Christina Rochayanti
Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 2 Tambakbayan Yogyakarta
Email : christinarochayanti@yahoo.com
AYN Warsiki
Program Studi Ilmu Ekonomi FE UPN “Veteran” Yogyakarta
Jl. Lingkar Utara SWK 102 Condong Catur Sleman Yogyakarta
Abstrak
Java local culture in the era of globalization increasingly less attractive to young peoplein
Yogyakarta, compared to Western or Korean K-Pop culture. It will increasinglyfade away if
ignored. This study aimed to find Javanese family in Yogyakarta was disseminating local culture
to their children. The research methods usedis descriptive qualitative, data collection, in-depth
interviews with 24 families Java Yogyakarta who have teenagers at Yogyakarta Province. The
results identify that the Javanese family in Yogyakarta tried to socialize the local culture, namely
Javanese language and attitudes. The Javanese parents socialize as they interpret the Javanese
language and attitudes as their identity and hope the children can be respectful and appreciative
to others. In addition, parents still hope that local culture can beincluded in the school curricu-
lum. Their expectation would be possible to happen by the Privileges Act of Yogyakarta passed
by the government of Indonesia, which accommodate local culture.
Abstrak
Budaya lokal Jawa dalam era globalisais semakin kurang diminati oleh generasi muda di
Yogyakarta, dibandingkan dengan budaya Barat atau budaya K-Pop dari Korea. Hal ini jika didiamkan
akan semakin hilang dan tentu saja tidak lestari lagi. Penelitian ini bertujuan mengetahui keluarga Jawa
di Yogyakarta dalam mensosialisasikan budaya lokal kepada anak-anaknya. Penelitian menggunakan
metode kualitatif deskripstif, pengumpulan data dengan wawancara mendalam kepada 24 keluarga
Jawa Yogyakarta yang memiliki anak remaja di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta). Hasil penelitian
mengindentifikasikan bahwa keluarga Jawa di Yogyakarta berusaha mensosialisasikan budaya lokal
yaitu bahasa Jawa dan sikap hidup orang Jawa. Orang tua Jawa mensosialisasikan karena mereka
memaknai bahasa dan sikap hidup orang Jawa sebagai identitas orang Jawa dan harapannya anak-
anak bisa bersikap hormat dan menghargai orang lain. Di samping itu orang tua juga masih mengharapkan
agar budaya lokal dapat dimasukan dalam kurikulum sekolah. Harapan tersebut kiranya akan terwujud
dengan disahkan Undang-Undang Kesitimewaan Yogyakarta oleh pemerintah RI yang
mengakomodasikan budaya lokal.
ditemukan sosialisasi budaya lokal dalam keluar- nalaran) studi sejarah di mana peradaban muncul
ga Jawa di Yogyakarta. bila manusia menghadapi situasi sulit yang me-
nantang hingga bertumbuh kegiatan-kegiatan
Hasil Penelitian dan Pembahasan kreatif untuk usaha-usaha yang tak terduga dalam
proses “challenge and response”. Budaya yang
Budaya Jawa apabila dipandang sebagai hanya manusia yang memiliki jika gagal mengha-
bernilai seharusnya dialihkan atau dikomunikasi- dapi tantangan karena menghadapi situasi sulit
kan kepada generasi muda sebagai generasi pe- maka peradaban itu akan runtuh, Sutrisno (2008:
nerus. Orang tua yang memahami itu atau yang 70) selanjutnya mengatakan bahwa “puncak ke-
telah diwariskan dari leluhurnya seharusnya juga runtuhan terjadi bila ada disintegrasi peradaban di
bersedia mengomunikasikan kepada anak- mana kesatuan sosial pecah dan ketidakmampuan
anaknya. Budaya Jawa yang telah berkembang kebudayaan itu memberi tanggapan kreatif pada
memiliki nilai-nilai luhur yang kemudian dialih- tantangan zaman”. Bisa dikatakan keadaan ma-
kan generasi berikutnya dan bisa terjadi jika ke- syarakat kita juga mengalami seperti itu dengan
luarga menyadari bahwa nilai-nilai yang terkandung pecahnya kesatuan sosial antara masyarakat dan
tetap lestari. Nilai menurut Muji Sutrisno (2008: media dan pemerintah yang tidak bisa mengangkat
67) adalah “sesuatu yang dipandang berharga oleh kembali budaya dimiliki untuk mengatasinya. Di-
orang atau kelompok orang serta dijadikan acuan namika tumbuh runtuhnya kebudayaan disoroti
tindakan maupun pengarti arah hidup”, jika buda- oleh Sorokin (Sutrisno, 2008:70) dengan ditun-
ya Jawa itu oleh pendukungnya diyakini sebagai jukkan tiga tahap perkembangan kebudayaan;
arah hidup berarti nilai-nilai itu bukan hanya ideasional, idealisitik dan indrawi (sensate). Per-
sekedar diucapkan tetapi juga digunakan sebagai tama ideasional setiap kebudayaan dimulai dari
arah hidup orang Jawa sehari-hari. Pembentukan tahap ideasional yang ditandai oleh adanya
masyarakat saat ini yang dianggap berubah oleh pemersatu kebudayaan yaitu Allah yang tak ter-
sebagian orang karena adanya pola pemikiran batas, mahakuasa, suprarasional dan supraindra-
ataupun cara hidup yang berbeda sehingga bukan wi; kedua ... kesadaran bahwa nilai yang autentik
budaya lokal yang dipandang bernilai tetapi ada adalah yang indrawi yang nyata adalah yang bisa
basis-basis lain yang mempengaruhinya. Mudji indra. Inilah abad material dan empiris; ketiga
Sutrisno (2008:69) mengatakan bahwa “para kebudayaan idealistik. Tahap ini adalah perpadu-
sosiolog mengartikan bahwa perubahan masya- an dari yang indrawi dan supraindrawi. Contoh
rakat itu disebabkan oleh basis ekonomi, politis sejarah kebudayaan ini adalah sintesis Thomas
dan sosial, bisa dikatakan kalau masyarakat Aquinas yang memadukan kitab suci (ideasio-
sekarang ini rasa kurang peduli dengan kearifan nal) dan pemikiran Aristoteles (indrawi). Namun
lokal karena adanya perubahan di bidang tersebut, Sorokin menambahkan satu lagi yaitu muncul ta-
sementara teori kritis mengajukan peran kesadaran hap kerohanian. Sorokin berpendapat bahwa ka-
manusia yang mampu berubah dalam sebuah pitalisme, demokrasi dan sosialisme dan agama
tranformasi sosial asalkan proses komunikasi mempunyai kelemahan secara budaya yaitu tidak
dilakukan oleh pelaku-pelaku sadar diri secara memiliki kekuatan menyembuhkan (curative). Ia
terbuka dan terus-menerus, dengan mempertajam menaruh harapan pada “creative altruism” yaitu
dialog-dialog, mempertemukan kepentingan- munculnya kesadaran baru melalui “supra con-
kepentingan pribadi dengan komunikasi aktif untuk scious level” di mana religiositas altruis (ber-
mengambil konsensus-konsensus titik-titik temu korban dan prihatin baik spiritual maupun jasma-
kepentingan bersama. Syarat forum komunikasi ni pada sesama) menjadi acuan hidup bersama.
pelaku-pelaku kesadaran ini harus terbuka, matang Di sini tekanannya kesadaran manusia menjadi
dan kritis”. Sementara Toynbee (Sutrisno, 2008: pusat perubahan jika keluarga di mana munculnya
70) tranformasi budaya perlu dilakukan karena manusia baru di dunia. Pada hakikatnya keluarga
budaya bisa muncul, tumbuh dan gulung tikar. Ia adalah ikatan orang-orang yang memiliki hubungan
menekankan sisi “intelligible” (semacam pe- darah melalui perkawinan atau adopsi. Pengertian
312 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 3, Agustus 2012, halaman 308-320
keluarga dalam analisis ini adalah keluarga inti Jawa. bahkan memilih melebur dengan budaya global.
Keluarga bagi orang Jawa menurut Magnis Suseso Hal ini menyebabkan Indonesia makin kehilangan
(1996: 168-169) adalah jati dirinya sehingga hanya menjadi kumpulan
Tempat di mana orang Jawa menikmati su- orang-orang yang tak lagi memiliki akar kebu-
asana yang relatif bebas dari paksaan-paksaan dayaan lokal.
di mana ia mempelajari keutamaan-keu-
tamaan dan nilai-nilai dasar moral ... .Bagi Nilai-nilai budaya Jawa yang disosialisasikan
individu Jawa keluarga merupakan sarang kepada anak
keamanan dan sumber kehidupan. Itu per-
tama-tama berlaku tentang orang tua. Mereka Bahasa Jawa
adalah sumber pertama kesejahteraan jasma-
ni dan rohani bagi anak mereka, dari mereka Menjadi orang tua pada saat sekarang ini
ia menerima segala macam kebaikan, dan bukan suatu hal mudah untuk mensosialisasi-
berkat mereka ia memperoleh kedudukannya kan budaya lokal kepada anak-anaknya. Hal ini
dalam masyarakat. Mereka memberikan cinta disebabkan karena membanjirnya budaya luar
kasih mereka kepada anaknya dan segala apa negeri justru lebih dikenal oleh kalangan anak
yang dibutuhkannya, tanpa menghitung dan muda. Dalam penelitian ini orang tua berperan
tanpa prasyarat. dalam mengomunikasikan nilai-nilai budaya lokal
Orang tua dalam keluarga Jawa memiliki kepada anak-anak meskipun itu disampaikan tidak
peran penting dalam mendidik dan membentuk secara utuh bentuk budaya lokal. Atas kesadaran
kepribadian anak sebelum anak terjun dalam orang tua berusaha untuk mengenalkan nilai-nilai
kehidupan bermasyarakat. Orang tua dalam budaya itu kepada anak-anak mereka. Nilai-nilai
keluarga Jawa menurut Suseno (1996: 169) “selalu budaya lokal yang dikomunikasikan kepada anak
bersedia untuk memaafkan kekeliruan dan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa adalah bahasa
kenakalan-kenakalan (anak-anak), dan dalam yang digunakan sehari-hari oleh keluarga Jawa di
segala keadaan kehidupan mereka merupakan Yogyakarta. Kebanyakan keluarga yang diwa-
batu karang keamanan baginya”. Kedekatan wancarai mengaku menggunakan bahasa Jawa
hubungan ini dipengaruhi oleh intensifnya dan dipakai sebagai alat komunikasi dengan
komunikasi para anggotanya. Keluarga meru- seluruh anggota keluarga. Seperti diungkapkan
pakan organisasi sosial terkecil dalam masyara- oleh keluarga Ngadiman di Gunung Kidul:
kat yang mempunyai peranan penting terutama “Keluarga saya menggunakan bahasa Jawa sebagai
tahapan membentuk dan mengembangkan bahasa sehari-hari karena saya sangat senang
karakter anak selama periode awal kehidupan dengan bahasa Jawa. Sejak kecil anak saya ajari
anak. Keluarga memberikan pengaruh budaya bahasa Jawa ngoko (komunikasi anak kepada
kepada anak dalam pembentukan sikap pertama orangtua), sementara anak dengan orang lain yang
dan ketertarikan mereka pada segala hal yang ada lebih tua menggunakan bahasa Jawa kromo ing-
di sekitar. Budaya lokal dalam hal ini adalah bu- gil”. Demikian juga dengan keluarga Joko Hartono
daya Jawa dimaknai oleh keluarga Jawa di DIY di Yogyakarta
perlu dilestarikan, dan sikap ini perlu juga diukung Komunikasi dalam keluarga menggunakan
oleh kebijakan pemerintah setempat. Tanpa bahasa Jawa ngoko (orangtua dengan anak)
dukungan regulasi maka budaya lokal cepat atau sedangkan anak dengan orangtua menggu-
lambat akan punah. Seperti yang diungkapkan oleh nakan bahasa Jawa ngoko namun untuk kata-
Lionardo, Andries (2012) Tanpa otonomi yang luas kata tertentu menggunakan bahasa Jawa
daerah-daerah akan kehilangan identitas budaya kromo inggil. Sementara anak-anak saya jika
lokal, baik berupa adat istiadat maupun agama. berbicara dengan bude atau orang yang lebih
Sementara Nurapriani (2009) bahwa Bangsa In- tua menggunakan bahasa Jawa kromo.
donesia yang kaya budaya tidak memiliki Sampun saget pilah neng njih tasik campur
kepercayaan diri terhadap kebudayaan lokalnya, bahasa Indonesia.
Rochayanti, Pujiastuti, Warsiki, Sosialisasi Budaya Lokal dalam Keluarga Jawa 313
Karena saya saudara delapan tidak ada yang orang lain, sebagai mahkluk sosial manusia selalu
menikah dengan etnik Jawa hanya saya yang membutuhkan orang lain.
menikah dengan orang Jawa. Ketika berkum- Kesadaran para orang tua ini sejalan de-
pul dengan saudara yang menikah dengan ngan pemikiran Sorokin bahwa pada tahap per-
berbagai suku selalu menggunakan bahasa kembangan mengenai kebudayaan yaitu tahap
Indonesia agar bisa berinteraksi. Sebetulnya kerohanian, di mana munculnya kesadaran baru
mereka tahu bahasa Jawa tetapi karena ada berkorban dan prihatin baik spiritual maupun
aturan dalam penggunaan bahasa Jawa, takut jasmani pada sesama. Artinya para orang tua me-
tidak ngajengni, ini sikap kehati-hatian saya. nyadari bahwa bahasa Jawa yang dimiliki orang
Namun demikian nilai-nilai budaya Jawa yang Jawa kemudian diajarkan dan diterima oleh anak
lain selalu saya sosialisasikan seperti pakaian, kemudian digunakan sebagai alat komunikasi.
ritual, seni budaya. Transfromasi budaya dapat terjadi karena mun-
Alasan untuk memutuskan menggunakan culnya kesadaran manusia, di Indonesia menurut
bahasa Jawa atau bahasa nasional merupakan Greetz (Sutrisno, 2008: 71) “tranformasi budaya
kesadaran orang tua untuk berupaya agar komu- menghasilkan involusi budaya di mana dualisme
nikasi dengan anggota bisa lancar dan baik. Ke- feodal dan modern terus-menerus menjadi kendala
sadaran sebagai orang Jawa ditunjukkan salah proses integrasi budaya maupun nilai”. Jika dalam
satunya adalah melalui bahasa, namun jika tidak penelitian ini orang tua menganggap bahwa bahasa
menggunakan bahasa Jawa bukan karena tidak Jawa adalah identitas orang Jawa sementara
menghormati tetapi karena adanya sikap hati-hati realitas dalam masyarakat Indonesia justru semakin
takut jika tidak menghormati lawan bicaranya. ditinggalkan karena dianggap tidak modern dan
Kesadaran keluarga Jawa tentang bahasa jika bahasa modern adalah bahasa Inggris bukan
Jawa sebagai alat komunikasi dan identitas diri bahasa Jawa, maka dapat disamakan zaman ini
sejalan dengan pedapat Suseno ( 1996: 11) “… adalah tahap indrawi dalam tahap perkembangan
bahwa orang Jawa adalah orang Jawa yang bahasa kebudayaannya Sorokin, karena yang nampak itu
ibunya adalah bahasa Jawa”. Sementara Ting adalah nyata, di sini Indonesia sedang mengalami
Toomey (2005: 212) mengartikan identitas adalah abad materalistis, sementara orang Jawa melalui
“konsep diri yang merefleksikan atau gambaran bahasa Jawa melihat lebih dalam akan nilai-nlai
diri bahwa kita berasal dari keluarga, gender, yang ada dalam bahasa tersebut. Hal ini juga dilihat
budaya, etnik, dan proses sosialitas individu. para orang tua di mana dampak positif pada sikap
Identitas pada dasarnya merujuk pada pandangan anak yang diajarkan bahasa Jawa. Para orang tua
reflektif mengenai diri kita sendiri ataupun persepsi Jawa melihat bahwa anak-anaknya jauh lebih
orang lain mengenai gambaran diri kita” Samovar santun bergaul di masyarakat demikian juga dapat
et al., (2010: 185) menjelaskan bahwa “identitas bertatakrama dengan baik. Di samping itu orang
merupakan hal yang dinamis dan beragam. Artinya, tua berharap ada pelajaran bahasa Jawa di se-
identitas itu bukanlah merupakan suatu hal yang kolahan karena nilai-nilai yang dikandung dalam
statis, namun berubah menurut pengalaman hidup bahasa Jawa sangat baik. Harapan orang tua me-
Anda”. Hal ini menunjukkan untuk saat ini keluarga ngajarkan bahasa Jawa karena ingin anaknya lebih
Jawa di DIY masih mengidentitaskan diri sebagai sopan, dapat menghormati orang yang lebih tua
orang Jawa dengan selalu menggunakan bahasa karena menurut orang tua bahasa Jawa itu “enak
Jawa. Namun demikian juga ada orang tua yang dan bener penerapannya”. Bahasa Jawa meru-
mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pakan bahasa untuk orang-orang Jawa memiliki
sehari-hari, alasan mereka karena tidak begitu tingkatan, sehingga penggunaan tergantung de-
paham dengan bahasa Jawa dan takut salah karena ngan siapa kita berbicara, sementara bahasa
bahasa Jawa itu ada tingkatannya, di samping itu Indonesaia hal ini tidak berlaku sedangkan bahasa
ada orang tua yang kurang biasa berbahasa Jawa Inggris perbedaan waktu berbeda pula penggu-
halus karena dulu tinggal di luar Jawa dan sering naan bahasanya. Dengan diajarkan bahasa Jawa
bertemu dengan orang-orang luar Jawa. Bahasa kepada anak, maka anak akan mengetahui
digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan unggah-ungguh, artinya anak menjadi orang yang
Rochayanti, Pujiastuti, Warsiki, Sosialisasi Budaya Lokal dalam Keluarga Jawa 315
dapat menghargai orang lain dan sikapnya lebih tua dan kepada anak sebagai generasi penerus.
santun. Bahasa Jawa yang diajarkan orang tua Harapan orang tua supaya anak dapat hidup lebih
kepada anak dapat memberikan dampak yang baik dengan nilai dan perilaku budaya Jawa mela-
baik karena anak dapat bertingkah laku santun, lui bahasa dan mempraktekkan dalam kehidupan
menghargai orang lain, berani bergaul di ma- di masyarakat. Penggunaan bahasa Jawa dalam
syarakat. Hal ini juga sesuai harapan orang tua keluarga Jawa di DIY terutama di perkotaan sudah
yang menghendaki menjadi orang Jawa dapat jarang diajarkan kepada anak dan saat ini, orang
bertingkah lebih sopan. Kesadaran orang tua ini tua Jawa lebih banyak menggunakan bahasa In-
dapat diterima dan dimaknai oleh anak-anak me- donesia sebagai alat komunikasi. Fenomena ini
reka yang kemudian anak-anak ini mempraktekan dapat menghentikan penggunaan bahasa Jawa
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan kepada generasi muda dan akhirnya dapat punah,
pendapat Samovar dan Porter bahwa “komunikasi meskipun di pedesaan bahasa Jawa tetap dipakai
dilakukan untuk dapat menciptakan kebersamaan sebagai alat komunikasi. Bahasa asli seseorang
makna”. Bahasa oleh Mead (Ritzer, 2010: 383) menurut Samovar (2010: 416) “sangat penting,
merupakan simbol signifikan, “… dengan bahasa karena merupakan bibit dari identitas yang
yang dikomunikasikan adalah gesture dan mengikat mereka ke dalam kelompok mereka dan
maknanya”. Keluarga Jawa berusaha mengajarkan pada saat yang sama membuat mereka berbeda
bahasa Jawa kepada anak sebagai alat komunikasi dari kelompok-kelompok referensi yang lain”. Jika
antara anggota keluarga dan juga orang lain, artinya orang Jawa atau keluarga Jawa memaknai bahasa
bahwa bahasa itu bukan hanya gerakan tubuh Jawa sebagai identitas etnik Jawa yang menun-
tetapi juga makna dari bahasa itu sendiri. Tingka- jukkan mereka berasal, sehingga keluarga Jawa
tan bahasa Jawa menurut Purwadi (2011:243) berbeda dengan keluarga budaya lain. Dengan
“dipakai sebagai tata pergaulan yaitu unggah- mengajarkan bahasa Jawa keluarga Jawa ternya-
ungguh, … unggah-ungguh berarti tata sopan ta dapat memperoleh harapan agar anak-anaknya
santun, … dalam pergaulan sehari-hari, bila se- memiliki sikap santun dan tidak takut berkomuni-
seorang menggunakan bahasa Jawa, orang ter- kasi dengan orang yang dihormati maupun orang-
sebut dituntut oleh masyarakat untuk menggu- orang yang lebih tua. Hal ini sesuai dengan pan-
nakan tataran bahasa Jawa secara tepat, sesuai dangan budaya Jawa bahwa menghargai dan
dengan kedudukan seseorang di dalam keluarga, bertindak sopan menjadi bagian dari hidup orang
status sosial, tingkat kebangsawanannya, umur, Jawa. Teori komunikasi tentang identitas (Mi-
atau martabatnya”. chael Hecht) – Litlejohn dan Foss, 2009:131)
Dengan demikian orang Jawa ingin diiden- ’tergabunglah ketiga konteks budaya ... indivi-
tifikasikan juga sebagai etnik yang tahu unggah- du, komunal dan publik. Menurut teori ini ’iden-
ungguh dan menghargai orang lain. Sebagai orang titas merupakan penghubung utama antara indi-
Jawa menghargai orang lain menjadi sikap hidup vidu dan masyarakat serta komunikasi meru-
yang harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari- pakan mata rantai yang memperbolehkan hu-
hari, salah satunya dengan menggunakna bahasa bungan itu terjadi’. Identitas Anda adalah “kode”
Jawa. Bahasa dalam budaya juga dapat menun- yang mendefinisikan keanggotaan Anda dalam
jukkan identitas pemakaianya. Bahasa menurut komunitas yang beragam–kode yang terdiri dari
Brown (Samovar et.al., 2010: 265) adalah “peta simbol-simbol, seperti bentuk pakaian, dan ke-
budaya. Bahasa menyatakan dari mana seseorang pemilikan; dan kata-kata, seperti deskripsi diri
datang dan ke mana ia pergi”. Selanjutnya Samo- atau benda yang biasanya Anda katakan; dan
var mengatakan bahwa “melalui bahasalah Anda makna yang Anda dan orang lain hubungan ter-
belajar nilai dan perilaku budaya Anda.” apabila hadap benda-benda tersebut. Jika teori ini di-
dikaitkan dengan makna bahasa oleh keluarga kaitkan dengan bahasa Jawa sebagai alat ko-
Jawa maka, para orang tua sadar bahwa melalui munikasi dan membentuk identitas orang Jawa,
bahasa sebenarnya orang tua sedang mengomu- makna menggunakan bahasa Jawa dapat mem-
nikasikan dan mengajarkan nilai dan perilaku bentuk anak menjadi santun, memperoleh jus-
budaya Jawa kepada diri sendiri sebagai orang tifikasi.
316 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 3, Agustus 2012, halaman 308-320
kelakuannmu dijogo tenanan, soyo meneh … kelakuan halus dan sopan. Isin berarti
le sekolah adoh ora neng lingkungan dewe malu, juga dalam arti malu-malu, merasa
kudu ngurmati karo bapak/ibu guru, bersalah … belajar untuk merasa malu (ngerti
tetangga, konco, nek lewat neng ngarem isin) adalah langkah … kearah kepribadian
uwong matur nderek langkung ora mung Jawa yang matang. … Isin dan sikap hormat
meneng wae. merupakan suatu kesatuan. Orang Jawa
Banyak ajaran atau sikap yang disosi- merasa isin apabila ia tidak dapat menun-
alisasikan orang tua kepada anak masalah sikap jukkan sikap hormat yang tepat terhadap
hidup, yang inti semua itu untuk bergaul di masya- orang yang pantas dihormati. Sungkan adalah
rakat. Orang tua merasa bertanggung jawab dalam malu dalam arti yang lebih positif. … Geertz
membentuk sikap anak sebagai orang Jawa dengan menggambarkan sungkan sebagai “rasa
cara memberi contoh dan memberikan nasehat. hormat yang sopan terhadap atasan atau
Hal ini dilakukan agar anak memiliki sikap sesuai sesama yang belum dikenal”
dengan ajaran budaya yang dianut oleh sebagian Mengomunikasikan sikap hormat kepada
besar orang Jawa yaitu sikap ngajeni (hormat) sesama dan juga kepada orang yang lebih tua atau
kepada orang lain dan sikap sederhana (sopan, atasan telah ditanamkan sejak dini dalam keluarga
lembah manah, tidak sombong). Ajaran itu diang- Jawa. Di samping sikap hormat kepada orang lain,
gap suatu yang positif untuk anak menjadi anak orang tua juga mensosialisasikan nilai-nilai untuk
yang sopan, tetapi tidak sombong dan bisa mandiri. membentuk pribadi diri sendiri itu baik dihadapan
Seperti diungkapkan oleh Juliarto Agung Purwono orang lain, seperti hal sikap pada diri sendiri, seperti
putra bp Riyadi di Sleman bahwa “ ...saya senang kalau bicara jangan keras-keras, kalau ketawa
diajari tatakrama sikap hidup orang Jawa karena jangan lebar-lebar, kalau makan jangan kecap,
baik, artinya orang tersebut punya unggah-ungguh orang tua Jawa sadar bahwa sikap terhadap orang
karena punya sikap positif sehingga akan dan juga kepada diri senidri dapat membentuk
dipandang sebagai orang yang punya sopan santun, pribadi yang matang dan siap untuk memasuki
menghormati”. Seperti diuraikan oleh Hildred kehidupan bermasyarakat. Sementara anak
Geertz (1983: 116-117) ‘kefasikan dalam menggu- sebagai generasi penerus keluarga dan juga ge-
nakan sikap-sikap hormat yang tepat dikem- nerasi pendukung budaya Jawa menjadikan anak
bangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui bangga menjadi orang Jawa karena memiliki ni-
pendidikan dalam keluarga”. Artinya bahwa lai yang digunakan untuk menata hidupnya. Sikap
keluarga Jawa berusaha memberikan makna menghormati diterima positif oleh anak dan
bahwa menghormati orang lain menjadi suatu si- dilaksanakan karena menurut mereka budaya
kap yang harus dilakukan anak kepada orang yang Jawa merupakan aset negara yang harus diper-
lebih tua dan sikap itu sudah diajarkan sejak kecil. tahankan. Sikap hormat kepada orang lain meru-
Orang tua berusaha menanamkan sikap ini sebagai pakan tuntutan yang baik, karena tidak ada satu
bagian cara membentuk anak menjadi orang orang pun di dunia ini yang tidak ingin dirinya tidak
dewasa yang memiliki sopan santun. Lebih lanjut dihormati. Suseno (1996: 60) menjelaskan bahwa
Geertz menjelaskan tentang bagaimana orang Ja- ‘prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa
wa mendidik anaknya melalui tiga patah perka- semua hubungan dalam masyarakat teratur secara
taan Jawa, yaitu wedi, isin dan sungkan, yang hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai
menunjuk kepada tiga suasana perasaan yang di- pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang
anggap selaras dengan situasi penghormatan wajib untuk mempertahankannya dan untuk
tersebut. membawa diri sesuai dengannya’. Selanjutnya
Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terha- Suseno mengatakan bahwa ‘pandangan itu sendiri
dap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut berdasarkan cita-cita tentang suatu masyarakat
akibat kurang enak suatu tindakan. … anak yang teratur baik, di mana setiap orang mengenal
belajar wedi terhadap orang yang dihormati. tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut
Anak dipuji apabila bersikap wedi terhadap menjaga agar seluruh masyarakat merupakan
orang yang lebih tua dan terhadap orang asing. suatu kesatuan yang selaras’.
318 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 3, Agustus 2012, halaman 308-320
Sikap sederhana dapat juga diartikan intinya mempersiapkan anak untuk bergaul di
bahwa menjadi orang Jawa mau bersikap nrima masyarakat. Orang tua merasa bertanggung jawab
dan iklas, meskipun sikap ini sering dikritik karena dalam membentuk sikap anak sebagai orang Jawa
disalah-pahami sebagai kesediaan untuk menelan dengan memberi contoh dan nasehat. Hal ini di-
segala-galanya secara apatis. Suseno (1996:145) lakukan agar anak memiliki sikap sesuai dengan
mengartikan kata nrimo ‘bahwa orang dalam ajaran budaya yang dianut oleh sebagian besar
keadaan kecewa dan dalam kesulitan pun bereaksi orang Jawa yaitu sikap ngajeni (hormat) kepada
dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga orang lain bersikap sopan. Ajaran ini dianggap
dengan menentang secara percuma’…’Ia tetap positif oleh orang tua sehingga anak dapat menjadi
gembira dalam penderitaan prihatin dalam pribadi yang santun, ngajeni tetapi tidak sombong
kegembiraan’… ungkapan khas Jawa ‘Hidup itu dan dapat mandiri. Nilai-nilai budaya lokal melalui
tidak mudah, disebut mudah ya mudah, disebut bahasa Jawa dan sikap hidup orang Jawa ini
sulit ya sulit’. Tindakan yang tepat dalam dunia oleh dimaknai sebagai identitas keluarga Jawa yang
Suseno dikatakan bahwa ‘ciri khas pandangan kemudian disosialisasikan orang tua kepada anak-
dunia Jawa ialah bahwa manusia tidak dibenarkan anaknya.
mau meninggalkan dunia. Manusia memang ja- Menurut Hildred Geertz (1983: 153) ada
ngan mengikat diri pada dunia, melainkan ia dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan
hendaknya menjadi bebas hatinya daripadanya, dalam masyarakat Jawa, “dua nilai Kejawen yang
tetapi bukan untuk menarik diri dari dunia, penting tentang kehidupan keluarga Jawa tata
melainkan sebaliknya untuk melepaskan diri dari krama ‘penghormatan’ dan ‘penampilan sosial
napsu-napsu dan pamrihnya dan dengan demikian yang harmonis’. Suseso (1996; 38) menyebutkan
menjadi sanggup untuk memenuhi tugasnya bahwa harmonis artinya bahwa ‘dalam situasi
masing-masing dalam dunia demi pemeliharaan manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa
masyarakat’. hingga tidak sampai menimbulkan konflik’,
FX. Riyadi mengajarkan sikap hidup selanjutnya Suseno menyebutnya ‘prinsip ke-
orang Jawa bukan hanya dengan perkataan dan rukunan’. Sementara nilai kejawen penghormatan
contoh tetapi juga maknanya menghormati ke- artinya agar manusia dalam cara bicara dan
pada sesama, menawi wonten piyayi lenggah membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
terus lewat neng karepe matur “monggo pak, terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
bu, opo nderek langkung”, supados lare-lare kedudukannya’. Harapan keluarga Jawa terhadap
kemutan unggah-ungguh “sopo aruh pen- anak-anak sebagai generasi penerus masih tetap
ting”. Sikap hidup sederhana dengan pepatah melestarikan ajaran hidup ini agar dalam bergaul
“ojo dumeh” secara eksplisit harus dijelaskan dalam masyarakat dapat benar dan tepat. Semua
nangin penerapanipun sampun kulo terapken. ajaran ini diterima melalui keluarga khususnya
Milo lare-lare ojo sombong, “trimo ing pan- keluarga inti. Keluarga bagi individu Jawa
dum” itu arti hidup sederhana. Kadosipun, merupakan sarang keamanan dan sumber
menawi diparingi prikso lan contoh, mboten perlindungan. (Suseno, 1996: 169), menjelaskan
cekap, pangertosan meniko penting, “nek aku bahwa ... pertama-tama berlaku tentang orang
iso boso kromo karo bapak aku iso garap tugas tua, mereka adalah sumber pertama kesejahteraan
boso Jowo ora susah takon”. Bapak asale soko jasmani dan rohani bagi anak mereka, dari mereka
Jawa Timur, neng Yogyakarta bapak iso boso ia menerima segala macam kebaikan, dan berkat
kromo amargo kepengin iso boso halus. upami mereka ia memperoleh kedudukannya dalam
dipun bandingaken kaliyan tiyang sepuh kulo, masyarakat’
lare-lare lajeng matur ‘kuwi lah biyen saiki
bedo’. Pangertosan-pangertosan meniko Simpulan
penting, lare-lare meniko menilai sendiri–
ternyata ono gunane. Keluarga Jawa di DIY berusaha mengo-
Banyak ajaran atau sikap yang diso- munikasikan nilai-nilai budaya lokal, dalam hal ini
sialisasikan orang tua kepada anak, semua itu bahasa dan sikap hidup orang Jawa kepada anak-
Rochayanti, Pujiastuti, Warsiki, Sosialisasi Budaya Lokal dalam Keluarga Jawa 319
anaknya. Nilai-nilai budaya lokal dimaknai seba- Geertz, Hildred, 1982, Keluarga Jawa,
gai identitas sosial yang perlu dikomunikasikan. penerjemah Hersari, Grafiti, Jakarta.
Komunikasi interpersonal dalam keluarga Jawa Hecht, Michael, 2009, Teori Komunikasi
untuk membentuk skema budaya anggota keluarga tentang Identitas dalam Teori-teori
ini memilih identitas melalui bahasa Jawa dan sikap Komunikasi oleh Litlejohn dan Foss,
hidup Jawa. Keluarga Jawa di DIY masih memiliki penerjemah Mohammad Yusuf Hamdan,
pandangan hidup yang mendukung penelitian Salemba Humanika, Jakarta.
Geertz tentang keluarga Jawa yang masih mengo- Herawati, Netty, 2005, Komunikasi dalam
munikasikan nilai-nilai budaya Jawa kepada Masyarakat Multikultural: Peran
anaknya. Sudah saatnya Indonesia bangkit untuk keluarga Inti dalam Proses Sosialisasi
memberikan ruang seluas-luasnya kehadiran pada Masyarakat Cina Pontianak,
budaya lokal melalui ruang terbuka melalui media Unpad, penelitian tidak dipublikasikan,
massa maupun new media. Jangan sampai klaim Bandung.
budaya lokal oleh negara lain terjadi lagi. Dengan Lionardo, Andries, 2012, Kebijakan Berbasis
disahkannya Undang-Undang Kestimewaan Budaya Lokal Portal Garuda 2010
Daerah Istimewa Yogyakarta dapat digunakan diakses 24 Okrober 2012.
sebagai media menggali dan menampilkan buda- Nurapriani, Rd. Rina, Tito Tegar dan Rahajeng
ya lokal agar semakin dikenal dan menjadi identi- Aditya, 2009, Upaya Memperkuat
tas etnik seperti harapan keluarga Jawa di DIY. Kearifan Budaya Lokal pada Remaja
Di samping itu keluarga Jawa di Yogyakarta Melalui Perfilman Indonesia: Studi
berharap budaya lokal masuk dalam kurikulum Kasus Film Laskar Pelangi, PKM, IPB
sekolah segera terwujud. Perubahan kurikulum Bogor. http://repository.ipb.ac.id/handle/
yang akan diterapkan di sekolah-sekolah di Kota 123456789/20480, diakses 31 Januari
Yogyakarta tersebut saat ini telah disosialisasikan 2013.
kepada sekolah-sekolah. Dalam kurikulum yang Purwadi, 2011, Etika Komunikasi dalam Bahasa
baru, maka sekolah diwajibkan mengajarkan Jawa, Jurnal Ilmu Komunikasi Volume
materi pelajaran yang menyangkut kesenian dan 9, Nomor 3, September-Desember 2011,
kebudayaan di Yogyakarta seperti seni karawitan, hal. 239-249), Prodi Ilmu Komunikasi
seni tari, dan seni batik. FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta,
Yogyakarta.
Ucapan Terima Kasih Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2010,
Teori Sosiologi dari Teori Klasik sampai
Kami mengucapkan terima kasih kepada Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Dikti yang telah memberikan bantuan dana Hibah Posmodern, Kreasi Wacana, Bantul.
Bersaing untuk mendukung penelitian ini. Ucapan Samovar, Larry dan Richard E. Porter dan Edwin
terima kasih kami sampaikan kepada para nara R. McDaniel, 2010, Komunikasi Lintas
sumber keluarga Jawa di wilayah Daerah Istimewa Budaya, penerjemah: Indri Margaretha
Yogyakarta. Sidabalok, Salemba Humanika, Jakarta.
Suminto A. Sayuti, (http://www.kongresbud.
Daftar Pustaka budpar.go.), diakses Desember 2008.
Sutrisno, Muji dan hendar Putranto, 2008, Teori-
Erond Litno (<<http://www.hariansib.com/index.7 Teori Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Desember 2008>>) Suseno, Franz Magnis,1996, Etika Jawa Sebuah
Frenky Simanjuntak (Transparency International Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan
Indonesia (TII) Nov 2007 – Feb 2008) Hidup Jawa, Gramedia, Jakarta.
(http://korupsi.vivanews.com/news/read/29162- Ting Toomey, Stella, 2005, Identity Negotiation
korupsi_bukan_budaya, akses 26 April Theory Crossing Cultural Boundaries
2011). dalam Theorizing Intercultural Commu-
320 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 10, Nomor 3, Agustus 2012, halaman 308-320