DI YOGYAKARTA
DI SUSUN OLEH:
NAMA : NUR AZIZAH
NURFADILLA
ELSA MIRANDA
KELAS : XII MIA 1
Emanuel Gobay, atau Edo, seorang warga asal Papua yang sudah bermukim di
Yogyakarta sejak 10 tahun lalu, menuturkan beberapa tindakan pelanggaran hak
konstitusi dari mahasiswa Papua oleh aparat.
“Sikap polisi sangat berlebihan seperti itu? Hak demokrasinya (mahasiswa Papua)
tidak bisa berjalan maksimal,” kata Edo kepada Rappler pada Selasa, 19 Juli 2016.
April 2016
Pengepungan asrama Papua pertama tahun ini terjadi pada 26 April lalu. Pada
waktu itu, mahasiswa Papua berencana menyelenggarakan pentas seni dan budaya
untuk memperingati hari kematian budayawan Papua, Arnold C. A.
Pada malam sebelum hari pementasan, seseorang yang mengaku intelijen polisi
mendatangi asrama dan menanyakan tentang persiapan acara. Para mahasiswa
menjelaskan kalau acara akan berlangsung secara kekeluargaan di dalam asrama.
Pada 26 April pagi, puluhan Polisi gabungan Brimob mengelilingi bagian depan,
sisi kiri dan kanan asrama Papua di Jalan Kusumanegara I Yogyakarta. Mereka
mengenakan atribut dan membawa senjata lengkap.
Sedikitnya 7 truk Dalmas, 4 mobil Sabara, dan puluhan motor milik Brimob parkir
berjejer sepanjang Jalan Kusumanegara.
Akibatnya? Tak hanya acara molor, para penghuni asrama pun tidak bisa keluar
asrama untuk kuliah.
Saat ditanya oleh panitia dan LBH Yogyakarta, polisi mengaku hanya menjalankan
perintah dari Kapolresta. Tidak puas, panitia dan LBH Yogyakarta berangkat ke
Polresta Yogyakarta di mana merek ditemui oleh Kasat Intelkam Kompol Wahyu
Dwi Nugroho.
“Kami hanya mengamankan situasi saja. Jangan sampai ada tindakan atau terjadi
kejadian yang tidak kita inginkan, juga warga,” kata dia.
Setelah negosiasi alot, pihak kepolisian sepakat menarik truk dari sepanjang jalan,
namun tetap menjaga perhelatan acara yang berlangsung hingga lewat tengah
malam.
Mei 2016
Pada saat yang sama, di Yogyakarta aksi mimbar bebas sebagai bentuk solidaritas
juga dikepung aparat.
Anehnya, pada saat itu tidak ada aktivitas yang melibatkan banyak orang atau
kegiatan yang bersifat khusus di asrama mahasiswa Papua. Para mahasiswa
menjadi panik. Namun, militer bergeming, tetap saja mereka berjaga hingga pukul
23:00.
Pada 31 Mei, sekitar pukul 8:00, situasi serupa terulang. Bahkan jumlah aparat
bertambah lebih banyak. Mereka memarkirkan 9 truk Dalmas, 5 mobil patroli, dan
puluhan motor berjejer. Para aparat membawa senjata amunisi lengkap.
Setelah memastikan tak ada kegiatan apapun hari itu, aparat kepolisian mengurangi
jumlah anggotanya di lokasi. Lewat tengah hari, aparat berseragam cokelat
dikembalikan ke kandang masing-masing.
Juni 2016
Pada tanggal 14 Juni, kembali terjadi pengepungan di asrama Papua yang diduga
berkaitan dengan rencana aksi permintaan referendum pada 16 Juni. Meski
demikian, tidak ada detail jumlah aparat maupun perlengkapan yang dibawa.
Juli 2016
Baru pada Rabu, 13 Juli 2016, mulailah insiden yang dibarengi dengan kehadiran
ormas. Pada tanggal 14 dan 15 Juli, keadaan semakin tegang dengan kehadiran
ratusan aparat, lengkap dengan senjata dan mobil water canon.
Tak hanya itu. Mahasiswa Papua juga dianiaya, dan sepeda motor mereka disita
tanpa alasan jelas. Bahkan, mereka tidak diizinkan keluar asrama untuk membeli
makanan.
Rasisme aparat
Selama ini, masalah hanya timbul dengan aparat kepolisian dan militer. Dalam
kasus terakhir, beberapa organisasi masyarakat (ormas) ikut mengepung. Bahkan
beberapa anggota ormas menangkap dan mengikat mahasiswa asal Papua.
“Sebab jika tidak ditindak maka akan semakin meresahkan kenyamanan warga
Yogyakarta dan akan mengubah citra polisi dari pelindung, pengayom dan penegak
hukum menjadi pengacau kenyamanan warga Yogyakarta, pemulus terjadinya
konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta dan pelanggar HAM
secara sistematik,” kata dia.
Ia juga mempertanyakan dari mana asalnya dana pengerahan pasukan yang rutin
dilakukan kepolisian dengan menggunakan implementasi Protap No 1/X/2010
tentang Penangganan Anarkis dan Perkap No 8/2010 tentang tata cara
penanggulanggan huru hara. Pelanggaran terjadi sebab saat pasukan dikerahkan,
tak ada keributan yang berlangsung.
“Jangan biarkan polisi yang tidak profesional gunakan alat negara dengan
pendekatan yang ilegal untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta,” kata dia.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai
mengatakan akan melakukan pemantauan dan penyelidikan terkait tindakan
kepolisian dan beberapa organisasi masyarakat di asrama Papua.
Tim akan turun ke Yogyakarta untuk melakukan penyelidikan pada hari ini, Selasa
19 Juli, hingga Kamis, 21 Juli, mendatang.
Komnas HAM juga telah mengirimkan surat kepada Gubernur Yogyakarta Sri
Sultan Hamengku Buwono X, Kapolda Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat, pihak
korban, dan pihak terkait.
Faktor utama terjadinya konflik mahasiswa Papua di asrama
kamasan I Jl. Kusumanegara Yogyakarta meliputi: