Anda di halaman 1dari 14

Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi

2016

Angka buta huruf di


Indonesia
Indonesia termasuk dalam sepuluh besar
negara penyumbang angka buta huruf dunia
bersama dengan India, China, Pakistan,
Bangladesh, Nigeria, Ethiopia, Egypt, Brazil,
serta Congo.
Masih terdapat sekitar 8,5 juta orang Indonesia
buta huruf. Dari angka tersebut, sekitar 1,9
juta di antaranya tinggal di Papua. Menurut
data BPS, rasio penduduk buta huruf di Papua
merupakan yang tertinggi di Indonesia yakni
mencapai 39,23% (2012) .

Sekilas Papua
Provinsi Papua terletak di ujung timur
Indonesia, berbatasan langsung dengan
Papua Nugini. Merupakan provinsi terluas
di Indonesia dengan wilayah daratan
seluas 319.036,05 km yang dihuni oleh
2.833.381 jiwa, meliputi 255 suku yang
masing-masing memiliki budaya dan
bahasa berbeda.

Sekilas Intan Jaya


Intan Jaya merupakan salah satu Kabupaten di Papua yang pada tahun 2008
dijadikan sebuah Daerah Otonomi Baru (DOB) yang sebelumnya menjadi
bagian dari Kabupaten Paniai. Sebanyak 41.163 jiwa penduduknya (sensus
2010) tinggal di wilayah seluas 3.922,02 km yang terbagi dalam 6 distrik,
36 desa.
Ke-enam distrik tersebut diantaranya Agisiga, Biandoga, Hitadipa, Homeyo,
Sugapa, Wandai. Dari ke-enam distrik tersebut Sugapa menarik perhatin
tersendiri karena salah satu kampunnya yaitu Ugimba telah diangkat menjadi
Kampung Pariwisata oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Kemenparkraf) pada tahun 2014. Dijadikannya sebagai kampung pariwisata
karena Desa Ugimba menjadi kampung terakhir yang dilalui oleh para
pelancong yang hendak mendaki Puncak Carstensz.

Fenomena Pendidikan di
Ugimba
Keadaan diatas membawa konsekuensi bahwa Ugimba akan menjadi desa
yang banyak dikunjungi oleh banyak turis baik lokal maupun mancanegara.
Oleh karena itu masyarakat Ugimba yang didominasi oleh masyarakt adat
moni seakan dituntut untuk mampu menjawab tantangan ini. Pada tahun
2004, salah seorang tokoh masyarakat Ugimba, Maximus Tipagau melalui
Yayasan Somatua membangun satu unit sekolah di Ugimba. Harapan dari
didirikannya sekolah tersebut adalah untuk memberikan akses pendidikan
pada masyarakat Ugimba secara langsung, karena faktanya Pemerintah
Daerah baru memfasilitasi pendidikan di Ibu Kota Kabupaten Sugapa.
Fakta lain yang muncul adalah bahwa keberadaan bangunan sekolah sebagai
salah satu fasilitas pendidikan belum dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Berdasarkan penuturan Maximus (2015), tak jerang bangunan sekolah ini
kosong dan tidak ada kegiatan ajar mengajar. Alasannya banyak kadang tak
ada guru yang datang atau kadang juga muridnya yang tak datang.
Hal tersebut tentunya memperihatinkan berhubung dengan adanya nawacita
atau Sembilan cita-cita bangsa Indonesia yang salah satu poinnya adalah
mengenai pemerataan pendidikan.

Sebagai sebuah kampung yang terbilng baru menyadari akan pentingnya


pendidikan, Ugimba saat ini masih sibuk mengejar berbagai ketertinggalan
termasuk di bidang pendidikan. Angka buta aksara di kabupaten intan jaya
mencapai 70% atau sekitar 29 ribu warga (BPS Kab. Paniai, 2013).
Di sisi lain, perubahan sedang berlangsung sangat cepat: pembangunan,
pembukaan jalan, ekspansi pasar dan industri, serta masuknya pendatang, harus
diimbangi dengan peningkatan kapasitas untuk mendapatkan posisi tawar yang
lebih baik. Kemampuan literasi (baca-tulis-hitung) kebutuhan mendasar yang
mutlak diperlukan. Selain itu, dibutuhkan juga pendidikan yang mampu
memberikan pemahaman mengenai perubahan yang tengah terjadi serta di
mana posisi mereka dan opsi-opsi dalam perubahan tersebut jika mereka tidak
ingin menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

Sekilas Tentang
Ekspedisi Padjadjaran
Nemangkawi
Dalam menyikapi kondisi pendidikan Papua
di atas, khususnya di Desa Ugimba, Distrik
Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. PALAWA
UNPAD ingin melakukan kegiatan
Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi
berupa kegiatan penelitian dan pendataan
mengenai kondisi pendidikan di sana
dengan menggunakan pendekatan
berbasis budaya.
Pada ekspedisi ini, tim dari PALAWA UNPAD
akan terjun langsung dan tinggal di tengah-tengah masyarakat di Desa Ugimba
untuk dapat menelusuri akar persoalan serta kendala pendidikan di sana.
Termasuk melihat bagaimana pendidikan dipahami oleh komunitas, misalnya
dalam sistem budaya mereka, harapan, juga bagaimana mereka memandang
dirinya, komunitasnya, serta persoalan-persoalan yang dihadapi.
Aspek-aspek dan hasil dari kegiatan ekspedisi ini adalah:
Mengungkapkan persoalan pendidikan di Ugimba melalui kajian dengan
pendekatan budaya. Hasil kajian berupa laporan narasi dan essay foto.

Mempublikan dan mendistribusikan hasil kajian serta rekomendasi kepada


masyarakat luas untuk mendapatkan perhatian publik, serta secara khusus
kepada instansi-instansi terkait pendidikan di Papua dan Indonesia.
Hasilnya berupa diskusi dilakukan di Papua.

Memberikan
rekomendasirekomendasi serta
langkah-langkah
terobosan untuk
mengatasi persoalan
pendidikan khususnya
melalui pendekatan
budaya

Hasil ekspedisi berupa


film dan buku, serta
seminar pendidikan di
Universitas Padjadjaran,
Jatinangor.

Maksud dan Tujuan


Kegiatan ekspedisi ini diharapkan dapat menghasilkan pemikiran
penting dan terobosan baru dalam perbaikan pendidikan yang
bermanfaat bagi masyarakat Papua khususnya di Desa Ugimba.
Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menghasilkan alternatif
pengembangan pendidikan yang ramah terhadap budaya lokal dan
memberi pengetahuan praktis dalam menghadapi tekanan
perubahan dan modernisasi di sekitarnya.
Pendataan ini bertujuan untuk mengumpulkan masukan yang dapat
diterapkan oleh para guru, praktisi dan pemegang kebijakan
pendidikan dalam meningkatkan kondisi pendidikan anak-anak
Papua khususnya dalam mengurangi angka buta aksara serta tetap
mendukung pelestarian keanekaragaman budaya dan keunikan
alam di Papua.
Hasil ekspedisi ini akan diseminasi ke berbagai instansi dan pihak
terkait, serta terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan.

* Penelitian mengenai pendataan pendidikan berbasis budaya ini


merupakan bagian dari Ekspedisi Padjadjaran Nemangkawi 2016
yang bertujuan mempromosikan pendakian yang juga
diimbangi dengn kegiatan keilmiahan khususnya gagasan
mengenai pendidikan berbasis budaya dalam upaya
pengentasan buta aksara khususnya bagi masyarakat adat
Indonesia.

Donasi/Sponsorship
Sebagai kontrapretasi dari dana yang diberikan, sponsor atau donatur
dapat meletakan logonya pada:
Spanduk
Seminar Kit
Merchandise dalam goodie bag

Tentang PALAWA UNPAD


Perhimpunan
UNPAD

Mahasiswa Pecinta

merupakan

Universitas

sebuah

Padjadjaran

unit

yang

Alam

(PMPA)

kegiatan

PALAWA

mahasiswa

berkegiatan

dalam

di

dunia

kepecintaalaman dan berdiri sejak tanggal 24 Maret 1982.


Sepanjang

34

tahun

perjalanannya,

melakukan berbagai kontribusi

Palawa

di dunia

Unpad

telah

kepecintaalaman.

Beberapa pretasi besar yang pernah dilakukan antara lain


Ekspedisi Natuna tahun 2006 (dalam rangka). Ekspedisi terakhir
kali di tahun 2011 yaitu Padjadjaran World Gigantic River 2011,
yang dilakukan untuk membandingkan kondisi kawasan karst di
Laos dengan kawasan karst Indonesia yaitu Padalarang. Selain
kegiatan-kegiatan

operasional

Palawa

Unpad

juga

kerap

melakukan kegiatan di bidang pendidikan dan pengabdian


kepada masyarakat seperti pengenalan kawasan karst pada
masyarakat Tasikmalaya dan Klapanunggal Bogor, sosialisasi
kesehatan gigi dan mulut pada 500 anak SD se-Jatinangor
(2015), dan beberapa kebencanaan di daerah jawa dan
sumatera Beberapa kegiatan terakhir yang diadakan adalah
Seminar Nasional Perempuan dan Petualangan 2013, Seminar
dan Jelajah Karst Kawasan Citatah,Kabupaten Bandung Barat.
Di

tahun

2016,

Palawa

Unpad bermaksud

melaksanakan

kegiatan yang memiliki nilai manfaat bagi saudara-saudara kita


di tanah Papua, khususnya Kanmpung Ugimba.

Visi:
Pendidikan untuk kehidupan
Misi:
Mengembangkan
pendidikan alternatif bagi
komunitas untuk
menghadapi perubahan
yang terjadi di tempat
hidup mereka tanpa
meninggalkan tradisi dan
budaya yang diyakininya.

10

Tentang Masyarakat
Adat
Masyarakat adat dunia berjumlah lebih dari 300 juta yang
tersebar di lebih dari 70 negara. Dari angka tersebut, sekitar 190
juta tinggal di kawasan Asia. Meskipun populasi mereka hanya
sekitar 5% dari total penduduk dunia, namun budaya mereka
mewakili 60% bahasa yang ada di muka bumi dan mewarisi lebih
dari setengah pengetahuan manusia (Unesco, 2005), serta
mereka mendiami dan memelihara 2/3 permukaan bumi beserta
biodiversity-nya.
Di Indonesia yang memiliki ratusan suku bangsa dan bahasa,
diperkirakan terdapat 50-70 juta masyarakat adat. Angka ini
didasarkan pada definisi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) mengenai masyarakat adat, yakni Sekelompok
penduduk yang berdasarkan asal-usul leluhur, hidup dalam suatu

wilayah geografis tertentu, memiliki nilai-nilai dan sosial budaya


yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta
mengatur dan mengurus
keberlanjutan kehidupannya
dengan hukum dan
kelembagaan adat".

Selain persoalan geografis,


kekhususan budaya juga
menjadi kendala bagi sekolah
formal untuk dapat
menjangkau masyarakat adat
yang tersebar di penjuru
Indonesia.

Masyarakat adat memiliki hak untuk


membentuk dan mengontrol system
pendidikan mereka dan institusiinstitusi yang menyediakan pendidikan
dalam bahasa mereka sendiri, dalam
suatu cara yang cocok dengan budaya
mereka tentang pengajaran dan
pembelajaran (Deklarasi PBB tentang
Hak-hak Masyarakat Adat, pasal 14.1).

11

Mengapa tidak
bersekolah?
Anak-anak komunitas adat sering kali kesulitan mengakses
pendidikan formal. Bukan hanya jauhnya jarak ke sekolah
terdekat, namun juga karena faktor kultural. Sekolah formal pada
umumnya tidak dapat mengakomodir kekhususan budaya dan
persoalan mereka. Selain itu, manfaat pendidikan yang berjenjang
sulit dipahami oleh mereka dalam konteks adat dan persoalan
setempat.

Kenapa kami harus pergi pukul


tujuh pagi setiap hari? Itu
waktunya kami melihat jerat yang
dipasang semalam. Kalau terlalu
siang, binatangnya sudah
membusuk, kata Sertu, Orang
Rimba yang tinggal di Hutan Bukit
Duabelas Jambi.

Di Pulau Besar, NTT, anak-anak harus


berjalan kaki sekitar satu jam
menyusuri pantai untuk menuju ke
sekolah yang berada di sisi lain pulau.
Saat badai atau laut pasang, rute ini
terlalu berbahaya untuk ditempuh
anak-anak sehingga mereka tidak

dapat pergi ke sekolah.

Bagi Orang Kajang yang dalam


kesehariannya memakai pakaian
hitam sebagai perlambang
kesederhanaan, mengirimkan anakanak mereka ke sekolah formal
menjadi dilema karena
mengharuskan anak-anak itu
memakai seragam merah-putih.

12

Susunan
Kepanitiaan
Pelindung: Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Dr. Arry Bainus, M.A.
Direktur Kemahasiswaan dan Alumni
Dr. Ir. Heryawan Kemal Mustafa, M.Sc.
Pembina: Drs. Sunggoro Tri Raharjo, M.Si.
Ketua Umum: Anisa Asri (190110120119)
Ketua Ekspedisi: Ichsan Lovano Pradewa (170210110134)
Bendahara: Fauziah Kautsara (160110120096)
Sekretaris: Rizki Mulia (190110120003)
Bid. Publikasi Media: Tika Amanda (190110120165)
Bid. Danus Sponsor: Allyani Zulhijah (190110120115)
Operasional: M. Ikhsan Rizky R. (2270110120119)
Bid. Akomodasi Izin: M. Ramdoni (270110120106)
Bid. Peralatan: Syarifudin Nur (230210130074)
Bid. Dokumentasi: Aghnia Hilya N. (210110130117)
Bid. Medik Konsumsi: Muniarsih (180310120001)

Sekretariat & contact person


Allyani - 0838 9355 5065
Sekretariat PMPA Palawa Unpad, KM 21
Universitas Padjadjaran - Jatinangor
Palawaunpad.km21@gmail.com

Rekening
Bank Account :
Rek BNI 0337716851 a.n. PMPA PALAWA
Unpad

Anda mungkin juga menyukai