PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini melihat lebih dalam stereotip yang ada pada beberapa
mahasiswa Papua, juga saluran sosial apa yang berperan dalam pembentukan
terutama mengenai suku, ras dan budaya. Selain itu melihat bagaimana
peneliti merasa penelitian ini penting untuk diteliti. Pedukuhan Kledokan dan
Tambakbayan dipilih karena terdapat tujuh perguruan tinggi yang ada di sana,
1
sekitar Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan. Dengan demikian cukup
mereka melanjutkan studi. Peneliti merasa kedua pedukuhan ini tepat untuk
diteliti.
predikat sebagai kota pelajar. Setiap tahun ribuan mahasiswa dari berbagai
peran Yogyakarta sebagai salah satu pusat kemerdekaan. Pada saat itu
tahun, Yogyakarta menjadi ibu kota negara. “Saat ibu kota dikembalikan ke
rata-rata pelajar putus sekolah lantas berkuliah di sana. Maka pada masa itu,
2
Mereka diterima dengan tangan terbuka oleh warga Yogya” Kusumadewi
(2016)
suku, ras, budaya dan latar belakang yang berbeda dengan warga Yogyakarta.
lainnya, mulai dari respons positif hingga negatif. Tidak terkecuali kepada
mahasiswa pendatang dari Papua yang memiliki sikap yang berbeda dengan
warga Yogyakarta.
tahun 1970an, berbeda dengan sebagian besar mahasiswa daerah lain yang
datang pada 1940 atau 1950an. Puncak gelombang mahasiswa pendatang dari
3
Papua ke Yogyakarta terjadi pada tahun 1990an, hal ini merupakan bagian
diperlakukan baik. Pasalnya mereka diberikan hak istimewa, selain itu banyak
dalam Forum Solidaritas Yogya Damai, salah satu narasumber yang dikutip
paling banyak asal Nusa Tenggara Timur dan Papua. Namun, perubahan yang
cukup besar terjadi setelah kasus cebongan pada tahun 2013. “Kasus
4
intoleran. Mereka dikumpulkan untuk ‘mengamankan’ Yogya dari Papua
(Kusumadewi, 2016).
mahasiswa Papua. Pada tahun 2014, mahasiswa Papua terlibat adu pukul
diri. Mereka terus maju. Kedua kelompok massa ini saling berhadap-hadapan
Bukan hanya itu pada tahun 2016 terdapat beberapa kasus yang
gabungan Brimob mengelilingi bagian depan, sisi kiri dan kanan asrama
membawa senjata lengkap” (Florene, 2016). Dalam kasus ini terlihat bahwa
perlakuan diskriminasi sudah terlihat, padahal dalam hal ini mahasiswa Papua
5
Pada tahun yang sama, di bulan Mei 2016, aksi solidaritas mahasiswa
Papua kembali dikepung aparat. Kali ini, terdapat setidaknya 5 truk dalmas
dan 2 mobil patroli milik polisi berjaga di depan asrama Papua di jalan
Kusumanegara. “Anehnya, pada saat itu tidak ada aktivitas yang melibatkan
Papua. Para mahasiswa menjadi panik. Namun, militer bergeming, tetap saja
mereka berjaga hingga pukul 23.00” (Florene, 2016). Ketika anggota asrama
Pada bulan Juli 2016, asrama Papua kembali mendapat kepungan dari
Papua yang menamai diri Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat
(PRPPB) membuat rangkaian acara pada tanggal 13-16 Juli 2016” (Lubabah,
dalam asrama. Akses jalan yang akan digunakan pun diblokir dan pintu
Pada bulan yang sama, pada Juli 2016, kasus lain terjadi. Pada saat itu
6
warga Papua yang tidak ingin kendaraannya diamankan petugas, karena
mereka tidak memberikan surat identitas. Berawal dari petugas yang sedang
salah satu pemilik sepeda motor berusaha merebut kembali. Hal ini
hingga terjadi aksi kejar-kejaran. Bahkan salah satu pemuda sempat meraih
batu dan hendak dilemparkan ke arah petugas” (Ari, 2016). Tiga pemuda
tempat tinggal. Aris (dalam Rasya, Rainhard dan Sandy, 2017: 8) menyatakan
“Setiap tahun ajaran baru bisa dipastikan selalu ada merantau baru dari
7
yang tercatat ada 7.000 orang” (Ulya, 2016). Sebagian besar dari mereka
beralasan telah penuh atau sudah ada yang memesan. Befan, salah satu
mendapatkan tempat tinggal, selalu ditolak karena tahu bahwa ia berasal dari
Papua. Selain itu, pada artikel yang sama disebutkan bahwa selain Befan,
hampir semua mahasiswa pendatang dari Papua pernah mengalami hal yang
bahwa kamar indekos telah penuh atau sudah tidak menerima indekos lagi.
salah satu narasumber yang dikutip Rasya, Rainhard dan Sandy (2017)
diskriminatif terhadap mahasiswa dari Papua. “Susah bayar, suka bikin gaduh
suasana kos apalagi kalau pas mabuk” (Nugroho. dalam Ulya, 2016).
mahasiswa Papua kurang tertib dalam hal pembayaran. Selain itu sering
8
membuat gaduh suasana indekos, terlebih ketika sedang mabuk. Sebagai
pendatang dari Papua. Hal ini dikarenakan mahasiswa pendatang dari Papua
ini mungkin saja tidak sesuai dengan tradisi yang selama ini dipegang dan
Hal ini membuat peneliti merasa penelitian ini penting untuk diteliti.
sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya terhadap
9
sebagian besar pemilik indekos yang tidak menerima mereka di indekos milik
mereka. Selain itu peneliti ingin melihat saluran sosial apa yang berpengaruh
agama, kelompok agama dan praktik keagamaan, media massa dan perasaan
takut. Dari keem[at saluran sosial ini, peneliti ingin melihat saluran sosial apa
perguruan tinggi yang ada di sana mengakibatkan orang dari luar Yogyakarta
Papua. Namun, meski indekos ini ada dengan tujuan untuk mendapatkan
mahasiswa Papua, seperti Bapak B, Ibu M dan Ibu R. Penulis memilih subyek
Papua.
merupakan hal yang sangat disayangkan dan sering terjadi. Hal ini sejalan
10
wanita tidak keberatan apabila dirinya memiliki ketergantungan yang tinggi
dengan orang lain. Oktami (2015) mendapatkan fakta bahwa tingkat stereotip
gender pada mahasiswi Sanata Dharma terbukti rendah. Pada aspek Cinderela
Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan Bugis Makassar”. Artikel ini
stereotip dan prasangka dalam konflik etnis Tionghoa dan Bugis Makassar. Ia
tersebut masih kurang. Dalam konflik ini stereotip yang lama terbangun di
11
Stereotip yang ada di wilayah Babarsari juga dapat terlihat melalui
mengulas orang Papua, juga dari berita konfilik yang terjadi di kampung, dan
topik yang mirip dengan penelitian Pratiwi, namun memiliki perbedaan dari
sisi ekonomu yaitu indekos, penyewaan motor dan rumah makan. Sementara
12
‘Wong Timur’ sementara penelitian ini melihat stereotip juga saluran sosial
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua telah ada. Namun, peneliti ingin
melihat apakah stereotip yang serupa ada pada pemilik indekos di Pedukuhan
Kledokan dan Tambakbayan. Selain itu, peneliti ingin melihat saluran sosial
Papua.
B. Rumusan Masalah
Papua?
C. Tujuan Penelitian
13
D. Manfaat Penelitian
Secara Akademis
Secara Praktis
E. Kerangka Teori
1. Komunikasi Antarbudaya
kebudayaan yang berbeda. Samovar dan Porter (dalam Liliweri, 2002: 12)
orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras
dan kelas sosial. Dalam hal ini, komunikasi antarbudaya membahas mengenai
1. Keunikan individu
Porter dan McDaniel, 2010: 49) tidak pernah ada, sejak dunia diciptakan,
14
dua masalah yang sama. Hal ini dikarenakan tingkah laku dibentuk dari
banyak sumber dan budaya merupakan salah satu dari budaya tersebut.
Dalam hal ini, satu kalimat sederhana, dapat menjadi berbeda arti
jenis kelamin, umur dan sebagainya. “Salah satu alasannya adalah alasan
jenis kelamin, umur, sejarah pribadi dan keluarga, partai politik, tingkat
pendidikan, cara pandang terhadap orang lain dan keadaan saat ini,
dan banyak faktor lainnya berperan dalam setiap momen hidup Anda”
Sehingga makna suatu hal bisa jadi berbeda setiap orangnya, meski
15
individu, sebagian dari genetika dan sebagian dari proses belajar. Karena
2. Stereotip
dibuat sepihak dan tidak benar adanya. Peoples dan Bailey dalam
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa stereotip yang ada di masyarakat
yang kita lakukan dalam mnejelaskan budaya, kita berhadapan dengan isu
16
stereotip” (Scarborough dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50).
Dengan kata lain, ketika kita menyamaratakan sikap atau sifat seseorang
(2010: 51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat
sebagai tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini kita harus
sealalu mengingat bahwa banyak hal yang mempengaruhi sikap atau sifat
inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang
beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau
budaya.
17
memungkinkan orang-orang untuk berbicara mengenai kelompok lain
3. Objektivitas
pribadi. Hal ini menekankan kepada kita bahwa sulit untuk berkomunikasi
ketika hal ini dilihat dari kontek komunikasi antar budaya. pasalnya
terkadang kita melihat dari pandangan budaya kita sendiri, dan tidak
jarang menganggap bahwa budaya kita yang paling benar. Hal ini disebut
bahwa kebudayaan seseorang lebih baik dari yang lain. Dengan kata lain,
hal ini berari melihat seluruh dunia ini melalui kacamata budayanya
yang lain sama atau tidak sama dari budayanya sendiri sebagai cara untuk
budaya mereka sebagai yang normal, bermoral, dan diinginkan dan elemen
18
Hal ini menunjukkan bahwa mencoba untuk objektif bukanlah hal
yang mudah untuk dilakukan. Misalnya, sulit untuk dapat mengartikan hal
solusi yang tepat untuk masalah pada individu atau masyarakat, namun
semua hal. Banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya melalui
2. Stereotip
19
dikategorikan. Menurut Lasorsa (dalam Priandono, 2016: 200) sebuah
(2010: 50) stereotip merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang
Peoples dan Bailey (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 50)
rasial dari masyarakat yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa stereotip yang
20
yang kita lakukan dalam menjelaskan budaya, kita berhadapan dengan isu
Dengan kata lain, ketika kita menyamaratakan sikap atau sifat seseorang
dapat ditolak atau dikucilkan hanya karena kesalahan yang tidak ia perbuat.
Namun, dapat berpengaruh baik ketika sejarah suatu kelompok tersebut baik
atau positif.
bersifat buruk atau berbahaya, dalam sebuah dunia yang bersifat kompleks,
seperti apa dan bagaimana reaksi kita kepada orang lain. Sehingga dapat
21
1) Stereotip berisi kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan
hubungan kelompok.
dari rumor dan desas-desus dibandingkan kesimpulan dari fakta yang terbukti
secara ilmiah, dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan
rendah di sisi lain: baik kompeten tapi tidak baik, atau sangat tidak kompeten
tapi bagus.
bahwa stereotip sangat ditentukan oleh dua aspek konteks sosial yaitu
quo sosial. Secara khusus, individu atau kelompok yang hasil dikuasai oleh
kelompok lain atau menjadi kelompok yang berada dalam posisi rendah
22
dalam struktur sosial, rentan direndahkan melalui stereotip mereka yang
anak-anak mereka.
23
mengajarkan kebaikan dari sudut pandatng tertentu, juga mungkin
4. Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam
171) stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari
suatu kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa
24
dalam kelompok tertentu. Di manapaun karakter grup yang kita
51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat sebagai
tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini kita harus selalu mengingat
bahwa banyak hal yang mempengaruhi sikap atau sifat seseorang, sehingga
inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang
beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau
budaya.
Coles (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52) menyarankan frasa
menghaluskan makna dari generalisasi yang ada. Hal ini menjadikan orang-
25
menunjukkan bahwa anggota dari budaya tertentu memiliki sikap atau sifat
yang sama.
F. Metodologi Penelitian
a. Jenis Penelitian
diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya dan bertujuan
dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.
b. Metode Penelitian
fakta-fakta yang ada atau fenomena yang ada secara empiris hidup pada
perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret, paparan apa
adanya.
26
c. Subjek Penelitian
penelitian dalam penelitian ini adalah tiga orang pemilik indekos yang tidak
indekos tersebut peneliti tulis dengan inisial nama mereka, karena merupakan
permintaan dari narasumber. Ketiga pemilik indekos ini tidak bersedia namanya
dicantumkan dalam penelitian ini karena mamiliki ketakutan jika pendapat yang
mereka timbulkan akan menjadi masalah atau menyinggung isu yang sensitif.
Selain pemilik indekos terdapat pula dua kepala pedukuhan dan seorang peneliti
1. Ibu R (79 tahun). Ibu R adalah salah satu pemilik indekos di daerah
2. Ibu M (68 tahun). Ibu M merupakan salah satu pemilik indekos di daerah
27
3. Bapak B (61 tahun). Ia adalah salah satu pemilik indekos di daerah
bersedia menerima, namun kini tidak lagi. Penelii ingin melihat lebih
mereka.
bidang antropologi.
d. Objek Penelitian
apa yang akan diselidiki selama kegiatan penelitian. Objek penelitian dari
28
e. Teknik Pengumpulan Data
memperoleh data yang dibutuhkan. Selain itu untuk memperkuat data yang
f. Jenis Data
1. Data Primer
langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang
penelitian ini adalah data hasil wawancara yang didapatkan dari pemilik
29
1. Bapak B pada tanggal 14 Mei 2018 pukul 16.00 di indekos
miliknya.
miliknya.
miliknya.
Teknik analisis data dibagi menjadi tiga, yaitu reduksi, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data bisa berupa memeriksa kembali data yang
diperoleh. Menurut Muharto dan Ambarita (2012: 92) reduksi data digunakan
30
mengarahkan, serta membuang data yang tidak perlu serta mengemukakan
kembali data yang didapatkan, hal ini dilakukan dengan mendengarkan kembali
kembali data apa saja yang peneliti dapatkan, kemudian menyusun data-data
yang diperoleh dari lapangan. Data ini disusun berdasarkan kebutuhan dan
Ambarita (2012: 92). Dalam penyajian data, peneliti menyusun hasil wawancara
terakhir dalam analisis data. Menurut Muharto dan Ambarita (2012: 92)
31
diperoleh dari lapangan dan yang telah dianalisis untuk mendapatkan jawaban
32
BAB II
penelitian. Dalam hal ini subyek yang peneliti pilih adalah pemilik indekos.
Sedangkan objek penelitian yang akan diteliti adalah stereotip pemilik indekos di
A. Subyek penelitian
Penelitian ini memilih tiga pemilik indekos yang tidak menerima mahasiswa
Papua di indekos miliknya sebagai subyek penelitian. Hal ini dikarenakan peneliti
ingin melihat bagaimana stereotip pemilik indekos dan apa yang mempengaruhi
tersebut ialah:
1. Ibu R
cukup banyak pendatang dari daerah Timur Indonesia, namun ia tidak menerima
tinggal bersama suami, anak perempuan dan seorang cucu. Ia merupakan seorang
33
seorang penganut agama Kristen yang cukup aktif di gereja. Ia membuka indekos
sejak ia berusia 26 tahun. 53 tahun menjadi pemilik indekos bukanlah waktu yang
menghadapi pendatang dari luar Jogja. selain itu, ia juga telah cukup lama tinggal
di wilayah Babarsari, yaitu sejak ia belum menjadi pemilik indekos. Tidak hanya
2. Ibu M
menerima mahasiswa laki-laki di indekos miliknya. Bila dilihat lagi, ibu M yang
indekos miliknya
merupakan seorang penganut agama Katolik, namun karena usianya yang tidak
muda lagi ia tak lagi aktif di gereja. Hanya saja ia masih mengikuti kegiatan
lingkungan sekitar rumahnya. Meski begitu, anak dan cucunya cukup aktif di
membuka usaha indekos, ibu M juga membuka usaha rumah makan. Meski
begitu, ia tetap menerima mahasiswa pendatang dari Papua yang ingin makan di
rumah makannya.
34
3. Bapak B
Bapak B lahir di Klaten pada tahun 1957, saat ini ia berusia 61 tahun. Ia
bersuku Jawa. Ia merupakan seorang penganut agama Katolik yang aktif di gereja.
Bukan hanya pak B saja, istri dan kedua anaknya pun sangat aktif di gereja dan
Klaten bersama istri dan kedua anaknya, namun ia memutuskan untuk pindah ke
4. Supriyono
5. Widodo D. M
Papua cukup baik. Selain itu, ia seringkali melakukan sosialisasi kepada warga
35
dan mahasiswa pendatang dari Papua agar pedukuhannya terhindar dari
asrama Papua yang kini menjadi kepala suku di Papua. Sehingga ia lebih mudah
6. Franciscus Apriwan
B. Obyek Penelitian
sebagai kota pelajar. Selain itu, cukup banyak predikat-predikat lain yang
memiliki banyak predikat atau slogan bersifat positif, namun masih banyak
36
Pembangunan Nasional “Veteran”, Universitas Proklamasi ’45, Universitas Atma
API. Hal ini membuat cukup banyak pendatang yang memilih untuk tinggal di
dekat dengan kampus mereka, tidak terkecuali mahasiswa pendatang dari Papua.
Meski begitu, masih terdapat penolakan terhadap mahasiswa pedatang dari Papua
dari Papua terhadap tempat tinggal sama dengan mahasiswa pendatang lainnya.
Kledokan terlihat cukup aman dan kondusif. Tidak ada kasus atau masalah yang
perbedaan dalam cara menangani permasalahan dari kedua pedukuhan ini. Kepala
37
Untuk menanggulangi permasalahan yang ada, kepala pedukuhan Tambakbayan
banyak masyarakat yang salah paham dengan mahasiswa pendatang dari Papua.
Mereka adalah orang yang baik setelah dikenal lebih dekat. Kepala Pedukuhan
pendatang dari Papua. Ia juga masih berkomunikasi dengan mantan ketua asrama
Papua di Tambakbayan yang pada tahun 2018 menjabat sebagai kepala suku di
Papua. Sehingga ketika terdapat masalah, kepala suku tersebut yang langsung
mengatasinya.
terlihat bahwa meski mereka menyatakan bahwa pedukuhan mereka aman dan
aman dan kondusif, berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa
pemilik kos yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Seperti yang
perumahannya sempat terjadi kasus yang melibatkan mahasiswa Papua. Pada saat
itu di dekat indekos milik Bapak B ada sebuah indekos perempuan yang berisi
38
mahasiswa pendatang dari Papua. Indekos ini cukup membuat warga sekitar tidak
Papua tersebut seringkali ribut dan tidak menghargai warga sekitarnya. Hal ini
cukup membuat ketua Rukun Tetangga (RT) di sana kesulitan, karena sudah
ingin meminta mereka untuk keluar dari indekos itu namun tidak bisa karena
penghuni indekosnya tidak tinggal di tempat yang sama, sehingga ketua RT dan
warga sekitar cukup kesulitan untuk menghadapi permasalahan tersebut. Hal ini
dapat dikatakan menjadi salah satu pertimbangan Bapak B dalam tidak menerima
yang hanya melihat dari luar, Ibu M mengalami permasalahan tersebut sendiri.
Ibu M, selain memiliki indekos juga membuka warung makan, kejadian tersebut
terjadi di warung makan milik Ibu M. Ada salah seorang mahasiswa pendatang
dari Papua yang sedang makan di warung makan miliknya, namun ketika ia pergi
Ibu M bermaksud untuk menagih karena anak tersebut belum membayar. Namun,
sebenarnya cukup kesal karena mendapat perlakuan seperti itu memilih untuk
diam. Ia tidak ingin terjadi keributan atau permasalahan yang melibatkan dirinya
dengan mahsiswa pendatang dari Papua. Tidak hanya itu, rekan sesama pemilik
kos yang Ibu M kenal juga memiliki pengalaman yang cukup tidak mengenakan
39
menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa pendatang dari Papua tidak disiplin,
mengobrol dengan salah satu pemilik indekos yang berada di dekat rumahnya.
Saat itu ibu R bertanya kepada rekannya itu “Apakah rumahmu belum ada yang
menempati?”. Rekan sesama pemilik indekos itu menjawab “Belum, yang ini aja
tidak mau membayar. Disuruh pergi juga sulit. Ya sudah tidak mau membayar,
disuruh pergi juga tidak mau”. Hal seperti ini menunjukkan bahwa kasus
ketidakdisiplinan dalam hal pembayaran juga sering terjadi, dan dalam hal ini
40
BAB III
mahasiswa Papua, juga melihat apa saluran sosial yang berpengaruh terhadap
Pada bagian ini peneliti memaparkan data yang telah diperoleh dari hasil
wawancara peneliti dengan tiga pemilik indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan
dan Tambakbayan, yaitu Ibu R, Ibu M dan Bapak B juga memaparkan hasil
analisis yang peneliti lakukan. Peneliti melihat lebih dalam mengenai bagaimana
mahasiswa Papua, juga melihat apa saluran sosial yang berperan dalam
A. Temuan Data
41
merupakan sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya
berbicara dengan suara yang keras, sehingga mengganggu penghuni yang lain.
pendatang dari Papua memiliki sikap yang cenderung rasis, memiliki harga diri
yang tinggi atau cenderung bergengsi tinggi, bebal, Sumber Daya Manusia (SDM)
“Anak Papua itu kalau menurut saya agak rasis. Dia itu kalau
membaur agak enggan. Itu satu, yang kedua, harga dirinya agak
tinggi, gengsinya tinggi, terus agak bebal. SDM-nya itu tertinggal.
Yang membuat risihnya adalah suka mabuk, suka minum, itu
sepertinya sudah menjadi tradisi di sana (di Papua). Itu yang
mungkin tidak bisa hilang, dibawa terus sampe ke sini, mabuknya
itu... kebanyakan teman-teman yang pernah menerima itu katanya
mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Ribut, temennya
banyak. Dia mungkin baik, tetapi kan temennya yang datang kita
tidak tahu. Kalau bicara juga suaranya kencang, seperti orang
yang sedang bertengkar. Tapi memang mereka orangnya seperti itu.
Lalu kurang disiplin dalam hal pembayaran, suka nunggak. Itu
pengalaman orang-orang di sekitar sini” (Ibu M, wawancara 15 Mei
2018).
42
Ibu R memiliki stereotip yang cukup beragam pula. Menurutnya
kamarnya. Kemudian sikapnya garang, agak sulit diarahkan, tidak tertib dalam hal
pembayaran, agak kasar dan tidak bisa diarahkan. Selain itu juga suka meminum
empat stereotip yang beredar di pemilik indekos. Semua dari stereotip yang
suara keras dan berakibat pada terganggunya orang di sekitarnya. Stereotip ini
43
Stereotip ketiga adalah suka meminum minuman beralkohol. Pendapat
ini dinyatakan oleh Bapak B yang kemudian didukung oleh Ibu M dan Ibu R.
Papua akan rese dan menakutkan. Mereka kemudian akan mengganggu orang
disekitarnya. Hal ini yang kemudian menjadi alasan ketiga pemilik indekos
Stereotip terakhir adalah tidak disiplin dalam hal pembayaran. Hal ini
dinyatakan oleh Ibu M kemudian didukung oleh Ibu R. Dalam stereotip ini,
indekos milik mereka. Namun informasi ini mereka dapatkan dari rekan
milik mereka.
Bila dilihat dari sisi perbedaan budaya, terdapat pernyataan dari salah
44
mahasiswa pendatang dari Papua merupakan anak rantau. Ia cukup merasa
kasihan dan perlu untuk memperlakukan semua anak rantau dengan baik.
“Saya menganggap mereka anak rantau, kasian juga. Jadi saya tetap
menghargai mereka asal mereka tidak mengganggu saya. Saya
sebenarnya juga kasian sama mereka, mungkin sudah hopeless,
mungkin kirimannya kurang atau bagaimana sehingga perilakunya
seperti itu, kita juga kan tidak tahu. Jika mereka baik dengan saya,
saya terima dengan baik. Seperti OMK (Orang Muda Katolik) itu
banyak anak-anak dari Papua, itu saya juga terima dengan baik. Malah
anak Papua ada juga yang langganan beli nasi di sini. Pasti saya
layani dengan baik, (Ibu M, Wawancara 15 Mei 2018).
tidak ada sikap yang menunjukkan bahwa Ibu M melibatkan mereka pada
out-grup.
“Dulu di pojok sana ada indekos perempuan dari Papua. Itu juga
membuat pusing RT, soalnya ramai terus. Lalu ditegur, namun karena
sudah membayar, mau disuruh pergi juga tidak bisa. Jadi, mulai saat
itu dihentikan, tidak menerima mahasiswa Papua lagi. Jadi saya
tidak boleh itu karena informasi dari luar” (Bapak B, Wawancara 14
Mei 2018).
45
masyarakat sekitar perumahan tersebut terganggu dan akhirnya banyak
kita untuk membayangkan seperti apa dan bagaimana reaksi kita kepada
orang lain. Dalam hal ini Ibu R berpendapat bahwa mahasiswa pendatang dari
Papua memiliki sikap yang agak kasar. Hal ini mengakibatkan ia dan para
indekosnya.
“Maaf ya, pendapat saya mereka kasar ya, sifatnya kasar... hanya
saja kami (para pemilik indekos) hati-hati, hanya itu saja. Apalagi
dalam penerimaan penghuni indekos, kenapa? Karena saya harus
menjaga yang lain juga, nanti kalau ada yang satu itu (mahasiswa
pendatang dari Papua), yang lain terganggu. Saya tidak ingin
mengorbankan 13 anak lain karena mereka, tetapi saya berusaha untuk
mengenal mereka di luar rumah” (Ibu R, Wawancara 21 Mei 2018).
ia jaga.
46
Memang kita mengasihi satu sama lain, hanya saja kita tetap harus
berhati-hati, anak-anak yang di indekos ini kan jadi
tanggungjawab saya juga. Mungkin sikapnya di lingkungan beda
dengan di kos.” (Bapak B, wawancara 14 Mei 2018)
stereotip yang ia percaya selama ini, ia tetap harus bersikap baik dengan
“anak Papua itu kalau menurut saya agak rasis. Dia itu kalau
membaur agak enggan. Itu satu, yang kedua, harga dirinya agak
tinggi, gengsinya tinggi, terus agak bebal... Kalau aku pribadi, aku
menganggap mereka anak rantau. Kasian juga, aku tetap menghargai
mereka, asal mereka tidak mengganggu saya. Saya sebenarnya kasian
juga sama mereka” (Ibu M, wawancara 15 Mei 2018).
merasa tetap perlu berbuat baik kepada mereka selama mereka tidak
mengganggu dia.
47
1) Stereotip berisi kepercayaan yang bersifat ganda yang menggambarkan
hubungan kelompok.
“anak Papua itu, maaf, menurut saya mereka sifatnya kasar... saya
juga kenal dengan anak di sebelah sini, sebenarnya baik juga
anaknya. Jika ada sisi-sisi yang kurang baik itu wajar kan? Tidak ada
manusia yang sama persis dengan keinginan kita” (Ibu R, Wawancara
21 Mei 2018).
selanjutnya Ibu R terlihat menyatakan bahwa jika dikenali lebih dekat mereka
merupakan anak yang baik dan sikap kurang baik merupakan suatu hal yang
negatif dan perilaku ekstrem dari individu (Operario & Fiske, dalam
48
yang beredar, namun tidak terdapat perilaku ekstrem dari individu terhadap
mahasiswa Papua.
(Operario & Fiske, dalam Priandono, 2016: 201). Ibu R menyatakan “saya
sangat menyadari kalau Papua itu bagian dari negara kita juga kan. Saya juga
adalah saudaranya.
dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan seseorang sendiri
49
Ibu M belum pernah menerima mahasiswa Papua di indekos miliknya.
cenderung dipandang tinggi pada satu domain tetapi rendah di sisi lain. Baik
kompeten tetapi tidak baik atau sangat tidak kompeten tetapi bagus,
“Selain itu saya juga kan bekerjasama dengan kepala suku mereka
di Papua sana. Jadi, kalau ada masalah kepala sukunya yang
mengatasi langsung. Saya tidak perlu turun tangan lagi untuk
mengatasi mereka yang bermasalah. Asramanya di belakang itu, jadi
kepala sukunya yang sekarang itu pernah menjadi ketua asrama Papua
di belakang itu. Saya masih menjalin komunikasi dengannya, jadi
enak, kalau ada masalah langsung dikomunikasikan kepada kepala
sukunya. Jadi mereka teratur dengan baik juga” (Kepala pedukuhan
Tambakbayan, Widodo, wawancara 23 Juli 2018).
aspek konteks sosial yaitu dinamika kekuasaan dan hierarki kelompok, dan
kelompok yang dikuasai oleh kelompok lain atau menjadi kelompok yang
50
berada di posisi rendah dalam struktur sosial rentan direndahkan melalui
(Brewer & Hewstone dalam priandono, 2016: 202). Dalam wawancara Ibu M
di sekitar mahasiswa pendatang dari Papua juga bersikap tidak baik, pasalnya
mereka.
51
2. Agama, kelompok agama, dan praktik keagamaan, dalam hal ini
4. Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam
stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari suatu
kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa berasal dari
karakter grup yang kita fokuskan (ras, gender, atau orientasi seksual).
52
Saluran sosial yang pertama adalah keluarga. Menurut Samovar
pendatang dari Papua agak sulit dibimbing. namun ia merasa hal tersebut
53
Pada kutipan di atas, Bapak B menyatakan bahwa ia mendapatkan
massa, melainkan dari media sosial. Selain itu, jika diberitakan di media
massa, maka hal tersebut akan berdampak sangat luas. Sehingga sudah
Saluran sosial yang ketiga adalah agama, kelompok agama dan praktik
saling mengasihi, tidak memandang suku, budaya maupun warna kulit. Hal
Nakayama (2008: 53) menyatakan jika kita memiliki interaksi yang tidak
54
Saya tagih-tagih katanya dia sudah membayar yaudah hanya saya
diamkan saja. Daripada ribut nantinya. Pernah kecolongan sekali,
rese. Apalagi mahasiswa baru yang baru dari Papua itu, mungkin
kan belum menyesuaikan dirinya dengan budaya sini” Ibu M,
wawancara 15 Mei 2018).
B. Analisis Data
kebudayaannya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas sosial.
asalnya. Hal ini muncul dari perbedaan budaya. Bagaimana salah satu
55
kelompok merasa tradisi atau kebudayaan dari kelompok lain tidak sama atau
tidak sesuai dengan yang selama ini ia yakini, kemudian merasa hal itu
pengalaman yang ia lihat sendiri. Hal ini kemudian menjadi salah satu
memiliki harga diri yang tinggi atau cenderung bergengsi tinggi, bebal,
seringkali berbicara dengan suara nyaring, dan tidak tertib dalam hal
yang ia alami dan lihat sendiri, juga berdasarkan informasi yang ia dapatkan
dalam hal pembayaran, agak kasar dan tidak bisa diarahkan. Selain itu juga
56
suka meminum minuman beralkohol, yang kemudian ketika mabuk akan
beralkohol dan tidak disiplin dalam hal pembayaran. Bila dilihat kembali,
stereotip yang dimiliki oleh para pemilik indekos tersebut tidak semua berasal
dari pengalaman pribadi milik mereka. Namun juga berasal dari informasi
bahwa berbeda dari tradisi yang mereka yakini maka akan terlihat buruk atau
aneh.
cenderung menghindari konflik dan lain-lain. Hal ini agak berbeda dengan
sikap dan sifat mahasiswa pendatang dari Papua yang seringkali berbicara
57
dengan suara nyaring, dianggap garang, memiliki tradisi meminum minuman
beralkohol dan lainnya. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab para
mereka bisa saja menyangka mereka sedang bekelahi. Namun, bisa saja
begitu besar. Dari contoh di atas, dapat dikatakan adanya kurang dialog antara
namun bisa jadi tidak ada bahasan mengenai sikap dan kebiasaan kedua suku
Tahun 2016 ada sebuah penelitian dengan objek sama yang diteliti
ciri-ciri fisiknya hitam serta berambut keriting, sifatnya cenderung kasar dan
pemabuk. Dari keempat stereotip yang peneliti dapatkan, hanya satu yang
58
Hal ini merupakan hal yang mungkin agak sulit untuk dilepaskan oleh
onar. Hal ini perlu disoroti, bagaimana seharusnya ada dialog mengenai hal
ini. Para pemilik indekos harus menerima karena hal ini merupakan tradisi
dan mahasiswa Papua juga harus membatasi agar tidak minum hingga mabuk,
sejumlah asumsi salah yang dibuat oleh orang di semua budaya terhadap
Mei 2018) menyebutkan bahwa menurutnya anak Papua itu rasis, agak sulit
dalam hal membaur. Selain itu harga dirinya tinggi dan sedikit bebal. Ibu M
finansial mereka terlihat lebih mampu dari anak-anak yang berasal dari Nusa
Tenggara Timur (NTT). Namun hal yang paling membuatnya risih adalah
59
McDaniel benar. Pasalnya hampir semua dari yang dikatakan oleh ibu M
adalah asumsinya yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu, ibu M yang
Yogyakarta atau yang lainnya adalah karena selama ini mereka merasa
diinjak-injak, dalam artian mereka ingin menunjukkan eksistensi atau jati diri
cenderung tidak diterima, dalam hal ini susah untuk mendapatkan tempat
untuk seenaknya. Hal ini dikarenakan selama ini sebagian besar pemilik
60
bagaimana perilaku diskriminatif yang selama ini dilakukan terhadap
banyaknya “kode” yang diberikan oleh mahasiswa Papua, namun tidak ada
berdialog, padahal ketika sudah dikenali lebih mendalam, bisa jadi situasinya
menjaga jarak sebagai bentuk protes atau antisipasi. Salah satunya dengan
mengetahui bahwa calon penyewa berasal dari Papua, meski pada awalnya
indekos merasa perlu menjaga jarak dengan mahasiswa pendatang dari Papua.
perlu menerima pendatang dari Papua di indekos milik meraka. Hal ini
61
dikarenakan para pemilik indekos merasa memiliki tanggungjawab untuk
menjaga penghuni indekos yang lain, sehingga tidak berani dalam mengambil
resiko.
dilihat lebih mendalam, hal ini tidak dapat dikatakan benar. Hal ini terbukti
mereka out-grup.
kasihan, menurutnya mungkin saja mereka sudah tidak ada harapan sehingga
perilakunya seperti itu, ia juga tidak tahu. Sehingga, jika mereka baik
dengannya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Seperti OMK (Orang
Muda Katolik) di gerejanya banyak anak-anak dari Papua, itu juga ia terima
dengan baik. Anak Papua juga ada yang langganan beli nasi di rumah makan
miliknya, dan selalu ia layani dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa
62
meskipun mereka memiliki sikap dan kebiasaan yang berbeda. Hal ini dapat
dilihat dari sikap mereka yang tetap menjalin komunikasi yang baik dengan
pojok perumahan Dirgantara ada indekos perempuan yang berasal dari Papua.
Hal itu juga membuat pusing ketua Rukun Tetangga (RT), pasalnya hampir
setiap saat ribut dengan suara yang cukup besar. Lalu setiap ditegur, kerapkali
dihentikan.
63
anggota kelompok yang kemudian mengakibatkan semua anggota kelompok
perempuan tersebut bisa saja dipengaruhi oleh latar belakang, pendidikan atau
aspek lain yang tidak diketahui. Sehingga pemilik indekos maupun warga
pendatang dari Papua memiliki sifat dan sikap yang sama. Selain itu
perbedaan budaya juga dapat menjadi pertimbangan. Bisa saja para penghuni
indekos tersebut merasa bahwa suara yang mereka keluarkan tidak begitu
nyaring, namun berbeda dengan warga Yogyakarta yang merasa hal itu
(2008: 51) stereotip membantu kita untuk membayangkan seperti apa dan
bagaimana reaksi kita kepada orang lain. Ibu R, (wawancara 21 Mei 2018)
pribadi yang kasar dalam sikapnya, selain itu tidak begitu disiplin terutama
dalam hal pembayaran. Hal ini kemudian menjadikan Ibu R lebih berhati-hati
Apalagi dalam menerima penghuni indekos, hal ini dikarenakan mereka harus
64
ingin mengorbankan 13 penghuni lainnya karena mereka. Namun, ia berusaha
suatu tindakan. Ini merupakan salah satu antisipasi yang dilakukan, yaitu
tinggi, hal ini menjadikan para pemilik indekos lebih berhati-hati dalam
indekos milik mereka, hal itu akan berdampak pada penghuni indekos yang
lain. Hal inilah yang menjadikan pemilik indekos sedikit berhati-hati pada
mabukan, selain itu juga memiliki sikap yang agak kasar. Ibu M menyatakan
bahwa ia tetap harus bersikap baik dengan mereka dan walaupun ia tidak
rantau sehingga ia merasa kasihan juga. Selain itu mungkin saja sikap mereka
65
yang seperti itu dikarenakan kirimannya yang kurang atau sudah bingung
akan tetap bersikap baik dan menerima mereka, juga melayani mereka dengan
baik di rumah makan miliknya. Dalam hal ini, berbeda dengan dua
tetap melihat mahasiswa Papua dari sisi lainnya dan menerima mereka untuk
atau marah ketika ditagih, itu merupakan siasat untuk tetap bertahan hidup
hubungan kelompok.
individu.
66
Dalam prinsip dasar yang pertama disebutkan bahwa “stereotip berisi
kelompok”.
Hal ini terlihat dari pendapat Ibu R (wawancara 21 Mei 2018), awalnya
bahwa ia cukup mengenal salah satu mahasiswa pendatang dari Papua dan
kenyataannya sikapnya baik juga. Menurutnya, jika ada sisi-sisi yang kurang
baik merupakan hal yang wajar, tidak ada manusia yang akan sama persis
masyarakat bisa jadi terkecoh atau justru menjadi ganda karena adanya
lain ganda. Selain itu, kepercayaan yang dipegang oleh pemilik indekos ini
tetap dipercaya atau tidak ada yang ditinggalkan. Hal ini kemudian
67
Kemudian, prinsip dasar yang kedua menyebutkan “stereotip
pendatang dari Papua jika sudah mabuk memang menakutkan, namun ingin
benar namun juga tidak tepat. Pemilik indekos yang ada di Babarsari
Papua cukup menakutkan jika sedang dalam keadaan mabuk. Namun, tidak
mereka, tanpa sadar bahwa sikap mereka yang tidak menerima mahasiswa
68
pendatang dari Papua di indekos milik mereka membuat mahasiswa
pendatang dari Papua merasa bahwa mereka bukan bagian dari masyarakat
atau out-group.
masyarakat tidak menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini
masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip dasar yang ketiga ini
Tambakbayan.
secara ilmiah, dan dari gambaran sederhana dari nilai-nilai dan harapan
dari Papua. Hanya saja, kebanyakan dari rekannya sesama pemilik indekos
mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Selain itu seringkali ribut dan
membawa banyak teman datang ke indekos. Jika bicara suaranya sangat kuat,
69
sikap seperti itu. Hal itu ia dengar dari pengalaman teman-temannya sesama
memang bukan berasal dari kesimpulan dari fakta yang terbukti secara ilmiah.
apa yang terjadi, seperti apa kejadiannya, seseorang dijejalkan informasi yang
cukup modern ini, informasi beredar melalui foto, video dan lain sebagainya.
Hal ini kemudian menjadikan ketakutan yang berlebihan dari orang yang
mendapatkan informasi. Padahal informasi, foto dan video itu juga belum
tentu kebenarannya.
70
masyarakat seringkali disimpulkan menjadi karakteristik dari kelompok
tertentu. Seperti desas desus mengenai mahasiswa pendatang dari Papua yang
suka mabuk-mabukan dan tidak disiplin dalam pembayaran indekos. Hal ini
mahasiswa pendatang dari Papua. Setelah itu menjadi stereotip yang beredar
mayoritas cenderung dipandang tinggi dari satu domain tetapi rendah di sisi
lain. Baik kompeten tapi tidak baik, atau sangat tidak kompeten tapi bagus.
Mahasiswa pendatang dari Papua, dalam hal ini dipandang tidak baik dalam
banyak aspek, namun di sisi lain mereka juga memiliki sikap yang disukai
Juli 2018) menyatakan bahwa ia bekerjasama dengan kepala suku Papua yang
Tambakbayan. Sehingga, jika ada masalah, kepala suku Papua tersebut yang
komunikasi yang baik dengan mantan ketua asrama Papua tersebut, masalah
71
Hal ini membuktikan bahwa teori di atas memiliki kesesuaian dengan
mabukan dan masih banyak lagi, namun mereka memiliki sikap setia kawan
dan kompak. Selain itu mereka juga merupakan pribadi yang penurut kepada
ketua atau kepala suku. Hal ini kemudian menjadi salah satu cara bagi kepala
mahasiswa pendatang dari Papua sebenarnya bila dikenali lebih dekat adalah
quo sosial. Secara khusus, individu atau kelompok yang hasil dikuasai oleh
kelompok lain atau menjadi kelompok yang berada di posisi rendah dalam
langsung bisa menerima dan cenderung emosinya naik, namun dibalik sikap
72
yang seperti itu, bila diperilakukan baik mereka juga akan baik. Hanya saja,
banyak orang yang takut untuk berinteraksi dengan mereka. Terkadang untuk
disamakan. Namun, karena adatnya yang seperti itu, orang menjadi takut.
Pada intinya kalau sudah mengenal mereka juga akan baik. Tetapi orang-
orang di sini menolak karena sikapnya mereka yang seperti itu, tidak mau
kedudukan tinggi dalam hierarki sosial, dalam hal ini kelompok orang-orang
asli atau lokal, misalnya suku Jawa. Namun, pada kenyataannya, pemilik
Pedukuhan Kledokan dan Tambakbayan merasa bahwa apapun suku, ras dan
budayanya, tidak ada yang harus dibeda-bedakan. Meskipun, seperti yang Ibu
M katakan, banyak orang yang sebenarnya secara tidak sadar bersikap rasis.
dari Papua, namun karena takut atau sungkan menjadi tidak ingin
sosial lebih mungkin mendapatkan stereotip dari mereka sendiri”, hal ini
73
anggapan atau stereotip yang beredar di pemilik indekos di Wilayah
mereka.
merupakan contoh acara televisi yang berakar pada konsep stereotip yang
orang yang keras, orang Jawa dipersepsikan orang yang lemah dan halus.
74
juga mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja mengajarkan stereotip
d) Perasaan takut, dalam hal ini perasaan takut memiliki andil dalam
stereotip dapat berkembang dari rasa takut pada seseorang dari suatu
kelompok tertentu yang berbeda dengan dirinya. Hal ini bisa berasal dari
karakter grup yang kita fokuskan (ras, gender, atau orientasi seksual).
75
Dalam saluran sosial yang pertama disebutkan bahwa “orangtua
stereotip kepada anak-anak mereka”. Pada kenyataan yang ada pada ketiga
dari pemlik indekos ini berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Seperti ibu
yang sulit dididik, namun ibu R merasa bahwa hal tersebut merupakan hal
yang wajar. Menurutnya sebagai manusia kita tidak dapat menuntut seseorang
stereotip yang ada. Pemilik indekos yang ada di Pedukuhan Kledokan dan
76
Appiah (dalam Priandono, 2016:203) menyatakan media sangat
hal ini, saluran sosial yang kedua, media massa memang berpengaruh sangat
percaya dengan apa yang media tampilkan, di luar kenyataan hal tersebut
benar atau tidak. Namun, hal tersebut bukan saluran sosial yang
media massa. Informasi yang mereka dapatkan justru dari lingkungan sekitar
atau teman sesama pemilik indekos. Pemberitaan yang ada di media massa
hal yang berbau perpecahan atau permasalahan karena hal tersebut sangat
sensitif dan akan menimbulkan dampak yang sangat luas, sehingga sangat
jarang diberitakan.
Hal ini menunjukkan bahwa teori yang disebutkan oleh Appiah (dalam
77
Priandono (2016: 203) menekankan bahwa semakin interaksi sosial
pengalaman orang lain. Hal tersebut tentu memiliki kesesuaian dengan apa
seseorang berinteraksi dengan budaya lain, maka secara tidak lain orang
tersebut akan mengenal budaya yang selama ini hanya ia ketahui melalui
namun mereka masih melakukan interaksi dengan mahasiswa Papua. Baik itu
memiliki pandangan lain selain stereotip yang selama ini mereka percaya.
Selain itu, meski tidak mengenal dan memahami budaya Papua dengan baik,
merupakan pribadi yang baik. Bila diperlakukan dengan baik, mereka juga
78
Saluran sosial yang ketiga adalah agama, kelompok agama dan praktik
sama dalam hal ini. Mereka mengaku bahwa agama yang mereka anut
memiliki andil yang sangat besar dalam mempengaruhi sikap mereka. dalam
agama yang mereka anut mereka diajarkan untuk saling mengasihi tanpa
Namun, ada pernyataan dari ketiga pemilik indekos terlihat yang tidak
suku, budaya dan warna kulit. Namun, ketika disangkutpautkan dengan tidak
dalam agama memang diajarkan untuk saling mengasihi satu sama lain,
tanggungjawab yang harus mereka jaga. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga
79
bedakan, namun ketiga pemilik indekos ini tetap tidak menerima mahasiswa
(2008: 53) menyatakan bahwa jika kita memiliki interaksi yang tidak
Papua, baik itu pengalaman yang mereka alami sendiri, mereka lihat sendiri
maupun berdasarkan informasi dari orang lain. Hal ini memiliki pengaruh
yang berbeda-beda bagi mereka, namun tetap saja memiliki pengaruh yang
dari Papua, dan hal ini membuat dirinya lebih berhati-hati dengan mahasiswa
Papua. Ia menyatakan saat itu ada seorang mahasiswa Papua yang sedang
pendatang dari Papua itu bersikeras bahwa ia sudah membayar. Hal seperti
hal pembayaran.
Hal ini membuktikan teori yang dikatakan oleh Martin dan Nakayama
menjadi salah satu saluran pembentuk stereotip. Hal ini dapat dibuktikan dari
80
bagaimana Ibu M setelah kejadian itu menjadi merasa bahwa desas-desus
mahasiswa Papua agak tidak disiplin dalam hal pembayaran merupakan hal
narasumber, yaitu Ibu R, Ibu M dan Bapak B. Perbedaan ciri dan pengalaman
banyak dihuni oleh mahasiswa pendatang dari Papua, namun ia tetap tidak
dari Papua.
Dalam hal ini Ibu R sejak awal membuka indekos sejak ia berusia 26
tahun dan sejak saat itu ia tidak pernah menerima mahasiswa Papua di
indekos miliknya. Hal ini ia lakukan dengan alasan ia hanya ingin lebih
berhati-hati, tidak ingin berurusan dengan orang yang tidak disiplin dalam hal
81
mempengaruhi sikap Ibu R. Selain itu ia terlihat cukup bermain aman dengan
indekos di daerah Kledokan. Bila dilihat lagi, Ibu M yang tidak menerima
dari Papua yang ingin makan. Hal ini menunjukkan bahwa meski cukup
ingin berinteraksi dengan mahasiswa pendatang dari Papua meski tidak ingin
terlalu mengambil resiko. Hal ini dapat dilihat dari lamanya Ibu M akan
setiap hati dengan mahasiswa Papua. Selain itu, jika mereka benar-benar
cukup besar. Namun bila hanya berinteraksi dengan menerima mereka makan
di warung makan miliknya, resiko yang ia ambil akan lebih sedikit. Selain itu,
82
Narasumber selanjutnya adalah Bapak B, ia adalah seorang pemilik
pernah menerima mahasiswa Papua di indekosnya, namun kini tidak lagi. Hal
indekos miliknya sering membawa banyak teman dan berbicara dengan suara
mereka di gereja.
perbedaan yang cukup jelas terlihat. Dari alasan mereka tidak menerima
laki terlihat lebih tegas dibandingkan dengan kedua narasumber lain yang
berjenis kelamin perempuan. Bila alasan Ibu M dan Ibu R tidak menerima
mahasiswa Papua adalah karena lebih memilih untuk berhati-hati dan tidak
83
sikap antara pemilik indekos yang berjenis kelamin perempuan dan laki-laki
Namun, bila dilihat dari sisi usia, tidak terdapat perbedaan sikap yang
siginfikan. Hal ini dikarenakan usia para pemilik indekos relatif sama,
bersisar antara 60 hingga 80 tahun. Selain itu lama atau tidaknya seseorang
yang cukup lanjut mengakibatkan Ibu R dan Ibu M tidak lagi begitu aktif di
tempat ibadah mereka. berbeda dengan Bapak B yang masih aktif di gereja,
rumahnya.
84
melakukan pendekatan pun nerbeda-beda, bila Bapak B yang sering
pendatang dari Papua memiliki sikap yang baik ketika dikenal secara
personal, meski hal itu tidak mempegaruhi sikap para pemilik indekos untuk
terdapat jarak yang belum dapat dilalui oleh mahasiswa Papua. Kedekatan
secara personal ini belum dapat meruntuhkan stereotip yang selama ini ada,
ini masih cukup kuat meski para pemilik indekos telah memiliki interaksi
85
51), hal yang pertama adalah generalisasi budaya harus dilihat sebagai
tafsiran, bukan sebagai hal mutlak. Dalam hal ini pemilik indekos di
bertemu dengan seseorang dengan sikap atau ciri yang mencolok, hal tersebut
belum tentu merupakan ciri kelompok, dan tentu saja tidak dapat disimpulkan
inti’” (Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52). Dalam hal ini, yang
beberapa waktu. Sehingga hal tersebut menjadi ciri suatu kelompok atau
hal tersebut harus merupakan budaya atau kebiasaan yang memang dipegang
dan dilakukan suatu kelompok tersebut berturut-turun dan tidak dapat lepas
mahasiswa pendatang dari Papua, harus sangat berhati-hati dan tidak melihat
86
Coles (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010: 52) menyarankan frasa
menghaluskan makna dari generalisasi yang ada. Hal ini menjadikan orang-
menunjukkan bahwa anggota dari budaya tertentu memiliki sikap atau sifat
yang sama. Dalam hal ini, pemilik indekos di Pedukuhan Kledokan dan
antara lain keluarga, media massa, agama, kelompok agama dan praktik
Perasaan takut ini muncul dari pengalaman yang kurang mengenakkan yang
87
mereka dapatkan dari segelintir mahasiswa Papua, yang kemudian mereka
tidak langsung membentuk stereotip yang secara sadar maupun tidak sadar
mereka pegang dan percaya selama ini. Selain itu perasaan takut ini kemudian
yang besar dalam menyampaikan informasi. Hal ini dapat dilihat dari sisi
khawatir yang cukup besar terhadap orang yang menerimanya. Dalam hal ini
Papua seringkali disebarkan melalui media sosial, foto dan video tanpa sensor
disebarkan dengan bebas. Para penerimanya, dalam hal ini pemilik kos
permasalahannya ataukah apa informasi itu benar atau tidak. Hal ini
informasi. Hal yang sama terjadi pada para narasumber yang seringkali
membuat mereka merasa khawatir dan ngeri, sehingga ketika ada kejadian
yang mereka alami, meskipun tidak begitu bersar, hal itu akan membuat
88
mereka mengeneralisasi bahwa semua mahasiswa dari Papua memiliki sikap
yang sama.
89
BAB IV
A. Kesimpulan
Kledokan dan Tambakbayan adalah perasaan takut. Perasaan takut ini muncul
90
pendatang dari Papua memiliki sikap yang demikian, padahal belum tentu.
B. Saran
1. Saran Akademis
tentang mereka.
2. Saran Praktis
91
DAFTAR PUSTAKA
http://jogja.tribunnews.com/2016/07/15/realtime-news-sejumlah-pemuda-
Fadhilla, I. (2015). Pemandangan Seperti Ini yang Bakal Kamu Sering Lihat Di
https://www.idntimes.com/news/indonesia/dhilla/sekarang-kamu-bakal-
https://www.rappler.com/indonesia/140261-kronologi-represi-aparat-papua-
92
Himawan, F. U. (2016). Setop! Jangan Ada Diskriminasi di NKRI. Yogyakarta,
http://mediaindonesia.com/read/detail/56446-setop-jangan-ada-diskriminasi-
perguruan-tinggi-di-jogja/
Junitha, C. (2015). Stereotip dan Prasangka dalam Konflik Etnis Tionghoa dan
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808210326-20-
2019.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808201633-20-
93
Lubabah, R. G. (2016). Kronologi pengepungan mahasiswa Papua di Yogyakarta.
https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-pengepungan-mahasiswa-
Singapore: McGraw-Hill.
Rosdakarya.
https://issuu.com/balairungpress/docs/majalah_balairung_edisi_53, pada 10
November 2017.
94
Saputra, A. (2017). Pengaruh Komunikasi Keluarga terhadap Pembentukan
Try. (2014). Demo Kemerdekaan, Mahasiswa Papua di Yogya Adu Pukul dengan
https://news.detik.com/berita/2654601/demo-kemerdekaan-mahasiswa-
papua-di-yogya-adu-pukul-dengan-anggota-ormas/komentar, pada 4
September 2018.
Ulya, Y. (2016). Mereka Tidak Menerima Kos untuk Anak Papua. Yogyakarta,
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua,
95
LAMPIRAN
A. LAMPIRAN 1
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
a) Bagaimana pandangan Anda sebagai pemilik indekos terhadap mahasiswa
Papua?
b) Mengapa ada pandangan seperti itu?
c) Apakah pandangan didapatkan dari pengalaman sendiri atau berdasarkan
desas-desus yang ada di masyarakat?
d) Apakah pandangan tersebut mempengaruhi komunikasi Anda dengan
mahasiswa Papua?
96
A. LAMPIRAN 2
TRANSKRIP WAWANCARA
Transkrip Wawancara
Bapak B
97
Narasumber : ya berdasarkan informasi, desas-desus dari masyarakat. Di
samping itu dulu kan di pojok situ dulu ada kos-kosan cewe
Papua. Wah itu juga mumetke RT ne. Lah itu ramai terus, lalu
ditegur, cuma karena sudah bayar disuruh pergi juga ga bisa. Jadi
mulai saat itu di-stop tidak menerima. Jadi saya tidak boleh itu
karena informasi dari luar.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa
Papua gimana ya?
Narasumber : kalau dari pandangan keluarga ya, kalau keluarga saya nggak ada
masalah. Seperti anak-anak itu ora tau neng kene. Bocah-bocah iku
ora ngurusi. Tapi nek Koko itu kan, Koko itu sering di sini, itu
biasa ne takon “iku siapa sih sing sering rame? Gitu. Tapi di
samping itu anak-anak kan damai sejahtera, nggak ada yang
gimana-gimana. Di sini kan saya berikan aturan, pokoknya kalau
sudah lebih dari jam 12 Anda boleh semalaman ngomong, tapi
omongan Anda itu jangan sampai di dengar oleh orang lain, kan
gitu. Misalnya Anda nyetel TV, ya pelan jangan telinganya orang
kono dengar. Ya kalau saya dengar pasti saya tegur. Anak saya di
sini kalau sudah ditegur sekali, sudah, tidak akan berbuat lagi.
Karena sudah saya beritahu dari awal. Gitu.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : wah, nggak pernah itu tu. Di samping itu, saya itu bukannya dapat
informasi dari TV dan koran, tapi dari WA itu lho. Misalnya di
sana tawuran, seperti di Kusumanegara itu kan. Itu tidak hanya
sekarang kan, sejak dulu. Di sana kan terkenal itu asramanya.
Kalau di Jogja itu ya di sana itu asramanya Papua. Di sana
pusatnya itu. Jadi kan itu, kalau TV kan kadang, kalau disiarkan di
TV kan dampaknya luas. Tapi ya mau disalahkan ya angel sih. Ya
orang Papua nyatanya kalau mabuk ya medeni.
Peneliti : selanjutnya ya, apakah ajaran agama juga mempengaruhi sikap
bapak terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : ya lumayan. Saya kan Katolik, nah dalam agama saya diajarkan
untuk mengasihi satu sama lain, nggak memandang suku, budaya,
warna kulit. Sebener e itu jadi pegangan juga.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : nggak sih kalau itu. Ya kan kita sebagai manusia harus saling
mengasihi, kaya saya bilang tadi nggak memandang agama, warna
kulit, suku, budaya mereka. Semua sama.
98
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama OMK kan ya, yang sudah dekat sekali
sama ibu secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu
kira-kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : kalau saya pribadi ya saya melihat pribadinya ya, memang kita
juga mengasihi satu sama lain, hanya saja kan kita tetep kudu hati-
hati, anak-anak yang di kosan ini kan jadi tanggungjawab saya
juga. Mungkin sikapnya di lingkungan beda nek dikosan. Saya sih
jaga-jaga nek penghuni yang lain terganggu atau gimana. Jadi saya
mungkin pertimbangannya bakal susah juga.
99
Ibu M
Peneliti : bagaimana pandangan ibu sebagai pemilik kos terhadap
mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : kalau saya dari awal buka kos di sini, sejak tahun 90-an memang
belum pernah menerima mahasiswa pendatang dari sana ya.
Adanya anak etnis Jawa, yaa sama Sumatera, ada Kalimantan, ya
seputar itu aja. Kalau dari Papua sama NTT belum pernah ya.
Peneliti : kalau pandangan ibu terhadap mereka bagaimana ya?
Narasumber : anak Papua itu kalau menurut saya itu rasis ya. Dia itu kalau
membaur itu agak gimana ya. Itu satu, yang kedua, harga dirinya
agak tinggi ya, gengsinya tinggi. Terus agak bebal itu ya. Terus
SDM-nya itu tertinggal ya, kayaknya loh yaa, saya juga nggak tau.
Lain dengan anak-anak yang lain, nek dari segi finansial sih mereka
lebih mampu dari anak NTT, sama-sama Indonesia Timur loh ya.
Yang bikin risihnya itu tadi mabok, suka minum, itu kayanya sudah
menjadi tradisi atau gimana ya di sana. Itu yang mungkin nggak
bisa hilang, dibawa terus sampe ke sini. Maboknya itu.
Peneliti : kalau ibu secara pribadi, pandangan-pandangan itu ibu dapatkan
pengalaman sendiri atau dari desas-desus yang ada di masyarakat?
Narasumber : ibu liat sendiri, di sekitar sini. Anak-anak di sana kan anak-anak
Papua, kemaren kan di sekitar sini sempat jadi zona merah. Itu
anak Papua pernah mabok sampe ngerusak-ngerusak. Itu sampe
polisi pada datang. Ibu kan tetangga juga. Jadi kan dari
pengalaman, liat, ibu liat. Di sini juga kan banyak anak Papua. Ya
nggak tau kalau sekarang sudah nggak, sudah sepi di situ nggak ada
anak Papua juga sepi situasinya di sini. Jadi pengaruh juga. Kan
tempramen mereka, mudah tersinggung. Tapi kalau ibu sih, selama
mereka dibaikin, selama mereka istilahnya di-wong ke, dianggap
kan nggak keliatan membedakan itu, mereka juga baik. Mereka itu
sepertinya mau disamakan dengan anak-anak lainnya. Cuma ya itu
tadi, mereka rasis, terus yang dibauri juga kadang-kadang nggak
mau. Anak-anak lain juga nggak mau. Mereka juga mungkin
banyak pengalaman seperti itu. Sekarang, anak lagi makan di sini
dipukul ya pernah kok, dia lagi mabok. Ya sebetulnya nggak semua
sih ya, ada juga yang dia ke sini betul-betul mau belajar ya ada, tapi
sebagian seperti itu. Minum itu seperti sudah tradisi.
Peneliti : apakah pandangan negatif itu tadi mempengaruhi komunikasi ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : nggak juga. Nek aku pribadi ya, aku nganggap dia anak rantau.
Kasian juga, aku tetap menghargai mereka, asal mereka nggak
mengganggu saya, nggak rese. Itu saya sebenarnya kasian juga
100
sama mereka itu. Itu mereka di sini sudh hopeless atau gimana, ya
mungkin kirimannya kurang atau gimana kan, saya juga nggak tau.
Jadinya dia itu aneh-aneh gitu ya perilakunya. Kalau anak-anak
yang baik sama saya ya saya welcome kok, mbak. Kalau di OMK
itu kan banyak anak-anak dari sana kan, cuma saya ya welcome
kok. Malah anak Papua ada yang langganan nasi di sini, beli setiap
ada acara mereka, pasti ke sini. Pasti saya layani dengan baik kok,
hanya ya dengan harga yang lebih tinggi daripada lainnya. Mereka
kan punya finansial yang lebih cuma dalam menggunakannya itu,
yaa kurang tepat. Ya salah me-managenya gitu lho, lebih ke hura-
hura. Finansialnya cukup. Hanya ya me-managenya yang kurang
baik.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa Papua
gimana ya?
Narasumber : ya nggak negatif juga ya. Cuma ya kalau dilihat ya ciri khas
orang Papua ya begitu. Kondisinya kebanyakan begitu, tapi aku
pribadi ya nggak papa. Selagi dia itu baik, nggak mengganggu ya
nggak masalah. Dia nek dibaiki ya juga baik kok. Cuma kadang-
kadang orang mau baik sama dia itu takut. Sebenernya kalau
dibaikin ya baik juga. Jadi orang-orang yang belum tau, belum
mengenal itu nggak mau. Masih diskriminasi ya, duduk aja
kadang nggak mau bersampingan.
Peneliti : tapi kalau dari keluarga dalam menyikapi mereka itu seperti apa?
Narasumber : ya sama sih. Nggak papa kok, baik juga. Cuma ada ada beberapa
pihak yang tidak seperti kita kebanyakan. Jadi kaya menakutkan
gitu.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : kayanya malah jarang ya. Aku juga ya mengikuti TV atau koran
begitu ya jarang tu ada pemberitaan tentang mahasiswa Papua.
Peneliti : selanjutnya ya bu ya, apakah ajaran agama ibu juga
mempengaruhi sikap ibu terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : ya berpengaruh juga ya. Kan diajari untuk saling mengasihi,
mereka kan juga manusia selagi mereka nggak mengganggu dan
nggak membuat keributan ya nggak apa. Apalagi ini kan tempat
usaha, nanti dijauhi orang kalau kita kaya gitu kan.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : ooh nggak. Ya sama aja, apapun agamanya saya perlakukan
sama.
101
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama OMK kan ya, yang sudah dekat sekali
sama ibu secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu
kira-kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : gini ya kalau anak dari sana, aku belum pernah menerima. Tapi
kebanyakan temen-temen yang pernah menerima itu katanya
mereka kurang disiplin dalam hal pembayaran. Terus ribut,
temennya banyak, dia mungkin baik tapi kan temennya yang
dateng kan kelau nek ngomong kan suaranya kenceng. Seperti
orang kelai, tengkar gitu kan. Tapi memang mereka orangnya
seperti itu. Lalu ya kurang disiplin dalam hal pembayaran juga kan,
suka nunggak. Itu pengalaman orang-orang di sekitar sini kan ya.
Aku pernah di sini (warung makan) juga gitu. Saya tagih-tagih dia
bilang sudah mbayar kan, yaudah saya diamkan saja. Daripada
ribut kan mending saya diamkan saja. Pernah itu kecolongan satu,
rese. Apalagi mahasiswa baru yang baru dari sananya itu, mungkin
kan belum menyesuaikan dirinya sama budaya sini. Kalau yang
sudah dewasa-dewasa mungkin sikapnya lain.
Peneliti : jadi intinya pandangan ibu itu dari pengalaman ibu sendiri ya?
Narasumber : ya pengalaman sendiri ya pernah, dari temen-temen yang punya
kos-kosan juga ada. Katanya ya banyak yang tidak disiplin,
terutama dalam hal pembayaran, nunggak sekian itu sudah barang
biasa. Besok nanti akhirnya pergi dan nggak membayar, itu kata
orang ya. Tapi ya kalau mahasiswa dari Papua kan memang
dibiayai pemerintah daerah jadi kurang bermasalah ya kalau
masalah pembayaran. Kalau lainnya kan ya keluar kantong sendiri
jadi agak gimana. Cuma ya banyak yang me-managenya itu kurang
baik. Beda dengan anak-anak yang kuliah dengan biaya
orangtuanya sendiri, agak punya perasaan kasian sama orangtua
gitu. Agak punya tanggung jawab. Kalau anak dari sana ya begitu,
ada yang baik cuma banyak yang rada gimana. Ya mungkin awal-
awalnya baik, nanti lama-lama sudah membaur dengan anak
lainnya dia jadi terkontaminasi. Dari yang awal anaknya diem, jadi
ikut-ikutan. Sebenernya baik kan ya, hanya saja kebiasaan
minumnya mungkin orang sini itu kurang bisa menerima. Karena
ya efeknya dia rese, gangguin orang, tapi ya ngak semua. Banyak
kebiasaan-kebiasaan yang nggak disesuaikan dengan budaya di
sini. Lalu kalau dikasih tahu itu nggak langsung bisa menerima, ya
dia tempramen itu. Mungkin karena finansialnya cukup, ada
bantuan dari pemerintah daerah jadinya begitu, mungkin yaa. Tapi
ya kalau dibaikin mereka juga baik kok. Cuma orang kita suka
takut. Duduk sebelahan aja nggak mau. Nah itu, kadang dari diri
kita juga yang rasis, mereka juga ingin disamakan ya, kalau ibu
lihat lho. Karena adatnya yang seperti itu, orang jadi takut. Takut
nantinya mereka salah ngomong, jadi ya ketakutan duluan. Jadi
102
intinya kalau sudah mengenal mereka juga baik kok. Tapi ya
orang-orang di sini juga kan menolak karena sikapnya mereka
sendiri yang seperti itu, nggak mau bayar, suka seenaknya sendiri.
Lagian kan pemilik kos juga kan butuh, intinya kan saling
membutuhkan. Biar kamarnya laku, pengen punya tempat tinggal
yang dekat dengan kampus. Tapi ya itu tadi, orang kan kalau nggak
bayar juga kan jadi nggak mau.
103
Ibu R
Narasumber : sebenarnya ibu menyadari banget kalau Papua itu, negara kita
juga kan. Saya pun menyadari bahwa penduduk Papua itu juga
saudaraku, saudara kita. Tapi, kalau sudah melihat secara dekat,
walaupun tidak semua itu kecewa, menyesal. Terutama NTT
(Nusa Tenggara Timur) ke sana ya, ini karena banyak komentar
dari banyak orang ya, sampe ada orang mengatakan begini, kalau
anak Irian itu pakai roda dua tanpa helm, polisi biarin. Kenapa?
Karena mereka susah diberi bimbingan, dikasih tau nggak mau.
Itu adek saya ngajar di SMA, itu juga ngeluhnya gitu. Anak NTT
ke sana itu kalau diberitahu itu ndak masuk. Terus apa komentar
mereka? “Mereka itu seperti keluar dari hutan, kaya bukan
manusia”, itu sebagian, walaupun tidak semua. Padahal, hati ibu
sebenarnya, hati saya sebagai seorang penduduk Indonesia,
apalagi saya seorang ibu ya, saya kepengen memberi mengerti
mereka, kenapa sih mereka seperti itu? Tapi untuk mendekati
mereka, susah kami. Susahnya apa? Kalau saya ambil mereka di
rumahku, kos di sini. Itu, mengejutkan, satu kamar mungkin
untuk enam orang. Lagian mereka seperti garang ya, dan kita
orang Jawa, khususnya Jogja itu kan ndak suka dengan orang
yang garang itu. Kita kan kalau misalnya ada kesalahan pun ndak
perlu main kasar itu kan ndak perlu. Kita omong-omong, dengan
otak, dengan kemampuan otak. Bagaimana orang diserang dengan
etika itu sudah luntur kan ya, tapi orang sana ndak bisa itu. Aku
justru sedih melihat mereka, kenapa sih mereka itu sulit dididik?
Justru itu yang saya sedihkan. Tapi saya punya adek, adek saya
ini kerja di NTT ya sudah punya anak cucu, dia udah lama di
sana. Dia bilang “orang di sana itu juga baik-baik kok”. Oh iya,
itu mungkin orang yang terdidik, atau mungkin itu generasi
seumur saya, atau adek saya, tapi anak sekarang, itu di mana-
mana sama. Jadi, etikanya luntur. Apaya, tidak bisa menjadi
seperti yang diharapkan orangtua. Gitu, gimana? Pertanyaannya?
Peneliti : yaa langsung ke pertanyaan pertama ya, bagaimana pandangan
ibu sebagai pemilik kos terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : pandangan saya terhadap mereka, kalau mereka yang giat belajar
dan memang bisa dibanggakan, ya saya bangga, kadang kala saya
ingin mendekat dia, ingin ngobrol-ngobrol. Ya, pandangan saya,
saya kasian sebenarnya kalau semua orang memandang mereka itu
kurang beradab kah, atau tidak bisa dibina kah, saya itu prihatin.
Saya rasanya nggak ikhlas, karena itu juga anak-anak kita, saudara
kita. Meskipun bagi kita mungkin sedikit beda, tapi mereka juga
anak-anak Indonesia. itu pandangan saya, tapi kalau usdah melihat
mereka yang sangar, tidak bisa diarahkan, itu memang prihatin,
prihatin yang gimana ya? Prihatinnya, bagaimana negara kita ini
104
harus mendidik mereka. mungkin anak-anak muda itu yang bisa
memberikan solusi, bagaimana caranya kita mendekati mereka.
Tapi... jadi ini tadi pagi, baru aja tadi orang di depan itu saya tanya
“kok rumahmu nggak ada yang kos?”, “mboten, wong mereka itu
pada ndak mau mbayar”, terus saya bilang “loh? Mosok sih?”,
“iya, wong suruh pergi aja sulit. Udah nggak mbayar, suruh pergi
sulit”. Nah ini, saya lihat sendiri, itu anak Irian dan anak NTT itu.
jadi memprihatinkan, yang seperti ini sangat memprihatinkan.
Misalnya tidak ada biaya, karena seperti ini ya. Kalau dari NTT,
ada yang dikirim kuliah ke sini, setahun dua tahun mungkin
kiriman oke. Tapi sesudah itu ada yang kiriman macet. Kalau
begini kan memprihatinkan. Kalau dari Irian, kadang kan
kirimannya tiga bulan sekali, dikirimkan pemerintah dari sana. Jadi
dana bantuan dari pemerintah itu mungkin tiga bulan sekali kadang
sampe enam juta, kalau dia bisa menggunakan uang itu dengan
baik, ya kebetulan anak Papua yang baik, jujur. Bener-bener mau
sekolah dan dibiayai pemerintah. Jadi. Macem-macem di sini.
Belum Irian di sana, eh Papua juga kan ada asrama di sana. Itu
sebenarnya masyarakat nggak suka. Kok ada asrama Irian di situ.
Banyak komentar tentang itu, tentang Lurah, tapi saya nggak ikut
komentar tentang itu. Tapi masyarakat merasa ya agak gimana
dengan adanya asrama itu ya, karena mereka kalau gampang
dididik ya ndak papa. Ternyata, belum lama di sana itu sudah ada
masalah dengan angkatan darat. Ya itulah, jadi memang Irian itu,
maaf ya, pendapat saya mereka kasar ya, sifatnya kasar. Ya ndak
papa, cuma mungkin sama orang Jogja itu kurang pas ya.
Peneliti : kalau ibu secara pribadi, pandangan-pandangan itu ibu dapatkan
pengalaman sendiri atau dari desas-desus yang ada di masyarakat?
Narasumber : saya pribadi kalau informasi-informasi nggak gitu percaya, tapi
saya itu memang mau mengenal langsung. Jadi sebagian mengenal
langsung, sebagian itu dari omongan masyarakat atau pendidik,
gitu.
Peneliti : apakah pandangan negatif itu tadi mempengaruhi komunikasi ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : ya selama ini, sebenarnya saya ndak ada masalah kok komunikasi
sama mereka. Cuma kesempatan untuk komunikasi itu yang belum
saya temukan. Artinya, tadi saya sudah ngatakan kalau saya
sebenarnya merasa ingin dekat dengan mereka. Cuma aku nggak
mau mereka tinggal di rumahku. Jadi kalau dia kebetulan ada yang
jajan di situ, itu tak ajak omong-omong. Tapi ya sebenarnya apa
salah mereka ya juga nggak salah kok. Saya sendiri bener-bener
ingin dekat, cuma saya juga harus hati-hati nggak sembarangan ya.
Karena mendekati orang itu ya kan, belum tentu orang yang
didekati seneng, jadi kalau dia tak ajak omong, artinya ada respon
105
positif itu mungkin saya bisa berlanjut, begitu. Jadi, saya sih selalu
seneng sama mereka itu, aku nggak ada rasa dendam juga enggak.
Cuma kami hati-hati, cuma itu aja kok. Saya hati-hati dalam hal
kalau menerima kos memang kami sangat hati-hati, karena apa?
Karena saya harus menjaga yang lain juga. Jadi nanti kalau ada
yang satu itu nanti yang lain keganggu. Saya nggak mau
mengorbankan 13 anak karena mereka, tapi saya berusaha untuk
mengenal mereka di luar rumah, itu saja. Tapi kadang-kadang
mereka kalau merasa bukan satu rumah itu susah kan diajak
ngomong. Saya juga kenal sama anak yang di sebelah ini,
sebenarnya baik juga. Kalau ada sisi-sisi yang kurang baik itu
wajar kan? Mana ada manusia itu sama persis dengan kita, persis
mau kita. Iya kan? Jadi saya memandang seseorang itu dengan satu
pandangan yang, semua orang itu baik. Kalau toh ada kekurangan,
itu wajar, karena kita manusia.
Peneliti : kalau pandangan lingkungan keluarga terhadap mahasiswa Papua
gimana ya?
Narasumber : kalau saya kurang tau, tapi adik saya yang guru SMA (Sekolah
Menengah Akhir) itu menghadapi, ceritanya itu hampir sama juga.
Menurutnya, anak-anak itu yang dari sono itu, susah dibimbing.
Peneliti : apakah pandangan tersebut mempengaruhi pandangan ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : kalau saya enggak. Artinya susah dibimbing itu sesuatu yang
wajar saja, tapi tinggal kita, bagaiana caranya mendekati dia. Cuma
itu aja.
Peneliti : pernah nggak sih melihat pemberitaan mengenai mahasiswa
Papua, di koran-koran atau televisi gitu?
Narasumber : saya pernah denger sih, tapi kalau mengenai mahasiswa
pendatang di Jogja memang nggak ada. Yang saya dengar itu
tentang pejabat-pejabatnya. Kalau itu dalam hal ini masih banyak
ketidakjujuran yah.
Peneliti : apakah pemberitaan di media itu mempengaruhi pandangan ibu
terhadap mahasiswa pendatang dari Papua?
Narasumber : menurut saya, pandangan saya ya saya nggak suka memberi
pandangan-pandangan yang negatif ya, karena saya juga nggak
mengerti secara mendetail ya. Kalau aku mengerti secara detail,
mungkin saya memiliki pandangan yang artinya, nggak suka,
nggak seneng. Kalau pandangan saya pribadi saya sih nggak suka
mendendam, nggak suka menegatifkan orang. Untuk apa? Ya biar
mereka salah kan itu urusan mereka, salah itu kan balik lagi kepada
siapa. Kecuali kalau terhadap saya itu kan tak cengkrem, ya karena
106
saya nggak kena langsung kan pandangan saya :ah ya sudah di
mana-mana semua pejabat juga, di sana ada yang korupsi, di sini
juga banyak banget”. Jadi, aku nggak mau peduli, artinya itu bukan
aku nggak mau dengar atau nggak mau memperhatikan. Artinya,
kalau mereka mau korupsi ya yaudah itu tanggungan mereka, aku
ndak mau memberikan beban pada otak saya. Agar saya ndak stres,
cuma itu aja.
Peneliti : selanjutnya ya bu ya, apakah ajaran agama ibu juga
mempengaruhi sikap ibu terhadap mahasiswa Papua?
Narasumber : pasti berpengaruh sekali ya, kan kita anak-anak Kristus ya,
diajarkan untuk saling mengasihi sesama manusia. Itu juga menjadi
pegangan dan batas saya kalau sudah berprasangka buruk sama
orang lain. Kalau sudah berpikir negatif tentang orang saya itu
sedih loh. Dalam hati aku selalu “Yesus maafkan aku sudah
berprasangka, ajarkan aku untuk melihat dengan mata-Mu. Aku
ingin ikut jalan-Mu, Tuhan”.
Peneliti : lalu apakah agama yang dianut oleh personalnya mereka itu
berpengaruh terhadap sikap ibu ke mereka?
Narasumber : nggak yaa. Seperti yang saya bilang tadi, nek kita tu harus saling
mengasihi sesama manusia. Jadi, agama apapun tidak
mempengaruhi sikap saya kepada siapapun ya.
Peneliti : misalnya ibu ketemu sama pemuda di gereja kan ya, yang sudah
dekat secara personal, ibu sudah tau sikapnya seperti apa, itu kira-
kira bakal diterima nggak ya di kos ini?
Narasumber : sebenarnya kalau masalah menerima kos aku bukan masalah
dekat secara personal atau nggak ya. Saya itu dari dulu memang
nggak pernah menerima mahasiswa pendatang dari Papua, NTT
yang pernah. Cuma karena pengalaman dari teman-teman lain yang
punya kos ya, bilangnya suka nunggak, nggak membayar, saya juga
kan hati-hati, nggak mau berurusan sama yang begitu. Kan sudah
tua juga, bapak juga sudah tua. Kalau mabuk rese juga kan, nanti
menggangu yang lain. Saya juga menjaga (penghuni lain) kan.
Terus mengasihi mereka nggak hanya lewat menerima mereka di
kos. Makanya aku ingin mengenal mereka langsung ya. Seperti
mbak yang di samping itu kan, ya kalau dikenal baik juga.
107
Pak Widodo D. M (Kepala Pedukuhan Tambakbayan)
Peneliti : kalau boleh tahu jumlah kepala keluarga di pedukuhan
Tambakbayan ini berapa ya, Pak?
Narasumber : kalau untuk jumlah KK itu ada 1.636
Peneliti : kalau penduduk, Pak?
Narasumber : penduduk ada 5.113, yang laki-laki 2.604, perempuan 2.309.
Peneliti : untuk jumlah kampus, ada berapa Pak?
Narasumber : jumlah perguruan tinggi itu ada 10.
Peneliti : kalau di luar perguruan tinggi? Sekolah-sekolah yang ada di
wilayah Tambakbayan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau sekolah, TK ada dua, SD 1, SLTA 1, kalau SMP nggak ada.
Peneliti : jumlah pendatang yang ada di Tambakbayan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau itu saya kan kurang tahu, ya. Soalnya pelaporan seperti itu
biasanya ke RT, bukan ke saya. Jadi masalah pendatang, data-data
seperti itu biasanya langsung ke RT nggak melalui saya.
Peneliti : kalau KK yang punya kos-kosan, Pak?
Narasumber : ya sama itu juga biasanya yang tahu jumlahnya RT.
Peneliti : kalau mengenai suasana di Pedukuhan ini ya, Pak. Selama ini
apakah kondusif saja?
Narasumber : kalau di Tambakbayan sih baik-baik saja ya. Nggak ada masalah
yang berarti, saya juga kan selalu komunikasi sama masyarakat,
kalau ada apa-apa ya juga nggak akan lama, karena langsung di
benahi, langsung dicari jalan keluarnya.
Peneliti : kan di belakang ada asrama Papua ya, Pak. Lalu apakah
belakangan ini ada kasus yang melibatkan mahasiswa Papua?
Mengingat kan banyak pandangan-pandangan negatif tentang
mahasiswa Papua yang beredar di masyarakat.
Narasumber : kalau di Tambakbayan sendiri sih nggak ada kasus yaa, baik itu
melibatkan mahasiswa Papua ataupun yang lainnya. Di sini udah
baik ya sudah bagus. Seperti yang saya bilang tadi kan, saya selalu
komunikasi. Selain itu juga kan dilakukan sosialisasi dari awal,
baik ke warga maupun yang pendatang sehingga semuanya teratasi.
Sebenarnya selama ini banyak yang salah paham yaa, pandangan-
pandangan yang beredar di masyarakat itu juga kurang tepat.
Mereka itu sebenarnya kalau dikenali lebih dekat, mereka baik.
Selain itu saya juga kan bekerjasama dengan kepala suku mereka di
Papua sana. Jadi, kalau ada masalah atau kasus itu kepala sukunya
108
yang atasi langsung. Saya nggak perlu turun tangan lagi untuk atasi
mereka yang bermasalah. Asramanya kan di belakang itu ya, jadi
dulu juga kepala sukunya yang sekarang itu ketua asrama Papua di
belakang itu. Masih komunikasi sama saya kan, jadi enak, kalau
ada masalah langsung dikomunikasikan sama kepala sukunya. Jadi
mereka teratur dengan baik juga. Mereka juga kan kalau kita
welcome, mereka baik sama kita. Yang susah itu biasanya kalau
ajaran baru, karena anak-anaknya kan benar-benar baru datang dari
sana, jadi masih membawa budayanya dari kampung halaman, agak
sulit. Cuma ya kita sosialisasi aja agar teratasi masalah seperti itu.
109
Pak Supriyono (Kepala Pedukuhan Kledokan)
Peneliti : kalau boleh tahu jumlah kepala keluarga di pedukuhan Kledokan
ini berapa ya, Pak?
Narasumber : ada 702, itu kalau KK, kalau jumlah penduduknya 1.260 ya, yang
laki-laki 1.086, sisanya perempuan
Peneliti : kan saya di sini bahas pemilik kosan ya, Pak. Kalau di Kledokan
pemilik kos ada berapa ya pak ya ?
Narasumber : waduh ora tak itung e dek, banyak. Rata-rata pemilik kosan di sini
sekitar 80an kos-kosan.
Peneliti : jumlah pendatang yang ada di Kledokan ada berapa, Pak?
Narasumber : kalau yang begitu jarang dilaporkan, tapi untuk perkiraan, hampir
200an lah dek.
Peneliti : kalau batas wilayah untuk Babarsari itu dimana, Pak?
Narasumber : kalau sebelah timur pedukuhan Tambakbayan, batas utara
pedukuhan Seturan, terus batas baratnya pedukuhan Tempel, batas
selatannya pedukuhan Ngentak.
Peneliti : kan saya mengambil tema tentang mahasiswa Papua nih, Pak
apakah di pedukuhan Kledokan ini pernah ada kasus-kasus yang
melibatkan mahasiswa Papua?
Narasumber : kebetulan nggak ada, kira-kira yang bawa di sini nggak banyak,
ada tapi nggak banyak. Paling-paling hanya gabung ke teman-
teman yang di sini aja. Kalau yang kos sih nggak ada. Saya juga
kan sejauh ini bilang ke yang punya kos, kalau bisa yaa nggak usah
di terima.
Peneliti : kalau mengenai suasana di Pedukuhan ini ya, Pak. Selama ini
apakah kondusif saja?
Narasumber : sejauh ini sih baik saja, karena seperti yang saya bilang tadi. Saya
bilang ke para pemilik kosan untuk yaa kalau bisa nggak menerima
penghuni kos yang dari sana yaa. Menganjurkan ya, sebagai
antisipasi saja, mencengah terjadinya masalah di daerah ini.
Soalnya kan pernah tu di dekat sawah sana mereka ada yang mabuk
terus akhirnya ada yang berantem. Ya saya nggak mau ada terjadi
seperti itu.
110
Franciscus Apriwan (Peneliti, Antropolog)
Narasumber : mungkin ini sebagai pengantar ya. Kemarin saya dan rekan
laboratorium saya bikin festival Sumba di Yogya. Sumba
memang berbeda dengan Papua, tetapi buat saya berangkat dari
keprihatinan yang sama. Di sini ada diskriminasi rasial terhadap
orang-orang di Yogya, terutama adalah mahasiswa. Di Yogya
sendiri ada berapa orang Papua? 7.000-an? Kalau sebulan
mereka dapat uang satu juta dari orangtua mereka, ada 7M satu
bulan dari orang Papua ke Yogya. Itu adalah jumlah uang yang
sangat besar, tapi tidak pernah ada yang membuat fasilitas
publik, tidak ada dukungan terhadap mahasiswa-mahasiswa
seperti itu dan tidak ada dukungan apapun yang diberikan
kepada mereka. Justru malah sebaliknya, mereka malah
didiskriminasi dan sebagainya oleh orang Yogyakarta sendiri.
Artinya itu ada sebuah salah pikir di situ, kita mau uangnya tapi
tidak mau orangnya. Itu baru dari Papua. Artinya ada banyak
sekali uang datang ke Yogya melalui mahasiswa-mahasiswa ini,
tapi tidak pernah dilihat sebagai pemasukan. Yang lebih banyak
dilakukan adalah, kita membuat hotel, membuat tempat-tempat
hiburan, yang sebenarnya buat apa? Buat wisatawan. Wisatawan
dibanding dengan mahasiswa, kalau 7.000 saja ya, 7M,
wisatawan mana yang bisa bawa 7M kemari setiap bulan? Nah,
itu jadi suatu perspektif yang baik juga. Ada ketidakberesan
dalam mengelola ini sebenarnya. Terutama kalau mau melempar
kritik adalah pada fasilitas yang harusnya ada buat mahasiswa-
mahasiswa seperti kalian. Kalian mau belajar tu semuanya di
bawah privat, kalian harus pergi ke cafe, harus mengakses
internet dengan membayar, semuanya itu privat. Tidak ada yang
dikelola oleh publik, padahal kalian seharusnya mendapatkan
fasilitas. Jadi itu pintu masuk yang menurutku baik untuk bisa
melanjutkan penelitianmu ini. Selebihnya kita melihat orang
Papua, uangnya datang sangat besar, tapi kita lihat, apa yang
mereka dapatkan? Diskriminasi. Oke kalau kita mau berjarak
lagi tidak tentang ekonomi, karena ini ingin melihat dari sisi
sosial budaya ya, mereka datang kemari, mereka punya
kebiasaan yang di sisi lain orang Yogya menginginkan mereka
untuk menyesuaikan. Bukankah itu sangat sombong di satu sisi?
Dalam artian orang Yogya tidak mau menyesuaikan pendatang,
yang harus menyesuaikan itu pendatang. Di satu sisi itu baik ya,
dalam artian “saya datang ke suatu tempat ya saya harus
menyesuaikan diri”, karena jumlah ya atau apalah itu, tapi di
satu sisi sebetulnya yang lebih mendominasi di Yogya itu justru
adalah pendatang ya, dan datang terus menerus berganti. Artinya
menurut saya, ada persoalan dalam diri “orang Yogya” yang
merasa sangat risau dengan pendatang, seperti itu. Sehingga
merasa agak gimana dengan pendatang. Dan misalnya mereka
111
sedang berbahasa, banyak pendatang yang kurang paham
dengan menggunakan bahawa Jawa, tapi ya orang Yogya tetap
menggunakan bahasa Jawa. Mereka mengerti? Tidak. Nah, ada
banyak hal yang menurut saya di sini itu dipaksakan dengan
bahasa Jawa. Artinya orang yang tidak bisa berbahasa Jawa
harus bisa berbahasa Jawa, kadang itu juga sebuah problem.
Dalam artian, di satu sisi baik ya, kamu jadi belajar banyak
budaya ketika belajar di Yogya, artinya kamu tidak terkungkung
juga dengan budaya Kalimantan-mu. Sampai di sini kamu
belajar cara orang Jawa makan, cara orang Jawa berbicara dan
lain sebagainya, itu ya baik juga. Dan kamu juga bisa merasakan
itu, tetapi ketika itu dipaksakan itu jadi persoalan. Dan buat saya
poinnya adalah seperti itu. Ketika mahasiswa Papua datang
kemari ada perbedaan yang sangat terasa sebetulnya. Cara
mereka berbicara, cara mereka minum dan lain sebagainya. Tapi
tidak pernah ada peluang untuk berdialog, untuk sama-sama
mengenali orang Jawa dan orang Papua. Bisa jadi, ketika kita
mengenali, situasinya berbeda kok. Dalam artian, kok saya
melihat masyarakat kita itu cenderung diskriminatif sehingga
membuat “polusi-polusi” yang sangat pluralistik, dalam artian
adalah, misalnya, sekarang orang-orang Papua itu dikumpulkan
di lokalisasi-lokalisasi tertentu, sehingga apa? Sehingga orang
Jawa, atau orang lain tdak bisa berkomunikasi dengan mereka
justru. Mereka dianggap diasingkan, dikelompokkan di situ
sendiri, sehingga dia terus ya “gimana aku mau jadi teman kalau
tempatku ini kok kaya diasingkan”. Nah itu semakin
memperparah keadaan. Misalnya kalian malah benar-benar nge-
blend. Misalnya kalian Kalimantan terus kalian tinggal di suatu
kos yang isinya adalah Papua, Kalimantan, Sumatera, apa yang
terjadi? Ya jadi berteman, jadi akrab, ya jadi biasa saja akhirnya.
Tetapi ketika dilokalisir, tidak pernah ada ruang pertemuan yang
memadai, sehingga akan menganggap orang-orang itu sebagai
terus-menerus orang asing. Menurut saya persoalannya justru di
situ, untuk menjaga mereka terus-menerus asing. Jadi satu sisi
emang, kita tidak mau mendekati mereka, dengan praktik yang
terjadi ya. Kita malah mengasingkan mereka, dan malah
menjaga jarak dengan mereka.
Peneliti : Menurut mas sendiri, bagaimana pandangannya mengenai
mahasiswa Papua? Mereka ke Yogyakarta membawa budaya
yang biasa mereka lakukan di tempat asalnya dan kebanyakan
tidak sesuai, atau malah tidak disukai masyarakat Yogya.
Narasumber : Pun sebetulnya permasalahan tersebut muncul juga karena
orang Jawa tu banyak bikin ulah di Papua sebetulnya, jadi
kadang-kadang rasanya tidak fair ya. Kita bertahun-tahun sejak
Papua masuk kan kita bikin ulah ya di sana. Akhirnya mereka
112
punya uang, mereka mengakses pendidikan, punya peluang ke
Jogja. sampai di sini, mereka membuat siasat-siasat yang
sebetulnya juga mungkin mengakali biar tetap selamat di sini.
Dengan misalnya tidak membayar kos, atau kalau ditagih malah
ngotot, itu sebenarnya kan siasat juga dari mereka. Yang
merasa, ya cara mereka berjuang untuk tetap di sini, walaupun
ya tidak ada uangnya juga. Jadi memang itu problematis juga,
misalnya ada persoalan yang sering ditemui sehari-hari,
misalnya mereka mabuk, bikin onar. Ya itu menurut saya keliru,
tapi kekeliruan itu dibumbui dengan sentimen rasial orang-orang
di sini. Dan barangkali orang-orang di sini itu orang-orang
aslinya itu tidak ada kok. Sebaiknya ya dicermati lagi siapa sih
orang asli, jangan-jangan memang tidak ada orang asli. Semua,
misalnya saya juga kan pendatang dari Klaten (tinggal di
Yogya), melihat orang Papua lalu merasa diri jadi pribumi,
jadinya dia orang pendatang. Padahal sama-sama pendatang,
kalau mau diusut lagi. Jadi, itu poin yang menurut saya perlu
dicermati. Walaupun misalnya, menurutku begini, mereka
membuat onar, ya sudah di selesaikan secara, karena mereka
membuat onar. Buatku kritiknya sekarang ada pada penegakan
hukum yang cenderung, di sini menurutku abai sih. Pengabaian
pertama misalnya, mereka tidak pakai helm di jalanan, nah
kenapa polisi tidak menangkap? Buat saya, itu justru
representasi dari apa yang biasanya mereka lakukan kepada
orang-orang ini. Toleransi yang tidak diperlukan kepada mereka.
Dalam tanda kutip ya mereka ingin “cuci tangan”. Penegak
hukum ini tidak bekerja dengan baik, sehingga sentimen itu
kemudian muncul. Misalnya, kalau dia bikin keributan, aku
telpon polisi, diselesaikan, jadi beres semuanya. Polisi
menindak, itu beres. Dan aku menganggap dia kriminal saja,
bukan “orang Papua”. Jadi di sini adalah ketika membuat dia
menjadi kriminal, aku membuat sebuah cap lagi bahwa dia
“orang Papua”. Sehingga kriminalnya malah cenderung hilang,
malah capnya menjadi “orang Papua”. Itu buatku yang perlu
dicermati di situ. Karena kalau yang aku lihat, persoalan-
persoalan ini sering muncul karena itu. Tidak segera ditindak
secara hukum, terus kemudian jadi yang berkembang secara
lingkungan, ya adalah sentimen rasial. Ya padahal kalau dia
mabuk ya mabuk wae, kabeh wong mabuk tapi yang dilihat
adalah karena dia Papuanya.
Peneliti : sejauh yang mas lihat, stereotip pemilik kos di Babarsari
tentang mahasiswa Papua itu bagaimana?
Narasumber : sialnya ya, di banyak daerah itu malah ada penjelasan yang
secara eksplisit bilang, itu biasanya di rapat-rapat formal RT,
untuk tidak menerima orang-orang dari Papua di wilayahnya.
113
Dan itu diicarakan dalam rapat-rapat formal. Saya pikir itu jauh,
ternyata ya kenyataannya begitu. Bisa jadi ya itu karena
memang sebetulnya ada keresahan dari orang Yogya sendiri
ketika tidak bisa membuat dialog yang baik dengan mereka.
Misalnya kalau kita tidak resah, aku berani menerima orang
Papua. Kenapa? Ya karena aku ketika dia nanti membuat onar
aku bisa menyelesaikan dengan cara yang aku bisa lakukan. Nah
di sini, tidak terjadi, sehingga mereka punya ketakutan.
Akhirnya aku menjaga diri, akhirnya aku memberi batas,
akhirnya mengasingkan mereka. “Ya sudah mereka diletakkan
aja di tempat-tempat yang entahlah di mana, jangan di
wilayahku”, begitu. Jadi ya stereotip itu ada walaupun malu-
malu ya, tetapi sangat kental. Biasanya dengan ditulis
“menerima kos muslim”.
Peneliti : mas sendiri mengetahu tidak kasus-kasus yag melibatkan
mahasiswa Papua di Babarsari?
Narasumber : tau, taunya begini ya, itu secara personal membuat saya
semakin dilematis, saya peneliti, saya dari antropologi, setidak-
tidaknya saya mencoba untuk memahami mereka dengan cara
saya sendiri. Tapi saya punya persoalan lain, saya orang
Babarsari, orangtua saya tinggal di situ, saya punya keresahan
karena wilayah itu sering terjadi kerusuhan, jadi problematis,
satu sisi kan sebenernya banyak hal yang orang Papua lakukan
itu ya sangat tidak perlu, tapi di satu sisi mengapa mereka
melakukan itu? Itu yang perlu dicaritahu, dan tidak pernah ada
upaya ke sana. Jangan-jangan memang mereka merasa butuh
menunjukkan itu karena sebelumnya mereka merasa diinjak-
injak. Pawai yang terjadi di Babarsari itu buat apa coba? Itu
mereka jalan bawa-bawa tombak dan segala macam, mereka
sedang ingin mempertunjukkan kekuasaan mereka sebetulnya.
Di satu sisi mereka bisa melakukan ini. Tapi kenapa harus
ditunjukkan? Mereka sedang menunjukkan kepada siapa?
Kepada orang-orang yang selama ini mengganggu mereka
justru, misalnya orang-orang Ambon. Orang-orang Ambon itu
tidak kalah rusuhnya, dalam artian sering mengganggu orang-
orang Papua ini. Justru ini menarik ya, sehingga sebetulnya, jika
saya melihat, orang-orang Papua ini merasa sayang tertekan.
Terus pengen meluapkan exercising power dengan cara “aku
bisa sebenarnya survive, aku bukan orang lemah”. Yang sialnya
itu juga diberi ruang oleh polisi dan orang-orang Yogya. Ya
kalau menurutku ya itu juga konyol juga. Dan proyek
multikultulaisme di Yogya ini masih panjang, banyak PR-nya.
Peneliti : seberapa besar sih pengaruh kasus-kasus tersebut terhadap
stereotip pemilik kos di Babarsari?
114
Narasumber : sangat besar, sekarang kita tanpa tau konteks apapun
disebarkan melalui Whatsapp, disebarkan melalui media sosial
yang saya tau adalah mereka ya bikin onar, dan mereka pun juga
dengan caranya menunjukkan identitas kultural mereka
sebetulnya. Dalam artian mereka menunjukkan identitas-
identitas kultural yang mereka miliki untuk ditunjukkan ke
publik. Mereka dengan konvoi itu dan sebetulnya mereka ingin
biar ditakuti, biar tidak diganggu juga sebetulnya. Itu ya karena
proyek multikultural yang gagal toh sebenernya, mereka harus
melakukan itu. Jadi nek menurut saya, stereotip itu muncul
karena kita tidak bisa menangani persoalan-persoalan yang
sebenarnya bisa ditangani dengan cara yang efisien. Selama
hukum bisa berjalan dengan baik, saya merasa tidak akan terjadi
seperti itu. Tetapi terus kita merasa itu lemah lah sehingga
stereotipnya jadi macem-macemlah, ke mana-mana.
Peneliti : dari banyaknya kasus di Babarsari, menurut mas kasus mana
sih yang paling mempengaruhi, dalam artian membuat pemilik
kos di Babarsari jadi tidak menerima mahasiswa pendatang dari
Papua?
Narasumber : kasus yang paling ku inget itu ya yang kemarin itu, ketika
mereka “jalan sore”, membawa tombak, macem-macem di jalan
sekitar Babarsari, Citrouli itu. Yang kasus mereka sama orang
Ambon di cafe itu. Itu yang terngiang juga karena kan aku
melihatnya pakai handphone, ya jadi persoalan.
Peneliti : jadi dari data yang saya dapatkan, saya melihat bahwa saluran
sosial yang paling berpengaruh terhadap pembentukan stereotip
pemilik kos wilayah Babarsari terhadap mahasiswa pendatang
dari Papua itu adalah lingkungan, dalam artian ya desas-desus
dari masyarakat. Menurut mas saluran sosial mana yang paling
berpengaruh terhadap terbentuknya stereotip pemilik kos di
Babarsari?
Narasumber : kalau menurutku, ada satu titik di mana informasi itu sekarang
meluas melalui media sosial. Teknologi informasi ini yang
membuat ada persoalan-persoalan yang sebenarnya jauh dari
saya tetapi jadi sangat relevan seolah-olah ada di depan mata.
Nah itu yang buatku jadi mendorong kekhawatiran berlebihan
jadi, entah menurutmu ini termasuk saluran sosial juga atau
bukan, tapi menurutku ada kecenderungan informasi yang
disebarkan melalui teknologi informasi ini membuat kepanikan
berlebihan sehingga stereotip ini semakin kuat, jadi betapa
kuatnya internet misalnya, kalau dulu saya cuma diceritain
misalnya “eh itu habis ada tawuran” “di mana?” “di sana, di
Babarsari” “oh iyaiya”, hanya begitu. Kalau sekarang,
gambarnya ada, suaranya ada, teriakannya ada, bahkan kalau
115
sudah ada kekerasan ya darahnya ada, muncul semua. Betapa itu
sangat berkesan ketika saya bisa melihat langsung di handphone
saya. Dan itu kan eskalasi yang sangat besar. Apalagi sudah
berbicara mengenai kekerasan, “wah mahasiswa Papua ini ngeri
sekali”. Padahal mungkin dicek lagi angka kekerasan di
statistiknya malah sedikit, anak-anak SMP mungkin lebih gila
lagi kalau tawuran, tapi itu mungkin tidak terekam atau luput
dari pemberitaan sehingga rasanya biasa saja. Atau jangan-
jangan ini juga mengeskalasi, mengeskalasi stereotip yang
semula hanya desas-desus sekarang sudah ada wujud realnya,
visual, suara, disebarkan ke manapun bisa. Bahkan mungkin
dikomenin ya. Dan itu menurutku gila juga, dilempar di
facebook terus aku mungkin awalnya bisa berpikir jernih pada
visual audio yang ada di internet ini. Tapi kemudian komentar-
komentar lainnya membakarku kan, “wah ini gila ini”. Jadi
ketika dulu aku diceritakan temanku, di Babarsari ada tawuran
dan sebagainya, dari yang dia lihat lagsung, cerita ke aku.
Seberlebihan-berlebihannya temanku yaa aku paling “ohh
iyaiya”. Tapi sekarang yang lebai banyak banget di internet,
yang komen juga saling bertubrukan. Ada gambarnya,
visualnya, semua-semuanya tumbuk di situ. Jadi mungkin itu
yang mengeskalasi.
Peneliti : lalu kalau menurut mas, apakah desas-desus dan pengaruh
lingkungan itu menjadi faktor yang cukup kuat juga dalam
terbentuknya stereotip?
Narasumber : sangat kuat. Indonesia itu banyak sekali kekerasan yang
dimulai dari desas-desus. Sejauh saya ingat ya dari kekerasan
1965, PKI. Dibantai semua itu, dibantai karena apa? Desas-
desus. “kayanya dia itu PKI, men” “oh iya?” “iya kemarin dia
rapat, rapat kesenian-kesenian gitu deh” “loh di mana?” “itu di
deket markasnya PKI” padahal dia ini lembaga kebudayaan
rakyat misalnya. Yang afiliasinya berbeda dengan PKI, tetapi
karena omonganku ini, desas-desus yang tidak ada
juntrungannya ini, orang-orang ini dibunuh, misalnya. Lanjut
lagi, 2000. Kalian ingat kasus Banyuwangi? Yang kasus ada
dukun-dukun santet dibunuh? Siapa ada yang bisa menunjukkan
dengan presisi kalau aku ini dukun santet? Bahkan dulu orang
menyebut dia dukun santet atau bukan ya karena ketidaksukaan
pada orang ini. Jadi desas-desus itu menjadi kekerasan besar.
Kalian dari Kalimantan, Kalimantan dengan Madura kemarin,
desas-desus bukan? Ya desas-desus. Persoalannya apa itu?
Pangat kecil, tapi ya bermula dari desas-desus yang sangat
besar. Seingat saya di Kalimantan itu, tapi kayanya yang parah
itu di Kalimantan Tengah. Ada beberapa tempat itu yang disebut
ini “kampung Jawa”, bahkan bukan kampung, kabupaten. Itu
116
konotasinya baik atau buruk menurutmu? Sangat buruk, karena
itu pluralistik. Kita tingga bersama tetapi dipisah-pisahkan oleh
diri kia sendiri. Akhirnya malah tidak pernah ngobrol. Padahal
kalau kita ngobrol gini sambil minum kopi, orang Kalimantan
juga ya tidak seram-seram amat. Ini karena ada komunikasi
yang jalan, itu yang harusnya terjadi di dalam proyek
multikulturalisme ini. Yang karena menurutku ini macet karena
kita cenderung malah memisah-misahkan. Secara rasial. Bahaya
sebenarnya. Kita punya contoh kasus panjang juga, misalnya
Pecinan. Kenapa di sebut pecinan ya karena banyak orang Cina
tinggal di sana. Kenapa banyak orang Cina tinggal di situ?
Karena banyak orang Cina sulit mendapatkan tempat tinggal di
luar Pecinan. Kenapa? Karena terus-menerus diasingkan aja
dengan orang-orang yang dianggap pribumi, ya terus macet,
obrolannya tidak jalan. Itu butuh, butuh kalian mungkin yang
bisa ngobrol dengan orang banyak secara lebih santai.
117