Anda di halaman 1dari 8

PENGEPUNGAN ASRAMA MAHASISWA PAPUA

DI YOGYAKARTA

DI SUSUN OLEH:
NAMA : NUR AZIZAH
NURFADILLA
ELSA MIRANDA
KELAS : XII MIA 1

SMA NEGERI 04 BOMBANA


TAHUN AJARAN 2022-2023
Pengepungan oleh aparat terhadap asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada
14 dan 15 Juli yang lalu bukanlah yang pertama kali. Sejak Januari 2016 saja,
pengepungan terjadi hampir tiap bulan. Dan hampir bisa dipastikan, setiap
pengepungan selalu diikuti dengan berbagai tindakan represif.

Emanuel Gobay, atau Edo, seorang warga asal Papua yang sudah bermukim di
Yogyakarta sejak 10 tahun lalu, menuturkan beberapa tindakan pelanggaran hak
konstitusi dari mahasiswa Papua oleh aparat.

“Sikap polisi sangat berlebihan seperti itu? Hak demokrasinya (mahasiswa Papua)
tidak bisa berjalan maksimal,” kata Edo kepada Rappler pada Selasa, 19 Juli 2016.

Berikut adalah beberapa peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di


Yogyakarta yang berhasil dicatat Rappler sejak April lalu.

April 2016

Pengepungan asrama Papua pertama tahun ini terjadi pada 26 April lalu. Pada
waktu itu, mahasiswa Papua berencana menyelenggarakan pentas seni dan budaya
untuk memperingati hari kematian budayawan Papua, Arnold C. A.
Pada malam sebelum hari pementasan, seseorang yang mengaku intelijen polisi
mendatangi asrama dan menanyakan tentang persiapan acara. Para mahasiswa
menjelaskan kalau acara akan berlangsung secara kekeluargaan di dalam asrama.

Pada 26 April pagi, puluhan Polisi gabungan Brimob mengelilingi bagian depan,
sisi kiri dan kanan asrama Papua di Jalan Kusumanegara I Yogyakarta. Mereka
mengenakan atribut dan membawa senjata lengkap. 

Sedikitnya 7 truk Dalmas, 4 mobil Sabara, dan puluhan motor milik Brimob parkir
berjejer sepanjang Jalan Kusumanegara.

Akibatnya? Tak hanya acara molor, para penghuni asrama pun tidak bisa keluar
asrama untuk kuliah.

Saat ditanya oleh panitia dan LBH Yogyakarta, polisi mengaku hanya menjalankan
perintah dari Kapolresta. Tidak puas, panitia dan LBH Yogyakarta berangkat ke
Polresta Yogyakarta di mana merek ditemui oleh Kasat Intelkam Kompol Wahyu
Dwi Nugroho.

“Kami hanya mengamankan situasi saja. Jangan sampai ada tindakan atau terjadi
kejadian yang tidak kita inginkan, juga warga,” kata dia.

Namun, polisi tidak menjawab pertanyaan LBH dan mahasiswa tentang


keberadaan senjata api laras panjang lengkap saat itu.

Setelah negosiasi alot, pihak kepolisian sepakat menarik truk dari sepanjang jalan,
namun tetap menjaga perhelatan acara yang berlangsung hingga lewat tengah
malam.

Mei 2016

Pada 2 Mei 2016, media massa sempat dihebohkan oleh penangkapan ratusan


pendukung ULMWP. Mereka terdiri dari aktivis Komite Nasional Papua Barat
(KNPB) dan sejumlah mahasiswa. Semula mereka hendak menggelar aksi
dukungan untuk pertemuan Internasional Parliamentarian for West Papua (IPWP)
di London, 3 Mei 2016.

Aksi juga dimaksudkan untuk menuntut agar Persatuan Gerakan Pembebasan


Papua Barat (ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group
(MSG). Aksi dilakukan serentak di Merauke, Kaimana, Yahukimo, Sorong,
Manokwari, Fakfak, dan Timika.

Pada saat yang sama, di Yogyakarta aksi mimbar bebas sebagai bentuk solidaritas
juga dikepung aparat.

Selanjutnya, pada 30 Mei malam, polisi gabungan Brimob kembali mengepung


asrama Papua di Yogyakarta. Kali ini, sedikitnya 5 truk Dalmas dan 2 mobil patroli
milik Kepolisian dan puluhan motor cross berjejer di depan asrama.

Anehnya, pada saat itu tidak ada aktivitas yang melibatkan banyak orang atau
kegiatan yang bersifat khusus di asrama mahasiswa Papua. Para mahasiswa
menjadi panik. Namun, militer bergeming, tetap saja mereka berjaga hingga pukul
23:00.

Pada 31 Mei, sekitar pukul 8:00, situasi serupa terulang. Bahkan jumlah aparat
bertambah lebih banyak. Mereka memarkirkan 9 truk Dalmas, 5 mobil patroli, dan
puluhan motor berjejer. Para aparat membawa senjata amunisi lengkap.

Beberapa perwakilan dari asrama dipertemukan dengan Kapolresta Yogyakarta


AKBP Pri Hartono Eling Lelakon dan Kasat Intelkam Polresta Yogyakarta
Kompol Wahyu Dwi Nugroho di Hotel Fave yang berlokasi tidak jauh dari asrama.

Ketika penghuni asrama menanyakan alasan pengawasan tersebut, Hartono


mengatakan kalau mereka menjalankan perintah Kapolri terkait pengamanan
nasional. 

“Kami hanya mengamankan situasi saja. Jangan sampai kawan-kawan Papua


melakukan tindakan yang tidak diinginkan bersama. Kan ada aksi KNPB di
Jayapura?” jawab Hartono.

Setelah memastikan tak ada kegiatan apapun hari itu, aparat kepolisian mengurangi
jumlah anggotanya di lokasi. Lewat tengah hari, aparat berseragam cokelat
dikembalikan ke kandang masing-masing.

Juni 2016
Pada tanggal 14 Juni, kembali terjadi pengepungan di asrama Papua yang diduga
berkaitan dengan rencana aksi permintaan referendum pada 16 Juni. Meski
demikian, tidak ada detail jumlah aparat maupun perlengkapan yang dibawa.

Namun, di Malang, Jawa Timur, secara terpisah polisi menangkap 26 mahasiswa


Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang berunjuk rasa
menuntut referendum di depan Balai Kota Malang.

Juli 2016

Pada 1 Juli 2016, polisi sempat mengepung asrama mahasiswa Papua di


Yogyakarta, namun masih senyap dari pemberitaan.

Baru pada Rabu, 13 Juli 2016, mulailah insiden yang dibarengi dengan kehadiran
ormas. Pada tanggal 14 dan 15 Juli, keadaan semakin tegang dengan kehadiran
ratusan aparat, lengkap dengan senjata dan mobil water canon.

Pengepungan ini diduga berkaitan dengan pertemuan tingkat tinggi anggota


Melanesian Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon, di mana
anggota ULMWP dijadwalkan menerima ULMWP sebagai anggota penuh
organisasi antar pemerintah Melanesia tersebut.

Tak hanya itu. Mahasiswa Papua juga dianiaya, dan sepeda motor mereka disita
tanpa alasan jelas. Bahkan, mereka tidak diizinkan keluar asrama untuk membeli
makanan.

Rasisme aparat

Kepada Rappler, Edo mengatakan kalau mahasiswa Papua tidak pernah


bermasalah dengan warga di sekitar asrama. “Kalau warga sekitar asrama Papua
baik-baik saja,” kata dia.

Selama ini, masalah hanya timbul dengan aparat kepolisian dan militer. Dalam
kasus terakhir, beberapa organisasi masyarakat (ormas) ikut mengepung. Bahkan
beberapa anggota ormas menangkap dan mengikat mahasiswa asal Papua.

“Di video dan pemberitaan seperti itu,” kata Edo.


Kehadiran polisi dalam jumlah besar dan tanpa alasan jelas, lanjut dia, justru
menimbulkan keresahan warga sekitar. Ia berharap PROPAM dapat menindak
tegas personil yang ketahuan terlibat dalam aksi ini.

“Sebab jika tidak ditindak maka akan semakin meresahkan kenyamanan warga
Yogyakarta dan akan mengubah citra polisi dari pelindung, pengayom dan penegak
hukum menjadi pengacau kenyamanan warga Yogyakarta, pemulus terjadinya
konflik sosial berbasis diskriminasi dan rasis di Yogyakarta dan pelanggar HAM
secara sistematik,” kata dia.

Ia juga mempertanyakan dari mana asalnya dana pengerahan pasukan yang rutin
dilakukan kepolisian dengan menggunakan implementasi Protap No 1/X/2010
tentang Penangganan Anarkis dan Perkap No 8/2010 tentang tata cara
penanggulanggan huru hara. Pelanggaran terjadi sebab saat pasukan dikerahkan,
tak ada keributan yang berlangsung.

“Jangan biarkan polisi yang tidak profesional gunakan alat negara dengan
pendekatan yang ilegal untuk menciptakan diskriminasi di Yogyakarta,” kata dia.

Komnas HAM turun tangan

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai
mengatakan akan melakukan pemantauan dan penyelidikan terkait tindakan
kepolisian dan beberapa organisasi masyarakat di asrama Papua.

“Tujuan penyelidikan ini untuk menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM,


juga untuk melihat fakta peristiwa berdasarkan data, dan informasi, serta
berdasarkan penyelidikan yang objektif, imparsial dan transparan bagi
terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak,” kata dia lewat siaran pers.

Tim akan turun ke Yogyakarta untuk melakukan penyelidikan pada hari ini, Selasa
19 Juli, hingga Kamis, 21 Juli, mendatang.

Komnas HAM juga telah mengirimkan surat kepada Gubernur Yogyakarta Sri
Sultan Hamengku Buwono X, Kapolda Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat, pihak
korban, dan pihak terkait.

 
 Faktor utama terjadinya konflik mahasiswa Papua di asrama
kamasan I Jl. Kusumanegara Yogyakarta meliputi:

1. Upaya – upaya mahasiswa Papua untuk menyuarakan aspirasi mereka


dalam penghapusan diskriminasi seperti penolakan kos kosan.

2. Perbedaan dalam sikap perilaku keseharian dan perbedaan dalam


proses pelayanan administratif.

3. Pengusutan pelanggaran HAM yang berujung pada aspirasi mereka


melakukan aksi demonstrasi pada tanggal 14 Juli 2016 bertepatan hari
peringatan PEPERA ke 40.

 Penyelesaian Konflik Mahasiswa Papua di Yogyakarta 

         Proses penanganan atau resolusi konflik dalam kasus pengepungan


asrama mahasiswa Papua kamasan I jl Kusumanegara Yogyakarta ini,
diambil alih langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai raja
Jawa dan gubernur DIY, waktu itu melakukan pertemuan dan musyawarah
bersama Lukas enembe gubernur Papua,dan ormas serta aparat dan
mahasiswa yang berkonflik di Jl Kusumanegara. Kemudian melahirkan
kesepakatan, antara lain :

1. Tidak mengibarkan atau memunculkan kembali simbol ataupun issue


separatis lainnya.

2. Mahasiswa Papua tidak boleh ikut politik praktis

3. Penghapusan diskriminasi dan stigma di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai