(Disusun Oleh: Dewi Utama Faizah, Roosie Setiawan, Sofie Dewayani, Susanti Sufyadi, Wien
Muldian)
BAB I
Pendahuluan
Pada Forum Pendidikan Dunia tahun 2015 yang diselenggarakan di Korea Selatan bulan Mei lalu,
sebuah laporan disampaikan bahwa negara-negara Asia menempati peringkat lima besar dalam ranking
sekolah berprestasi terbaik yang dikeluarkan oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), namun Indonesia menempati urutan 10 terbawah. Laporan BBC menunjukkan
bahwa anak-anak Singapura berusia 15 tahun memimpin dalam bidang matematika dan ilmu
pengetahuan, diikuti oleh Hong Kong, Korea Selatan dan Taiwan. Sebanyak 76 negara diikut sertakan
dalam survey tersebut, di mana survey dikatakan jauh lebih komprehensif dibanding tes PISA dari
OECD yang juga menempatkan Indonesia dalam posisi buruk. Direktur Pendidikan OECD,
menunjukkan dalam laporan tersebut bahwa rahasia kesuksesan sekolah berprestasi terbaik di atas
adalah guru yang baik. Merujuk pada laporan tersebut yang menyatakan bahwa sekolah-sekolah di
Indonesia menduduki peringkat 10 paling bawah maka dapat diasumsikan bahwa selama ini praktik-
praktik pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru di sekolah di Indonesia belum memberikan
dampak terhadap perkembangan pembelajaran dan pendidikan.
Guru memiliki peran penting dalam merangsang siswa untuk belajar, sehingga dalam melaksanakan
pembelajaran, Guru harus menggunakan pendekatan yang komprehensif serta progresif sehingga guru
bisa memotivasi rasa ingin tahu siswa dan memicu mereka untuk berpikir kritis. Hal ini akan berhasil
salah satunya jika guru mampu mengembangkan pembelajaran yang tepat sehingga pembelajaran yang
dilaksanakan dapat meningkatkan kemampuan literasi dan potensi siswa seutuhnya , dalam
pengembangan pembelajaran ini juga didalamnya guru harus mampu memilih dan memanfaatkan
bahan ajar yang ada sebaik mungkin, salah satunya yaitu buku, guru harus mendorong siswa untuk
membaca buku-buku yang berkualitas, karena membaca sejalan dengan proses berpikir kritis yang
memungkinkan siswa untuk kreatif dan berdaya cipta.
Bahwa ada ruang yang hilang dalam proses pendidikan membelajarkan berbahasa mulai dari PAUD
hingga berlanjut ke SD. Di saat kita menemukan maraknya cara-cara membelajarkan anak kita,
khususnya perlakuan terhadap pelayanan pendidikan anak usia dini yang diajarkan sejak dini membaca
menulis, berhitung, kemudian masuk SD dites membaca, menulis, dan berhitung dengan cara-cara yang
tidak patut sesuai dengan tumbuh kembang mereka sebagai belia. Meskipun membaca-menulis-
berhitung sudah dimulai dini, namun kenyataanya kemampuan membaca anak Indonesia tetap berada
pada rangking terbawah.
Atas kondisi itulah, dibutuhkan suatu terobosan serius dan strategi yang kreatif dalam memberikan
pelayanan pendidikan literasi yang berkualitas. Itulah fokus utama Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, terutama di unit Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar untuk mengembangkan literasi,
khususnya membangun kemampuan guru untuk mengembangkan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi dan potensi siswa seutuhnya termasuk salah satunya meningkatkan
minat membaca mulai satuan pendidikan di SD mulai pada tahun 2015 ini.
Semoga buku panduan Literasi untuk Mengembangkan Potensi Siswa Seutuhnya di SD ini mampu
mengembalikan hakikat belajar sesuai dengan tumbuh kembang dan kondisi Indonesia yang sangat
beragam ini. Dengan memahami keunikan dan keberagaman anak, akan menumbuhkan pula cara-cara
yang baru dalam melaksanakan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan literasi dn potensi
siswa seutuhnya termasuk mengungkit minat baca warga sekolah, terutama guru dan peserta didik yang
ada.
“Tidak ada kemanusiaan tanpa bahasa, dan tidak ada peradaban tanpa bahasa tulis. Manusia tidak
berfikir melulu dengan otaknya. Keaksaraan adalah penanda peradaban, karena tiada peradaban tanpa
bahasa tulis”–Charlton Laird ,The Miracle Of Language-1957 p.16
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki keberagaman bahasa terbesar kedua di dunia setelah
Papua New Guinea, DNA literasi berbangsa terbentuk sungguh unik. Nenek moyang bangsa Indonesia
merupakan penutur andal di dunia. Budaya bertutur, adalah cara berkomunikasi secara kelisanan yang
diturun-temurunkan dari nenek moyang kita melalui bahasa Ibu (mother language) dan terjadi di
berbagai wilayah di Indonesia dalam membangun aktivitas “PERIKEHIDUPAN” di masyarakatnya.
Ini dibuktikan dengan beragam cerita rakyat (folklore), seni bertutur (verbal arts) yang terdapat hampir
di seluruh suku bangsa Indonesia.
Bukti lainnya yang menguatkan bahwa nenek moyang kita sebagai penutur andal adalah dengan
ditemukannya hanya beberapa aksara pada suku-suku tertentu seperti Aceh, Batak, Kerinci, Lampung,
Jawa, Sunda, Bali, Lontara. Aksara itu pun diturun temurunkan secara manual ditulis tangan di atas
media daun, kayu, batu, dan kertas. Media cetak tidak berkembang secara modern. Hal itu semakin
menguatkan kita untuk merubah cara melaksanakan pendekatan pembelajaran berbahasa (language art)
di usia dini mulai jenjang PAUD hingga SD kelas 3 harus mengacu kepada kehidupan budaya nenek
moyang sebagai bangsa penutur, melalui hantaran bahasa Ibu (mother tongue) dengan cara
mendongeng, membacakan buku cerita, bernyanyi dan sebagainya. Sementara proses pembelajaran
yang terjadi di PAUD dan SD merenggut begitu saja budaya bertutur dalam mengalirkan pesan budaya
terkait persepsi, memori, histori yang dimiliki anak. Langsung saja kepada anak diberikan kegiatan
membaca, menulis, dan mengerjakan tugas-tugas LK (paper and pencils). Kosakata yang diperoleh
anak dalam pengalamannya sebagai anak yang unik, multikultural, multilbahasa, terlenyapkan oleh
penggunaan bahasa Indonesia melalui Membaca Menulis Permulaan yang tidak patut
(inappropriateness). Hal itulah yang terjadi selama berpuluh tahun, di mulai dari jenjang PAUD dan
SD.
Kehadiran bahasa Indonesia sebagai perekat hendaknya kembali menjalankan fungsinya dengan baik
seperti yang diamanatkan dalam Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa
persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa
daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya”.
Selanjutnya, UU no 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan,
khususnya pasal 26 sampai dengan 39 tentang aturan penggunaan Bahasa Indonesia; pasal 40, 41, 42
mengenai pengembangan, pembinaan dan perlindungan Bahasa Indonesia; Pasal 43, pengembangan,
pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah; Pasal 44 tentang peningkatan fungsi Bahasa Indonesia
sebagai bahasa Internasional; Pasal 45 tentang Tugas Fungsi Lembaga Kebahasaan di Indonesia,
seharusnya literasi di Indonesia tumbuh kuat mengakar dalam proses pembelajaran Bahasa. Akan tetapi
yang terjadi sebaliknya, minat baca anak di sekolah dasar tidak tumbuh dengan baik sesuai dengan
harapan kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman kekayaan bahasa dan budaya.
Pertemuan PBB di Praha (2003) yang merumuskan “Information Literacy” meski telah 12 tahun
berlalu, namun belum terlambat bagi Indonesia untuk bangkit menentukan arah konsep pembelajaran
Berbahasa terutama di Sekolah Dasar sesuai dengan kondisi dan kemajuan dunia yang mengglobal.
Jika kita telisik khususnya literasi dasar (basic literacy) di SD selama ini hanya fokus pada reading,
writing, and counting (calistung) melalui pendekatan teks. Mengabaikan aspek speaking, listening,
calculating, perceiving, and drawing, sebagai bagian utama berbahasa yang utuh (language arts), yang
sebenarnya sudah nyata-nyata terdapat dalam kurikulum. Di samping itu tidak kalah pentingnya bahwa
Indonesia sebagai negara yang memiliki 300 an suku bangsa membutuhkan pola pendidikan literasi
yang berdiferensiasi mulai PAUD hingga SD sebagai wujud pendidikan multikukultural dan Ke-
Bhinnekaan Tunggal Ika.
Dalam hal kualitas sumber daya manusia, Indonesia sedang mengejar ketertinggalannya dari negara-
negara lain (beberapa parameter evaluasi yang menunjukkan rendahnya capaian siswa Indonesia dalam
kemampuan membaca dan matematika antara lain tes PISA dan USAID-EGRA). Permasalahan sebaran
fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang tidak merata, kondisi geografis daerah terpencil, perbatasan
dengan aksesibilitas yang rendah, tingginya tingkat keragaman latar belakang sosial dan budaya
masyarakat yang tersebar di wilayah yang sangat luas menjadi tantangan pengembangan kurikulum,
bahan ajar, dan metode pengajaran anak di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Saat ini, metode dan konten pengajaran literasi Indonesia masih berfokus pada pemberantasan buta
huruf dan pembacaan teks secara literal, yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan dunia global yang
bergerak secara cepat.
Sesungguhnya permasalahan umum dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya ikatan
emosional terhadap sumber informasi salah satunya buku bacaan dan kegiatan pemanfaatan sumber
infomrasi tersebut atau kegiatan membaca. Terkait dengan buku sebagai salahs atu sumber infomrmasi,
rendahnya minat dan gairah membaca sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam
kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia. Teknologi yang menawarkan kemudahan
untuk mendapatkan informasi telah menjadi jalan pintas di saat membaca teks cetak (print). Membaca
bermakna belum menjadi budaya yang tertanam kuat. Akibatnya, pengguna teknologi sering
mengalami ‘gagap membaca media informasi’ yang ditandai dengan kurangnya sikap kritis dalam
memilah dan mengevaluasi akurasi informasi, kurangnya pemahaman terhadap informasi, atau
menyalahgunakan informasi secara tidak tepat (misalnya dalam kasus plagiasi).
Transisi dari tradisi lisan ke budaya literasi ini saat ini ditantang oleh gempuran teknologi dalam bentuk
popularitas media dan alat komunikasi (gadget) yang menyajikan teks dengan cara pembacaan yang
unik dan berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang utuh dalam menguatkan literasi dasar di
SD.
Secara umum, tantangan dalam dunia literasi Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa aspek
sebagai berikut:
1. Anak memiliki akses yang terbatas terhadap sumber informasi terutama buku.
Di daerah terpencil, keterbatasan akses ini disebabkan oleh kondisi geografis yang menyebabkan harga
buku dan pengiriman buku tidak terjangkau. Selain itu, produksi buku-buku kebanyakan terjadi di
Pulau Jawa dan sekitarnya. Keterbatasan akses buku juga antara lain disebabkan oleh kemiskinan dan
prioritas pemenuhan kebutuhan yang masih berfokus pada kebutuhan pokok. Hal ini yang dialami oleh
banyak keluarga di Pulau Jawa dan daerah lain di seluruh Indonesia. Namun, bahkan anak-anak di
kalangan kelas menengah di perkotaan terkadang tidak memiliki akses yang baik terhadap buku karena
buku diletakkan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak, seperti lemari kaca di rumah-rumah, dan
rak-rak perpustakaan yang tinggi, kadang berdebu, dan tidak ramah anak. Hal ini antara lain
disebabkan oleh paradigma yang mengganggap buku sebagai benda koleksi, dan bukan media bagi
anak untuk bermain, mengeksplorasi dan berimajinasi.
3. Buku tidak digunakan dalam kegiatan interaktif yang menarik dan berkelanjutan.
Hal ini berlaku untuk anak dengan semua tingkatan umur dan level kompetensi. Ketika anak sudah bisa
membaca, maka dia akan dibiarkan membaca sendiri. Padahal, riset membuktikan bahwa ketika buku
dibacakan nyaring (read-aloud) kepadanya, anak mampu mengembangkan imajinasi, juga respon kritis
dan kreatif. Dalam level usia yang lebih tinggi, buku yang dibacakan nyaring dan digunakan untuk
mengembangkan diskusi akan mengembangkan kemampuan kritis, analitis dan sintesis.
C. Landasan Hukum
1. Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia yang
memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan
peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya”.
2. UUD 1945 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan penyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
bangsa.”
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pasal 58 ayat (2).
4. Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang kecerdasan literasi dasar mengingat pentingnya bagi
warga negara dunia menghadapi derasnya arus infomasi teknologi
5. UU no 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan,
khususnya pasal 26 sampai dengan 39 tentang aturan penggunaan Bahasa Indonesia; pasal 40, 41, 42
mengenai
pengembangan, pembinaan dan perlindungan Bahasa Indonesia; Pasal 43, pengembangan, pembinaan,
dan pelindungan bahasa daerah; Pasal 44 tentang peningkatan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa
Internasional; Pasal 45 tentang Tugas Fungsi Lembaga Kebahasaan di Indonesia, seharusnya literasi di
Indonesia tumbuh kuat mengakar dalam proses pembelajaran Bahasa.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 94 Ayat (d).
7. Permendikbud No.23 Tahun 2013 tentang SPM Dikdas, Lampiran 2 menjelaskan indikator 18
“Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku referensi, dan setiap SMP dan MTs
memiliki 200
judul buku pengayaan dan 20 buku referensi”.
Tujuan penyusunan panduan panduan umum literasi mengembangkan potensi anak seutuhnya di
sekolah dasar adalah sebagai berikut:
BAB II
Falsafah dan Konsepsi Dasar
A. Konsep Literasi
“Literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis. Ia juga mencangkup bagaimana seseorang
berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait
dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya”. (UNESCO, 2003)
Permasalahan buta huruf masih menjadi salah satu fenomena global, namun permasalahan pendidikan
kontemporer tidak hanya terkait dengan kemampuan membaca literer, tetapi juga dengan rendahnya
kemampuan memahami informasi, rendahnya kemampuan membaca dengan memahami teks, serta
membaca analitis, kritis, dan reflektif.
Meningkatkan kemampuan literasi yang komprehensif dan saling terkait membutuhkan upaya yang
berkelanjutan dan strategi yang tepat, tujuan akhirnya adalah memampukan setiap warga negara agar
dapat berkontribusi dalam masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan perannya sebagai
warganegara global (global citizen). Untuk itulah pemahaman akan nilai-nilai (values) yang dibangun
dalam literasi melalui ketrampilan memahami informasi terutama melalui kegiatan membaca harus
dilakukan secara cermat sesuai tahapan-tahapan tumbuh kembang anak usia SD. Tentunya untuk dapat
menciptakan kegiatan membaca yang sesuai dan berdampak guru sebagai pendidik harus memiliki niat
kuat untuk merubah dirinya terlebih dahulu, dari kurang membiasakan diri mencari dan memahami
informasi khusunya melalui kegiatan membaca ke arah mampu membiasakan dirinya membaca,
sebelum mereka membiasakan anak didiknya membaca.
Demikian luasnya perkembangan literasi di dunia saat ini. Definisi literasi kontemporer ini menjadi
kebutuhan masyarakat global yang harus mengadaptasi kemajuan teknologi dan modernitas. PBB
kemudian merasa sangat penting menata budaya literasi ini dengan merumuskan Information Literacy
(I-Literacy) yang kemudian melahirkan Deklarasi Praha (2003), dalam deklarasi Praha dijelaskan
konsep literasi informasi yang secara umum meliputi literasi dasar (basic literacy), kemampuan untuk
meneliti dengan menggunakan referensi (library literacy), kemampuan untuk menggunakan media
informasi (media literacy), teknologi (technology literacy), dan kemampuan untuk mengapresiasi grafis
dan teks visual (visual literacy).
Selama ini di Indonesia literasi dasar (basic literacy) hanya dipahami atau hanya dikenal dnegan istilah
CALISTUNG, tentunya hal ini merupakan pemahaman yang belum utuh seperti tuntutan deklarasi
Praha. Berbicara dan mendengar/menyimak yang dimuat dalam komponen berbahasa tidak
diimplementasikan dalam proses belajar berbahasa secara utuh. Begitu juga aspek memperhitungkan
(calculating) dalam proses pembelajaran berhitung. Selanjutnya yang sangat memprihatinkan terkait
dengan aspek mempersepsikan dan menggambarkan (perceiving and drawing) sangat diabaikan, dalam
proses ini terlihat kemampuan anak merespon dan mempersepsikan informasi kemudian
mengemukakannya kembali dalam berbagai bentuk, lemahnya kemampuan siswa dalam perceiving dan
drawing sangat berdampak pada lemahnya ketrampilan anak-anak kita dalam berbuat, seperti
menggambar, berkesenian, menampilkan kemampuan psikomotorik dan keterampilan lainnya yang
diwadahi dalam ekrakurikuler dan muatan lokal. Inilah yang menjadi masalah kita bersama
menggenapkan kembali konsep literasi dasar di SD.
Selain menggenapkan kembali konsep literasi dasar di SD, permasalahan lain yang perlu diperhatikan
adalah menyadarkan guru bahwa kekayaan literasi Indonesia (daerah) yang beragam dalam membentuk
karakter dan pengembangan diri peserta didik secara utuh dan unik sebagai bangsa Indonesia
berazaskan Bhinneka Tunggal Ika, hal ini perlu dilakukan agar siswa tidak tercerabut dai nilai-nilai
kebudayaan meskipun nanti di masa yang akan datang dia akan hidup di tengan masyarakat dunia
dengan informasi global.
Meningkatkan kemampuan literasi siswa dapat dilakukan salah satunya dengan menumbuhkan minat
baca dapat dilakukan dengan mengembangkan kecintaan anak dan mendekatkan mereka kepada buku.
Upaya ini perlu dilakukan secara kontinyu, berkelanjutan, dan melibatkan seluruh komponen
masyarakat di lingkungan terdekat anak. Pemerintah perlu secara proaktif melakukan kampanye untuk
mendekonstruksi makna literasi dan meluruskan pemahaman bahwa literasi adalah kegiatan membaca
di sekolah. Lebih dari itu, literasi selayaknya berawal dari keluarga, dan literasi adalah ciri bangsa yang
berbudaya. Karenanya, pemerintah perlu mempromosikan nilai-nilai literasi dan mendukung kegiatan-
kegiatan di bawah ini:
1. Literasi di Rumah
Kampanye tentang pentingnya literasi di rumah dapat dilakukan melalui simpul-simpul komunitas,
PAUD, media massa dan elektronik, program-program parenting di sekolah, dokter anak, rumah sakit,
dan pemerintah lokal seperti kecamatan, kelurahan, RT dan RW. Konten kampanye literasi keluarga
perlu menganjurkan bahwa:
1. Orangtua perlu menyediakan waktu membaca nyaring kepada anak secara rutin dan kontinyu.
2. Orangtua perlu menjadikan rumah ramah buku :
a. Anak seharusnya diperbolehkan untuk memilih bukunya sendiri.
b. Orangtua menyediakan rak/ keranjang buku yang dapat dijangkau oleh anak.
c. Orangtua mengajak anak untuk rutin mengunjungi perpustakaan dan menjadi anggota perpustakaan.
d. Orangtua mengajak anak untuk rutin mengunjungi toko buku, pameran dan even buku lainnya.
e. Orangtua menjadikan buku sebagai hadiah untuk anak dalam peristiwa-peristiwa seperti ulang tahun,
dan lain-lain.
2. Literasi di Sekolah
Literasi di sekolah perlu menekankan pada upaya mendekatkan buku (buku teks pelajaran maupun
buku cerita komersial) dengan anak melalui read aloud (membaca nyaring), diskusi-diskusi buku dan
festival buku. Beberapa contoh kegiatan antara lain:
1. Guru membaca nyaring didepan kelas sebagai tanda dimulainya atau diakhirinya jam pelajaran atau
pada pergantian mata ajar.
2. Membuat sekolah ramah buku:
a. Secara terbuka memperlihatkan keberpihakan pada buku, misalnya memajang buku di tempat yang
dapat dilihat dan dijangkau oleh anak.
b. Mengaitkan setiap mata ajar dengan buku-buku menarik.
c. Menyelenggarakan even buku secara rutin dengan tema-tema yang menarik, membaca nyaring
diikuti dengan kerajinan tangan, membaca diikuti dengan yoga atau aktivitas tertentu, kompetisi
membaca
nyaring, program membaca untuk mengisi liburan.
d. Mengelola perpustakaan sekolah dengan program-program yang menarik dan disain yang ramah
anak.
3. Literasi di Media
Untuk membuat literasi menjadi kegiatan budaya, kampanye yang intensif perlu dilakukan untuk
membangun paradigma bahwa membaca adalah ciri kegiatan bangsa yang berbudaya.
Beberapa kampanye literasi yang dapat memanfaatkan media adalah:
a. Program membaca nyaring di televisi dan radio, dan program wawancara dengan tokoh masyarakat
mengenai buku-buku favorit mereka.
b. Pemuatan resensi buku-buku dengan menggunakan metoda membaca nyaring di koran dan majalah.
c. Menampilkan profil-profil penulis buku dan illustrator di media cetak, jaring, dan elektronik.
d. Menyediakan portal buku di website perpustakaan-perpustakaan.
e. Membangun komunikasi antara buku, penulis, illustrator dan pembaca melalui media sosial ( FB,
Twiter, Instagram).
2. Tentang Anak
Orang dewasa harus memahami anak dalam proses membaca:
a. Anak mempunyai pengetahuan latar (prior knowledge) yang perlu diaktifkan selama membaca.
b. Anak dapat memiliki persepsi yang berbeda tentang gambar dan konten bacaan, karenanya mereka
perlu diminta untuk menyampaikan respons mereka.
c. Orang dewasa perlu memiliki target agar dari anak tumbuh keinginan untuk mau membaca,
kemudian bisa membaca, dan akhirnya gemar membaca.
BAB III
Pelaksanaan Literasi di Sekolah Dasar
D. Grand-Design
Keterangan:
Struktur Implementasi
Garis Pelaporan
E. Peran StakeHolder
1. Kemdikbud
a. Membuat Kebijakan
b. Menyusun panduan pelaksanaan
c. Melaksanakan sosialisasi program kepada Disdik Provinsi, Disdik Kab/kota, satuan Pendidikan dan
Masyarakat
d. Merancang dan melaksanakan pelatihan untuk Guru
e. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di tingkat Provinsi, Kab/Kota dan
satuan Pendidikan
4. Satuan Pendidikan
a. Menyediakan 10 judul buku referensi dan 100 judul buku pengayaan sesuai dengan ketentuan pada
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.23 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Pendidikan Dasar;
b. Melaksanakan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan literasi peserta didik;
c. Melaksanakan pelatihan guru untuk meningkatkan kemampuan guru merencanakan dan
melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi siswa;
d. Mengelola perpustakaan sekolah dnegan baik;
e. Menginventarisir buku yang dimiliki sekolah;
f. Menciptakan ruang-ruang baca bagi warga sekolah;
g. Melaksanakan kegiatan membaca 10-15 menit sebelum pembelajaran;
h. Membentuk komite literasi sekolah;
i. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran orangtua peserta didik
terhadap literasi;
j. Melakukan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan literasi.
5. Masyarakat
a. Ikut terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan sekolah untuk meningkatkan kemampuan literasi
warga sekolah;
b. Menyelenggarakan gerakan publik.
“ Jika riset Unesco 2012 menyatakan bahwa “Seribu orang Indonesia hanya 1 orang membaca,
ditargetkan 5 tahun ke depan, seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang tidak membaca”— Anies
Baswedan
Untuk mendukung pencapaian target 5 tahun kedepan “ dari seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang
tidak membaca”, Pelaksanaan Literasi di Sekolah Dasar ditujukan untuk mencapai beberapa target
sebagai berikut:
1. Pemahaman yang benar terkait literasi di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Satuan
Pendidikan dan Masyarakat sehingga semua stake holder mengetahui dan dapat memenuhi perannya
dalam
strategi pelaksanaan literasi di SD.
2. Tersususnya rencana dan model pelatihan dan pendampingan guru yang tepat untuk meningkatkan
kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan
literasi siswa SD.
3. Terlaksananya kegiatan pendampingan dan pelatihan guru dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi siswa SD.
4. Pelaksanaan gerakan membaca 10 menit setiap hari di Sekolah Dasar.
5. Terlaksananya pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan literasi Siswa SD.
6. Terciptanya iklim sekolah yang menyenangkan.
1. Pemahaman yang benar tentang konsep literasi dari para stakeholder pendidikan di tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/kota, satuan pendidikan dan masyarakat yang diperlihatkan dengan adanya
dukungan dan kemampuan stake holder dalam memenuhi perannya masing-masing.
2. Efektivitas pelatihan guru untuk merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu
meningkatkan kemampuan literasi siswa SD yang diperlihatkan dengan adanya peningkatan
kemampuan literasi
guru dengan indikator sebagai berikut:
a. Guru memperlihatkan kemampuan literasi dasar yang baik (speaking & Listening; Reading &
Listening; Counting & Calculating; Perceiving & Drawing)
b. Guru memperlihatkan kemampuan mengelola sumber informasi (melek teknologi infomrasi; mampu
memanfaatkan komputer, internet, memanfaatkan sosial media dan perangkat komunikasi lainnya
untuk
mencari, menyebar dan mengelola informasi)
c. Guru mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang mampu meningkatkan
kemampuan literasi siswa SD.
d. Guru mampu menciptakan lingkungan sekolah yang menyenangkan.
5. Terciptanya iklim sekolah yang menyenangkan yang salah satunya diperlihatkan dengan adanya
kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi peningkatan kemampuan literasi warga sekolah ( visi dan misi
sekolah, pengelolaan perpustakaan yang baik, display buku di sekolah, sudut-sudut baca, festival buku
dll).
– Memberdayakan Perpustakaan
Perpustakaan sekolah seharusnya berfungsi sebagai pusat kegiatan literasi di sekolah selain
perpustakaan kelas/sudut baca di kelas. Siswa seharusnya diberi kesempatan untuk berkegiatan di
perpustakaan sekolah setidaknya sekali dalam seminggu. Perpustakaan sekolah dibina oleh seorang
pustakawan yang bertanggungjawab menata dan mengkategorikan buku sesuai dengan beberapa
kriteria (jenjang buku sesuai kemampuan membaca, topik, jenis dan genre). Selain mengawasi aliran
peminjaman buku oleh anak, pustakawan sekolah juga bertanggungjawab untuk:
• Berkoordinasi dengan guru kelas untuk menyediakan buku-buku non-teks pelajaran yang relevan
dengan kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
• Mengupayakan pengadaan buku-buku baru melalui berbagai jalur distribusi buku (pemerintah, LSM,
penerbit, dll).
• Bekerjasama dengan komite sekolah/orangtua untuk mengkoordinasi sumbangan buku dari
siswa/orangtua (sekali dalam setahun atau pada saat kelulusan siswa).
• Bekerjasama dengan kepala sekolah dan komite orangtua untuk mengadakan event-event kampanye
membaca, misalnya festival membaca keluarga, festival dongeng, piknik membaca, dll.
• Bekerjasama dengan guru kelas untuk mengawasi daftar baca siswa (sesuai kesepakatan,
pustakawan/guru kelas dapat memberikan insentif setiap target jumlah buku tertentu tercapai). Daftar
membaca ini dapat menjadi salah satu agenda untuk mengisi liburan sekolah.
Selain program-program kampanye membaca untuk menarik minat siswa untuk mengunjungi
perpustakaan, perpustakaan sekolah perlu memiliki beberapa fitur menarik untuk membuat anak betah
membaca:
• Rak yang terjangkau dengan sistem penataan buku yang memudahkan anak untuk mencari buku yang
diinginkannya.
• Penataan buku sesuai dengan jenis dan ukuran buku. Misalnya, buku bergambar yang tipis untuk
pembaca pemula ditata sedemikian hingga sampul buku menghadap ke depan.
• Sudut membaca santai dengan alas duduk untuk kegiatan membaca nyaring berkelompok dan anak
membaca sendiri dengan santai.
• Poster-poster kampanye membaca atau ilustrasi buku anak yang menarik.
• Disain dan warna rak-rak buku/interior yang atraktif dan menarik minat anak.
• Beberapa rak keliling yang berisi buku-buku yang dipergunakan bergantian di kelas-kelas tertentu.
Rak keliling ini dapat dikeluarkan pada saat istirahat sekolah untuk diletakkan di beranda sekolah,
kantin, dan tempat strategis lainnya, dan diawasi oleh beberapa siswa sesuai pembagian tugas yang
telah disepakati.
Selain program dan fitur untuk membuat perpustakaan menarik, perpustakaan sekolah selayaknya
berada di bagian yang tidak tersembunyi, memiliki pencahayaan dan sirkulasi yang baik, dan terletak di
tempat yang strategis sehingga dapat dikunjungi tidak hanya oleh guru dan siswa, namun juga oleh
pengunjung dan orangtua yang menjemput siswa di sekolah. Idealnya, perpustakaan memiliki ruang
berkumpul /ruang tamu untuk dapat dimanfaatkan oleh komite sekolah / Persatuan Orangtua Murid dan
Guru dalam kegiatan-kegiatan rapat konsolidasi atau seminar keayahbundaan (parenting). Untuk
meningkatkan rasa kepemilikan orangtua terhadap perpustakaan sekolah, perpustakaan dapat pula
menyediakan koleksi majalah dan buku-buku keayahbundaan (ini dapat diperoleh dari sumbangan
orangtua, dll).
Kegiatan literasi akan bermakna apabila dilengkapi buku-buku yang berkualitas. Untuk
mengembangkan literasi, buku-buku bacaan perlu memenuhi kualifikasi visual, literer, dan konten yang
relevan.
Aspek Visual
1. Gambar/ilustrasi perlu sesuai dengan umur dan kemampuan nalar pembaca target.
2. Gambar harus berkorelasi dengan teks.
3. Buku cerita anak perlu disertai dengan ilustrasi dan pewarnaan yang menarik bagi anak.
4. Disain buku dapat memperkaya imajinasi anak.
Aspek Literer
1. Konten disampaikan dengan bahasa yang indah menggunakan kaidah
yang baik dan benar.
2. Gaya bahasa / diksi harus disesuaikan dengan kemampuan nalar pembaca target.
3. Konten bacaan perlu mengenalkan kosa kata baru untuk meningkatkan perbendaharaan kata anak
dengan cara yang mudah dipahami.
Aspek Konten
1. Bacaan mengandung amanat atau pesan positif.
2. Apabila bacaan fiksi, tokoh harus memiliki karakter yang kuat sehingga memikat anak, dan plot
kisah yang menarik.
3. Bacaan menyampaikan nilai yang inspiratif.
4. Bacaan merefleksikan muatan budaya lokal.
5. Bacaan mengandung pesan yang disampaikan dengan tidak menggurui.
Jenis-jenis Teks yang Dapat Digunakan Dalam Kegiatan Membaca Bersama Anak adalah:
o CATALOG BOOK : buku berisi gambar dan teks yang menerangkan nama gambar tersebut.
o PICTURE BOOK : buku yang penuh berisi gambar dengan teks, satu sampai lima kalimat.
o ILUSTRATED CHAPTER BOOK : buku cerita yang teksnya sudah banyak, ceritanya sudah
panjang, oleh sebab itu sudah ada babnya, tapi masih ada ilustrasinya.
o SHORT NOVEL : buku cerita yang masih pendek dan terkadang masih ada illustrasinya, walaupun
berwarna hitam putih
o NOVEL : buku cerita full teks tanpa ilustrasi yang biasanya tebal
o STORY COLLECTION : buku yang berisi kumpulan banyak cerita. Teksnya banyak dan kecil kecil,
dengan sedikit ilustrasi berwarna.
o MAJALAH yang biasanya mengkhususkan untuk segmen tertentu, terbit berkala
o TABLOID : kumpulan berita olahan atau berita investigasi, artikel yang terbit berkala dan dicetak
dalam ukuran yang lebih kecil.
o SURAT KABAR : kumpulan berita kekinian dalam beberapa topic yang terbit setiap hari dengan
ukuran besar.
BAB IV
Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang oleh semua stake holder sesuai
dengan perannya dalam strategi pelaksanaan literasi di Sekolah Dasar. Masing-masing stakeholder
melaksanakan monitoring dan evaluasi dengan jangkauan yang berbeda sebagai berikut:
1. Kemdikbud
Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program di tingkat Provinsi, Kab/Kota dan satuan
Pendidikan.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan
program di tahap berikutnya terutama terkait dengan Grand Design pelaksanaan Literasi SD, rencana,
serta rencana, model serta pelaksanaan sosialisasi pada semua stake holder dan pelatihan guru.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan
program di tahap berikutnya terutama terkait dengan pelaksanaan program dan kegiatan untuk
mengimplentasikan kebijakan pusat dan kebijakan daerah, pelaksanaan sosialisasi stakeholder tingkat
provinsi dan Dinas Pendidikan kab/Kota.
Hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dijadikan masukan untuk memperbaiki pelaksanaan
program di tahap berikutnya terutama terkait dengan pelaksanaan program dan kegiatan untuk
mengimplentasikan kebijakan pusat dan kebijakan daerah, pelaksanaan sosialisasi stakeholder tingkat
Kabupaten/kota, satuan pendidikan dan masyarakat.
4. Satuan Pendidikan
Melaksanakan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan program dan kegiatan literasi di sekoalh
masing-masing.
BAB V
Penutup
Panduan umum kegiatan ini tentunya masih bersifat terlalu umum, baru membahas aspek fondasi dan
konseptual belum mmebahas hal-hal yang teknis, sehingga untuk dapat melaksanakan upaya
peningkatan kemampuan literasi yang komprehensif masih diperlukan beberapa petunjuk teknis untuk
menjelaskan secara teknis pelaksanaan masing-masing kegiatan dalam strategi pelaksanaan literasi SD.
Petunjuk teknis yang dimaksud meliputi: Petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan membaca 10 menit
setiap hari di SD; petunjuk pengembangan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan
literasi siswa; Petunjuk teknis pemanfaatan sumber informasi, bahan ajar dan teks dalam pembelajaran
yang mampu meningkatkan kemampuan literasi siswa; petunjuk teknis model pendampingan dan
pelatihan guru, modul pelatihan serta bahan pelatihan guru. Panduan ini perlu disempurnakan dengan
melibatkan masukan dari guru, anak, dan praktisi pendidikan lainnya yang akan menggunakan panduan
ini.
GERAKAN LITERASI SEKOLAH
LATAR BELAKANG
Membaca-menulis (literasi) merupakan salah satu aktifitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses
pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam
diri peserta didik mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di sekolah maupun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Tidak berlebihan kiranya Farr (1984) menyebut bahwa “Reading is the heart of education”. Bagi
masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama Allah kepada Nabi
Muhammad SAW, yakni perintah membaca (IQRA’) yang dilanjutkan dengan ‘mendidik melalui
literasi’ (‘ALLAMA BIL QALAM).
Sedangkan dalam kaitannya dengan menulis, Hernowo (2005) dalam bukunya “Mengikat Makna”
menyebut bahwa menulis dapat membuat pikiran kita lebih tertata tentang topik yang kita tulis,
membuat kita bisa merumuskan keadaan diri, mengikat dan mengonstruksi gagasan, mengefektifkan
atau membuat kita memiliki sugesti (keyakinan/ pengaruh) positif, membuat kita semakin pandai
memahami sesuatu (menajamkan pemahaman), meningkatkan daya ingat, membuat kita lebih
mengenali diri kita sendiri, mengalirkan diri, membuang kotoran diri, merekam momen mengesankan
yang kita alami, meninggalkan jejak pikiran yang sangat jelas, memfasihkan komunikasi,
memperbanyak kosa-kata, membantu bekerjanya imajinasi, dan menyebarkan pengetahuan.
Keempat pilar prinsip pembelajaran ini sepenuhnya didasarkan pada kemampuan literasi (Literary
skills).
PERMASALAHAN
Dalam konteks pendidikan nasional kita, minat baca-tulis masyarakat kita sangat menghawatirkan. Hal
ini disebabkan adanya pelbagai persoalan, misalnya:
Hampir semua kota-kota besar di Indonesia tidak punya perpustakaan yang memadai, padahal keberadaan
perpustakaan yang memadai adalah salah satu ciri kota-kota modern di negara maju.
Perpustakaan yang ada di sebagian kota/kabupaten memiliki tingkat kunjungan pembaca yang rendah.
Sebagai contoh di Jakarta, dari sekitar 10 juta penduduknya yang berkunjung ke perpustakaan hanya 200
orang/hari dan hanya 20% dari jumlah itu yang meminjam buku.
Disinyalir lebih dari 250 ribu sekolah di Indonesia, hanya 5% yang memiliki perpustakaan memadai. Hal ini
merupakan fakta yang miris karena bisa menjadi indikator rendahnya budaya baca di sekolah.
Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV daripada membaca buku.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, seringkali belum memiliki program pengembangan literasi, atau
menumbuhkan budaya baca-tulis secara sistemik. Padahal siswa menghabiskan sebagian besar waktunya di
sekolah.
Terjadi lompatan dari kondisi pra-literer ke pasca-literer tanpa melalui kondisi literer. Budaya menonton
lebih dominan di masyarakat kita.
Terjadi fenomena “Rabun Membaca – Pincang Menulis”. Penelitian Taufiq Ismail pada tahun 1996
menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman
membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6
buku, Brunei 7 Buku, sedangkan Indonesia 0 buku.
Hasil studi Vincent Greannary yang dikutip World Bank dalam sebuah laporan pendidikan“Education in
Indonesia: From Crisis to Recovery” pada tahun 1998 mengungkapkan kemampuan membaca siswa kelas VI
SD di Indonesia mendapatkan poin 51,7. Jauh di bawah Hongkong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1),
dan Filipina (52,6). Hasil ini menunjukkan bahwa membaca dalam sistem pendidikan nasional kita, secara
faktual belum terintegrasi dengan kurikulum.
Produktifitas masyarakat Indonesia dalam bidang penulisan terbilang sangat rendah. Jumlah buku yang
diterbitkan tidak sampai 18 ribu judul per tahun. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Jepang
yang mencapain 40 ribu judul per tahun, India 60 ribu judul per tahun, dan China 140 ribu judul per tahun
(Kompas, 25/6/2012).
Ø Dari bidang penerbitan tulisan ilmiah, produktifitas negara kita juga masih rendah. Berdasarkan data
Scimagojr, Journal, and Country Rank 2011, Indonesia berada di ranking 65 dengan jumlah 12.871 publikasi.
Posisi Indonesia di bawah Kenya dengan 12.884 publikasi. Negara Paman Sam ada di peringkat pertama,
dengan 5.285.514 publikasi. Indonesia masih kalah dengan Singapura yang ada di posisi 32 dengan 108.522
publikasi (okezone.com, 21/2/2012). Jika dilihat dengan perspektif rasio publikasi penelitian dengan jumlah
penduduk, persentasenya menjadi jauh lebih kecil lagi.
PENYEBAB
1. Jumlah buku koleksi perpustakaan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan kebutuhan membaca sebagai basis
proses pendidikan. Rendahnya jumlah koleksi tidak diantisipasi dengan program pengadaan buku secara
berkala.
2. Peralatan, perlengkapan, dan petugas perpustakaan tidak sesuai kebutuhan. Sebagian petugas bukanlah
tenaga pustakawan khusus dan minim mendapatkan peningkatan (pendidikan atau pelatihan kepustakaan).
3. Sekolah tidak mengalokasikan anggaran khusus yang memadai untuk pengembangan perpustakaan sekolah.
Akhirnya keberadaan perpustakaan menjadi tidak bermakna karena kurangnya program kegiatan dan
pengembangan.
1. Persoalan Sosial – Politik
1. Kurangnya political will (kebijakan) dari pemerintah baik nasional maupun daerah dalam
mengembangkan kesadaran literasi warga.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya budaya baca-tulis.
3. Persoalan rendahnya budaya literasi belum dianggap sebagai masalah yang mendesak (critical problem)
sehingga tidak muncul respon cepat yang diperlukan serta cenderung disepelekan.
4. Anggapan bahwa tradisi literasi adalah ekslusif untuk kaum elit masyarakat saja, sehingga kelompok
masyarakat awam merasa tidak perlu mengem-bangkan tradisi literasi.
5. Anggapan keliru bahwa penyadaran literasi hanyalah kewajiban lembaga pendidikan sehingga yang lain
yang belum bergerak membantu, seperti lembaga bisnis (perusahaan) atau perorangan.
1. Persoalan Teknis di Lapangan
1. Kurang tersedia buku bacaan yang bermutu karena kurangnya kuantitas perpustakaan dan kuantitas buku
bacaan.
2. Kurangnya Sumber Daya Manusia di bidang kepustakaan dan rendahnya kompetensi pengelola
perpustakaan.
3. Perpustakaan belum menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan nasional.
Rendahnya literacy awareness bangsa Indonesia sekarang ini akan semakin melemahkan daya saing bangsa
dalam persaingan global yang semakin kompetitif.
“70 persen Anak Indonesia akan Sulit Hidup di Abad 21,” demikian kata Prof Iwan Pranoto dari ITB.
Indonesia termasuk negara yang prestasi membacanya berada di bawah rata-rata negara peserta PIRLS 2006
secara keseluruhan yaitu 500, 510, dan 493. Indonesia berada di urutan ke-lima dari bawah, sedikit lebih
tinggi dari Qatar (356), Quwait (333), Maroko (326), dan Afrika Utara (304).
Sumber Daya Manusia Indonesia kurang kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, ini adalah akibat turunan dari rendahnya kemampuan baca-tulis.
Membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya.
Menciptakan perubahan budaya (cultural change) memerlukan proses yang panjang, sekitar 1-2 generasi,
bergantung pada political will pemerintah dan kesadaran masyarakat, dengan rentang waktu 1 generasi
sekitar 15-25 tahun.
SOLUSI
Melihat persoalan bangsa yang sedemikian krusial dalam hal kesadaran literasi, dibutuhkan kerjasama
banyak pihak untuk mengatasinya. Paling penting adalah adanya tindakan nyata yang bukan sekedar
wacana semata.
Dibutuhkan intervensi secara sistemik, masif, dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya literasi
masyarakat. Pendekatan yang dianggap paling efektif adalah penyadaran literasi sejak dini dengan
melibatkan dunia pendidikan. Hal ini karena tidak dipungkiri hampir seluruh anak berstatus sebagai
pelajar dan melalui proses pendidikan, sebuah program yang sistematik bisa masuk dengan efektif.
Atas dasar pemikiran inilah kami menawarkan aksi nyata perbaikan budaya literasi melalui sebuah
program yang disebut GERAKAN LITERASI SEKOLAH.
Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah gerakan penyadaran literasi yang dimulai dari lembaga
pendidikan.
Gerakan Literasi Sekolah mengajak semua pihak untuk terlibat dalam usaha penyadaran budaya
literasi, yakni:
Gerakan Literasi Sekolah adalah sebuah program intervensi pembudayaan literasi yang tepat, mudah
dilaksanakan, dilakukan secara sistemik, komprehensif, merata pada semua komponen sekolah,
berkelanjutan, dan dikelola secara profesional oleh lembaga yang kredibel.
Adapun kegiatan yang akan dilakukan dalam Gerakan Literasi Sekolah ini adalah?
Workshop dilakukan secara berkala untuk meningkatkan kemampuan literasi warga sekolah peserta
gerakan. Sasaran peserta workshop bervariasi bergantung pada materi workshop. Adapun materi
workshop yang ditawarkan adalah:
Program ini telah diujicobakan di SMA Negeri 5 Surabaya dengan hasil yang sangat memuaskan.
Hanya dalam waktu kurang dari 2 (dua) bulan siswa SMAN 5 Surabaya telah membaca 1851 buku
novel dari target 3000 buku dalam setahun. Program ini telah diulas di Koran Jawa Pos dan Koran
Surya (5 Oktober 2012).
Adapun program peningkatan koleksi perpustakaan dilakukan dengan dua cara, yakni (1) secara
internal melalui kegiatan One Student One Book (OSOB) melibatkan siswa/orang tua untuk
menyumbang buku kepada perpustakaan, dan (2) secara eksternal melalui kegiatan sumbangan buku
yang diberikan oleh perusahaan (sebagai CSR) atau penerbit.
Beberapa jenis kegiatan lomba literasi yang bisa dilakukan antara lain: speed reading contest,
comprehensive reading contest, story telling competition, essay competition, book review competition,
poetry contest, dan magazine competition.
Bedah buku adalah kegiatan mengeksplorasi dan mengapresiasi pesan dari suatu buku. Program ini
menghadirkan penulis buku tersebut dan ahli yang kompeten dengan bidang terkait isi buku.
Ø Pemberian Penghargaan
Pemberian penghargaan ini dilakukan melalui kegiatan bertajuk Literacy Award, yakni sebuah program
pemberian penghargaan kepada pihak-pihak yang dinilai berpartisipasi dan berperan baik secara
langsung maupun tidak, dalam usaha penyadaran literasi bangsa melalui Gerakan Literasi Sekolah ini.
Sasaran penerima Literacy Award adalah sekolah secara kelembagaan, guru/tenaga pendidik, siswa,
perusahaan peduli literasi, dan perorangan yang telah berpartisipasi. Penghargaan berupa piagam
penghargaan dan dana pembinaan untuk peningkatan kesadaran literasi lebih lanjut. Kegiatan ini
dilaksanakan berkala bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Ø Pameran Buku
Pameran buku (book expo) adalah kegiatan bazar buku yang bekerja sama dengan penerbit atau toko
buku. Kegiatan ini bertujuan meningkatkan penghargaan siswa dan masyarakat terhadap karya tulis,
yang pada akhirnya secara kumulatif akan memotivasi penulis untuk semakin berkarya.
Secara keseluruhan program ini dikelola oleh Konsorsium Gerakan Literasi Sekolah yang dimotori oleh
Universitas Negeri Surabaya (UNESA) bekerja sama dengan IKA (Ikatan Alumni) UNESA, Eureka
Academia, dan Sekolah Menulis INSPIRASI.
Dalam pelaksanaannya di lapangan akan dilaksanakan kerjasama dengan dinas pendidikan daerah serta
dibantu oleh pihak-pihak lain, seperti sukarelawan literasi (dari mahasiswa / pekerja sosial), penerbit,
perusahaan, media massa, dan individu-individu yang peduli dengan literasi bangsa.
Pada dasarnya kegiatan ini dilaksanakan sepanjang mungkin, sebagaimana belajar juga dilaksanakan
seumur hidup (long life education). Namun sekolah diberikan pilihan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan ini dalam beberapa jenis partisipasi:
Ø Partisipasi penuh, yakni mengikuti semua program yang ditawarkan. Untuk waktu pelaksanannya adalah
selama satu tahun. Program yang ditawarkan akan dilaksakan dengan penyesuaian waktu dengan kegiatan
sekolah yang lain.
Ø Partisipasi sebagian, yakni mengikuti beberapa program saja. Untuk waktu pelaksanannya bersifat tentatif
dan disesuaikan dengan kegiatan sekolah.
TARGET
Target yang hendak dicapai melalui GERAKAN LITERASI SEKOLAH ini adalah:
Kualitatif
1. Terwujudnya masyarakat sadar literasi yang ditunjukkan dengan meningkatnya budaya baca-tulis di
masyarakat
2. Meningkatnya daya saing bangsa melalui peningkatan wawasan dan ilmu pengetahuan akibat minat baca
yang tinggi
Kuantitatif
1. Minimal 20 sekolah dari setiap kabupaten/kota yang berpartisipasi. Dengan asumsi rata-rata satu sekolah
memiliki 500 siswa, maka dari satu kabupaten/kota terdapat 10.000 siswa berpartisipasi.
2. Meningkatnya jumlah buku yang dibaca siswa dalam satu tahun. Dengan asumsi tiap siswa membaca
minimal 10 buku setahun, maka dalam satu kabupaten tercapai 100.000 jumlah buku dibaca dalam satu
tahun.
3. Meningkatnya koleksi buku perpustakaan sekolah, minimal sejumlah siswa setiap tahun.
4. Meningkatnya kunjungan siswa ke perpustakaan sekolah hingga 1000% (10 kali lipat)
5. Tercapai sumbangan buku dari sponsor (perusahaan dan perorangan) sebanyak 300 buku tiap sekolah.
DISCLAIMER
Gerakan Literasi Sekolah ini tidak memungut biaya dari sekolah, yayasan, atau Dinas
Pendidikan. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan komitmen untuk menjalankan program ini.
CONTACT PERSON
Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan), Sekolah, Perusahaan, LSM, atau Perorangan yang ingin
berpartisipasi dalam GERAKAN LITERASI SEKOLAH, bisa menghubungi contact person berikut: