Anda di halaman 1dari 6

Buku, Perpustakan, dan Peradaban Pencerahan

Oleh Adi Fauzanto

Melihat data statistik terkait tingkat literasi masyarakat Indonesia yang tidak kunjung membaik dan
cenderung menurun, memang menyakitkan. Seperti data penelitian Most Littered Nation in The World
pada tahun 2016, Indonesia menduduki tingkat 60 dari 61 dalam minta membaca (Kompas, 2016).

Atau data penelitian Proggamme for International Student Assement (PISA), yang secara keseluruhan
indikator yaitu matematika, sains, dan literasi mengalami penuruan untuk Indonesia. Skor Indonesia
pada literasi sebesar 371 pada 2018, terendah sejak tahun 2000. Sedangkan skor sains, sebesar 396. Dan
skor matematika, sebesar 379 (Katadata, 2019).

Walaupun data statistik nilai tersebut perlu dipertanyakan dan diperdebatkan lagi secara metode dan
indikatornya. Tetapi dari hal tersebut, setidaknya kita harus membenahi ketiga indaktor (matematika;
sains; literasi) tersebut. Membenahi rasa sakit bangsa ini, atas penilaian dan realitas yang ada.

Terkadang rasa menyakitkan itu yang membangkitkan semangat kita sebagai manusia. Seperti kisah
Minke dalam Novel Bumi Manusia (2015), rasa sakit atas ketidakadilan dia sebagai pribumi, yang
membangkitkan seorang Tirto Adhi Suryo membangkitkan semangat bangsa nya melalui Pers (Historia,
2019).

Rasa sakit itu, harus mengubah pemikiran kita menuju perbaikan, menuju peradaban yang lebih baik.
Optimistik, kata yang tepat untuk rasa sakit itu. Penulis membayangkan pidato seorang Barrack Obama
pada kunjungan ke Indonesia, padahal dibalik pidato tersebut terdapat realitas yang menyakitkan
(Tempo, 2010).

Ketika menggunakan kata peradaban, kita tidak sedang bermain-main dengan kata tersebut,
bertanggungjawab adalah kata kunci selanjutnya. Lalu dengan apa? Dan seperti apa kunci
tanggungjawabnya? Kuncinya ialah bertanggungjawab pada keilmuan. Seperti saat Islam masuk ke
Spanyol dan Italia membudayakan keilmuan sehingga menciptakan peradaban eropa baru atau
Renaissance (Hasyim, 2018).

Belajar dari peradaban tersebut, menimbulkan abad pencerahan (Aufklarung) di eropa yang melahirkan
humanisme dan modernitas. Dibalik sukses atau gagalnya -karena kritik kontemporer atas modernitas-
proyek peradaban tersebut, kita harus memperlajari bagaimana membangun nya? Dengan apa dibangun
nya? Siapa saja yang membangunnya? Bagaimana peradaban tersebut berpengaruh terhadap individu
dan masyarakat?
Selain menjelaskan proyek peradaban tersebut (Renaissance dan Aufklarung), lalu kita bertanya dimana
peran buku dan perpustakaan? Apakah pengaruh kedua peran tersebut signifikan? Bagaimana kedua
nya mempengaruhi peradaban?

Pertanyaan-pertanyaan tadi yang membuat kita berfikir, dan merefleksikan diri kita sebagai individu,
terutama untuk bangsa dan negara ini. Artikel reflektif ini, harus dipandang sebagai metode dan praksis
(praktek). Sehingga tidak hanya menjadi gagasan intelektual yang diperdebatkan (dialektika), tetapi
juga dijalankan secara praksis di masyarakat Indonesia.

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membuat bangsa kita merefleksikan diri. Penulis
menggunakan pendekatan Teori Kritis Mazhab Franfkut, yang digagas Horkheimer (Sindhunata, 2019).
Pada teori kritis tersebut terdapat tiga syarat, pertama, kita harus curiga dan skeptis terhadap
masyarakat. Kedua, melacak nya melalui sejarah material masyarakat ala Marx, dan berpikir secara
dialektis ala Hegel. Ketiga, ialah tidak boleh memisahkan teori ini dengan praksis, bahasa mudahnya
ialah aplikatif.

Buku, Perpustakaan, dan Abad Pencerahan

Perjalanan eropa menuju Aufklarung yang melahirkan humanisme dan modernisme, melalui berbagai
proses dan tahap. Middle Age atau Abad Pertengahan, adalah pintu masuk nya, masa dimana dikenal
dengan dark age atau zaman kegelapan. Masa kesedihan masyarakat eropa.

Mengapa bisa diistilahkan zaman kegelapan? Karena setiap aspek kehidupan didominasi gereja dengan
ketat. Berbagai hal dilakukan demi kepentingan gereja, tetapi sebaliknya, jika itu merugikan gereja akan
mendapatkan hukuman yang kejam (Saifullah, 2014).

Sedikit reflektif, jika saja, keinginan manusia-manusia khususnya di Indonesia menginginkan kembali
agama sebagai alat pengatur negara, barangkali dia tidak belajar dari sejarah, bagaimana manusia
dikekang. Merdeka adalah lawan katanya. Lalu merdeka yang seperti apa? Merdeka baik secara
individu, dan merdeka secara pikiran, itu lah karakteristik dari zaman Renaissance.

Dari situ lahirlah perkataan “Aku Berfikir, Maka Aku Ada” oleh Descrates. Selain kemerdekaan berfikir,
zaman ini memunculkan bibit humanis dan modern, dalam bahasa yang sering kita dengar ialah tentang
hak asasi manusia dan kemajuan teknologi. Selain melahirkan kemerdekaan berfikir, terdapat dua
paham dan metode terbesar yang lahir dan berpengaruh hingga saat ini yaitu Rasionalisme dan
Empirisme (Dinar, 2013).

Perjalanan Abad Pertengahan yang merupakan kegelapan bagi eropa, dan masyarakat eropa bangkit.
Menuju Renaissance (kelahiran kembali) dan Aufklarung (abad pencerahan). Indonesia perlu belajar
dari apa yang disebut kehancuran atau kegelapan atau kesedihan yang terus menerus.
Lalu pertanyaan, dengan apa masyarakat eropa bangkit? Jawaban sederhananya yaitu keilmuan, buku,
dan pendidikan. Lalu bagaimana ketiganya dapat berpengaruh di era Renaissance dan Aufklarung?

Menurut Hasyim (2018) dalam Paper Jurnal berjudul Renaisans Eropa dan Transisi Keilmuan Islam ke
Eropa, era tersebut diawali di Andalusia (Spanyol) dan Sisilia (Italia). Terdapat tiga (keilmuan; buku;
pendidikan) yang membuatnya menjadi signifikan, kita mengambil sejarah Andalusia dan tokoh Ibnu
Rusyd sebagai salah satu intelektual yang terlibat.

Andalusia, menjadi pusat peradaban keilmuan masyarakat eropa pada saat eropa menjadi hitam kelam
karena dominasi gereja. Mengapa bisa terjadi? Pemerintah (pemilik kekuasaan) saat itu memberi tempat
terhormat bagi para ilmuwan (Hasyim, 2018). Universitas menjadi tempat pusat pembelajaran dari
setiap penjuru negara-negara eropa untuk belajar, salah satunya Universitas Cordova dan pembelajar
salah satunya ialah Francis Bacon sebagai filosof Renaissance eropa.

Salah satu yang terlibat didalamnya, ialah Ibnu Rusyd, ia hidup dimana penguasa Andalus dekat dengan
kaum cendekiawan dan cinta pada pengetahuan. Penguasa tersebut itulah yang melindungi dan
mendorong proses penterjemahan dan pengembangan pemikiran filsafat, khususnya Aristoteles
(Khudori, 2012).

Menurut Donald Hill (Khudori, 2012), terdapat kaitan erat antara dukungan politik dan ekonomi dengan
perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Pelajaran penting dalam political will atau kemauan
politik khususnya untuk penguasa di Indonesia.

Semaraknya pengembangan ilmu pengetahuan atau keilmuan di Andalusia, berdampak pada


perkembangan buku dan perpustakaan. Sejarah mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10
Masehi mempunyai 600.000 jilid buku. Sedangkan perpustakaan Al-Hakim di Andalusia mempunyai
buku dalam 40 kamar, yang setiap kamar terdiri dari 18.000 buku (Hasyim, 2018).

Sedangkan Ibnu Rusyd sendiri menurut Ernert Renan yang melacak karyanya, berhasil mengidentifikasi
78 judul buku, 28 judul dalam bidang filsafat, 20 judul dalam teologi, 8 judul dalam hukum, 4 judul
dalam astronomi, 2 judul dalam sastra, dan 11 dalam ilmu lainnya (Khudori, 2012).

Dalam hal yang lebih praktis, sejarah mengapa munculnya Revolusi Prancis, dalam buku Sejarah
Prancis dari Zaman Pra-Sejarah hingga Akhir Abad ke-20 (2018). Tercatat ketika dalam Aufklarung,
penguasa saat itu memiliki minat terhadap ilmu pengetahuan. Dan bagaimana penguasa saat itu,
memiliki target pengentasan buta huruf untuk seluruh masyarakat. Satu generasi setelahnya lahirlah
Revolusi Prancis, dengan istilah terkenalnya Liberte, Egalite, Fraternite.

Indonesia dan Abad Pencerahan


Melihat faktor-faktor pembuka jalan menuju abad Renaissance dan Aufklarung eropa, tiga diantaranya
keilmuan, buku, dan perpustakaan. Selain itu, diperlukan juga Political Will atau kemauan politik dari
penguasa pada ilmu pengetahuan, menciptakan budaya literasi yang membentuk masyarakat. Tinggal
bagaimana nantinya penguasa dan masyarakat menuai hasilnya, dan digunakan untuk apa.

Berbicara jauh, menerawang 300 tahun lamanya perkembangan ilmu pengetahuan di eropa, jangan lupa
untuk melihat realitas yang ada, yang kita rasakan, khususnya di Indonesia. Apa Kabar Indonesia? Quo
Vadis Indonesia?

Jika melihat Political Will dari pemerintah Indonesia, membaca Paper Jurnal berjudul Membangun
Kualitas Bangsa dengan Budaya Literasi yang ditulis oleh Ane Permatasari (2015). Dia
menggambarkan dialektika kondisi data permasalahan literasi masyarakat di Indonesia dengan keadaan
politik praktis yang tidak memberikan harapan mengatasi masalah literasi masyarakat Indonesia.

Salah satu kutipannya ialah kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kecerdasan dan pengetahuannya,
sedangkan kecerdasan dan pengetahuan dihasilkan oleh seberapa ilmu pengetahuan yang didapat,
kemudian ilmu pengetahuan didapat dari informasi yang diperoleh dari lisan maupun tulisan. Semakin
banyak penduduk suatu wilayah yang haus akan ilmu pengetahuan semakin tinggi kualitas dan
peradabannya (Ane, 2015).

Lalu bagaimana membangunnya? Bagaimana suatu yang kita idekan menjadi terwujud? Bagaimana
suatu masyarakat menjadikan literasi sebagai budaya? Rasa-rasanya sulit sekali menjawabnya, memang
dalam bertanya ada hal yang belum bisa terjawab. Tetapi dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjawab inilah yang membangun kesadaran individu dan masyarakat untuk terus bergerak dari kondisi
ke kondisi.

Politik, Sosiologi, Budaya, Hukum, dan semua disiplin ilmu pengetahuan harus terlibat didalam
bagaimana menyelesaikan pertanyaan dan masalah yang ada, yaitu membangun peradaban yang lebih
baik di Indonesia.

Penulis memberikan gagasan atas apa yang telah ditulis diatas, dari data permasalahan di masyarakat
dan negara, serta sejarah peradaban dan tokoh. Dalam garis besarnya terdapat tiga fokus, membangun
dasar, sub-dasar, dan puncaknya. Jika digambarkan dalam segita yang dibagi menjadi tiga bagian secara
horizontal bertingkat (dasar, sub-dasar, puncak).

Political Will menjadi bagian dasar dalam membangun peradaban. Political Will bisa dipandang bagi
penguasa dan masyarakat, kemauan untuk kemajuan peradaban, khususnya peradaban ilmu
pengetahuan. Didukung dengan infrasftruktur pendukung berupa pemerataan buku dan perpustakaan
diseluruh bagian dan lapisan masyarakat.
Dari Political Will dan infrastruktur yang merata, selanjutnya ialah mengatasi buta huruf diseluruh
masyarakat-pemerataan pendidkan-. Jika kebijakan pengentasaan buta huruf, sudah terjadi atau dalam
pelaksanaan, selanjutnya ialah bagaimana meningkatkan minat baca masyarakat, minat baca terhadap
apapun, dari koran hingga buku. Jika perlu dilakukan dilakukan secara pragmatis bagaimana
meningkatkan minat baca tersebut.

Selanjutnya ialah bagaimana kita menuai hasil sementara yaitu bagaimana kita membiasakan terjadinya
baca, tulis, dan diskusi. Pembiasaan tersebut harus terjadi diseluruh bagian dan lapisan masyarakat,
sehingga menjadi kebudayaan, yaitu budaya literasi.

Lalu dari ketiga hal tersebut, tinggal bagaimana kita menuai hasil sesungguhnya. Jika menuju
masyarakat industri yang terliterasi sehingga terukur. Jika menuju masyarakat ilmiah, bagaimana
kualitas dan kuantitas penelitian dan buku. Jika menuju masyarakat agraris, bagaimana
mengembangkan kondisi sumber daya alam yang ada.

Jalan panjang, terjal, berlubang, hancur lebur, menunggu kita didepan. Setidaknya dari jalan-jalan
tersebut kembali pada prinsip diawal tulisan, rasa sakit yang kita derita melalui realitas yang ada, untuk
mengubah menjadikan suatu perubahan perbaikan peradaban.

Daftar Pustaka

Buku

Jean Carpentir. 2018. Sejarah Prancis: Dari Zaman Prasejarah Hingga Akhir Abad ke-20. Gramedia:
Jakarta

Khudori Soleh. 2012. Epistimologi Ibn Rusyd: Upaya Mempertemukan Agama dan Filsafat. UIN
Maliki Press: Malang

Sindhunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfrut: Dilema Usaha Manusia Rasinal. Gramedia: Jakarta

Jurnal

Ane Permatasari. 2015. Membangun Kualitas Bangsa Dengan Budaya Literasi. Prosiding Seminar
Nasional Bulan Bahasa UNIB.

Dinar Dewi Kurnia. 2013. Konsep Nilai dalam Peradaban Barat. Jurnal Tsaqafah Vol.9 No.2

Hasyim Asy’ari. 2018. Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke Eropa. Jurnal Sejarah
Peradaban Islam Vol. 2 No. 1

Saifullah. 2014. Renaissance dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern. Jurnal
Ushuluddin Vol. 22 No.2
Internet

Dwi Hadya Jayani. 2019. Kemampuan Membaca, Matematika, Sains Siswa Indonesia Rendah. Diakses
dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/12/04/2018-kemampuan-membaca-matematika-
dan-sains-indonesia-rendah

Fandy Hutari. 2019. Pram Menemukan Minke. Diakses dari https://historia.id/kultur/articles/pram-


menemukan-minke-6mRK3

Mikhael Gewati. 2016. Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia. Diakses dari
https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-
60.dunia?page=all

Tempo. 2010. Pidato Lengkap Obama di Balairung Universitas Indonesia. Diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/291064/pidato-lengkap-obama-di-balairung-universitas-
indonesia/full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai