Analisis Kasus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua Di Surabaya
Analisis Kasus Rasisme Terhadap Mahasiswa Papua Di Surabaya
SURABAYA
16 Agustus
Pejabat kecamatan mengklaim, tiang yang mereka tancapkan sehari sebelumnya telah berpindah
tempat. Menurutnya, tiang yang tadinya berdiri di depan pagar hari itu berada di antara batas
asrama dan rumah sebelahnya.
Sekitar pukul 09.00 WIB, versi mahasiswa Papua, rombongan kecamatan, koramil, dan polsekta
lalu mengecor tiang bendera bendera baru. Titiknya persis di lokasi sebelumnya.
Dalam kronologi tertulis mereka, penghuni asrama Kamasan berkata pengecoran tiang bendera
itu dilakukan anggota Satpol PP serta polisi dan tentara tak berseragam.
Sebelum pukul 16.00 sore, rombongan pejabat kecamatan, koramil, dan polsekta Tambaksari
kembali datang ke asrama. Pemicunya, tiang bendera yang mereka pasang bengkok ke arah
tanah. Bendera Merah Putih yang terpasang pada tiang itu menyentuh got di depan pagar asrama.
RW menyebut foto kondisi tiang bendera tersebut menyebar di group Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan Pacar Keling, Tambaksari.
Dorlince Iyowau, perwakilan mahasiswa menuturkan bahwa mahasiswa tidak tahu mengenai
perusakan bendera tersebut. Mereka baru tahu Ketika TNI datang ke asrama mereka. "Kami tahu
ketika TNI datang dobrak-dobrak tanpa pendekatan hukum, yang langsung main hakim sendiri
dengan Satpol PP dan ormas reaksioner." Selain itu pimpinan RW dikawasan tersebut juga tidak
mengetahui siapa yang melakukannya.
Terjadi penangkapan 43 mahasiswa untuk dimintai keterangan mengenai perusakan bendera
merah putih.
Kemudian yang menjadi pemicu aksi unjuk rasa masyarakat Papua di Manokwari adalah
tindakan aparat keamanan yang kasar main hakim sendiri atas masalah tersebut. Dalam video
yang beredar di sosial media, seorang pria berseragam terlihat menudingkan tangannya kearah
mahasiswa. Bersamaan dengan hal tersebut, terdengar pula kata-kata rasial berupa nama-nama
binatang (monyet) terlontar kepada mahasiswa Papua. Selain itu juga mengenai penangkapan 43
mahasiswa yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Kolonialisme mewariskan sifat rasisme terhadap wilayah jajahannya. Bangsa eropa
membuat masyarakat terbagi atas tingkatan-tingkatan yang berbeda berdasarkan bentuk fisik, ras
dan sebagainya.Isu rasisme di Indonesia terjadi bukan hanya sekali duakali. Interpretasi rasisme
yang terjadi di Surabaya dilandasi cara pandang bahwa perlakuan rasisme yang mereka rasakan
adalah bagian dari tindakan kolonialisasi oleh Indonesia. Banyak manusia Indonesia
menganggap berbeda dengan manusia Papua yang dianggap berkualitas monyet sehingga
layak dilabeli kata monyet.
Hal ini tentunya tidak sejalan dengan sifat kebudiluhuran yang sudah diajarkan sedari
kecil dan seharusnya tertanam dalam diri manusia. Cinta kasih, toleransi, dan sopan santun
seharusnya lebih ditekankan pada kehidupan masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia
merupakan negara yang plural dimana ada banyak keberagaman budaya, fisik, cara pandang dan
lain-lain.
Dalam kasus yang sudah dipaparkan diatas, sebenarnya masalah tersebut bisa
diselesaikan dengan kepala dingin. Dari yang saya pahami, mahasiswa Papua tidak melakukan
tindakan yang mengancam terhadap aparat, terlebih lagi pelaku perusakan bendera belum
diketahui. Tindakan aparat keamanan negara yang terlihat kasar justru membuat mereka terlihat
main hakim sendiri. Sifat main hakim sendiri sangat tidak dibenarkan, apalagi tindakan ini
dilakukan oleh aparat negara yang seharusnya mengerti bagaimana menghadapi persoalan
tersebut. Pada akhirnya 43 mahasiswa yang ditangkap dipulangkan ke asrama karena menurut
pengakuan mereka tidak mengetahui pelaku yang menyebabkan bendera tersebut rusak.
Source :
https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/876/491
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49446765
https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/04/133000923/antropolog-jelaskan-asal-usul-
rasisme-di-indonesia?page=all