Anda di halaman 1dari 117

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini melihat lebih dalam stereotip yang ada pada beberapa

pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap

Mahasiswa Papua. Melihat lebih dalam mengenai bagaimana stereotip

pemilik indekos di Peukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap

mahasiswa Papua, juga saluran sosial apa yang berperan dalam pembentukan

stereotip tersebut. Khususnya pada tiga pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan, Yogyakarta. Tiga pemilik indekos tersebut

tidak menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Peneliti memilih topik ini mengingat cukup banyak semboyan positif

mengenai kota Yogyakarta, namun masih banyak ketimpangan yang terjadi,

terutama mengenai suku, ras dan budaya. Selain itu melihat bagaimana

sulitnya mahasiswa pendatang dari Papua mendapatkan tempat tinggal,

peneliti merasa penelitian ini penting untuk diteliti. Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan dipilih karena terdapat tujuh perguruan tinggi yang ada di sana,

antara lain, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Universitas

Proklamasi ’45, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Sekolah Tinggi

Teknologi Nasional (STTNAS), Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir

“BATAN”, Akademi Komunikasi Yogyakarta dan Politeknik API. Dapat

dikatakan bahwa dengan banyaknya perguruan tinggi di kedua pedukuhan ini,

cukup banyak mahasiswa yang kemudian melanjutkan pendidikannya di

1
sekitar Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan. Dengan demikian cukup

banyak pula yang mencari indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan dengan alasan lebih dekat dengan perguruan tinggi tempat

mereka melanjutkan studi. Peneliti merasa kedua pedukuhan ini tepat untuk

diteliti.

Yogyakarta sering disebut-sebut sebagai Indonesia mini dan memiliki

predikat sebagai kota pelajar. Setiap tahun ribuan mahasiswa dari berbagai

daerah datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya. IDN Times

(23 Agustus 2015) mengatakan, jumlah pendatang di kota Yogyakarta kian

meningkat, terutama mahasiswa. Sebanyak 42.629 pelajar atau mahasiswa

datang ke Yogyakarta, tidak terkecuali mahasiswa yang berasal dari Papua.

Yogyakarta sebagai wilayah pendidikan di Indonesia tidak lepas dari

peran Yogyakarta sebagai salah satu pusat kemerdekaan. Pada saat itu

Presiden Soekarno sempat memindahkan ibu kota negara ke Yogyakarta, kala

Jakarta diserang Belanda setelah mendeklarasikan kemerdekaan. Selama tiga

tahun, Yogyakarta menjadi ibu kota negara. “Saat ibu kota dikembalikan ke

Jakarta, peran Yogya tak lantas redup. Pemerintah membangun Universitas

Gadjah Mada di Yogya sebagai penghormatan. Para pejuang Republik yang

rata-rata pelajar putus sekolah lantas berkuliah di sana. Maka pada masa itu,

ke kampus dengan menenteng senjata adalah hal biasa” (Kusumadewi, 2016).

Sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, Yogyakarta

telah menjadi salah satu wilayah pendidikan. “Sri Sultan Hamengkubuwono

IX mempersilakan anak-anak Indonesia datang ke Yogya untuk bersekolah.

2
Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh warga Yogya” Kusumadewi

(2016)

Setelah menjadi wilayah pendidikan, Yogyakarta menjadi salah satu

kota yang menjadi tujuan mahasiswa pendatang untuk melanjutkan

pendidikannya. Dengan banyaknya mahasiswa dari berbagai daerah yang

datang ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan tentu terdapat

banyak perbedaan yang memerlukan penyesuaian Baik dari warga

Yogyakarta maupun dari mahasiswa pendatang yang melanjutkan

pendidikannya di Yogyakarta. Mahasiswa yang datang untuk melanjutkan

pendidikannya berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka memiliki

suku, ras, budaya dan latar belakang yang berbeda dengan warga Yogyakarta.

Perbedaan ini kemudian menimbulkan banyaknya respons satu dengan yang

lainnya, mulai dari respons positif hingga negatif. Tidak terkecuali kepada

mahasiswa pendatang dari Papua yang memiliki sikap yang berbeda dengan

warga Yogyakarta.

Mahasiswa datang dari berbagai daerah untuk melanjutkan

pendidikannya ke Yogyakarta, tidak terkecuali mahasiswa pendatang dari

Papua. Mahasiswa pendatang dari Papua pertama kali datang ke Yogyakarta

untuk melanjutkan pendidikannya pada tahun 1970an. Menurut Kusumadewi

(2016) mahasiswa pendatang dari Papua baru masuk ke Yogyakarta pada

tahun 1970an, berbeda dengan sebagian besar mahasiswa daerah lain yang

datang pada 1940 atau 1950an. Puncak gelombang mahasiswa pendatang dari

3
Papua ke Yogyakarta terjadi pada tahun 1990an, hal ini merupakan bagian

dari komitmen pemerintah Indonesia dalam memajukan mereka.

Awalnya, generasi pertama dari mahasiswa pendatang dari Papua

diperlakukan baik. Pasalnya mereka diberikan hak istimewa, selain itu banyak

di antara mereka dijadikan centeng atau preman. Ernawati yang tergabung

dalam Forum Solidaritas Yogya Damai, salah satu narasumber yang dikutip

oleh Kusumadewi (2016) menyatakan mereka diberi banyak keleluasaan.

Kafe-kafe di Seturan misalnya, penjaga-penjaganya kebanyakan orang Timur,

paling banyak asal Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun, perubahan yang

cukup besar terjadi setelah kasus cebongan pada tahun 2013. “Kasus

Cebongan ialah peristiwa penembakan terhadap empat tahanan penghuni

Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DIY, pada 23 Maret 2013.

Keempatnya berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pelaku

pengeroyokan yang menewaskan anggota Komando Pasukan Khusus TNI

Angkatan Darat, Sersan Kepala Heru Santosa, di Hugo’s Cafe, Jalan

Adisucipto, empat hari sebelumnya”, (Kusumadewi, 2016).

Kasus ini menimbulkan efek yang luar biasa di kalangan orang

Indonesia Timur yang berada di Yogyakarta. Hal ini mengawali perubahan

sikap warga Yogyakarta terhadap mahasiswa pendatang dari daerah Timur,

tak terkecuali mahasiswa dari Papua. ORMAS intoleran kemudian seolah

menggantikan posisi para pendatang dari Indonesia Timur sebagai penjaga

keamanaan saat itu. Ernawati menyatakan sekarang penguasanya ialah ormas

4
intoleran. Mereka dikumpulkan untuk ‘mengamankan’ Yogya dari Papua

(Kusumadewi, 2016).

Selain itu, beberapa tahun terakhir terdapat kasus yang melibatkan

mahasiswa Papua. Pada tahun 2014, mahasiswa Papua terlibat adu pukul

dengan anggota Organisasi Masyarakat (ORMAS). Kejadian ini terjadi pada

6 Agustus 2014, ketika mahasiswa Papua hendak turun ke jalan untuk

menyuarakan kemerdekaan. Namun, di tengah perjalanan mereka dihadang

oleh puluhan anggota ORMAS. “Mahasiswa Papua menolak membubarkan

diri. Mereka terus maju. Kedua kelompok massa ini saling berhadap-hadapan

dan kericuhan pun tak terhindarkan” (Try, 2014).

Bukan hanya itu pada tahun 2016 terdapat beberapa kasus yang

melibatkan mahasiswa Papua. Pada tanggal 26 April 2016 mahasiswa Papua

hendak mengadakan acara untuk memperingati hari kematian budayawan

Papua, Arnold C. A. Semalam sebelum pementasan, tanggal 25 April 2016,

seseorang yang mengaku anggota polisi datang dan menanyakan kesiapan

acara. Para mahasiswa Papua menjelaskan kalau acara akan berlangsung

secara keluargaan di dalam asrama. “Pada 26 April pagi, puluhan Polisi

gabungan Brimob mengelilingi bagian depan, sisi kiri dan kanan asrama

Papua di Jalan Kusumanegara I Yogyakarta. Mereka mengenakan atribut dan

membawa senjata lengkap” (Florene, 2016). Dalam kasus ini terlihat bahwa

perlakuan diskriminasi sudah terlihat, padahal dalam hal ini mahasiswa Papua

tidak melakukan suatu hal yang merugikan banyak orang.

5
Pada tahun yang sama, di bulan Mei 2016, aksi solidaritas mahasiswa

Papua kembali dikepung aparat. Kali ini, terdapat setidaknya 5 truk dalmas

dan 2 mobil patroli milik polisi berjaga di depan asrama Papua di jalan

Kusumanegara. “Anehnya, pada saat itu tidak ada aktivitas yang melibatkan

banyak orang atau kegiatan yang bersifat khusus di asrama mahasiswa

Papua. Para mahasiswa menjadi panik. Namun, militer bergeming, tetap saja

mereka berjaga hingga pukul 23.00” (Florene, 2016). Ketika anggota asrama

menanyakan alasan pengepungan tersebut, aparat menjawab bahwa mereka

hanya menjalankan perintah.

Pada bulan Juli 2016, asrama Papua kembali mendapat kepungan dari

ORMAS dan aparat kepolisian. “Kejadian tersebut bermula saat mahasiswa

Papua yang menamai diri Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat

(PRPPB) membuat rangkaian acara pada tanggal 13-16 Juli 2016” (Lubabah,

2016). Acara dalam rangka mendukung ULMWP (United Lebration

Movement For West Papua) untuk bergabung dalam MSG (Melanesian

Spearhead Group) ini sedang melakukan konferensi tingkat tinggi di Honiara,

Solomon Island. Awalnya mereka hendak melakukan aksi long march.

Namun, sebelum melakukan aksinya, ratusan aparat kepolisian telah

mengepung asrama Papua. Selain itu, mahasiswa Papua didorong masuk ke

dalam asrama. Akses jalan yang akan digunakan pun diblokir dan pintu

gerbang dan pintu belakang diblokade menggunakan truk polisi.

Pada bulan yang sama, pada Juli 2016, kasus lain terjadi. Pada saat itu

sejumlah warga Papua diamankan aparat kepolisian. Hal ini dikarenakan

6
warga Papua yang tidak ingin kendaraannya diamankan petugas, karena

mereka tidak memberikan surat identitas. Berawal dari petugas yang sedang

melakukan penyisiran hingga ke belakang asrama Papua di jalan

Kusumanegara. Dalam penyisiran tersebut, petugas melihat beberapa warga

Papua mengendarai sepeda motor. Ketika dihentikan dan ditanya mengenai

surat identitas, mereka justru berusaha untuk melepaskan diri. Petugas

kemudian berusaha untuk memindahkan salah satu sepeda motor, namun

salah satu pemilik sepeda motor berusaha merebut kembali. Hal ini

mengakibatkan petugas dan warga Papua saling dorong. ”Keadaan memanas

hingga terjadi aksi kejar-kejaran. Bahkan salah satu pemuda sempat meraih

batu dan hendak dilemparkan ke arah petugas” (Ari, 2016). Tiga pemuda

tersebut kemudian dibekuk dan dibawa polisi untuk dimintai keterangan.

Banyaknya kasus di Yogyakarta yang melibatkan mahasiswa Papua

kemudian mengakibatkan banyak mahasiswa yang berasal dari daerah Timur,

termasuk Papua kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Hal ini

mengakibatkan mahasiswa pendatang dari Papua kesulitan mendapatkan

tempat tinggal. Aris (dalam Rasya, Rainhard dan Sandy, 2017: 8) menyatakan

setiap tahun setidaknya terdapat 100 mahasiswa Papua yang melanjutkan

kuliah di Yogyakarta. Mahasiswa baru dapat memilih untuk tinggal di asrama

atau indekos. Meski begitu, kehadiran mahasiswa Papua belum sepenuhnya

diterima masyarakat Yogyakarta.

“Setiap tahun ajaran baru bisa dipastikan selalu ada merantau baru dari

Papua ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu. Sampai sekarang, jumlah mereka

7
yang tercatat ada 7.000 orang” (Ulya, 2016). Sebagian besar dari mereka

ditolak dari indekos maupun rumah kontrakan. Tempat yang awalnya

bertuliskan “masih ada kamar kosong” atau “terima indekos” seringkali

beralasan telah penuh atau sudah ada yang memesan. Befan, salah satu

narasumber yang dikutip Himawan (2016) menyatakan ia cukup lama tidak

mendapatkan tempat tinggal, selalu ditolak karena tahu bahwa ia berasal dari

Papua. Selain itu, pada artikel yang sama disebutkan bahwa selain Befan,

hampir semua mahasiswa pendatang dari Papua pernah mengalami hal yang

sama di awal mencari tempat indekos.

BBC Indonesia (14 Juli 2016) menulis, beberapa mahasiswa yang

bahkan telah diterima di perguruan tinggi kesulitan untuk mendapatkan

tempat tinggal. Setiap mereka bertanya, sang pemilik selalu mengatakan

bahwa kamar indekos telah penuh atau sudah tidak menerima indekos lagi.

Belakangan diketahui penolakan tersebut dilakukan karena mereka

menganggap bahwa mahasiswa yang berasal dari Papua atau Indonesia

bagian Timur merupakan pembuat onar dan suka mabuk-mabukan. Lasno,

salah satu narasumber yang dikutip Rasya, Rainhard dan Sandy (2017)

mengatakan mereka suka mabuk-mabukan, sehingga warga tidak menerima.

Anggapan itu membuat masyarakat Yogyakarta cenderung bersikap

diskriminatif terhadap mahasiswa dari Papua. “Susah bayar, suka bikin gaduh

suasana kos apalagi kalau pas mabuk” (Nugroho. dalam Ulya, 2016).

Nugroho mengaku ia tidak mau berurusan dengan mahasiswa Papua karena

mahasiswa Papua kurang tertib dalam hal pembayaran. Selain itu sering

8
membuat gaduh suasana indekos, terlebih ketika sedang mabuk. Sebagai

pemilik indekos, ia ingin pemasukan yang ia terima tidak dipersulit karena

adanya mahasiswa yang tidak tertib membayar.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa masih banyak terdapat

ketimpangan yang terjadi. Bagaimana mahasiswa dari Papua sebagai

pendatang kesulitan untuk medapatkan tempat tinggal. Bila dilihat kembali,

perbedaan kebudayaan kemudian menjadi hal yang perlu disoroti dalam

permasalahan ini. Bagaimana kemudian perbedaan kebudayaan dari warga

Yogyakarta yang bersuku Jawa dan mahasiswa pendatang dari Papua

membuat warga Yogyakarta memiliki padangan lain terhadap mahasiswa

pendatang dari Papua. Hal ini dikarenakan mahasiswa pendatang dari Papua

memiliki tradisi dan kebiasaan yang mereka bawa ke Yogyakarta. Kebiasaan

ini mungkin saja tidak sesuai dengan tradisi yang selama ini dipegang dan

dipercayai oleh warga Yogyakarta, sehingga perbedaan tersebut

menimbulkan berbagai pandangan.

Hal ini membuat peneliti merasa penelitian ini penting untuk diteliti.

Samovar, Porter dan McDaniel (2010: 50) menyatakan stereotip merupakan

sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya terhadap

karakteristik semua anggota kelompok budaya lain. Peneliti ingin melihat

bagaimana stereotip pemilik indekos terhadap mahasiswa pendatang dari

Papua sehingga tidak menerima mahasiswa Papua di indekos milik mereka.

Penelitian ini dilakukan karena masih terdapat banyak sikap diskriminasi

yang dilakukan oleh warga Yogyakarta terhadap mahasiswa Papua, terlebih

9
sebagian besar pemilik indekos yang tidak menerima mereka di indekos milik

mereka. Selain itu peneliti ingin melihat saluran sosial apa yang berpengaruh

terhadap pembetukan stereotip. Menurut Samovar, Porter dan McDaniel

(2010) terdapat empat saluran sosial pembentuk stereotip yaitu, keluarga,

agama, kelompok agama dan praktik keagamaan, media massa dan perasaan

takut. Dari keem[at saluran sosial ini, peneliti ingin melihat saluran sosial apa

yang mempengaruhi terbentuknya stereotip pemilik indekos di pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan.

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan dipilih karena terdapat tujuh

perguruan tinggi yang ada di sana mengakibatkan orang dari luar Yogyakarta

tertarik datang ke sana untuk melanjutkan pendidikannya, tak terkecuali dari

Papua. Namun, meski indekos ini ada dengan tujuan untuk mendapatkan

penyewa dari luar Yogyakarta yang ingin melanjutkan pendidikannya di

Yogyakarta, masih ada beberapa pemilik kos yang tidak menerima

mahasiswa Papua, seperti Bapak B, Ibu M dan Ibu R. Penulis memilih subyek

penelitian pemilik kos yang tidak menerima mahasiswa pendatang dari

Papua.

Kenyataan bahwa diskriminasi masih sangat terlihat di Yogyakarta

merupakan hal yang sangat disayangkan dan sering terjadi. Hal ini sejalan

dengan penelitian Wieana Oktami (2015) yang berjudul “Hubungan antara

Stereotipe Gender dengan Cinderela Complex pada Mahasiswi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta”. Penelitian ini melihat bagaimana hubungan

antara stereotip gender dengan Cinderella Complex, yaitu anggapan bahwa

10
wanita tidak keberatan apabila dirinya memiliki ketergantungan yang tinggi

dengan orang lain. Oktami (2015) mendapatkan fakta bahwa tingkat stereotip

gender pada mahasiswi Sanata Dharma terbukti rendah. Pada aspek Cinderela

Complex juga terbukti rendah.

Christiany Juditha (2015) menulis artikel berjudul “Stereotip dan

Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar”. Artikel ini

membahas bagaimana pemerintah di Indonesia menganggap bahwa Indonesia

telah menjalankan toleransi. Namun, kenyataannya masih banyak kasus

intoleransi yang terjadi di Indonesia. Juditha (2015) membahas mengenai

stereotip dan prasangka dalam konflik etnis Tionghoa dan Bugis Makassar. Ia

mendapatkan fakta bahwa pemahaman multikulturalisme dalam kedua suku

tersebut masih kurang. Dalam konflik ini stereotip yang lama terbangun di

masyarakat ditepis dengan adanya keterbukaan dari masing-masing etnis.

Ardianto Saputra (2017) juga membahas mengenai stereotip dalam

penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Komunikasi Keluarga terhadap

Pembentukan Stereotip dan Prasangka antaretnik Pada Remaja Etnik

Lampung”. Penelitian ini membahas bagaimana keluarga terutama orangtua

berpengaruh terhadap pembentukan stereotip remaja di Lampung. Saputra

(2017) menemukan fakta bahwa komunikasi yang terjadi di keluarga sebagian

besar memiliki pengaruh terhadap stereotip remaja etnik Lampung.

Bagaimana keluarga terutama orangtua memiliki peran pula untuk

menurunkan tingkat stereotip pada anak mereka.

11
Stereotip yang ada di wilayah Babarsari juga dapat terlihat melalui

penelitian mahasiswi S2 Univeristas Gajah Mada, Endah Yusma Pratiwi

(2016) berjudul “Stereotip dan Diskriminasi terhadap ‘Wong Timur’ (Respon

Warga Kampung terhadap Mahasiswa Pendatang di Yogyakarta)”. Penelitian

ini menekankan kepada bagaimana stereotip dan bentuk diskriminasi warga

Yogyakarta terhadap pendatang dari Indonesia Timur. Endah menekankan,

Yogyakarta yang disebut-sebut sebagai kota Pelajar ternyata tidak

sepenuhnya menerima pendatang dengan baik. Masih terdapat benih-benih

diskriminasi yang kian hari kian berkembang.

Pratiwi (2016) mendapatkan fakta bahwa warga Babarsari menilai ada

mahasiswa tertentu (mahasiswa Papua) yang ciri-ciri fisiknya hitam serta

berambut keriting, sifatnya cenderung kasar dan pemabuk. Bentuk stereotip

ini diperoleh diperoleh warga dari pengetahuan maupun pengalaman.

Stereotip ini muncul karena pengaruh tayangan-tayangan di televisi yang

mengulas orang Papua, juga dari berita konfilik yang terjadi di kampung, dan

pengalaman ketika berinteraksi dengan mereka. Meski penelitian ini memiliki

topik yang mirip dengan penelitian Pratiwi, namun memiliki perbedaan dari

sisi fokus penelitian. Pratiwi mengambil narasumber yang berkaitan dengan

sisi ekonomu yaitu indekos, penyewaan motor dan rumah makan. Sementara

penelitian ini berfokus kepada stereotip pemilik indekos terhadap mahasiswa

Papua. Penelitian Pratiwi mengambil wilayah Babarsari untuk diteliti

sementara penelitian ini memilih pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan.

Selain itu penelitian Pratiwi melihat stereotip dan diskriminasi terhadap

12
‘Wong Timur’ sementara penelitian ini melihat stereotip juga saluran sosial

pembentuk stereotip tersebut.

Penelitian Pratiwi (2016) tersebut membuktikan bahwa stereotip

terhadap mahasiswa pendatang dari Papua telah ada. Namun, peneliti ingin

melihat apakah stereotip yang serupa ada pada pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan. Selain itu, peneliti ingin melihat saluran sosial

apa yang berperan dalam pembentukan stereotip pemilik indekos di

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap mahasiswa pendatang dari

Papua.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua?

2. Apa saluran sosial yang berperan dalam pembentukan stereotip pemilik

indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap mahasiswa

Papua?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam mengenai

bagaimana stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua, juga melihat apa saluran sosial

yang berperan dalam pembentukan stereotip pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua.

13
D. Manfaat Penelitian

Secara Akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan ilmu pengetahuan, terlebih kepada ilmu komunikasi.

Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan menjadi pertimbangan bagi masyarakat Yogyakarta

mengenai stereotip yang berkembang di masyarakat.

E. Kerangka Teori

1. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya berarti komunikasi antara orang-orang dengan

kebudayaan yang berbeda. Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2002: 12)

menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-

orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras

dan kelas sosial. Dalam hal ini, komunikasi antarbudaya membahas mengenai

keunikan individu, stereotip, objektivitas dan mitos dari melihat komunikasi

sebagai penyembuh segalanya.

1. Keunikan individu

Menurut negarawan Inggris, Lord Chesterfield (Dalam Samovar,

Porter dan McDaniel, 2010: 49) tidak pernah ada, sejak dunia diciptakan,

14
dua masalah yang sama. Hal ini dikarenakan tingkah laku dibentuk dari

banyak sumber dan budaya merupakan salah satu dari budaya tersebut.

Sehingga dapat dikatakan manusia itu lebih dari budayanya. Meski

budaya memberikan manusia pandangan secara umum, namun manusia

tidak akan sepenuhnya tunduk pada budaya tersebut. “Sebaliknya,

manusia berpikir, merasa, dan berperan dalam perilaku sosial kolektif

mereka. Akibatnya, nilan dan perilaku dari budaya tertentu mungkin

bukanlah merupakan nilai dan perilaku semua individu dalam budaya

tersebut. (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 49).

Dalam hal ini, satu kalimat sederhana, dapat menjadi berbeda arti

dan maknanya. Hal ini dikarenakan pengalaman, bahasa yang digunakan,

jenis kelamin, umur dan sebagainya. “Salah satu alasannya adalah alasan

genetika, kelompok sosial, pengalaman, bahasa yang Anda gunakan,

jenis kelamin, umur, sejarah pribadi dan keluarga, partai politik, tingkat

pendidikan, cara pandang terhadap orang lain dan keadaan saat ini,

tempat tinggal dan lingkungan Anda dibesarkan, pengalaman spiritual,

dan banyak faktor lainnya berperan dalam setiap momen hidup Anda”

(Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 49-50). Hal ini menunjukkan

sangat banyak faktor yang dapat membentuk kepribadian seseorang.

Sehingga makna suatu hal bisa jadi berbeda setiap orangnya, meski

budaya mereka sama.

Hooker (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50)

menyatakan bahwa kepribadian terdiri atas sifat-sifat unik dari suatu

15
individu, sebagian dari genetika dan sebagian dari proses belajar. Karena

kepribadian itu didapat dari pengaruh kuat budaya. Walaupun begitu,

kepribadian sebagian besar dapat berkembang dalam budaya bawaan

yang bahayanya terlalu ditekankan pada ‘karakter nasional’.

Hal yang dapat ditekankan adalah meski perilaku-perilaku tersebut

terjadi dalam lingkup budaya, namun setiap orang memiliki

kepribadiannya masing-masing, dan itu merupakan hal yang unik. Oleh

karena itu kita harus berhati-hati dalam menggeneralisasi budaya.

2. Stereotip

Dalam hal ini stereotip dapat diartikan sebagai pendapat seseorang

atau sekelompok orang terhadap satu orang, berdasarkan penilaian dari

mana seseorang tersebut dikategorikan. Menurut Samovar, Porter dan

McDaniel (2010: 50) stereotip merupakan sejumlah asumsi salah yang

dibuat oleh orang di semua budaya terhadap karakteristik semua anggota

kelompok budaya lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat tersebut

dibuat sepihak dan tidak benar adanya. Peoples dan Bailey dalam

(Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50) setiap masyarakat memiliki

stereotip mengenai anggota, etika dan kelompok rasial dari masyarakat

yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa stereotip yang ada di masyarakat

sangat mudah untuk dibuat. Pasalnya, setiap kelompok memiliki

pandangan tersendiri mengenai kelompok yang lain, begitu pula

sebaliknya. “Ketika kita menyamaratakan sekelompok orang, sama seperti

yang kita lakukan dalam mnejelaskan budaya, kita berhadapan dengan isu

16
stereotip” (Scarborough dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50).

Dengan kata lain, ketika kita menyamaratakan sikap atau sifat seseorang

berdasarkan dari budaya mana ia berasal, kita telah membentuk stereotip

terhadap orang tersebut.

Stereotip tentu akan menjadi masalah dalam komunikasi. Sehingga

perlu mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi efek yang

membahayakan dari stereotip. Menurut Samovar, Porter dan McDaniel

(2010: 51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat

sebagai tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini kita harus

sealalu mengingat bahwa banyak hal yang mempengaruhi sikap atau sifat

seseorang, sehingga generalisasi budaya bukan merupakan hal yang pasti.

“Kedua, ketika Anda membuat generalisasi hal tersebut harus

berhubungan dengan apa yang disebutkan Scarborough sebagai ‘nilai-nilai

inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang

dimaksudkan adalah nilai dan perilaku yang terjadi berturut-turut selama

beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau

budaya.

Akhirnya, kesimpulan dari pernyataan tersebut harus menggunakan

bahasa yang dihaluskan sehingga tidak terkesan mutlak atau menghakimi.

Coles (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52) menyarankan

frasa seperti “rata-rata”, “mungkin” dan “cenderung” sebagai cara untuk

menghaluskan makna dari generalisasi yang ada. Hal ini menjadikan

orang-orang mulai berpikir mengenai generalisasi yang ada. selain itu

17
memungkinkan orang-orang untuk berbicara mengenai kelompok lain

tanpa menunjukkan bahwa anggota dari budaya tertentu memiliki sikap

atau sifat yang sama.

3. Objektivitas

Objektivitas merupakan hal yang lebih mudah untuk dikatakan

daripada dilaksanakan. English dictonary (dalam Samovar, Porter dan

McDaniel, 2010: 52) menyebutkan bahwa objektif itu adil, tidak

berprasangka buruk dan tidak dipengaruhi oleh emosi atau prasangka

pribadi. Hal ini menekankan kepada kita bahwa sulit untuk berkomunikasi

dengan orang lain tanpa melibatkan prasangka pribadi. Menjadi sulit

ketika hal ini dilihat dari kontek komunikasi antar budaya. pasalnya

terkadang kita melihat dari pandangan budaya kita sendiri, dan tidak

jarang menganggap bahwa budaya kita yang paling benar. Hal ini disebut

sebagai etnosentrisme. Ferraro (dalam Samovar, Porter dan McDaniel,

2010: 52-53) menyebutkan bahwa etnosentrisme merupakan kepercayaan

bahwa kebudayaan seseorang lebih baik dari yang lain. Dengan kata lain,

hal ini berari melihat seluruh dunia ini melalui kacamata budayanya

sendiri yang kecil. “Ketika manusia menggunakan cara di mana budaya

yang lain sama atau tidak sama dari budayanya sendiri sebagai cara untuk

menilai kebudayaan orang lain, mereka mungkin menganggap elemen

budaya mereka sebagai yang normal, bermoral, dan diinginkan dan elemen

budaya yang dianggap sebaliknya” (Chiu dan Hong dalam Samovar,

Porter dan McDaniel, 2010: 53).

18
Hal ini menunjukkan bahwa mencoba untuk objektif bukanlah hal

yang mudah untuk dilakukan. Misalnya, sulit untuk dapat mengartikan hal

yang tidak familiar dengan lingkungan kita. Hal ini kemudian

memperliihatkan sifat etnosentrisme kita kemudian menghalangi

komunikasi antar budaya.

4. Komunikasi Tidak Mengatasi Semua Hal

Banyak asumsi bahwa komunikasi dapat mengatasi masalah, juga

mengklarifikasi suatu mesalahpahaman. Banyak juga buku mengenai

komunikasi atau motivasi yang menjelaskan bahwa komukasi merupakan

solusi yang tepat untuk masalah pada individu atau masyarakat, namun

bila dilihat kembali, komunikasi bukan merupakan solusi dari semua

permasalahan. “Pada kenyataannya, bahkan ada saat di mana komunikasi

dapat menyebabkan masalah”, (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 54).

Wood (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 54) menyatakan,

adalah suatu kesalahan ketika berpikir bahwa komunikasi dapat mengatasi

semua hal. Banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui

komunikasi. Komunikasi itu sendiri tidak akan mengatasi kelaparan,

pelanggaran HAM di seluruh dunia, rasisme, kekerasan pada pasangan

hidup atau penyakit fisik.

2. Stereotip

Stereotip merujuk kepada pendapat seseorang atau sekelompok orang

terhadap satu orang, berdasarkan penilaian dari mana seseorang tersebut

19
dikategorikan. Menurut Lasorsa (dalam Priandono, 2016: 200) sebuah

stereotip merupakan respons kognitif berbasis kategori berpasangan yang

efektif berupa prasangka dan perilaku diskriminasi. Dengan menilai orang

lain bukanlah pada pemahaman kompleksitas individu, tetapi melibatkan

mereka pada out-group, stereotip merupakan pemikiran kategoris yang dapat

menimbulkan rasisme, seksisme, homofobia, xenophobia, dan jenis-jenis

perilaku intoleransi. Sedangkan menurut Samovar, Porter dan McDaniel

(2010: 50) stereotip merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang

di semua budaya terhadap karakteristik semua anggota kelompok budaya lain.

Whitley dan Kite (dalam Priandono, 2016: 200), menyatakan stereotip

merupakan suatu keyakinan dan pendapat tentang karakteristik, sikap dan

perilaku anggota berbagai kelompok secara sederhana. Bila dilihat dari

beberapa definisi di atas, stereotip dapat dilihat sebagai suatu pandangan

terhadap seseorang hanya berdasarkan pandangan masyarakat terhadap suatu

kelompok tersebut. Pandangan tersebut muncul karena pengalaman mereka

sebelumnya ketika melihat suatu kelompok melakukan sesuatu kemudian hal

tersebut dijadikan sebuah karakteristik.

Peoples dan Bailey (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50)

setiap masyarakat memiliki stereotip mengenai anggota, etika dan kelompok

rasial dari masyarakat yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa stereotip yang

ada di masyarakat sangat mudah untuk dibuat. Pasalnya, setiap kelompok

memiliki pandangan tersendiri mengenai kelompok yang lain, begitu pula

sebaliknya. “Ketika kita menyamaratakan sekelompok orang, sama seperti

20
yang kita lakukan dalam menjelaskan budaya, kita berhadapan dengan isu

stereotip” (Scarborough dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50).

Dengan kata lain, ketika kita menyamaratakan sikap atau sifat seseorang

berdasarkan dari budaya mana ia berasal, kita telah membentuk stereotip

terhadap orang tersebut.

Stereotip dapat menjadi buruk mengingat satu kesalahan anggota

kelompok dapat menjadi sebuah penilaian. Selain itu bagaimana sejarah

kelompok juga memengaruhi penilaian terhadap kelompok tersebut, juga

dapat memengaruhi sikap masyarakat terhadap kelompok tersebut. Seseorang

dapat ditolak atau dikucilkan hanya karena kesalahan yang tidak ia perbuat.

Namun, dapat berpengaruh baik ketika sejarah suatu kelompok tersebut baik

atau positif.

Menurut Appiah (dalam Priandono, 2016: 200-201) stereotip tidak selalu

bersifat buruk atau berbahaya, dalam sebuah dunia yang bersifat kompleks,

pandangan stereotipe diperlukan dan membantu manusia dalam

menyederhanakan dan mengorganisasikan lingkungan, membantu individu

dalam menentukan respons terbaik dalam menghadapi situasi tertentu. Martin

dan Nakayama (2008: 51) stereotip membantu kita untuk membayangkan

seperti apa dan bagaimana reaksi kita kepada orang lain. Sehingga dapat

dikatakan, bentuk stereotip dapat menjadi positif, negatif atau netral

tergantung dari sikap seseorang atau kelompok tersebut.

Menurut Operario dan Fiske (dalam Priandono, 2016: 201) stereotip

memiliki tiga prinsip dasar, yaitu:

21
1) Stereotip berisi kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan

hubungan kelompok.

2) Stereotip mendorong persepsi negatif dan perilaku ekstrem dari individu.

3) Stereotip mengelola hubungan antara perasaan tentang kita (in-group)

dan mereka (out-group).

Stereotip yang ada di masyarakat biasanya berkembang dari sebuah

rumor atau isu. “Stereotip yang berkembang di masyarakat cenderung berakar

dari rumor dan desas-desus dibandingkan kesimpulan dari fakta yang terbukti

secara ilmiah, dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan

seseorang sendiri dalam dunia sekitarnya” (Rapport dan Overing, dalam

Priandono, 2016: 201).

Stereotip yang berkembang dari suatu isu, yang kemudian

disimpulkan menjadi karakteristik suatu kelompok. Stereotip terjadi menurut

hubungan dalam suatu kelompok. Menurut Priandono (2016: 201), stereotip

terjadi dari sebuah hubungan “struktural kelompok”. Sehingga kelompok-

kelompok non-mayoritas cenderung dipandang tinggi pada satu domain tetapi

rendah di sisi lain: baik kompeten tapi tidak baik, atau sangat tidak kompeten

tapi bagus.

Brewer dan Hewstone (dalam Priandono, 2016: 202) menyebutkan

bahwa stereotip sangat ditentukan oleh dua aspek konteks sosial yaitu

dinamika kekuasaan dan hierarki kelompok, dan pembenaran terhadap status

quo sosial. Secara khusus, individu atau kelompok yang hasil dikuasai oleh

kelompok lain atau menjadi kelompok yang berada dalam posisi rendah

22
dalam struktur sosial, rentan direndahkan melalui stereotip mereka yang

cenderung negatif. Sebaliknya, individu atau kelompok yang menguasai

kelompok lain atau kelompok-kelompok di bagian atas hierarki sosial, lebih

mungkin mendapatkan stereotip dari mereka sendiri.

Samovar, Porter dan Edwin (2010: 170-171) mengidentifikasi empat

saluran sosial yang berperan penting dalam pembentukan stereotip, yaitu:

1. Keluarga, merupakan agen sosialisasi konsep stereotip paling

penting. Menurut kajian Schneider, orang tua cenderung baik secara

langsung maupun tidak langsung mempromosikan stereotip kepada

anak-anak mereka.

2. Agama, kelompok agama, dan praktik keagamaan, dalam hal ini

stereotip juga sering ditekankan melalui agama atau praktik

keagamaan. Suatu praktik keagamaan, dalam penafsiran tertentu

seringkali membentuk stereotip terhadap kelompok masyarakat

tertentu. Menurut Priandono (2016: 204) bentuk stereotip yang

muncul di media massa, selain stereotip agama juga terkait dengan

etnisitas. Sinetron Suami-Suami Takut Istri yang pernah tayang di

stasiun televisi nasional merupakan contoh acara televisi yang berakar

pada konsep stereotip yang berkembang di masyarakat Indonesia. Di

acara tersebut orang Padang distereotipkan sebagai orang yang pelit,

orang Batak diidentikan dengan orang yang keras, orang Jawa

dipersepsikan orang yang lemah dan halus. Namun menurut Samovar,

Porter dan Edwin (2010: 170) kelompok keagamaan selain

23
mengajarkan kebaikan dari sudut pandatng tertentu, juga mungkin

dengan sengaja atau tidak sengaja mengajarkan stereotip melalui

pandangan yang berlawanan.

3. Media massa, melalui iklan, film, atau sinetron, merupakan saluran

penting budaya yang mendiseminasikan stereotip budaya. Menurut

Appiah (Priandono, 2016:203) media sangat berpengaruh di dalam

membentuk, memperkuat dan membenarkan kepercayaan dan harapan

stereotip terkait pada sejumlah kelompok. Secara khusus terjadi ketika

pengalaman pribadi khalayak terhadap kelompok tersebut terbatas.

Priandono (2016: 203) menekankan, semakin interaksi sosial

berkurang atau tidak pernah melakukan interaksi dengan budaya lain,

pandangan stereotip akan cenderung meningkat karena khalayak akan

sangat bergantung dengan sumber-sumber sekunder seperti media

massa atau pengalaman orang lain.

4. Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam

pembentukan stereotip. Menurut Samovar, Porter dan Edwin (2010:

171) stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari

suatu kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa

berasal dari pengalaman yang tak begitu menyenangkan seseorang

yang berinteraksi dengan anggota kelompok tertentu. Martin dan

Nakayama (2008: 53) menyatakan jika kita memiliki interaksi yang

tidak menyenangkan dengan orang tertentu kita mungkin

mengeneralisasi ketidaknyamanan tersebut kepada semua orang di

24
dalam kelompok tertentu. Di manapaun karakter grup yang kita

fokuskan (ras, gender, atau orientasi seksual).

Stereotip tentu akan menjadi masalah dalam komunikasi. Sehingga

perlu mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi efek yang

membahayakan dari stereotip. Menurut Samovar, Porter dan McDaniel (2010:

51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat sebagai

tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini kita harus selalu mengingat

bahwa banyak hal yang mempengaruhi sikap atau sifat seseorang, sehingga

generalisasi budaya bukan merupakan hal yang pasti.

“Kedua, ketika Anda membuat generalisasi hal tersebut harus

berhubungan dengan apa yang disebutkan Scarborough sebagai ‘nilai-nilai

inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang

dimaksudkan adalah nilai dan perilaku yang terjadi berturut-turut selama

beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau

budaya.

Akhirnya, kesimpulan dari pernyataan tersebut harus menggunakan

bahasa yang dihaluskan sehingga tidak terkesan mutlak atau menghakimi.

Coles (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52) menyarankan frasa

seperti “rata-rata”, “mungkin” dan “cenderung” sebagai cara untuk

menghaluskan makna dari generalisasi yang ada. Hal ini menjadikan orang-

orang mulai berpikir mengenai generalisasi yang ada. selain itu

memungkinkan orang-orang untuk berbicara mengenai kelompok lain tanpa

25
menunjukkan bahwa anggota dari budaya tertentu memiliki sikap atau sifat

yang sama.

F. Metodologi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Eko (2015: 8)

penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak

diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya dan bertujuan

mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data

dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.

Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, cenderung menggunakan analisis dengan

pendekatan induktif. Proses dan makna berdasarkan perspektif subyek lebih

ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.

b. Metode Penelitian

Metode penelitian dari penelitian ini adalah studi Deskriptif Kualitatif.

Menurut Sudaryanto (dalam Inggoue, 2015: 8) penelitian deskriptif

kualitatif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan

fakta-fakta yang ada atau fenomena yang ada secara empiris hidup pada

penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa

perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret, paparan apa

adanya.

26
c. Subjek Penelitian

Amirin (dalam Fitrah & Luthfiyah 2017: 152) menyebutkan subjek

penelitian adalah seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh

keterangan atau orang pada latar penelitian yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Subjek

penelitian dalam penelitian ini adalah tiga orang pemilik indekos yang tidak

(bersedia) menerima mahasiswa Papua di indekosnya. Nama ketiga pemilik

indekos tersebut peneliti tulis dengan inisial nama mereka, karena merupakan

permintaan dari narasumber. Ketiga pemilik indekos ini tidak bersedia namanya

dicantumkan dalam penelitian ini karena mamiliki ketakutan jika pendapat yang

mereka timbulkan akan menjadi masalah atau menyinggung isu yang sensitif.

Selain pemilik indekos terdapat pula dua kepala pedukuhan dan seorang peneliti

sebagai subjek penelitian ini. Subjek penelitian tersebut antara lain:

1. Ibu R (79 tahun). Ibu R adalah salah satu pemilik indekos di daerah

Tambak Bayan. Ia menerima mahasiswa laki-laki di indekosnya. Peneliti

memilihnya karena indekosnya bertempat di Tambak Bayan, di mana

Tambak Bayan merupakan daerah yang cukup banyak memiliki

pendatang dari daerah Timur Indonesia.

2. Ibu M (68 tahun). Ibu M merupakan salah satu pemilik indekos di daerah

Kledokan. Ia menerima mahasiswa laki-laki di indekosnya. Peneliti

memilihnya karena indekosnya terletak di Kledokan. Bila dilihat lagi, ibu

M yang tidak menerima mahasiswa Papua di indekosnya, dipengaruhi

oleh kepala pedukuhan yang menganjurkannnya.

27
3. Bapak B (61 tahun). Ia adalah salah satu pemilik indekos di daerah

perumahan Dirgantara. Ia menerima mahasiswa perempuan di

indekosnya. Peneliti memilihnya sebagai subyek adalah karena ia pernah

bersedia menerima, namun kini tidak lagi. Penelii ingin melihat lebih

dalam bagaimana faktor pembentukan stereotip dari pandangannya.

4. Bapak Widodo. D. M. Ia merupakan kepala pedukuhan Tambakbayan. Di

pedukuhannya terdapat asrama mahasiswa Papua, sehingga

komunikasinya dengan mahasiswa Papua cukup baik.

5. Bapak Supriyono. Ia merupakan kepala pedukuhan Kledokan. Di

pedukuhannya, tidak begitu banyak mahasiswa pendatang dari Papua.

Hal ini dikarenakan ia menyarankan kepada pemilik indekos di

pedukuhannya untuk tidak menerima mahasiswa Papua di indekos milik

mereka.

6. Franciscus Apriwan. Ia merupakan seorang peneliti yang berfokus pada

bidang antropologi.

d. Objek Penelitian

Menurut Fitrah & Luthfiyah (2017: 156) objek penelitian adalah

apa yang akan diselidiki selama kegiatan penelitian. Objek penelitian dari

penelitian ini adalah stereotip pemilik indekos terhadap mahasiswa

pendatang dari Papua. Peneliti melihat kasus-kasus atau pengalaman-

pengalaman narasumber terkait mahasiswa Papua yang kemudian peneliti

masukkan ke dalam objek penelitian.

28
e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara.

Peneliti telah melakukan wawancara secara mendalam kepada tiga pemilik

indekos yang berada di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan untuk

memperoleh data yang dibutuhkan. Selain itu untuk memperkuat data yang

peneliti dapatkan, peneliti juga melakukan wawancara kepada kepala

pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan, juga kepada peneliti yang berfokus

pada bidang antropologi.

f. Jenis Data

Berdasarkan cara memperolehnya, data dikumpulkan melalui:

1. Data Primer

Data primer merupakan data utama yang didapatkan sendiri oleh

peneliti. Menurut (Situmorang, 2010: 2) data primer adalah data yang

dikumpulkan sendiri oleh perorangan atau suatu organisasi secara

langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang

bersangkutan yang dapat berupa interviu, observasi. Data primer dari

penelitian ini adalah data hasil wawancara yang didapatkan dari pemilik

indekos di wilayah Babarsari. Peneliti melakukan wawancara kepada

tiga pemilik indekos, kepala Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan

dan seorang peneliti.

29
1. Bapak B pada tanggal 14 Mei 2018 pukul 16.00 di indekos

miliknya.

2. Ibu M pada tanggal 15 Mei 2018 pukul 09.00 di rumah makan

miliknya.

3. Ibu R pada tanggal 21 Mei 2018 pada pukul 10.00 di indekos

miliknya.

4. Supriyono (kepala Pedukuhan Kledokan) pada tanggal 16 Juli 2018

pada pukul 14.00, bertempat di rumah tinggalnya.

5. Widodo (kepala Pedukuhan Tambakbayan) pada tanggal 21 Juli

2018, pada pukul 13.00, bertempat di rumah tinggalnya.

6. Franciscus (peneliti) pada tanggal 10 Desember 2018 pada pukul

19.00 di Taman Budaya Yogyakarta.

Data yang peneliti dapatkan berupa transkrip wawancara

mengenai stereotip dan saluran sosial apa yang mempengaruhi

terbentuknya stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua.

g. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dibagi menjadi tiga, yaitu reduksi, penyajian data dan

penarikan kesimpulan. Reduksi data bisa berupa memeriksa kembali data yang

diperoleh. Menurut Muharto dan Ambarita (2012: 92) reduksi data digunakan

untuk memeriksa data yang diperoleh melalui pencatatan di lapangan. Kemudian

pencatatan tersebut direduksi dengan cara menyusunnya secara rapi, sistematis,

30
mengarahkan, serta membuang data yang tidak perlu serta mengemukakan

pokok-pokok data penelitian sesuai dengan fokus penelitian. Peneliti memeriksa

kembali data yang didapatkan, hal ini dilakukan dengan mendengarkan kembali

rekaman suara wawancara peneliti dengan narasumber atau dengan mengingat

kembali data apa saja yang peneliti dapatkan, kemudian menyusun data-data

yang diperoleh dari lapangan. Data ini disusun berdasarkan kebutuhan dan

membuang data yang tidak perlu. Misalnya pengantar atau bahasan-bahasan

awal dari narasumber, cerita-cerita narasumber yang tidak ada hubungannya

dengan penelitian ini.

Penyajian data adalah kegiatan menyusun data secara sistematis.

“Penyajian atau deskripsi data merupakan kegiatan mengorganisisr atau menata

data secara sistematis sesuai pertanyaan-pertanyaan yang termuat dalam

pedoman wawancara dan dokumentasi sesuai fokus penelitian”, Muharto dan

Ambarita (2012: 92). Dalam penyajian data, peneliti menyusun hasil wawancara

sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan, sesuai dengan

pedoman wawancara. Hal ini dimaksudkan agar lebih mudah dalam

menganalisis, dan tidak ada data yang terselip atau hilang.

Selanjutnya penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan adalah bagian

terakhir dalam analisis data. Menurut Muharto dan Ambarita (2012: 92)

penarikan kesimpulan merupakan menarik makna yang didasarkan pada

pembahasan hasil penelitian. Setelah dikumpulkan dan disusun sesuai dengan

pertanyaan, peneliti kemudian menarik kesimpulan berdasarkan data yang

31
diperoleh dari lapangan dan yang telah dianalisis untuk mendapatkan jawaban

dari pertanyaan yang terdapat di rumusan masalah.

32
BAB II

DESKRIPSI SUBYEK DAN OBYEK PENELITIAN

Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai subjek dan objek

penelitian. Dalam hal ini subyek yang peneliti pilih adalah pemilik indekos.

Sedangkan objek penelitian yang akan diteliti adalah stereotip pemilik indekos di

kawasan Babarsari terhadap mahasiswa pendatang dari Papua.

A. Subyek penelitian

Penelitian ini memilih tiga pemilik indekos yang tidak menerima mahasiswa

Papua di indekos miliknya sebagai subyek penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti

ingin melihat bagaimana stereotip pemilik indekos dan apa yang mempengaruhi

stereotip pemilik indekos terhadap mahasiswa Papua, sehingga tidak menerima

mahasiswa pendatang dari Papua di indekos miliknya. Tiga pemilik indekos

tersebut ialah:

1. Ibu R

Pemilik indekos yang pertama adalah Ibu R, seorang pemilik indekos di

daerah Tambak Bayan. Di dalam indekosnya ia menerima mahasiswa laki-laki.

Peneliti memilihnya sebagai subyek penelitian karena indekos miliknya bertempat

di Tambak Bayan, di mana Tambak Bayan merupakan daerah yang memiliki

cukup banyak pendatang dari daerah Timur Indonesia, namun ia tidak menerima

mahasiswa pendatang dari Papua di dalam indekos miliknya.

Ibu R adalah seorang pemilik indekos berusia 79 tahun, bersuku Jawa. Ia

tinggal bersama suami, anak perempuan dan seorang cucu. Ia merupakan seorang

33
seorang penganut agama Kristen yang cukup aktif di gereja. Ia membuka indekos

sejak ia berusia 26 tahun. 53 tahun menjadi pemilik indekos bukanlah waktu yang

sebentar, sehingga dapat dikatakan ibu R memiliki cukup pengalaman dalam

menghadapi pendatang dari luar Jogja. selain itu, ia juga telah cukup lama tinggal

di wilayah Babarsari, yaitu sejak ia belum menjadi pemilik indekos. Tidak hanya

memiliki indekos di wilayah Babarsari, ibu R juga membuka usaha indekos di

daerah Kota Baru.

2. Ibu M

Ibu M merupakan salah satu pemilik indekos di daerah Kledokan. Ia

menerima mahasiswa laki-laki di indekos miliknya. Bila dilihat lagi, ibu M yang

tidak menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya, dipengaruhi oleh kepala

pedukuhan yang menganjurkannnya agar tidak menerima mahasswa Papua di

indekos miliknya

Ibu M merupakan pemilik Indekos berusia 68 tahun bersuku Jawa. Ia

merupakan seorang penganut agama Katolik, namun karena usianya yang tidak

muda lagi ia tak lagi aktif di gereja. Hanya saja ia masih mengikuti kegiatan

lingkungan sekitar rumahnya. Meski begitu, anak dan cucunya cukup aktif di

lingkungan gereja. Ia membuka usaha indekos sejak tahun 1990-an. Selain

membuka usaha indekos, ibu M juga membuka usaha rumah makan. Meski

begitu, ia tetap menerima mahasiswa pendatang dari Papua yang ingin makan di

rumah makannya.

34
3. Bapak B

Bapak B adalah seorang pemilik indekos berjenis kelamin laki-laki. Pak B

merupakan salah satu pemilik indekos di perumahan Dirgantara. Ia menerima

mahasiswa perempuan di indekos miliknya. Peneliti memilihnya sebagai subyek

karena ia pernah bersedia menerima namun kini tidak lagi.

Bapak B lahir di Klaten pada tahun 1957, saat ini ia berusia 61 tahun. Ia

bersuku Jawa. Ia merupakan seorang penganut agama Katolik yang aktif di gereja.

Bukan hanya aktif, ia merupakan salah satu anggota prodiakon di gerejanya.

Bukan hanya pak B saja, istri dan kedua anaknya pun sangat aktif di gereja dan

lingkungannya. Ia membuka indekos 22 tahun yang lalu. Awalnya ia tinggal di

Klaten bersama istri dan kedua anaknya, namun ia memutuskan untuk pindah ke

Yogyakarta pada tahun 1997 dan memulai usaha indekos.

4. Supriyono

Supritono merupakan kepala pedukuhan Kledokan, di pedukuhannya tidak

begitu banyak mahasiswa pendatang dari Papua. Hal ini dikarenakan ia

menyarankan kepada pemilik indekos di pedukuhannya untuk tidak menerima

mahasiswa Papua di indekos milik mereka. Ia menyarankan hal tersebut untuk

mengantisipasi permasalahan yang terjadi di wilayahnya.

5. Widodo D. M

Widodo merupakan kepala pedukuhan Tambakbayan. Di pedukuhannya

terdapat asrama mahasiswa Papua, sehingga komunikasinya dengan mahasiswa

Papua cukup baik. Selain itu, ia seringkali melakukan sosialisasi kepada warga

35
dan mahasiswa pendatang dari Papua agar pedukuhannya terhindar dari

permasalahan. Ia juga masih menjalin hubungan baik dengan mantan ketua

asrama Papua yang kini menjadi kepala suku di Papua. Sehingga ia lebih mudah

untuk mengontrol mahasiswa Papua yang tinggal di pedukuhannya.

6. Franciscus Apriwan

Franciscus merupakan seorang peneliti yang berfokus pada bidang

antropologi. Meskipun ia merupakan seorang dosen perfilman, namun ia

seringkali mengikuti penelitian dengan tema antropologi. Meneliti mengenai

antropologi merupakan pekerjaan keduanya selain dosen. Ia memiliki ikatan yang

cukup kuat dengan Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan karena kedua

orangtuanya tinggal di Pedukuhan Tambakbayan.

B. Obyek Penelitian

Yogyakarta merupakan kota yang cukup terkenal dengan predikatnya

sebagai kota pelajar. Selain itu, cukup banyak predikat-predikat lain yang

melekat, seperti Indonesia mini atau Yogyakarta City of Tolerance. Meski

memiliki banyak predikat atau slogan bersifat positif, namun masih banyak

diskriminasi atau intoleransi yang terjadi di Yogyakarta. Misalnya tindakan

refresif dari aparat keamanan kepada mahasiswa Papua, hingga penolakan

terhadap mahasiswa Papua di tempat tinggal, terutama indekos.

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan merupakan salah satu daerah yang

menjadi tempat berdirinya beberapa kampus di Yogyakarta. Seperti Universitas

36
Pembangunan Nasional “Veteran”, Universitas Proklamasi ’45, Universitas Atma

Jaya Yogyakarta, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Sekolah Tinggi

Teknologi Nuklir “BATAN”, Akademi Komunikasi Yogyakarta dan Politeknik

API. Hal ini membuat cukup banyak pendatang yang memilih untuk tinggal di

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan mengingat kedua pedukuhan ini lebih

dekat dengan kampus mereka, tidak terkecuali mahasiswa pendatang dari Papua.

Meski begitu, masih terdapat penolakan terhadap mahasiswa pedatang dari Papua

di indekos atau tempat tinggal lainnya. Padahal kebutuhan mahasiswa pendatang

dari Papua terhadap tempat tinggal sama dengan mahasiswa pendatang lainnya.

Dilihat dari sisi suasana pedukuhan, pedukuhan Tambakbayan dan

Kledokan terlihat cukup aman dan kondusif. Tidak ada kasus atau masalah yang

berarti, termasuk kasus-kasus yang melibatkan mahasiswa Papua. Namun terdapat

perbedaan dalam cara menangani permasalahan dari kedua pedukuhan ini. Kepala

Pedukuhan Kledokan memilih untuk mencegah sebelum terjadinya masalah. Ia

menganjurkan kepada pemilik indekos yang terada di daerahnya untuk tidak

menerima mahasiswa atau pendatang dari Papua.

“Saya katakan ke para pemilik indekos untuk sebisa mungkin tidak


menerima mahasiswa pendatang dari Papua di indekos milik
mereka. Hanya menganjurkan, sebagai antisipasi saja untuk
mencegah terjadinya masalah di sini. Saat itu pernah, di daerah
sawah sana, ada mahasiswa pendatang dari Papua yang mabuk dan
akhirnya berkelahi”, (Supriyono, kepala pedukuhan Kledokan,
wawancara 16 Juli 2018).

Berbeda dengan pedukuhan Kledokan, pedukuhan Tambakbayan sangat

terbuka dengan kehadiran pendatang, termasuk mahasiswa pendatang dari Papua.

37
Untuk menanggulangi permasalahan yang ada, kepala pedukuhan Tambakbayan

memilih untuk melakukan sosialisasi dan pendekatan. Menurutnya, selama ini

banyak masyarakat yang salah paham dengan mahasiswa pendatang dari Papua.

Mereka adalah orang yang baik setelah dikenal lebih dekat. Kepala Pedukuhan

Tambakbayan juga selalu melakukan komunikasi yang baik dengan mahasiswa

pendatang dari Papua. Ia juga masih berkomunikasi dengan mantan ketua asrama

Papua di Tambakbayan yang pada tahun 2018 menjabat sebagai kepala suku di

Papua. Sehingga ketika terdapat masalah, kepala suku tersebut yang langsung

mengatasinya.

“Selain itu saya juga bekerjasama dengan kepala suku mereka di


Papua. Jadi, kalau ada masalah atau kasus yang terjadi di sini, kepala
sukunya akan langsung mengatasi. Saya tidak perlu turun tangan lagi
untuk mengatasi mereka yang bermasalah”, (Widodo, kepala
pedukuhan Tambakbayan, wawancara 23 Juli 2018).

Bila dilihat dari penjelasan kepala Pedukuhan Tambakbayan dan Kledokan

terlihat bahwa meski mereka menyatakan bahwa pedukuhan mereka aman dan

kondusif dari permasalahan yang berkaitan dengan mahasiswa Papua, namun

mereka tetap mengantisipasi adanya permasalahan.

Meski para kepala pedukuhan menyatakan bahwa suasana pedukuhannya

aman dan kondusif, berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa

pemilik kos yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Seperti yang

dikatakan oleh Bapak B (wawancara 14 Mei 2018) bahwa di kompleks

perumahannya sempat terjadi kasus yang melibatkan mahasiswa Papua. Pada saat

itu di dekat indekos milik Bapak B ada sebuah indekos perempuan yang berisi

38
mahasiswa pendatang dari Papua. Indekos ini cukup membuat warga sekitar tidak

nyaman dengan kehadirannya. Indekos yang berisi mahasiswa pendatang dari

Papua tersebut seringkali ribut dan tidak menghargai warga sekitarnya. Hal ini

cukup membuat ketua Rukun Tetangga (RT) di sana kesulitan, karena sudah

berkali-kali ditegur namun tidak mengindahkan teguran itu. Ketua RT sempat

ingin meminta mereka untuk keluar dari indekos itu namun tidak bisa karena

mereka sudah membayar dan pemilik indekos yang seharusnya mengawasi

penghuni indekosnya tidak tinggal di tempat yang sama, sehingga ketua RT dan

warga sekitar cukup kesulitan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Hal ini

dapat dikatakan menjadi salah satu pertimbangan Bapak B dalam tidak menerima

mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Pengalaman serupa juga dialami oleh ibu M, berbeda dengan Bapak B

yang hanya melihat dari luar, Ibu M mengalami permasalahan tersebut sendiri.

Ibu M, selain memiliki indekos juga membuka warung makan, kejadian tersebut

terjadi di warung makan milik Ibu M. Ada salah seorang mahasiswa pendatang

dari Papua yang sedang makan di warung makan miliknya, namun ketika ia pergi

Ibu M bermaksud untuk menagih karena anak tersebut belum membayar. Namun,

anak tersebut bersikukuh bahwa ia telah membayar makanannya, Ibu M yang

sebenarnya cukup kesal karena mendapat perlakuan seperti itu memilih untuk

diam. Ia tidak ingin terjadi keributan atau permasalahan yang melibatkan dirinya

dengan mahsiswa pendatang dari Papua. Tidak hanya itu, rekan sesama pemilik

kos yang Ibu M kenal juga memiliki pengalaman yang cukup tidak mengenakan

ketika menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya. Rekan Ibu M

39
menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa pendatang dari Papua tidak disiplin,

terutama dalam hal pembayaran.

“Banyak yang menyatakan mereka (mahasiswa pendatang dari Papua)


banyak yang tidak disiplin, terutama dalam hal pembayaran,
menunggak sekian itu sudah merupakan hal yang biasa. Nanti pada
akhirnya pergi dan tidak membayar, itu kata tetangga di sini” (Ibu
M, wawancara 15 Mei 2018).

Selain itu, Ibu R juga pernah memiliki pengalaman terkait mahasiswa

pendatang dari Papua. Pengalaman yang ia dapatkan ini ketika ia sedang

mengobrol dengan salah satu pemilik indekos yang berada di dekat rumahnya.

Saat itu ibu R bertanya kepada rekannya itu “Apakah rumahmu belum ada yang

menempati?”. Rekan sesama pemilik indekos itu menjawab “Belum, yang ini aja

tidak mau membayar. Disuruh pergi juga sulit. Ya sudah tidak mau membayar,

disuruh pergi juga tidak mau”. Hal seperti ini menunjukkan bahwa kasus

ketidakdisiplinan dalam hal pembayaran juga sering terjadi, dan dalam hal ini

melibatkan mahasiswa Papua.

40
BAB III

TEMUAN DATA DAN ANALISIS

Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam mengenai bagaimana

stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap

mahasiswa Papua, juga melihat apa saluran sosial yang berpengaruh terhadap

pembentukan stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua.

Pada bagian ini peneliti memaparkan data yang telah diperoleh dari hasil

wawancara peneliti dengan tiga pemilik indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan

dan Tambakbayan, yaitu Ibu R, Ibu M dan Bapak B juga memaparkan hasil

analisis yang peneliti lakukan. Peneliti melihat lebih dalam mengenai bagaimana

stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terhadap

mahasiswa Papua, juga melihat apa saluran sosial yang berperan dalam

pembentukan stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa Papua.

A. Temuan Data

Stereotip dapat dilihat sebagai suatu pandangan terhadap seseorang hanya

berdasarkan pandangan masyarakat terhadap suatu kelompok tersebut. Pandangan

tersebut muncul karena pengalaman mereka sebelumnya ketika melihat suatu

kelompok melakukan sesuatu kemudian hal tersebut dijadikan sebuah

karakteristik. Menurut Samovar, Porter dan McDaniel (2010: 50) stereotip

41
merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya

terhadap karakteristik semua anggota kelompok budaya lain.

Dari data yang didapatkan, stereotip pemilik indekos terhadap mahasiswa

Papua cukup beragam. Bapak B menyatakan, mahasiswa Papua merupakan

pribadi yang seringkali membawa banyak teman ke kamarnya, kemudian

berbicara dengan suara yang keras, sehingga mengganggu penghuni yang lain.

“Anak Papua kenapa tidak diterima di indekos? Yang pertama kalau


ada anak Papua itu banyak yang bertamu. Selain itu kalau bicara
tidak pernah pelan, akhirnya mengganggu penghuni yang lain”
(Bapak B, wawancara 14 Mei 2018).

Tidak jauh berbeda dengan bapak B, Ibu M menyatakan bahwa mahasiswa

pendatang dari Papua memiliki sikap yang cenderung rasis, memiliki harga diri

yang tinggi atau cenderung bergengsi tinggi, bebal, Sumber Daya Manusia (SDM)

mungkin tertinggal, suka meminum minuman beralkohol. Selain itu seringkali

membawa banyak teman ke kamarnya, seringkali berbicara dengan suara nyaring,

dan tidak tertib dalam hal pembayaran.

“Anak Papua itu kalau menurut saya agak rasis. Dia itu kalau
membaur agak enggan. Itu satu, yang kedua, harga dirinya agak
tinggi, gengsinya tinggi, terus agak bebal. SDM-nya itu tertinggal.
Yang membuat risihnya adalah suka mabuk, suka minum, itu
sepertinya sudah menjadi tradisi di sana (di Papua). Itu yang
mungkin tidak bisa hilang, dibawa terus sampe ke sini, mabuknya
itu... kebanyakan teman-teman yang pernah menerima itu katanya
mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Ribut, temennya
banyak. Dia mungkin baik, tetapi kan temennya yang datang kita
tidak tahu. Kalau bicara juga suaranya kencang, seperti orang
yang sedang bertengkar. Tapi memang mereka orangnya seperti itu.
Lalu kurang disiplin dalam hal pembayaran, suka nunggak. Itu
pengalaman orang-orang di sekitar sini” (Ibu M, wawancara 15 Mei
2018).

42
Ibu R memiliki stereotip yang cukup beragam pula. Menurutnya

mahasiswa pendatang dari Papua seringkali membawa banyak teman di

kamarnya. Kemudian sikapnya garang, agak sulit diarahkan, tidak tertib dalam hal

pembayaran, agak kasar dan tidak bisa diarahkan. Selain itu juga suka meminum

minuman beralkohol, yang kemudian ketika mabuk akan terlihat menakutkan.

“Jika saya menerima mereka di sini, di rumah saya. Itu mengejutkan,


satu kamar mungkin untuk enam orang. Lagipula mereka seperti
garang, dan kita orang Jawa, khususnya Jogja itu tidak suka dengan
orang yang garang. Kita misalnya ada kesalahan pun tidak perlu main
kasar... tetapi kalau sudah melihat mereka yang sangar, tidak bisa
diarahkan, itu memang prihatin... Cuma karena pengalaman dari
teman-teman lain yang punya kos, mereka menyatakan bahwa
mahasiswa dari Papua itu suka nunggak, tidak membayar, saya
hanya berhati-hati, tidak mau berurusan dengan yang seperti itu. Saya
sudah tua, bapak juga sudah tua. Kalau mereka mabuk itu
menakutkan, nanti menggangu yang lain” (ibu R, wawancara 21
Mei 2018).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa stereotip pemilik indekos di

Babarsari terhadap mahasiswa Papua cukup beragam. Peneliti menemukan

empat stereotip yang beredar di pemilik indekos. Semua dari stereotip yang

ada merupakan stereotip negatif. Stereotip yang pertama adalah seringkali

membawa banyak teman ke kamar huniannya. Stereotip ini disebutkan oleh

Bapak B kemudian didukung oleh Ibu R dan M. Ketiganya sepakat bahwa

mahasiswa Papua seringkali membawa banyak teman ke kamarnya. Hal ini

didukung dengan stereotip yang kedua, yaitu seringkali berbicara dengan

suara keras dan berakibat pada terganggunya orang di sekitarnya. Stereotip ini

disebutkan oleh Bapak B yang kemudian didukung oleh Ibu M.

43
Stereotip ketiga adalah suka meminum minuman beralkohol. Pendapat

ini dinyatakan oleh Bapak B yang kemudian didukung oleh Ibu M dan Ibu R.

Mereka berpendapat bahwa ketika sudah mabuk, mahasiswa pendatang dari

Papua akan rese dan menakutkan. Mereka kemudian akan mengganggu orang

disekitarnya. Hal ini yang kemudian menjadi alasan ketiga pemilik indekos

ini untuk tidak menerima mahasiswa dari Papua di indekos mereka.

Stereotip terakhir adalah tidak disiplin dalam hal pembayaran. Hal ini

dinyatakan oleh Ibu M kemudian didukung oleh Ibu R. Dalam stereotip ini,

ibu M dan R sama sekali belum pernah menerima mahasiswa Papua di

indekos milik mereka. Namun informasi ini mereka dapatkan dari rekan

sesama pemilik indekos yang pernah menerima mahasiswa Papua di indekos

milik mereka.

Bila dilihat dari sisi perbedaan budaya, terdapat pernyataan dari salah

seorang narasumber yang menyatakan mengenai hal itu.

“Lagipula mereka seperti garang, dan kita orang Jawa,


khususnya Jogja itu tidak suka dengan orang yang garang.
Kita misalnya ada kesalahan pun tidak perlu main kasar. Kita
membicarakannya, menyelesaikan dengan otak, dengan
kemampuan otak. Bagaimana orang diserang dengan etika itu
sudah luntur kan, tetapi orang sana tidak bisa itu” (Ibu R,
Wawancara 21 Mei 2018).

Lasorsa (dalam Priandono, 2016: 200) menyatakan pandangan

tersebut dilakukan dengan menilai oang lain bukanlah pada pemahaman

kompleksitas individu, tetapi melibatkan mereka pada out-grup. Meski

memiliki stereotip yang cukup kuat, Ibu M menyatakan bahwa ia melihat

44
mahasiswa pendatang dari Papua merupakan anak rantau. Ia cukup merasa

kasihan dan perlu untuk memperlakukan semua anak rantau dengan baik.

“Saya menganggap mereka anak rantau, kasian juga. Jadi saya tetap
menghargai mereka asal mereka tidak mengganggu saya. Saya
sebenarnya juga kasian sama mereka, mungkin sudah hopeless,
mungkin kirimannya kurang atau bagaimana sehingga perilakunya
seperti itu, kita juga kan tidak tahu. Jika mereka baik dengan saya,
saya terima dengan baik. Seperti OMK (Orang Muda Katolik) itu
banyak anak-anak dari Papua, itu saya juga terima dengan baik. Malah
anak Papua ada juga yang langganan beli nasi di sini. Pasti saya
layani dengan baik, (Ibu M, Wawancara 15 Mei 2018).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Ibu M berusaha untuk

memperlakukan mahasiswa pendatang dari Papua dengan baik. Sehingga

tidak ada sikap yang menunjukkan bahwa Ibu M melibatkan mereka pada

out-grup.

Teori selanjutnya menyatakan bahwa stereotip dapat menjadi buruk

mengingat satu kesalahan anggota kelompok dapat menjadi sebuah penilaian.

Selain itu bagaimana sejarah kelompok juga dapat mempengaruhi penilaian

terhadap kelompok tersebut. Dalam wawancara, Bapak B menceritakan

bagaimana pengalaman yang ia lihat sendiri mengakibatkan banyak pemilik

indekos tidak menerima mahasiswa pendatang dari Papua.

“Dulu di pojok sana ada indekos perempuan dari Papua. Itu juga
membuat pusing RT, soalnya ramai terus. Lalu ditegur, namun karena
sudah membayar, mau disuruh pergi juga tidak bisa. Jadi, mulai saat
itu dihentikan, tidak menerima mahasiswa Papua lagi. Jadi saya
tidak boleh itu karena informasi dari luar” (Bapak B, Wawancara 14
Mei 2018).

Bapak B menceritakan bagaimana sikap mahasiswa pendatang dari

Papua yang cenderung berbicara dengan suara keras mengakibatkan

45
masyarakat sekitar perumahan tersebut terganggu dan akhirnya banyak

pemilik indekos yang tidak menerima mereka di indekos milik mereka.

Martin dan Nakayama (2008: 51) menyatakan stereotip membantu

kita untuk membayangkan seperti apa dan bagaimana reaksi kita kepada

orang lain. Dalam hal ini Ibu R berpendapat bahwa mahasiswa pendatang dari

Papua memiliki sikap yang agak kasar. Hal ini mengakibatkan ia dan para

pemilik indekos yang lain lebih berhati-hati dalam menerima penghuni

indekosnya.

“Maaf ya, pendapat saya mereka kasar ya, sifatnya kasar... hanya
saja kami (para pemilik indekos) hati-hati, hanya itu saja. Apalagi
dalam penerimaan penghuni indekos, kenapa? Karena saya harus
menjaga yang lain juga, nanti kalau ada yang satu itu (mahasiswa
pendatang dari Papua), yang lain terganggu. Saya tidak ingin
mengorbankan 13 anak lain karena mereka, tetapi saya berusaha untuk
mengenal mereka di luar rumah” (Ibu R, Wawancara 21 Mei 2018).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dari stereotip yang ia pegang

selama ini, membuat Ibu R lebih berhati-hati dalam menerima penghuni

indekosnya, dengan tidak menerima mahasiswa pendatang dari Papua di

indekos miliknya. Hal ini ia lakukan karena ia harus menjaga penghuni

indekosnya yang lain yang merupakan tanggungjawabnya.

Begitu pula dengan Bapak B, karena stereotip yang ia percaya selama

ini membuatnya lebih berhati-hati dalam menerima penghuni indekosnya. Hal

ini dikarenakan penghuni indekos merupakan tanggungjawabnya yang perlu

ia jaga.

“Anak Papua kenapa tidak diterima di indekos? Yang pertama kalau


ada anak Papua itu banyak yang bertamu. Selain itu kalau bicara
tidak pernah pelan, akhirnya mengganggu penghuni yang lain...

46
Memang kita mengasihi satu sama lain, hanya saja kita tetap harus
berhati-hati, anak-anak yang di indekos ini kan jadi
tanggungjawab saya juga. Mungkin sikapnya di lingkungan beda
dengan di kos.” (Bapak B, wawancara 14 Mei 2018)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa stereotip yang ia percaya

membuat ia berhati-hati dalam menerima penghuni indekos. Meskipun ia

dekat secara personal dengan seseorang, namun ia merasa ia perlu untuk

mempertimbangkan dengan sangat matang bila ingin menerima mahasiswa

pendatang dari Papua di indekos miliknya. Ia merasa bahwa penghuni

indekos yang lain merupakan tanggungjawabnya yang perlu ia jaga

Berbeda dengan Ibu R dan Bapak B, Ibu M merasa bahwa dari

stereotip yang ia percaya selama ini, ia tetap harus bersikap baik dengan

mahasiswa pendatang dari Papua.

“anak Papua itu kalau menurut saya agak rasis. Dia itu kalau
membaur agak enggan. Itu satu, yang kedua, harga dirinya agak
tinggi, gengsinya tinggi, terus agak bebal... Kalau aku pribadi, aku
menganggap mereka anak rantau. Kasian juga, aku tetap menghargai
mereka, asal mereka tidak mengganggu saya. Saya sebenarnya kasian
juga sama mereka” (Ibu M, wawancara 15 Mei 2018).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sikap yang Ibu M tunjukkan

adalah dengan bersikap baik dengan mahasiswa Papua. Ia merasa bahwa

mereka merupakan anak rantau juga, sehingga ia merasa kasihan. Ibu M

merasa tetap perlu berbuat baik kepada mereka selama mereka tidak

mengganggu dia.

Menurut Operario dan Fiske (dalam Priandono, 2016: 201) stereotip

memiliki tiga prinsip dasar, yaitu:

47
1) Stereotip berisi kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan

hubungan kelompok.

2) Stereotip mendorong persepsi negatif dan perilaku ekstrem dari individu.

3) Stereotip mengelola hubungan antara perasaan tentang kita (in-group)

dan mereka (out-group).

Prinsip yang pertama menyatakan bahwa stereotip berisi kepercayaan

yang bersifat ganda yang menggambarkan hubungan kelompok (Operario &

Fiske, dalam Priandono, 2016: 201).

“anak Papua itu, maaf, menurut saya mereka sifatnya kasar... saya
juga kenal dengan anak di sebelah sini, sebenarnya baik juga
anaknya. Jika ada sisi-sisi yang kurang baik itu wajar kan? Tidak ada
manusia yang sama persis dengan keinginan kita” (Ibu R, Wawancara
21 Mei 2018).

Pada awalnya Ibu R terlihat menyatakan bahwa mahasiswa pendatang

dari Papua memiliki sifat yang kasar. Namun beberapa pertanyaan

selanjutnya Ibu R terlihat menyatakan bahwa jika dikenali lebih dekat mereka

merupakan anak yang baik dan sikap kurang baik merupakan suatu hal yang

wajar baginya. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Ibu R terhadap

mahasiswa Papua bersifat ganda.

Prinsip kedua menyatakan bahwa stereotip mendorong persepsi

negatif dan perilaku ekstrem dari individu (Operario & Fiske, dalam

Priandono, 2016: 201). Bapak B dalam wawancara 14 Mei 2018 menyatakan

“mau disalahkan juga susah, ya orang Papua nyatanya kalau mabuk ya

menakutkan”. Hal ini menunjukkan bahwa meski adanya persepsi negatif

48
yang beredar, namun tidak terdapat perilaku ekstrem dari individu terhadap

mahasiswa Papua.

Kemudian prinsip yang ketiga menyatakan bahwa stereotip mengelola

hubungan antara perasaan tentang kita (in-group) dan mereka (out-group),

(Operario & Fiske, dalam Priandono, 2016: 201). Ibu R menyatakan “saya

sangat menyadari kalau Papua itu bagian dari negara kita juga kan. Saya juga

menyadari bahwa pendatang dari Papua itu juga saudaraku, saudara

kita” (Ibu R, Wawancara 21 Mei 2018). Kutipan dari Ibu R menunjukkan

bahwa ia tidak menganggap bahwa mahasiswa Papua di luar dari

kelompoknya, melainkan meruakan bagian dari negara Indonesia yang juga

adalah saudaranya.

Rapport & Overing (dalam Priandono, 2016: 201) menyatakan

stereotip yang berkembang di masyarakat cenderung berakar dari rumor dan

desas-desus dibandingkan kesimpulan dari fakta yang terbukti secara ilmiah,

dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan seseorang sendiri

dalam dunia sekitarnya. Ibu M dalam wawancara menyatakan bahwa ia

mendapatkan informasi mengenai mahasiswa dari Papua dari teman-

temannya sesama pemilik indekos.

“Saya pribadi belum pernah menerima, hanya kebanyakan teman-


teman yang pernah menerima bilang bahwa mereka kurang
disiplin dalam hal pembayaran. Selain itu ribut, membawa banyak
teman datang ke indekos, dia mungkin saja baik, namun temannya
yang datang kita tidak tahu. Jika bicara suaranya sangat kuat, seperti
orang berkelahi, ya tetapi mereka orangnya memang seperti itu. itu
dari pengalaman teman-teman di sekitar sini ya, (Ibu M, 15 Mei
2018).

49
Ibu M belum pernah menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Namun dari kutipan di atas Ibu M menyatakan bahwa informasi yang ia

dapatkan berasal dari teman-temannya. Hal ini kemudian menjadi stereotip

yang ia pegang selama ini.

Teori selanjutnya berbunyi stereotip terjadi dari sebuah hubungan

“struktural kelompok”. Sehingga kelompok-kelompok non-mayoritas

cenderung dipandang tinggi pada satu domain tetapi rendah di sisi lain. Baik

kompeten tetapi tidak baik atau sangat tidak kompeten tetapi bagus,

(Priandono, 2016: 201).

“Selain itu saya juga kan bekerjasama dengan kepala suku mereka
di Papua sana. Jadi, kalau ada masalah kepala sukunya yang
mengatasi langsung. Saya tidak perlu turun tangan lagi untuk
mengatasi mereka yang bermasalah. Asramanya di belakang itu, jadi
kepala sukunya yang sekarang itu pernah menjadi ketua asrama Papua
di belakang itu. Saya masih menjalin komunikasi dengannya, jadi
enak, kalau ada masalah langsung dikomunikasikan kepada kepala
sukunya. Jadi mereka teratur dengan baik juga” (Kepala pedukuhan
Tambakbayan, Widodo, wawancara 23 Juli 2018).

Widodo dalam wawancara menyatakan bahwa ia sebagai kepala

pedukuhan bekerjasama dengan kepala suku di Papua untuk ikut menertibkan

jika ada mahasiswa Papua di Yogyakarta yang berbuat onar. Sehingga ia

tidak perlu turun langsung ketika terdapat permasalahan yang berkaitan

dengan mahasiswa Papua di pedukuhan Tambakbayan.

Teori selanjutnya menyatakan Stereotip sangat ditentukan oleh dua

aspek konteks sosial yaitu dinamika kekuasaan dan hierarki kelompok, dan

pembenaran terhadap status quo sosial. Secara khusus, individu atau

kelompok yang dikuasai oleh kelompok lain atau menjadi kelompok yang

50
berada di posisi rendah dalam struktur sosial rentan direndahkan melalui

stereotip mereka yang cenderung negatif. Sebaliknya, individu atau kelompok

yang menguasai kelompok lain atau kelompok-kelompok di bagian atas

hierarki sosial, lebih mungkin mendapatkan stereotip dari mereka sendiri,

(Brewer & Hewstone dalam priandono, 2016: 202). Dalam wawancara Ibu M

menyatakan bahwa sesungguhnya mahasiswa pendatang dari Papua juga

ingin disamakan dengan yang lainnya.

“Banyak kebiasaan-kebiasaan yang tidak disesuaikan dengan budaya


di sini. Lalu kalau dikasih tahu tidak langsung bisa menerima,
tempramen. Tetapi jika dibaikin mereka juga baik, hanya saja kita
suka takut. Duduk sebelahan saja tidak mau. Kadang dari diri kita
juga yang rasis, padahal mereka juga ingin disamakan, itu yang
saya lihat. Karena adatnya yang seperti itu, orang jadi takut. Takut
salah ngomong, jadi ketakutan duluan. Jadi intinya kalau sudah
mengenal mereka juga baik kok. Tetapi ya orang-orang di sini juga
kan menolak karena sikapnya mereka sendiri yang seperti itu, tidak
mau bayar, suka seenaknya sendiri, (Ibu M wawancara 15 Mei 2018).

Dari kutipan di atas, Ibu M menyatakan bahwa terkadang orang-orang

di sekitar mahasiswa pendatang dari Papua juga bersikap tidak baik, pasalnya

mereka seringkali bersikap membeda-bedakan, padahal mahasiswa Papua

juga ingin disamakan dengan yang lainnya.

Samovar, Porter dan Edwin (2010: 170-171) mengidentifikasi empat

saluran sosial yang berperan penting dalam pembentukan stereotip, yaitu:

1. Keluarga, merupakan agen sosialisasi konsep stereotip paling penting.

Menurut kajian Schneider, orang tua cenderung baik secara langsung

maupun tidak langsung mempromosikan stereotip kepada anak-anak

mereka.

51
2. Agama, kelompok agama, dan praktik keagamaan, dalam hal ini

stereotip juga sering ditekankan melalui agama atau praktik keagamaan.

Suatu praktik keagamaan, dalam penafsiran tertentu seringkali

membentuk stereotip terhadap kelompok masyarakat tertentu. Menurut

Priandono (2016: 204) bentuk stereotip yang muncul di media massa,

selain stereotip agama juga terkait dengan etnisitas.

3. Media massa, melalui iklan, film, atau sinetron, merupakan saluran

penting budaya yang mendiseminasikan stereotip budaya. Menurut

Appiah (Priandono, 2016:203) media sangat berpengaruh di dalam

membentuk, memperkuat dan membenarkan kepercayaan dan harapan

stereotip terkait pada sejumlah kelompok. Secara khusus terjadi ketika

pengalaman pribadi khalayak terhadap kelompok tersebut terbatas.

4. Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam

pembentukan stereotip. Menurut Samovar, Porter dan Edwin (2010: 171)

stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari suatu

kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa berasal dari

pengalaman yang tak begitu menyenangkan seseorang yang berinteraksi

dengan anggota kelompok tertentu. Martin dan Nakayama (2008: 53)

menyatakan jika kita memiliki interaksi yang tidak menyenangkan

dengan orang tertentu kita mungkin mengeneralisasi ketidaknyamanan

tersebut kepada semua orang di dalam kelompok tertentu. Di manapaun

karakter grup yang kita fokuskan (ras, gender, atau orientasi seksual).

52
Saluran sosial yang pertama adalah keluarga. Menurut Samovar

(dalam Priandono, 2016: 203) keluarga merupakan saluran sosial paling

penting, orangtua cenderung baik secara langsung maupun tidak langsung

mempromosikan steterotip. Ibu R menyatakan bahwa adiknya merupakan

guru yang juga menghadapi anak dari Papua.

“Adik saya yang guru SMA (Sekolah Menengah Akhir) itu


menghadapi. Menurutnya, anak-anak dari sana (Papua) susah
dibimbing... kalau saya tidak (tidak mempengaruhi). Artinya susah
dibimbing itu sesuatu yang wajar saja, tetapi tinggal kita, bagaimana
caranya mendekati dia. Hanya itu aja.” (Ibu R, wawancara 21 Mei
2018).

Pada kutipan di atas Ibu R menyatakan bahwa adiknya merasa bahwa

pendatang dari Papua agak sulit dibimbing. namun ia merasa hal tersebut

tidak mempengaruhi sikapnya terhadap mahasiswa Papua. Baginya sulit

dibimbing merupakan hal yang wajar.

Saluran yang selanjutnya adalah media massa. Priandono (2016: 203)

menyatakan bahwa media massa, melalui iklan, film atau sinetron,

merupakan saluran penting budaya yang mendiseminasikan stereotip budaya.

Dalam wawancara, Bapak B menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat

pemberitaan mengenai mahasiswa Papua di televisi maupun koran. Sehingga

hal tersebut tidak mempengaruhi sikapnya terhadap mahasiswa Papua.

“Kalau saya tidak pernah (melihat pemberitaan mengenai mahasiswa


Pendatang dari Papua di media massa). Di samping itu saya bukan
mendapat informasi dari televisi dan koran, tetapi dari aplikasi
Whatsapp. Jadi, kan kalau diberitakan di televisi, dampaknya
akan luas sekali” (Bapak B, wawancara 14 Mei 2018).

53
Pada kutipan di atas, Bapak B menyatakan bahwa ia mendapatkan

informasi mengenai mahasiswa pendatang dari Papua bukan dari media

massa, melainkan dari media sosial. Selain itu, jika diberitakan di media

massa, maka hal tersebut akan berdampak sangat luas. Sehingga sudah

dipastikan bahwa pemberitaan di televisi atau koran tidak banyak ditemukan.

Saluran sosial yang ketiga adalah agama, kelompok agama dan praktik

keagamaan. “Agama, kelompok agama dan praktik keagamaan dalam

penafsiran tertentu seringkali membentuk stereotip terhadap kelompok

masyarakat tertentu” (Priandono, 2016: 204). Bapak B menyatakan bahwa

ajaran agamanya cukup mempengaruhinya dalam bersikap.

“Ya lumayan (mempengaruhi sikap). Saya kan katolik, dalam agama


katolik diajarkan untuk mengasihi satu sama lain, tidak memandang
suku, budaya atau warna kulit. Sebenarnya hal itu yang menjadi
pegangan (dalam bersikap) juga” (Bapak B, wawancara 14 Mei
2018).

Pada kutipan di atas, Bapak B menyatakan bahwa ajaran agamanya

cukup mempengaruhnya dalam bersikap. Di dalam agamanya diajarkan untuk

saling mengasihi, tidak memandang suku, budaya maupun warna kulit. Hal

tersebut kemudian menjadi pegangannya untuk bersikap.

Saluran sosial yang terakhir adalah perasaan takut. Martin dan

Nakayama (2008: 53) menyatakan jika kita memiliki interaksi yang tidak

menyenangkan dengan orang tertentu kita mungkin mengeneralisasi

ketidaknyamanan tersebut kepada semua orang di dalam kelompok tertentu.

“Mereka memang seperti itu, kurang disiplin dalam hal


pembayaran, suka menunggak. Itu pengalaman orang di sekitar sini.
Saya pernah di sini (di warung makan miliknya), saya juga begitu.

54
Saya tagih-tagih katanya dia sudah membayar yaudah hanya saya
diamkan saja. Daripada ribut nantinya. Pernah kecolongan sekali,
rese. Apalagi mahasiswa baru yang baru dari Papua itu, mungkin
kan belum menyesuaikan dirinya dengan budaya sini” Ibu M,
wawancara 15 Mei 2018).

Pada kutipan di atas Ibu M menceritakan bagaimana pengalamannya

menghadapi mahasiswa pendatang dari Papua. Bagaimana pengalaman

tersebut membuatnya menyimpulkan bahwa mahasiswa pendatang dari Papua

agak kurang disiplin dalam hal pembayaran.

B. Analisis Data

Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2002: 12) menyatakan bahwa

komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda

kebudayaannya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas sosial.

Sehingga, interaksi antara pemilik indekos yang merupakan warga

Yogyakarta yang merupakan etnis Jawa dengan mahasiswa pendatang dari

Papua merupakan salah satu komunikasi antarbudaya. Perbedaan kebudayaan

ini mungkin saja menimbulkan perbedaan pendapat atau pandangan terhadap

kelompok budaya tertentu, perbedaan ini kemudian menimbulkan stereotip

baik secara disadari maupun tidak.

Stereotip merupakan bagian yang selalu ada dalam kehidupan

masyarakat. Setiap golongan atau kelompok masyarakat manapun pasti telah

“dibuatkan” sebuah stereotip. Baik berdasarkan perbuatan segelintir orang di

masa lalu, atau berdasarkan prasangka-prasangka yang entah dari mana

asalnya. Hal ini muncul dari perbedaan budaya. Bagaimana salah satu

55
kelompok merasa tradisi atau kebudayaan dari kelompok lain tidak sama atau

tidak sesuai dengan yang selama ini ia yakini, kemudian merasa hal itu

merupakan hal yang negatif.

Dari data yang di dapatkan, stereotip pemilik indekos terhadap

mahasiswa Papua cukup beragam. Bapak B menyatakan, menurutnya

mahasiswa Papua merupakan pribadi yang seringkali membawa banyak

teman ke kamarnya, kemudian berbicara dengan suara yang keras, sehingga

mengganggu penghuni yang lain. Stereotip ini bapak B dapatkan berdasarkan

pengalaman yang ia lihat sendiri. Hal ini kemudian menjadi salah satu

alasannya untuk tidak menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Tidak jauh berbeda dengan Bapak B, Ibu M menyatakan bahwa

mahasiswa pendatang dari Papua memiliki sikap yang cenderung rasis,

memiliki harga diri yang tinggi atau cenderung bergengsi tinggi, bebal,

Sumber Daya Manusia (SDM) mungkin tertinggal, suka meminum minuman

beralkohol. Selain itu seringkali membawa banyak teman ke kamarnya,

seringkali berbicara dengan suara nyaring, dan tidak tertib dalam hal

pembayaran. Pandangan tersebut Ibu M dapatkan berdasarkan pengalaman

yang ia alami dan lihat sendiri, juga berdasarkan informasi yang ia dapatkan

dari rekan-rekannya sesama pemilik indekos.

Ibu R memiliki stereotip yang cukup beragam pula. Menurutnya

mahasiswa pendatang dari Papua seringkali membawa banyak teman ke

kamarnya. Kemudian sikapnya garang, agak sulit diarahkan, tidak tertib

dalam hal pembayaran, agak kasar dan tidak bisa diarahkan. Selain itu juga

56
suka meminum minuman beralkohol, yang kemudian ketika mabuk akan

terlihat menakutkan. Pandangan tersebut ia dapatkan berdasarkan

pengelihatannya sendiri, juga berdasarkan informasi dari rekannya sesama

pemilik indekos. Hal ini kemudian menjadi pertimbangannya pula, mengapa

tidak menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Dari beragamnya pandangan ketiga pemilik indekos tersebut,

semuanya bersifat negatif. Bagaimana hal ini menunjukkan bahwa stereotip

yang beredar sebagian besar juga berpengaruh negatif terhadap mahasiswa

Papua. Namun, dari beragamnya pendapat pemilik indekos dapat disimpulkan

bahwa stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan

adalah seringkali membawa banyak teman ke kamarnya, berbicara dengan

suara keras sehingga mengganggu sekitarnya, suka minum minuman

beralkohol dan tidak disiplin dalam hal pembayaran. Bila dilihat kembali,

stereotip yang dimiliki oleh para pemilik indekos tersebut tidak semua berasal

dari pengalaman pribadi milik mereka. Namun juga berasal dari informasi

dan desas-desus dari masyarakat. Dapat dikatakan bahwa mereka

menyimpulkan hal tersebut karena perbedaan budaya yang mereka anggap

bahwa berbeda dari tradisi yang mereka yakini maka akan terlihat buruk atau

aneh.

Ketiga pemilik indekos di pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan

tersebut bersuku Jawa yang memiliki sifat cenderung lembut, kalem,

cenderung menghindari konflik dan lain-lain. Hal ini agak berbeda dengan

sikap dan sifat mahasiswa pendatang dari Papua yang seringkali berbicara

57
dengan suara nyaring, dianggap garang, memiliki tradisi meminum minuman

beralkohol dan lainnya. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab para

pemilik indekos memiliki pandangan atau stereotip negatif terhadap

mahasiswa Papua. Contohnya, ketiga pemilik indekos menganggap bahwa

mahasiswa pendatang dari Papua ketika berbicara cenderung menggunakan

suara yang nyaring, hal ini kemudian mengganggu. Orang-orang di sekitar

mereka bisa saja menyangka mereka sedang bekelahi. Namun, bisa saja

menurut mahasiswa pendatang dari Papua, suara yang ia keluarkan tidak

begitu besar. Dari contoh di atas, dapat dikatakan adanya kurang dialog antara

pemilik indekos dan mahasiswa Papua. Meskipun pemilik indekos merasa

mereka berinteraksi dengan mahasiswa pendatang dari Papua di luar indekos,

namun bisa jadi tidak ada bahasan mengenai sikap dan kebiasaan kedua suku

tersebut. Sehingga masih terdapar kesalahpahaman.

Tahun 2016 ada sebuah penelitian dengan objek sama yang diteliti

oleh Endah Yusma Pratiwi, penelitian tersebut berjudul “Stereotip dan

Diskriminasi terhadap ‘Wong Timur’ (Respon Warga Kampung terhadap

Mahasiswa Pendatang di Yogyakarta)”. Penelitian ini mendapat fakta bahwa

warga Babarsari menilai ada mahasiswa tertentu (mahasiswa Papua) yang

ciri-ciri fisiknya hitam serta berambut keriting, sifatnya cenderung kasar dan

pemabuk. Dari keempat stereotip yang peneliti dapatkan, hanya satu yang

memiliki kesesuaian dengan penelitian Pratiwi tersebut, yaitu pemabuk atau

suka meminum minuman beralkohol.

58
Hal ini merupakan hal yang mungkin agak sulit untuk dilepaskan oleh

mahasiswa pendatang dari Papua. Menurut mereka minuman tersebut

merupakan minuman tradisional, meskipun mengandung alkohol. Hal yang

sama juga dipercaya beberapa daerah di Indonesia seperti NTT, Kalimantan

dan lain-lain. Terdapat kepercayaan masing-masing mengenai mengkonsumsi

minuman tradisional tersebut, namun tidak semua budaya menerima

padangan ini. Meminum minuman beralkohol tersebut kemudian menjadi

masalah ketika seseorang yang meminumnya kemudian mabuk dan membuat

onar. Hal ini perlu disoroti, bagaimana seharusnya ada dialog mengenai hal

ini. Para pemilik indekos harus menerima karena hal ini merupakan tradisi

dan mahasiswa Papua juga harus membatasi agar tidak minum hingga mabuk,

membuat onar dan membuat takut orang di sekitar mereka.

Menurut Samovar, Porter & McDaniel (2010: 50) stereotip merupakan

sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya terhadap

karakteristik semua anggota kelompok budaya lain. Ibu M, (wawancara 15

Mei 2018) menyebutkan bahwa menurutnya anak Papua itu rasis, agak sulit

dalam hal membaur. Selain itu harga dirinya tinggi dan sedikit bebal. Ibu M

juga menyebutkan, sepertinya SDM agak tertinggal walaupun dari segi

finansial mereka terlihat lebih mampu dari anak-anak yang berasal dari Nusa

Tenggara Timur (NTT). Namun hal yang paling membuatnya risih adalah

seringkali mabuk, suka minum-minuman keras. Hal yang mungkin telah

menjadi tradisi yang terus di bawa ke Yogyakarta. Pernyataan Ibu M di atas

menunjukkan bahwa teori yang disebutkan oleh Samovar, Poter dan

59
McDaniel benar. Pasalnya hampir semua dari yang dikatakan oleh ibu M

adalah asumsinya yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu, ibu M yang

sudah cukup lama membuka usaha indekos belum pernah menerima

mahasiswa pendatang dari Papua, sehingga interaksinya tidak begitu dekat.

Hal-hal yang ia sebutkan juga srebagian besar ia dapatkan berdasarkan

pengalaman dari informasi atau sesama pemilik indeos, bukan

pengalamannya pribadi. Seperti yang disebutkan oleh Samovar, Porter dan

McDaniel, “Stereotip merupakan asumsi salah”, asumsi yang dikatakan oleh

Ibu M belum terbukti kebenarannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa asumsi

ibu M mengenai mahasiswa Papua adalah salah.

Franciscus Apriwan, seorang peneliti dan antropolog (dalam

wawancara 10 Desember 2018) menyoroti dari sisi mahasiswa Papua.

Sebelum melihat sikap mereka yang cenderung kasar dan bertempramen

tinggi. Sebenarnya mengapa mereka berbuat demikian? Menurut Franciscus,

bisa jadi, tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa Papua dengan

menunjukkan sikap kasar dan tempramen tinggi kepada masyarakat

Yogyakarta atau yang lainnya adalah karena selama ini mereka merasa

diinjak-injak, dalam artian mereka ingin menunjukkan eksistensi atau jati diri

mereka yang sebenarnya mereka ingin ditakuti. Misalkan karena mereka

cenderung tidak diterima, dalam hal ini susah untuk mendapatkan tempat

tinggal, ketika mereka sudah mendapatkan tempat tinggal, mereka cenderung

untuk seenaknya. Hal ini dikarenakan selama ini sebagian besar pemilik

indekos tidak menerima mereka. Sikap ini kemudian menunjukkan

60
bagaimana perilaku diskriminatif yang selama ini dilakukan terhadap

mahasiswa pendatang dari Papua kemudian berdampak negatif, seperti

“perlawanan” yang dilakukan oleh mahasiswa Papua. Meski dengan

banyaknya “kode” yang diberikan oleh mahasiswa Papua, namun tidak ada

dialog yang berusaha untuk dilakukan. Franciscus (dalam wawancara 10

Desember 2018) menyatakan bahwa masih belum ada peluang untuk

berdialog, padahal ketika sudah dikenali lebih mendalam, bisa jadi situasinya

akan berbeda. Hal ini kemudian menjadikan asumsi-asumsi buruk mengenai

mereka semakin beredar.

Anggapan atau asumsi ini kemudian menjadikan beberapa pihak

menjaga jarak sebagai bentuk protes atau antisipasi. Salah satunya dengan

cara tidak menerima mahasiswa pendatang dari Papua di indekos miliknya.

Hal ini membuktikan bahwa stereotip sangat melekat di Pedukuhan Kledokan

dan Tambakbayan. Selain terdapat prasangka-prasangka buruk mengenai

mahasiswa Papua, mereka juga mendapatkan bentuk diskriminasi. Meskipun

tidak secara gamblang ditunjukkan, namun kebanyakan pemilik indekos akan

menyatakan bahwa kamar di indekos miliknya telah terisi penuh, bila

mengetahui bahwa calon penyewa berasal dari Papua, meski pada awalnya

tertulis “tersedia kamar kosong”.

Hal ini bisa terjadi karena sebagian masyarakat terutama pemilik

indekos merasa perlu menjaga jarak dengan mahasiswa pendatang dari Papua.

Mereka merasa perlu berhati-hati dan berinteraksi hanya seperlunya tanpa

perlu menerima pendatang dari Papua di indekos milik meraka. Hal ini

61
dikarenakan para pemilik indekos merasa memiliki tanggungjawab untuk

menjaga penghuni indekos yang lain, sehingga tidak berani dalam mengambil

resiko.

Selain itu, Lasorsa (dalam Priandono 2016: 200) juga menyebutkan

bahwa stereotip adalah menilai seseorang bukan pada pemahaman

kompleksitas individu, melainkan melibatkan mereka pada out-grup. Bila

dilihat lebih mendalam, hal ini tidak dapat dikatakan benar. Hal ini terbukti

dari Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan yang begitu erat dengan

stereotip mengenai mahasiswa Papua, namun tidak pernah menganggap

mereka out-grup.

Ibu M (wawancara, 15 Mei 2018) menyebutkan bahwa ia menganggap

mahasiswa pendatang dari Papua adalah anak rantau. Sehingga ia tetap

menghargai mereka asalkan mereka tidak mengganggunya. Ia merasa

kasihan, menurutnya mungkin saja mereka sudah tidak ada harapan sehingga

perilakunya seperti itu, ia juga tidak tahu. Sehingga, jika mereka baik

dengannya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Seperti OMK (Orang

Muda Katolik) di gerejanya banyak anak-anak dari Papua, itu juga ia terima

dengan baik. Anak Papua juga ada yang langganan beli nasi di rumah makan

miliknya, dan selalu ia layani dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun stereotip sangat melekat pada mahasiswa Papua, namun tidak

membuat para pemilik indekos manaruh mereka pada out-group.

Bagi pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan,

mahasiswa pendatang dari Papua merupakan bagian dari masyarakat,

62
meskipun mereka memiliki sikap dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini dapat

dilihat dari sikap mereka yang tetap menjalin komunikasi yang baik dengan

mahasiswa pendatang dari Papua, meskipun tidak menerima mereka di

indekos milik mereka. Penolakan semata-mata mereka lakukan untuk

mengantisipasi kejadian yang selama ini mereka takutkan. Sehingga dapat

dikatakan bahwa teori tersebut tidak terbukti pada pemilik indekos di

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan.

Disebutkan bahwa stereotip dapat menjadi buruk mengingat satu

kesalahan anggota kelompok dapat menjadi sebuah penilaian terhadap

seluruh anggota kelompok. Lalu bagaimana sejarah kelompok juga

mempengaruhi penilaian terhadap kelompok tersebut, juga dapat

mempengaruhi sikap masyarakat terhadap kelompok tersebut. Bapak B

(wawancara 14 Mei 2018) menyebutkan bahwa beberapa tahun yang lalu di

pojok perumahan Dirgantara ada indekos perempuan yang berasal dari Papua.

Hal itu juga membuat pusing ketua Rukun Tetangga (RT), pasalnya hampir

setiap saat ribut dengan suara yang cukup besar. Lalu setiap ditegur, kerapkali

tidak mengindahkan teguran itu. Hanya karena sudah membayar, ketua RT

maupun warga di sana tidak dapat mengambil tindakan lebih seperti

pengusrian. Namun, mulai saat itu penerimaan terhadap mahasiswa Papua

dihentikan.

Hal ini membuktikan teori tersebut, pasalnya penolakan terhadap

mahasiswa Papua di banyak indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan memang terjadi. Hal tersebut dikarenakan kesalahan beberapa

63
anggota kelompok yang kemudian mengakibatkan semua anggota kelompok

terkena dampaknya. Padahal belum tentu sikap dan perilaku semua

mahasiswa pendatang dari Papua sama seperti penghuni indekos perempuan

di perumahan Dirgantara tersebut. Sikap dan perilaku penghuni indekos

perempuan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh latar belakang, pendidikan atau

aspek lain yang tidak diketahui. Sehingga pemilik indekos maupun warga

perumahan Dirgantara tidak dapat mengeneralisasikan bahwa semua

pendatang dari Papua memiliki sifat dan sikap yang sama. Selain itu

perbedaan budaya juga dapat menjadi pertimbangan. Bisa saja para penghuni

indekos tersebut merasa bahwa suara yang mereka keluarkan tidak begitu

nyaring, namun berbeda dengan warga Yogyakarta yang merasa hal itu

merupakan suatu masalah.

Namun, stereotip tidak selalu berdampak negatif. Martin dan Nakayama

(2008: 51) stereotip membantu kita untuk membayangkan seperti apa dan

bagaimana reaksi kita kepada orang lain. Ibu R, (wawancara 21 Mei 2018)

menyatakan bahwa, menurutnya mahasiswa pendatang dari Papua merupakan

pribadi yang kasar dalam sikapnya, selain itu tidak begitu disiplin terutama

dalam hal pembayaran. Hal ini kemudian menjadikan Ibu R lebih berhati-hati

dalam berinteraksi dengan mahasiswa Papua, kemudian tidak menerima

mereka dalam indekos miliknya.

Ibu R juga berkata bahwa para pemilik indekos hanya berhati-hati.

Apalagi dalam menerima penghuni indekos, hal ini dikarenakan mereka harus

menjaga penghuni indekos yang lainnya juga. Ibu R menyebutkan ia tidak

64
ingin mengorbankan 13 penghuni lainnya karena mereka. Namun, ia berusaha

untuk mengenal mereka di luar rumah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa stereotip yang ada membantu pemilik

indekos di Babarsari dalam bersikap dan lebih berhati-hati dalam melakukan

suatu tindakan. Ini merupakan salah satu antisipasi yang dilakukan, yaitu

dengan tidak menerima mereka di indekos miliknya. Hal ini untuk

mengantisipasi stereotip yang menyatakan bahwa mahasiswa pendatang dari

Papua kurang disiplin dalam pembayaran indekos dan juga bertempramen

tinggi, hal ini menjadikan para pemilik indekos lebih berhati-hati dalam

penerimaan penghuni indekosnya. Pasalnya jika terjadi permasalahan di

indekos milik mereka, hal itu akan berdampak pada penghuni indekos yang

lain. Hal inilah yang menjadikan pemilik indekos sedikit berhati-hati pada

mahasiswa pendatang dari Papua. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori

tersebut memiliki kesesuaian dengan para pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan.

Selain berhati-hati, Ibu M memiliki respon yang berbeda dari kedua

narasumber yang lain. Ibu M menganggap bahwa mahasiswa pendatang dari

Papua merupakan pribadi yang bertempramen tinggi, juga suka mabuk-

mabukan, selain itu juga memiliki sikap yang agak kasar. Ibu M menyatakan

bahwa ia tetap harus bersikap baik dengan mereka dan walaupun ia tidak

menerima mereka di indekos miliknya, ia tetap menerima mereka untuk

makan di rumah makan miliknya. Menurut Ibu M mereka merupakan anak

rantau sehingga ia merasa kasihan juga. Selain itu mungkin saja sikap mereka

65
yang seperti itu dikarenakan kirimannya yang kurang atau sudah bingung

untuk bertahan hidup. Ibu M menyatakan selagi mereka tidak menganggu ia

akan tetap bersikap baik dan menerima mereka, juga melayani mereka dengan

baik di rumah makan miliknya. Dalam hal ini, berbeda dengan dua

narasumber lainnya, respon Ibu M cukup positif, meski ia berhati-hati, ia

tetap melihat mahasiswa Papua dari sisi lainnya dan menerima mereka untuk

makan di rumah makan miliknya.

Hal tersebut di atas didukung dengan pendapat Franciscus Apriwan

(wawancara 10 Desember 2018) yang menyatakan bahwa sebenarnya

mahasiswa pendatang dari Papua juga membuat siasat-siasat untuk tetap

bertahan di Yogyakarta. Misalnya dengan tidak tertib dalam pembayaran kos

atau marah ketika ditagih, itu merupakan siasat untuk tetap bertahan hidup

meskipun mungkin dana yang mereka miliki kurang. Walaupun, mungkin

dalam hal ini mereka menggunakan cara yang kurang tepat.

Menurut Operario dan Fiske (dalam Priandono, 2016: 201) stereotip

memiliki tiga prinsip dasar, yaitu:

1) Stereotip berisi kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan

hubungan kelompok.

2) Stereotip mendorong persepsi negatif dan perilaku eksrem dari

individu.

3) Stereotip mengelola hubungan antara perasaan tentang kita (in-group)

dan mereka (out-grup).

66
Dalam prinsip dasar yang pertama disebutkan bahwa “stereotip berisi

kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan hubungan

kelompok”.

Hal ini terlihat dari pendapat Ibu R (wawancara 21 Mei 2018), awalnya

ia menyatakan bahwa anak Papua memiliki sifat yang cenderung kasar,

namun pernyataannya berbeda dalam pertanyaan selanjutnya, ia menyatakan

bahwa ia cukup mengenal salah satu mahasiswa pendatang dari Papua dan

kenyataannya sikapnya baik juga. Menurutnya, jika ada sisi-sisi yang kurang

baik merupakan hal yang wajar, tidak ada manusia yang akan sama persis

dengan keinginan kita. Dapat dikatakan bahwa pernyataan Ibu R

menunjukkan bahwa prinsip tersebut memiliki kesesuaian dengan fakta yang

ada di masyarakat. Pasalnya kepercayaan atau pandangan yang ada di

masyarakat bisa jadi terkecoh atau justru menjadi ganda karena adanya

stereotip yang beredar di masyarakat. Seperti yang dialami oleh Ibu R, ia

menganggap bahwa mahasiswa pendatang dari Papua memiliki sikap yang

kasar, namun ia juga mempercayai bahwa mahasiswa pendatang dari Papua

merupakan pribadi yang baik jika dikenali lebih dekat.

Hal ini menunjukkan bahwa pandangan atau kepercayaan pemilik

indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan terbagi, atau dalam kata

lain ganda. Selain itu, kepercayaan yang dipegang oleh pemilik indekos ini

tetap dipercaya atau tidak ada yang ditinggalkan. Hal ini kemudian

membuktikan prinsip dasar yang bertama, bahwa prinsip tersebut memiliki

keseuaian dengan fakta yang terdapat di lapangan.

67
Kemudian, prinsip dasar yang kedua menyebutkan “stereotip

mendorong persepsi negatif dan prilaku ekstrem indvidu”. Bapak B

(wawancara 14 Mei 2018) menyatakan bahwa nyatanya mahasiswa

pendatang dari Papua jika sudah mabuk memang menakutkan, namun ingin

disalahkan juga susah. Dalam keadaan mabuk berarti mereka tidak

sepenuhnya sadar. Bila dilihat kembali, pernyataan tersebut dapat dikatakan

benar namun juga tidak tepat. Pemilik indekos yang ada di Babarsari

kemudian memiliki persepsinya masing-masing, dalam hal ini persepsi

negatif. Seperti yang disebutkan Bapak B bahwa mahasiswa pendatang dari

Papua cukup menakutkan jika sedang dalam keadaan mabuk. Namun, tidak

kemudian mendorong perilaku yang ekstrem. Sikap atau respon pemilik

indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan masih dapat dikatakan

normal, misalnya menjaga jarak dengan tidak menerima di indekos, namun

masih berinteraksi dengan baik dengan mereka.

Prinsip dasar yang ke tiga adalah “stereotip mengelola hubungan antara

perasaan tentang kita (in-group) dan mereka (out-group)”. Dalam wawancara

21 Mei 2018 Ibu R menyatakan bahwa ia sangat menyadari jika Papua

merupakan bagian dari negara Indonesia. ia juga menyadari bahwa penduduk

Papua juga merupakan saudaranya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat

Priandono tersebut tidak memiliki kesesuaian dengan keadaan yang dialami

pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan. Mereka juga

merasa bahwa mahasiswa pendatang dari Papua merupakan bagian dari

mereka, tanpa sadar bahwa sikap mereka yang tidak menerima mahasiswa

68
pendatang dari Papua di indekos milik mereka membuat mahasiswa

pendatang dari Papua merasa bahwa mereka bukan bagian dari masyarakat

atau out-group.

Namun, bila dilihat dari sikap mahasiswa pendatang dari Papua,

cenderung merasa bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Namun,

banyak perlakuan yang kemudian membuat mereka merasa bahwa

masyarakat tidak menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini

mengakibatkan mahasiswa pendatang dari Papua kemudian menarik diri dari

masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip dasar yang ketiga ini

memiliki kesesuaian dengan fakta yang ada di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan.

Rapport and Overing (dalam Priandono, 2016: 201) menyebutkan

bahwa stereotip yang berkembang di masyarakat cenderung berakar dari

rumor dan desas-desus dibandingkan kesimpulan dari fakta yang terbukti

secara ilmiah, dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan

seseorang sendiri dalam dunia sekitarnya. Ibu M (wawancara 15 Mei 2018)

menyatakan bahwa ia pribadi belum pernah menerima mahasiswa pendatang

dari Papua. Hanya saja, kebanyakan dari rekannya sesama pemilik indekos

yang pernah menerima mahasiswa pendatang dari Papua menyatakan bahwa

mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Selain itu seringkali ribut dan

membawa banyak teman datang ke indekos. Jika bicara suaranya sangat kuat,

seperti orang berkelahi. Namun, menurut Ibu M mereka memang memiliki

69
sikap seperti itu. Hal itu ia dengar dari pengalaman teman-temannya sesama

pemilik indekos di sekitar Tambakbayan.

Bila dilihat kembali, teori di atas memiliki kesesuaian dengan fakta

yang ada di masyarakat. Stereotip tentang mahasiswa pendatang dari Papua

yang beredar di pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan

memang bukan berasal dari kesimpulan dari fakta yang terbukti secara ilmiah.

Seperti yang stereotip yang menyebutkan bahwa mahasiswa Papua tidak

disiplin dalam pembayaran indekos, Ibu M dan pemilik indekos lainnya

mempercayai hal tersebut dan mengakibatkan sebagian besar pemilik indekos

di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan tidak menerima mereka di

indekos miliknya. Padahal isu tersebut belum terbukti kebenarannya.

Franciscus (wawancara 10 Desember 2018) menyatakan bahwa desas-desus

merupakan hal yang cukup kuat dalam mempengaruhi sikap seseorang,

pasalnya tanpa mengetahui konteks permasalahan tersebut, tanpa mengetahui

apa yang terjadi, seperti apa kejadiannya, seseorang dijejalkan informasi yang

kemudian ia percayai. Bukan hanya hal itu, diperkembangan zaman yang

cukup modern ini, informasi beredar melalui foto, video dan lain sebagainya.

Hal ini kemudian menjadikan ketakutan yang berlebihan dari orang yang

mendapatkan informasi. Padahal informasi, foto dan video itu juga belum

tentu kebenarannya.

Disebutkan bahwa stereotip berkembang dari suatu isu, yang kemudian

disimpulkan menjadi karakteristik suatu kelompok. Hal ini memiliki

kesesuaian dengan fakta yang ada di masyarakat. Isu yang berkembang di

70
masyarakat seringkali disimpulkan menjadi karakteristik dari kelompok

tertentu. Seperti desas desus mengenai mahasiswa pendatang dari Papua yang

menyebutkan bahwa mereka merupakan pribadi yang bertempramen tinggi,

suka mabuk-mabukan dan tidak disiplin dalam pembayaran indekos. Hal ini

lama-kelamaan disimpulkan oleh masyarakat menjadi karakteristik

mahasiswa pendatang dari Papua. Setelah itu menjadi stereotip yang beredar

di masyarakat dan juga dipercaya oleh pemilik indekos yang ada di

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan.

Priandono (2016: 202) menyatakan stereotip terjadi dari sebuah

hubungan “struktural kelompok”. Sehingga kelompok-kelompok non-

mayoritas cenderung dipandang tinggi dari satu domain tetapi rendah di sisi

lain. Baik kompeten tapi tidak baik, atau sangat tidak kompeten tapi bagus.

Mahasiswa pendatang dari Papua, dalam hal ini dipandang tidak baik dalam

banyak aspek, namun di sisi lain mereka juga memiliki sikap yang disukai

oleh masyarakat. Kepala pedukuhan Tambakbayan, Widodo (wawancara 23

Juli 2018) menyatakan bahwa ia bekerjasama dengan kepala suku Papua yang

pernah menjabat menjadi kepala asrama Papua yang terletak di

Tambakbayan. Sehingga, jika ada masalah, kepala suku Papua tersebut yang

mengatasi langsung. Widodo menyatakan bahwa ia masih menjalin

komunikasi yang baik dengan mantan ketua asrama Papua tersebut, masalah

yang ada langsung ia komunikasikan dengannya. Sehingga, mahasiswa Papua

yang ada juga teratur dengan baik.

71
Hal ini membuktikan bahwa teori di atas memiliki kesesuaian dengan

kenyataan yang ada di wilayah Babarsari. Walaupun sebagian besar dari

mahasiswa pendatang dari Papua dipandang sebagai pribadi yang

bertempramen tinggi, tidak disiplin dalam pembayaran indekos, suka mabuk-

mabukan dan masih banyak lagi, namun mereka memiliki sikap setia kawan

dan kompak. Selain itu mereka juga merupakan pribadi yang penurut kepada

ketua atau kepala suku. Hal ini kemudian menjadi salah satu cara bagi kepala

dukuh Tambakbayan untuk mengontrol sikap dan perilaku mahasiswa

pendatang dari Papua. Menurut Widodo (dalam wawancara 23 Juli 2018)

mahasiswa pendatang dari Papua sebenarnya bila dikenali lebih dekat adalah

pribadi yang baik.

“Stereotip sangat ditentukan oleh dua aspek konteks sosial yaitu

dinamika kekuasaan dan herarki kelompok, dan pembenaran terhadap status

quo sosial. Secara khusus, individu atau kelompok yang hasil dikuasai oleh

kelompok lain atau menjadi kelompok yang berada di posisi rendah dalam

struktur sosial, rentan direndahkan melalui stereotip mereka yang cenderung

negatif. Sebaliknya, individu atau kelompok yang menguasai kelompok lain

atau kelompok-kelompok di bagian atas herarki sosial, lebih mungkin

mendapatkan stereotip dari mereka sendiri”, (Brewer dan Hewstone dalam

Priandono, 2016: 202). Ibu M (wawancara 15 Mei 2018) menyatakan bahwa

banyak kebiasaan dari mahasiswa pendatang dari Papua yang tidak

disesuaikan dengan budaya di Yogyakarta. Ketika diberitahu juga tidak

langsung bisa menerima dan cenderung emosinya naik, namun dibalik sikap

72
yang seperti itu, bila diperilakukan baik mereka juga akan baik. Hanya saja,

banyak orang yang takut untuk berinteraksi dengan mereka. Terkadang untuk

duduk bersebelahan saja tidak mau. Ibu M menyatakan bahwa terkadang

orang-orang di sekitar mereka bersikap rasis, padahal mereka juga ingin

disamakan. Namun, karena adatnya yang seperti itu, orang menjadi takut.

Pada intinya kalau sudah mengenal mereka juga akan baik. Tetapi orang-

orang di sini menolak karena sikapnya mereka yang seperti itu, tidak mau

bayar, suka seenaknya sendiri.

Dalam konteks ini, mahasiswa pendatang dari Papua memiliki

kemungkinan besar untuk direndahkan oleh kelompok sosial yang memiliki

kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, dalam hal ini kelompok orang-orang

asli atau lokal, misalnya suku Jawa. Namun, pada kenyataannya, pemilik

indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan tidak

memperlakukan mereka dengan buruk. Para pemilik indekos di wilayah

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan merasa bahwa apapun suku, ras dan

budayanya, tidak ada yang harus dibeda-bedakan. Meskipun, seperti yang Ibu

M katakan, banyak orang yang sebenarnya secara tidak sadar bersikap rasis.

Bukan karena mereka tidak ingin berinteraksi dengan mahasiswa pendatang

dari Papua, namun karena takut atau sungkan menjadi tidak ingin

bersinggungan dengan mereka.

Selain itu, bila dikatakan “kelompok-kelompok di bagian atas hierarki

sosial lebih mungkin mendapatkan stereotip dari mereka sendiri”, hal ini

tidak terbukti kebenarannya di wilayah Babarsari. Pasalnya tidak ada

73
anggapan atau stereotip yang beredar di pemilik indekos di Wilayah

Babarsari mengenai kelompok mereka sendiri. Apalagi hal-hal yang

menganggap bahwa mereka lebih baik dari pendatang dari Papua.

Samovar, Porter dan Edwin (2010: 170-171) mengidentifikasi tiga

saluran sosial yang berperan penting dalam pembentukan stereotip, yaitu:

a) Keluarga, merupakan agen sosialisasi konsep stereotip paling penting.

Menurut kajian Schneider, orang tua cenderung baik secara langsung

maupun tidak langsung mempromosikan stereotip kepada anak-anak

mereka.

b) Agama, kelompok agama, dan praktik keagamaan, dalam hal ini

stereotip juga sering ditekankan melalui agama atau praktik keagamaan.

Suatu praktik keagamaan, dalam penafsiran tertentu seringkali

membentuk stereotip terhadap kelompok masyarakat tertentu. Menurut

Priandono (2016: 204) bentuk stereotip yang muncul di media massa,

selain stereotip agama juga terkait dengan etnisitas. Sinetron Suami-

Suami Takut Istri yang pernah tayang di stasiun televisi nasional

merupakan contoh acara televisi yang berakar pada konsep stereotip yang

berkembang di masyarakat Indonesia. Di acara tersebut orang Padang

distereotipkan sebagai orang yang pelit, orang Batak diidentikan dengan

orang yang keras, orang Jawa dipersepsikan orang yang lemah dan halus.

Namun menurut Samovar, Porter dan Edwin (2010: 170) kelompok

keagamaan selain mengajarkan kebaikan dari sudut pandatng tertentu,

74
juga mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja mengajarkan stereotip

melalui pandangan yang berlawanan.

c) Media massa, melalui iklan, film, atau sinetron, merupakan saluran

penting budaya yang mendiseminasikan stereotip budaya. Menurut

Appiah (Priandono, 2016:203) media sangat berpengaruh di dalam

membentuk, memperkuat dan membenarkan kepercayaan dan harapan

stereotip terkait pada sejumlah kelompok. Secara khusus terjadi ketika

pengalaman pribadi khalayak terhadap kelompok tersebut terbatas.

Priandono (2016: 203) menekankan, semakin interaksi sosial berkurang

atau tidak pernah melakukan interaksi dengan budaya lain, pandangan

stereotip akan cenderung meningkat karena khalayak akan sangat

bergantung dengan sumber-sumber sekunder seperti media massa atau

pengalaman orang lain.

d) Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam

pembentukan stereotip. Menurut Samovar, Porter dan Edwin (2010: 171)

stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari suatu

kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa berasal dari

pengalaman yang tak begitu menyenangkan seseorang yang berinteraksi

dengan anggota kelompok tertentu. Martin dan Nakayama (2008: 53)

menyatakan jika kita memiliki interaksi yang tidak menyenangkan

dengan orang tertentu kita mungkin mengeneralisasi ketidaknyamanan

tersebut kepada semua orang di dalam kelompok tertentu. Di manapun

karakter grup yang kita fokuskan (ras, gender, atau orientasi seksual).

75
Dalam saluran sosial yang pertama disebutkan bahwa “orangtua

cenderung baik secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan

stereotip kepada anak-anak mereka”. Pada kenyataan yang ada pada ketiga

pemilik indekos di Babarsari, keluarga mereka terkadang memang memiliki

pandangan tersendiri terhadap mahasiswa Papua, namun pada akhirnya sikap

dari pemlik indekos ini berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Seperti ibu

R, adiknya memiliki pandangan bahwa pendatang dari Papua memiliki sikap

yang sulit dididik, namun ibu R merasa bahwa hal tersebut merupakan hal

yang wajar. Menurutnya sebagai manusia kita tidak dapat menuntut seseorang

untuk selalu sesuai dengan keinginan kita.

Hal ini menunjukkan bahwa teori di atas tidak memiliki kesesuaian

dengan keadaan di wilayah Babarsari. Pasalnya, keluarga bukan merupakan

saluran sosial yang mempengaruhi stereotip pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan terhadap mahasiswa pendatang dari Papua.

Keluarga pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan tidak

memiliki andil dalam pembentukan stereotip, juga tidak mempromosikan

stereotip yang ada. Pemilik indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan juga tidak melibatkan keluarga mereka dalam permasalahan

mengenai mahasiswa Papua, termasuk bagaimana mereka tidak menerima

mahasiswa Papua di indekos milik mereka.

76
Appiah (dalam Priandono, 2016:203) menyatakan media sangat

berpengaruh di dalam membentuk, memperkuat dan membenarkan

kepercayaan dan harapan stereotip terkait pada sejumlah kelompok. Dalam

hal ini, saluran sosial yang kedua, media massa memang berpengaruh sangat

kuat dalam membentuk stereotip, pasalnya sebagian besar orang sangat

percaya dengan apa yang media tampilkan, di luar kenyataan hal tersebut

benar atau tidak. Namun, hal tersebut bukan saluran sosial yang

mempengaruhi terbentuknya stereotip pemilik indekos di wilayah Babarsari

terhadap mahasiswa Papua. Sejauh para pemilik indekos bersinggungan

dengan mahasiswa pendatang dari Papua, mereka tidak pernah melihat

pemberitaan atau pembahasan mengenai mahasiswa pendatang dari Papua di

media massa. Informasi yang mereka dapatkan justru dari lingkungan sekitar

atau teman sesama pemilik indekos. Pemberitaan yang ada di media massa

sangat jarang membahas mengenai mahasiswa Papua terutama mengenai hal-

hal yang berbau perpecahan atau permasalahan karena hal tersebut sangat

sensitif dan akan menimbulkan dampak yang sangat luas, sehingga sangat

jarang diberitakan.

Hal ini menunjukkan bahwa teori yang disebutkan oleh Appiah (dalam

Priandono, 2016:203) tidak memiliki kesesuaian dengan fakta yang ada di

Babarsari. Media massa ternyata bukanlah saluran sosial yang mempengaruhi

terbentuknya stereotip pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan terhadap mahasiswa pendatang dari Papua.

77
Priandono (2016: 203) menekankan bahwa semakin interaksi sosial

berkurang atau tidak pernah melakukan interaksi dengan budaya lain,

pandangan stereotip akan cenderung meningkat karena khalayak akan sangat

bergantung dengan sumber-sumber sekunder seperti media massa atau

pengalaman orang lain. Hal tersebut tentu memiliki kesesuaian dengan apa

yang terjadi di masyarakat. Pasalnya interaksi merupakan kunci. Ketika

seseorang berinteraksi dengan budaya lain, maka secara tidak lain orang

tersebut akan mengenal budaya yang selama ini hanya ia ketahui melalui

media massa atau informasi dari orang lain.

Meskipun pemilik indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan tidak menerima mahasiswa Papua di indekos milik mereka,

namun mereka masih melakukan interaksi dengan mahasiswa Papua. Baik itu

karena mereka membuka warung makan, bertemu di kegiatan gereja, maupun

secara langsung berusaha mendekat. Hal ini membuat pemilik indekos

memiliki pandangan lain selain stereotip yang selama ini mereka percaya.

Selain itu, meski tidak mengenal dan memahami budaya Papua dengan baik,

namun mereka masih berusaha untuk mengenai mahasiswa pendatang dari

Papua secara personal. Menurut pemilik indekos di pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan, bila dikenal secara personal mahasiswa pendatang dari Papua

merupakan pribadi yang baik. Bila diperlakukan dengan baik, mereka juga

akan bersikap baik. Penjelasan di atas membuktikan bahwa penekanan

Priandono mengenai stereotip tersebut benar adanya.

78
Saluran sosial yang ketiga adalah agama, kelompok agama dan praktik

keagamaan. Disebutkan bahwa stereotip juga sering ditekankan melalui

agama atau praktik keagamaan. Suatu praktik keagamaan, dalam penafsiran

tertentu membentuk stereotip terhadap kelompok tertentu. Ketiga pemilik

indekos di pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan memiliki pandangan yang

sama dalam hal ini. Mereka mengaku bahwa agama yang mereka anut

memiliki andil yang sangat besar dalam mempengaruhi sikap mereka. dalam

agama yang mereka anut mereka diajarkan untuk saling mengasihi tanpa

memandang suku dan budaya.

Namun, ada pernyataan dari ketiga pemilik indekos terlihat yang tidak

konsisten. Pasalnya di awal mereka menyatakan bahwa ajaran agamanya

cukup mempengaruhi sikapnya terhadap mahasiswa pendatang dari Papua. di

mana agamanya mengajarkan untuk saling mengasihi tanpa memandang

suku, budaya dan warna kulit. Namun, ketika disangkutpautkan dengan tidak

diterimanya mahasiswa Papua di indekos milik mereka, mereka menyatakan

dalam agama memang diajarkan untuk saling mengasihi satu sama lain,

hanya saja tetap harus berhati-hati, anak-anak di indekos ini adalah

tanggungjawab yang harus mereka jaga. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga

pemilik indekos tidak konsisten dalam pernyataannya. Mereka terkesan tidak

berani mengambil resiko. Sehingga dapat daikatakan bahwa agama tidak

mempengaruhi terbentuknya stereotip yang selama ini mereka percaya.

Meskipun ajaran agama mengajarkan untuk mengasihi tanpa membeda-

79
bedakan, namun ketiga pemilik indekos ini tetap tidak menerima mahasiswa

Papua di indekos milik mereka.

Saluran sosial terakhir adalah perasaan takut. Martin dan Nakayama

(2008: 53) menyatakan bahwa jika kita memiliki interaksi yang tidak

menyenangkan dengan orang tertentu kita mungkin mengeneralisasi

ketidaknyamanan tersebut kepada semua orang di dalam kelompok tertentu.

Ketiga pemilik indekos memiliki pengalamannya mengenai mahasiswa

Papua, baik itu pengalaman yang mereka alami sendiri, mereka lihat sendiri

maupun berdasarkan informasi dari orang lain. Hal ini memiliki pengaruh

yang berbeda-beda bagi mereka, namun tetap saja memiliki pengaruh yang

kuat dalam keputusan mereka untuk tidak menerima mahasiswa pendatang

dari Papua di indekos milik mereka. Ibu M misalnya, ia menceritakan

pengalamannya bahwa ia pernah berinteraksi dengan mahasiswa pendatang

dari Papua, dan hal ini membuat dirinya lebih berhati-hati dengan mahasiswa

Papua. Ia menyatakan saat itu ada seorang mahasiswa Papua yang sedang

makan di warung makan miliknya, namun ketika ia tagih bayaran, mahasiswa

pendatang dari Papua itu bersikeras bahwa ia sudah membayar. Hal seperti

menjadi sebuah pembuktian bagi Ibu M akan desas-desus yang terjadi di

masyarakat, bahwa mahasiswa pendatang dari Papua kurang disiplin dalam

hal pembayaran.

Hal ini membuktikan teori yang dikatakan oleh Martin dan Nakayama

bahwa interaksi tidak menyenangkan kita dengan orang tertentu dapat

menjadi salah satu saluran pembentuk stereotip. Hal ini dapat dibuktikan dari

80
bagaimana Ibu M setelah kejadian itu menjadi merasa bahwa desas-desus

mahasiswa Papua agak tidak disiplin dalam hal pembayaran merupakan hal

yang terbukti, karena ia telah memiliki pengalamannya sendiri ketika

menghadapi mahasiswa Papua.

Selain itu peneliti melihat stereotip yang beredar melalui 3 orang

narasumber, yaitu Ibu R, Ibu M dan Bapak B. Perbedaan ciri dan pengalaman

dari pribadi masing-masing narasumber akan menunjukkan faktor apa yang

sebenarnya membentuk stereotip di antara ketiga narasumber tersebut.

Ibu R merupakan salah satu pemilik indekos di daerah Tambakbayan,

yang menerima anak laki-laki di indekos miliknya. Meski ia membuka

indekos di pedukuhan Tambakbayan yang merupakan daerah yang cukup

banyak dihuni oleh mahasiswa pendatang dari Papua, namun ia tetap tidak

menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya. Hal ini menunjukkan

bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh kepala pedukuhan Tambakbayan

masih belum mengarah kepada pemilik indekos, pasalnya masih banyak

indekos di Tambakbayan yang masih tidak menerima mahasiswa pendatang

dari Papua.

Dalam hal ini Ibu R sejak awal membuka indekos sejak ia berusia 26

tahun dan sejak saat itu ia tidak pernah menerima mahasiswa Papua di

indekos miliknya. Hal ini ia lakukan dengan alasan ia hanya ingin lebih

berhati-hati, tidak ingin berurusan dengan orang yang tidak disiplin dalam hal

pembayaran. Hal ini menunjukkan bahwa stereotip yang beredar sangat

81
mempengaruhi sikap Ibu R. Selain itu ia terlihat cukup bermain aman dengan

tidak menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya meski belum memiliki

pengalaman menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.

Narasumber yang kedua adalah Ibu M, Ibu M merupakan pemilik

indekos di daerah Kledokan. Bila dilihat lagi, Ibu M yang tidak menerima

mahasiswa Papua di indekos miliknya, dipengaruhi oleh kepala pedukuhan

yang menganjurkannnya. Selain membuka usaha indekos, Ibu M juga

membuka usaha rumah makan, namun meski tidak menerima mahasiswa

Papua di indekos miliknya, namun ia masih menerima mahasiswa pendatang

dari Papua yang ingin makan. Hal ini menunjukkan bahwa meski cukup

berhati-hati dengan mahasiswa pendatang dari Papua, namun Ibu M masih

ingin berinteraksi dengan mahasiswa pendatang dari Papua meski tidak ingin

terlalu mengambil resiko. Hal ini dapat dilihat dari lamanya Ibu M akan

bersinggungan dengan mahasiswa pendatang dari Papua jika ia menerima

mereka di indekos miliknya. Bila ia menerima, ia harus berinteraksi hampir

setiap hati dengan mahasiswa Papua. Selain itu, jika mereka benar-benar

tidak disiplin dalam pembayaran indekos, ia harus menanggung rugi yang

cukup besar. Namun bila hanya berinteraksi dengan menerima mereka makan

di warung makan miliknya, resiko yang ia ambil akan lebih sedikit. Selain itu,

pengaruh lain juga berasal dari kepala Pedukuhan Kledokan yang

menganjurkan para pemilik indekos untuk tidak menerima mahasiswa

pendatang dari Papua di indekos miliknya.

82
Narasumber selanjutnya adalah Bapak B, ia adalah seorang pemilik

indekos berjenis kelamin laki-laki. Bapak B merupakan salah satu pemilik

indekos di perumahan Dirgantara, Tambakbayan. Sebenarnya, Bapak B

pernah menerima mahasiswa Papua di indekosnya, namun kini tidak lagi. Hal

ini dikarenakan sebagian besar mahasiswa Papua yang pernah menyewa di

indekos miliknya sering membawa banyak teman dan berbicara dengan suara

yang cukup keras sehingga mengganggu penghuni indekos yang lain.

Menurut Bapak B ia merasa memiliki tanggungjawab untuk menjaga

penghuni indekos yang lain, sehingga perlu mengambil tindakan demikian.

Selain itu, melakukan pendekatan kepada mahasiswa pendatang dari Papua

tidak hanya dapat dilakukan dengan menerima mereka di indekos miliknya,

dapat pula dilakukan dengan menyapa mereka dan berinteraksi dengan

mereka di gereja.

Bila dilihat lebih jauh, ketiga pemilik indekos tersebut memiliki

perbedaan yang cukup jelas terlihat. Dari alasan mereka tidak menerima

mahasiswa Papua di indekos mereka, Bapak B yang berjenis kelamin laki-

laki terlihat lebih tegas dibandingkan dengan kedua narasumber lain yang

berjenis kelamin perempuan. Bila alasan Ibu M dan Ibu R tidak menerima

mahasiswa Papua adalah karena lebih memilih untuk berhati-hati dan tidak

ingin berurusan dengan kelompok yang mungkin akan bermasalah, lain

dengan Bapak B. Bapak B beralasan ingin lebih menjaga penghuni

indekosnya. Ia merasa bahwa kenyamanan penghuni indekosnya juga

merupakan tanggungjawabnya. Sehingga dapat dikatakan ada perbedaan

83
sikap antara pemilik indekos yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki

dalam menanggapi stereotip yang beredar di masyarakat.

Namun, bila dilihat dari sisi usia, tidak terdapat perbedaan sikap yang

siginfikan. Hal ini dikarenakan usia para pemilik indekos relatif sama,

bersisar antara 60 hingga 80 tahun. Selain itu lama atau tidaknya seseorang

telah membuka indekos tidak berpengaruh terhadap sikap atau terbukanya

pikiran seseorang. Pasalnya, Ibu R yang telah membuka indekos selama 53

tahun, namun pemikirannya mengenai mahasiswa Papua masih saja tertutup.

Ia masih saja tidak ingin mengambil resiko untuk menerima mahasiswa

Papua di indekos miliknya, padahal ia berkata bahwa mahasiswa Papua

merupakan pribadi yang baik bila dikenal lebih dekat.

Selain itu, bila dilihat dari keaktifan di tempat ibadahnya, ketiga

narasumber memiliki keaktifan yang relatif sama. Namun, dikarenakan usia

yang cukup lanjut mengakibatkan Ibu R dan Ibu M tidak lagi begitu aktif di

tempat ibadah mereka. berbeda dengan Bapak B yang masih aktif di gereja,

bahkan aktif dalam melakukan pelayanan. Ia cenderung lebih dekat dengan

banyak mahasiswa pendatang dari Papua, meski tidak menerima mereka di

indekos miliknya. Ia sering berinteraksi dengan mereka di gereja atau

mengundang mereka ke rumahnya bila ada doa lingkungan atau syukuran di

rumahnya.

Hal di atas menunjukkan meskipun ketiga narasumber di atas tidak

menerima mahasiswa Papua di indekos milik mereka namun mereka masih

menjaga komunikasi dengan berinteraksi dengan mahasiswa Papua. Cara

84
melakukan pendekatan pun nerbeda-beda, bila Bapak B yang sering

berinteraksi di gereja dan mengundang mahasiswa Papua bila ada ibadah di

rumahnya, Ibu M melakukan interaksi dengan cara menerima mereka yang

ingin makan di warung makannya, berbeda dengan Ibu R yang mendekatkan

diri secara langung, seperti mengajak berbicara ringan ketika kebetulan

bertemu dengan salah satu mahasiswa pendatang dari Papua.

Meski ketiga pemilik indekos ini tidak menerima mahasiswa Papua di

indekos milik mereka, mereka masih memiliki interaksi dengan mahasiswa

pendatang dari Papua. Seperti di gereja, di rumah makan milik mereka

maupun dilingkungan masyarakat. Mereka melihat bahwa mahasiswa

pendatang dari Papua memiliki sikap yang baik ketika dikenal secara

personal, meski hal itu tidak mempegaruhi sikap para pemilik indekos untuk

tidak menerima mahasiswa Papua di indekos milik mereka. Hal ini

menunjukkan, meskipun mendekatkan diri secara personal namun masih

terdapat jarak yang belum dapat dilalui oleh mahasiswa Papua. Kedekatan

secara personal ini belum dapat meruntuhkan stereotip yang selama ini ada,

sehingga kepercayaan pemilik indekos terhadap mahasiswa pendatang dari

Papua belum sepenuhnya muncul. Bagaimana stereotip negatif yang beredar

ini masih cukup kuat meski para pemilik indekos telah memiliki interaksi

yang cukup sering dengan mahasiswa dari Papua.

Stereotip tentu akan menjadi masalah dalam komunikasi. Sehingga

perlu mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi efek yang

membahayakan dari stereotip. Menurut Samovar, Porter dan McDaniel (2010:

85
51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat sebagai

tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini pemilik indekos di

Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan harus selalu mengingat bahwa

banyak hal yang mempengaruhi sikap atau sifat seseorang, sehingga

generalisasi budaya bukan merupakan hal yang tepat. Pasalnya, ketika

bertemu dengan seseorang dengan sikap atau ciri yang mencolok, hal tersebut

belum tentu merupakan ciri kelompok, dan tentu saja tidak dapat disimpulkan

sebagai ciri kelompok.

“Kedua, ketika Anda membuat generalisasi hal tersebut harus

berhubungan dengan apa yang disebutkan Scarborough sebagai ‘nilai-nilai

inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang

dimaksudkan adalah nilai dan perilaku yang terjadi berturut-turut selama

beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau

budaya. Dapat dikatakan bahwa ketika ingin melakukan suatu generalisasi,

hal tersebut harus merupakan budaya atau kebiasaan yang memang dipegang

dan dilakukan suatu kelompok tersebut berturut-turun dan tidak dapat lepas

dari kelompok tersebut. Dalam hal ini pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan, jika ingin melakukan generalisasi terhadap

mahasiswa pendatang dari Papua, harus sangat berhati-hati dan tidak melihat

ciri dengan dangkal. Sikap atau kebiasaan tersebut harus benar-benar

dipegang teguh dengan mahasiswa pendatang dari Papua.

Akhirnya, kesimpulan dari pernyataan tersebut harus menggunakan

bahasa yang dihaluskan sehingga tidak terkesan mutlak atau menghakimi.

86
Coles (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52) menyarankan frasa

seperti “rata-rata”, “mungkin” dan “cenderung” sebagai cara untuk

menghaluskan makna dari generalisasi yang ada. Hal ini menjadikan orang-

orang mulai berpikir mengenai generalisasi yang ada. Selain itu

memungkinkan orang-orang untuk berbicara mengenai kelompok lain tanpa

menunjukkan bahwa anggota dari budaya tertentu memiliki sikap atau sifat

yang sama. Dalam hal ini, pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan

Tambakbayan harus dapat menggunakan bahasa yang tidak menyinggung

atau terkesan menghakimi mahasiswa pendatang dari Papua, sehingga tidak

terkesan memojokkan atau menuduh.

Sejauh ini belum diketahui, saluran sosial apa yang berpengaruh

terhadap pembentukan stereotip mengenai mahasiswa pendatang dari Papua

di wilayah Babarsari. Sehingga, peneliti ingin melihat, saluran sosial

manakah yang mempengaruhi terbentuknya stereotip terhadap mahasiswa

pendatang dari Papua di Babarsari.

Samovar, Porter dan Edwin (2010: 170-171) menyebutkan bahwa

terdapat empat saluran sosial yang mempengaruhi tenbentuknya stereotip,

antara lain keluarga, media massa, agama, kelompok agama dan praktik

keagamaan dan perasaan takut.

Dalam data yang peneliti dapatkan, dapat disimpulkan bahwa saluran

sosial yang berpengaruh terhadap pembentukan stereotip pemilik kos di

wilayah Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan adalah perasaan takut.

Perasaan takut ini muncul dari pengalaman yang kurang mengenakkan yang

87
mereka dapatkan dari segelintir mahasiswa Papua, yang kemudian mereka

generalisasikan bahwa semua mahasiswa pendatang dari Papua memiliki sifat

yang sama. Pengalaman-pengalaman ini kemudian secara langsung maupun

tidak langsung membentuk stereotip yang secara sadar maupun tidak sadar

mereka pegang dan percaya selama ini. Selain itu perasaan takut ini kemudian

membuat para narasumber menjadi tidak menerima mahasiswa Papua di

indekos milik mereka.

Selain itu, Franciscus menyatakan bahwa media sosial, memiliki andil

yang besar dalam menyampaikan informasi. Hal ini dapat dilihat dari sisi

positif dan negatif, bagaimana media sosial memberikan informasi dengan

cepat namun juga dengan segala kecepatannya dapat memberikan rasa

khawatir yang cukup besar terhadap orang yang menerimanya. Dalam hal ini

informasi mengenai permasalahan atau kasus yang melibatkan mahasiswa

Papua seringkali disebarkan melalui media sosial, foto dan video tanpa sensor

disebarkan dengan bebas. Para penerimanya, dalam hal ini pemilik kos

melihat dan menerima informasi tersebut tanpa mengetahui konteks

permasalahannya ataukah apa informasi itu benar atau tidak. Hal ini

kemudian menimbulkan perasaan khawatir pada diri mereka yang menerima

informasi. Hal yang sama terjadi pada para narasumber yang seringkali

mendapatkan informasi melalui Whatsapp atau sms, hal ini kemudian

membuat mereka merasa khawatir dan ngeri, sehingga ketika ada kejadian

yang mereka alami, meskipun tidak begitu bersar, hal itu akan membuat

88
mereka mengeneralisasi bahwa semua mahasiswa dari Papua memiliki sikap

yang sama.

89
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat lebih dalam mengenai stereotip

pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan, juga melihat

saluran sosial apa yang berpengaruh terhadap pembentukan stereotip pemilik

indekos di Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah wawancara.

Berdasarkan data yang peneliti peroleh dan kemudian analisis, maka

dapat disimpulkan bahwa stereotip pemilik indekos di pedukuhan Kledokan

dan Tambakbayan terhadap mahasiswa pendatang dari Papua merupakan

stereotip negatif. Stereotip tersebut antara lain.

1. Seringkali membawa banyak teman ke kamarnya

2. Berbicara dengan suara keras dan akibatnya mengganggu sekitarnya

3. Pemabuk, suka minum minuman beralkohol

4. Tidak disiplin dalam hal pembayaran.

Stereotip terbentuk dari saluran sosial yang meliputi Keluarga,

Agama, Kelompok Agama dan Praktik Keagamaan, Media Massa dan

Perasaan takut. Penelitian ini menemukan bahwa saluran sosial yang

berpengaruh terhadap pembentukan stereotip pemilik indekos di Pedukuhan

Kledokan dan Tambakbayan adalah perasaan takut. Perasaan takut ini muncul

dari pengalaman kurang mengenakkan yang mereka dapatkan dari segelintir

mahasiswa Papua, yang kemudian digeneralisasikan bahwa semua mahasiswa

90
pendatang dari Papua memiliki sikap yang demikian, padahal belum tentu.

Secara tidak langsung, pandangan tersebut menjadi stereotip yang

berkembang di kalangan pemilik indekos di Babarsari. Selain itu, pengalaman

tersebut menjadi alasan pemilik indekos tidak menerima mahasiswa

pendatang dari Papua di indekos mereka.

B. Saran

1. Saran Akademis

Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian mengenai stereotip

diharapkan dapat mengembangkan topik dengan menggali lebih dalam

tentang sudut pandang mahasiswa pendatang dari Papua terkait stereotip

tentang mereka.

2. Saran Praktis

Bagi para pemilik indekos agar dapat mengurangi perasaan takut

terhadap mahasiswa Papua dengan memaksimalkan komunikasi dan

interaksi terhadap mahasiswa Papua. Juga dengan melakukan pendekatan

secara personal kepada mahasiswa pendatang dari Papua agar tidak

termakan stereotip yang belum tentu benar.

91
DAFTAR PUSTAKA

Ari, S. (2016). Realtime N: Sejumlah Mahasiswa Papua Dibekuk dan Dibawa ke

Mapolda DIY. Yogyakarta, Indonesia: Jogja.tribunnews.com. Diakses dari:

http://jogja.tribunnews.com/2016/07/15/realtime-news-sejumlah-pemuda-

warga-papua-dibekuk-dan-dibawa-ke-mapolda-diy, pada 4 September 2018.

Eko, S. (2015). Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis.

Yogyakarta, Indonesia: Media Suaka.

Endah, Y. P. (2016). Stereotip dan Diskriminasi terhadap ‘Wong Timur’ (Respon

Warga Kampung terhadap Mahasiswa Pendatang di Yogyakarta).

Yogyakarta, Indonesia. Thesis, S2.

Fadhilla, I. (2015). Pemandangan Seperti Ini yang Bakal Kamu Sering Lihat Di

Yogyakarta!. Yogyakarta, Indonesia: IDN Times. Diakses dari:

https://www.idntimes.com/news/indonesia/dhilla/sekarang-kamu-bakal-

sering-liat-beginian-di-jogja, pada 10 November 2017.

Fitrah, M dan Luthfiyah. (2017). Metodologi penelitian: penelitian kualitatif,

tindakan kelas & studi kasus. Sukabumi, Indonesia: CV. Jejak.

Florene, U. (2016). Kronologi Tindakan Represif terhadap Mahasiswa Papua di

Yogyakarta. Jakarta, Indonesia: Rappler.com. Diakses dari:

https://www.rappler.com/indonesia/140261-kronologi-represi-aparat-papua-

yogyakarta, pada 10 November 2017.

92
Himawan, F. U. (2016). Setop! Jangan Ada Diskriminasi di NKRI. Yogyakarta,

Indonesia: Media Indonesia. Diakses dari:

http://mediaindonesia.com/read/detail/56446-setop-jangan-ada-diskriminasi-

di-nkri, pada 4 September 2018.

Ingguoe, L. S. (2015) Tata Bahasa Rote. Yogyakarta, Indonesia: DeePublisher.

Jogjaupdate.com. (2017). Daftar Alamat dan Kontak Perguruan Tinggi di

Yogyakarta. Diakses dari: http://jogjaupdate.com/daftar-alamat-dan-kontak-

perguruan-tinggi-di-jogja/

Junitha, C. (2015). Stereotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan

Bugis Makassar. Makassar, Indonesia. Jurnal.

Kusumadewi, A. (2016). Mahasiswa, Simbiosis Mutualisme Yogya-Papua.

Yogyakarta, Indonesia: CNN Indonesia. Diakses dari:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808210326-20-

150020/mahasiswa-simbiosis-mutualisme-yogya-papua, pada 30 Januari

2019.

Kusumadewi, A. (2016). Resah Hati Orang Papua di Tanah Yogya. Yogyakarta,

Indonesia: CNN Indonesia. Diakses dari:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808201633-20-

150014/resah-hati-orang-papua-di-tanah-yogya, pada 4 September 2018.

Liliweri, A. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta,

Indonesia: LKiS Yogyakarta.

93
Lubabah, R. G. (2016). Kronologi pengepungan mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Yogyakarta, Indonesia: merdeka.com. Diakses dari:

https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-pengepungan-mahasiswa-

papua-di-yogyakarta.html, pada 4 September 2018.

Martin, J. dan Nakayama, T. (2008) Experiencing Intercultural Communication.

Singapore: McGraw-Hill.

Muharto dan Ambarita, A. (2012). Metode Penelitian Sistem Informasi

(Mengatasi Kesulitan Mahasiswa dalam Menyusun Proposal Penelitian).

Yogyakarta, Indonesia: DeePublish Publisher.

Priandono, T. E. Komunikasi Keberagaman. Bandung, Indonesia: PT. Remaja

Rosdakarya.

Rasya, Rainhard dan Sandy. Mahasiswa Papua Terbelenggu Stereotip.

Yogyakarta, Indonesia: Balairung. Diakses dari:

https://issuu.com/balairungpress/docs/majalah_balairung_edisi_53, pada 10

November 2017.

Samovar, L. A, Porter, R. E dan McDaniel, E. R. (2010). Komunikasi Lintas

Budaya. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika.

Samovar, L. A, Porter, R. E dan McDaniel, E. R. (2010). Communication Between

Cultures. International Edition. Boston: Wadsworth Cengage.

94
Saputra, A. (2017). Pengaruh Komunikasi Keluarga terhadap Pembentukan

Stereotip dan Prasangka antaretnik Pada Remaja Etnik Lampung.

Lampung, Indonesia. Skripsi, S1.

Situmorang, S. H. Analisis Data: Unruk Riset Manajemen dan Bisnis. Medan,

Indonesia: Medan USU Press.

Try. (2014). Demo Kemerdekaan, Mahasiswa Papua di Yogya Adu Pukul dengan

Anggota Ormas. Yogyakarta, Indonesia: Detik.com. Diakses dari:

https://news.detik.com/berita/2654601/demo-kemerdekaan-mahasiswa-

papua-di-yogya-adu-pukul-dengan-anggota-ormas/komentar, pada 4

September 2018.

Ulya, Y. (2016). Mereka Tidak Menerima Kos untuk Anak Papua. Yogyakarta,

Indonesia: BBC Indonesia. Diakses dari:

https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua,

pada 10 November 2017.

Oktami, W. (2015). Hubungan antara Stereotip Gender dengan Cinderella

Complex pada Mahasiswi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Yogyakarta, Indonesia. Skripsi, S1.

95
LAMPIRAN

A. LAMPIRAN 1
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
a) Bagaimana pandangan Anda sebagai pemilik indekos terhadap mahasiswa
Papua?
b) Mengapa ada pandangan seperti itu?
c) Apakah pandangan didapatkan dari pengalaman sendiri atau berdasarkan
desas-desus yang ada di masyarakat?
d) Apakah pandangan tersebut mempengaruhi komunikasi Anda dengan
mahasiswa Papua?

1) Tiga Saluran Sosial yang Berperan dalam Pembentukan Stereotip


1.1 Keluarga
a) Bagaimana pandangan lingkungan keluarga Anda terhadap mahasiswa
Papua?
b) Apakah pandangan keluarga Anda itu berdasarkan pengalaman yang
didapatkan sendiri? Bila iya, pengalaman seperti apa yang
didapatkan?
c) Apakah pandangan tersebut mempengaruhi pandangan Anda terhadap
mahasiswa Papua?
d) Sejauh mana pandangan keluarga Anda berpengaruh terhadap
pandangan Anda kepada mahasiswa Papua?

1.2 Media Massa


a) Apakah Anda pernah melihat pemberitaan mengenai Mahasiswa
Papua di media massa?
b) Bagaimana nada pemberitaan yang Anda lihat?
c) Apakah pemberitaan tersebut mempengaruhi pandangan Anda
terhadap mahasiswa Papua?
d) Sejauh mana pemberitaan tersebut berpengaruh terhadap pandangan
Anda terhadap mahasiswa Papua?

1.3 Agama, Kelompok Agama, dan Praktik Keagamaan


a) Apakah khotbah atau ajaran agama berpengaruh pada pandangan
Anda terhadap mahasiswa Papua?
b) Apakah agama yang dianut mahasiswa tersebut bepengaruh terhadap
pandangan Anda?
c) Apalah ketika mahasiswa pendatang dari Papua mengikuti organisasi
keagamaan yang sama dengan Anda mempengaruhi pandangan Anda?
d) Sejauh mana hal-hal tersebut berpengaruh terhadap pandangan Anda
terhadap mahasiswa Papua?

96
A. LAMPIRAN 2
TRANSKRIP WAWANCARA
Transkrip Wawancara

Bapak B

Peneliti : mengapa tidak menerima mahasiswa Papua di kosan milik


bapak?
Narasumber : pandangan yang membuat saya tidak menerima itu gini, kalau ada
yang satu di kos disini orang itu datang silih berganti datang ke
sini. Sehingga kan menjadi tidak jelas. Ya kan beda yang tinggal di
kontrakan dengan tinggal di kos-kosan.
Peneliti : jadi satu yang bayar, banyak yang datang gitu ya?
Narasumber : yang pertama itu. Yang kedua, kan mengganggu orang yang ada
di sekitarnya. Itu intinya itu. Terus ya saya rasa yang menjadi
masalahnya ya itu. Terus ya kalau tentang mabuk justru saya
tidak begitu ke sana. Sebetulnya yang orang Papua itu kalau satu
itu sebetulnya tidak masalah. Kalau satu, kalau satu sebenarnya
dia takut, tidak berani. Jadi saya mau ngomong gini, anak Papua
itu, tapi ini tidak semua loh ya yang saya ketahui, mereka tau
tidak kalau ini tu kos-kosan? Kalau anak-anak saya ini kan kalau
diberitahu tidak boleh menerima tamu ya istilah saya banyak yang
gitu loh, ini kan menjadi fokus kok saya tidak boleh itu ya gitu
masalahnya banyak yang silih berganti yang datang. Akibatnya
kan menjadi mengganggu anak kos yang lain, bahkan dia tidak
tau waktu. Tapi tidak bisa disimpulkan kalau semuanya itu seperti
itu, tidak bisa. Jadi sebetulnya kuncinya hanya seperti itu, anak
Papua itu kenapa kok tidak diterima di kos-kosan, itu pertama
kalau ada anak Papua satu itu banyak yang bertamu. Selain itu
juga kan kalau ngomong tidak pernah pelan terus mengganggu
yang lain, itu yang menjadi problem. Tetapi kalau hanya satu apik
itu. Soalnya anak yang ada di kos saya ini sebagian besar
orangtuanya itu ke sini, jadi saya terus terang kalau orang yang
kos di sini itu preman-preman, preman dalam arti itu gini loh,
datang tiba-tiba sendiri tapi tidak ada yang ngantar istilahnya itu
tidak saya terima. Ya makanya ini kan coba tanya semuanya kan
orangtuanya ke sini. Ya jadi saya tidak asal menerima. pada
dasarnya kos di sini itu tidak melihat orang sebetulnya, tetapi saya
melihatnya dari refrensi-refrensi dari luar.
Peneliti : jadi pandangan bapak terhadap mahasiswa Papua itu sendiri
berdasarkan pegalaman pribadi atau desas-desus di masyarakat?

97
Narasumber : ya berdasarkan informasi, desas-desus dari masyarakat. Di
samping itu dulu kan di pojok situ dulu ada kos-kosan cewe
Papua. Wah itu juga mumetke RT ne. Lah itu ramai terus, lalu
ditegur, cuma karena sudah bayar disuruh pergi juga ga bisa. Jadi
mulai saat itu di-stop tidak menerima. Jadi saya tidak boleh itu
karena informasi dari luar.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa
Papua gimana ya?
Narasumber : kalau dari pandangan keluarga ya, kalau keluarga saya nggak ada
masalah. Seperti anak-anak itu ora tau neng kene. Bocah-bocah iku
ora ngurusi. Tapi nek Koko itu kan, Koko itu sering di sini, itu
biasa ne takon “iku siapa sih sing sering rame? Gitu. Tapi di
samping itu anak-anak kan damai sejahtera, nggak ada yang
gimana-gimana. Di sini kan saya berikan aturan, pokoknya kalau
sudah lebih dari jam 12 Anda boleh semalaman ngomong, tapi
omongan Anda itu jangan sampai di dengar oleh orang lain, kan
gitu. Misalnya Anda nyetel TV, ya pelan jangan telinganya orang
kono dengar. Ya kalau saya dengar pasti saya tegur. Anak saya di
sini kalau sudah ditegur sekali, sudah, tidak akan berbuat lagi.
Karena sudah saya beritahu dari awal. Gitu.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : wah, nggak pernah itu tu. Di samping itu, saya itu bukannya dapat
informasi dari TV dan koran, tapi dari WA itu lho. Misalnya di
sana tawuran, seperti di Kusumanegara itu kan. Itu tidak hanya
sekarang kan, sejak dulu. Di sana kan terkenal itu asramanya.
Kalau di Jogja itu ya di sana itu asramanya Papua. Di sana
pusatnya itu. Jadi kan itu, kalau TV kan kadang, kalau disiarkan di
TV kan dampaknya luas. Tapi ya mau disalahkan ya angel sih. Ya
orang Papua nyatanya kalau mabuk ya medeni.
Peneliti : selanjutnya ya, apakah ajaran agama juga mempengaruhi sikap
bapak terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : ya lumayan. Saya kan Katolik, nah dalam agama saya diajarkan
untuk mengasihi satu sama lain, nggak memandang suku, budaya,
warna kulit. Sebener e itu jadi pegangan juga.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : nggak sih kalau itu. Ya kan kita sebagai manusia harus saling
mengasihi, kaya saya bilang tadi nggak memandang agama, warna
kulit, suku, budaya mereka. Semua sama.

98
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama OMK kan ya, yang sudah dekat sekali
sama ibu secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu
kira-kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : kalau saya pribadi ya saya melihat pribadinya ya, memang kita
juga mengasihi satu sama lain, hanya saja kan kita tetep kudu hati-
hati, anak-anak yang di kosan ini kan jadi tanggungjawab saya
juga. Mungkin sikapnya di lingkungan beda nek dikosan. Saya sih
jaga-jaga nek penghuni yang lain terganggu atau gimana. Jadi saya
mungkin pertimbangannya bakal susah juga.

99
Ibu M
Peneliti : bagaimana pandangan ibu sebagai pemilik kos terhadap
mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : kalau saya dari awal buka kos di sini, sejak tahun 90-an memang
belum pernah menerima mahasiswa pendatang dari sana ya.
Adanya anak etnis Jawa, yaa sama Sumatera, ada Kalimantan, ya
seputar itu aja. Kalau dari Papua sama NTT belum pernah ya.
Peneliti : kalau pandangan ibu terhadap mereka bagaimana ya?
Narasumber : anak Papua itu kalau menurut saya itu rasis ya. Dia itu kalau
membaur itu agak gimana ya. Itu satu, yang kedua, harga dirinya
agak tinggi ya, gengsinya tinggi. Terus agak bebal itu ya. Terus
SDM-nya itu tertinggal ya, kayaknya loh yaa, saya juga nggak tau.
Lain dengan anak-anak yang lain, nek dari segi finansial sih mereka
lebih mampu dari anak NTT, sama-sama Indonesia Timur loh ya.
Yang bikin risihnya itu tadi mabok, suka minum, itu kayanya sudah
menjadi tradisi atau gimana ya di sana. Itu yang mungkin nggak
bisa hilang, dibawa terus sampe ke sini. Maboknya itu.
Peneliti : kalau ibu secara pribadi, pandangan-pandangan itu ibu dapatkan
pengalaman sendiri atau dari desas-desus yang ada di masyarakat?
Narasumber : ibu liat sendiri, di sekitar sini. Anak-anak di sana kan anak-anak
Papua, kemaren kan di sekitar sini sempat jadi zona merah. Itu
anak Papua pernah mabok sampe ngerusak-ngerusak. Itu sampe
polisi pada datang. Ibu kan tetangga juga. Jadi kan dari
pengalaman, liat, ibu liat. Di sini juga kan banyak anak Papua. Ya
nggak tau kalau sekarang sudah nggak, sudah sepi di situ nggak ada
anak Papua juga sepi situasinya di sini. Jadi pengaruh juga. Kan
tempramen mereka, mudah tersinggung. Tapi kalau ibu sih, selama
mereka dibaikin, selama mereka istilahnya di-wong ke, dianggap
kan nggak keliatan membedakan itu, mereka juga baik. Mereka itu
sepertinya mau disamakan dengan anak-anak lainnya. Cuma ya itu
tadi, mereka rasis, terus yang dibauri juga kadang-kadang nggak
mau. Anak-anak lain juga nggak mau. Mereka juga mungkin
banyak pengalaman seperti itu. Sekarang, anak lagi makan di sini
dipukul ya pernah kok, dia lagi mabok. Ya sebetulnya nggak semua
sih ya, ada juga yang dia ke sini betul-betul mau belajar ya ada, tapi
sebagian seperti itu. Minum itu seperti sudah tradisi.
Peneliti : apakah pandangan negatif itu tadi mempengaruhi komunikasi ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : nggak juga. Nek aku pribadi ya, aku nganggap dia anak rantau.
Kasian juga, aku tetap menghargai mereka, asal mereka nggak
mengganggu saya, nggak rese. Itu saya sebenarnya kasian juga

100
sama mereka itu. Itu mereka di sini sudh hopeless atau gimana, ya
mungkin kirimannya kurang atau gimana kan, saya juga nggak tau.
Jadinya dia itu aneh-aneh gitu ya perilakunya. Kalau anak-anak
yang baik sama saya ya saya welcome kok, mbak. Kalau di OMK
itu kan banyak anak-anak dari sana kan, cuma saya ya welcome
kok. Malah anak Papua ada yang langganan nasi di sini, beli setiap
ada acara mereka, pasti ke sini. Pasti saya layani dengan baik kok,
hanya ya dengan harga yang lebih tinggi daripada lainnya. Mereka
kan punya finansial yang lebih cuma dalam menggunakannya itu,
yaa kurang tepat. Ya salah me-managenya gitu lho, lebih ke hura-
hura. Finansialnya cukup. Hanya ya me-managenya yang kurang
baik.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa Papua
gimana ya?
Narasumber : ya nggak negatif juga ya. Cuma ya kalau dilihat ya ciri khas
orang Papua ya begitu. Kondisinya kebanyakan begitu, tapi aku
pribadi ya nggak papa. Selagi dia itu baik, nggak mengganggu ya
nggak masalah. Dia nek dibaiki ya juga baik kok. Cuma kadang-
kadang orang mau baik sama dia itu takut. Sebenernya kalau
dibaikin ya baik juga. Jadi orang-orang yang belum tau, belum
mengenal itu nggak mau. Masih diskriminasi ya, duduk aja
kadang nggak mau bersampingan.
Peneliti : tapi kalau dari keluarga dalam menyikapi mereka itu seperti apa?
Narasumber : ya sama sih. Nggak papa kok, baik juga. Cuma ada ada beberapa
pihak yang tidak seperti kita kebanyakan. Jadi kaya menakutkan
gitu.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : kayanya malah jarang ya. Aku juga ya mengikuti TV atau koran
begitu ya jarang tu ada pemberitaan tentang mahasiswa Papua.
Peneliti : selanjutnya ya bu ya, apakah ajaran agama ibu juga
mempengaruhi sikap ibu terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : ya berpengaruh juga ya. Kan diajari untuk saling mengasihi,
mereka kan juga manusia selagi mereka nggak mengganggu dan
nggak membuat keributan ya nggak apa. Apalagi ini kan tempat
usaha, nanti dijauhi orang kalau kita kaya gitu kan.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : ooh nggak. Ya sama aja, apapun agamanya saya perlakukan
sama.

101
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama OMK kan ya, yang sudah dekat sekali
sama ibu secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu
kira-kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : gini ya kalau anak dari sana, aku belum pernah menerima. Tapi
kebanyakan temen-temen yang pernah menerima itu katanya
mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Terus ribut,
temennya banyak, dia mungkin baik tapi kan temennya yang
dateng kan kelau nek ngomong kan suaranya kenceng. Seperti
orang kelai, tengkar gitu kan. Tapi memang mereka orangnya
seperti itu. Lalu ya kurang disiplin dalam hal pembayaran juga kan,
suka nunggak. Itu pengalaman orang-orang di sekitar sini kan ya.
Aku pernah di sini (warung makan) juga gitu. Saya tagih-tagih dia
bilang sudah mbayar kan, yaudah saya diamkan saja. Daripada
ribut kan mending saya diamkan saja. Pernah itu kecolongan satu,
rese. Apalagi mahasiswa baru yang baru dari sananya itu, mungkin
kan belum menyesuaikan dirinya sama budaya sini. Kalau yang
sudah dewasa-dewasa mungkin sikapnya lain.
Peneliti : jadi intinya pandangan ibu itu dari pengalaman ibu sendiri ya?
Narasumber : ya pengalaman sendiri ya pernah, dari temen-temen yang punya
kos-kosan juga ada. Katanya ya banyak yang tidak disiplin,
terutama dalam hal pembayaran, nunggak sekian itu sudah barang
biasa. Besok nanti akhirnya pergi dan nggak membayar, itu kata
orang ya. Tapi ya kalau mahasiswa dari Papua kan memang
dibiayai pemerintah daerah jadi kurang bermasalah ya kalau
masalah pembayaran. Kalau lainnya kan ya keluar kantong sendiri
jadi agak gimana. Cuma ya banyak yang me-managenya itu kurang
baik. Beda dengan anak-anak yang kuliah dengan biaya
orangtuanya sendiri, agak punya perasaan kasian sama orangtua
gitu. Agak punya tanggung jawab. Kalau anak dari sana ya begitu,
ada yang baik cuma banyak yang rada gimana. Ya mungkin awal-
awalnya baik, nanti lama-lama sudah membaur dengan anak
lainnya dia jadi terkontaminasi. Dari yang awal anaknya diem, jadi
ikut-ikutan. Sebenernya baik kan ya, hanya saja kebiasaan
minumnya mungkin orang sini itu kurang bisa menerima. Karena
ya efeknya dia rese, gangguin orang, tapi ya ngak semua. Banyak
kebiasaan-kebiasaan yang nggak disesuaikan dengan budaya di
sini. Lalu kalau dikasih tahu itu nggak langsung bisa menerima, ya
dia tempramen itu. Mungkin karena finansialnya cukup, ada
bantuan dari pemerintah daerah jadinya begitu, mungkin yaa. Tapi
ya kalau dibaikin mereka juga baik kok. Cuma orang kita suka
takut. Duduk sebelahan aja nggak mau. Nah itu, kadang dari diri
kita juga yang rasis, mereka juga ingin disamakan ya, kalau ibu
lihat lho. Karena adatnya yang seperti itu, orang jadi takut. Takut
nantinya mereka salah ngomong, jadi ya ketakutan duluan. Jadi

102
intinya kalau sudah mengenal mereka juga baik kok. Tapi ya
orang-orang di sini juga kan menolak karena sikapnya mereka
sendiri yang seperti itu, nggak mau bayar, suka seenaknya sendiri.
Lagian kan pemilik kos juga kan butuh, intinya kan saling
membutuhkan. Biar kamarnya laku, pengen punya tempat tinggal
yang dekat dengan kampus. Tapi ya itu tadi, orang kan kalau nggak
bayar juga kan jadi nggak mau.

103
Ibu R
Narasumber : sebenarnya ibu menyadari banget kalau Papua itu, negara kita
juga kan. Saya pun menyadari bahwa penduduk Papua itu juga
saudaraku, saudara kita. Tapi, kalau sudah melihat secara dekat,
walaupun tidak semua itu kecewa, menyesal. Terutama NTT
(Nusa Tenggara Timur) ke sana ya, ini karena banyak komentar
dari banyak orang ya, sampe ada orang mengatakan begini, kalau
anak Irian itu pakai roda dua tanpa helm, polisi biarin. Kenapa?
Karena mereka susah diberi bimbingan, dikasih tau nggak mau.
Itu adek saya ngajar di SMA, itu juga ngeluhnya gitu. Anak NTT
ke sana itu kalau diberitahu itu ndak masuk. Terus apa komentar
mereka? “Mereka itu seperti keluar dari hutan, kaya bukan
manusia”, itu sebagian, walaupun tidak semua. Padahal, hati ibu
sebenarnya, hati saya sebagai seorang penduduk Indonesia,
apalagi saya seorang ibu ya, saya kepengen memberi mengerti
mereka, kenapa sih mereka seperti itu? Tapi untuk mendekati
mereka, susah kami. Susahnya apa? Kalau saya ambil mereka di
rumahku, kos di sini. Itu, mengejutkan, satu kamar mungkin
untuk enam orang. Lagian mereka seperti garang ya, dan kita
orang Jawa, khususnya Jogja itu kan ndak suka dengan orang
yang garang itu. Kita kan kalau misalnya ada kesalahan pun ndak
perlu main kasar itu kan ndak perlu. Kita omong-omong, dengan
otak, dengan kemampuan otak. Bagaimana orang diserang dengan
etika itu sudah luntur kan ya, tapi orang sana ndak bisa itu. Aku
justru sedih melihat mereka, kenapa sih mereka itu sulit dididik?
Justru itu yang saya sedihkan. Tapi saya punya adek, adek saya
ini kerja di NTT ya sudah punya anak cucu, dia udah lama di
sana. Dia bilang “orang di sana itu juga baik-baik kok”. Oh iya,
itu mungkin orang yang terdidik, atau mungkin itu generasi
seumur saya, atau adek saya, tapi anak sekarang, itu di mana-
mana sama. Jadi, etikanya luntur. Apaya, tidak bisa menjadi
seperti yang diharapkan orangtua. Gitu, gimana? Pertanyaannya?
Peneliti : yaa langsung ke pertanyaan pertama ya, bagaimana pandangan
ibu sebagai pemilik kos terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : pandangan saya terhadap mereka, kalau mereka yang giat belajar
dan memang bisa dibanggakan, ya saya bangga, kadang kala saya
ingin mendekat dia, ingin ngobrol-ngobrol. Ya, pandangan saya,
saya kasian sebenarnya kalau semua orang memandang mereka itu
kurang beradab kah, atau tidak bisa dibina kah, saya itu prihatin.
Saya rasanya nggak ikhlas, karena itu juga anak-anak kita, saudara
kita. Meskipun bagi kita mungkin sedikit beda, tapi mereka juga
anak-anak Indonesia. itu pandangan saya, tapi kalau usdah melihat
mereka yang sangar, tidak bisa diarahkan, itu memang prihatin,
prihatin yang gimana ya? Prihatinnya, bagaimana negara kita ini

104
harus mendidik mereka. mungkin anak-anak muda itu yang bisa
memberikan solusi, bagaimana caranya kita mendekati mereka.
Tapi... jadi ini tadi pagi, baru aja tadi orang di depan itu saya tanya
“kok rumahmu nggak ada yang kos?”, “mboten, wong mereka itu
pada ndak mau mbayar”, terus saya bilang “loh? Mosok sih?”,
“iya, wong suruh pergi aja sulit. Udah nggak mbayar, suruh pergi
sulit”. Nah ini, saya lihat sendiri, itu anak Irian dan anak NTT itu.
jadi memprihatinkan, yang seperti ini sangat memprihatinkan.
Misalnya tidak ada biaya, karena seperti ini ya. Kalau dari NTT,
ada yang dikirim kuliah ke sini, setahun dua tahun mungkin
kiriman oke. Tapi sesudah itu ada yang kiriman macet. Kalau
begini kan memprihatinkan. Kalau dari Irian, kadang kan
kirimannya tiga bulan sekali, dikirimkan pemerintah dari sana. Jadi
dana bantuan dari pemerintah itu mungkin tiga bulan sekali kadang
sampe enam juta, kalau dia bisa menggunakan uang itu dengan
baik, ya kebetulan anak Papua yang baik, jujur. Bener-bener mau
sekolah dan dibiayai pemerintah. Jadi. Macem-macem di sini.
Belum Irian di sana, eh Papua juga kan ada asrama di sana. Itu
sebenarnya masyarakat nggak suka. Kok ada asrama Irian di situ.
Banyak komentar tentang itu, tentang Lurah, tapi saya nggak ikut
komentar tentang itu. Tapi masyarakat merasa ya agak gimana
dengan adanya asrama itu ya, karena mereka kalau gampang
dididik ya ndak papa. Ternyata, belum lama di sana itu sudah ada
masalah dengan angkatan darat. Ya itulah, jadi memang Irian itu,
maaf ya, pendapat saya mereka kasar ya, sifatnya kasar. Ya ndak
papa, cuma mungkin sama orang Jogja itu kurang pas ya.
Peneliti : kalau ibu secara pribadi, pandangan-pandangan itu ibu dapatkan
pengalaman sendiri atau dari desas-desus yang ada di masyarakat?
Narasumber : saya pribadi kalau informasi-informasi nggak gitu percaya, tapi
saya itu memang mau mengenal langsung. Jadi sebagian mengenal
langsung, sebagian itu dari omongan masyarakat atau pendidik,
gitu.
Peneliti : apakah pandangan negatif itu tadi mempengaruhi komunikasi ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : ya selama ini, sebenarnya saya ndak ada masalah kok komunikasi
sama mereka. Cuma kesempatan untuk komunikasi itu yang belum
saya temukan. Artinya, tadi saya sudah ngatakan kalau saya
sebenarnya merasa ingin dekat dengan mereka. Cuma aku nggak
mau mereka tinggal di rumahku. Jadi kalau dia kebetulan ada yang
jajan di situ, itu tak ajak omong-omong. Tapi ya sebenarnya apa
salah mereka ya juga nggak salah kok. Saya sendiri bener-bener
ingin dekat, cuma saya juga harus hati-hati nggak sembarangan ya.
Karena mendekati orang itu ya kan, belum tentu orang yang
didekati seneng, jadi kalau dia tak ajak omong, artinya ada respon

105
positif itu mungkin saya bisa berlanjut, begitu. Jadi, saya sih selalu
seneng sama mereka itu, aku nggak ada rasa dendam juga enggak.
Cuma kami hati-hati, cuma itu aja kok. Saya hati-hati dalam hal
kalau menerima kos memang kami sangat hati-hati, karena apa?
Karena saya harus menjaga yang lain juga. Jadi nanti kalau ada
yang satu itu nanti yang lain keganggu. Saya nggak mau
mengorbankan 13 anak karena mereka, tapi saya berusaha untuk
mengenal mereka di luar rumah, itu saja. Tapi kadang-kadang
mereka kalau merasa bukan satu rumah itu susah kan diajak
ngomong. Saya juga kenal sama anak yang di sebelah ini,
sebenarnya baik juga. Kalau ada sisi-sisi yang kurang baik itu
wajar kan? Mana ada manusia itu sama persis dengan kita, persis
mau kita. Iya kan? Jadi saya memandang seseorang itu dengan satu
pandangan yang, semua orang itu baik. Kalau toh ada kekurangan,
itu wajar, karena kita manusia.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa Papua
gimana ya?
Narasumber : kalau saya kurang tau, tapi adik saya yang guru SMA (Sekolah
Menengah Akhir) itu menghadapi, ceritanya itu hampir sama juga.
Menurutnya, anak-anak itu yang dari sono itu, susah dibimbing.
Peneliti : apakah pandangan tersebut mempengaruhi pandangan ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : kalau saya enggak. Artinya susah dibimbing itu sesuatu yang
wajar saja, tapi tinggal kita, bagaiana caranya mendekati dia. Cuma
itu aja.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : saya pernah denger sih, tapi kalau mengenai mahasiswa
pendatang di Jogja memang nggak ada. Yang saya dengar itu
tentang pejabat-pejabatnya. Kalau itu dalam hal ini masih banyak
ketidakjujuran yah.
Peneliti : apakah pemberitaan di media itu mempengaruhi pandangan ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : menurut saya, pandangan saya ya saya nggak suka memberi
pandangan-pandangan yang negatif ya, karena saya juga nggak
mengerti secara mendetail ya. Kalau aku mengerti secara detail,
mungkin saya memiliki pandangan yang artinya, nggak suka,
nggak seneng. Kalau pandangan saya pribadi saya sih nggak suka
mendendam, nggak suka menegatifkan orang. Untuk apa? Ya biar
mereka salah kan itu urusan mereka, salah itu kan balik lagi kepada
siapa. Kecuali kalau terhadap saya itu kan tak cengkrem, ya karena

106
saya nggak kena langsung kan pandangan saya :ah ya sudah di
mana-mana semua pejabat juga, di sana ada yang korupsi, di sini
juga banyak banget”. Jadi, aku nggak mau peduli, artinya itu bukan
aku nggak mau dengar atau nggak mau memperhatikan. Artinya,
kalau mereka mau korupsi ya yaudah itu tanggungan mereka, aku
ndak mau memberikan beban pada otak saya. Agar saya ndak stres,
cuma itu aja.
Peneliti : selanjutnya ya bu ya, apakah ajaran agama ibu juga
mempengaruhi sikap ibu terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : pasti berpengaruh sekali ya, kan kita anak-anak Kristus ya,
diajarkan untuk saling mengasihi sesama manusia. Itu juga menjadi
pegangan dan batas saya kalau sudah berprasangka buruk sama
orang lain. Kalau sudah berpikir negatif tentang orang saya itu
sedih loh. Dalam hati aku selalu “Yesus maafkan aku sudah
berprasangka, ajarkan aku untuk melihat dengan mata-Mu. Aku
ingin ikut jalan-Mu, Tuhan”.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : nggak yaa. Seperti yang saya bilang tadi, nek kita tu harus saling
mengasihi sesama manusia. Jadi, agama apapun tidak
mempengaruhi sikap saya kepada siapapun ya.
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama pemuda di gereja kan ya, yang sudah
dekat secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu kira-
kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : sebenarnya kalau masalah menerima kos aku bukan masalah
dekat secara personal atau nggak ya. Saya itu dari dulu memang
nggak pernah menerima mahasiswa pendatang dari Papua, NTT
yang pernah. Cuma karena pengalaman dari teman-teman lain yang
punya kos ya, bilangnya suka nunggak, nggak membayar, saya juga
kan hati-hati, nggak mau berurusan sama yang begitu. Kan sudah
tua juga, bapak juga sudah tua. Kalau mabuk rese juga kan, nanti
menggangu yang lain. Saya juga menjaga (penghuni lain) kan.
Terus mengasihi mereka nggak hanya lewat menerima mereka di
kos. Makanya aku ingin mengenal mereka langsung ya. Seperti
mbak yang di samping itu kan, ya kalau dikenal baik juga.

107
Pak Widodo D. M (Kepala Pedukuhan Tambakbayan)
Peneliti : kalau boleh tahu jumlah kepala keluarga di pedukuhan
Tambakbayan ini berapa ya, Pak?
Narasumber : kalau untuk jumlah KK itu ada 1.636
Peneliti : kalau penduduk, Pak?
Narasumber : penduduk ada 5.113, yang laki-laki 2.604, perempuan 2.309.
Peneliti : untuk jumlah kampus, ada berapa Pak?
Narasumber : jumlah perguruan tinggi itu ada 10.
Peneliti : kalau di luar perguruan tinggi? Sekolah-sekolah yang ada di
wilayah Tambakbayan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau sekolah, TK ada dua, SD 1, SLTA 1, kalau SMP nggak ada.
Peneliti : jumlah pendatang yang ada di Tambakbayan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau itu saya kan kurang tahu, ya. Soalnya pelaporan seperti itu
biasanya ke RT, bukan ke saya. Jadi masalah pendatang, data-data
seperti itu biasanya langsung ke RT nggak melalui saya.
Peneliti : kalau KK yang punya kos-kosan, Pak?
Narasumber : ya sama itu juga biasanya yang tahu jumlahnya RT.
Peneliti : kalau mengenai suasana di Pedukuhan ini ya, Pak. Selama ini
apakah kondusif saja?
Narasumber : kalau di Tambakbayan sih baik-baik saja ya. Nggak ada masalah
yang berarti, saya juga kan selalu komunikasi sama masyarakat,
kalau ada apa-apa ya juga nggak akan lama, karena langsung di
benahi, langsung dicari jalan keluarnya.
Peneliti : kan di belakang ada asrama Papua ya, Pak. Lalu apakah
belakangan ini ada kasus yang melibatkan mahasiswa Papua?
Mengingat kan banyak pandangan-pandangan negatif tentang
mahasiswa Papua yang beredar di masyarakat.
Narasumber : kalau di Tambakbayan sendiri sih nggak ada kasus yaa, baik itu
melibatkan mahasiswa Papua ataupun yang lainnya. Di sini udah
baik ya sudah bagus. Seperti yang saya bilang tadi kan, saya selalu
komunikasi. Selain itu juga kan dilakukan sosialisasi dari awal,
baik ke warga maupun yang pendatang sehingga semuanya teratasi.
Sebenarnya selama ini banyak yang salah paham yaa, pandangan-
pandangan yang beredar di masyarakat itu juga kurang tepat.
Mereka itu sebenarnya kalau dikenali lebih dekat, mereka baik.
Selain itu saya juga kan bekerjasama dengan kepala suku mereka di
Papua sana. Jadi, kalau ada masalah atau kasus itu kepala sukunya

108
yang atasi langsung. Saya nggak perlu turun tangan lagi untuk atasi
mereka yang bermasalah. Asramanya kan di belakang itu ya, jadi
dulu juga kepala sukunya yang sekarang itu ketua asrama Papua di
belakang itu. Masih komunikasi sama saya kan, jadi enak, kalau
ada masalah langsung dikomunikasikan sama kepala sukunya. Jadi
mereka teratur dengan baik juga. Mereka juga kan kalau kita
welcome, mereka baik sama kita. Yang susah itu biasanya kalau
ajaran baru, karena anak-anaknya kan benar-benar baru datang dari
sana, jadi masih membawa budayanya dari kampung halaman, agak
sulit. Cuma ya kita sosialisasi aja agar teratasi masalah seperti itu.

109
Pak Supriyono (Kepala Pedukuhan Kledokan)
Peneliti : kalau boleh tahu jumlah kepala keluarga di pedukuhan Kledokan
ini berapa ya, Pak?
Narasumber : ada 702, itu kalau KK, kalau jumlah penduduknya 1.260 ya, yang
laki-laki 1.086, sisanya perempuan
Peneliti : kan saya di sini bahas pemilik kosan ya, Pak. Kalau di Kledokan
pemilik kos ada berapa ya pak ya ?
Narasumber : waduh ora tak itung e dek, banyak. Rata-rata pemilik kosan di sini
sekitar 80an kos-kosan.
Peneliti : jumlah pendatang yang ada di Kledokan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau yang begitu jarang dilaporkan, tapi untuk perkiraan, hampir
200an lah dek.
Peneliti : kalau batas wilayah untuk Babarsari itu dimana, Pak?
Narasumber : kalau sebelah timur pedukuhan Tambakbayan, batas utara
pedukuhan Seturan, terus batas baratnya pedukuhan Tempel, batas
selatannya pedukuhan Ngentak.
Peneliti : kan saya mengambil tema tentang mahasiswa Papua nih, Pak
apakah di pedukuhan Kledokan ini pernah ada kasus-kasus yang
melibatkan mahasiswa Papua?
Narasumber : kebetulan nggak ada, kira-kira yang bawa di sini nggak banyak,
ada tapi nggak banyak. Paling-paling hanya gabung ke teman-
teman yang di sini aja. Kalau yang kos sih nggak ada. Saya juga
kan sejauh ini bilang ke yang punya kos, kalau bisa yaa nggak usah
di terima.
Peneliti : kalau mengenai suasana di Pedukuhan ini ya, Pak. Selama ini
apakah kondusif saja?
Narasumber : sejauh ini sih baik saja, karena seperti yang saya bilang tadi. Saya
bilang ke para pemilik kosan untuk yaa kalau bisa nggak menerima
penghuni kos yang dari sana yaa. Menganjurkan ya, sebagai
antisipasi saja, mencengah terjadinya masalah di daerah ini.
Soalnya kan pernah tu di dekat sawah sana mereka ada yang mabuk
terus akhirnya ada yang berantem. Ya saya nggak mau ada terjadi
seperti itu.

110
Franciscus Apriwan (Peneliti, Antropolog)
Narasumber : mungkin ini sebagai pengantar ya. Kemarin saya dan rekan
laboratorium saya bikin festival Sumba di Yogya. Sumba
memang berbeda dengan Papua, tetapi buat saya berangkat dari
keprihatinan yang sama. Di sini ada diskriminasi rasial terhadap
orang-orang di Yogya, terutama adalah mahasiswa. Di Yogya
sendiri ada berapa orang Papua? 7.000-an? Kalau sebulan
mereka dapat uang satu juta dari orangtua mereka, ada 7M satu
bulan dari orang Papua ke Yogya. Itu adalah jumlah uang yang
sangat besar, tapi tidak pernah ada yang membuat fasilitas
publik, tidak ada dukungan terhadap mahasiswa-mahasiswa
seperti itu dan tidak ada dukungan apapun yang diberikan
kepada mereka. Justru malah sebaliknya, mereka malah
didiskriminasi dan sebagainya oleh orang Yogyakarta sendiri.
Artinya itu ada sebuah salah pikir di situ, kita mau uangnya tapi
tidak mau orangnya. Itu baru dari Papua. Artinya ada banyak
sekali uang datang ke Yogya melalui mahasiswa-mahasiswa ini,
tapi tidak pernah dilihat sebagai pemasukan. Yang lebih banyak
dilakukan adalah, kita membuat hotel, membuat tempat-tempat
hiburan, yang sebenarnya buat apa? Buat wisatawan. Wisatawan
dibanding dengan mahasiswa, kalau 7.000 saja ya, 7M,
wisatawan mana yang bisa bawa 7M kemari setiap bulan? Nah,
itu jadi suatu perspektif yang baik juga. Ada ketidakberesan
dalam mengelola ini sebenarnya. Terutama kalau mau melempar
kritik adalah pada fasilitas yang harusnya ada buat mahasiswa-
mahasiswa seperti kalian. Kalian mau belajar tu semuanya di
bawah privat, kalian harus pergi ke cafe, harus mengakses
internet dengan membayar, semuanya itu privat. Tidak ada yang
dikelola oleh publik, padahal kalian seharusnya mendapatkan
fasilitas. Jadi itu pintu masuk yang menurutku baik untuk bisa
melanjutkan penelitianmu ini. Selebihnya kita melihat orang
Papua, uangnya datang sangat besar, tapi kita lihat, apa yang
mereka dapatkan? Diskriminasi. Oke kalau kita mau berjarak
lagi tidak tentang ekonomi, karena ini ingin melihat dari sisi
sosial budaya ya, mereka datang kemari, mereka punya
kebiasaan yang di sisi lain orang Yogya menginginkan mereka
untuk menyesuaikan. Bukankah itu sangat sombong di satu sisi?
Dalam artian orang Yogya tidak mau menyesuaikan pendatang,
yang harus menyesuaikan itu pendatang. Di satu sisi itu baik ya,
dalam artian “saya datang ke suatu tempat ya saya harus
menyesuaikan diri”, karena jumlah ya atau apalah itu, tapi di
satu sisi sebetulnya yang lebih mendominasi di Yogya itu justru
adalah pendatang ya, dan datang terus menerus berganti. Artinya
menurut saya, ada persoalan dalam diri “orang Yogya” yang
merasa sangat risau dengan pendatang, seperti itu. Sehingga
merasa agak gimana dengan pendatang. Dan misalnya mereka

111
sedang berbahasa, banyak pendatang yang kurang paham
dengan menggunakan bahawa Jawa, tapi ya orang Yogya tetap
menggunakan bahasa Jawa. Mereka mengerti? Tidak. Nah, ada
banyak hal yang menurut saya di sini itu dipaksakan dengan
bahasa Jawa. Artinya orang yang tidak bisa berbahasa Jawa
harus bisa berbahasa Jawa, kadang itu juga sebuah problem.
Dalam artian, di satu sisi baik ya, kamu jadi belajar banyak
budaya ketika belajar di Yogya, artinya kamu tidak terkungkung
juga dengan budaya Kalimantan-mu. Sampai di sini kamu
belajar cara orang Jawa makan, cara orang Jawa berbicara dan
lain sebagainya, itu ya baik juga. Dan kamu juga bisa merasakan
itu, tetapi ketika itu dipaksakan itu jadi persoalan. Dan buat saya
poinnya adalah seperti itu. Ketika mahasiswa Papua datang
kemari ada perbedaan yang sangat terasa sebetulnya. Cara
mereka berbicara, cara mereka minum dan lain sebagainya. Tapi
tidak pernah ada peluang untuk berdialog, untuk sama-sama
mengenali orang Jawa dan orang Papua. Bisa jadi, ketika kita
mengenali, situasinya berbeda kok. Dalam artian, kok saya
melihat masyarakat kita itu cenderung diskriminatif sehingga
membuat “polusi-polusi” yang sangat pluralistik, dalam artian
adalah, misalnya, sekarang orang-orang Papua itu dikumpulkan
di lokalisasi-lokalisasi tertentu, sehingga apa? Sehingga orang
Jawa, atau orang lain tdak bisa berkomunikasi dengan mereka
justru. Mereka dianggap diasingkan, dikelompokkan di situ
sendiri, sehingga dia terus ya “gimana aku mau jadi teman kalau
tempatku ini kok kaya diasingkan”. Nah itu semakin
memperparah keadaan. Misalnya kalian malah benar-benar nge-
blend. Misalnya kalian Kalimantan terus kalian tinggal di suatu
kos yang isinya adalah Papua, Kalimantan, Sumatera, apa yang
terjadi? Ya jadi berteman, jadi akrab, ya jadi biasa saja akhirnya.
Tetapi ketika dilokalisir, tidak pernah ada ruang pertemuan yang
memadai, sehingga akan menganggap orang-orang itu sebagai
terus-menerus orang asing. Menurut saya persoalannya justru di
situ, untuk menjaga mereka terus-menerus asing. Jadi satu sisi
emang, kita tidak mau mendekati mereka, dengan praktik yang
terjadi ya. Kita malah mengasingkan mereka, dan malah
menjaga jarak dengan mereka.
Peneliti : Menurut mas sendiri, bagaimana pandangannya mengenai
mahasiswa Papua? Mereka ke Yogyakarta membawa budaya
yang biasa mereka lakukan di tempat asalnya dan kebanyakan
tidak sesuai, atau malah tidak disukai masyarakat Yogya.
Narasumber : Pun sebetulnya permasalahan tersebut muncul juga karena
orang Jawa tu banyak bikin ulah di Papua sebetulnya, jadi
kadang-kadang rasanya tidak fair ya. Kita bertahun-tahun sejak
Papua masuk kan kita bikin ulah ya di sana. Akhirnya mereka

112
punya uang, mereka mengakses pendidikan, punya peluang ke
Jogja. sampai di sini, mereka membuat siasat-siasat yang
sebetulnya juga mungkin mengakali biar tetap selamat di sini.
Dengan misalnya tidak membayar kos, atau kalau ditagih malah
ngotot, itu sebenarnya kan siasat juga dari mereka. Yang
merasa, ya cara mereka berjuang untuk tetap di sini, walaupun
ya tidak ada uangnya juga. Jadi memang itu problematis juga,
misalnya ada persoalan yang sering ditemui sehari-hari,
misalnya mereka mabuk, bikin onar. Ya itu menurut saya keliru,
tapi kekeliruan itu dibumbui dengan sentimen rasial orang-orang
di sini. Dan barangkali orang-orang di sini itu orang-orang
aslinya itu tidak ada kok. Sebaiknya ya dicermati lagi siapa sih
orang asli, jangan-jangan memang tidak ada orang asli. Semua,
misalnya saya juga kan pendatang dari Klaten (tinggal di
Yogya), melihat orang Papua lalu merasa diri jadi pribumi,
jadinya dia orang pendatang. Padahal sama-sama pendatang,
kalau mau diusut lagi. Jadi, itu poin yang menurut saya perlu
dicermati. Walaupun misalnya, menurutku begini, mereka
membuat onar, ya sudah di selesaikan secara, karena mereka
membuat onar. Buatku kritiknya sekarang ada pada penegakan
hukum yang cenderung, di sini menurutku abai sih. Pengabaian
pertama misalnya, mereka tidak pakai helm di jalanan, nah
kenapa polisi tidak menangkap? Buat saya, itu justru
representasi dari apa yang biasanya mereka lakukan kepada
orang-orang ini. Toleransi yang tidak diperlukan kepada mereka.
Dalam tanda kutip ya mereka ingin “cuci tangan”. Penegak
hukum ini tidak bekerja dengan baik, sehingga sentimen itu
kemudian muncul. Misalnya, kalau dia bikin keributan, aku
telpon polisi, diselesaikan, jadi beres semuanya. Polisi
menindak, itu beres. Dan aku menganggap dia kriminal saja,
bukan “orang Papua”. Jadi di sini adalah ketika membuat dia
menjadi kriminal, aku membuat sebuah cap lagi bahwa dia
“orang Papua”. Sehingga kriminalnya malah cenderung hilang,
malah capnya menjadi “orang Papua”. Itu buatku yang perlu
dicermati di situ. Karena kalau yang aku lihat, persoalan-
persoalan ini sering muncul karena itu. Tidak segera ditindak
secara hukum, terus kemudian jadi yang berkembang secara
lingkungan, ya adalah sentimen rasial. Ya padahal kalau dia
mabuk ya mabuk wae, kabeh wong mabuk tapi yang dilihat
adalah karena dia Papuanya.
Peneliti : sejauh yang mas lihat, stereotip pemilik kos di Babarsari
tentang mahasiswa Papua itu bagaimana?
Narasumber : sialnya ya, di banyak daerah itu malah ada penjelasan yang
secara eksplisit bilang, itu biasanya di rapat-rapat formal RT,
untuk tidak menerima orang-orang dari Papua di wilayahnya.

113
Dan itu diicarakan dalam rapat-rapat formal. Saya pikir itu jauh,
ternyata ya kenyataannya begitu. Bisa jadi ya itu karena
memang sebetulnya ada keresahan dari orang Yogya sendiri
ketika tidak bisa membuat dialog yang baik dengan mereka.
Misalnya kalau kita tidak resah, aku berani menerima orang
Papua. Kenapa? Ya karena aku ketika dia nanti membuat onar
aku bisa menyelesaikan dengan cara yang aku bisa lakukan. Nah
di sini, tidak terjadi, sehingga mereka punya ketakutan.
Akhirnya aku menjaga diri, akhirnya aku memberi batas,
akhirnya mengasingkan mereka. “Ya sudah mereka diletakkan
aja di tempat-tempat yang entahlah di mana, jangan di
wilayahku”, begitu. Jadi ya stereotip itu ada walaupun malu-
malu ya, tetapi sangat kental. Biasanya dengan ditulis
“menerima kos muslim”.
Peneliti : mas sendiri mengetahu tidak kasus-kasus yag melibatkan
mahasiswa Papua di Babarsari?
Narasumber : tau, taunya begini ya, itu secara personal membuat saya
semakin dilematis, saya peneliti, saya dari antropologi, setidak-
tidaknya saya mencoba untuk memahami mereka dengan cara
saya sendiri. Tapi saya punya persoalan lain, saya orang
Babarsari, orangtua saya tinggal di situ, saya punya keresahan
karena wilayah itu sering terjadi kerusuhan, jadi problematis,
satu sisi kan sebenernya banyak hal yang orang Papua lakukan
itu ya sangat tidak perlu, tapi di satu sisi mengapa mereka
melakukan itu? Itu yang perlu dicaritahu, dan tidak pernah ada
upaya ke sana. Jangan-jangan memang mereka merasa butuh
menunjukkan itu karena sebelumnya mereka merasa diinjak-
injak. Pawai yang terjadi di Babarsari itu buat apa coba? Itu
mereka jalan bawa-bawa tombak dan segala macam, mereka
sedang ingin mempertunjukkan kekuasaan mereka sebetulnya.
Di satu sisi mereka bisa melakukan ini. Tapi kenapa harus
ditunjukkan? Mereka sedang menunjukkan kepada siapa?
Kepada orang-orang yang selama ini mengganggu mereka
justru, misalnya orang-orang Ambon. Orang-orang Ambon itu
tidak kalah rusuhnya, dalam artian sering mengganggu orang-
orang Papua ini. Justru ini menarik ya, sehingga sebetulnya, jika
saya melihat, orang-orang Papua ini merasa sayang tertekan.
Terus pengen meluapkan exercising power dengan cara “aku
bisa sebenarnya survive, aku bukan orang lemah”. Yang sialnya
itu juga diberi ruang oleh polisi dan orang-orang Yogya. Ya
kalau menurutku ya itu juga konyol juga. Dan proyek
multikultulaisme di Yogya ini masih panjang, banyak PR-nya.
Peneliti : seberapa besar sih pengaruh kasus-kasus tersebut terhadap
stereotip pemilik kos di Babarsari?

114
Narasumber : sangat besar, sekarang kita tanpa tau konteks apapun
disebarkan melalui Whatsapp, disebarkan melalui media sosial
yang saya tau adalah mereka ya bikin onar, dan mereka pun juga
dengan caranya menunjukkan identitas kultural mereka
sebetulnya. Dalam artian mereka menunjukkan identitas-
identitas kultural yang mereka miliki untuk ditunjukkan ke
publik. Mereka dengan konvoi itu dan sebetulnya mereka ingin
biar ditakuti, biar tidak diganggu juga sebetulnya. Itu ya karena
proyek multikultural yang gagal toh sebenernya, mereka harus
melakukan itu. Jadi nek menurut saya, stereotip itu muncul
karena kita tidak bisa menangani persoalan-persoalan yang
sebenarnya bisa ditangani dengan cara yang efisien. Selama
hukum bisa berjalan dengan baik, saya merasa tidak akan terjadi
seperti itu. Tetapi terus kita merasa itu lemah lah sehingga
stereotipnya jadi macem-macemlah, ke mana-mana.
Peneliti : dari banyaknya kasus di Babarsari, menurut mas kasus mana
sih yang paling mempengaruhi, dalam artian membuat pemilik
kos di Babarsari jadi tidak menerima mahasiswa pendatang dari
Papua?
Narasumber : kasus yang paling ku inget itu ya yang kemarin itu, ketika
mereka “jalan sore”, membawa tombak, macem-macem di jalan
sekitar Babarsari, Citrouli itu. Yang kasus mereka sama orang
Ambon di cafe itu. Itu yang terngiang juga karena kan aku
melihatnya pakai handphone, ya jadi persoalan.
Peneliti : jadi dari data yang saya dapatkan, saya melihat bahwa saluran
sosial yang paling berpengaruh terhadap pembentukan stereotip
pemilik kos wilayah Babarsari terhadap mahasiswa pendatang
dari Papua itu adalah lingkungan, dalam artian ya desas-desus
dari masyarakat. Menurut mas saluran sosial mana yang paling
berpengaruh terhadap terbentuknya stereotip pemilik kos di
Babarsari?
Narasumber : kalau menurutku, ada satu titik di mana informasi itu sekarang
meluas melalui media sosial. Teknologi informasi ini yang
membuat ada persoalan-persoalan yang sebenarnya jauh dari
saya tetapi jadi sangat relevan seolah-olah ada di depan mata.
Nah itu yang buatku jadi mendorong kekhawatiran berlebihan
jadi, entah menurutmu ini termasuk saluran sosial juga atau
bukan, tapi menurutku ada kecenderungan informasi yang
disebarkan melalui teknologi informasi ini membuat kepanikan
berlebihan sehingga stereotip ini semakin kuat, jadi betapa
kuatnya internet misalnya, kalau dulu saya cuma diceritain
misalnya “eh itu habis ada tawuran” “di mana?” “di sana, di
Babarsari” “oh iyaiya”, hanya begitu. Kalau sekarang,
gambarnya ada, suaranya ada, teriakannya ada, bahkan kalau

115
sudah ada kekerasan ya darahnya ada, muncul semua. Betapa itu
sangat berkesan ketika saya bisa melihat langsung di handphone
saya. Dan itu kan eskalasi yang sangat besar. Apalagi sudah
berbicara mengenai kekerasan, “wah mahasiswa Papua ini ngeri
sekali”. Padahal mungkin dicek lagi angka kekerasan di
statistiknya malah sedikit, anak-anak SMP mungkin lebih gila
lagi kalau tawuran, tapi itu mungkin tidak terekam atau luput
dari pemberitaan sehingga rasanya biasa saja. Atau jangan-
jangan ini juga mengeskalasi, mengeskalasi stereotip yang
semula hanya desas-desus sekarang sudah ada wujud realnya,
visual, suara, disebarkan ke manapun bisa. Bahkan mungkin
dikomenin ya. Dan itu menurutku gila juga, dilempar di
facebook terus aku mungkin awalnya bisa berpikir jernih pada
visual audio yang ada di internet ini. Tapi kemudian komentar-
komentar lainnya membakarku kan, “wah ini gila ini”. Jadi
ketika dulu aku diceritakan temanku, di Babarsari ada tawuran
dan sebagainya, dari yang dia lihat lagsung, cerita ke aku.
Seberlebihan-berlebihannya temanku yaa aku paling “ohh
iyaiya”. Tapi sekarang yang lebai banyak banget di internet,
yang komen juga saling bertubrukan. Ada gambarnya,
visualnya, semua-semuanya tumbuk di situ. Jadi mungkin itu
yang mengeskalasi.
Peneliti : lalu kalau menurut mas, apakah desas-desus dan pengaruh
lingkungan itu menjadi faktor yang cukup kuat juga dalam
terbentuknya stereotip?
Narasumber : sangat kuat. Indonesia itu banyak sekali kekerasan yang
dimulai dari desas-desus. Sejauh saya ingat ya dari kekerasan
1965, PKI. Dibantai semua itu, dibantai karena apa? Desas-
desus. “kayanya dia itu PKI, men” “oh iya?” “iya kemarin dia
rapat, rapat kesenian-kesenian gitu deh” “loh di mana?” “itu di
deket markasnya PKI” padahal dia ini lembaga kebudayaan
rakyat misalnya. Yang afiliasinya berbeda dengan PKI, tetapi
karena omonganku ini, desas-desus yang tidak ada
juntrungannya ini, orang-orang ini dibunuh, misalnya. Lanjut
lagi, 2000. Kalian ingat kasus Banyuwangi? Yang kasus ada
dukun-dukun santet dibunuh? Siapa ada yang bisa menunjukkan
dengan presisi kalau aku ini dukun santet? Bahkan dulu orang
menyebut dia dukun santet atau bukan ya karena ketidaksukaan
pada orang ini. Jadi desas-desus itu menjadi kekerasan besar.
Kalian dari Kalimantan, Kalimantan dengan Madura kemarin,
desas-desus bukan? Ya desas-desus. Persoalannya apa itu?
Pangat kecil, tapi ya bermula dari desas-desus yang sangat
besar. Seingat saya di Kalimantan itu, tapi kayanya yang parah
itu di Kalimantan Tengah. Ada beberapa tempat itu yang disebut
ini “kampung Jawa”, bahkan bukan kampung, kabupaten. Itu

116
konotasinya baik atau buruk menurutmu? Sangat buruk, karena
itu pluralistik. Kita tingga bersama tetapi dipisah-pisahkan oleh
diri kia sendiri. Akhirnya malah tidak pernah ngobrol. Padahal
kalau kita ngobrol gini sambil minum kopi, orang Kalimantan
juga ya tidak seram-seram amat. Ini karena ada komunikasi
yang jalan, itu yang harusnya terjadi di dalam proyek
multikulturalisme ini. Yang karena menurutku ini macet karena
kita cenderung malah memisah-misahkan. Secara rasial. Bahaya
sebenarnya. Kita punya contoh kasus panjang juga, misalnya
Pecinan. Kenapa di sebut pecinan ya karena banyak orang Cina
tinggal di sana. Kenapa banyak orang Cina tinggal di situ?
Karena banyak orang Cina sulit mendapatkan tempat tinggal di
luar Pecinan. Kenapa? Karena terus-menerus diasingkan aja
dengan orang-orang yang dianggap pribumi, ya terus macet,
obrolannya tidak jalan. Itu butuh, butuh kalian mungkin yang
bisa ngobrol dengan orang banyak secara lebih santai.

117

Anda mungkin juga menyukai