Kilas Internasional
Kilas Internasional
Kabar dunia Senin (19/8) diramaikan berbagai isu, mulai dari organisasi internasional yang menyoroti
kerusuhan di Papua hingga penundaan sidang Najib Razak. (AP Photo/Aaron Favila)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar dunia pada Senin (19/8) diramaikan dengan berbagai isu, mulai dari sejumlah
organisasi internasional yang menyoroti kerusuhan di Papua hingga penundaan sidang mantan Perdana Menteri
Malaysia, Najib Razak, terkait skandal korupsi 1MDB.
Tak hanya media lokal, sejumlah media asing juga mewartakan aksi demonstrasi yang berakhir ricuh di
Jayapura dan Manokwari, Papua, pada Senin (19/8).
Surat kabar Amerika Serikat, seperti The New York Times, hingga media Inggris, The Guardian, menyoroti
warga Papua membakar ban-ban hingga gedung parlemen daerah di Manokwari sebagai respons atas
penangkapan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya sehari sebelumnya.
Selain dua media Barat itu, kantor berita Al Jazeera asal Qatar juga mewartakan kerusuhan di Papua. Media itu
menyoroti demonstran yang turun ke jalan sambil membawa bendera bintang kejora, simbol separatisme Papua
selama ini.
Portal berita Channel NewsAsia dan harian The Straits Times dari Singapura juga menyoroti kerusuhan di
Papua.Aksi demonstrasi ini dipicu oleh pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh sekelompok
anggota ormas pada Jumat (16/8) malam. Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota
Surabaya, disebut bermula dari peredaran foto bendera merah putih yang rusak di depan asrama tersebut di
sejumlah grup WhatsApp.
Tak lama setelah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada akhir pekan lalu, kelompok
pemerhati HAM, Amnesty International mendesak agar tindakan represif dan diskriminatif berbau rasial
terhadap warga Papua dihentikan.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuturkan bahwa penangkapan puluhan mahasiswa
Papua di Surabaya dan kerusuhan di Manokwari serta Jayapura "memperlihatkan bagaimana aparat negara dan
kelompok non-negara melakukan tindakan diskriminatif bernuansa rasial" terhadap warga Papua.
Usman menyayangkan sikap polisi yang "membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti
menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi" selama penangkapan berlangsung.
Berdasarkan pantauan pewarta foto AP, belasan pemrotes itu menyerukan penghentian "pendudukan Indonesia
terhadap Papua Barat."
Sejumlah pedemo juga membawa slogan bertuliskan "Bebaskan Papua Barat", "Akhiri Genosida di Papua
Barat", hingga "Freeport, Out Of West Papua!"
Belasan warga Filipina dilaporkan menggelar protes menuntut pembebasan Papua Barat
di depan gedung Kedutaan Besar RI di Manila, Senin (19/8). (AP Photo/Aaron Favila)
Sekretaris Kedua Pelaksana Fungsi Sosial dan Budaya KBRI Manila, Agus Buana, menuturkan demonstrasi
sejak Senin pagi itu diikuti oleh 13 warga Filipina yang berasal dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) setempat.
Sementara itu, pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa
demo di depan KBRI Manila itu dilakukan oleh orang-orang "yang mengatasnamakan kelompok komunis
Filipina."
Konferensi pers terkait pengepungan asrama mahasiswa Papua. (CNN Indonesia/Aria Ananda)
Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua(FRI-WP) Surya Anta bersuara
terkait peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Surya menjelaskan berdasarkan informasi yang diperoleh dari mahasiswa, awal kejadian itu terjadi pada Jumat
(16/8), sore sekitar pukul 16.00 WIB. Selain aparat keamanan, kata Surya, sejumlah organisasi massa juga turut
menyerang dan mengepung asrama. "Mahasiswa Papua yang sedang berkumpul di Asrama Kamasan Surabaya,
dikepung oleh beberapa aparat. Saya tidak tahu apakah TNI, Polri. Tapi juga ada penyerangan dari Ormas
reaksioner juga," kata Surya dalam konferensi pers di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (18/8).
Surya menjelaskan, awal mula pengepungan itu disebabkan oleh perusakan Bendera Pusaka yang terletak di
depan Asrama. Pihak aparat pun menduga perusakan Bendera Pusaka dilakukan oleh oknum mahasiswa di
asrama. Surya menyayangkan pengepungan tersebut. Menurutnya, aparat tidak melakukan investigasi mendalam
terlebih dulu terkait perusakan Bendera Pusaka. Selain itu, aparat juga 'membiarkan' ormas reaksioner yang turut
melakukan pengepungan.
Parahnya lagi, kata dia, aparat justru ikut menyerang asrama yang disertai tembakan gas air mata.
"Saya menyayangkan, pihak aparat yang ada di lokasi sebelumnya tidak melakukan proses penanyaan atau
investigasi kepada mahasiswa di asrama terlebih dahulu. Bukannya mengamankan penyerangan, tapi malah
menembakkan gas air mata, dan ikut menyerang," katanya. Surya lebih jauh mengatakan pengepungan dan
penyerangan ini juga diiringi perusakan berbagai fasilitas asrama. Para pengepung juga beberapa kali melontarkan
makian bernada rasis kepada mahasiswa Papua."Penembakan gas air mata berkali-kali, dan juga perusakan fiber
di pagar asrama. Makian bernada rasis pun terus dilakukan," ujarnya. Surya menambahkan, pihaknya mencatat
ada 43 mahasiswa yang terjebak di asrama. Mereka bertahan dan mengamankan diri di dalam asrama tanpa
makan dan minum semalaman. "Mereka tidak makan dan minum semalaman, tidur di emperan lantai asrama yang
masih ada gas air matanya. Tak bisa keluar karena dikepung, ada anjing penjaga juga di depan pagar, mereka
takut untuk keluar," ujar Surya.
Akibat peristiwa tersebut sedikitnya lima mahasiswa asal Papua yang terluka. Keesokan harinya, Sabtu (17/8),
polisi merangsek ke dalam asrama dan mengangkut para mahasiswa ke Polrestabes Surabaya. Mereka menjalani
pemeriksaan oleh polisi. Pada Minggu (18/8) dini hari, polisi memulangkan 43 mahasiswa asal Papua tersebut.
"Tadi malam sudah (dipulangkan) pukul 00.00 WIB malam (dini hari), setelah selesai diperiksa semua dari 43 orang
itu," kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Sandi Nugroho, Minggu (18/8). Dari hasil pemeriksaan tersebut,
kata Sandi, seluruh mahasiswa Papua mengaku tak tahu menahu perihal perusakan bendera merah putih yang
ditemukan di depan asrama mereka. "Dari hasil pemeriksaan mengaku tidak mengetahui (perusakan bendera),
makanya sementara kita pulangkan ke asrama yang bersangkutan," ujar Sandi. Sandi mengatakan pihaknya akan
tetap mendalami keterangan para mahasiswa. Polisi kini masih mempelajari alat-alat bukti yang ditemukan di
tempat kejadian perkara. "Sementara masih kita pelajari karena itu ada 43 itu perlu dievaluasi secara menyeluruh,
sehingga kita tahu bahan keterangannya secara utuh," kata dia.
Senin 19 Agustus 2019, 14:09 WIB
Wali Kota Surabaya Tri 'Risma' Rismaharini. (Foto: Noval Dhwinuari Antony/detikcom)
Jakarta - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menepis isu mahasiswa Papua
diusir dari Surabaya. Risma menyebut masyarakat Papua sangat diterima di
Surabaya.
"Kalau disampaikan ada anak Papua diusir di Surabaya itu tidak betul, Kabag
Humas saya dari Papua, dia ada di bawah, jadi itu dari Papua dan beberapa camat
dan pejabat saya juga dari Papua, jadi itu tidak betul," kata Risma di kantor DPP
PDIP, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (19/8/2019).
Risma menegaskan tidak benar ada isu pengusiran mahasiswa Papua, sebab jika
benar pastinya pejabat di jajajarannya akan diusir terlebih dahulu. Risma
memastikan masyarakat Papua diterima dengan baik di Surabaya seperti halnya
dia selalu melibatkan warga Papua di acara Pemkot Surabaya.
"Jadi tidak benar kalau ada pengusiran itu. Kalau itu terjadi, mestinya pejabat
saya yang duluan, tapi pejabat saya tetap kerja, seluruh mahasiswa yang dari
Papua juga masih normal. Dan sekali lagi, boleh dicek selama ini kami di kegiatan
apa pun melibatkan mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, jadi nggak ada itu,"
kata Risma.
Sebagai pihak yang mendapat gelar 'mama Papua', Risma memastikan tidak ada
kejadian pengusiran bagi mahasiswa Papua di Surabaya. Dia mengatakan
kejadian itu awalnya ada penurunan bendera merah putih di asrama tersebut,
kemudian ada organisasi masyarakat yang meminta kepolisian untuk melakukan
tindakan tersebut.
"Bahwa saya juga diangkat oleh warga Papua jadi mama Papua. Jadi karena itu,
sekali lagi, saya berharap saudara-saudara saya, keluarga-keluarga saya, Mama
Papa saya, para pendeta di Papua, sekali lagi tidak ada kejadian apa pun di
Surabaya," kata Risma.
Rentetan demo di wilayah Papua dan Papua Barat diduga dipicu bentrokan
mahasiswa asal Papua dengan aparat di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Ada
isu tindakan rasisme mewarnai bentrokan itu. Aksi di Manokwari dan Sorong,
Papua Barat, berujung rusuh, sementara aksi di Jayapura, Papua, berlangsung
tertib.
(yld/dkp)