Anda di halaman 1dari 34

Analisis Diskursus Rasisme Mahasiswa Papua di Kota Surabaya

Yanius Kogoya
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya
Yanius.17040564086@mhs.unesa.ac.id

M. Jacky
Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya
jacky@unesa.ac.id

Abstrak
Tujuan Penelitian ini menganalisis ujaran rasisme terhadap mahasiswa Papua di
Surabaya, dengan menggunakan konsep dan teori power of knowledge Foucault dan metode
analisis Foucauldian. Teknik analisis data dengan mencermati statement-statement subjek baik
dengan wawacara maupun melalui pernyataan di media. Hasil penelitian ini menghasilkan
delapan diskursus yang mencerminkan ideologi subjek. Diskursus resmi Pertama, diskursus
pemerintah resmi “Otonomi Khusus”, “Pembangunan”, “Kelompok Kriminal Bersenjata /
teroris”, diskursus resmi ini melegitimasi melalui akselerasi pembangunan dan merginalisasi
kelompok oposisi. Kedua, diskursus elit politik pusat “Papua Kondusif”, “Keadilan’,
“Persatuan”, “Otonomi Khusus”, “Diperhatikan Secara Kompreshensip”, “Papua Bagian Dari
Integral NKRI”, “Otonomi Sebagai Solusi”, elit politik menyanbung lidah korban, sumultan
oportunis. Ketika, pelaku rasisme “Monyet” “Provokasi”, “Hoak”, kelompok yang mereproduksi
diskursus rasisme politik. Keempat, diskursus mayarakat pro-integrasi; “Satu-Kesatuan”, “Cinta
Damai”, “Papua Bagian Dari Indonesia”, gerakan pro-integrasi ingin tetap dalam bingkai NKRI.
Diskursus alternatif lain, lanjut kelima, diskursus mahasiswa korban “Kami Ciptaan Tuhan
Bukan Monyet”, “Ormas Reaksioner”, “Keadilan”, diskursus alternatif korban menolak kelainan
dan menuntut penegagkkan konstitusi. Keenam, diskursus Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
“Ketidakadilan”, “Tolak Otonomi Khusus”, “Papua Merdeka”, gerakan AMP subversi terhadap
ideologi dominan, sekaligus gerakan refreedom Papua merdeka. Ketuju, diskursus masyarakat
Papua anti-rasisme “Otonomi Khusus Habis Papua Merdeka”, “Kami Bukan Bangsa Monyet,
Kami Manusia”, “Mobilisasi”, diskursus aspirasi masyarakat Papua ingin emansipasi dari korban
diskursus. kedelapan Counter discourses objektif “Persoalan Internasional”, “Korban Diskursus”,
“Hak Asasi Manusia/HAM”, “New Kind Of Nationalism”,”Ketidakadilan”, “Bangsa ini Tidak
Suka Sejarah”, konter diskursus pandangan kaum intelek dari pinggiran kekuasaan. Dalam
penelitian ini ujaran rasisme “Monyet” sebagai pintu masuk dalam analisis pergualatan ideologi
dominan dan ideologi subordinasi serta counter discourses.

Kta kunci: Diskursus, Power/Knowledge. Rasisme Monyet, Struggle Ideology

Abstract
The purpose of this study to analyze racism speech against Papuan students in
Surabaya, using the concepts and theory of Foucault's power of knowledge and Foucauldian
analysis methods. Data analysis techniques by looking at the statements of the subject either by
means of interviews or through statements in the media. The results of this study produce eight
discourses that reflect the ideology of the subject. Official Discourse First, the official
government discourse "Special Autonomy", "Development", "Armed Criminal Groups /
terrorists", this official discourse legitimizes through accelerated development and marginalizes
opposition groups. Second, the discourse of the central political elite "Papua is Conducive",
"Justice", "Unity", "Special Autonomy", "Comprehensive Attention", "Papua is Part of the
Integral of the Republic of Indonesia", "Autonomy as a Solution", political elites address victims
opportunist sumultan. When, racists "Monkey" "Provocation", "Hoak", a group that reproduces
the discourse of political racism. Fourth, the discourse of the pro-integration society; "Unity",
"Love of Peace", "Papua is part of Indonesia", the pro-integration movement wants to remain
within the framework of the Republic of Indonesia. Another alternative discourse, continued
fifth, is the discourse of student victims of "We Are God's Creations, Not Monkeys",
"Reactionary Organizations", "Justice", the alternative discourse of victims rejecting
abnormalities and demanding constitutional enforcement. Sixth, the discourse of the Papuan
Student Alliance (PSA) "Injustice", "Reject Special Autonomy", "Free Papua", the PSA
movement of subversion of the dominant ideology, as well as the free Papua refreedom
movement. The goal is the discourse of the Papuan anti-racism "Special Autonomy After Free
Papua", "We Are Not a Monkey Nation, We Are Human", "Mobilization", the discourse of the
Papuan people's aspirations for emancipation from the victims of discourse. eighth Counter
discourses objectively "International Issues", "Victims of Discourse", "Human Rights / HR",
"New Kind Of Nationalism", "Injustice", "This Nation Does Not Like History", a counter
discourse from the views of intellectuals from the margins of power. In this research, the racism
utterance of "Monkey" is an entry point in the analysis of the struggle between dominant
ideologies and ideologies of subordination as well as counter discourses.

Key words: Discourse, Power / Knowledge. Monkey Racism, Struggle Ideology

PENDAHULUAN persoalan yang terjadi di lapangan. Biar


Rasisme terhadap mahasiswa bagaimanapun di satu sisi, mereka
Papua kembali menjadi diskursus politik. merupakan elit politik yang tentu memiliki
Ketika diskursus menjadi diskursus politik, kepentingan (partikulatif) di posisi mereka
maka adanya permainan ideologi dominan sekaipun diskursus mereka mengakui di
untuk membungkam ideologi subordinat. publik bahwa memiliki motif murni untuk
Kekuasaan dominan senantiasa mengisih penyelesaikan persoalan di lapangan.
setiap celah untuk memperkuat dan Korban rasisme berbeda. Korban
mengukuhkan ideologi kekuasaan dominan. tidak hanya mahasiswa saja, melainkan juga
Bagian yang lain, mempelantingkan mereka Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
yang secara ideologi tidak berdaya (inferior) Berdasarkan data observasi di lapangan
dengan sarana diskursus rasisme yang menunjukkan bahwa mahasiswa korban
bernuansa ideologi politik. fakta aktual, ada rasisme berjumlah 13. Dan 10 diantaranya
konsekuensi diskursus rasisme laki-laki, 3 orang mahasiswi. Kemudian, 30
menimbulkan guncangan yang luar biasa di mahasiswa datang setelah terjadinya ujaran
Indonesia serta menjadi ajang kepentingan rasisme sebagaimana diketahui ujaran secara
politik para elitis dalam memproduksi dan verbal seperti “Monyet”, nada rasial ini
mereproduksi diskursus. Kedatangan dapat ditunjukkan kepada mahasiswa Papua.
pemerintah pusat dan pemerintah (Jawa Selain mahasiswa, juga seluruh masyarakat
timur dan Provinsi Papua) daerah secarah Papua merasa menginjak martabat dan
berbondong-bondong untuk menyelesaikan harkat sebagai ras melanesia atau secara
umum ras negroid. (melalui You Tube. Dengan BeritaSatu,
Insiden ujaran rasisme yang 09/02/2019). Mereka menuduh ketua umum
terjadi 16-17 Agustus yang lalu. Menurut United Liberation Movement for West
Katharina (2019) dalam insiden Papuan (ULMWP) yang dipimpin oleh
tersebut, bermula adanya dugaan Benny Wenda, merupakan aktor dan
pembengkokan tiang Bendera Merah Putih provokasi, disampaikan melalui konten You
terantuk di bagian parit. Kemudian, muncul Tube dengan akun: Metrotvnews
tuduhan bahwa bendera merah putih dengan (07/09/2019).1
posisi miring tersebut dilakukan oleh Diskursus rasisme politik,
mahasiswa Papua di Kalasan III. Hal didukung dengan beberapa studi yang
tersebut, mengundang kemarahan massa. berbeda, seperti yang dilakukan oleh
dalam kajian “singkat terhadap isu faktual Sugandi (2008) di bidang pertambangan dan
dan strategis” menunjukkan keterlibatan pertanian ada pemberlakuan diskriminasi
pelaku dalam insiden di Surabaya rasial orang Papua diposisikan sebagai
diantaranya: Ormas berjumlah 700 massa inferior dalam aktualasasi Orang Asli Papua
dengan sebutan FKPPI. Hipakad, Pemuda (OAP). Studi yang sama dilakukan oleh N.
Pancasila, Patriot Garuda, Pagar Jati, dan Islam (2012). Dalam kerangka pemikiran
FPI mendatangi asrama mahasiswa dengan Ilmu Komunikasi, pada dasarnya tulisan ini
teriakan sampai ujaran rasial berdasarkan merupakan sepenggal proposisi dari tinjauan
laporan warga, pada tanggal 17 Agustus Kajian Media dan Minoritas, dengan
2019. Disamping itu, pihak pihak maksud menggali pesan-pesan etnisitas
pemerintah dari Satpol PP, Aparat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika di
Kepolisian, dan Aparat TNI datang ke lokasi Media, khususnya program televisi
melakukan langkah persuasif, namun “Keluarga Minus” di saluran TransTV.
kehadiran mereka membuat 43 Mahasiswa Representasi mempunyai dua urgensi yang
benar-benar “trauma”, sehingga langkah harus dipahami dalam konsepsi tersebut,
persuasif tidak berjalan dengan efektif. yakni representasi mental atau konsep dan
Sebab itu, ujararan rasisme dari kegagalan representasi bahasa. Sitkom melalui saluran
proses presuasif Mercer (2020). stasiun TransTV, salah satu seorang asli dari
Rasisme diskursus politik, impact Papua bernama Minus berwarna kulit hitam,
rentetan guncangan dari di Kota Surabaya, dalam andegan shooting, menjadi sasaran
isu rasisme ini beredar di Papua dan Papua rasial karena kepribadian yang dimilikinya.
Barat dengan akselerasi kecanggihan Pada kesempatan yang lain, studi yang
kemajuan teknolog, lalu membangunkan dilakukan Saputra (2017) menurutnya,
ekpresi masyarakat dibuktikan melalui politik identitas negatif di Menokwari terlalu
demonstrasi anti-rasisme. Selain Self-determination memunculkan
menyampaikan aspirasi, juga ada tindakan- pertentangan antar etnis, kekerasan,
tindakan yang dinilai “anarkis” intoleransi, penolakan terhadap yang
melumpuhkan fasilitas umum termasuk berbeda, serta rasisme. persolan mendatar
milik personal (mobil, kios, rumah dll). ketidakpuasan publik Papua, diantaranya
Sekali lagi, di daerah pun keterlibatan para yaitu masalah optimalisasi pelayanan publik,
elit pusat bekerja sama dengan elit lokal isu pembangunan manusia yang tetap
untuk menangkapi demonstrasi dan tindakan
anarkis. Dalam aksi tersebut, Kepala 11
Mengungkap Provokator Kerusuhan di Papua
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tito
(https://www.youtube.com/watch?v=uGWmiMZ7V8s&list
Karnavian dan Menkopolhukam Wiranto =TLPQMTYwMzIwMjFAG-BfOWP37g&index=2)
memperhatikan nilai-nilai budayanya, punishment yang diberikan pelarangan untuk
pembangunan infrastruktur, keadilan politik, tidak hadir terhadap suporter dalam
isu rasisme, dalam studinya Febrianti et al pertandingan. Tidak hanya dilarang untuk
(2019). datang pada saat pertandingan, tetapi juga
Paralelnya, rasisme terjadi pada memberikan denda terhadap pelaku Rivai
2019 di Kota Surabaya, ada fenomena yang (2013). Memahami rasisme dalam ajang
seragam telah kontraversial. dalam hal ini, permainan sepak bola menjadi senjata tajam
kontroversial ditimbulkan oleh Ambrocius, untuk meruntuhkan para pemain, sebelum
berawal dari kritikan Natalis Pigai mengenai belum menentukan pada mereka yang kalah
realisasi Vaksin Sinovac ke rakyat. atau menang. Contoh lain, xenofobia dalam
Kritikan pada intinya, realisasi Vaksin bentuk bendera “poster”, “kaos”, “stiker”,
Sinovac boleh dilakukan akan tetapi akan “penggunaan suara monyet” dan “lempar
diterima atau tidak terima bergantung pada pisang” terhadap pemain kulit hitam seperti
Hak Asasi Manusia, kemudian Ambrocius pemain terkenal Ronaldinho, Thierry Henry,
Nababatan tidak terima dengan kritikan dan Roberto Carlos. Tentunya, ujaran
tersebut. Akhirnya, Ambrocius melabelkan rasisme ini untuk memotong urat-urat
mantan Komisioner sebagai seekor “Gorila”. pemain, sehingga main tidak profesional
Argumentasi pelaku hanya ingin dalam sepal bola (Fotball) Llopis-Goig
menggunakan “satire” sebagai respon balik (2009).
dari kritikan mantan Komisioner tersebut. Dalam konteks sepak bolah,
(Tribunnews.com 25/02202). pemain di Indonesia khusus pemian asal
Fenomena rasisme di Eropa. Papua menjadi korban rasisme. seperti boaz
Beberapa studi seperti studi Foucauldian Solossa, Titus Bonai Pratick Wanggai.
yang dilakukan oleh Lentin (2004). Ia telah Pemain dari Indonesia timur boaz dan Titus
memperlihatkan rasisme di Eropa pada Bonai korban rasisme pada tahun 2019 lalu
abad-17-20. Bagaimana diskursus rasial (Indosport 2019). Sedangkan, Patrick pada
terhadap semitisme etnis Yahudi. Uletan tahun 2021 di Makasar dan ia mendapatkan
rasisme studi yang sama dari Darnell (2007). ujaran rasisme oleh sporter persija Jakarta.
Menerutnya, dinamisasi rasisme tidak statis, (Hai.grid.id 2021).
tetapi ulet dan fleksibel. Ada bentuk formasi Rasisme di Amerika Serikat
diskursif penanda perbedaan, yaitu (US). Berdasarkan beberapa studi
seksualitas, pedagogi, parenting (orang tua), Foucauldian, seperti Mendieta (2004).
domestifikasi, dan perbudakan. Studi serupa Mandieta memberitahukan bahwa Amerika
dari oleh Macey (2009). Lebih menekankan serikat memiliki riwayat rasial dalam
implementasi kekuasaan, pada sistem politik sejarah, supremasi orang kulit putih terhadap
nazizme terhadap etnis Yahudi. orang kulit hitam masih kental dalam stigma
Rasisme juga melanda di sepak yang terpolarisasi. Lagi, Studi Foucaudian
bola, wajah rasisme tidak asing lagi dalam yang dilakukan oleh Jabri di US bahwa
konteks sepak Bola Italia tidak terlepas dari rasisme tidak lagi dipahami sebagai
ujaran rasial terhadap para pemain yang pengolongan spesies berdasarkan ciri-
bernama Mario Balotelli di suarakan dari cirinya, tetapi rasisme dipahami sebagai
suporter seperti “…suara monyet 'buu buu', diskursus politik Jabri (2007). Sekali lagi,
dicemooh setiap kali mereka menyentuh Rasisme menurut Sahabanahirad bahwa
bola atau menjadi sasaran nyanyian” berbagai legitimasi diskursus, seperti yang
Doidge (2015). Bahkan Mario Batotelli berdasarkan jenis kelamin, kelas, seksualitas
diterikan “black Monkey”. sebagai dan ras, ditafsirkan/interprestasi, dan
diabadikan E. Sahabanirad (2017). Bahkam alternatif lain (hypomnema) pengetahuan
Sonu menampilkan bahwa rasisme juga tersembunyi, selain juga terdapat konter
terjadi bindang pendidikan sangat kentara diskursus (counter discourse) yang lebih
Sonu (2020). Contoh yang lain legitimasi kepada rute intelektual dan meninjau
rasisme, isu rasisme di Minneapolis New persoalan objektif dari sudut kekuasaaan
York atas kematian G. Floyd mengundang Foucault (1997). Diskursus Foucault
protes ditengah-tengah isu pandemi. penggunaan “bahasa”, “Sebagai “modus”
Persoalannya, stigma ‘kulit hitam’ masih dalam praktik kekuasaan.
dipandang sebagai seorang “pencuri” Konsep dan teori Power of
Mercer (2020:3). knowledge Michel Foucualt Perspektif erat
kaitan dengan kekuasaan, formasi-formasi
METODE PENELITIAN diskursus yang membangun strategis dalam
Studi ini mengunakan metode relasi kuasa (relation of power)Foucault
kualitatif dengan mengunakaan pendekatakn (1972). Foucualt nenendang (kick out)
analisis diskursus Foucauldian. kekuasaan tidak terletak tunggal absolut,
Diskursus/wacan yang mengandung kaum elitis cukongan, dinasti, serta hierarki,
pernyataan (statement) Wiradnyana (2018). bukan pula, monarki atau pun oligarki.
Pengambilan data melalui media dan Namun baginya kekuasaan tidak terpisahkan
wawancara. Dalam pendekatan media dengan relasi kuasa yang horizontal yang
massa untuk menganalisis pernyataan- berhungan dengan kekuasaan-pengetahuan.
pernyataan subjek yang berotonom. Dalam hal ini, diskursus/wacana
Sedangkan wawancara, menghadirkan 6 yang diproduksi kekuasaan berhubungan
subyek korban rasisme di kota surabaya dengan kepentingan kekuasaan. Kerapkali,
pada 2019 silam di Asrama Papua, Kamasan kekuasaan dominan mendiskursus terhadap
III, Jawa Timur. Berbeda dengan mereka yang powerless/speechless.
pendekatan Fenomenologi masuk pada Sehingga pihak subordinan cenderung
pemikiran subjek, seperti yang diyakini dimarginalkan oleh kekuasaan dominan.
Husserl bahwa fenomena berada dalam Dan kekuatan inferior senantiasa
consciousness seseorang kepada siapa membenteng diri dari diskursus resmi dan
fenomena tersebut menampakkan diri dalam terjadinya pergulatan ideology (struggle
bentuknya yang asli Asih (2015). Arkeologi ideology).
keterkaitan dengan sejarah yang cenderung Foucault tidak berfokus pada
hubungan dengan antropologi Hasrah (2013) persoalan rasis, paling tidak pernah
filologi melihat dari unsur kebahasaan, studi menyinggung rasisme secara langsung dan
literatur pada penekanan teknis dan lintas, eksplisit, tetapi dalam konteks ceramahnya
psikologi lebih condong subjektif dan di Colle`ge de France, dari tahun akademik
deskriptif individualis Mujib (2015). 1975–76 Foucault (1975). Diskusi singkat
Arkeologi Foucault tekad untuk mencari tentang kuliah ini akan memungkinkan kita
diskursus-diskursus yang diproduksi oleh untuk menghargai cara pendekatan Foucault
geneologi/kekuasaan untuk memahami terhadap rasisme dapat menjadi wawasan
spektrum situasi teristimewa erat kaitan dan berguna dalam konteks "Amerika".
dengan kekuasaan. Diskursus lain yang perlu
dipahami dalam Karya Mihel Foucault.
KAJIAN PUSTAKA Diantaranya yaitu, The Birth of Clinic
Dalam perspektif Foucault, jika Foucault (2003), Madness and Civilization
ada diskursus resmi maka ada diskursus Foucault (1972), Foucault (1972b) di tahun
1969 ia menulis L'Archéology du Savoir didasarkan pada salinan William Marsden's
(the Archeology of Knowledge (1972) guna Dictionary (1812). Pada satu sisi, wilayah
memperdalam domain teoritis karya bagian timur digambarkan Frizzled (keritng)
lampaunya serta mendekontruksi- disandingkan dengan orang Afrika (negro),
rekontruksi pemahaman yang telah dicapai sedangkan halaman 135 menuliskan bahwa
sebelumnya. Memberikan penjelasan erat Papuwah frizzled/kusut, pulau New-
kaitan dengan judul “The Order of Things Guinea—penghuni pulau itu adalah dari ras
An Archaeology of the Human negrito (negroid). Penjelasan Crawfurd
Sciences”Foucault (1976). Sanusi (2010) masih ambigu dalam pegangan
Historis of Sixuality, Foucault (1972-1977) pendefinisian Gelpke (1993)
diciplines and punishment Foucault (2012). Diperjelas oleh Mashad (2020)
Beberapa diskursus tersebut tidak hanya berjudul “Muslim Papua Membangun
sebatas label, namun ada praktek-praktek Harmoni Berdasar Sejarah Agama di Bumi
yang menjadi pengetahuan berlegitimasi Cendrawasih”. Ia menguraikan
untuk merealisasikan. bahwasannya, Istilah Papua asal-usulnya
masih kontroversial. Dalam perspektif
Sekilas, melihat dialektika sebagian muslim, nama paling valid untuk
diskursus Foucault, dalam pemkiran Derrida menyebut bumi cendrwasih adalah tanah
dan Lyotard. Perspektif Derrida (2019) “Nuu Waar” (dari kata Nuur) Nuur Waar
Derrida (2019) misalnya “Dekonstruksi” lebih sesuai karakteristik wilayah yang
lebih mendewakan “Fonosentris” yakni ditinggalnya. Kemudian, Ibnu Batuta
“Game Of Language”. Ia dapat dipahami melahirkan istilah “uryyani” digambarkan
sebagai membangun makna “Baru” terlepas orang-orang pada waktu itu tidak memakai
dari pemaknaan yang “Mapan” pada pakaian.
umumnya (common). Jadi, realitas hanya Kemudian, situs dan sejarah
bisa dimgerti melalui “Bahasa”, ia islam di wiayah ini, termasuk memberika
mengacualikan “Tulisan”. Berbeda dengan nama baru terhadap wilayah ini di ambil dari
Lyotard (1984) dengan “Grand narrative” beberapa bahasa “Papo Ua” yang berarti
lebih kepada “Fotosentris” yang artinya ia tidak bergabung. Adapun, “Pua-pua” artinya
lebih condong ke “Teks”. Baginya, realitas keriting. Namun oleh kolonial Portugis
yang bisa dipahami melalui teks, yang nama itu secara substantif dimaknai sebagai
artinya mengecualikan unsur kebahasaan. “hitam keriting”, konotasi negatif seperti
Maka, dialektika diskursus Foucault tidak “bodoh”, “jahat”, “suka makan orang”
mempersoalkan entah itu “Bahasa” maupun (kanibal) diselaraskan dengan k negro
“Teks” ia mendamaikan antara “Teks” (neger) di Afrika. Kondisi yang lain, adanya
maupun “Bahasa/linguistik”. praktik kegitan komoditas dan Praktik
“Perbudakan”, Papua pada abad ke-15
HASIL DAN PEMBAHASAN Masehi, masuk dalam perdagangan VOC
Diskursus Resmi: Era (Vereenigde Oostindische
Kerajaan (EK). Gelpke dalam bukunya Compagnie)Mahmud (2014) Bagian yang
“On The Origin Of The Name Papua”. lain, Kerajaan Majapahit dan Kesultanan
Secara etimologi, ia mengatakan bawha Tidore Masyarakat Papua juga disebut
nama Papua berasal dari kata “Puah-Puah” “Janggi” (orang hitam). Namun, masyarakat
dalam bahasa Melayu yang berarti Papua menolak konsep “Janggi”, karena
“berambut keriting” Crawfurd menulis di label ini menyiratkan makna negatif B.
kata pengantar kamusnya bahwa itu Anugerah (2019).
Diskursus Resmi: Orde Lama pada pembangunan, dari Pusat Penelitian
(Orla). Pada orde lama, Pidato Presiden Kemasyarakatan dan Kebudayaan (LIPI).
Soekarno menyatakan “...Tanpa Irian Barat, Budi Hernawan menampikan bagaimana
Indonesia belum merdeka”. Lebih mengacuh aparat keamanan Indonesia menyikapi
statement “kibarkanlah sang merah putih di “keprimitifan” masyarakat Papua dengan
Irian Barat”. Kemudian pidato diakhiri metode “penyiksaan/koersif” serta
dengan pernyataan “Negara Boneka Papua”, “menidak-manusia” akan ‘orang Papua’ dan
“Irian Barat adalah wilayah terbelakang”, menurunkan derajatnya menjadi sesuatu
“daratannya dipenuhi gunung dan rawa-rawa yang “hina”. Isu tersebut terutama marak
sulit ditembus”, “primitif menggunakan beredar pada masa pemerintahan Orde Baru
kapak batu”, “ kulit kerang”, “tongkat untuk ketika pemerintah menetapkan Papua
beraktivitas”. Bahkan, Soekarno berkata sebagai Daerah Operasi Militer Alam
“dibandingkan dengan wilayah kepulauan (2020). Telah dipertegas dalam tulisannya
kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, Sukmawati ( 2018).
tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh Soeharto mengutus Ali Moertopo
kami”. Serta diakhiri dengang pertanyaan, dikirim ke Papua untuk dalam hal diplomasi
apakah seseorang akan membiarkan salah lokal Penentuan Pendapat Rakyat
satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa (PEPERA) (Tirto.id, 2018). Pernyataan yang
melakukan perlawanan?”. Dalam cacatan paling rasis diungkapkan oleh Ali.
Cindy Adams, Soekarno bicara “Jika kamu orang Papua ingin
“menyambung lidah rakyat merdeka, maka pergilah mengemis
Indonesia”(Tirto.id 2018). kepada Amerika dan meminta salah
Pada kesempatan yang lain, satu pulau di Pasifik atau pergilah
Sogol membenarkan statement Presiden ke bulan dan dirikan negara Papua
Sukarno bahwa Papua adalah “bagian dari disana, sebab kami tidak
Indonesia” berdasarkan pendekatan membutuhkan orang Papua, tetapi
mitologi. Dalam pendekatan mitologi, kami membutuhkan tanah Papua”,
“anjing hitam” melabangkan orang Papua (Tirto.id 2018.09/12/2018)
kulit hitam sedangkan “anjing Putih” (Kompasiana 2016. 05/02/2016)
melambangkan orang orang Indonesia warna Instruksi presiden (Inpres) yang
putih. Mitologi warna hewan “hitam-putih” dikeluarkan oleh Soeharto untuk
mengambarkan hidup orang papua dengan meningkatkan pemeretaan pendidikan di
orang Indonesia rukun Pamungkas (2015). “pelosok-pelosok”. Khususnya di Papua
Tidak hanya itu, Menurut soekarno bahwa “sekolah Inpres” sudah dibangun sekalipun
“bangsa Papua pada saat itu masih “primitif” tidak terlepas dari kekuragan fasilitas
sehingga tidak perlu dikaitkan dengan sekolah—Progress sampai sejauh ini masih
kemerdekaan”, Anugerah (2019). berbeda jauh dengan daerah lain. Ada
Diskursus Resmi: Rasisme beberapa alasan hingga saat ini, dalam
Orde Baru (Orba). Pada Mei 1984, pandangan Budiman di antaranya
Presiden Soeharto mengumumkan bahwa “keterbatasan sarana dan prasarana”, “faktor
pada ‘Repelita IV’, ‘Transmigrasi’ memiliki geografis dan transportasi”, “jarak tempuh”,
peran yang ‘krusial’. wilayah-wilayah “biaya tempuh” “kebutuhan guru”,
perkotaan jumlah “populasi non-Papua “minimnya ketersediaan buku”Budiman
mengungguli orang Papua” dan secara (2017).
ekonomi, yang pertama “menguasai”Johanes Diskursus Resmi: Era
Supriyono (2014) selain Soeharto fokus Reformasi (ER). Frans Kaisiepo
mengusulkan isitlah “Irian” (Ikut Republik Aksi KKB “Stakeholder” yang diwacakan
Indonesia Anti Netherland). Ketika oleh Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw
melakukan operasi Tri Komando Rakyat (BBC 29/12/2019b) .KKB/KKSB berubah
(Trikora) “Papua” diganti dengan “Irian menjadi terorsis yang diproklamsikan oleh
Barat”. Kata ‘Irian’ ditolak oleh seluruh Mahfud MD (CCN 18/12 2018b) bertepatan
rakyat Papua kerena dianggap melecehkan dengan penembakan Badan Inteligen
dan merendahkan martabat budaya orang Nasional Daerah (Kabinda) bernama TNI I
Papua secara politik Suryawan (2014). Gusti Putu Danny Karya Nugraha
Kemudian, Abdurrahaman Wahid “Irian (Kaltim.tribunnews 30/04/2021), Menurut
Barat” menjadi “Papua” Sholahuddin anggota Komisi I DPR RI Hasanuddin
(2020). menilai “Separatis” OPM Papua menjadi
Untuk mengakar kekusaan, KKB menyulurkan kekerasan itu sendiri.
pemerintah melegitimasi regulasi Undang- Karena ada pengalaman “Trauma” pada
Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang kini Zaman Orde Baru (Mediaindonesia. 3/5
menjadi dasar pelaksanaan “Otonomi 2021). (Cnnindonesia.26/08/2019).
Khusus” Papua ini, ditetapkan oleh DPR RI Disamping perputaran sistem
pada 22 Oktober 2001, kemudian disahkan demokrasi, rezim Jokowi dikenal dengan
oleh Presiden Megawati pada 21 November istilah seperti pengunaan “politik dinasti”
2001 dan dinyatakan berlaku mulai 1 Januari “anti-kritik”, “antek-antek asing”
2002 Malak (2012). Menurut menurut dianalogikan rezim Soeharto “Totaliter”
Rohim (2015) istilah “Otonomi Khusus ” exstreams penggunaan “tuduhan makar”.
dalam diartikan sebagai “kebebasan bagi Dalam Tulisan Ben Bland seorang
rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus korespondensi senior dari Australia dalam
diri sendiri” sekaligus “mengatur bukunya berjudul “Man of Contradictions:
pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk Joko Widodo and the Struggle to Remake”
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat memposisikan Jokowi sebagai “Man of
Papua” serta “menentukan strategi Contradictions", Bland (2020) dimana buku
pembangunan” (sosial, budaya, ekonomi, ini bersisi ketidakmampuan seorang kepala
dan politik yang sesuai dengan karakteristik Negara sehingga dilabelkan sebagai
dan kekhasan sumberdaya manusia serta “walikota”.
kondisi alam dan kebudayaan orang Papua). Jadi, meninjau kebijakan Jokowi
Lanjut, Menteri Koordinator saat ini menggunakan bebera pendekatan
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan slogan untuk mendaptkan legitimasi
(Menko Polhukam), Wiranto. Mengunakan masyarakat seperti “Otonomi Khusus”,
istilah “Kelompok Kriminal Bersenjata “Trans-Papua”, “Proyek Pembangunan”,
(KKB)”. Diskursus ini, mencolok saat “Militerisasi” “Kujungan”, dan “Pemakaran
peristiwa membunuh belasan pekerja PT Baru”. Juga alam bidang pendidikan seperti
Istaka Karya yang sedang membangun “Afirmasi” dibiayai dari dana Otsus untuk
Jembatan di Nduga. Istilah tersebut merujuk pengembangan Sumber Daya Manusia
pada kelompok Egianus Kogoya, yang (SDM). Dengan menyodorkan beberapa
merupakan pimpinan Organisai Papua slogan seperti “NKRI Harga Mati”,
Merdeka di bagian Wilayah Nduga, (CCN. “Pansila Sudah Final”, “Tidak Bisa
18/12 2018). Diganggu Gugat”, “Papua Bagian dari
Status/label penetapan NKRI. Bahkan mencabut hak-hak rakyat
pemerintah untuk “Kelompok Kriminal seperti “Pemutusan Jaringan Internet”.
Bersenjata (KKB)” untuk Memberantas Berhubungan dengan pasca anti-
rasisme. Akibat protes ujaran rasisme Wiranto pun menyakan hal yang sama
pemerintah melakukan penangkapan tuju “Papua dan Papua barat kondusif” (Jawapos
tahanan politik (Tapol) atas dasar tuduhan 2019) juga diikuti oleh Tito Karnavian sama
makar sehingga mereka terjebak pada norma “Papua dan Papua Barat kondusif”,
hukum yang mengatur tindakan-tindakan (Cnbcindonesia. 08/19 2019).2 Melalui
Makar(Nasioanl.tempo 06/06/2020). Akun You Tube: detikcom. Alur
Beberapa penangkapan, Ketua II Badan pembicaraan Yorrys dan Lenis memperlihat
Legislatif United Liberation Movement for hal yang sama yaitu “keadilan” “persatuan”
West Papua, Buchtar Tabuni divonis 11 “otonomi khusus” “Otonmi Sebagai
bulan (tuntutan 17 tahun); Ketua Umum Soluasi”. Penekanan pada persoalan rasisme
Komite Nasional Papua Barat (KNPB), hanya bisa diselesaikan melalui jalur hukum
Agus Kossay divonis 11 bulan (tuntutan 15 (Kompas. 20/08 2019). Lenis juga ada
tahun); Ketua KNPB Mimika, Stefanus Itlay dugaan bahwa “yang penting itu tugas
divonis 11 bulan (tuntutan 15 tahun); inteligen siapa aktor dibelang ini siapa itu
Presiden BEM Universitas Sains dan semua tugas kepolisian”.
Teknologi Jayapura, Alexander Gobay Pengakuan diri sebagai Ketua
divonis 10 bulan (tuntutan 10 tahun); Eks Lembaga Masyarakat Adat Tanah Papua
Ketua BEM Universitas Cenderawasih dan Staf khusus Presiden. Seringkali dikenal
(Uncen), Ferry Kombo divonis 10 bulan dengan “Kepala Suku Papua” “Presiden
(tuntutan 5 tahun); Mahasiswa Uncen, Papua”. Fakta di lapangan menunjukkan
Hengky Hilapok divonis 10 bulan (tuntutan bahwa pengakuan diri demikian tidak dapat
5 tahun); Mahasiswa Uncen, Irwanus legitimasi dari Gubernur Papua, Lukas
Uropmabin divonis 10 bulan (tuntutan 5 Enembe menyatakan bahwa “Lenis sama
tahun). Perbedaan hukuman tersebut dinilai sekali tak mewakili “Aspirasi Kepala-
tidak adil. Kepala Suku di Papua”. Dia kepala suku
Masyarakat Elit Papua di apa? Mewakili apa? “Tidak ada”. Selian itu,
Jakarta. Willem Wandik hal ini diuraikan Majelis Rakyat Papua (MRP), Yunus
melalui akun: Zelly Ata (You Tube) 12 Wonda mengatakan bahwa “Ada LMA Pak
Februai 2021. Menekankan pada “Otonomi Lenis tapi ada LMA juga yang memang ada
Khusus” mendiskursuskan sebagai otonomi dari dulu. Jadi untuk itu tidak bisa kita klaim
khusus versi 21-2001 ini tidak memiliki sebagai “Kepala Suku”. Karena kepala suku
“Roh”, tidak berjawa tidak memiliki punya wilayah (Nasional.tempo.
marwah”, “Diperhatikan Secara 27/08/2019). Pernyataan Lenis serupa
Koprehensif” pernyataan ini pada dengan Kepala Kepolisian Republik
penyalahgunaan “Otonomi Khusus” dan Indonesia (Kapolri) yaitu Tito Karnavian. Ia
pengakuan pada bahwa “Politik Papua menduga ada pihak asing yang ikut campur
Bagian Integral NKRI”. “Memperhatikan seperti. Kita sama-sama tahu dari Tito
persoalan Papua secara komprehensip”. Karnavian Pertnyataan tersebut disampaikan
Digaunkan Papua sebagai ‘berdikari’ dan melalui konten You Tube dengan akun:
‘parsial’. Pernyataan ini juga menjadi jargon Metrotvnews, (07/09/2019).3 Telah
mendukung pro integrasi. Yorrys Raweyai
terus membicara terkait persoalan insiden 2
Berkaca dari AS, Senator Papua Ingatkan Masyarakat
terhadap mahasiswa Papua Surabaya 2019 Tak Terpancing Isu Rasisme
yang lalu.Yorrys membingkai dengan (Berkaca dari AS, Senator Papua Ingatkan Masyarakat Tak
Terpancing Isu Rasisme)
“Papua kondusif”(Alinea. 24/08 2019). 3
Mengungkap Provokator Kerusuhan di Papua
Tidak hanya diucapkan oleh Yorrys. (https://www.youtube.com/watch?v=uGWmiMZ7V8
s&list=TLPQMTYwMzIwMjFAG-
diketahui bahwa Tito Karnavian sebagai kemerdekaan, tetapi segelintir orang justur pro-
dengan Kepala Kepolisian Republik para ingrasi bangsa Papua Ke Indonesia
Indonesia (Kapolri). Pada Waktu perisitiwa (MediaIndonesia. 07/09 2019). Massa aksi
di Nduga Tito juga menangani “KKB” dengan atribut merah putih Masyarakat
Wiranto juga ‘menduga’ hal serupa. menamakan diri “Aliansi Masyarakat Peduli
(Tribunnews. 31/08 2019). Papua” di kantor Gubernur Aliansi ini
menggelar aksi damai membawa pesan “Save
Pengajian keterangan yang Papua”, “Cinta Damai” ‘torang (kita orang)
diberikan oleh pemerintah memiliki samua bersaudara’, karena torang samua ciptaan
kesejajaran. Seperti Kepala Staf Presiden Tuhan (TribunNews. 06/09 2019). Dalam
Moeldoko menyebut Tokoh Kemerdekaan spanduk mengatakan “Kami Papua Cinta
Papua sekaligus Ketua “United Liberation Damai”. dalam aksinya, mereka kompak
Movement For West Papua (ULMWP)” membawa bendera Indonesia seraya
Benny Wenda ‘memobilisasi diplomatik’ menegaskan bahwa “NKRI harga mati”. Pada
kepada sejumlah negara untuk membantu Spanduknya memperlihatkan ada tulisan bahwa
kemerdekaan Papua. (Suara. 02/09 2019). “Papua Bagian Dari Indonesia” (Tribunnews.
Wiranto mengonstruksikan manyarakat anti- 2/09 2019b). Fakta di lapangan, ada beberapa
rasisme sebagai “Menunggangi”, masyarakat Pro-integrasi turun demo, setelah
“Komporin”, “Provokasi”, “kekacauan”. terjadinya demonstrasi anti-rasial di Papua dan
Pernyataan mereka hanya sebatas dugaan Papua Barat. Berikutunya merupakan isi
tanpa pembuktian, namun mereka membuat daripada seruannya yang mengatakan bahwa
“Saya tidak takut, tidak takut dengan demi
kebenaran berdasarkan asumsi belaka. merah putih, camkan itu, cankam itu. Tidak usah
Pelaku Rasisme Terhadap dengar dorang (mereka) NKRI harga mati, anak
Mahasiswa Papua Di Kota Surabaya. negeri yang di muka ini”.
Kelompok pertama Aparat Negara dalam Video tempat kejadian pada
video tersebut terus mengucapkan kata-kata video ini diunggah 21 Agustsu 2019.
“Monyet”. try Susanti Berdasarkan sumber Melalui You Tube Channel: Tribun News
media online, You Tube Channel Platform. Official. Diperlihatkan dalam videonya,
Dikatakan “Monyet”, disitulah asal-mulanya bahwa masyarakat Fakfak di tangannya
muncul istilah “rasisme”, Dewanti (2019) memegang Bendera Merah Putih. Ketegasan
Dalam penelitian ini. Pelaku dan untuk berkoban demi “NKRI harga mati”
tersangka yang lain dengan sengaja tanpa takut. Hal, ditunjukkan di depan
memproduksi “Hoax” “Bohong”, Rasisme” publik dengan slogan “tidak tersembunyi
(Monyet), dan “Provokasi”. Lalu diedarkan dibalik layar” saat memberanikan diri dalam
melalui Facebook, Twitter, You Tube, dan aksi tersebut.
Whatsapp. Maka, timbulanya ujaran rasisme Diskursus Alternatif: Rasisme
dan dampaknya menyebar luas. Khususnya Di Kota Surabaya. Ujaran rasisme secara
di Papua dan Papua Barat melakukan aksi verbal tepat di Asrama Papua. Ujaran
demonstrasi dan konfrontasi dengan tersebut dipicu adanya pembengkokan
menolak ujaran rasisme terhada mahasiswa bendera merah putih ke arah selokan air.
Papua di Kota Surabaya. Menurut Kusmiarti Pada hari terjadi ujaran rasisme bertepatan
menunjukan sentimen negatif, positif, dan dengan hari besar kemerdekaan Indonesia
netral berdasarkan berita yang telah pada tanggal 17 Agustus pada tahun 1945
ditetakkan di tabelKusmiarti (2020). merupakan hari kedaulatan bangsa Indonesia
Masyarakat Papua: Pro-
dari tangan penjajah. Pengakuan salah satu
Integrasi. Tidak semua orang asli Papua Pro-
korban.
“ketika tiang benderah jatuh patah
BfOWP37g&index=2)
karena kecepatan angin tinggi Asrama kamasan. Pada hari ketika,
mereka sangka kalau dua orang datanglah Lembaga Bantuan Hukum (LHB)
keluar itu jadi pelakunya, nah dari dengan membawah makan dan minuman.
itu baru SLPP, Ormas, Pemuda Kedatangan LBH pun tidak sinkron dengan
Pancila, Fronta Pmbela Islam dll pihak aparat.
itu datang untuk menghadiri kita Korban tidak hanya dari segi
disini padahal waktu itu aparat ujaran rasisme, tetapi telantarnya proses
polisi juga banyak dan mereka juga pendidikan. Karena setelah terjadi rasisme
bisa kasih pisah merekakan orang tidak lama kemudian sebagian mahasiswa
Ormas-Ormas Reaksinoer dan pulang ke Papua ada yang sudah balik,
Ormas yang sengaja dibentuk sebagian besar belum balik. Mereka yang
untuk permasalahan ini. Ormas belum balik ada dua alasan, pertama
Reaksioner itu dibutuhkan ketika ditembak oleh aparat ketika ada demonstrasi
ada masalah mereka datang ketika anti-rasisme. kedua, tidak balik, karena
tidak adalah masalah tenang saja alasan “traumatik” dan menjadi akvitis yang
kayak preman-preman itu suruhan dinamakan sebagai “Mahasiswa Eksodus”
dari pihak kepolisihan begitu biar yang saat ini masih bertahan di Papua
nama polisi itu tidak jelek dan sebagai aktivitas dari keterasingan korban
nama ORMAS itu yang jelek”. rasisme.
Kehadiran aparat mulai dari Dari beberap perspektif korban
polisi, Tentara Nasional Indonesia (TNI), merasa merugikan “Harkat dan Martabat”,
Satpol PP, Ormas reaksioner yang “Tidak Hormati Sesama”, “Memberikan
mengklaim pembela pancila. ujaran Luka Bagi Kami” “Trauma”, “Kami Ciptaan
kebencian dan bernada rasisme dengan nada Tuhan”, perlu “Keadilan”, tindakan “Ormas
teriak dan tindakan fisik. ujaras rasis ini Reaksioner”, menimbulkan “Sakit Hati”.
ditunjukkan kepada mahasiswa korban Perbedaan manusia dan hewan sangat
seperti “monyet”, “ woe bodoh”, “ hahah berbeda jauh. Apalagi tuduhan diawali
monyet kamu”, “goblok”, “anjing”, “tahi” dengan dugaan. Sebagai ciptaan Tuhan bisa
“bodok eeh kamu saya tunggu nanti jam 12 diperlakukan antar satu dengan yang lain
malam begitu tentara kalau kamu keluar dengan hormat bukan saling meninjak. Jika
kamu saya bunuh nanti”. Diserta dengan melanggar norma hukum maka diselesaikan
wacana masyarakat seperti “jancok”, dan dengan mekanisme hukum yang berlaku.
dengan jel-jel “usir-usir Papua 3X”. Para pelaku “Ormas Reaksioner” mengklaim
tindakan kekeran seperti “lempar batu”, dirinya profesional dalam penerapkan norma
“mendendang gerbang”, “siram gas air hukum. Faktanya, menegur mereka bahwa
mata”, “angkut ke mobil secara paksa”. mereka bukan profesional dalam
Mahasiswa korban mengaku menegakkan hukum, justru melanggar
bahwa awalnya tidak ingin ada kerusuhan hukum itu sendiri. Karenanya tindakan atas
sehingga mereka mencoba merunding dasar dugaan ketika Bendera Merah Putih
terhadap kehadiran aparat. Namun, tindakan masuk ke bagian parit.
aparat ‘keras’ dalam ujaran ‘kenbencian’ Aliansi Mahasiswa Papua
dan rasisme terhadap mahasiwa korban. (AMP). Data yang diambil dalam
Jadi, selama hampir dua malam dan tiga hari penelitian ini, mencermati media massa dan
mahasiswa berjumlah 13 orang. Diketahui 3 onlline. Dibawah ini berdasarkan diambil
diantaranya perempaun dan 10 adalah laki- dari Group media online yaitu akun
laki. Mereka terus dikurung di dalam Facebook Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
dan Group Exodus Papua 2019. Banyak memiliki jargon seperti berikut.
pernyataan oleh AMP 31 Agustus 2019 Jargon: “Papua Merdeka, Papua
mahasiswa Papua melakukan aksi demo Merdeka”
mengakhiri rasisme dan menunutut “Hak Indonesia No, Refrendom yes
Penentuan Nasib Sendiri” bagi bangsa West Papua bukan merah putih, Papua
Papua. Menyebut diri sebagai “Aliansi bukan merah Putih
Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Papua Bintang Kejora, Papua
Barat” (APRPPB). Bintang Kejora
Pernyataan sikap melalui orasi, Baru-baru kau bilang merah putih.
AMP. Diantranya yakni “Keadilan”, “Tolak Jargon, Papua? Merdeka
Otonomi Khusus”, “Free West Papua/Papua Refreedom Yes(Liputan6. 22/08
merdeka”. Dari Media Online Platform 2019).
Fecebook Group dan Exodus Fecebook Dalam konteks ini, AMP juga
Group. Atas persoalan yang mereka memiliki sikap anti terhadap labelisasi
menyeruhkan seperti; “Hak Penentuan Nasib KKB/KKB menjadi “ Teroris”. AMP juga
Sendiri”, “pelanggaran HAM”, “Penolakan menolak dengan pernyataan “Militer
Rasisme”, “Rezim Borjuis”, “Imperialisme Indonesia Terorist Papua”.
Global”, “Diskriminasi”, “Intimidasi”, Masyarakat Papua: Anti-
“Hentikan Rasisme”, “Tolak Otsus Jilid II’, Rasisme Lewat salah satu akun FaceBook
“Hukum NKRI Rasis”, “Buka Akses (FB) ditemukan yang dibagian oleh
Jounalisasi Papua”, “Berikan Hak Penentuan berinisial NJA. Yang didiskusikan di
Nasib Sendiri”, “Ketidakadilan”, “Stop Messenger Group CW. Group ini khusus
Pengiriman TNI-Polri”, “Hentikan untuk membicara persoalan yang terjadi di
penjajahan”, “Hentikan Pemalsuan Sejarah”, Papua. Bertepatan dengan rasisme yang
tidak terima dengan “Tikus-Tikus Tanah”, terjadi di Kota Surabaya. Telah
Gorila”. Secara kesinambungan memiliki disandingkan dengan korban rasisme pemain
wacana-wacana memang sama dari cuplikan sepak bola ini. Statement boaz Solossa
realitas. pernah diungkapkan Pertanyaan “lebih
Penekanan sikap opisisi berupa terhomat mana. Menyet cari ilmu di urmha
statement, "Tolak Otsus” Jilid II dan manusia, atau manusia cari makan di rumah
Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri monyet”. Untuk mendeskripsikan
bagi Bangsa West Papua sebagai Solusi pernyataan tersebut. Lalu, Titus Bonai
Demokratik". Tuntutan. Ini bagian hashtag: mengatakan “say no to racism”.
Salam erat, ”Free West Papua” “Papua Dari pengguna akun
Merdeka” “Tolak Otsus Jilid” “West Papua”. menguraikan beberapa statement-statement
Seruan Aksi! Poster:” hentikan rasisme dan berikut. Tag: “Papua Not Monky”, “Rasisme
berikan hak menentuan nasib sendiri bagi lawan”, “Hidup Perlawanan Rasialisme”,
bangsa west Papua” “kami bukan monyet” “Hidup Exedus2019”. (dari: Hidup Exedus
“Tolak rasisme dan Berikan Hak 2019 Group). Ada berepa komunitas yang
Menentukan Nasib Sendiri bagi Bangsa diundang seperti: pertama, Parlemen
West Papua” “Tolak Pemekaran”, Nasional West Papua (PNWP), United
“keadilan”. Liberation Movement for West Papua
Nyanyian yel-yel yang (ULWP), Kepolisian Negara West
dinyanyikan saat turun lapangan baik Papua (KNWP), Negara Federal Republik
olehAliansi Mahasiswa Papua (AMP) Papua Barat (NFRPB). Menyebut dirinya
maupun masyarakat Papua. Seringkali diri mereka “Monyet-Monyet seluruh tanah
Papua” “Monyet-Monyet di luar negeri” nama: meriding!! “Otsus Habis Papua
“Monyet-Monyet pejabat di Negara Merdeka” “Stop Rasisme”.
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Diskursus Tandingan/Wacana
gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat/DPR, Tandingan. Menurut M. Jacky Dosen
para Buapti, Dewan perwakilan sosiologi Universitas Negeri Surabaya.
Daerah/DPRD, Pegawai Negeri Sipil/PNS, Memiliki perspektif untuk persolan Papua
Camat, Desa”. Dalam hal ini, penekanan bahwa persoalan ini ada hubungan dengan
lebih terhadap “Monyet” dan “DPRD “Elit politik lokal’ yang memainkan peran
Monyet” “anak-anak Monyet dari pulau untuk kepentingan nepotisme baik di Jakarta
Jawa” “bahwa bangsa “Monyet Tidak Bisa maupun di Papua. Dan masalah Papua tidak
Hidup Dengan Manusia” dengan ‘Manusia hanya persoalan nasional, namun persoalan
Melayu’, “Mobilisasi” (aksi mengarah pada Papua merupakan menjadi “Persolan
anarkis). Internasional”. Papua menjadi “Korban
Bahkan Gubernur Papua pun Diskursus”.
menambahkan bahwa keterangan yang Pertarnyataan Menurut Rocky
diperoleh pihak Lembaga Bantuan Hukum Gerung, diantaranya, “Hak Asasi Manusia”
(LBH) dan (mahasiswa korban “Ketidakadilan” “New kind of nationalism”
mengungkapkan dengan pernyataan serupa) ”Jenis Nasionalisme Baru” lalu ditekankan
Surabaya dari salah satu mahasiswa yang perlunya Politics of recognition jika dilihat
ada di Asrama itu, lanjut Sahura, pada saat dari past Memory diperlihatkan banyak
kejadian tanggal 16 Agustus 2019, oknum penderitaan pengalaman yang buruk tentu
anggota TNI sempat menggedor pintu hal ini tidak dapat diselesaikan dengan
gerbang Asrama sambil mengucapkan kata- penggunaan kekuatan berlebihan.
kata “anjing, monyet, babi, Menurut Intelektual Salim Said
binatang” “Kami Bukan Bangsa Monyet pada intinya memparkan bahwa persolan
Kami manusia”, (SuaraPapua. 18/08/ 2019). Papua jalan “Masalah Internasional”.
Aksi massa memicuh Terbukanya di dunia internasional tentang
Pembakaran gedung Majelis Rakyat Papua kekayaan Indonesia mudah sekali orang
(MRP). Dilanjutkan, massa turun di asing masuk melalui jalur ilegal. Suara
Enarotali di tiga Kabupaten Paniai, Deiyai, electoral Papua itu sangat kecil jika politisi
dan Dogiyai (ccnIndonesia. 26/08 2019). mau meminang, tetapi persoalan Papua bisa
Seluruh kegiatan mogok, baik perkantoran, keluar Ke Internasional. Seperti di Timur
sekolah, dan pasar, berakhir ricuh setelah Leste campur tangan pemerintah Australia.
terjadi bentrokan aparat keamanan dengan “Ketidakadilan”.
massa pengunjukrasa, yang menewaskan
dua orang pengunjukrasa dan seorang ANALISIS PENELITIAN
anggota TNI. aktivitas masyarakat di kota Peneliti punya keyakinan
itu lumpuh sejak Kamis pagi (BBC. 22/08/ bahwasannya dalam kekuasaan/domination
2019a). Kata Lukas, ini binatang-binatang atau negara (state) tidak memiliki ideologi
Monyet, jangan lagi melanjutkan status yang tunggal/singular, namun pasti memiliki
Otsus di Papua barat, kembalikan kepada ideologi ganda/jamak/plural, mendominasi
rakyat. Rakyat menentukan hari ini Otsus dan didominasi dari power of knowledge
habis, rakyat menentukan hari Otsus habis terhadap powerless/inferior. Dalam
maka tidak ada solusi lain Refreedom di pandangan Foucault mereka yang powerless
Papua barat. Melalui You Tube Channel dimarginalkan/diasingkan menjadi
dengan akunya: Luis Keroman. Diberi kelainan/otherness. Tidak kalah juga,
mereka yang subordinasi selalu bergerak pertama, Nordic (Eropa Utara sekitar Laut
untuk memenggal ideologi dominan. Maka Baltik.
negara domain/saran untuk pergulatan Dalam dunia tontonan dengan
ideologi (struggle ideology). Secara film berjudl “film Eye In the Sky”. Dengan
otomatis, posisi masyarakat “menyokong genre film drama-thriller arahan Gavin
(sustain)”, “Instumen politik/tool Hood memperlihatkan bagaimana “Ras
instrument”, “komoditas politik/komodity of Kaukasoid” lebih superior dalam aspek
political”, “catur Politik”, bahkan bahan kehidupan bermasyarakat dibandingkan
“perbudakan politik. Dengan memberikan “Ras Negroid” yang digambarkan jauh
Utopis atau plasebo bahasa sekarang lebih tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan
dikenal dengan PHP (pemberi Harapan bermasyarakat dalam hal pendidikan,
Palsu). Dalam bahasanya Foucault ekonomi, teknologi dan taraf hidup,
dicourses/diskursus yang aksentuasinya Sumanti, Aritonang, e Wijayanti (2018).
yang menggiurkan oleh agen penutur. Titik keprihatinan dalam
Dalam analisis ini tidak hanya pembahasan ras itu sendiri menjadi
fokus perspektif Michel Foucault, power of problematika. Dalam membentangkan
knowledge dalam diskursus/wacana, tetapi klasifikasi ras menjadi arena rentang untuk
juga menggunakan beberapa perspektif rawan diskursus rasisme atau diskriminasi
seperti Althusser tentang Ideologi dan rasial dalam nuansa polilitk yang satu
Aparatus Ideologi Negara—perspektif Pasca dengan yang lain saling menentang
Marxian Gramsci tentang hegemoni— berdasarkan pengelompokkan ini. Maka,
Fouculdian berhubungan dengan pandangan munculan bangsa dan negara berdasarkan
pasca kolonial. Beberapa pandangan ini ras, pada nuangsa positif ras tidak hanya
dikobinasikan kepentingan untuk menelaah batas pada epistemeologi secara biologis.
diskursus rasisme dan ras itu sendiri sesuai Tetapi menjadi politisasi kekuasaan
pandangan Foucault tentang arkeologi dan dominnan dalam mempertahankan mereka
geneologi Sihombing (2016) menguasai dan dikuasai antara yang
Diskursus Rasisme Hubungan suprastruktur dan inferior.
dengan Ras. Konsep rasial pada esensinya Diskursus Rasisme Resmi.
tidak memiliki bias, sesungguh ras itu Dalam Karyanya Foucault "The Order of
sendiri sebagai epistemologi murni. Namun Thing: An archaeology of the human sciences"
berhubungan dengan kekuasaan, maka (1966). Ia menunjukkan pengetahuan lahir
praktisasi pihak kekuasaa yang diskontiuitas/kesinabungan berdasarkan
mendominasi ras lain, kemudian isu ras kontekstual yang disebut sebagai
menjadi diskursus politik Mendieta (2004). “Diskursus”. Sehubungan dengan ini,
Persoalan ras secara umum, diskursus dapat dipahami sebagai strategi
dikategorikan dengan istilah “Negroid”, kekuasaan, formasi kekuasaan, diskursus
Mongloif” dan “Kaukasoid”. Pertam ras, normatif, legalitas pengetahuan, cuplikan
teori evolusi yang pertama kali dipaparkan realitas, representasi sosial, konstruksi
oleh ahli dalam ilmu biologi yaitu Charles peristiwa tertentu. Semua hal ini berkaitan
Darwin pada tahun 1858. Ras di dunia ini dengan relasi kuasa dalam mendefinisikan
hanya ada 4 ras seperti Kaukasoid, suatu keadaan tertentu, sekalian
Mongoloid, dan Negroid, Mongoloid, memproduksi pengetahuan sebagai
Sihombing (2016). Menurut Kroebar, kebenaran yang menjadi pendoman dan
penggolongan manusia Berdasarkan ras kontenplasi subjek untuk diaplikasikan
dapat dibedakan menjadi 3.(1) kaukasoid secara praktikal.
Willayah bagian Indonesia timur,
zaman kerajaan masih masih tertutup “frizzled/kusut” “keriting”. Terlebih, kolonial
terhadap penamaan daerah. Pada masa portugis nama itu secara substantif dimaknai
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, sebagai “hitam keriting”, konotasi negatif
wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda seperti “bodoh”, “jahat”, “suka makan
(Nederlands Nieuw- Guinea atau Dutch orang” (kanibal) disamakan dengan konotasi
New Guinea)Kholill (2016). Dari cacatan negro (neger) di Afrika. Lagi-lagi, adanya
Antropolog, Papua dikenal sebagai praktik kegitan komoditas dan Praktik
“Papoea” digunakan untuk belanda, “Perbudakan”, Papua pada abad ke-15
kemudian 2001 diganti dengan Papua oleh Masehi di era VOC (Vereenigde
Indonesia Ploeg (2002) Ploeg (2002). Oostindische Compagnie) Mahmud (2014).
Melihat pemandangan disebut sebagai “New Diskursus-diskursus diatas
Island”, “Greenland” bagian dari kepulauan berhubungan dengan kekuasaan-
pasifik. nama daerahnya disebut sebagai pengetahuan baik dari orang bara maupun
Papua Nugini (New Guinea) menamai orang Indonesia untuk pemberian nama
Papua disertai dengan pemaknaan rasis. “Wilayah Bagian Timur”. Sementara,
Seperti Pelaut Spanyol Ynigo Ortiz De diskursus lain masih digunakan saat ini
Retes (abad14) pendefinisian wilayah secara rasil seperti “hitam keriting”,
bagian Timur: “Puah-puah”, “Pua-pua”, “bodoh”, “jahat”, “Kanibal”. Secara ras
“Pua-Ua”(divergen), (frizzled) diparalelkan dikatakan “negro” daerah dahulu tempat
dengan kusut. Lebih mengherankan lagi, komoditas sekarang menjadi “saran
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) kapitalisme global”. Diskursus ini yang
Perbudakan (praktik berdagangan sering dialami oleh orang-orang Papua
perbudakan menjadi komoditas jual-beli dalam konteks masyarakat kontemporer.
orang Papua), sampai kepada istilah Tidak hanya itu, berdirinya
“kanibalisme”. Sementara, era Kerajaan “Nasionalisme Papua”, sebab secara ras
Majapahit dan Kesultanan Tidore (abad-20) (Kaukaosid) Belanda memutuskan Papua
Janggi (artinya kulit hitam, orang Papua tidak terintegrasi (not integrated) dengan
sendiri menolak konsep Janggi karena kepulauan Nusantara atau kerajaan Islam
dianggap merendahkan martabat). khsusunya Kesultanan Tidore. Disinilah
Papua dibawah rezim kerajan ritmenya, bangunan episteme diskursus
Islam, Kesultanan Tidore di Maluku, tidak rasisme dari “Barat” yang melakukan
ada sistem penindasan (oppresion), stigmatisasi/poralisasi melalui praktisasi
okupasi/impreriaslisme, praktik kolonialisasi terhadap diskursus rasisme.
terhadap Papua atau saat itu disebutkan Lebih lanjut, beralih ke peralihan
Papua sebagai “Nuur Waar”. Terkecuali Orde Lama (Orla) Soekarno (1945-1967).
sistem barter, Tidore meminta Bantuan salah Memiliki diskursus kurang lebih serupa di
satu orang yang digambarkan sebagai kuat era Kerajaan. Diskursus rasisme terhadap
bernama Gurabesi dari Raya Ampat berkerja orang Papua (Papuan People). Lebih jauh,
sama dengan Tidore Mahmud (2014). diskursus Soekarno untuk mengajak
Kerukunan Tidore dengan menguasai Papua seperti “ Irian barat adalah
masyarakat Papua berakhir dengan tragis,, wilayah terbelakang”, “Irian barat selembar
ketika masukanya, Spanyol, Portugis, serta daun telor”, “Irian barat adalah adan bagian
Belanda. Sejak itu, Papua dilihat sebagai dari tubuh kami”, “tidak membiarkan
Kepulaun baru (new island) dan untuk anggota tubuh diamputasi” “daratangnya
memgambarkan Masyarakat lokal (local dipenuhi gunung dan rawa-rawa”, “sulit
society) sebagai “Papo Ua” “Pua-pua artinya ditembus”. Lalu, diskursus rasis seperti
“Primitif” “Menggunakan kapak batu” Pasifik atau pergilah ke bulan dan dirikan
“Kulit kerang”, “Tongkat untuk negara Papua disana, sebab kami tidak
beraktivias” “Anjing hitam”, “Uryyani”. membutuhkan orang Papua, tetapi kami
Dalam hal ini, Soekarno membutuhkan tanah Papua” (Kompasiana.
memiliki kekuatan untuk menumpas 03/022016).
kedudukan Belanda di Papua serta ideologi Kebijakan lain, mengenenai
“Nasionalisme Papua” atau kini dikenal sekolah Instruksi Presiden (Inpres).
dengan “West Papuan/Papua Barat”, Mengutamakan “Daerah-Daerah” yang
ditambah dengan simbol negara yaitu diyakini “Polosok-Polosok”, satu satunya
bendera “Bintang Kejora”. Untuk ialah dearah Papua. Walaupun niat baik
menumpas ini, memuncurkan dengan sekolah Inpres sebagai pembangunan, tidak
gerakan Operasi Rakyat (Tri Komando dapat didukung dengan fakta kekacuan
Rakyat). Kemudian, belanda melakukan (chaos) Pembangunan Insfraktruktur masih
Kongres dinamakan dengan New York porak-poranda. Ada beberapa alasan
Agreement dengan sistem “Sutu Orang Satu menurut Budiman diantaranya,
Suara (One Vote One Man), lalu dengan “keterbatasan sarana dan prasarana”, “faktor
adanya agenda “Integrasi Pasca-New York geografis dan transportasi”, “jarak tempuh”,
Agrement 1962” dan Penentuan Pendapat “biaya tempuh” “kebutuhan guru”,
Rakyat (PEPERA) sampai 1969. Dalam “minimnya ketersediaan buku”, Budiman
Kongres tersebut, dinyatakan Rakyat Papua (2017). Diskursus rasisme masih
ingin bergambung dengan Indonesia diskontiuitas berdasarkan ralasi kuasa
Yambeyapdi (2018). dengan gaya kepemimpinan yang berbeda.
Pada satu sisi, Yambeyapdi menelanjangi, berbeda pula, kebijakan dan formasi
lahirnya ketidakpusaan terhadap pelaksaan diskursus masih dilekatkan pada kondisi
New York Agreement dan PEPERA yang orang Papua.
menyebabkan tumbuhnya kelompok “pro- Diskursus rasisme di tabel di atas
integrasi” dan “anti-ingetrasi”. Argumentasi sangat berbeda dari The Orde Of Thing:
kelompok anti-integrasi bahwa proses arkheology dan genealogy.
PEPERA tidak sesuai sistem “One Vote One Kekuasaan/geneologi memrpoduksi
Man”, namun dengan pendekatan dominasi pengetahuan/arkeologi sangat berbeda.
“Militerisasi sehingga pemilihan masyarakat diskursus rasisme terhadap masyarakat
karena takut bukan berdasarkan hati nurani. Papua masih kental, hanya saja wujudnya
Sebagai justifikasi, diskursus rasisme secara distingsi/berbeda, namun diskursus/wacana
kontinuitas mulai berputar bagaikan mesin. rasisme hanya untuk
Transisi kekuasaan Soekarno marginalisasi/mengingkirkan orang Papua
beserta dengan berakhirnya rezim Orla kE itu sendiri dengan diskursus dominan
Orba yang dipimpin oleh Soeharto (1921- bahasa.
2008). Soeharto memiliki formasi diskursus Tabel 1.1 Berdasarkan perspektif
rasisme terhadap masyarakat Papua seperti Michel Foucault menelaah dari episteme
“Populai Non-Papua Mengungguli Orang yang melihat suatu persoalan secara
Papua” “Keprimitifan” “Orang Papua diskontinuitas, berhubungan dengan
Hina”. Selain itu, Ali Mortopo, seorang konsteks, tempat (space), waktu (timing),
utusan Soeharto mendiskursus masyarat dan momentum yang tepat.
Papua seperti “Jika kamu orang Papua ingin
merdeka, maka pergilah mengemis kepada 1.1 Tabel. Diskursus Resmi: Era
Amerika dan meminta salah satu pulau di Reformasi
No Era Diskontinuitas Diskursus NKRI
Reformasi Rasisme (Arkeologi 12 Lenis kogoya Keadilan (Jusitce)
Episteme  Persatuan (Unity)
(Geneologi)  Otonomi Sebagai Solusi
1 Megawati  Otonomi Khsusus

Soekarnoputri Kebebasan Rakyat Papua 13 Masyarakat  Satu-Kesatua Cinta Damai
(2001-2004) untuk Mengatur Dirinya Pro-Integrasi Papua B
Sendiri  Satu-Kesatuan
 Menentukan Strategi  Cinta Damai (Love of Peace)
Pembangunan  Papua Bagian Dari Indonesia
2 Era  Irian Barat ganti Papua
Reformasi  Bintang kejora sebagai
Dusdur/Abdu Identitas Kekuasaan dalam perspektif
rrahman  Tidak lebih tinggi dari Merah
Wahid (1999- Putih Foucault tidak hanya dipahami sebagai
2001) kekuasaan yang monarki absolut, piramida
yang hierarki tidak dapati digoyangkan,
3 Jokowi Dodo Tran-Papua mutlak terletak pada otoritas yang lebih
 Pembangunan tinggi. Namun, lebih kepada relasi kuasa
 Militerisitik
 Kujungan (relation or power) dan pengetahuan.
4 Kapolda  Kelompok Kriminal Membedah Persoalan diskursus
Papua Irjen Bersenjata (KKB) resmi dalam perspektif Althusse dalam
Paulus  Untuk memberantas aksi KKB karnya (Ideologi dan Aparatus Ideologi
 Stakeholder (Pemangku Negara”. Aparatus yang paling kasat mata
kepentingan)
adalah aparatus represif negara, yakni
5 Wiranto  Provokasi
 Kekacauan seluruh mekanisme koersif yang bekerja
 Kompori dalam memastikan tereproduksinya syarat-
6  Ya kalau orang Papua enggak syarat produksi. Ada dua jalan menjalankan
Luhut (tidak) ada gejolak, bukan kekuasaan, pertama adalah pemerintah,
Panjaitan orang Papua namanya pengadilan, penjara, angkatan bersenjata dan
7 dakwaan  Makar (aanslag) lain sebagainya. Kedua, agama, pendidikan,
Hengky  makar sebagai ideologi yang
Hilapok. Ahli setara dengan Marxisme keluarga, kebudayaan dan seterusnya
dari Althusser (2015).
Universitas Dari semuanya itu, Upaya untuk mereduksi
Gadjah Mada, berbagai persoalan, rezim Soekarno
Aprinus menggunakan mendekatan kekuatan
8 Kepala divisi Murni Kriminal
humas Polri,
“koersif”, yaitu pendekatan militerisasi.
Inspektur Orde lama munculnya berbagai persoalan
Jenderal Argo pemberontakan dengan ideologi masing-
Yuwono masing. Banyak pemberontakan seperti
9 Pemerintah  Kelompok Kriminal G30S/PKI (Parti Komunis Indonesia) 30
Pusat Terkait Bersenjata (KKB)/teroris
Setember 1965, Peramesta (Perjuangan
dengan Isu  Pembangunan(Building)
Rasisme  Pembangunan Rakyat Semesta) 2 Maret 1977, PRRI
10 Yorrys  Papua Kondusif (Pemerintahan Revolusioner Republik
Raweyai  Keadilan Indonesia) 15 Februari 1058, PKI 18
 Persatuan September 1958 di Madiun, DI/TII (Darul
11 William  Otonomi Khusus Islam/Tentara Islam Indonesia, 7 Agustus
Wandik  Diperhatikan Secara
Komprehensip 1959, Gam (Gerakan Aceh Merdeka) 6
 Papua Bagian Dari Integral Desember 1976, OPM (Organisasi Papua
Merdeka) 1965, dan RSM (Republik Papua integrasi dengan Indonesia. Di satu
Maluku Utara). Semua pemberotakan sisi, aktivtias Belanda yang mendirikan
(rebellion) atas dasar “ketidakpusaan”, “Negara West Papua”. Hal tersebut, tersebut
“Ketidakadilan”. kembali direspon oleh Indonesia dengan
Melirik ke Orde Baru, melancarkan operasi Tri Komando Rakyat
menjalankan roda kekuasaan bersifat (Trikora). Paralelnya, Belanda dikalahkan
dwifungsi, Antara Bersenjata Republik oleh Jepang, akhirnya menerima kekalahan,
Indonesia (ABRI) didukung dengan partai sebaliknya juga Jepang dikalahkan oleh
politik Golongan Karya (Golkar) dan Amerika ketika menggunakan “Bom Otom”
pemerintahan tidak murni dalam sirkulasi di Irosima Nagasaki. Lalu belanda dan
sistem liberal demokrasi Orde baru secara Jepang mengakui mengakui kedaulatan
gamblang orde baru dapat digaunkan Indonesia dan mulai meninggalkan
sebagai “Nasional Ortodoks” “Nasionalisme Indonesia.
Materialistik” serta memiliki legitimasi Pada kesempatan yang lain,
“pembangunan”, “stabilitas politik”, pengakuan Belanda atas kedaulatan
“persatuan dan kesatuan“, dalam pandangan Indonesia, bukan berarti sekalian
Jacky (2014). Selera kekuasaan dalam menghapuskan jejak-jejak dan bekas
kebijakan pembangunan “sentralisitik” jejahannya. Secara simbolik bendera
disamping mendominasi kekuatan “Bintang Kejora” masih hidup hinggai
militerisitik. sampai hari ini. “Bintang Kejora” diiringi
Di sisi gelap orde lama, sangat dengan gerakan “Organisasi Papua
terasa KKN (Korupsi, Kolusi, dan Merdeka”. Runtuhnya “Orde Lama” dimulai
Nepotime) bahkan para pejabat dinamis dengan “Orde Baru”.
gonto-gontokan kabinet. Sistem politik dan Luka lama tidak sempat sembuh
ekonomi tidak stabil, bahkan ketidakstabilan dan rasa sakit masih terukir dalam pelaksaan
politik belum ada dinamis sebagai bangsa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA).
yang “mandiri” sejauh ini masih dikuasai Ideologi “Nasionalisme Papua” masih
koorporasi asing dalam hal ini “kapitalisme. kental, ada memory lama kembali marak
beralih merambat ke orde baru, Soeharto pada 2019 terhadap mahasiswa Papua di
juga berupa memangkas tindakan-tindakan Kota Surabaya. Dimana, muncul diskursus
KKN dan mengerut tindakan-tindakan rasisme ujaran “Monyet” dilatarbelakangi
oposisionis terminologi populer ialah atas dugaan pembekokan benderah merah
“gerakan dibawah tanah”. Hal itu sendiri putih kea rah selokkan air, yang dilakukan
membuktikan kepepimpinan ‘otorites’ oleh AMP. Pelaku sendiri memiliki
mengesampingkan sistem demokrasi, pengetahuan terhadap AMP bahwa gerakan
bahkan menaklukkan para intelektual mereka juga bagian representasi
menjadi “budak” atau “klien” untuk “Nasionalisme Papua” gerakan untuk
melayani kepentingan rezim orde baru. separatis dibawah sistem kepemimpinan
Dengan kultur latar belakang yang begitu Indonesia Try Susanti serta kawan-
kompleks dan rumit, sampai sekarang kawannya seperti Andria Adiansah, Serdah
negara Indonesia memiliki tradisi “korupsi”. Unang Rohana, Syamsul Arifin, Narsul dan
Terlepas dari berbagai gerakan Irwan mereka yang memprovokasi. Biar
oposisionis, lebih fokus pada Organisasi bagaimanapun pelaku utama ialah Try
Papua Merdeka (OPM) didirikan pada tahun Susanti atas dasar koordinator lapangan
1965. Kelompok ini merupakan oposisi yang pada hari peristiwa, atas provokasi tersebut
tidak terima dengan adanya mekanisme merespon dengan cepat oleh berbagai pihak
Ormas. Kesultanan Tidore, B. Anugerah (2019).
Dalam kajian “singkat terhadap Pelaut Spanyol Ynigo Ortiz De Retes Papua
isu faktual dan strategis” menunjukkan sebagai “tempat komoditas” “perbudakan”
keterlibatan Ormas berjumlah 700 massa “monopoli rempah-rempah” serta
dengan sebutan FKPPI (Forum Komunikasi pribumisasi proletar/perkerja.
Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri Terjadinya, kolonialisasi
ABRI). Hipakad, Pemuda Pancasila, Patriot orientalisme tidak hanya “Barat’ dan
Garuda, dan FPI. Lalu sikap mahasiswa “Timur” khususnya di Indonesia. Tetapi
tidak meresponi dengan baik ketika Orientalisme di Indonesia juga terjadi,
pemerintah beruapayakan dengan cara dengan terminologi paralel “Barat” (Barat
negosiasi, Katharina (2019). Termasuk dalam pengertian kepulau Jawab bukan
Aparatus Sipil Negara (PSN) seperti Tentara negara barat), dan “Timur” (Timur dalam
Nasional Indonesia (TNI), Pihak kepolisian, pengertian bagian Indonesia timur seperti
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), wilayah Kupang, Sulawesi, Maluku, hingga
bahkan Militer. Jadi, berdasarkan tindakan- Papua). Orientalisme “Barat” senantiasa
tindakan represif di lapangan nagara ini digambarkan dirinya sebabagai “Peradaban
tidak berubah dalam menghadapi persoalan, yang mapan”, “Pembangunan sentralisitk”,
selalu menggunakan kekuatan represif tanpa “pendidikan dijamin”, “masyarakat
harus dimenangkan mendekatan persuasif modern”, “rasional”. sementara Papua
dan proposional. digambarkan sebagai “kelainan”
Tidak hanya itu, kekuatan koersif (Otherness), diistilahkan sebagai “tempat
telah menimbulkan ada penangkapan- eksploitasi” “ketinggalan zaman”,
penangkapan terhadap para demontrasi anti- “primitif”, “ketinggalan pendidikan”,
rasisme di Papua. Hal itu meruapkan cara “Irasional”, “ketinggalan pembangunan”,
negara untuk menghadapi persoalan di “masyarakat tidak memakai baju tapi pakai
lapangan dengan kekuatan kekerasaan. Koteka”, “’kulit hitam’”, “bau tidak sedap”
Pandangan pasca-kolonial, dalam “telanjang”, “kulit kerang” “arena
Konsep Orientalisme/Other Edward W Said pertempuran”, “medan kenaikan jebatan”,
(2003) Groeveboer (1999). Sejalan dengan “orang pemabuk”, “keras”, “janggi”. “batu
pandangan Said, fakta sejarah menunjukkan digunakan untuk kapak”. “tempat
bahwa negara-negara barat/kaum kaukasoid penelitian” “goblok”, “KKSB/KKB/Teroris”
masuk ke asia antara lain: Belanda, (Kelompok Kriminal Separatis
Portugis, Spanyol, Inggris dan Prancis. Bersenjata/kelompok Kriminal Bersenjata)
Kerapkali disebut sebagai “orang barat” / bahkan “asuh/anjing”, “tahi”, “goblok”
“orang asing”. Dalam hal ini, teristimiwa di “jancok”, “bodoh”, “Gorila” termasuk
kepulauan nusatara, kedatangan “barat” “Monyet”. Hal serupa dalam padangan
untuk monopoli komoditas mencari rempah- Jacky (2014). Discorsi politik rakyat selalu
rempah yang merambat ke kepulauan dicurigai dan diwacanakan “bodoh”, “anti-
Maluku dan Papua. Denggan adanya demokrasi”, “memberontak”, “makar”,
asosiasi dagang belang VOC Orang Papua, “anarki”, “liar”, “separatis”, “provokator”,
juga orang nusantara juga melegalkan “komunis”, “fundamentalis”, “Gerakan
“perdagangan perbudakan” jual-beli Pengacau Keamanan (GPK)”, “sipil
manusia. Kepulauan Papua dikuasai oleh bersenjata”.
Belanda dan misionaris (mereka yang Pola-Pola Hegemoni dan
mengintroduksi Injil/Bibble) menguasai Resistensi Foulcher dalam pandangan
Papua. Di kepulau pasisir dibawah Foulcher terkait dengan pola hegemoni dan
resistensi Foulcher dan Day (2002). “Bapak Revulasioner”, “sang Proklamator”,
Sebetulnya memperkenalkan “kebudayaan serta dilabelkan sebagai “Pahlawan
Nasional”, erat kaitan dengan mendefisikan nasional”, tidak hanya Soekarno, juga
“Ke-Indonesia-an” merupakan formulasi beberapa orang yang diangap pahlawan
kebudayaan ideologi terhadap budaya nasional saat ini. Dengan pangkal atas
untuk memperkuat identitas simultan ada ideologi “Marhaenism” modifikasi pengalan
ketegangan dengan kebudayaan lokal. dari pemikiran Marxian Engels (2007)
Dalam hal ini, penguasa memposisikan diri Beralih ke orde baru, Soeharto
yang paling “berkuasa” sehingga restorasi memiliki memberikan keyakinani/ideology
dan dekoratif untuk mengaunkan kedaulatan untuk akuisisi legitimasi melalui diskursus
negara sangat kontraktif. Foulcher “Pembangunan”, “stabilitas politik”,
menampilkan bahwa negara berupaya “kesatuan-persatuan”, bahkan pemerintah
mengurangi “efek negatif” dalam restorasi berorientasi pada “Nasionalisme
dan mengkonstruksi apa yang digaunkan Materialistik”, untuk kepentingan Papua dia
“pahlawan nasioanal” atau “hari memiliki program mengenai sekolah Impres
memperingati” sulit distingsi antara mitologi (Instuksi Presiden) untuk pembangunan
atau originalitas yang dilekatkannya. pendidikan di daerah pinggiranJacky (2014)
Sementara, resistensi dan ketegangan Era reformasi, Abdurrahaman Wahid alias
menjadi pembanding hegemoni kekuasaan. Gus Dur juga memiliki taraf keyakinan
Itulah kenapa simplikasi B. Anderson dalam ideologi seperti “kebangsaan”, “keadilan”,
bukunya “Imagined Communities “Pluralisme dan Toleransi” sehingga untuk
Reflectioan on the Origin and Spread od kepentingan Papua Gusdur memiliki peran
Nationlism”, Anderson (2019). Dimana besar hal mengembalikan identitas orang
masyarakat digambarkan sebagai komunitas Papua seperti mengembalikan “Irian Barat”
sebab masyarakat hidup dalam bangsa menjadi “Papua” dan menaikkan benderah
secara ideal tidak nyata, tetapi sebuah “Bintang kejora” sebagai “simbok
imaginasi. kebudayaan”, dalam hal ini Gusdur tidak
Sisi gelap (darkness), dari ingin benderah Bintang Kejora sebagai
Identitas Nasional ialah tidak punya “keyakinan” tetapi lebih kepada simbol
capablity kontrol budaya arus globalisasi kebudayaan. Termasuk Megawati
bagaikan malayu kereta. Tidak heran, Soekaronputri memiliki ideology/keyakinan
masyarakat dipengaruhi budaya negara luar seperti “Nasionalisme Indonesia”,
seperti behavior “Konsumtif”, Individuslis”, “Kerakyatan”, “Rule OF law” untuk
“Hendonisme”, mungkin sekarang lebih ke pentingan Papua Megawati memberikan
Budaya Pop Korea Selatan dan Otsus pada tahun 2001.
Westernisasi/kebarat-baratan. Dengan Rezim Jokowi juga memili
demikian, membobol kebudayaan nasional. warisan oligarki kekuasaan hamper serupa
Bangunan keyakinan ideologi dengan Orba ideologi/keyakinan untuk
untuk mengkokohkan pada Orla, Orba, dan Papua “Soeharto kedua”, pembangunan dari
Reformasi berbeda. Pada orde lama “Pinggiran” seperti “Trans-Papua”
misalnya. Pasca kemerdekaan, pemerintah Pemakaran Baru”, “Militerisitk”,
Soekanro meyakini bahwa suara pemerintah “Pembangunan Materialisitk”, ulasan dalam
seakan-akan perwakilan rakykat (isitlah karnaya M. Jacky (2014), Yakni buku
popular menyambung lidah rakyat) untuk tentang “Nasionalisme Materialistik”.
mendapat legitimasi pasca kemerdekaan Dalam hal ini, placebo
pemerintah seokarno dilambangkan sebagai pemerintah status ditempelkan pada Frans
Kaisiepo sebagai “Pahlawan Nasional” dan “KKSB/KKB/Teroris” dan “Separatis”,.
membuat uang uang Rp 10.000 (sepuluh Dalam bahasanya Wiranto “Kompori”,
ribu). hal menghebohkan gambar Kaisiepo “Provokasi”, “Kekacauan”. Namun
di uang 10.000 menjadi sasaran bahan sebenarnya, mereka adalah resistensi dalam
olok.olokan. selain itu, ada “Jembatan melakukan subversi terhadap pemerintah,
Youfeta” dan Jembatan ini sebagai “ikon” terutama Organisasi Papua Merdeka (OPM),
yang dibungkus rupiah yang Rp 75.000 Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), serta
(tujuh puluh lima ribu) dalam rupiah United Liberation Movement for
tersebut juga terdapat gambar “pluralitas” West Papua (ULMWP). Pendek kata,
bagian dari pecahan “bineka tunggal ika”. mereka menolak dominasi Jakarta dan ingin
Tidak hanya itu mencari legitimasi, ada keluar dari bingkai Negara Kesatuan
pula melalui pembangunan “Stadion Papua Republik Indonesia (NKRI). Ini pola
Bangkit”. resisten untuk terus pertarungan ideologi
Dalam konteks ini, istilah (struggle ideology) dari kelompok resistensi
“Materialitik” ideologi yang diperkenalkan kedaerahaan.
oleh Karl Marx yang memiliki keyakinan Dalam diskursus rasisme
bahwa “materi menentukan ide”, bukan “ide terhadap mahasiswa papua di Kota
menentukan materi”, terminologi yang Surabaya, akuisisi resistensi bahwa mereka
dikenal sebagai “Materialistik”, bukan menolak pemerintah dengan resistensi
seperti Hegel “Ide Menentukan Materi” seperti “siapapun datang kami tolak”
yang disebut dengan gagasan “Gagasan kedatang pemerintah ditolak mentah-mentah
Idealistis”. Sehingga negara mencari tawar-menawar. Mereka juga meminta
legitimasi dengan pembanguan berwatak Gubernur Papua, Lukas Enembe, jikalau
“meterialitis”. ingin masuk ke Asrama maka harus
Dalam hal ini, untuk menguat “melepaskan lambang garuda”. Lukas pun,
identitas nasional dengan membangun tidak meresponi permintaan mahasiswa
mitos-mios seperti “Otonomi Khusus”, korban. Tidak hanya lukas, pemerintah pusat
“Trans-Papua”, “Proyek Pembangunan”, seperti Natalis Pigai sebagai mantan
“Militerisasi” “Kujungan”, dan “Pemakaran Komisioner HAM, Willian Wandik dan
Baru”. Juga alam bidang pendidikan seperti Fadli zon mereka dua sebagai DPR-RI,
“Afirmasi” dibiayai dari pemerintah dari Lenius Kogoya sebagai staf Presiden.
dana Otsus untuk pengembangan Sumber Termasuk pemerintah daerah satu
Daya Manusia (SDM). Dengan rombongan dengan Lukas, Timotius Murid
menyodorkan beberapa slogan seperti serta kawan-kawannya ditolak dalam
“NKRI Harga Mati”, “Pansila Sudah Final”, peristiwa tersebut. Ketika oknum politik
“Tidak Bisa Diganggu Gugat”, “Papua melakukan ujaran rasisme “Monyet” dan
Bagian dari NKRI. Bahkan mencabut hak- Salah satu mahasiswa satu mengatakan
hak rakyat seperti “Pemutusan Jaringan kepada oknum TNI itu bahwa “kami bukan
Internet”. monyet, kamulah monyet karena monyet
Dalam rangka ini. semua upaya hanya ada di dalam pikiranmu”. Seluruh
daripada pemerintah pusat hanya untuk mahasiswa pun ingin melakukan negosiasi
menekankan berbagai persoalan yang ada di dengan pihak aparatus negara yang terlibat
Papua. Pemerintah membuat keyakinan dan saat itu, tetapi dengan menggunakan
tawaran seolah-olah menghakiri akan kekuataan koersif mereka lebih kejam
persoalan. Selain itu, kelompok yang ketimbang pendekatan persuasif.
diangap oposisionis sebagai Diskursus Alternatif
(Hypomnema). Diskursus alternatif lain mengatakan “say no to racism”. Ini
merupakan oposisionis terhadap diskursus merupakan membangung benteng. Dibawah
resmi. Ketika kekuasaan memproduksi tabel 1. 2 ini inti dari diskursus alternatif
diskursus resmi yang penuh dengna tipu lain dari subjek.
muslihat, mitos akumulasi realitas, serta
medistorsi masyarakat dalam hal 1.2 Tabel. Diskursus Alternatif Lain
didominasi. (Hypomnema)
Dari sisi lain, sikap oposisionis No Diskursus Alternatif lain
yang memproduksi diskursus alternatif lain 1 Perspektif  Kami Ciptaan Tuhan Bukan
mencoba membendung, menendang, korban Rasisme Monyet (We Are Not a Monkey)
membelokkan, bahkan melawan terhadap di Kota  Keadilan (Justice)
diskursus resmi. Tabel 3 berikut ini Surabaya  Ormas Reaksioner
merupakan diskursus alternatif lain dalam 2 Aliansi  Ketidakadilan (Un-Justice)
Mahasiswa  Tolak Otonomi Khusus
konteks pasca rasisme terhadap mahasiswa Papua (AMP)  Free West Papua/Papua merdeka
Papua di Kota Surabaya. 3 Masyarakat  Otonomi Khusus Habis Papua
Episteme pernyataan sering Papua: Anti- Merdeka
diorasikan maupun eksprekan Penekanan Rasisme  Kami Bukan Bangsa Monyet
serupa, “Tolak Otsus”, “tolak Otsus Jilid II”, Kami Manusia
 Mobilisasi (Mobilization)
“berikan hak menentukan Nasib Sendiri bagi
Bangsa West Papua sebagai Solusi
Dalam diskursus alternati lain (Hypomnema)
Demokratik". Tuntutan. Ini bagian hashtag:
sebagai perawatan diri dan pembangunan
Salam erat, ”Free West Papua”, “Papua
catatan permanen yang menengahi
Merdeka”, “West Papua”. Seruan aksi toster
hubungan untuk diri sendiri Jacky (2015).
“hentikan rasisme dan berikan hak
hypomnema tidak memerlukan konfirmasi
menentuan nasib sendiri bagi bangsa west
maupun validasi. Jadi, mereka yang
Papua” “kami bukan monyet”, “tolak
oposisionis tentu tidak memiliki legitimasi,
rasisme dan berikan hak menentukan nasib
namun tetapi bergerak erena perlawanan
sendiri bagi Bangsa West Papua”, “tolak
aktif dengan diskursus alternatif sebagai
Pemekaran”, “keadilan”, dan “demokrasi
mekanisme perlawanan Dwi Vellienda
bagi rayaky-bangsa”. “Anti-Rasisme”,
(2020).
“Lawan Rasisme”, “Papua Merdeka”,
Sokrates Sofyan Yoman
“Hukum Indonesia Rasis”, “Musuh Kita
memiliki resistensi diri terhadap diskursus
Rasialisme”, “Hentikan Penangkapan
alternatif lain. Menekankan bahwa negara
Terhadap Anti-Rasisme”. ada pula,
“tidak boleh atur kami termasuk negara”,
pernyataan tersebut dari mahasiswa Ikatan
“NKIR harga mati”, “ saya bukan pendatang
Pelajar Mahasiswa, dan Masyarakat Papua
disini”, “saya bukan penumpang”, “ saya
(IMMAPA BALI) menyatakan “Stop
bukan terdampar”, “tidak boleh belenggu-
Rasisme”, “Tegakkan Keadilan”, (Liputan6.
belenggu aturan”, “negara Indonesia
22/08/ 2019). Bahkan menolak pernyataan
kolonial, “dia punya aturan memaksakan
dengan “gonosida”, “penjajah dan fasis”,
kami untuk ikut mereka”, mereka citpakan
“penindasan”, “intimidasi”.
“mitos-mitos, “stigma-stigma”, “label-
Oposisionis dari Statement boaz
label”, (makar, KKB, teroris) “mereka
Solossa pernah diungkapkan Pertanyaan
perilaku pembunuh dan menganggu oran itu
“lebih terhomat mana. Menyet cari ilmu di
sebagai teroris”, “mereka sebenarnya
urmha manusia, atau manusia cari makan di
teroris”, “rasis”, “fasis”, “kita lawan”,
rumah monyet”. Dan Titus Bonai
“teroris itu bakar-bakar”, “bom-bom”,
“mereka memelihara teroris”, “membangun lapisan formal (public transcripts) dan
diri kami sendiri ditas tanah leluhur kami lapisan. Kedua, realitas yang tersembunyi
sendiri. (hidden transcripts). Public transcripts
Dwi Vellienda (2020). merupakan interaksi terbuka antara
Sokrates Sofyan Yoman kelompok subordinat dan kelompok yang
memiliki resistensi diri terhadap diskursus mengsubordinasinya. Sebuah transkrip tidak
alternatif lain. Menekankan bahwa negara hanya mencakup perkataan, juga tindakan
“tidak boleh atur kami termasuk negara”, atau tingkah laku tertentu. realitas yang
“NKIR harga mati”, “ saya bukan pendatang tersembunyi (hidden transcripts) adalah
disini”, “saya bukan penumpang”, “ saya ekspresi diri seperti desas-desus,
bukan terdampar”, “tidak boleh belenggu- gossip/complain.
belenggu aturan”, “negara Indonesia Merefleksikan Public transcripts
kolonial, “dia punya aturan memaksakan dominasi jakarta terhadap Papua. Dihadapan
kami untuk ikut mereka”, mereka citpakan pemerintah daerah banyak menerima
“mitos-mitos, “stigma-stigma”, “label- kebijakan-kebijakan yang diselimuti
label”, (makar, KKB, teroris) “mereka kekuatan dominan. Keberadaan pemerintah
perilaku pembunuh dan menganggu oran itu daerah before of Public transcripts
sebagai teroris”, “mereka sebenarnya menerima bentuk-bentuk kebijakan seperti
teroris”, “rasis”, “fasis”, “kita lawan”, Otonomi Khsusu (Otsus), Pemakaran Baru
“teroris itu bakar-bakar”, “bom-bom”, (Pembar), Trans-Papua/Pembangunan
“mereka memelihara teroris”, “membangun (Trans-Papuan/building), Por-Integrasi
diri kami sendiri ditas tanah leluhur kami (Pro-Integration), pro penerimaan konsep
sendiri. “Ke-Indonesia-An” (Receive concept of
Menyinggung ideologi pencasila Indonesian).
dalam pandangan Handoyo melihat sebuah Lanjut, Hidden
“common denominator” artinya angka- transcript/kenyataan yang tersembunyi atau
angka pecehan namun ditranformasikan menyembunyikan diri dari masyarakat
dalam “kebinekaan” dan itu menjadi Papua termasuk sebagian elit politik
persoalan utama. Lalu, “Pertarungan” sebab mustahil untuk menerima integrasi dengan
ideologi berwatak “integralistik”, bahkan di Indonesia. Hibritas pemerintah
dalam berisi “artifisialitas politis” yang mengehendaki sinkron dengan dengan
artinya rekayasa. Dan ideologi memiliki inferio/oposisionis tersembunyi. Behavior
resistensi yang kuat tergantung pada pemerintah daerah, para intelektual aktivis,
penguasa Ismail (2020). Eko Handoyo serta masyarakat memiliki hidden
(2018). Koheren dengan perspektif Sofyan, transcripts. Kata Gubernur Papua, Lukas
maka kekuasaan memelihara “rekayasa” Enembe bahwa orang Papua “Orang Papua
melegalkan melalui model-model Belum Diindonesiakan dengan Baik”
diskursus/atau hubugangan dalam penelitian, melalui channel Mata Najwa (21 Agustus,
sesungguhnya “diskursus rasisme” 2019). Termasuk Majelis Rakyat Papua
dipelihara kekuasaan dominan”. (MRP) juga mendukung aspirasi
Hal yang serupa dengan studinya masyarakat. Termasuk pergerakan OPM dan
J. Scott (1970). “Publik Trancripts dan AMP, Parlemen Nasional West Papua
Hidden Transcipts” membedah proses (PNWP), United Liberation Movement for
hubungan kekuasaan dan ideologi ke dalam West Papua (ULWP), Kepolisian Negara
dua lapis kenyataan. Dua point yang West Papua (KNWP), Negara Federal
menjadi titik pemikiran. pertama adalah Republik Papua. Dari berbagai pergerakan
ini merupakan bagian dari hidden personal/subordination stage citra yang
transcript/kenyataan yang tersembunyi. diinginkan oleh kekuatan dominan/audience.
Diskursus rasisme sejak Terlepas dari self-representation, behavior
terjadinya “Westernisasi” Barat ke Timur, oposisionis memiliki memiliki kekhasan
termasuk integrasi Papua ke Indonesia tidak yakni panggung belakang back stage dimana
terlepas diskursus rasisme. diskursus menampilkan orinalitas/otentitas pergerakan
rasisme tersebut akuisisi yang terhegemoni oposisonis, Fitriah (2017). Kelakuan
dan menjadi stigmatisasi dari melalui oposisionis selalu menghindar dari
konsensus umum dalam. Lebih lagi, proses eksistensi dirinya di hadapan kekuasaan
realisasi dalam konstruksi sosial dalam dominan sebab kekutaan subordinasi
rutinitas. mengetahui betul kekuatan dirinya bahwa
Berhubungan dengan diskursus tidak dapat membendung kekuataan
rasisme KKB/KKBS Menjadi “Teroris” superstruktur.
AMP juga memiliki diskursus alternatif lain Dalam konteks diskursus
yaitu “Militer Indonesia Terorist Bagi alternatif lain dipamah sebagai perlawanan
Papua”. Sikap ini merupakan oposisonis aktif. Subjek oposisonis perlu perhatikan
terhadap kekuasaan mereproduksi diskursus bahwa perlawanan saat ini tidak hanya
baru. imperialisme penjajahan dan ekspansi
Dalam hal ini, diskursus menjadi kolonialisasi. Perlawan lebih kepada
jalan masuknya semua tindakan yang aktif. perbudakan “sistem kapitalis” seluruh sistem
Dalam pandangan Foucualt dicipline dan dikuasai efek praktik kapitalisme global atau
punishment diimplementasikan untuk one dimensioan (satu dimensi) dalam bahasa
mengontrol mereka yang diangap tokoh mazhab kritis Marcuse (2006). Lebih
menganggu ketertiban. Secara praktikal, penguasaan pada Sumber Daya Alam
melihat penangkapan Tahanan Politik (SDM) seperti kata Jacky. Dalam praktik,
(Tapol) diawali dengan diskursus rasisme perkembaangan suatu negara istilah
terhadap anti-rasisme di Papua mereka diskursus “inti”, “periferi” serta “semi
diskursus sebagai tindakan “Anarkis”, periferi”. Merupakan sebuah strategis sistem
“Makar”, “Provokasi” “Mengompori”. kapitas terhadap negara lain.
Memang, penangkapan 7 orang bagian dari Dalam konteks ini, Kunci
praktis diskursus yang dijadikan sebagai perlawanan sepandan (ekuilibrium)
tontonan ketika jebloskan ke dalam masyarakat modernisme antara lain: (a)
“kerangkeng besi”. “Diplomasi”, langkah diplomasi
Ketika ada pengaplikasian berhubungan dengan spektrum politik. (b)
dicipline and punishment Maka sistem “Peningkatan potensi SDM”, dalam
pengawasan modern seperti kata Foucault bahasanya Derrinda “Dekonstruksi”
panopticon diterapkan tanpa harus pemaknaan ulang baik melalui “karya
pengawasan secara fisik dari sekuriti. Jadi, kreativitas” maupun “gaya hidup (lifetyles)”.
subjek merasa diawai di tingkat pikiran (c) “bebas dari konsep tertentu yang
sehingga perilaku terkontrol dengan adanya membelenggu”, karenanya manusia
panopticon tersebut. seringkali korban diskursus/wacana maka
Dipertajam dalam bahasanya, harus ada emansipasi dari konsep. (d)
Erving Goffman bahwa adanya setting “manusia yang berotonom” Otonomi subjek
“dramaturgis” yang dimainkan oleh tidak lagi tergantung (dependent) terhadap
oposisionis sebagai self-presentation dalam arus diskursus/wacana komunal/publik
rangka menampilkan front of namun lebih ke independen (indenpendent)
yang bebas dari konstruksi realitas yang tandingan melihat bahwa kekuasaan
semu atau sama-samar. (e) masyarakat hidup dominnan dan subordinan didalamnya arena
“nomaden” bukan hal mudah bagi aktivitas pergulatan ideologi (struggle fielding).
revolusi, namun perlu dipertimbangan Dengan kata lain, kekuasaan ingin
kehidupan nomaden. singkirkan mereka yang tidak sepaham
Absurd/sia-sia, jikalau dengan ideologi dominan, sementara
perlawanan lebih menekanan pada revolusi diskursus alternatif lain memandang bahwa
mencetak goal dan seolah-olah one path diskursus resmi merupakan sebuah
revolusi tanpa ada jalan alternatif lain. penindasan, distorsi mitos bahasa
Dalam bahasa Foucaul perlawan tanpa harus (Linguistik), serta negara membuat orang
konfrontasi fisik namun lebih kepada menjadi robot atau mesin untuk dijalan
perlawanan aktif melalui diskursus sesuai kepentingan kekuasaan.
alternatif/hypomnema subjektif yang lebih Westernisasi Nusantara kaitan
berotonom baik melalui dunia maya dengan New Guinea (Papua). Gambaran
(Blogger) maupun dunia nyata (Private umum bagaimana memahami supremasi ras
space/intersubject). “Kaukasoid” mendominasi ras
Diskursus Tandingan (Counter “Mongoloid”, dan “ Negroid” seperti dalam
Discourses). Kemajemukan wacana dalam pandangannya Said. Dan said
suatu masyarakat dapat diciptakan hanya mengambarkan konsep Orientalisme “Barat”
kalau terdapat usaha-usaha yang ke “Timur”, dimana Barat memposisikan
berkesinambungan untuk membatasi diri lebih “Hebat” ketimbang Timur maka
hegemoni penguasa melalui penciptaan ada terminologi “Kita” tidak sama dengan
“wacana-wacana tandingan” (counter “mereka. ketika “Barat” masuk ke “Timur
discourses)Jacky (2015). Tabel 3 Diskursus untuk melakukan suatu penjajahan.
tandingan (Counter Discourses). Penjajahan yang sama terjadi dalam
terminologi “Indonesia barat” ke “Indonesia
1.3 Tabel. Diskursus Tandingan (Counter Timur” saat ini. Supermasi Barat
Discourse) memposisikan diri lebih “mapan” dan
“irasional” jika membadingkan (komparatis)
No Diskursus Tandingan dengan Timur. bagan perkembangan Barat
1 M.Jack Elit politik Lokal ke ke Indonesia hubungan dengan Papua.
y  Persoalan Internasional
Lalu terjadinya bentuk
 Korban Diskursus
Rocky Hak Asasi Manusia/HAM akomodasi, yaitu kelangsungan akulturasi
2
Gerung New Kind Of Nationalism dua unsur yang berdeda serta amalgamasi
(Nasionalisme Baru) untuk membingkai kekuatan politik dalam
 Ketidakadilan unit kelurga. sehingga relasi penjajahan
3 Salim  Masalah Internasional semakin langgeng.
Said  Ketidakadilan Sangat menyedihkan lagi,
 Bangsa ini Tidak Suka masyarakat Papua korban diskursus politik
Sejarah dari orang “Barat”, terutama Belanda yang
mendirikan “Nasionalisme Papua” yang kini
Diskursus tandingan /counter
menjadi ideologi yang membelenggu,
diskursus sendiri dipahami sebagai
memeras, serta ratapan bagi mereka yang
pengetahuan secara akademis dan objektif.
hidup maupun meninggal dunia. Secara
Yang artinya, tidak memihak terhadap
kontekstual, Papua juga korban dari
diskursus resmi dan diskursus alternatif lain
Indonesia sejak sampai saat ini.
(Hypomnema). Secara netralitas, diskursus
Korban tidak hanya orang Papua, Indonesia”.
melihat persoalan secara netral, pro-integrasi kedua, diskursus alternatif seperti
dan kontra integrasi pun juga menjadi “Kami Ciptaan Tuhan Bukan Monyet”,
korban diskursus, korban ideologi/mitos. “Ormas Reaksioner”, “Keadilan”,
Barthes (2013). Satu sisi, klasifikasi ras “Ketidakadilan”, “Tolak Otonomi Khusus”,
kaukaosid, mongoloid, serta negroid tidak “Papua Merdeka”. Diskursus masyarakat
dipahami sebagai epitemologi, namun lebih Papua anti-rasisme “Otonomi Khusus Habis
kepada diskursus politik seperti dalam Papua Merdeka”, “Kami Bukan Bangsa
penelitini ini. Monyet, Kami Manusia”, “Mobilisasi”,
diskursus aspirasi masyarakat Papua ingin
KONKLUSI emansipasi dari korban diskursus.
Dalam penelitian ini Ketika, diskursus tandingan
menggunakan perspektif Michel Foucault (counter discourses) secara objektif
mengaplikasikan konsep power of diantaranya “Persoalan Internasional”,
knowledge, sebagai pisau untuk membedah “Korban Diskursus”, “Hak Asasi
fenomena rasisme mahasiswa papua di Kota Manusia/HAM”, “New Kind Of
Surabaya pada 2019 silam. Govermentality Nationalism”,”Ketidakadilan”, “Bangsa ini
merupakan saluran/channel bio-power/bio- Tidak Suka Sejarah”, konter diskursus
politik untuk pengontrolan dicipline atas pandangan kaum intelek dari pinggiran
dirinya dan eksekusi hukuman/punishment kekuasaan.
terkendornya bentuk dicipline terhadap Keadaan semu ini,
powerless. Power of knowladge bagian dari memverifikasi istilah yang dikatakan
kunci masuknya subjek yang berotonom dan Foucault sebagai “heterotipia”—lawan kata
memiliki hypomnema tersendiri. Sebab dari “utopia”. Heterotipia dimana suatu
untuk menjinakan terhadap subjek melalui dimensi ruang tidak ada dalam ruang nyata
mekanisme bahasa sebagai pilihan untuk dan ruang ini telah hadirkan pemerintah
membentuk diskursus dengan based power untuk menunggangi masyarakat. Dengan
of knowledge. Counter dicourses juga kata lain, suatu meta-narasi (Grand
memiliki kepribadian yang berbeda terhadap Narrative) yang mengebor-geborkan
diskursus dominan dan alternatif. sepanjang massa, padahal sudah basih,
Dalam penelitian ini ada tiga namun terus dihangatkan/simulasi hingga
bagian pertama diskrsus resmi, kedua bius tanpa merasa dibius. kontradiksi-
diskursus alternatif lain, ketika diskursus kontradiksi dengan adanya praktik diskursus
tandingan. Diskursus resmi Pertama, resmi, pola hegemoni. Dalam perspektif
diskursus pemerintah resmi “Otonomi Foucauldian,Agamben (1995).
Khusus”, “Pembangunan”, “Kelompok Memberitahukan dalam bukunya “Homo
Kriminal Bersenjata / teroris”, “Papua Sacer: Sovereign Power and Bare Life”.
Kondusif”, “Keadilan’, “Persatuan”, Negara yang berdaulat dengan praktik
“Otonomi Khusus”, “Diperhatikan Secara Liberalisasi demokrasi menyebabkan hak-
Kompreshensip”, “Papua Bagian Dari hak “Civil Society” seharusnya secara
Integral NKRI”, “Otonomi Sebagai Solusi”. kostitusional diperhatikan, terjadi keadaan
Pelaku rasisme “Monyet” “Provokasi”, sebaliknya yaitu justru munucul gap
“Hoak”, kelompok yang mereproduksi kesejangan dan disparitas sosial yang
diskursus rasisme politik diskursus merajalelah.
mayarakat pro-integrasi; “Satu-Kesatuan”, Korban ada dua sisi, satu sisi
“Cinta Damai”, “Papua Bagian Dari koban oposisionis bagian dari korban
diskursus rasisme. sisi lain, korban ideologi pernyataan-pernyataan subjek terkait dengan
kekuasaan. Dalam hal ini, diskursus terus ujaran rasisme/diskursus rasisme terhadap
melawan dengan memiliki diskursus mahasiswa Papua di Kota Surabaya. Maka,
alternatif lain, sementara korban ideologi perlunya penelitian dari berbagai sudut
tidak merasa korban dan tindakan terus pandang keilmuan masing-masing yang
dilakun atas apa yang yakini sebagai berbeda. Peneliti menyadari betul bahwa
“kebenaran” untuk diperjuangkan. dalam penelitian ini tidak terlepas dari
Keduanya, sama-sama korban dan saling kelemahan dari segi data, bahasa, isi artikel.
mengorbankan yang lain atau memproduksi Maka dari itu, peneliti terbuka untuk kritik
dan reproduksi. demi membangun kekayaan keilmuan
Kerapkali, kekuasaan berupaya khusus teori yang digunakan dalam
pubrifikasi “rekayasa” dan “konsipirasi” penelitian ini.
untuk menambal “ falsifikasi ideologi”.
Lebih tragis lagi, ideologi diartikan sebagai DAFTAR PUSTAKA
“kebenaran” diperkuat melalui ratifikasi Agamben, Giorgio. 1995. Homo Sacer:
regulasi dan common senses atau konsensus Sovereign Power and Bare Life. a cura
bersama. Amplas inferior menjadi “pingmen di M. C. Aesthetics. Stanford
kekuasaan”, “tempat sampah ideologi University Press.
dominan” penguasa terus tendensius jika Alam, Sukma. 2020. «Jurnalisme Damai
inferior keluar rel dari limit pembatas. dalam Pembingkaian Berita Rasisme
Serta, didiskursuskan istilah paling umum Mahasiswa Papua di Tribunnews.com
serpeti “Makar”, “terpapar radikalisme”, dan Detik.com». Jurnal Pewarta
“intoleran”, “anti-pancasila, “anarkis”, Indonesia 2(2):2–16.
“marxian”, “komunis serta gerakan”extream Alinea. 2019. «Polisi dapat gunakan
kiri’. pendekatan adat dalam penanganan
Lebih penting, manfaat Papua». media massa.
(ulititarian) yang lain dalama penelitian ini, Althusser, Louis. 2015. Ideologi dan
konstribusi atas “ kebebasan” dari desadaran Aparatus Ideologi Negara. a cura di C.
semu (unconscious) dari ambiguitas H. Pontoh. IndoPROGRESS,.
diskursus. kesadaran (Councious) yang Anderson, Benedict. 2019. «Imagined
otentik diskursus yang “membelenggu” Communities Reflectioan on the Origin
dalam kehidupan sehari-hari yang sudah and Spread od Nationlism». We
mengalami proses internalisasi.. Untuk itu, Average Unbeautiful Watchers 152–
pernyataan subjek dipahami sebagai gejala 200.
(symtobems) perlu disadarkan. Kesadaran ini Anugerah, Boy. 2019. «Papua: Mengurai
bagian dari pencerahan (enlightment) yang Konflik dan Merumuskan Solusi».
keluar dari bukan tetap dalam kekuasaan Jurnal Kajian LEMHANNAS RI 7(4):1–
yang memberikan mitos-mitos yang 15.
memperkuat posisi mereka. Pencerahan Asih, Imalia Dewi. 2015. «Fenomenologi
(aufklarung) telah terbelenggu dengan Husserl: Sebuah Cara “Kembali Ke
adanya sistem raksasa yaitu “Kapitalis” Fenomena”». Jurnal Keperawatan
yang membelenggu atau mematihkan Indonesia 9(2):1–6.
subjek. Barthes, Ronaland. 2013. Barthes’
Mythologies Today Readings of
Saran dan Kritik Contemporary Culture. a cura di P. B.
studi ini fokus kepada and J. McDougall. news York and
London. Doidge, Mark. 2015. «‘If you jump up and
BBC. 2019a. «Kerusuhan di Papua down, Balotelli dies’1: Racism and
“membuat khawatir” warga player abuse in Italian football».
pendatang». 1. International Review for the Sociology
BBC. 2019b. «Polisi sebut kelompok of Sport 50(3):249–64.
bersenjata Papua bunuh 20 orang Dwi Vellienda, Churnia. 2020. «Panoptikon
sepanjang 2019, OPM anggap data dan hypomnemadalam pendisiplinan
polisi diskriminatif». media massa. tubuh Narapidana Lembaga
Bland, Ben. 2020. Man of Contradictions: Pemaysarakatan». Jurnal Paradigma
Joko Widodo and the Struggle to 8(1):1–16.
Remake. Australia: 1 September 2020. Eko Handoyo, Rahmat Petuguran dan Heri
Budiman. 2017. «Faktor yang Rohayunigsih. 2018. Pertarungan
Mempengeruhi Minimnya enaga Ideologi Pancasila di Tengah
Pendidik di Sekolah Dasar 56 Kepungan Ideologi-Ideologi Dominan.
Kelurahan Soop Distrik Kepualauan Semarang: Unnes Press.
Kota Sorong». 2(2):1–11. Engels, Frederick. 2007. on mar’s capital.
CCN. 2018a. «Trans Papua, Proyek Ambisi Vol. 6. a cura di E. Cahyono.
Jokowi di Indonesia Timur». media Ensieh Sahabanirad. 2017. «Discourse,
massa. power and resistance in Nadine
CCN. 2018b. «Wiranto Sebut RI Bakal Gordimer’s occasion for loving: A
Terima Anggota KKB Papua yang foucaultian reading». 3L: Language,
Insaf». media massa. Linguistics, Literature 23(3):2–13.
ccnIndonesia. 2019. «Massa Anti-rasisme Febrianti, Sekar Wulan, Ajeng Sekar Arum,
Gelar Aksi di Tiga Kabupaten di Windy Dermawan, e Akim Akim.
Papua». media massa. 2019. «Penyelesaian Konflik Internal
Cnbcindonesia. 2019. «“papua dan papu antara Pemerintah Indonesia dengan
barat kondusif”». media massa. Gerakan Separatisme di Papua melalui
Cnnindonesia. 2019. «Luhut: Kalau Enggak Mekanisme Horse-Trading». Society
Ada Gejolak, Bukan Papua Namanya». 7(2):83–100.
media massa. Foucault, Michel. 1966. The Order of Thing:
Darnell, Simon C. 2007. «Playing with race: An archaeology of the human sciences.
Right to play and the production of Vol. 6. a cura di Gallimard. London
whiteness in “development through and New York: British Library
sport”». Sport in Society 10(4):560–79. Cataloguing in Publication Data A
Day, Ketih Foulcher andTony. 2002. catalogue record for this book is
«Clearing a Space. Postcolonial available from the British Library.
Readings of Modern Indonesian Foucault, Michel. 1972a. Power/Knowledge
Literature». Archipel 70(1):1–392. Selected Interviews and Writing 1972-
Derrida, Jacques. 2019. Theory & Practice. 1977. Colin Gorb. United States of
a cura di G. B. & P. Kamuf. Chicago: America.
Printed in the United States of Foucault, Michel. 1972b. The Archaeology
America. of Knowledge & The Discourse on
Dewanti, Siti Chaerani. 2019. «Pembatasan Language. A. M. Sher. news York.
Internet Dalam Mengatasi Konflik Di Foucault, Michel. 1975. «Society must be
Papua». Jurnal Info Singkat 11(17):1– defended: Lectures at the College de
6. France 1976-76». Law, Culture and the
Humanities 1(1):1–346. ETNISITAS DALAM BINGKAI
Foucault, Michel. 1976. The Order OF BHINNEKA TUGGAL IKA DI
Things An Archaeology of the Human MEDIA (Studi Etnis Papua dalam
Sciences. Vol. 1. news York. Bingkai Bhinneka Tuggal Ika Pada
Foucault, Michel. 1997. The Foucault Program TransTV âKeluarga Minusâ)».
Reader by Michel Foucault. a cura di P. Jurnal Dakwah Tabligh 13(2):1–23.
Rabinow. Chicago: Cornell University Ismail. 2020. Pengantar Ilmu Antropologi.
Press. Medan.
Foucault, Michel. 2003. The Birth of the J. Sollewijn Gelpke. 1993. «On The Origin
Clinic. A. M. Sher. London and New Of The Name Papua». Bijdragen
York. 12(3):2–16.
Foucault, Michel. 2012. Discpline & Punish Jabri, Vivienne. 2007. «Michel Foucault’s
Th Birth Of The Prison. a cura di 2012) Analytics of War: The Social, the
Vintage (April 18. news York. International, and the Racial».
Foucault, Michel. s.d. Madness and International Political Sociology
Civilization: A History of Insanity in 1(1):67–81.
the Age of Reason. Vol. 1. a cura di R. Jacky, Muhammad. 2014. «Nasionalisme
Howard. news York. Materialistik Analisis Diskursus Aliran
Foucault, Michel. s.d. The Use of Pleasure Politik Indonesia» a cura di M. Jacky.
Volumer 2 of The History of Sexuality media massa 1–320.
Michel Foucault. Vol. 2. a cura di R. Jacky, Muhammad. 2015. ORMs Online
Hurley. news York: A Division of Research Methods. surabaya.
Random House, Inc. Jawapos. 2019. «Wiranto Sesalkan
Groeveboer, Kees. 1999. «Politik Bahasa Demonstrasi di Papua, Kenapa Brutal».
Kolonia! di Asia* Bahasa Belanda, media massa.
Portugis, Spanyol, Inggris dan Johanes Supriyono. 2014. «Diskursus
Prancis». BRILL 1(2):1–22. Kolonialistik dalam Pembangunan di
Hai.grid.id. 2021. «Viral Ujaran Rasisme Papua: Orang Papua dalam Pandangan
Netizen kepada Patrick Wanggai di Negara». Jurnal Ultimuna Humaniora
Media Sosial». media massa. 2(1):1–25.
Hasrah, Mohd Tarmizi. 2013. Arkeologi, Kaltim.tribunnews. 2021. «New Video
Sejarah dan Budaya. a cura di N. H. S. Mahfud MD umumkan Pemerintah
N. A. R. Z. R. M. Samsudin, M. T. Tetapkan KKB Papua sebagai Teroris».
Hasrah, e Institut. Malaysia: S&T media massa.
PHOTOCOPY CENTER Jalan Reko, Katharina, Riris. 2019. «Insiden Asrama
Sungai Tangkas 43000 Kajang, Mahasiswa Papua Di Surabaya».
Selangor. Kajian SingkatTerhadap Isu Aktual
I Ngurah Suryawan. 2014. «Deain Besar Dan Strategis 11(16):1–6.
Penataan Daerah dan Dinamika Kholill, Munawar. 2016. «Naskah-Naskah
Identitas Budaya di Provinsi Papua Islam Papua». Jumantara 7(1):1–18.
Barat». Jurnal studi Pembangunan Kompas. 2019. «Stafsus Presiden Minta
Interdisiplin XXIII(No.3):1–18. Polisi Tangkap Pelaku Persekusi dan
Indosport. 2019. «Buntut Rasisme Terhadap Rasisme di Asrama Papua». media
Orang Papua, Titus Bonai Serukan massa.
Pesan Damai». media massa. Kompasiana. 2016. «Pemberontakan
Islam, N. 2012. «REPRESENTASI Operasi Papua Merdeka dan Cara
Penanggulangannya». media massa. Politik dan Hukum.
Kusmiarti, Ulfa. 2020. «Framing Mendieta, Eduardo. 2004. «Plantations,
Pemberitaan Kompas . com Dalam ghettos, prisons: US racial
Kasus Diskriminasi dan Rasisme geographies». Philosophy and
Mahasiswa Papua di Surabaya Periode Geography 7(1):43–59.
16 Agustus - 21 Agustus 2019». Jurnal Mercer, Joyce Ann. 2020.
Commercium 3(3):13. «#BlackLivesMatter in Religious
Lentin, Alana. 2004. «Racial States, Anti- Education: The REA Statement on the
Racist Responses: Picking Holes in Murder of George Floyd».
‘Culture’ and ‘Human Rights’». international 115(social issue):1–6.
European Journal of Social Theory Mujib, Abdul. 2015. «Pendekatan
7(4):427–43. Fenomenologi Dalam Studi Islam».
Liputan6. 2019. «FOTO: Protes Insiden Jurnal Pendidikan Islam
Surabaya, Mahasiswa Papua Berunjuk 6(November):167–83.
Rasa di Bali». media massa. Nasioanl.tempo. 2020. «ngacara Sebut
Llopis-Goig, Ramon. 2009. «Racism and Proses Hukum 7 Tapol Papua Tak
Xenophobia in Spanish Football: Facts, Adil». media massa.
Reactions and Policies». Physical Nasional.tempo. 2019. «Lukas Enembe
Culture and Sport. Studies and Pertanyakan Kapasitas Lenis Kogoya
Research 4XLVII(1):1–9. Bicara Papua». media massa.
Lyotard, Jean-François. 1984. The Pamungkas, Cahyo. 2015. «Sejarah Lisan
Postmodern Condition: A Report on Integrasi Papua Ke Indonesia:
Knowledge. Minneapolis,: the Pengalaman Orang Kaimana Pada
University of Minnesota Press. Masa Trikora Dan Pepera». Paramita:
Macey, David. 2009. «Rethinking Historical Studies Journal 25(1).
Biopolitics, Race and Power in the Ploeg, Anton. 2002. «DE papoea: What’s in
Wake of Foucault». Theory, Culture & a name?» Asia Pacific Journal of
Society 26(6):186–205. Anthropology 3(1):2–26.
Mahmud, M. Irfan. 2014. «Commodities Rivai, ndra Putra Yastika. 2013. «Efektivitas
and Trade Dynamics in Papua In The Rezim UEFA Dalam Menangani».
Historic Period». Berkala Arkeologi 1223–39.
34(2):1–16. Rohim, Nur. 2015. «Optimalisasi Otonomi
Malak, Stepanus. 2012. Otonomi Khusus Khusus Papua Dalam Peningkatan
Papua. Kesadaran Hukum Masyarakat Guna
Marcuse, Herbert. 2006. One-Dimensional Meredam Konflik Dan Kekerasan».
Man (1964). Routledge. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum
Mashad, Dhurorudin. 2020. Muslim Papua 8(1):1–21.
Membangun Harmoni Berdasar Said, Edward W. 2003. Said, Edward (1977)
Sejarah Agama di Bumi Cendrawasih. Orientalism. London: Penguin.
a cura di Artawijaya. Jakarta Timur: London: Penguin Group.
Pustaka Al-Alkausar. Sanusi, Irfan. 2010. «Membedah Diskursus
Mediaindonesia. 2021. «DPR: Perubahan Dan Berkreasi Dalam Ranah Pluralitas:
OPM ke KKB Menyuburkan Rereading Arkeologi Pengetahuan».
Kekerasan». media massa. Journal Ilmu Dakwah 4(15):2–17.
MediaIndonesia. 2019. «Warga Menggelar Saputra, Muhammad Ali. 2017.
Aksi Solidaritas untuk Papua Damai». «Menguatnya Politik Identitas Dan
Problem Kerukunan Beragama Di Aritonang, e Chory Angela Wijayanti.
Manokwari». Mimikri 3(1):1–13. 2018. «Representasi Ras Kaukasoid
Scott, James C. 1970. Weapons of the Weak dan Ras Negroid Dalam Film Eye In
Everyday Forms of Peasant Resistan. The Sky». E-Komunikasi 6(2):1–11.
United States of America: Yale Tirto.id. 2018. «Beda Soekarno dan
University. Soeharto Dalama Memperlakukan
Sholahuddin, Nevy Rusmarina Dewi &. Papua».
Ahmad. 2020. «Partai Kebangkitan Tribunnews.com. 2021. «Ambrocius
Bangsa (PKB) dalam Menjawab Nababan Klaim Unggahan Rasisme
Tantangan Multikultural di Indonesia : kepada Natalius Pigai Sebagai Satire.»
Studi Kasus Papua». Jurnal Pemikiran Tribunnews. 2019a. «Menko Polhukam
Politik Islam ISSN 3(1):12. Wiranto Sebut Pemerintah Kantongi
Sihombing, Jene Irene. 2016. Gambaran Nama Aktor Rusuh Papua, Sengaja
Tipe Wajah Mhasiswa Fakultas Biar Kacau». media massa.
Kedokteran Universitas HKBP Tribunnews. 2019b. «Sejumlah Masyarakat
Nommensen Medan Yang Bersuku Papua Gelar Aksi di Depan Istana,
Batak Toba Tahun 2016. Medan. Serukan Pesan Damai». media massa.
Sonu, Debbie. 2020. «Making racial TribunNews. 2019. «Aliansi Masyarakat
difference: A Foucauldian analysis of Peduli Papua Gelar Aksi Damai,
school memories told by Nyanyikan Lagu Daerah Papua». media
undergraduates of color in the United massa.
States». CUNY Academic Works 1–16. Ulfah, R., Ike Atikah Ratnamulyani, e Maria
Suara. 2019. «Sebut Benny Wenda Fitriah. 2017. «PHENOMENON OF
Provokator, Wiranto: Seakan Kita USE PHOTO’S OF THE DAY
Telantarkan Papua». media massa. OUTFIT IN INSTGRAM SELF AS A
SuaraPapua. 2019. «Gubernur Papua: Kami MEDIA PRESENTATION (Study of
Bukan Bangsa ‘Monyet’, Kami Communication In approach
Manusia!» media massa. Dramaturgy Erving Goffman )». Jurnal
Sugandi, Yulia. 2008. «Analisis konflik dan Komunikatio 2(1):1–14.
rekomendasi kebijakan mengenai Wiradnyana, Ketut. 2018. Michel Foucault:
Papua». Friedrich Ebert Stiftung 1–30. Arkeologi Pengetahuan dan
Sukmawati, Anggy Denok. 2018. «Papua Pengetahuan Arkeologi. Jakarta.
dari Masa ke Masa: “Zaman Batu” Yambeyapdi, Ester. 2018. «Papua: Sejarah
hingga Masa Kini». Jurnal Masyarakat Integrasi yang Diingat dan Ingatan
dan Budaya 20(3):1–15. Kolektif». Indonesian Historical
Sumanti, Justianus Joshua, Agusly Irawan Studies 2(2):1–7.

Anda mungkin juga menyukai