Anda di halaman 1dari 7

KILAS INTERNASIONAL

Dunia Soroti Papua hingga Penundaan Sidang Najib Razak


CNN Indonesia | Selasa, 20/08/2019 06:40 WIB
Bagikan :

Kabar dunia Senin (19/8) diramaikan berbagai isu, mulai dari organisasi internasional yang menyoroti
kerusuhan di Papua hingga penundaan sidang Najib Razak. (AP Photo/Aaron Favila)

Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar dunia pada Senin (19/8) diramaikan dengan berbagai isu, mulai dari sejumlah
organisasi internasional yang menyoroti kerusuhan di Papua hingga penundaan sidang mantan Perdana Menteri
Malaysia, Najib Razak, terkait skandal korupsi 1MDB.

1. Media Asing Soroti Kerusuhan di Papua

Tak hanya media lokal, sejumlah media asing juga mewartakan aksi demonstrasi yang berakhir ricuh di
Jayapura dan Manokwari, Papua, pada Senin (19/8).
Surat kabar Amerika Serikat, seperti The New York Times, hingga media Inggris, The Guardian, menyoroti
warga Papua membakar ban-ban hingga gedung parlemen daerah di Manokwari sebagai respons atas
penangkapan puluhan mahasiswa Papua di Surabaya sehari sebelumnya.
Selain dua media Barat itu, kantor berita Al Jazeera asal Qatar juga mewartakan kerusuhan di Papua. Media itu
menyoroti demonstran yang turun ke jalan sambil membawa bendera bintang kejora, simbol separatisme Papua
selama ini.

Portal berita Channel NewsAsia dan harian The Straits Times dari Singapura juga menyoroti kerusuhan di
Papua.Aksi demonstrasi ini dipicu oleh pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya oleh sekelompok
anggota ormas pada Jumat (16/8) malam. Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota
Surabaya, disebut bermula dari peredaran foto bendera merah putih yang rusak di depan asrama tersebut di
sejumlah grup WhatsApp.

2. Amnesty International Minta Setop Aksi Rasial ke Warga Papua

Tak lama setelah pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada akhir pekan lalu, kelompok
pemerhati HAM, Amnesty International mendesak agar tindakan represif dan diskriminatif berbau rasial
terhadap warga Papua dihentikan.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuturkan bahwa penangkapan puluhan mahasiswa
Papua di Surabaya dan kerusuhan di Manokwari serta Jayapura "memperlihatkan bagaimana aparat negara dan
kelompok non-negara melakukan tindakan diskriminatif bernuansa rasial" terhadap warga Papua.

Usman menyayangkan sikap polisi yang "membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti
menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi" selama penangkapan berlangsung.

3. Demo di KBRI, Warga Filipina Desak Pembebasan Papua Barat


Ketika kerusuhan pecah di Manokwari dan Jayapura, belasan warga Filipina dilaporkan menggelar protes
menuntut pembebasan Papua Barat di depan gedung Kedutaan Besar RI di Manila, Senin (19/8).

Berdasarkan pantauan pewarta foto AP, belasan pemrotes itu menyerukan penghentian "pendudukan Indonesia
terhadap Papua Barat."
Sejumlah pedemo juga membawa slogan bertuliskan "Bebaskan Papua Barat", "Akhiri Genosida di Papua
Barat", hingga "Freeport, Out Of West Papua!"

Belasan warga Filipina dilaporkan menggelar protes menuntut pembebasan Papua Barat
di depan gedung Kedutaan Besar RI di Manila, Senin (19/8). (AP Photo/Aaron Favila)
Sekretaris Kedua Pelaksana Fungsi Sosial dan Budaya KBRI Manila, Agus Buana, menuturkan demonstrasi
sejak Senin pagi itu diikuti oleh 13 warga Filipina yang berasal dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) setempat.

Sementara itu, pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa
demo di depan KBRI Manila itu dilakukan oleh orang-orang "yang mengatasnamakan kelompok komunis
Filipina."

Amnesty International Minta Setop Aksi Rasial ke Warga Papua


CNN Indonesia | Senin, 19/08/2019 20:23 WIB

Kerusuhan di Manokwari. (STR / AFP)


Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok pemerhati hak asasi manusia Amnesty International mendesak agar
tindakan refresif dan diskriminatif berbau rasial terhadap warga Papua dihentikan.
Pernyataan itu diutarakan Amnesty menyusul pengepungan asrama mahasiswa dan penahanan 43 pelajar Papua
di Surabaya pada akhir pekan lalu hingga memicu demonstrasi yang berlangsung rusuh di Manokwari dan
Jayapura hari ini, Senin (18/9).
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menuturkan, penangkapan puluhan mahasiswa Papua
di Surabaya dan kerusuhan di Manokwari serta Jayapura hari ini "memperlihatkan bagaimana aparat negara dan
kelompok non-negara melakukan tindakan diskriminatif bernuansa rasial" terhadap warga Papua.
Usman menyayangkan sikap polisi yang "membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti
menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi" selama penangkapan berlangsung.
"Ironisnya, aparat justru ikut mengepung asrama dan melakukan penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan
menembakkan gas air mata, mendobrak pintu gerbang asrama dan melakukan penangkapan sewenang-wenang,"
kata Usman melalui pernyataan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com pada Senin (19/8).
Penahanan 43 mahasiswa Papua bermula ketika sekelompok anggota ormas mengepung Asrama Mahasiswa
Papua di Surabaya pada Jumat (16/8) malam. Pengepungan asrama itu dipicu setelah sejumlah foto bendera
merah putih yang dirusak di depan asrama beredar di beberapa grup WhatsApp.
Polisi sempat mengimbau masyarakat pengepung untuk mundur. Namun, keesokan harinya, 17 Agustus, polisi
mencoba masuk dan melepaskan gas air mata ke dalam asrama tersebut. Setidaknya 43 mahasiswa di dalam
asrama itu kemudian diamankan.
Usman menganggap tindakan Polri tersebut melanggar aturan internal seperti, Peraturan Kapolri No 1/2009
tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian.
"Apalagi mengingat mahasiswa dalam asrama tidak melakukan aksi perlawanan atau menyerang aparat yang
membahayakan jiwa petugas atau orang lain. Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi di Surabaya.
Sayangnya, tidak ada tindakan dari aparat keamanan dan pemerintah setempat untuk menghentikannya," kata
Usman.
Lebih lanjut, Usman menuturkan pihaknya percaya tindakan represif dan kebencian rasial terhadap orang-orang
Papua bisa memicu eskalasi kekerasan dan kekejaman yang akan merugikan warga Indonesia.
Sementara itu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui kerusuhan di Manokwari, dipicu insiden penyerangan
dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, dan kejadian di Malang.
Menurut Tito, apa yang terjadi di Surabaya dan Malang sebenarnya hanya peristiwa kecil. Namun ada oknum
tertentu yang memanfaatkan untuk memicu kerusuhan yang lebih besar lagi dengan menyebarkan informasi tak
benar atau hoaks di media sosial.
Wali Kota Malang Sutiaji mewakili Pemerintah Kota Malang juga menyampaikan permintaan maaf secara
terbuka atas bentrokan yang terjadi pada Kamis (15/8) antara sekelompok warga Kota Malang dengan
mahasiswa asal Papua saat akan menyampaikan pendapat di Balai Kota Malang.
Sutiaji mengatakan bentrokan yang terjadi antara sekelompok warga Kota Malang dengan mahasiswa asal
Papua tersebut berawal dari kesalahpahaman antara kedua pihak. (rds/dea)
Kronologi Pengepungan Asrama Papua Surabaya Versi
Mahasiswa
CNN Indonesia | Senin, 19/08/2019 07:46 WIB

Konferensi pers terkait pengepungan asrama mahasiswa Papua. (CNN Indonesia/Aria Ananda)

Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua(FRI-WP) Surya Anta bersuara
terkait peristiwa penyerangan dan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Surya menjelaskan berdasarkan informasi yang diperoleh dari mahasiswa, awal kejadian itu terjadi pada Jumat
(16/8), sore sekitar pukul 16.00 WIB. Selain aparat keamanan, kata Surya, sejumlah organisasi massa juga turut
menyerang dan mengepung asrama. "Mahasiswa Papua yang sedang berkumpul di Asrama Kamasan Surabaya,
dikepung oleh beberapa aparat. Saya tidak tahu apakah TNI, Polri. Tapi juga ada penyerangan dari Ormas
reaksioner juga," kata Surya dalam konferensi pers di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (18/8).

Surya menjelaskan, awal mula pengepungan itu disebabkan oleh perusakan Bendera Pusaka yang terletak di
depan Asrama. Pihak aparat pun menduga perusakan Bendera Pusaka dilakukan oleh oknum mahasiswa di
asrama. Surya menyayangkan pengepungan tersebut. Menurutnya, aparat tidak melakukan investigasi mendalam
terlebih dulu terkait perusakan Bendera Pusaka. Selain itu, aparat juga 'membiarkan' ormas reaksioner yang turut
melakukan pengepungan.

Parahnya lagi, kata dia, aparat justru ikut menyerang asrama yang disertai tembakan gas air mata.
"Saya menyayangkan, pihak aparat yang ada di lokasi sebelumnya tidak melakukan proses penanyaan atau
investigasi kepada mahasiswa di asrama terlebih dahulu. Bukannya mengamankan penyerangan, tapi malah
menembakkan gas air mata, dan ikut menyerang," katanya. Surya lebih jauh mengatakan pengepungan dan
penyerangan ini juga diiringi perusakan berbagai fasilitas asrama. Para pengepung juga beberapa kali melontarkan
makian bernada rasis kepada mahasiswa Papua."Penembakan gas air mata berkali-kali, dan juga perusakan fiber
di pagar asrama. Makian bernada rasis pun terus dilakukan," ujarnya. Surya menambahkan, pihaknya mencatat
ada 43 mahasiswa yang terjebak di asrama. Mereka bertahan dan mengamankan diri di dalam asrama tanpa
makan dan minum semalaman. "Mereka tidak makan dan minum semalaman, tidur di emperan lantai asrama yang
masih ada gas air matanya. Tak bisa keluar karena dikepung, ada anjing penjaga juga di depan pagar, mereka
takut untuk keluar," ujar Surya.

Akibat peristiwa tersebut sedikitnya lima mahasiswa asal Papua yang terluka. Keesokan harinya, Sabtu (17/8),
polisi merangsek ke dalam asrama dan mengangkut para mahasiswa ke Polrestabes Surabaya. Mereka menjalani
pemeriksaan oleh polisi. Pada Minggu (18/8) dini hari, polisi memulangkan 43 mahasiswa asal Papua tersebut.
"Tadi malam sudah (dipulangkan) pukul 00.00 WIB malam (dini hari), setelah selesai diperiksa semua dari 43 orang
itu," kata Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Sandi Nugroho, Minggu (18/8). Dari hasil pemeriksaan tersebut,
kata Sandi, seluruh mahasiswa Papua mengaku tak tahu menahu perihal perusakan bendera merah putih yang
ditemukan di depan asrama mereka. "Dari hasil pemeriksaan mengaku tidak mengetahui (perusakan bendera),
makanya sementara kita pulangkan ke asrama yang bersangkutan," ujar Sandi. Sandi mengatakan pihaknya akan
tetap mendalami keterangan para mahasiswa. Polisi kini masih mempelajari alat-alat bukti yang ditemukan di
tempat kejadian perkara. "Sementara masih kita pelajari karena itu ada 43 itu perlu dievaluasi secara menyeluruh,
sehingga kita tahu bahan keterangannya secara utuh," kata dia.
Senin 19 Agustus 2019, 14:09 WIB

Mahasiswa Papua di Surabaya Sesalkan


Penyerangan Asrama dan Kata-kata Rasis
Amir Baihaqi - detikNews

Para mahasisw Papua di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya/Foto: Amir Baihaqi

Surabaya - Para mahasiswa Papua di Surabaya menyesalkan insiden


penyerangan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan. Mahasiswa juga
menyayangkan ada kalimat-kalimat rasis yang ditujukan kepada para mahasiswa.
"Menanggapi kata-kata rasis kami sangat prihatin, secara psikologi kami cukup
terganggu. Tapi kenyamanan dan keamanan di universitas dan lingkungan kami
cukup aman sampai saat ini," ujar salah satu mahasiswa Papua, Faniz Pamius
Wenda kepada detikcom di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Senin
(19/8/2019).
Meski ada kekhawatiran, namun sampai saat ini, lanjut Faniz, situasi kegiatan
belajar di kampus dan di lingkungan tempat tinggal mereka masih relatif aman
dan nyaman. Sebab, para mahasiswa asal Papuadi Surabaya tidak hanya tinggal
di asrama di Jalan Kalasan, tapi menyebar di seluruh wilayah sekitar kampus
mereka.
"Kegiatan belajar kami lancar dan juga mahasiswa baru yang akan baru datang
sementara kami masih berkoordinasi. Mahasiswa di Unitomo ini tinggal di
Pumpungan, Nginden, Bratang dan Semolowaru serta sekitar sini masih nyaman
dan aman sampai saat ini," terang Faniz.
Faniz berharap kejadian kata-kata rasis yang sempat terucap dan kekerasan
yang terjadi tidak akan terjadi lagi. Sebab hal itu akan berdampak besar dan bisa
memecah belah keutuhan bangsa.
"Harapan saya sebagai mahasiswa kami sangat prihatin dengan kalimat-kalimat
rasis tapi saya pikir bisa diselesaikan dengan baik. Tapi saya harap jangan
terulang lagi karena bisa memecah belah antara kami. Jadi harapan ke depan
jangan terjadi rasisme di kampus maupun di lingkungan luar," pungkas Faniz.
Senin 19 Agustus 2019, 16:54 WIB

Risma: Tak Benar Ada Pengusiran Mahasiswa


Papua di Surabaya
Yulida Medistiara - detikNews

Wali Kota Surabaya Tri 'Risma' Rismaharini. (Foto: Noval Dhwinuari Antony/detikcom)

FOKUS BERITA:Kerusuhan Manokwari

Jakarta - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menepis isu mahasiswa Papua
diusir dari Surabaya. Risma menyebut masyarakat Papua sangat diterima di
Surabaya.

"Kalau disampaikan ada anak Papua diusir di Surabaya itu tidak betul, Kabag
Humas saya dari Papua, dia ada di bawah, jadi itu dari Papua dan beberapa camat
dan pejabat saya juga dari Papua, jadi itu tidak betul," kata Risma di kantor DPP
PDIP, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (19/8/2019).
Risma menegaskan tidak benar ada isu pengusiran mahasiswa Papua, sebab jika
benar pastinya pejabat di jajajarannya akan diusir terlebih dahulu. Risma
memastikan masyarakat Papua diterima dengan baik di Surabaya seperti halnya
dia selalu melibatkan warga Papua di acara Pemkot Surabaya.

"Jadi tidak benar kalau ada pengusiran itu. Kalau itu terjadi, mestinya pejabat
saya yang duluan, tapi pejabat saya tetap kerja, seluruh mahasiswa yang dari
Papua juga masih normal. Dan sekali lagi, boleh dicek selama ini kami di kegiatan
apa pun melibatkan mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, jadi nggak ada itu,"
kata Risma.

Sebagai pihak yang mendapat gelar 'mama Papua', Risma memastikan tidak ada
kejadian pengusiran bagi mahasiswa Papua di Surabaya. Dia mengatakan
kejadian itu awalnya ada penurunan bendera merah putih di asrama tersebut,
kemudian ada organisasi masyarakat yang meminta kepolisian untuk melakukan
tindakan tersebut.

"Bahwa saya juga diangkat oleh warga Papua jadi mama Papua. Jadi karena itu,
sekali lagi, saya berharap saudara-saudara saya, keluarga-keluarga saya, Mama
Papa saya, para pendeta di Papua, sekali lagi tidak ada kejadian apa pun di
Surabaya," kata Risma.

Rentetan demo di wilayah Papua dan Papua Barat diduga dipicu bentrokan
mahasiswa asal Papua dengan aparat di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Ada
isu tindakan rasisme mewarnai bentrokan itu. Aksi di Manokwari dan Sorong,
Papua Barat, berujung rusuh, sementara aksi di Jayapura, Papua, berlangsung
tertib.
(yld/dkp)

Anda mungkin juga menyukai