NURMAIDA SAMAD
NIM : 033316220226
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Motivasi belajar
1. Pengertian motivasi
Pada dasarnya kata motivasi berasal dari bahasa latin moyere yang dapat
diartikan bergerak. Bergbagai hal yang biasanya terkadang dalam berbagai defenisi tentang
motivasi antara lain adalah keinginan, harapan, kebutuhan, sasaran, dorongan dan intinsif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu motiv adalah keadaan kejiwaan yang
mendorong, mengaktifkan atau mengerakan dan motif itulah yang mengerakan dan
menyalurkan perilaku sikap dan tindak tanduk seseorang yang selalu dikaitkan dengan
pancapaian tujuan.
Indrio gito Sudarmo dan I nyoman Sudito (Marjono, 2007:10) mengatakan bahwa
motivasi adalah faktor-faktor yang ada pada diri seseorang yang mengerakan perilakunya
untuk memenuhi berbagai tujuan tertantu. Sedangkan menurut bernson dan skinner
(Marjono, 2007:10) mengatakan bahwa motivasi adalah dorongan kerja yang timbul dari
diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Woodworth dan marques (Sunarto, 2008) mendefinisikan motivasi sebagai satu set
motif atau kesiapan yang menjadikan individu cenderung melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pendapat tersebut senada dengan yang
disampaikan oleh chung dan meggision (suhaimin), yang mendefinisikan motivasi sebagai
perilakuk yang ditujukan kepada sasaran, motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang
dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan
kepuasan pekerjaan.
Menurut Dalyono (2009:57) motivasi adalah daya penggerak atau pendorong untuk
melalukan sesuatu pekerjaan. Sumiati (2007:236) mengatakan motivasi adalah dorongan
yang muncul dalam diri sendiri untuk bertingkah laku. Dorongan itu pada umumnya di
arahkan untuk mencapai sesuatu tujuan. Sehingga motivasi dapat memberikan semangat
yang luar biasa terhadap seseorang untuk berperilaku dan dapat memberikan arah dalam
belajar. Motivasi ini pada dasarnya merupakan keinginan yang ingin dipenuhi (dipuaskan)
maka ia akan timbul jika ada rangsangan, baik karena adanya kebutuhan maupun minat
terhadap sesuatu.
2. Hakekat belajar
Belajar adalah kegiatan individu untuk memperoleh pengetahuan. Perilaku dan
keterampilan dengan cara mengolah bahan belajar. Kegiatan belajar dapat berlangsung
dimana-mana, misalnya lingkungan keluarga, sekola, dan masyarakat. Dalam belajar
tersebut individu mengunakan rana-rana kognitif, efektif, dan psikomotorik, akibat belajar
tersebut maka kemampuan kognitif, efektif, dan psikomotorik makin bertambah baik.
3. Motivasi belajar
Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi siswa akan giat
belajar jika ia mempunyai motivasi untuk belajar. Thorndike (uno 2011:11) mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan,
atau gerakan) dan respon.
B. Bermain Peran
1. Pengertian Bermain
Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak secara berulang-ulang demi
kesenangan tanpa adanya tujuan dan sasaran yang hendak dicapai (M. Hariwijaya, 2009 :
103). Menurut Piaget (2010:138) permainan sebagai suatu media yang meningkatkan
perkembangan kognitif anak-anak. Permainan memungkinkan anak mempraktikan
kompetensi-kompetensi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dengan cara yang
santai dan menyenangkan. Vigotsky (2010:138) menyatakan bahwa permainan adalah suatu
seting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif ia tertarik khususnya pada aspek-
aspek simbolis dan hayalan suatu permainan, sebagaimana ketika seorang anak menirukan
tongkat sebagai kuda dan mengendarai tongkat seolah-olah itu seekor kuda.
Bermain merupakan bagian terbesar dalam kehidupan anak-anak untuk dapat belajar
mengenal dan mengembangkan keterampilan sosial dan fisik, mengatasi situasi dalam
kondisi sedang terjadi konflik. Secara umum bermain sering dikaitkan dengan kegiatan
anak-anak yang dilakukan secara spontan dan dalam suasana riang gembira. Dengan
bermain berkelompok anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan
yang dimilikinya sehingga dapat membantu pembentukkan konsep diri yang positif,
pengelolaan emosi yang baik, memiliki rasa empati yang tinggi, memiliki kendali diri yang
bagus, dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
Sylva, Bruner, dan Paul (1976 : 155) menyatakan bahwa dalam bermain prosesnya
lebih penting dari pada hasil akhirnya, karena tidak terikat dengan tujuan yang ketat. Dalam
bermain anak dapat mengganti, merubah, menambah, dan mencipta sesuatu. Garvey (2002:
110) dalam salah satu tulisannya mengemukakan adanya lima pengertian yang berkaitan
dengan bermain yaitu : 1) bermain adalah sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai
positif bagi anak, 2) bermain tidak mempunyai tujuan ekstrinsik, namun motivasinya lebih
bersifat intrinsic, 3) bermain bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur keterpaksaan
dan bebas dipilih oleh anak, 4) bermain melibatkan peran aktif keikutsertaan anak, dan 5)
bermain memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan bermain
misalnya kemampuan kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, belajar bahasa,
perkembangan sosial, dan lain sebagainya.
Bermain dapat diartikan sebagai suatu kegiatan melakukan gerakan-gerakan berjalan,
melompat, memanjat, berlari, merangkak, berayun dan lain sebagainya. Dalam proses
kegiatan belajar mengajar guru melakukan pembelajaran dengan melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut. Jadi metode bermain adalah suatu metode pembelajaran dengan cara
melakukan gerakan-gerakan fisik/jasmani anak dalam rangka mengembangkan otot-otot.
Menurut Lilis Suryani (2008 : 109), bermain peran adalah memerankan
karakter/tingkah laku dalam pengulangan kejadian yang diulang kembali, kejadian masa
depan, kejadian yang masa kini yang penting, atau situasi imajinatif. Anak-anak pemeran
mencoba untuk menjadi orang lain dengan memahami peran untuk menghayati tokoh yang
diperankan sesuai dengna karakter dan motivasi yang dibentuk pada tokoh yang telah
ditentukan.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran (role playing) merupakan sebuah permainan di mana para pemain
memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita
bersama. Para pemain memilih aksi tokoh-tokoh mereka berdasarkan karakteristik tokoh
tersebut, dan keberhasilan aksi mereka tergantung dari sistem peraturan permainan yang
telah ditetapkan dan ditentukan, asalkan tetap mengikuti peraturan yang ditetapkan, para
pemain bisa berimprovisasi membentuk arah dan hasil akhir permaian.
Role playing merupakan suatu teknik konseling melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan anggota kelompok/individu. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini
pada umumnya dilakukan dalam kelompok, bergantung kepada apa yang diperankan.
Supriyati berpendapat dalam buku Metode Pengembangan Prilaku dan Kemampuan
Dasar Anak Usia Dini (2008 : 109), bermain peran adalah permainan yang memerankan
tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak sehingga dapat mengembangkan daya khayal
(imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan. Bermain peran
berarti menjalankan fungsi sebagai orang yang dimainkannya, misalnya berperan sebagai
dokter, ibu guru, nenek tua renta.
Bermain peran sering digunakan untuk mengajarkan masalah tanggung jawab warga
negara, kehidupan sosial, atau konseling kelompok.metode ini memberikan kesempatan
kepada anak untuk mempelajari tingkah laku manusia. Pengertian bermain peran menurut
buku didaktik metodik di Taman Kanak-Kanak (Depdikbud 1998) adalah memerankan
tokoh-tpkoh atau benda-benda di sekitar anak dengan tujuan untuk mengembangkan daya
khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan pengembangan yang dilaksanakan.
Oktaviani, 2008 menyatakan lima pengertian bermain di antaranya: a) sesuatu yang
menyenangkan dan memiliki nilai positif bagi anak, b) bermain tidak memiliki tujuan
ekstrinsik namun motivasinya lebih bersifat intrinsik, c) bersifat spontan dan sukarela tidak
ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak, d) melibatkan peran aktif keikutsertaan
anak, dan e) memiliki hubungan sistematik yang khusus dengan sesuatu yang bukan
bermain, seperti misalnya: kreativitas, pemecahan masalah, belajar bahasa, perkembangan
sosial, dan sebagainya.
Bermain peran adalah salah satu bentuk pembelajaran, dimana peserta didik ikut
terlibat aktif memainkan peran-peran tertentu. Bermain pada anak merupakan salah satu
sarana untuk belajar. Melalui kegiatan bermain yang menyenangkan, anak berusaha untuk
menyelidiki dan mendapatkan pengalaman yang kaya, baik pengalaman dengan dirinya
sendiri, orang lain maupun dengan lingkungan di sekitarnya.
Terdapat lima karakteristik bermain peran, yaitu: a) merupakan sesuatu yang
menyenangkan dan memiliki nilai yang positif bagi anak, b) didasari motivasi yang muncul
dari dalam. jadi anak melakukan kegiatan itu atas kemauannya sendiri, c) sifatnya spontan
dan sukarela, bukan merupakan kewajiban. anak merasa bebas memilih apa saja yang ingin
dijadikan alternatif bagi kegiatan bermainnya, d) senantiasa melibatkan peran aktif dari
anak, baik secara fisik maupun mental, e) memiliki hubungan sistematik yang khusus
dengan sesuatu yang bukan bermain, seperti kemampuan kreatif, memecahkan masalah,
kemampian berbahasa, kemampuan memperoleh teman sebanyak mungkin dan sebagainya.
Santrock (1995: 272) menyatakan bermain peran (role play) ialah suatu kegiatan yang
menyenangkan. Secara lebih lanjut bermain peran merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh kesenangan. Role playing merupakan suatu metode
bimbingan dan konseling kelompok yang dilakukan secara sadar dan diskusi tentang peran
dalam kelompok. Di dalam kelas, suatu masalah diperagakan secara singkat sehingga siswa
dapat mengenali karakter tokoh seperti apa yang siswa peragakan tersebut atau yang
menjadi lawan mainnya memiliki atau kebagian peran seperti apa. Santrock juga
menyatakan bermain peran memungkinkan anak mengatasi frustrasi dan merupakan suatu
medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konflik-konflik anak dan cara-cara mereka
mengatasinya.
Ginnot (1961; dalam Eka, 2008) menyatakan bermain peran diyakini sebagai sarana
perkembangan potensi juga dapat dijadikan sebagai media terapi. Terapi bermain peran
khususnya merupakan pendekatan yang sesuai untuk melakukan konseling dengan anak
karena bermain adalah hal yang alami bagi anak. Melalui manipulasi mainan, anak dapat
menunjukkan bagaimana perasaan mengenai dirinya, orang-orang yang penting serta
peristiwa dalam hidupnya secara lebih memadai daripada melalui kata-kata. Ginnot (1961;
dalam Eka, 2008) menegaskan bahwa bermain peran merupakan seperangkat prosedur yang
digunakan untuk melakukan konseling dengan anak melalui penggunaan secara sistematis
dari metode bermain, permainan, dan alat permainan.
Van Fleet (2001) menyatakan bermain peran merupakan intervensi yang
dikembangkan yang berkaitan dengan penggunaan sistematis dari metode bermain oleh
seorang konselor untuk membawa peningkatan dalam kemampuan siswa sampai
penampilan yang optimal di sekolah. Bermain peran juga meliputi penggunaan bermain
secara sistematis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan anak, mengembangkan pola perilaku
adaptif, mengendalikan diri siswa yang agresifnya tinggi, meningkatkan kemampuan
berempati, dapat mengelola emosi, dapat menjadi individu yang bertanggung jawab,
memiliki interpersonal skill yang bagus dan dapat memecahkan masalah secara efektif dan
bijaksana.
Corsini (1996), (Tatiek, 1989) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan
sebagai alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati
perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian yang terjadi
dalam kehidupan yang sebenarnya. Selain itu teknik bermain peran dapat digunakan sebagai
media pengajaran melalui proses modeling anggota kelompok dapat belajar lebih efektif
keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan interpersonal, dengan mengamati
berbagai macam cara dalam memecahkan masalah.
BAB III
METODE PENELITIAN