PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Elizabeth Sulzby pada tahun 1986. Literasi adalah kemampuan
berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi “Membaca,
berbicara, menyimak dan menulis” dengan cara yang berbeda sesuai dengan
tujuannya. Jika didefinisikan secara singkat, definisi literasi yaitu kemampuan
menulis dan membaca. Literasi melibatkan kontinum belajar yang memungkinkan
individu mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensinya, serta
berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan komunitas yang lebih luas
(UNESCO, 2004). Dan salah satu permasalahan nasional dalam menghadapi arus
globalisasi adalah peningkatan kemampuan pembangunan. Peningkatan paling
utama terletak pada kemampuan sumber daya manusia sebagai subjek sekaligus
objek pembangunan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan kualitas
sumber daya manusia yang unggul adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan
merupakan suatu upaya menuntun individu sejak lahir untuk mencapai kedewasaan
jasmani dan rohani dalam interaksi alam beserta lingkungannya. Salah satu
indikator pengukur kualitas pendidikan suatu negara ialah minat baca.
Namun mirisnya, menurut riset data dari UNESCO (United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization). Indonesia berada di urutan
kedua dari bawah soal literasi dasar di dunia, dalam artian bahwa indeks minat
baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data UNESCO, minat baca
masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000
orang masyarakat Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda
yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central
Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, tepat berada di
bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Keadaan pandemi COVID-19 (Coronavirus disease 2019), dapat dikatakan
membuat literasi di Indonesia semakin lebih menyusut dan melemah, yang
membuat literasi terlihat seperti sebuah batu yang semakin lama terkikis oleh air.
Covid-19 terlihat seperti Force Majeure atau keadan kahar yang tiba-tiba muncul
di dalam masyarakat. Pada masa pandemi COVID-19, setiap individu perlu
menguasai bahwa literasi digital merupakan hal penting yang dibutuhkan untuk
1
dapat berpartisipasi di dunia modern dan mengantisipasi penyebaran informasi
negatif dan hoax pada masa COVID-19. Literasi digital akan menciptakan tatanan
masyarakat dengan pola pikir dan pandangan paradigma yang kritis dan kreatif.
Namun masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memiliki kemampuan literasi
digital, dan itu menimbulkan permasalahan tentang krisis literasi. Kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi juga menjadi salah satu faktor
terjadinya krisis dan darurat literasi. Dan kurangnya akses serta belum meratanya
infrastruktur dan sarana untuk mendukung, memediasi, dan meningkatkan literasi
terutama untuk di daerah terpencil menjadi alasan atas terjadinya krisis literasi.
seperti kurangnya perpustakaan dan buku bacaaan berkualitas. Membuat Indonesia
menjadi krisis literasi. Informasi aktual dari Perpustaakan Nasional menyebutkan
bahwa perpustaakaan yang terdapat di Indonesia saat ini baru mencapai jumlah
164.610 atau hanya sekitar 20% dari kebutuhan nasional.
Budaya literasi yang sangat memprihatinkan, membuat sastrawan senior
terkenal Taufik Ismail mengungkapkan dan menyampaikannya dengan kalimat
“Tragedi nol buku” dalam sebuah audiensi dengan Komisi X Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Tragedi nol buku adalah istilah yang
diungkapkan oleh sastrawan senior terkenal yang bernama Taufik Ismail.
Sastrawan kondang ini telah melakukan penelitian dimasanya, mengenai wajib baca
buku sastra di tiga belas negara dan hasilnya begitu mengkhawatirkan. Anak-anak
bangsa tidak memiliki minat baca sama sekali. Tragedi nol buku telah terjadi sejak
tahun 1950-an, bagaikan benalu tak sirna oleh waktu. Hal ini berarti kegiatan
literasi anak-anak bangsa begitu memprihatinkan, mengkhawatirkan dan
menegangkan. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa, apabila tidak gemar
membaca bagaimana bisa menjadi penerus dan pemimpin yang cerdas padahal
buku adalah jendela ilmu tanpa batas.
Mengutip istilah dari Taufik Ismail, bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang mengalami krisis nol buku dan minat membaca yang rendah. Di negara
lain sudah mewajibkan siswanya untuk membaca beberapa buku dalam setahun.
Kita beranjak ke sejarah pada saat pendudukan pemerintahan kolonial Belanda,
para pelajar di Algemene Middelbare School (AMS) yang setara dengan Sekolah
Menengah Umum (SMU) diwajibkan untuk membaca. Siswa diminta melahap dan
menelan paling tidak 20 sampai 25 buku karya sastra selama tiga tahun masa studi
mereka. Bukan hanya membaca, siswa juga diwajibkan menulis karangan setiap
minggunya sehingga bisa dibanyangkan begitu banyaknya tulisan-tulisan yang
diciptakan dalam jangka waktu 3 tahun. Jika dibandingkan dengan sekarang, sudah
beribu-ribu sekolah di daerah pelosok tanah air dari jenjang sederajat hingga
menengah atas, akan tetapi kegiatan mengarang begitu jarang dilakukan.
Tragedi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti peristiwa
yang menyedihkan. Patut bila seorang Taufiq Ismail sedih melihat budaya baca kita
2
yang begitu rendah. Sedih melihat budaya kita yang semakin jauh dari tradisi
membaca. Dalam kesempatan tersebut beliau membandingkan dimasa perjuangan
kemerdekaan. Tidak heran bila tokoh kemerdekaan bangsa ini memiliki pemikiran
yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki langkah-langkah yang
strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Kemampuan
mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan mereka yang
beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat penjajah
merupakan rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca.
PEMBAHASAN
3
tantangan sekaligus peluang di era revolusi industri 4.0 pada saat ini. Literasi digital
menurut Paul Gilster yang merupakan seorang penulis dari buku yang
berjudul digital literacy yang diterbitkan pada tahun 1997 mengartikan bahwa
literasi digital adalah kemampuan seseorang dalam memafaatkan informasi dalam
berbagai bentuk. Baik itu dari sumber dari perangkat komputer ataupun dari ponsel.
Dan dalam era revolusi industri 4.0, perlu kita pahami delapan (8) elemen eksensial
pengembangan dari literasi digital. Delapan (8) elemen eksensial pengembangan
dari literasi digital tersebut terdiri atas kultural, kognitif, konstruktif, komunikatif,
kreatif, kritis, kepercayaan diri, dan yang terakhir adalah bertanggung jawab.
Dalam mengembangkan literasi digital di era revolusi industri 4.0, perlu kita
ketahui terdapat prinsip pengembangan dari literasi digital itu sendiri, yaitu yang
pertama adalah pemahaman. Di-mana perlu adanya pemahaman terhadap suatu
informasi. Kedua, yaitu saling ketergantungan. Saling ketergantungan disini adalah,
saling ketergantungan media yang satu dengan media yang lain. Ketiga, adalah
faktor sosial, dan yang keempat adalah kurasi atau kemampuan untuk menilai
sebuah informasi. Indikator literasi digital dibagi menjadi tiga (3), yaitu di
lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat.
4
kemampuan individu dalam menyerap ilmu yang kemudian dikembangkan dalam
dimpementasi. Oleh karena itu, salah satu langkah sederhana namun penting adalah
menanamkan pentingnya literasi pada generasi muda Persaingan dunia yang sangat
kompetitif ini membutuhkan generasi muda yang cerdas, kreatif, dan inovatif untuk
membangun bangsa. Hal tersebut memberikan peranan penting terhadap
keterampilan membaca seseorang untuk membuka wawasan pengetahuan yang luas
sehingga memicu munculnya daya pikir kritis. untuk meningkatkan literasi pada
masyarakat dan generasi muda, dapat dilakukan dengan cara seperti:
5
4). Mewujudkan kegiatan literasi terhadap pelajar:
Literasi merupakan hal yang sangat baik bagi para pelajar. Hal ini
merupakan awalan bagi para pelajar agar dapat mengembangkan wawasan
seluas mungkin, dengan wawasan yang betambah maka diharapkan bagi
para pelajar dapat membawa dunia pendidikan Indonesia lebih maju
kedepannya
Seseorang yang telah terbiasa berliterasi akan sangat senang dengan
kegiatan membaca dan juga menulis sesuatu. Semakin banyak membaca,
akan sangat besar manfaatnya bagi upaya menambah pengetahuan,
wawasan, dan pengalaman. Pelajar yang memiliki minat baca yang tinggi
akan berpengaruh terhadap motivasi dalam kegiatan belajar.
6
yang seharusnya menjadi pertanyaan besar di Indonesia karena kalau kita tau minat
kita apa, kita akan menggali informasi apapun yang ada kaitannya dengan minat
tersebut, termasuk lewat buku.
Pandji Pragiwaksono memberikan contoh seperti “Katakanlah anda
menyukai video game, lalu suatu ketika anda melihat buku yang berjudul tentang
(rahasia pada sebuah video game…yang kamu tidak ketahui)”. Bila anda minat
dengan video game, maka anda akan juga tertarik dengan itu. Mungkin pertama-
tama anda akan menggali informasinya dari film, video, dll. Namun ketika sebuah
medium tersebut sudah habis terserap dan anda masih haus akan rasa penasaran
karena minat anda yang begitu menggebu. Buku pada akhirnya juga akan diambil,
dan itu juga terjadi dengan dia juga. Ia juga menyebut “Bila anda masih belum
percaya dengan saya bahwa ini hanya masalah minat, maka cobalah lihat Raditya
Dika yang merupakan salah satu penulis tersukses dan pasarnya adalah anak muda,
dan semua buku yang ia tulis laku terjual dipasaran”.
Dan itulah bukti bahwa masalah yang ada hanyalah sebatas masalah minat.
Dan memang di Indonesia banyak orang- yang belum mengetahui minat dari
dirinya. Karena setiap keputusan yang diambilnya ditetukan dari faktor
eksternalnya. Kita ambil contoh, misalnya terjadi peristiwa pembicaraan antar dua
(2) individu seperti (misalnya ia berada di sekolah menengah pertama) “Kamu nanti
SMA mau dimana?”, dan temannya menjawab “Aku ingin di SMA 29”, lalu dibalas
dengan teman yang bertanya tadi dengan “Kalau seperti itu, aku juga disana.
Supaya ada temannya”. Dan itu terus berkelanjutan sehingga dia belum benar-
benar menemukan minatnya. Karena keputusan yang diambil bukan berasal dari
dirinya sendiri dan dia menjadi tidak tahu dia memiliki minat apa. Karena ia hanya
melakukan dari repretitif yang ada.
Pointnya adalah sebenarnya ini adalah masalah minat. Harusnya kita
bertanya “Bagaimana caranya kita membantu orang-orang untuk menemukan
minatnya?”. Suapaya dia kemudian menggali apapun tentang minatnya tersebut.
Dan itu ada kaitannya dengan bagaimana kita memperlakukan buku. Karena buku
di era sekarang merupakan jawaban. Dan kita harus memperlakukan buku sebagai
jawaban dari berbagai pertanyaan yang berarda di benak manusia. Karena itu bila
ia (Pandji Pragiwaksono) ditanyakan akan usul untuk membuat perpustakaan
menjadi hidup, dan jawaban ia selalu sama maupun itu Perpustakaan Daerah,
Perpustakaan Sekolah. Ataupun Perpustakaan Nasional.
Menurutnya “Perpustakaan harusnya menjadi tempat untuk seseorang
mencari tau tentang sesuatu, bukan tempat seseorang membaca buku”. Kutipan
yang dibawa oleh Pandji Pragiwaksono tersebut telah mengubah perspektif atau
pandangan paradigma kita terhadap perpustakaan. Karena itu menurutnya
perpustakaan harus di isi dengan diskusi-diskusi terutama bila ditargetkan untuk
generasi muda, maka diskusi-diskusi yang dibawa merupakan topik yang hangat
7
dikalangan anak-anak muda. Ia juga merasa sangat menyayangkan bila Perpusnas
(Perpustakaan Nasional) hanya dikenal sebagai perpustakaan tertingggi di dunia,
namun tidak berdampak dengan prestasi negaranya. Dunia mengetahui bahwa
Perpusnas dari Indonesia merupakan perpustakaan tertinggi di dunia, namun dunia
tidak tahu apa yang lahir dari negara tersebut, keilmuan apa, penemuan apa, hasil
penelitian apa, dan diskusi apa, dunia tidak mengetahui trentang hal itu. Ia
bertanggapan “Untuk apa memiliki perpustakaan tertinggi di dunia, kalau ternyata
kosong bangsanya”. Ia berharap, Perpustakaan seperti Perpusnas bukan hanya
tertinggi di dunia, tapi juga tertinggi di dunia dalam hal prestasi bangsanya.
8
multidimesi nasional pada masa COVID-19, membuat literasi menjadi unsur
penting penyelamat sebuah bangsa.
B. Saran:
1). Pemerintah diharapkan untuk membangun perpustakaan dan dapat
memenuhi kebutuhan nasional. Dan meratakan infrastruktur serta sarana yang
mendukung dalam bidang perpustakaan (terutama di daerah terpencil) dan juga
memperbanyak bacaan berkualitas untuk mengatasi krisis literasi yang kian terjadi.
“There are worse crimes than burning books. One of them is not reading them.”
(ada kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku, salah satunya adalah
dengan tidak membacanya)
― Joseph Brodsky
9
Daftar Pustaka
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-
indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media
Muhsin Kalida, Moh Mursyid. 2015. Gerakan literasi: mencerdaskan negeri:
Aswaaj Pressindio
Gilster, P. Digital literacy, New York: Wiley,1997.
UNESCO. (2004). “The Plurality of Literacy and its Implications for Policies”
UNESCO.(2005). “Development of information literacy: through school libraries
in SouthEast Asia Countries,Bangkok”
10