatan sekolah. Dengan kata lain terjadi dua
penggabungan antara teknis medic dan pendekatan berbahasa secara terapeutik
terhadap anak-anak dengan hendaya fisik motorik. Dengan demikian
pengimplementasian program pembelajaran lebih cocok dengan kebutuhan
layanan setiap siswa. Pendekatan layanan tersebut dikenal dengan pendekatan
sistem konsultatif (consultative approach). Dalam pendekatan semacam ini
diperlukan adanya kerja sama antara guru khusus dengan physical therapists dan
orthopaedists spat perencanaan program khusus yang akan diterapkan kepada
siswa dengan hendaya fisik motorik (Fuser & Hensinger, 1983:20-23).

I. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK TUNAPADA (MULTIPLE


HANDICAPPED)

Di Asia Timur belum banyak perhatian terhadap peserta didik yang memiliki
kombimasi keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, cerebral palsy dan
tunarungu, tunarungu dan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya
yang memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang
berat dan sangat berat (Johnston & Magrab, 1976:3). Penelitian menunjukkan
bahwa keluarbiasaan yang berat dan sangat berat, seperti halnya anak-anak yang
mempunyai kesulitan-kesulitan yang minor, jumlahriya meningkat (Anderson,
1969; Dibedenetto, 1976; Wolf & Anderson, 1969). Kondisi sernacam ini
diperburuk oleh sikap masyarakat terhadap keberadaan anak-anak yang
mempunyai kombinasi hambatan perkembangan. Definisi secara ringkas tentang
anak-anak tunapada sebagai berikut.
"Developmental disorders encompass a group ofdeficits inneurological
development that resultin impairmentin one a combination ofskilloreas
such as:intelelligence, motor, language, orpersonalsocial."(Johnston
&Magrab, 1976:7).

Diartikan secara bebas bahwa unapada adalah mereka yang mempunyai


kelainan perkembangan mencakup kelonipok yang mempunyai hambatan-
hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh saw atau dua
kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti inteligensi, gerak, bahasa, atau
hubungan-pribadi di masyarakat.

Definisi kelainan perkembangan secara ganda, menurut hukum di Amerika


berdasarkan PL. 94-103 (Title II. Ps. 124, tahun 1975), kelainan tersebut
diperjelas antara lain sebagai berikut.

A. (i) Mereka yang dikelompok kedalam kelainan pada antara


tunagrahita, cerebral palsy, epilepsy atau autism.
(ii) Mereka yang termasuk mempunyai kondisi lain yang bertendensi
kearah kelainan tunagrahita dengan kondisi-kondisi kelainan
fungsi secara men\,eluruh, atau kelainan perilaku adaptif yang
memerlukan penyembuhan dan layanan-layanan seperti halnya
dengan mereka yang berkelainan cerebral palsy, epilepsy, autism.
(iii) Mereka yang mempunyai dyslexia disebabkan oleh kelainan-
hambatan seperti yang dinyatakan pada bagian (i) dan (ii).
B. Dimulai sebelum mereka berumur 18 tahun.
C. Kelainannya terjad; secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi
kearah yang berkelanjutan.
D. Kelainan pada ini merupakan kelainan substansi kemampuan sesorang
untuk berfungsi secara normal dalam masyarakatj

Definisi yang pada PL.94-203 tersebut, juga mengakui bahwa kelainan


pada mencakup kelainan perkembangan dalam fungsi adaptif. Di Amerika
Serikat, PL. 94-142 yang merupakan hukum yang berlaku bagi pendidikan seluruh
anak-anak yang mempunyai hambatan, diberlakukan juga kepada mereka yang
dikategorikan sebagai tunapada dan anak-anak buta tuli. Dalam PL. 94-142
dinyatakan juga bahwa "Tuna ganda" diartikan sebagai kelainan yang saling
bertautan (seperti tunagrahita dengan buta total, tunagrahita dengan kelainan
yang bersifat orthopedic, dan sejenisnya), kombinasi tingkat kelainan berat juga
merupakan kasus-permasalahan pemberian pendidikan, yang layanan
pendidikannya tidak semata-mata hanya ditujukan pada salah satu dari
kelainannya saja. Namun istilah tunagan pada tersebut belum termasuk untuk
mereka yang dikategorikan dengan anak-anak buta tuli. (lihat pada: Sec.300.5 (b)
(5)).

Definisi untuk peserta didik buta tuli itu sendiri dinyatakan bahwa " buta-
tuli diartikan sebagai kelainan yang saling bertautan antara kesulitan pendengaran
dan penglihatan , kombinasi kasus kesulitan berkomunikasi yang berat dan
kelainan? perkembangan. Dalam program pendidikan luar biasa hal itu belum
terakomodasi, karena semata-mata layanan tersebut ditujukan pada anak-anak
dengan kelainan pendeingaran saja atau anak-anak dengan kelainan
penglihatan ." (lihat pada: Sec. 300.5 (b)(2) )

Selanjutnya , Walker (1975) berpendapat mengenai “tunagan pada atau


multihandicapped” sebagai berikut..
a. Seseorang dengan dua hambatan yang langsung memeluk layanan
pendidikan khusus.
b. Seseorang dengan hambatan-hambatan pada yang memerlukan layanan
teknologi
c. Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi'
d. rnetode secara khusus. (dalam Mulliken, R.T. . & Buckley, Jj., 19836).

J. KARAKTERISTIK ANAK-ANAK BERBAKAT DAN KEBERBAKATAN


GIFTEDNESS AND SPECIAL TALENTED)

Pengertian anak-anak berbakat dan keberbakatan dalam perkembangannya dalam


berbagai perubahan. Dimulai dengan pengertian yang berdasa enjekatan
unidimensi atau faktor tunggal (yang berpatokan pada pendekatan bersifat
multidimensi atau faktor jamak. Pendekatan yang berdasarkan pada faktor
tunggal (unidimensi) adalah pengertian menggunakan inteligensi sebagai kriteria
tunggal dalam menentukan sedangkan pengertian yang berdasarkan pada
pendekatan multi karamensi tidak hanya inteligensi sebagai kriteria tunggal data
menggunaka menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamanak berupa diakui
kriteria-kriteria kriteria keragaman inteligensi. Dalam pendekatan multidinneisial
aman dalam konsep dan kriteria keberbakatan, sehingga diperlukan berbagai cara
dan anak yang seragam pada menentukan siapa anak berbakat dan bakatannya
(Amin, M., 1996:1).

Perubahan konsep inteligensi dari faktor tunggal seperti yang diketahui


Teman ke faktor jamanak seperti yang dikemukakan Guilford (duiKO 5 1986)
memberi pengaruh yang cukup besar terhadap pendekat, konsep keberbakatan.
Dalam pendekatan faktor tunggal, makna artinya dengan pemilikan inteligensi
tinggi yang sifatnya genet sarunan). sedangkan dalam pendekatan faktor jamak,
keberbakatan interaksi dengan lingkungan. Menurut pendekatan jamak,
keberbakatan dalam kemampuan tertentu yang berbeda-beda. Juga mengandung
makna adanya keunggulan dalam satu atau beberapa di samping itu keberbakatan
dapat diartikan sebagai dri-ciri unit/bidan khusus dan luar biasa yang dibawa
sejak lahir, maupun hasil interaksi dari pengaruh lingkunga.

Menurut Milgram, R.M.(1991:10), anak-anak berbakat adalah mereka


yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan Instrument Stanford Binet
(Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan
memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari, dan seni rupa
(Marland, 1972).

Peserta didik berbakat mempunyai empat kategori, yaitu sebagai berikut.


1. Mempunyai kemampuan intelektual atau rnernpunyai inteligensi yang
menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstranak dan
mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.
Kemampuan ini dapat diukur pada anak-anak maupun orang dewasa
dengan tes psikometrik berkaitan dengan prestasi umumnya dinyatakan
dengan skor IQ. Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada
kemampuan yang berbeda dalam Matematika, bahasa using, musik, atau
Ilmu Pengetahuan Alam.
2. Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Umumnya mampu
berpikir untuk memecahkan permasalahan yang tidak umum dan
memerlukan pemikiran tinggi. Pikiran kreatif menghasilkan ide-ide yang
produktif melalui imajinasi, kepintarannya, keluwesannya, dalam bersifat
menakjubkan.
3. Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil. Dan berbeda dengan
orang lain.

Dari keempat kategori tersebut, maka peserta didik berbakat adalah mereka
yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam intelektual,
teknik, estetika, sosial, fisik. (Freemen, J.,1975:120), akademik, Isikomotor, dan
psikososial (kepemimpinan) (Sisk, 1987 dalam Amin, M. 1996:3). pada tahun
1972 di Amerika Serikat berkembang konsep-konsep tentang keberbakatan
berkaitan dengan kemampuan atau potensi luar biasa dalam kemampuan
intelektual, tingkah laku akademis khusus, berpikir kreatif ,dan produktif,
kemampuan memimpin, kecakapan seni, dan kemampuan Psikomotor (Reynolds
& Mann, 1937:719).

1. Kurikulum yang dianggap tepat bagi anak-anak berbakat (gifted), antara


lain: mengacu pada konsep-konsep dan proses kognitif pada tingkat yang
tinggi;
2. melibatkan strategi-strategi pembelajaran yang mampu mengakomodasi
bentuk- Kurikulum belajar yang paling berbeda; dan
3. dapat mengakomodasikan berbagai bentuk perencanaan pengelompokkan
khusus. Kurikulum tersebut mengacu pada faktor-faktor utama landasan
pemahaman terhadap anak-anak berbakat, yaitu inteligensi secara umum;
keberbakatan khusus, kemampuan atau ketangkasan; faktor-faktor yang
bersifat non intelek; kondisi-kondisi lingkungan yang dapat memberikan
rangsangan (stimulasi) dan dukungan; faktor kesempatan (Tannenbaum,
1983 dalam Reynold & Mann, 1987:719), anak-anak berbakat
memerlukan konsep diri yang mampu untuk mengenali dan menerima
potensi yang tidak umum dalam wujud.
DAFTAR PUSTAKA

Alloy, L.B., Riskio, J.H., Monas, M.J (2005) . Abnormal Psychology. Boston,
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Amin, M. (1996). Pelayanan Anak Berbakat di Indonesia. Makalah Seminar


Nasional Modal Pengembangan Unggulan Menyongsong Abad XXI.
Surakarta: Hispelbi Pusat.

Ashman, A $ Elkins, J. (1994). Educating Children with Special Needs. New


York: Prentice Hall.

Batshaw, M.L & Perret, Y.M (1986). Children With Handicapped A Medical
Primer. Baltimor, Maryland : Paul H Brookes Publishing Co.

Berube, M.S. (1992). Uncommon Understanding Devellopmental and Disorder


of Language Comprehension in Children. East Sussex, United Kingdom:
Pyschology Press.

Cohen, L. & Manion, L (1994). Uncommon Understanding Developmental and


Disorder of Language Comprehension in Children. East Sussex, United
Kingdom: Psychology Press.

Cohen, L. & Manion, L (1994). Reserch Metholin Education. London :


Routledge.

Delphie, B. (2004) Bimbingan Perkembangan Perilaku Adaptif Siswa Tunagharita


dengan Memanfaatkan Permainan Terapeutik dalam Pembelajaran.
Disertasi pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

_______(2005). Bimbingan Perilaku Adaptif. Malang: Elang Mas.

_______(2005). Bimbingan Konseling untuk Perilaku Adaptif. Bandung: Pustaka


Bani Quraisy.

_______(2005). Program Pembelajaran Individu Berbasis Gerak Irama.


Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

_______(2002). Model Pengembangan Kemampuan Guru SLB – C (Sekolah


Dasar Luar Biasa Tunagharita) dalammelakukan Asesmen di Wilayah
Bandung. Laporan Penelitian Dosen Muda Bandung Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Delphie, B (2002). Penggunaan Media Pembelajaran dalam Meningkatkan


Perilaku Adaptif Siswa Sekolah Dasar Luar Biasa Tunagrahita. Laporan
Hibah Penelitian dalam Rangka Implementasi Program DUE Like UPI
Tahun 2002/2003.
Geddes. D. (1982). Psychomotor Individuallized Educational Program for
Intellectual, Learning and Behavioral Disobalities. Boston: Allyn Bacon,
Inc.

Gregory, S., Knight, P., McCrecken, W., Powers, S., and Watson, L. (1999).
Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publisher.

Hallahan D.P. & Kauffman J.M (1991). Exceptional Children: Introduction to


Special Education. New Jersey: Prentice-Hall. Englewood Cliffs.

Haskel, S.H. & E.K. (1993) The Education of Children Wiyh Phsycaland
Neurological Disabilities. London: Chapman & Hall.

Jokl, E. (1978). Rehabilitation in Basic Book of Sport Medicine Olypic.


Solidarity of the International Olympic Committe: Vatikan Polyglot Press.

Jordan, R (2001) Autism With Severe Learning Difficulties: A Guid for Paretnt
and Profesinals. London: Souvenir Press (Educational & Academic) Ltd.

______(1995). Understanding and Teaching Children With Austism. Chichester,


England: John Wiley & Sons Ltd.

Kartadinata, S. (2002) Pengembangan Perangkat Lunak. Analisis Perkembangan


Siswa dalam Upaya Peningkatan Mutu Layanan dan Manajemen
Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Laporan Riset Unggulan Terpadu
VIII.2. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia.

______(2003).” Konseptualisasi Pendidikan Anak Usia Dini di Inodonesia.”


Pedagagogia Jurnal Ilmu Pendidikan FIP UPI Bandung V.1, (62-72).

Kauffman, J.M & Hallahan, D.P. (2005) Spedial Education: What it is and Why
We Need It. Boston: Pearson Education. Inc.

Kelly, LJ. & Vergasan, G.A (1978). Dictionary od Special Education and
Rehabilitation. Denver: Colorado: Love Publishing Company.

Kirk, S.A. & Gallagher, J.J (1989). Dictionary od Special Education and
Rehabilitation. Denver : Colorado : Love Publishing Company.

Kirk. S.A & Gallagher, J.J (1989). Educatating Expceptional Children. Dallas
Geneva, llinois: Houghton Mifflin Company.

Lewis, V (2003). Development and Disability. Second Edition. Exford, United


Kingdom: Blackell Publishers.

Maslim, R (2000). Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia Press.
Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (2003). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasinal Beserta Penjeasanya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Milgram, R.M. ?(1991). Counseling Gifted and Taiented Children: A Guide for
Teacher, Counselor, and Paret. Norwood, New Jersey: Ablex Publishing
Corporation.

Mulyasa, E. (2003), Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan


Implementasi. Bandung: PT Rosdakarya.

Mullikan, R.K& Buckey, JJ. (1983). Assesment Multihandicapped and


Developmentally Disabled Children. London: An Aspen Publication.

Patton, J.R. and Smith, M.B. (1986). Metal Retardation. Second Edition.
Columbus, Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.

Peter, L.J. (1975). Competenies for Teaching: Clasroom Intraction. Belmont,


California: Wadsworth Publishing Company.

Reynolsd, C.R.& Mann, L. (1987). Enclyclopedia of Special Education: A


Reference for the Education of the Handicapped and Other Exceptional
Children and Adults, Volume 1,2,3. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Semiawan, c (1995). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Ditjen Dikti


PPTG.

Schloss, PJ (1984) Social Development of Handicapped Children and


Adolescent. Rockville, Maryland: An Aspen Publication

Smith, M.B, Ittenbach, R.F. & Patton, J.R. (2002). Metal Retardation. Saddle
River New Jersey: Merril Prentice Hall.

Sisk, D. (1987). Creative Teaching of the Gifed. New York: Mc-Grow Hill Bool
Company.

Urdang, L.& Swallow, H.H. (1983). Mosby’s Medical & Nursing Dictionary. St.
Louis USA: The C.V. Mosby Company

Wood, D., Wood., H., Griffiths, A., Howarth, I. (1993). TEACHING AND
Talking Wiyh Deaf Children. New York: John Wiley & Sons.

Anda mungkin juga menyukai