Anda di halaman 1dari 30

PENDEKATAN BERBASIS KOMPETENSI UNTUK KEBERAGAMAN DAN

KEADILAN SOSIAL DALAM PEKERJAAN SOSIAL

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pekerja Sosial dan
Multikulturalisme

Dosen Pengampu :
Budi Rahman Hakim, MSW. PhD.

Disusun oleh:

(Kelompok 2)

Venita Suhartini 11200541000021

Cici Aryanti 11200541000024

Abdurrahman Al Farizi 11200541000031

Ahmad Dzakri 11200541000032

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb
Alhamdulillah, Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat sehat, nikmat Islam dan nikmat Iman, sehingga kami bisa menyelesaikan
tugas sebagaimana waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan Salam tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, Aamiin.
Terima kasih kami sampaikan dan kami ucapkan kepada teman-teman sekelompok
yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Pekerja Sosial dan
Multikulturalisme, sehingga kami bisa melaksanakan presentasi sesuai dengan waktu yang
diberikan. Terima kasih kami ucapkan juga kepada Dosen pengampu mata kuliah yaitu Bapak
Budi Rahman Hakim, MSW. PhD. dan Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
baik secara waktu, ide dan tenaga.
Makalah ini kami susun sesuai dengan materi dan pembahasan yang tersedia di dalam
RPS, sehingga besar harapan kami agar makalah ini dapat dibaca dan dipahami sebagai maksud
untuk menambah wawasan serta ilmu pengetahuan. Makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna, namun kami mencoba untuk memberikan yang terbaik, terlepas dari itu semua,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, Aamiin.

Jakarta, 10 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1 Pendekatan Berbasis Kompetensi ............................................................................... 3
2.2 Kompetensi untuk Keberagaman dan Keadilan Sosial ............................................. 11
2.3 Kompetensi Budaya dalam Praktik, Kebijakan, dan Pendidikan Pekerjaan
Sosial……………………………………………………………………………………… 14
2.4 Praktik Pekerjaan Sosial Multikultural ..................................................................... 16
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 26
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 26
3.2 Saran .......................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendekatan berbasis kompetensi untuk keberagaman dan keadilan sosial dalam
Pekerjaan Sosial merupakan sebuah langkah dimana seorang pekerja sosial harus bisa
memiliki kompetensi yang berupa pengetahuan, kemampuan serta keterampilan. Dalam
kategori multikultural sendiri tentunya mencakup banyak keberagaman seperti budaya,
agama ras dan sosial. Akan tetapi, tidak melulu multikultural diartikan sebagai perbedaan
budaya dan ras saja, melainkan mencakup aspek seperti usia, gender, jenis kelamin, seks
dan psikososial. Multikultural disini mengharuskan seorang pekerja sosial untuk bisa
memiliki sikap tolransi yang tinggi serta memiliki usaha untuk bisa melayani seorang klien
dengan baik, karena setiap klien pasti memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Kompetensi disini mencakup persoalan tentang kemampuan untuk bersikap dengan
baik terhadap klien, serta di dalamnya terdapat keberagaman dan keadilan sosial dalam
pekerjaan sosial. Maksud dan makna tersebut adalah bahwa seorang pekerja sosial akan
berhadapan dengan klien dimana seorang klien adalah pribadi degan latar belakang yang
berbeda-beda sehingga timbulah multikultural atau keberagaman disini, dan pada kondisi
ini seorang pekerja sosial diharuskan untuk sellau mnegutamakan keadilan, maksud
keadilan disini adalah dengan tidak membedakan budaya, ras maupun agama karena pada
kenyataannya adalah tujuan pekerja sosial untuk mencapai keadilan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dibuat rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, di antaranya:
a. Bagaimana pendekatan-pendekatan berbasis kompetensi?
b. Bagaimana kompetensi keberagaman dan keadilan sosial?
c. Bagaimana kompetensi budaya dalam praktik, kebijakan, dan pendidikan pekerjaan
sosial?
d. Bagaimana praktik pekerja sosial multikultural?

1
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui dan memahami pendekatan-pendekatan berbasis kompetensi
b. Untuk mengetahui dan memahami kompetensi untuk keberagaman dan keadilan sosial.
c. Untuk mengetahui dan memahami kompetensi budaya dalam praktik, kebijakan, dan
pendidikan pekerjaan sosial.
d. Untuk mengetahui dan memahami praktik pekerja sosial multikultural.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENDEKATAN BERBASIS KOMPETENSI


A. Definisi Kompetensi
Kompetensi di definisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
sebagai sebuah kamampuan dan kecakapan.1 Menurut Kupper dan Palthe
mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki oleh siswa atau pekerja
yang memungkinan untuk menyelesaikan tugas, digunakan untuk menemukan solusi
serta diwujudkan dalam sebuah situasi kerja, kemudian kualifikasi dinyatakan dalam
bentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan pendekatan berbasis
kompetensi secara umum didefinisikan sebagai sebuah pendekatan yang bersifat
sistematik dan sistemik dengan memperhatikan struktur kegiatan belajar mengajar
secara jelas dan terang-terangan dengan tujuan untuk tercapainya kompetensi yang
sudah menjadi target.

Sedangkan seorang tokoh bernama Blank mendefinisikan bahwa pendekatan


berbasis kompetensi telah mengalami banyak terjadi kesalahan dalam hal konsepsi,
mitos menyesatkan serta keabu-abuan dalam pemahaman mengenai apa itu pendekatan
berbasis kompetensi dan dampak yang diberikan. Kompetensi dalam pengertian lain
merupakan sebuah karakteristik pribadi yang dapat ditunjukkan melalui pengetahuan,
keterampilan dan perilaku pribadi seperti kepemimpinan.2 Komepetensi juga bisa
diartikan sebagai sebuah kemampuan individu untuk melaksanakan pekerjaan dengan
benar dan memiliki keunggulan yang didasarkan pada hal-hal yang menyangkut
pengetahuan, keterampilan dan sikap.3 Maka kompetensi dapat disimpulkan sebagai
sebuah bentuk pemahaman yang dimiliki oleh individu baik dalam bentuk keterampilan
(skills), pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude).

B. Karakteristik Kompetensi

1
KBBI dari Prof.Drs. S. Wojowasito dan W.J.S Poerwadarminta
2
Dessler, 2017 : 408
3
Menurut Edison, Anwar dan Komariyah (2016:142)

3
Kompetensi memiliki karakteristiknya tersendiri, dimana terdapat lima
karakteristik kompetensi menurut Mitrani, antara lain sebagai berikut : 4

1. Motivation, adalah keadaan dimana seseorang memiliki sikap konsisten dalam


berfikir untuk bisa mewujudkan atau melakukan suatu tindakan.

2. Treats, adalah watak yang dimiliki seseorang untuk berperilaku dalam menentukan
sikap dengan cara tertentu, seperti misalnya percaya diri (self confident), mengontrol
diri atau self control, dan lainnya.

3. Self Concept, adalah sikap dan nilai yang dimiliki seseorang melalui penilaian yang
diberikan oleh orang lain seperti mislanya responden.

4. Knowledge, atau pengetahuan adalah sebuah informasi yang dimiliki seseorang untuk
bidang tertentu.

5. Skill atau kemampuan adalah keadaan dimana seseorang mampu untuk melaksanakan
tugas tertentu baik secara fisik maupun psikis.

C. Konsep Kompetensi

Kemudian, pendekatan melalui kompetensi memiliki beberapa konsep, salah


satunya adalah pembelajaran berbasis kompetensi atau dikenal dengan istilah
Competency Based Training (CBT). CBT ini berfokus pada hal apa yang bisa dilakukan
oleh mahasiswa (kompetensi) sebagai bentuk kemampuan untuk bersikap, berpikir dan
bertindak secara konsisten sebagai sebuah bentuk perwujudan dari keterampilan dan
sikap yang dimiliki oleh seorang mahasiswa. Pendekatan berbasis kompetensi
merupakan salah satu pendekatan yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan
pendekatan konvensional, dimana ketika kompetensi lebih jelas mengetahui kemana
mahasiswa harus mencapai target sedangkan pada pendekatan konvensional mahasiswa
kurang mengetahui apa yang akan menjadi bahan pembelajaran serta target pencapaian.

4
Dalam Soetjipto, 2002

4
D. Prinsip Kompetensi

Salah satu prinsip kompetensi adalah Competency Based Training (CBT)


terdapat tujuh prinsip di dalamnya, diantaranya yaitu :

1. Mastery Learning, adalah sebuah prinsip mengenai ketuntasan satu unit kompetensi.
Dalam prosesnya, maka perlu diterapkan prinisp pembelajaran seperti : (a). learning
by doing atau belajar melalui kegiatan atau aktivitas nyata. (b). Individualized
Learning atau belajar dengan cara memperhatikan setiap keunikan individu dan (c).
memanfaatkan lingkungan sebagai tempat yang efektif untuk mendukung proses
pembelajaran.

2. Bakat dan kemampuan individu dalam mempelajari suatu tugas, digunakan sebagai
suatu alat untuk memprediksi.

3. Perbedaan seberapa banyak mahasiswa belajar. Dalam prinsip ini terdapat 3 faktor
mengenai perbedaan mahasiswa belajar, yaitu : (1). Seberapa banyak prasyarat
belajar yang telah dimiliki mahasiswa, (2). Attitude yang telah dimiliki oleh
mahasiswa dan (3). Kualitas dan Panjang intruksi.

4. Aktif, Kreatif dan Efektif.

5. Mahasiswa merupakan subyek belajar yang harus terbangun kompetensinya.

6. Pembelajaran berharga yang diberikan adalah pembelajaran yang harus pelajari

7. Jenis dan Kualitas pengajaran yang dialami siswa. Terdapat definisi yang diberikan
oleh Winkle mengenai prinsp ini adalah pembelajaran sebagai aktifitas fisik atau
psikis yang mana berlangsung dalam interaksi aktif hingga menghasilkan sebuah
perubahan, keterampilan, nilai dan sikap serta bersikap tetap dan tidak membekas.

E. Macam-Macam Bidang Kompetensi

1. Kompetensi Bidang Konseling Multikultural

Pada umunya multicultural hanya difokuskan sebagai masalah yang


menyangkut Ras, Agama, Suku, Budaya dan sebagainya. Pada sudut pandang lain,
para teoritis hanya mendefinisikan sebagai masalah tentang variable lintas budaya

5
saja5. Pada argumentasi lain mendefinisikan bahwa multicultural merupakan suatu
keadaan adanya kelompok tertindas dan tidak khusus orang berkulit berwarna saja,
namun kelompok tertindas bisa saja terjadi karena adanya perbedaan kelas, agama,
gender, usia, Bahasa dan kelatarbelakangan orientasi seksual.6

Dalam perspektif identitas lintas budaya, didefinisikan bahwa konseling


multicultural merupakan hubungan antara praktik konseling yang mengapresiasi
budaya berbeda pada konselor antara konseli. Hal ini ditegaskan kembali oleh
pendapat Burn yaitu sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat
penting. Beberapa definisi mengenai konseling multicultural adalah hubungan
dalam proses konseling dimana klien yang berbeda suku, etnik, atau kelompok
minoritas. Ataupun hubungan antara konseling dengan konselor dengan konseli
yang secara rasial, suku, etnik sama namun ada perbedaan budaya yang dimilikinya
dan variable-variabel lain seperti orientasi seksual, seks, usia dan faktor sosio
ekonomi.7 Keefektifan konseling multicultural dapat dilihat dengan adanya
keterlibatan antara konselor bersama konseli untuk dilihat berdasarkan latar
belakang budaya yang berbeda, konseling bisa berjalan tidak efektif karena sangat
sensitive terjadi dalam proses konseling serta bisa menimbulkan bias-bias budaya
yang terdapat pada konselor. 8

Konsep dasar dalam konseling

Kajian mengenai keragaman budaya dikenal dengan istilah cross culture


atau lintas budaya dan interculture atau antar budaya, serta multiculture atau
multibudaya. Multibudaya dalam konseling digunakan sebagai sebuah alat untuk
mencerminkan adanya masing-masing budaya mengenai adanya kesetaraan serta
untuk meminimalisir perasaan keunggulan antar budaya. Perihal ini maka konseling
multicultural harus bisa dalam memenuhi beberapa situasi yang terdapat di
dalamnya seperti : 1. Adanya perbedaan latar budaya antara konselor dan konseli,
2. Konselor dan konseli bisa berasal dari ras yang sama namun biasa memiliki

5
Sue & Sue, 2008.
6
Arrcdondo ct.,al. 1993
7
Atkinson,et.al. 1993
8
Dedi Supriadi, 2001.

6
perbedaan baik dari usia, kelamin, religius dan orientasi seksual maupun kondisi
social ekonomi.9

Dalam melaksanakan proses konseling multicultural, terdapat beberapa


kategori penting yaitu : 1. Teknik konseling bisa di modifikasi jika ada latar
belakang budaya yang berbeda ikut terlibat, 2. Mempersiapkan diri dalam
memahami adanya kesenjangan yang terjadi antara budaya konselor dengan konseli
yang akan mneingkat seiring proses terjadinya konseling, 3. Konselor dituntut dan
diharuskan untu memiliki kemampuan dalam mengkomunikasikan bantuannya ,
dimana perspektif menolong berdasarkan dalam budaya konseli serta memahami
terjadinya distress maupun kesusahan yang dialami oleh konseli, 4. Konselor harus
bisa memahami perbedaan dalam proses penyampaian keluhan yang berbeda tiap
masing-masing budaya, 5. Konselor harus memahami adanya harapan dan norma
yang berbeda antara konselor dengan konseli. Berdasarkan pada lima kategori
tersebut, maka dikatakan bahwa konselor adalah subyek pertama dalam proses
pelaksanaan konseling.

Prinsip-Prinsip Dasar Konseling Multikultural

Prinsip disini melibatkan konseling, konselor dan proses konseling yang


dituntut untuk bisa berjalan secara sinergis dan sesuai dengan arah tujuan, sehingga
diharapkan adanya hubungan timbal balik di dalamnya yang sama-sama
memberikan keuntungan antara kedua belah pihak. Konselor sebagai pihak inisiator
yang membantu maka diwajibkan memahami prinsip dasar dan mamiliki
kemampuan untuk mengaplikasikannya. Prinsip dasar yang dimaksudkan disini
yaitu :

1. Konselor multicultural harus memiliki kesadaran dalam pengalaman sejarah


maupun kelompok budayanya.
2. Memiliki kesadaran dan memahami pengalaman sejarah serta budaya konseli
dan kepercayaan diri pada diri konseli
3. Dalam melaksanakan proses konseling maka konselor harus memperhatikan
beberapa hal seperti berhati-hati dalam mendengarkan, aktif serta memberikan
tanggapan yang dapat dipahami oleh konseli, memberikan optimism kepada

9
Miskanik, 2018

7
konseli, konselor harus bersiap mengenai keadaan yang tidak terduga seperti
Bahasa atau penyampain konseli yang tidak dapat dipahami. Dalam proses
konseling maka kedua belah pihak harus mengutamakan sikap optimis serta
sabar.10

Kompetensi Konselor Multikultral

1. Memahami dan mengenali nilai maupun asumsi terkait perilaku yang


diinginkan maupun yang tidak diinginkan

2. Memahami karakteristik konseling secara umum

3. Berbagi pandangan atau perspektif bersama konseling dengan tidak


menghilangkan peran utamanya sebagai seorang konselor.

4. Dapat melakukan proses konseling secara efektif sesuai dengan arah dan tujuan.
11

Dalam prinsip konselor multicultural, terdapat faktor tertentu seperti


model, pendekatan dan taknik konseling, sedangkan untuk faktor lainnya yaitu
faktor pribadi konselornya. Pada konselor multicultural juga terdapat beberapa
kompetensi yang terdapat didalamnya, yaitu :

1. Menyadari dan memiliki rasa kepekaan terhadap budaya


2. Menyadari dan memahami bahwa adanya perbedaan budaya antara konselor
dengan konseli untuk menghindari efek negative baik dari adanya perbedaan
dan kesenjangan yang berasal dari proses konseling.
3. Memiliki informasi tentang konseling mengenai latar budayanya maupun ciri-
ciri khusus konseli
4. Konselor dan konseli memiliki rasa nyaman meskipun berbeda kebudayaan
5. Memiliki kemampuan serta pemahaman terkait dengan psikoterapi dan
konseling

10
Suhartiwi dan Mushiffudin, 2013.
11
Akhmadi, 2013

8
6. Mampu menyampaikan informasi hasil konseling secra tepat dan cepat serta
jelas baik secara verbal maupun non verbal.

Aspek Kompetensi Konselor Multikultural

A. Pengetahuan, seorang konselor harus memiliki pengetahuan yang


komperhensif mengenai Teknik konseling dan social budaya, memiliki sikap
terbuka serta toleransi terhadap budaya lain.

B. Sikap, konselor harus memiliki rasa empati dan simpati yang tinggi.

C. Keterampilan, memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan kepada


kelompok populasi khusus sehingga mampu di dorong untuk dapat
menjalankan kehidupannya secara wajar di tengah-tengah kehidupan
masyarakat.

2. Kompetensi Bidang Kultural

Kompetensi kultural sudah lama ada dan masuk pada kurikulum Pendidikan
pekerja social. Kemudian, para pekerja social telah mengimplementasikannya ke
dalam praktek pekerjaan social dalam menangani klien yang semakin beragam.
Kompetensi kultural pekerja social tidak lepas dari pengaruh organisasi yang ada di
sekitarnya. Selain itu, dalam praktek dalam pekerjaan social kompetensi tentang
kultural sudah banyak di masukan dalam literatur pekerjaan social dengan tujuan
untuk menambah pengetahuan serta menambah rasa sensitivitas serta empati terhadap
kebutuhan-kebutuhan dari klien.12

Kompetensi multicultural memiliki tiga dimensi yang termuat, yaitu : (1).


Kesadaran dan sensitivitas terhadap perbedaan antara nilai-nilai yang dibawa oleh
pekerja social dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh klien. (2). Pengetahuan tentang
lingkungan praktek, metode-metode pertolongan dan budaya dari klien. (3).
Keterampilan dalam komunikasi baik verbal maupun non verbal.13 Dalam dimensi
tersebut ditegaskan bahwa elemen yang terdapat adalah keterampilan dan
pengetahuan yang harus dimiliki oleh pekerja social dan konselor dalam kompetensi

12 Nylund, 2006:28
13 Yan, 2005 : 182

9
kultur. Kompetensi kultural bisa diimplementasikan pada level kebijakan khususnya
untuk kesejahteraan social. Konsep kompetensi kultural dan penghormatan terhadap
perbedaan secara social dan kultural. Pekerjaan social membutuhkan kompetensi
tersebut dalam segala bidang.

Studi Kasus : Kompetensi Kultural pada Pekerja Sosial Pasca Bencana

Dalam kompetensi kultural berhubungan erat dengan pekerja social dimana seorang
pekerja social memiliki peran yang sangat signifikan didalamnya. Salah satu studi kasus
yang diambil adalah Kompetensi kultural yang dimiliki oleh pekerja social pasca bencana.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 yang berisi pernyataan
bahwa “setiap orang berkewajiban untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana”
sehingga melalui UU tersebut memberikan peluang kepada para pekerja social untuk bisa
terlibat baik dalam penanganan bencana, pra bencana maupun saat kondisi gawat darurat.
Dalam kasus penanganan bencana ini, maka peran pekerja social sangat banyak seperti
membantu memulihkan kondisi korban yang tertimpa bencana, membantu menyembuhkan
luka baik fisik maupun psikis akibat ditinggalkan oleh keluarganya dan membantu
memulihkan sarana transportasi, mencari data dan informasi serta lain sebagainya yang
berhubungan dengan pekerjaan social. Selain itu, pekerja social juga membantu pemerintah
dalam mendistribusikan uang tunai, penyediaan rumah sementara bagi korban dan
memberikan konseling bagi korban yang selamat.14

Dalam masalah bencana ini, maka bisa diambil contoh kasus adalah gempa bumi yang
terjadi di negara Taiwan pada tahun 1999, dimana telah ditemukan bahwa pekerja social
memiliki peran yang sangat signifikan baik dalam upaya penyelamatan maupun pemulihan.
15
Peran-peran yang dimaksud disini meliputi : membantu dalam upaya memberikan
dukungan kepada individu dan keluarga dalam proses pemulihan, menghubungan kebutuhan
para korban bencana dengan sumber daya yang tersedia untuk memudahkan akses, serta
mengusahakan agar tidak terjadinya masalah fisik maupun psikis yang parah, serta
membantu individu, keluarga, kelompok maupun komunitas dari keterpurukan dan
mengintervensi perubahan system makro dan mikro untuk meningkatkan kehidupan klien.16

14 Javadian, 2007:335
15 Chou, 2003 : 14
16 Chou, 2003 : 15

10
Pekerja social sebelum menangani korban pasca bencana, maka akan diberikan
pengetahuan mengenai penanganan korban, dan diberikan kemampuan untuk penyelamatan
serta pemulihan, jika seorang pekerja social tidak dibekali kompetensi tersebut maka tidak
adanya pemahaman mengenai standar dalam menangani korban setelah bencana. Kasus
pada gempa bumi di Taiwan pada tahun 1999 memperlihatkan gambaran tentang pekerja
social yang ikut dalam upaya penyelamatan, dan ditegaskan bahwa pekerja social di Taiwan
tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam menangani kasus pasca
bencana.17

Penanganan pasca bencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi


merupakan kegiatan dalam mengembalikan dan memulihkan semua aspek layanan baik
public maupun masyarakat sesuai pada kelayakan yang memadai dengan tujuan atau
sasarannya adalah normalisasi. Sedangkan, rekonstruksi adalah pembangunan kembali atau
perbaikan semua sarana dan prasarana baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan sasaran utama adalah mengembangkan kembali roda kegiatan seperti ekonomi,
social dan budaya serta peningkatan hukum dan ketertiban, selain itu juga untuk
membangkitkan peran masyarakat dalam sepua aspek kehidupan pada wilayah yang
mengalami bencana.18

2.2 KOMPETENSI UNTUK KEBERAGAMAN DAN KEADILAN SOSIAL


Definisi pertama keanekaragaman atau multikulturalisme mencakup ras, etnis, dll. Di
sisi lain, para ahli teori saat ini cenderung mendefinisikan variabel lintas budaya yang
terbatas. Argumen lain adalah bahwa sementara semua daerah multikultural memiliki
kelompok tertindas, terutama yang berwarna, orang yang tertindas lebih rendah dalam
kelas, agama, jenis kelamin, usia, bahasa, dan orientasi seksual. Menurut Rendon (1992),
perbedaan budaya dapat terjadi di antara orang-orang dari ras, etnis, dan bahkan etnis yang
sama.19
Kompetensi konseling multikultural dan keadilan sosial dipandang sebagai bagian
integral dari identitas profesional konselor dan bagian penting dari praktik dan pendidikan
konseling. Hays dan Dahl (dalam pers) mendefinisikan penelitian multikultural dan
keadilan sosial sebagai pendekatan yang bertujuan untuk menggunakan desain penelitian

17
Chou, 2003 : 14
18
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Bab 1 Pasal 1
19
Hasan Bastomi. Integrasi Kompetensi Multikultural dan Keadilan Sosial dalam Layanan Konseling. Komunika:
Jurnal Dakwah dan Komunikasi ,vol.14 No.2 (Oktober,2020),244-245.

11
yang sesuai secara budaya, menangani persimpangan kekuasaan dalam hubungan
konseling, dan menggunakan penelitian sebagai sarana advokasi. Advokasi, mulai dari
pemberdayaan klien hingga tindakan dengan dan atas nama klien, dimaksudkan untuk
mengurangi hambatan sosial yang menciptakan kesehatan mental dan pemberian layanan
kesehatan masyarakat yang tidak adil dan dengan demikian mengakibatkan hasil klien yang
lebih buruk (Chapman Schwartz, 2012; Kozan & Blustein, 2018). ; Lewis, Arnold, House,
& Toporek, 2003; Ramirez Stege dkk, 2017; Shin, Smith, Welch, & Ezeofor, 2016).
Advokasi melalui penelitian juga dapat menerangi aset dan sumber daya individu dan
komunitas untuk mereskrip, sebagaimana mestinya, pandangan dominan tentang kesehatan
mental dan pendekatan pengobatan (Lazarus, Bulbulia, Taliep, & Naidoo, 2015.20

Integrasi Kompetensi Multikultural dan Keadilan Sosial


Dalam Konseling Perspektif teoretis dan filosofis yang menopang integrasi konseling
multikultural dan keadilan sosial memberikan konteks untuk mengembangkan kompetensi
multikultural dan keadilan sosial. Integrasi konseling multikultural dan keadilan sosial
mengakui hal-hal berikut sebagai aspek penting dari praktik konseling untuk konselor dan
klien: (1) memahami kompleksitas keragaman dan multikulturalisme pada hubungan
konseling, (2) mengakui pengaruh negatif penindasan terhadap kesehatan dan
kesejahteraan mental, (3) memahami individu dalam konteks lingkungan dan sosial
masyarakat, dan (4) mengintegrasikan advokasi keadilan sosial ke dalam berbagai layanan
konseling (misal, individu, keluarga, sosial dan kelompok). Maka diperlukan upaya untuk
membumikan integrasi kompetensi konseling multikultural dan keadilan sosial dengan
membuat kajian tentang multikultural dan keadilan sosial kemudian membuat dokumen
integrasi kompetensi konseling multikultural dan keadilan sosial yang akan berlaku lintas
populasi, layanan, dan masalah klien.
Secara efektif menyeimbangkan konseling dengan keadilan sosial adalah kunci
untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu dari populasi yang terpinggirkan melalui
konseling. Situasi tertentu akan membutuhkan konseling individu. Situasi lain mungkin
memerlukan intervensi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, tantangannya adalah
mengetahui kapan harus bekerja di lingkungan individu dan kapan harus bekerja di ranah
komunitas. Mampu menyeimbangkan konseling individu dengan pendampingan keadilan
sosial penting untuk menghindari kejenuhan dan untuk mengembangkan batas-batas yang

20
Peni O.R, dkk. Kompetensi Konseling Multikultural Dan Keadilan Sosial. Journal Pusat Studi Pendidikan
Rakyat ,vol.2 No.3 (Agustus,2022),24.

12
jelas, untuk menentukan apakah akan memberikan konseling individual atau
pendampingan keadilan sosial kepada konseli (Lewis, 2011). Dimulai dengan
menyelaraskan masalah multikultural dan keadilan sosial yang dibawa konseli ke dalam
proses terapi. Pendekatan ini memberi konselor wawasan tentang apakah intervensi pada
skala individu atau komunitas akan efektif.
Prinsip-prinsip di mana integrasi multikultural dan keadilan sosial dibangun
digambarkan secara konseptual, kerangka kerja yang pada intinya adalah multikulturalisme
dan keadilan sosial secara khusus digunakan untuk menggambarkan berbagai
persimpangan identitas, kekuasaan, hak istimewa, dan penindasan dalam hubungan
konseling. Maka kompetensi multikultural dan keadilan sosial dimulai dengan kesadaran
diri konselor. Kesadaran diri ini kemudian meluas pada klien, hubungan konseling,
intervensi, strategi dan pendampinga konseling. Dalam tiga domain yaitu; kompetensi
perkembangan, sikap dan keyakinan, pengetahuan, keterampilan, dan intervensi.
Dalam setiap kuadran terdapat domain yang berkontribusi terhadap multikultural
dan praktik keadilan sosial: (1) kesadaran diri konselor, (2) pandangan dunia klien, (3)
hubungan konseling, dan (4) intervensi konseling dan advokasi. Urutan ini didasarkan pada
kepercayaan bahwa multikultural dan kompetensi keadilan sosial pertama-tama harus
dimulai secara internal, di dalam diri konselor (Roysircar et al., 2003; Sue & Sue, 2008).
Konselor harus berusaha keras untuk menyadari bias nilai-nilai budaya, dan kepercayaan.
Kesadaran internal ini kemudian meluas bagi pemahaman konselor tentang pandangan
dunia klien dan pengaruh budaya, kekuasaan, hak istimewa, dan penindasan dalam
hubungan konseling. Pada gilirannya, proses ini memungkinkan konselor untuk
menentukan kerja sama dengan klien, intervensi dan strategi itu responsif multikultural dan
keadilan sosial melalui pendampingan konseling.
Istilah keadilan sosial dimasukkan dalam kompetensi untuk mencerminkan
perubahan perkembangan dalam profesi dan masyarakat. Selain itu, perubahan ini
mencerminkan meningkatnya literatur integrasi kompetensi multikultural dan keadilan
sosial (NassarMcMillan, 2014; Singh & Salazar, 2010). Integrasi multikultural dan
keadilan sosial juga dimaksudkan untuk menjadi penilaian dan yang mencerminkan
kepercayaan bahwa konselor semua dalam keadaan konstan "being-in-being" relatif untuk
mengembangkan kompetensi multikultural dan keadilan sosial. Karena itu, pengembangan
kompetensi multikultural dan keadilan sosial harus dianggap sebagai proses seumur hidup,
di mana konselor bercita-cita untuk terus menerus lebih jauh memahami dan komitmen
terhadap kompetensi multikultural dan keadilan sosial dan mempraktikkan sadar budaya

13
dalam layanan konseling (Hook et al., 2013). Pendidikan dan Pelatihan dalam
multikulturalisme dan keadilan sosial sangat penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan konselor masa depan. Meskipun demikian, semua unsur pendidik atau
konselor bertugas mengajarkan tentang multikulturalisme dan keadilan sosial (Hilert &
Tirado, 2019).

2.3 KOMPETENSI BUDAYA DALAM PRAKTIK, KEBIJAKAN, DAN PENDIDIKAN


PEKERJAAN SOSIAL
Kompetensi budaya adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan
tepat dengan orang-orang dari budaya yang berbeda. Oleh karena itu, ketika berinteraksi
dan berkomunikasi, setiap individu tidak melanggar aturan, norma, dan harapan yang
berlaku dalam komunitasnya. Menurut Deardoff (2006:7), konsep kompetensi antarbudaya
mengacu pada pengelolaan interaksi yang tepat dan efektif di antara orang-orang yang sama
atau berbeda dalam hal orientasi emosional, kognitif dan perilaku di dunia meningkat.
Orientasi ini secara normatif dinyatakan dalam kerangka kebangsaan, ras, suku, suku, dan
agama. Istilah kompetensi diartikan sebagai sikap pemahaman, kecukupan, kesesuaian,
keefektifan dan kemampuan beradaptasi.21
Pekerja sosial yang kompeten secara budaya harus memiliki nilai dan sikap tertentu,
termasuk menghormati keragaman dan pemahaman tentang pentingnya harga diri
pengasuh. Pekerja sosial juga perlu mengetahui budaya klien mereka dan mampu
mengintegrasikan pengetahuan ini dengan nilai dan sikap mereka sendiri dalam
mengembangkan strategi intervensi yang tepat dan efektif secara budaya. Ada 4 komponen
yang menjadikan seorang pekerja sosial itu disebut berkompeten dalam kompetensi
budaya.
Pertama, pekerja sosial yang kompeten secara budaya adalah seseorang yang secara
aktif menerapkan asumsi mereka sendiri tentang perilaku manusia, nilai-nilai, prasangka,
prasangka, dan batas-batas pribadi. Kedua, pekerja sosial yang kompeten secara budaya
adalah orang-orang yang aktif ,maksudnya kita berusaha memahami pandangan dunia klien
kita yang beragam secara budaya, termasuk bias, nilai, dan asumsi tentang perilaku
manusia. Ketiga, pekerja sosial yang kompeten secara budaya bekerja dengan klien yang
beragam secara budaya untuk mengembangkan dan secara aktif mempraktikkan strategi

21
Bertha Sri Eko Murtiningsih. KOMPETENSI BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL KULTUR JAWA DALAM
KOMUNIKASI POLITIK JOKOWI. (Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara). hlm. 448.

14
dan keterampilan intervensi yang tepat, relevan, dan sensitif. Keempat, pekerja sosial yang
kompeten secara budaya memahami bagaimana konteks sosial politik dan kekuatan
organisasional dan institusional dapat mendorong atau menghambat pengembangan
kompetensi budaya. Keempat tujuan ini memperjelas bahwa kompetensi budaya adalah
proses yang positif, berkembang, dan berkelanjutan yang lebih diinginkan daripada yang
dapat dicapai.22
Dalam praktik pekerjaan sosial, banyak konsep yang melekat dengannya. Salah
satunya adalah konsep kompetensi budaya. Para pekerja sosial pun telah
mengimplementasikan kompetensi budaya yang dimilikinya dalam praktek pekerjaan
sosial karena situasi klien yang makin beragam.
Dalam praktek pekerjaan sosial, kompetensi tentang budaya, kompetensi tentang
budaya dan sensitivitas etnis telah lama dimasukkan dalam literatur dan kurikulum
pekerjaan sosial. Selain itu, seorang pekerja sosial dapat memahami bahwa kelompok yang
menjadi sasaran pekerjaan sosial berhak untuk mengekspresikan identitas mereka sendiri
tanpa dipengaruhi oleh budaya atau nilai baru yang dibawa oleh para pekerja sosial.
Kompetensi budaya seorang pekerja sosial tidak lepas dari peran organisasi dimana
pekerja sosial tersebut berada. Praktek tersebut untuk melatih seorang pekerja sosial untuk
peka dan belajar menghargai perbedaan yang ada. Dimensi yang pertama adalah kesadaran
dan sensivitas terhadap perbedaan antara nilai-nilai yang dibawa oleh seorang pekerja
sosial dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh klien. Dimensi yang kedua adalah pengetahuan
tentang lingkungan praktek, metode-metode pertolongan dan budaya dari klien.
National Association of Social Workers (NASW), sebuah organisasi pekerja sosial
profesional di Amerika Serikat, telah mengeluarkan standar-standar bagi kompetensi
budaya dalam praktek pekerjaan sosial. Dalam menghadapi situasi lapangan yang beragam
dari berbagai aspek, sudah seharusnya seorang pekerja sosial dibekali dengan kompetensi
budaya.
Di antara berbagai kriteria yang ada, ada dua yang berkaitan dengan situasi
pluralisme dan keragaman di Indonesia. Yang pertama adalah pengetahuan lintas budaya.
Singkatnya, pekerja sosial perlu memiliki dan mengembangkan pengetahuan dan
pemahaman lintas budaya. Pengetahuan ini mencakup sejarah, tradisi, nilai, sistem
keluarga, dan representasi artistik ras dan etnis. Selain kelompok imigran atau pengungsi,

22
Derald W. S., Mikal N. R., & Janish M. R. Multicultural social work practice: A competency-based approach
to diversity and social justice, (New Jersey: John Wiley & Sons, 2015), hlm. 67.

15
kelompok etnis, orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, kelas sosial, dan
kemampuan mental dan fisik masing-masing kelompok budaya.
Dalam konteks praktik pekerjaan sosial di Indonesia, kompetensi budaya relevan
dengan apa yang dibahas dan diimplementasikan oleh pekerja sosial. Pekerjaan sosial yang
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang beragam dan beragam, membutuhkan
kompetensi budaya yang baik dan sesuai. Dengan demikian pekerja sosial dapat memiliki
pengetahuan dasar tentang bagaimana menghadapi karakteristik budaya yang berbeda dan
nilai-nilai yang dikandungnya.
Dalam konteks regulasi, kompetensi budaya di Indonesia telah dimuat dalam
Peraturan Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Pekerja
Sosial. Di dalamnya secara eksplisit dinyatakan bahwa salah satu sikap yang dibutuhkan
oleh seorang pekerja sosial adalah menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,
agama, dan kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain.
Di bidang pendidikan pekerjaan sosial, kompetensi budaya telah banyak dibahas
dalam kurikulum pendidikan pekerjaan sosial, namun belum disusun secara sistematis
sebagai pedoman bagi pekerja sosial profesional di Indonesia. kompetensi budaya,
terutama dalam konteks yang beragam dan beragam di Indonesia.23

2.4 PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL MULTIKULTURAL


A. Definisi
Pekerjaan sosial merupakan profesi memberi bantuan untuk menyelesaikan
permasalahan, pemberdayaan, dan pendorong perubahan sosial dalam interaksi
manusia dan lingkungannya baik dalam tingkat individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat guna meningkatkan kesejahteraannya. Teori mengenai perilaku manusia
dan lingkungan sosial serta prinsip hak asasi manusia dan keadilan dengan
memperhatikan aspek budaya masyarakat Indonesia merupakan dasar dari intervensi
pekerjaan sosial.24
Praktik pekerjaan sosial multikultural dapat diartikan sebagai peran membantu
dengan proses menggunakan modalitas dan tujuan yang konsisten dengan pengalaman
hidup dan budaya klien, mengakui identitas klien baik dalam dimensi eksistensi sebagai

23
Marcelino Vincentius Poluakan, dkk. “KOMPETENSI KULTURAL DALAM PEKERJAAN SOSIAL PASCA
BENCANA”. Social Work Jurnal .Vol, 9 No, 1(2019). 31-32.
24
Siti Napsiyah. A. Praktek Pekerjaan Sosial Bagi “Stigmatized Group”: Upaya Mewujudkan Keserasian Sosial
Berbasis HAM dan Pendidikan Multikultural. Share: Social Work Journal, 6(2), 168, 2016, hlm. 177

16
individu, kelompok, dan universal. Dalam menjalankan praktiknya menangani
permasalahan klien dianjurkan dengan menggunakan strategi dan peran khusus
universal dan budaya, serta menyeimbangkan individualisme dan kolektivisme dalam
menilai, mendiagnosis, mengobati, dan memecahkan masalah dengan klien juga sistem
klien.
Pengertian di atas secara lebih detailnya sebagai berikut:
1. Peran dan proses membantu. Dalam praktik pekerja sosial multikultural melibatkan
berbagai peran pekerja sosial dan memperluas berbagai keterampilan dalam
memecahkan masalah yang bermanfaat dan tepat. Praktik pekerjaan sosial
multikultural mencakup peran praktik generalis yang luas seperti penasihat,
penyelenggara, dan advokat atas nama klien yang berbeda serta semuanya
merupakan pusat dari praktik pekerjaan sosial yang efektif, sehingga tidak hanya
mencakup peran klinis tradisional. Oleh karena itu, peran pendidik, advokat,
manajer kasus, penyelenggara, fasilitator, perantara antar komunitas, dan lain-lain
merupakan peran vital bagi praktik pekerjaan sosial multikultural.
2. Konsistensi dengan pengalaman hidup dan nilai budaya klien. Praktik dengan
menggunakan modalitas dan menentukan tujuan untuk klien yang memiliki budaya
beragam dengan latar belakang mereka baik dalam hal ras, etnis, jenis kelamin, dan
orientasi seksual.
3. Dimensi eksistensi individu, kelompok, dan universal. Pekerjaan sosial
multikultural mengakui keberadaan dan identitas individu (yang unik), kelompok,
dan universal. Penanganan atau segala bentuk bantuan yang tidak mengenali
totalitas dimensi ini, maka telah melewati aspek penting dari identitas budaya
seseorang.
4. Strategi universal dan khusus budaya. Pekerja sosial multikultural meyakini bahwa
kelompok yang termarginalkan karena ras atau etnis yang berbeda di masyarakat
serta sosio demografis lain dapat merespon strategi bantuan khusus budaya dengan
baik.
5. Individualisme dan kolektivisme. Dalam menangani atau membantu klien, pekerja
sosial multikultural menyeimbangkan antara pendekatan individualistis dengan
pendekatan kolektivistik yang mengikat klien dalam keluarga, hubungan dengan
orang lain, komunitas, dan budaya. Seorang klien tidak hanya sebagai seorang
individu tetapi juga individu yang menjadi bagian dari produk konteks sosial dan
budayanya.

17
6. Klien dan sistem klien. Pekerjaan sosial multikultural mengasumsikan terdapat dua
fokus dalam membantu klien. Fokus pada klien sebagai seorang individu dan
mendorong mereka berwawasan dan mempelajari perilaku fungsional serta adaptif
yang sangat penting. Namun, ketika masalah yang dihadapi seorang individu atau
misalnya orang kulit berwarna berada dalam prasangka, dalam diskriminasi, dalam
seksisme, heteroseksisme, rasisme, atau dalam kebijakan organisasi di sekolah,
lembaga kesehatan mental, lembaga pemerintah dan masyarakat, peran terapi
tradisional tidak efektif. Fokus selanjutnya yaitu perubahan harus beralih mengubah
sistem klien, tidak lagi hanya bekerja dengan klien individu itu saja. Inti dari prinsip
panduannya yaitu keadilan sosial serta akses dan kesempatan sama bagi semua
kelompok.25

B. Tantangan Multikultural dalam Praktik Pekerjaan Sosial


Pekerja sosial ditantang untuk melayani individu, keluarga, dan komunitas yang
kompleks secara budaya serta menghadapi berbagai tantangan sosial, politik, dan
ekonomi. Dalam profesi pekerjaan sosial, budaya juga merupakan sumber kekuatan
bagi individu dan komunitas. Namun, budaya juga dapat menimbulkan tantangan
dalam praktik pekerjaan sosial profesional yang menyebabkan hadirnya ketegangan
budaya antara pekerja sosial, klien, dan organisasi. Ketegangan dapat muncul dari
budaya profesi itu sendiri yang dikritik karena akar eurosentrisnya dan menghadirkan
tantangan khusus bagi pekerja sosial dari budaya non-Barat. Ketegangan juga dapat
hadir dalam konteks budaya dari lembaga dan organisasi tempat pekerja sosial bekerja
yang lebih dominan sehingga terkadang berbenturan dengan budaya pekerja sosial.
Pekerja sosial dapat melihat dan menangani masalah klien dari perspektif
budaya mereka sendiri. Oleh karena itu, seorang pekerja sosial dapat melakukan
kesalahan karena menggunakan pandangan budaya mereka pada klien. Pekerja sosial
berkomitmen untuk melayani populasi yang hilang haknya dan mempromosikan
keadilan sosial ekonomi serta menempatkan pekerja sosial dalam posisi unik yang
melibatkan perbedaan dan keragaman dalam praktik. Seiring dengan perubahan
demografi dan lanskap sosio politik yang terus berubah menantang pekerja sosial
untuk menyediakan layanan yang efektif bagi klien yang semakin luas jangkauannya.
Dengan banyaknya kompleksitas budaya yang menghadirkan ketegangan dalam

25
Derald W. S., Mikal N. R., & Janish M. R, Op. Cit., hlm. 78

18
praktik pekerja sosial, maka penting bagi pekerja sosial untuk memperdalam
pemahaman tentang kompetensi budaya dan berbagai dimensi identitas yang
berkontribusi pada pemahaman seseorang tentang peran budaya dalam perilaku
manusia dan lingkungan sosial, serta bagaimana kompetensi itu diimplementasikan di
berbagai domain praktik pekerjaan sosial.26

C. Peran Pekerja Sosial dalam Masyarakat Multikultural


Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki subkebudayaan
yang beragam dan sistem nilai yang disepakati oleh masyarakat kurang berkembang,
karena tidak adanya pembauran. Hal ini tentu saja dapat memicu terjadinya konflik
yang mengganggu sistem sosial. Oleh karena itu, seorang pekerja sosial yang akan
membantu masyarakat harus memiliki pengetahuan mengenai masyarakat
multikultural dan memahami beragam perannya agar dapat menyikapi keberagaman
antar masyarakat ketika menjalankan praktik. Beberapa peran pekerja sosial dalam
masyarakat multikultural yaitu:27
a. Mediator. Pekerja sosial berperan untuk menyelesaikan argumen atau perselisihan
antara individu, keluarga, kelompok, atau komunitas yang berkonflik. Seorang
mediator harus bersikap netral, agar klien memahami posisi yang dimilikinya. Di
Indonesia sendiri sering terjadi berbagai macam konflik seperti konflik antar suku
seperti konflik suku sampit di Indonesia, konflik agama, konflik perbedaan
kepentingan antara pekerja dan pengusaha atau antara masyarakat dan pengusaha.
Pekerja sosial dapat menjadi penengah atau faktor kekuatan ketiga ketika terdapat
perbedaan yang mengarah pada kekerasan fisik antar berbagai pihak dengan
menggunakan teknik dan strategi keterampilan sebagai mediator. Konflik
merupakan hal yang hanya dapat diminimalisir dan dicegah agar tidak meluas dan
meletus, sehingga harus ditangani oleh orang yang mampu mewujudkan
kedamaian dalam konflik tersebut, salah satunya yaitu pekerja sosial.
b. Educator (Pendidik). Pekerja sosial berperan memberikan informasi dan
mengajarkan keterampilan pada klien dan berbagai sistem lainnya. Salah satu
contohnya yaitu peran pekerja sosial pada kelompok yang memiliki pengalaman
diskriminasi yaitu kalangan anak terduga dan terpidana kasus terorisme sehingga

26
Ibid., hlm. 78
27
Karen K. K. Ashman & Grafton. Hull, Jr. Brooks/Cole empowerment series: Understanding generalist practice,
(Boston: Cengage Learning, 2014), hlm. 34-35.

19
mereka mendapat stigma sebagai “anak teroris” dan mengalami eksklusi sosial di
masyarakat. Pekerja sosial memberikan atau mengajarkan tentang pendidikan
multikultural (pendidikan mengenai keragaman kebudayaan untuk merefleksikan
pentingnya budaya, ras, agama, dll) kepada masyarakat dan lingkungan keluarga
agar tercipta keserasian sosial di masyarakat serta memutus benih radikalisme.28
c. Broker. Pekerja sosial berperan menghubungkan sistem klien dengan sumber daya
maupun pelayanan yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, pekerja sosial dituntut
untuk lebih peka terhadap kebutuhan klien dan memiliki informasi terhadap
pelayanan sosial yang ada di masyarakat. Pekerja sosial menghubungkan klien
yang menjadi korban diskriminasi pada pelayanan yang tersedia dan dibutuhkan
oleh mereka dengan mengupayakan kemudahan memperoleh pelayanan itu.
Seperti misalnya menghubungkan anak yang menjadi korban perundungan ke
lembaga perlindungan anak.
d. Fasilitator. Pekerja sosial berperan menjadi pemimpin atau pemandu misalnya
kelompok terapi pada tingkat mikro dan mezzo, kemudian pada level makro yaitu
bertanggung jawab bersama masyarakat untuk melakukan perubahan. Pekerja
sosial menyediakan jalur komunikasi dan menghubungkan antara aktivitas, sumber
yang ada, dan keahlian yang mereka miliki. Contoh lainnya yaitu pada kasus anak
korban perundungan, pekerja sosial sebagai fasilitator membantu meningkatkan
kemampuan anak agar dapat hidup mandiri dan meningkatkan minat anak untuk
berinteraksi agar dapat hidup bermasyarakat serta membentuk dukungan
kelompok yang sebaya untuk anak.
e. Integrator/koordinator. Pekerja sosial berperan mengintegrasikan dan
mengkoordinir orang atau klien yang beragam dengan menyatukan dan mengatur
kinerja mereka. Misalnya pekerja sosial mengoordinasikan penduduk komunitas
ketika mereka ingin mengembangkan taman lokal.
f. Advokat. Pekerja sosial berperan dengan bertindak secara langsung mewakili,
membela, berbicara atas nama klien agar klien mendapat perlindungan dan
perlakuan yang adil dalam mengakses sumber daya yang dibutuhkan. Misalnya
pada masa pandemi ini berperan membantu klien agar tetap mampu berfungsi
sosial. Pekerja sosial bekerja dengan mengawal dan memastikan kebijakan di

28
Siti Napsiyah. A, Op. Cit., hlm. 168.

20
tengah pandemi tetap berjalan, baik yang sifatnya institusional maupun yuridis
tanpa membawa dampak buruk bagi klien.

D. Perspektif Teoritis untuk Praktik Pekerjaan Sosial Multikultural


Perspektif teoritis ini akan membentuk profesi pekerja sosial untuk memahami
kompleksitas bekerja dengan populasi beragam dan untuk mencapai kompetensi
budaya. Selain itu, menjadi dasar untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan nilai yang mendasari praktik pekerjaan sosial kompeten secara budaya karena
pekerja sosial akan memahami perbedaan, keragaman, dan kekhasan perspektif
budaya juga memandang kekhasan dunia serta cara hidup; memahami penindasan,
devaluasi, dan eksploitasi yang dirasakan oleh mereka dari kelompok ras, etnis, dan
budaya yang berbeda; serta memahami realita dari populasi yang mengalami
kerentanan sosial, politik, dan ekonomi yang tidak seimbang.
1. Perspektif Sistem Ekologi
Perspektif ini memandang individu dan keluarga dalam konteks interaksi
mereka dengan berbagai lingkungan baik biologis, psikologis, sosial, dan budaya.
Dengan perspektif ini, seorang praktisi pekerja sosial multikultural dapat fokus
pada interaksi adaptif maupun maladaptif. Baik antar orang dengan orang maupun
orang dengan lingkungannya. Perspektif sistem ekologi mengakui bahwa baik
individu maupun lingkungannya terus berubah dan beradaptasi. Perspektif ini
memberikan kerangka kerja untuk menangani masalah keragaman, marginalisasi,
dan penindasan. Pekerja sosial dapat mendasarkan strategi intervensi dalam prinsip
praktik yaitu:
a. Masalah atau kesulitan hidup individu atau keluarga tidak dianggap sebagai
patologi, tetapi dipahami sebagai akibat minimnya sumber daya di lingkungan
seperti kurang dukungan sosial atau ekonomi sehingga tidak mampu
memenuhi peran sosial yang utama.
b. Strategi intervensi yang digunakan harus memanfaatkan sistem yang ada di
ruang ekologi klien seperti jaringan komunitas, keluarga, dan budayanya.
c. Fokus intervensi yaitu untuk meningkatkan keseimbangan klien dengan
lingkungan melalui sumber daya sosial, fisik, dan ekonomi di lingkungan agar
kebutuhan klien terpenuhi. Selain itu juga mempengaruhi organisasi dan
entitas pemerintah untuk mengembangkan kebijakan yang lebih responsif.
2. Perspektif Kekuatan

21
Perspektif ini mengalihkan fokus dari patologi psikologis dan sosial,
pekerja sosial multikultural harus lebih memberi perhatian pada kekuatan (sumber
daya dan aset) yang ada baik dari klien itu sendiri maupun di lingkungannya ketika
mereka berusaha untuk mengatasi tantangan hidup mereka. Dalam beberapa
kelompok budaya, ras, dan etnis yang termarginalisasi dan diskriminasi, suatu
kekuatan, kelangsungan hidup, dan ketahanan suatu kelompok tidak diakui.
Dengan perspektif kekuatan ini akan tercipta ruang dimana budaya, kompetensi
pribadi dan kelompok, serta ketahanan yang lebih memberdayakan dapat diakui.
3. Perspektif Keadilan Sosial
Perspektif keadilan sosial ini telah tercermin dalam Kode Etik Asosiasi
Pekerja Sosial Nasional (NASW) 2008 tentang mandat untuk mempromosikan
keadilan sosial. Mewajibkan pekerja sosial untuk memperjuangkan hak individu,
kelompok, dan masyarakat serta mempengaruhi kebijakan sosial. Profesi
pekerjaan sosial menentang kondisi kemiskinan, diskriminasi, distribusi sumber
daya secara tidak adil yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
serta terutama menentang bentuk ketidakadilan sosial lain yang dialami kelompok
rentan dan tertindas. Dalam ranah praktik multikultural sendiri, pekerja sosial
diamanatkan untuk peka terhadap keragaman budaya dan etnis, juga berusaha
untuk mengakhiri ketidakadilan sosial yang ada.
4. Perspektif Kritis
Praktik pekerjaan sosial multikultural harus melibatkan komitmen dalam
melakukan strategi intervensi berdasarkan pada perspektif pekerjaan sosial yang
kritis. Empat tema utama dalam model praktik pekerjaan sosial yang berorientasi
kritis yaitu berkomitmen mendampingi penduduk yang tertindas dan miskin,
pentingnya hubungan dialogis antara pekerja sosial dengan individu, komitmen
mempelajari perubahan dalam sistem yang menindas itu, dan peran sistem sosial,
ekonomi, serta politik untuk membentuk pengalaman individu dan keluarga serta
hubungan sosialnya. Pendekatan ini meminta pekerja sosial untuk memahami dan
menyadari dengan kesadaran kritis mereka tentang bagaimana ideologi sosial,
politik, dan ekonomi dapat membatasi kesadaran, agensi, identitas pekerja sosial
dan kien. Pekerja sosial dalam praktiknya menggunakan perspektif pekerjaan
sosial kritis akan terlibat untuk menentang penindasan melalui tindakan anti
penindasan dan mencari strategi pribadi maupun politik untuk menghapus
konsekuensi dari penindasan.

22
5. Perspektif Interseksionalitas
Marsiglia dan Kulis (2015) mendefinisikan interseksionalitas dalam
konteks praktik pekerjaan sosial mengacu pada pengalaman budaya manusia yang
kompleks dan multidimensi sehingga identitas individu dapat saling bersatu dan
bersinggungan. Identitas individu dapat dibentuk berdasarkan persilangan faktor-
faktor termasuk ras, etnis, jenis kelamin, kelas sosial, orientasi seksual, usia, dan
status kemampuan. Identitas ini akan memberi implikasi sosial yang penting.
Kerangka kerja interseksional mengakui bahwa identitas sosial individu bersifat
multipel, saling berkaitan, dan tertanam dalam sistem sosio politik tertentu yang
ditandai adanya ketidakadilan struktural dan sistemik. Kerangka kerja ini akan
membantu pekerja sosial multikultural untuk memahami bagaimana klien yang
beragam ini melihat dirinya sendiri dan bagaimana mereka diperlakukan oleh
orang lain. Sehingga akan membantu pekerja sosial menyadari bagaimana identitas
sosial yang beragam dan kompleks bersinggungan dan saling memperkuat satu
sama lain.29

E. Implikasi bagi Praktik Pekerjaan Sosial Multikultural


Pekerja sosial mengakui bahwa kompetensi budaya merupakan proses
pengembangan profesional yang berkelanjutan. Seorang pekerja sosial harus berusaha
mengembangkan dan meningkatkan kepekaan, pemahaman, dan keterampilan
budayanya ketika bekerja dengan kelompok budaya yang beragam.
1. Pekerja sosial harus waspada untuk menyadari bias terkait dengan kelompok
budaya yang beragam di masyarakat dan waspada untuk mencegah reaksi
emosional yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai dan gaya hidup
kelompok lain.
2. Dengan kompetensi budaya, pekerja sosial harus mampu mengenali dan
menghargai kekuatan yang ada di semua budaya. Dalam menyelesaikan masalah,
gunakan sistem pendukung alami klien seperti anggota keluarga besar, pemimpin
agama, keluarga asal, dan sumber daya komunitas lainnya.
3. Jika pekerja sosial ingin bekerja dengan keragaman klien maka pekerja sosial harus
berperan tidak hanya sebagai pekerja sosial klinis sehingga tidak mengabaikan
pentingnya intervensi pada tingkat lainnya.

29
Derald W. S., Mikal N. R., & Janish M. R., Op. Cit., hlm. 44-56.

23
4. Menyadari bahwa kebijakan, praktik, dan struktur organisasi sosial dapat menjadi
penghambat dan mencegah klien untuk mendapatkan akses dan kesempatan yang
sama. Oleh karena itu, intervensi pada sistem klien tepat untuk dilakukan.
5. Pekerja sosial menggunakan intervensi yang konsisten dengan gaya hidup dan
sistem budaya klien. Pekerja sosial juga mempertimbangkan untuk bekerja dengan
melibatkan sumber daya budaya lain yang ada dalam jaringan budaya, sosial, dan
ekologi klien.30

F. Contoh Studi Kasus Praktik Pekerja Sosial Multikultural


Sebagai seorang pekerja sosial multikultural sudah sepatutnya memahami
segala bentuk ketidakadilan yang menjadi penyebab masalah ketidaksetaraan yang
ada. Salah satu contoh masalah ketidakadilan yang telah meresap menjadi sebuah
unsur kebudayaan dan masih awet hingga saat ini yaitu adanya budaya patriarki.
Dimana perempuan berada di bawah kendali laki-laki dalam berbagai bidang. Hal ini
menimbulkan ketidaksetaraan akses dan kesempatan bagi perempuan untuk maju dan
beraktivitas dalam bidang-bidang tersebut. Diskriminasi yang lahir karena budaya
patriarki juga beragam bentuknya, mulai dari adanya stereotip (labeling negatif bahwa
perempuan itu lemah, sensitive, dan sering menangis). Adanya subordinasi, dimana
perempuan berada di posisi lebih rendah daripada laki-laki (Perempuan dianggap tidak
bisa menjadi pemimpian karena terlalu emosional dan irasional). Marginalisasi,
dimana perempuan terpinggirkan sehingga sulit bertindak (misalnya diberikan upah
rendah) serta mengalami kekerasan baik mental maupun fisik.

Dalam praktiknya pekerja sosial dapat menerapkan teori-teori sosial yang


relevan untuk memahami diskriminasi yang terjadi, memahami bagaimana suatu
dominasi berpengaruh pada perilaku manusia, dan mencari solusi dari permasalahan
diskriminasi terhadap perempuan. Pekerja sosial dapat menjalankan perannya untuk
memberdayakan perempuan baik ekonomi maupun psikisnya, seperti melakukan
konseling dan membantu mereka mengakses sumber daya yang dibutuhkan. Pekerja
sosial juga dapat melakukan pelatihan yang akan meningkatkan assertiveness individu
sehingga mereka mampu percaya diri. Selain itu, dapat menjadi coordinator untuk
membentuk kelompok dengan tujuan membantu korban diskriminasi. Sebagai enabler

30
Ibid., hlm. 80.

24
yang membantu klien mengidentifikasi masalah yang muncul setelah mengalami
diskriminasi. Memberikan pelatihan administrasi kepada perempuan agar mampu
bersaing di lembaga pelayanan sosial. Pekerja sosial juga dapat berperan sebagai
negosiator yang akan menyuarakan hak dan berdiskusi dengan pihak terlibat juga
sebagai advocator yang akan membantu klien dalam bentuk pendampingan hukum.
Dalam aspek pendidikan menjadi advocator dengan meningkatkan kesadaran guru dan
staff terkait masalah diskriminasi ini guna mendorong perubahan sistem.31

31
Sarah Apriliandra & Hetty Krisnani, Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya Budaya Patriarki
Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 3(1), 2021, 1-13.

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Praktik pekerjaan sosial, hubungannya dengan kompetensi dan keragaman sosial
untuk mewujudkan keadilan sosial adalah satu-kesatuan yang akan selalu terikat. sebab,
kompetensi merupakan sebuah kecakapan dan kaitannya dengan pekerja sosial adalah
seorang peksos harus bisa memiliki kecakapan maupun keterampilan dalam melaksanakan
praktik pekerjaan sosial serta bisa mengutamakna sikap menerima klien dengan baik
karena setiap kita dan setiap orang adalah manusia dengan keragaman berbeda-beda.
Sehingga ketika seorang pekerja sosial menerima masalah klien dan melakukan
praktiknya, diutamakan adalah proses menerima klien, toleransi dan mengharuskan peksos
untuk bisa memahami apa yang klien maksud dengan perbedaan yang ada antara klien
dengan konselor. Keragaman disini memberikan dampak baik kepada pekerja sosial agar
bisa menjunjung tinggi nilai saling menghormati dan juga bisa untuk mewujudkan
keadilan sosial di tengan keragaman serta perbedaan yang hadir diantaranya.

3.2 Saran
Tidak sedikit dari kita semua yang selalu memandang keragaman serta budaya
sebagai tolak ukur dalam menolong. Maka dari itu, makalah ini hadir untuk bisa membantu
kita lebih mamahami apa yang seharusnya dilakukan saat berhadapan dengan perbedaan
baik segi budaya, ras, agama, seks, gender, usia dan sosial-ekonomi. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk kita semua dan semoga dapat dipahami.

26
DAFTAR PUSTAKA

Apriliandra, S., & Krisnani, H. (2021). Perilaku Diskriminatif Pada Perempuan Akibat Kuatnya
Budaya Patriarki Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Konflik. Jurnal Kolaborasi
Resolusi Konflik, 3(1), 1-13.

Ariefuzzaman, S. N. (2016). Praktek Pekerjaan Sosial Bagi “Stigmatized Group”: Upaya


Mewujudkan Keserasian Sosial Berbasis HAM dan Pendidikan Multikultural. Share:
Social Work Journal, 6(2), 168.

Ahmadi, Slamet., Sulistyono. 2018. Pengaruh Kompetensi, Kepemimpinan dan Disiplin Kerja
terhadap Kinerja Pegawai di Kantor Pertahanan Kabupaten Bogor. Jurnal Management
Kewirausahaan, 15 (02).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Info Bencana: Informasi Bencana Bulanan
Teraktual. November 2018.

Dessler. Gary. 2017. Human Resource Management. England : Person Education Limited. Inc

Javadian, Reza. 2007. Social work responses to earthquake disasters: A Social Work
Intervention in Bam, Iran. International Social Work Vol. 50 (3).

Kirst-Ashman, K. K., & Hull Jr, G. H. (2014). Brooks/Cole empowerment series:


Understanding generalist practice. Cengage Learning.

Nylund, David. 2006. Critical Multiculturalism, Whiteness and Social Work: Towards a More
Radical View of Cultural Competence. Journal of Progressive Human Service Vol. 17
No. 2

Sue, D. W., Rasheed, M. N., & Rasheed, J. M. (2015). Multicultural social work practice: A
competency-based approach to diversity and social justice. John Wiley & Sons.

27

Anda mungkin juga menyukai