Anda di halaman 1dari 93

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN

KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI


DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan

Oleh

Muhammad Zainal Abidin

NIM 1110013000024

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016
ABSTRAK

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Skripsi: Kritik Sosial dalam Kumpulan


Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2016.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kehidupan masyarakat pesantren lewat tiga
cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri lewat tinjauan kritik
sosial.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan
pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra
khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui tiga tataran
yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik
terhadap pesantren.
Pada akhirnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang terdapat
dalam tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri anggapan masyarakat tentang adanya
elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat,
keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang
bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang
benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal
mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren).
Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan
yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi
segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan
segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik
dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum.
Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan
sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang
memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen. hingga mampu
menggugah minat baca siswa terutama yang berkaitan dengan pesantren serta
mengembangkan daya kritis siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik
sebuah cerpen.

Kata kunci: Kritik sosial, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri,
Pembelajaran Bahasa dan Satra Indonesia.

i
ABSTRACT

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Thesis: Social Critism In The Collection of


Lukisan Kaligrafi Short Story by A. Mustafa Bisri Implications for Indonesian
Language and Literature Learning in Senior High School. Education of
Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training,
Syarif Hidayatullah Jakarta.
This research aimed to analyze the life of people in pesantren by using three
short stories “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, and “Lukisan Kaligrafi” that included in
short story of LukisanKaligrafis’ collection by A. MustofaBisri in considering of
social critic.
Finally, this research can be concluded that social critic including in three
short stories by A. Mustofa Bisri is people perspective about some shaper elements in
pesantren environment, such as heir daily activities covering in education institution
that move just in the religious side. The last, that perspective composesthe opinion
that pesantren as monotonous education institution. In literary teaching or learning,
the things who need to be developed is that the thing who concerned sense;
reasoning; affective, social, and religious.
This Lukisan Kaligrafi short story collection by A. Mustofa Bisri can be
learned as literary education in the shool. At the time that discuss about
understanding literary discourse through reading short story activity, until the student
can understand about how to reading literature, especially literature that relating to
the pesantren.

Keyword: Social critic, short story of Lukisan Kaligrafi collection, A. Mustofa Bisri,
Indonesian language learning and literature.

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah


memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Salawat dan salam semoga selalu tercurak kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan


cerpe Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis banyak memerlukan
bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan
mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar
sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih pada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa
mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi
bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan
6. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas A Ahmad Fahrudin,
Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti
Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas
Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan,
Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang

iii
Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur,
Fahrudin Muallim, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat
Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza
Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana,
dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi
arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang
Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit
Purnomo, Zakky Ramdhani Muslim, Dede Sunarya, Lintang
Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak
kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan
semangat kepada penulis.
7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah
putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian
semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam
pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukannya.

Jakarta, 14 September 2016

Penulis
Muhammad Zainal Abidin

iv
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Persetujuan Pembimbing

Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

ABSTRAK ...................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 3
C. Batasan Masalah............................................................................ 3
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 4
E. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
F. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
G. Metode Penelitian.......................................................................... 5
1. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 5
2. Jenis Penelitian......................................................................... 6
3. Prosedur Penelitian .................................................................. 6
4. Teknik Penulisan ...................................................................... 7
5. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 7
6. Sumber Data ............................................................................. 7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial ................................................................ 9


B. Pesantren ....................................................................................... 10
1. Pengertian Pesantren
2. Ciri-Ciri Pesantren
C. Pengertian Kiai .............................................................................. 12
D. Cerita Pendek ................................................................................ 13

v
1. Pengertian Cerita Pendek
2. Ciri-Ciri Cerita Pendek
3. Unsur Cerita Pendek
E. Pendekatan Mimetik...................................................................... 24
F. Pembelajaran Sastra ...................................................................... 25
G. Penelitian yang Relevan ................................................................ 26

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG A. MUSTOFA BISRI

A. Biografi A. Mustofa Bisri ............................................................. 28


B. Karya-Karya A. Mustofa Bisri ...................................................... 30
C. Pandangan A. Mustofa Bisri Sebagai Sastrawan .......................... 31

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik ............................................................... 35


B. Analisis Kritik Sosial .................................................................... 53
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...................... 62

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ....................................................................................... 64
B. Saran .............................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang digunakan dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Setiap karya sastra
selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan
banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya.
Oleh karena itu cerpen sebagai karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang
dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar.
Oleh karena itu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan
agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya
sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Sebab pada umumnya masyarakat saat
ini cenderung menilai bahwa cerpen sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal
cerpen merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan
komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan
nilai-nilai dalam cerpen tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan
pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.
Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa.
Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan
konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan.
Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.

Salah satu sastrawan yang mengunakan cerpen sebagai alat untuk


mengungkapkan kritik suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya
adalah A. Mustofa Bisri. Ia adalah seorang kiai yang berjiwa seniman atau seniman
yang merangkap kiai. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen-

1
2

cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa‟ cerpen-
cerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam
sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui
cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap
masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan
cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa
cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang
lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang
terdapat dalam buku kumpulan cerpennya.
Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau
fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan
di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa
mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut,
karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan
yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk
masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau
menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan.
Dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia nilai ekstrinsik mencakup
beberapa nilai dalam kehidupan, seperti nilai sosial, agama, budaya dan politik.
Minimnya pembelajaran agama di sekolah karena porsi jam pelajaran agama yang
hanya mendapat waktu belajar 2x45 menit dalam satu minggu sehingga dirasa masih
sedikit dibandingkan dengan pelajaran ilmu umum lainnya terutama bahasa Indonesia
yang mendapat waktu lebih banyak 4x45 menit dalam seminggu maka salah satu
siasat guru bahasa dan sastra indonesia untuk memberikan pengetahuan agama
kepada siswa dengan cara mengajarkan untuk mencari nilai-nilai agama atau
ekstrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
3

Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu
diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia Di SMA.

B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang
kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia.

2. Kurangnya implikasi mengenai kritik sosial yang membahas tentang


kehidupan di dalam pesantren dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran di SMA.

3. Kurangnya pemahaman siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik


dalam sebuah karya sastra.

4. Kurangnya pembelajaran agama di sekolah.

C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul


dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar
objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam, karena terlalu banyak cerpen yang
terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi maka penulis membatasi
penelitian pada tiga cerpen yang dirujuk, yaitu: “Cerpen Gus Jakfar”, “Gus Muslih”
dan “Lukisan Kaligrafi”. Penulis menganggap ketiga cerpen tersebut mampu menjadi
4

bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan
cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu,
penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:
1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di
Indonesia
2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian


seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana kritik sosial kehidupan pesantren dalam tiga cerpen “Gus
Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri?
2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah


sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kritik sosial di pesantren dalam dalam tiga cerpen “Gus
Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri.
2. Mendeskripsikan Implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI.
5

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan


manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran siswa di
lingkungan sosial menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan
ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-
nilai keduniawian.

2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya
referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di
pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra
serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan
pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan
menjadi calon pendidik
c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara
terstruktur dan mendalam

G. Metode Penelitian

1. Bentuk dan Strategi Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan
menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam
karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui
6

tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik
islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.
“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-
fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan
analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari
bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti
tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya
deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan,
dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti
dengan pemahaman dari dalam ke luar.1
Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang
mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang
ada.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain
yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan
Kaligrafi.
b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi sebagai objek penelitian dengan

1
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h.. 53.
7

fokus menemukan kritik sosial dalam dunia Pesantren yang tergambar


dalam tiga cerpen tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan.
c. Membaca ulang dengan cermat tiga cerpen A. Mustofa Bisri, Lukisan
Kaligrafi untuk menentukan hal yang dipahami sebagai kritik sosial dalam
dunia Pesantren yang terdapat dalam Tiga cerpen tersebut dan
implikasinya dalam dunia pendidikan.
d. Menandai setiap kata, kalimat dan paragraf yang mengandung kritik sosial
dalam kehidupan Pesantren.
e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan analisis kritik sosial dalam
kehidupan Pesantren.
f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan
pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.
g. Menyimpulkan hasil penelitian

4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu
cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat
kabar, dan majalah.
6. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus
2009, Lukisan Kaligrafi.
8

b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari
penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial


Kata kritik berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani berarti
“hakim”. Krinein adalah kata kerja dari krites yang berarti “menghakimi”. Kata
tersebut adalah pangkal dari kata benda criterion yang artinya “dasar
penghakiman”. Istilah itu lalu berkembang hingga memunculkan istilah kritikos
atau “hakim karya sastra”.1 Sedangkan kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) ialah, “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian
dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan
sebagainya.”2 Sedangkan kata sosial bermakna, “berkenaan dengan masyarakat,
suka memerhatikan kepentingan umum."3
Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang
bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai
bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan. Menurut
Akhnad Zaini Akbar, kritik sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam
masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem
sosial atau proses bermasyarakat. Zaini juga mengatakan bahwa pelbagai tindakan
sosial ataupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari
maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain kritik
sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan
reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.4
Sementara itu Moh. Mahfud MD mengartikan kritik sosial sebagai sesuatu
yang mendasar di dalam kehidupan masyarakat, sebab masyarakat terus berubah
atau berkembang sehingga diperlukan semacam situasi dan perilaku ideal (ideal
conduct) yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu.

1
Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3
— 1.4.
2
http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015.
3
Ibid.
4
Moh Mahfud MD dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII
Press,1997), h. 47.

9
10

Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab
ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di
sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati
bersama.”5 Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap
persoalan yang dikembalikan terhadap

B. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pesantren berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran
“an” yang mempunya arti asrama tempat santri atau tempat murid belajar
mengaji. Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang
beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6
Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal
dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama
Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci,
buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7
Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa
dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana pergi.8
Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan
untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang
berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji,
belajar agama Islam).9

5
Ibid., h. 71.
6
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
h. 878.
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41.
8
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 19-20.
9
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 781.
11

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar


perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak
hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous)
Indonesia; sebab lembaga yang serupa, sudah terdapat pada masa kekuasaan
Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.10
Pesantren secara terminologi didefinisikan sebagai lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.11
2. Ciri Pesantren
Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut
sebagai pesantren yaitu adanya pondok, masjid, kiyai, santri, dan pengkajian
kitab Islam klasik (kitab kuning).12
Sedangkan Kafwari sebagaimana dikutip oleh Tafsir telah
mengidentifikasikan pesantren dan membagi pesantren menjadi empat pola
yaitu:
a. Pola satu, yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen
yang berupa masjid dan rumah kiyai.pesantren ini masih
sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk
tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya
namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan
sistematik.
b. Pola dua, yaitu sama dengan pola satu ditambah dengan pondok
bagi santri.
c. Pola tiga, yaitu sama dengan pola dua ditambah dengan adanya
madrasah dan ditambah dengan pengajaran kitab kuning klasik.
d. Pola empat, yaitu pesantren pola tiga ditambah dengan adanya
keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah,
lading, dan sebagainya.13

10
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta:
P3M, 1987), h. 5.
11
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.
12
Dhofier, Op.Cit., h. 44.
13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Rosda Karya, 1992),
h. 193.
12

C. Pengertian Kiai
Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial
bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik,
dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok
pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu
pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda, yaitu:
1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat,
misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan
Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan
kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga
sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).14
Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam,
seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang
tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15
Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus”
yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar
menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk
seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama
julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16
Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras
melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta
menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai,
14
Dhofier, Op. Cit., h. 93.
15
Dhofier, Op. Cit., h. 94.
16
KBBI edisi kedua, h. 377.
13

sebaiknya mereka sesalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui


kiai.17
Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader
yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan
pesantren berada di tangan kiai, terkhusus yang berkaitan dengan pembentukan
suasana kepesantrenan.

D. Cerita Pendek

1. Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)

Pengertian cerpen telah dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra,

sastrawan. Di bawah ini ada beberapa pengertian cerita pendek yang

dikemukakan oleh pakar sastra.

H.B. Jassin mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang


pendek. Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerpen ini orang
boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu
tidak bisa disebut cerpen dan memang tidak ada cerpen yang sedemikian
panjangnya. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih
bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu
halaman.18
Pengertian cerpen selanjutnya dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini
di dalam buku mereka Apresiasi Kesustraan. Mereka berpendapat bahwa
cerpen adalah cerita pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang
pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah
sebuah cerpen.19
Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerpen di dalam bukunya
Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerpen adalah

17
Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h.
436.
18
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2,
h. 50.
19
Ibid.
14

diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya
memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran
Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.
Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan
Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan
Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia
terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena
konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain
mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak
panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan
memberi kesan tunggal.
Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah
cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam
aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya
yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang
sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan
jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang
ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali
membacanya kita tak akan mudah lupa.20
Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho
Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen
sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen,
selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa
dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi
ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena
peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif
sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21 Satu yang terpenting, cerita

20
Ibid., h. 51.
21
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 126.
15

pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih
sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22
Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan
Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari
Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang
tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang
sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan
pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya

2. Ciri Cerita Pendek (Cerpen)


Cerpen memiliki ciri utama yaitu singkat, padu, intensif. Di samping
ciri tersebut, ciri lainnya adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan
kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang
sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun
cerpen adalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa
yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat
terjadi semacam itu. Pembaca cerita rekaan bukan sekadar membacar kisah
lamunan. Membaca karena cerpen menunjukkan suatu sisi kenyataan.
Pembacanya menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasi diri dengan
tokoh cerita rekaan sehingga ikut mengalami peristiwa yang dihadapinya.
Perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusannya, dilema-
lemanya, dan sebagainya. 23
Ciri selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah
pancandraan (deskripsi) argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi
cerita. Tidak setiap cerita disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa
(penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga
berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada
dan telah terjadi.24

22
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76
23
Purba, Op. Cit., h. 52.
24
Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia,
1986), h. 37.
16

3. Unsur Cerita Pendek


Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel,
novelet, dan cerpen karena tidak ada penelitian yang mendukung pembedaan
beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya
dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun
tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan
bahasa dan lukisannya.25
Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi menjadi dua yaitu:
(1) cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerita yang mengandung nilai
sastra (moral, etika, dan estetika); (2) cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu
cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera
pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.26
Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah peristiwa, yaitu suatu
kejadian yang di dalamnya ada hubungan antara tokoh, alur, dan setting.
Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis
yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal,
dimana tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan
keadaan; dan peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan
hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu
tertentu. Baik peristiwa dialogis dan monologis selalu ada dalam sebuah
cerpen.27
Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa
pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang
sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas: tokoh,
setting, dan alur. Dengan demikian, ketiganya adalah pembangun cerita yang
konkret (fact) yaitu suatu fakta-fakta konkret yang eksplisit membangun

25
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140.
26
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS,
2006), cet. 2, h. 37.
27
Heru Kurniawan dan Sutardi, Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), h. 61.
17

cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut
dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat,
suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28

a. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra.29 Unsur-unsurnya antara lain: biografi
pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi
pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.

b. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah
karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan
atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang
membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah tema, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau
amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.
1). Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30 Stanton
dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa
tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah
cerita.31 Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca
sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang
berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta
hidup dan kehidupan.32 Dengan demikian, untuk menentukan

28
Ibid.
29
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), cet. 5, h. 23
30
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
31
Burhan, Op. Cit., h. 67.
32
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
18

tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga


dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan menentukan tema
dengan tepat.

2). Tokoh dan Penokohan


Yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku atau
subjek lirik dalam karya sastra.33 Aminuddin dalam Siswanto,
tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan
cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.34
Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada
orangnya, pelaku cerpen. Sedangkan penokohan artinya
karakter dan perwatakan— menunjuk pada penempatan tokoh-
tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah
cerita.35
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh
dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan
ditampilkan terus-menerus dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh)
yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita.
Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central
character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh
tambahan (peripheral character).36 Hampir sependapat dengan
Burhan menurut Sudjiman dalam Priyatni, berdasarkan
fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh
bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang
memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat
tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan
adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat

33
Priyatni, Op. Cit., h. 110.
34
Siswanto, Op. Cit., h. 142.
35
Burhan, Op. Cit., h. 165.
36
Ibid., h.176.
19

cerita lebih hidup.37 Dalam sebuah cerita tidak hanya


memunculkan satu tokoh saja, pastinya ada tokoh tambahan di
samping tokoh utama agar cerita lebih hidup dengan kehadiran
tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, setiap tokoh dalam karya
fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak
yang berbeda, sehingga cerita akan lebih menarik dengan
perbedaan watak yang digambarkan di dalam cerita. Hubungan
tokoh dengan dengan unsur cerita yang lain, seperti hubungan
tokoh dan latar merupakan dua unsur rekaan yang erat
berhubungan dan tunjang-menunjang.38

3). Alur (plot)


Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para
pelaku dalam suatu cerita. Menurut Aminuddin dalam
Siswanto, membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas
pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan
penyelesaian.39
Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita
rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau
latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama,
asal, ciri fisik, dan sifatnya.
Konflik atau tikaian, ketegangan atau pertentangan
antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan
atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu
tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau

37
Priyatni, Op. Cit., 110
38
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya,
1988), h. 27.
39
Siswanto, Op. Cit., h. 159.
20

lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan


Tuhan. Ada konflik lahir dan batin.
Komplikasi atau rumitan bagian tengah alur cerita
rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian.
Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama
yang melukiskan puncak ketegangan.
Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai
klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.
Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau
drama. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka.
Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang
diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk
penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.40
Tahap-tahap alur dijelaskan sebagai urutan waktu
kejadian di dalam cerita. Namun, tidak semua cerita dimulai
dari tahap yang paling awal yaitu pengenalan. Ada pula cerita
yang dimulai dari tahap penyelesaian, hal itu disebut alur
mundur. Sedangkan tahap alur yang runtut dari pengenalan
hingga selesaian disebut alur maju. Bagi pembaca, alur atau
plot berguna untuk memahami keseluruhan isi cerita secara
runtut dan jelas.

4. Latar (Setting)
Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah
cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin,
saat cerita itu terjadi.41 Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi
peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun
karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana

40
Ibid., h. 160.
41
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 72.
21

tertentu. Latar, tidak hanya mampu memberikan pengetahuan


tentang masyarakat tertentu, tapi juga mampu melukiskan
secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi
masyarakat tertentu.42
Menurut Abrams dalam Siswanto, latar cerita adalah
tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical
time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam
setiap episode atau bagian-bagian tempat.43
Jacob Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya
berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu
daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan
pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar
memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.44
Faktor dominan dalam latar antara lain: a) faktor tempat yaitu
gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu
terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau
desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) faktor waktu, merupakan
gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa
dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungan dengan
tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun,
atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c)
faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat.45 Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar

42
Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.
43
Siswanto, Op. Cit., h. 149.
44
Priyatni, Op. Cit., h. 112.
45
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.
22

sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya


rendah, menengah, atau atas.46
Namun, tidak semua latar bisa ditampilkan di dalam
cerpen baik itu latar waktu, tempat, atau latar sosial. Bisa jadi
dalam sebuah cerita hanya menonjolkan latar tempatnya saja,
atau latar waktu, dan bahkan latar sosial saja yang ditampilkan
pada sebuah cerita.

5). Sudut Pandang


Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat
memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu
atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide,
peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar,
pengarang dapat memilih pencerita akuan atau diaan.47
a. Sudut Pandang Orang Pertama “Aku”
Seseorang pencerita dapat dikatakan sebagai
pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita
menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya.
Sudut pandang orang pertama “aku” (tokoh utama) serba
tahu yaitu seorang narator yang bisa mengetahui semua
gerak fisik maupun psikisnya. Biasanya bertindak sebagai
tokoh utama yang serba tahu.
Tidak semua cerita menggunakan sudut pandang
orang pertama “aku” serba tahu. Ada kemungkinan
pencerita atau narator hanya mengetahui gerak-gerik fisik
dari para tokoh, hal tersebut sebagai “aku” (tokoh
tambahan).

46
Burhan, Op. Cit., h. 233-234.
47
Priyatni, Op. Cit., h. 115.
23

b. Sudut Persona Orang Ketiga “Dia”


Sudut pandang orang ketiga ini dapat
diklasifikasikan menjadi dua, “Dia” serba tahu
(menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh
berbagai tokoh dalam cerita) dan “Dia” terbatas atau
objektif (hanya terbatas mengamati pada satu tokoh).

c. Sudut Pandang Campuran


Pengarang menggunakan lebih dari satu teknik
dalam bercerita. Pengarang dapat mengubah teknik atau
berganti-ganti teknik penceritaan dalam sebuah karyanya.
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,
teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
menemukan gagasan ceritanya.48 Pemahaman pembaca
terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh kejelasan
sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam
karyanya, sehingga sudut pandang dapat menentukan
sejauh mana pemahaman pembaca terhadap sebuah karya
dan mampu memberikan penilaian terhadap karya tersebut.

8). Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.49 Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika
menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan
bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan
dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern
amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.

48
Burhan, Op. Cit., h. 248.
49
Ibid., h. 162.
24

E. Pendekatan Mimetik
Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf
besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya
sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut
dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato
berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan
dan ide. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru
membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni
merupakan aktivitas manusia.50
Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan.
Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh
Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni
dan sastra di Eropa.
Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis
merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya
ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra
Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan
alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis
dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila
kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra
memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan
ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis.
Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan
pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya
seni.51
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia)
dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial
50
Yudiono K.S, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31.
51
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), cet. III, h. 69-70.
25

suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung
antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul
pada unsur-unsur karya sastra.52

F. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra di sekolah sangat penting keberadaannya. Pendidikan
sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk
langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara
langsung. Dalam pembelajaran sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk
memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya
sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi diajak untuk mengembangkan
sikap positif terhadap karya sastra. Hal tersebut akan mengembangkan
kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.53
Pembelajaran sastra di sekolah akan membantu meningkatkan
pengetahuan tentang sastra kepada peserta didik. Dari pembelajaran sastra, peserta
didik bisa menafsirkan karya-karya terbaik dari banyak sastrawan dan memahami
karya tersebut, bahkan tidak hanya karyanya tetapi mengetahui kehidupan
sastrawannya. Kemudian, dapat memperoleh pesan-pesan sehingga memberikan
pelajaran yang positif di kehidupan peserta didik. Dalam hal pengajaran sastra
atau pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan
yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang
bersifat sosial; serta ditambah lagi yang bersifat religius.54
Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat
diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang
membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen
(silabus dan RPP terlampir).

52
Siswanto., Op. Cit., h. 189.
53
Ibid., h. 168-169.
54
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 19 .
26

G. Hasil Penelitian yang Relevan


Penelitian yang relevan berarti mencari persamaan atau perbedaan antara
penelitian yang sedang dibuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya atau
terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan penelitian satu dengan
yang lainnya dan menghindari duplikasi dalam penelitian. Maka dari itu, perlu
adanya beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui tinjauan hasil
penelitian sebelumnya. di bawah ini ada tiga skripsi yang membahas karya-karya
Gus Mus.
Pertama berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi
Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut
hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi
puisi Tadarus. Dalam skripsinya penulis menjelaskan berbagai hal yang
berkenaan dengan unsur profetik, baik berupa bentuk atau tipografi atau melalui
bahasa yang digunakan dalam karya tersebut.

Kedua, skripsi yang berjudul Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk
Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014),
program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
tersebut hanya dibatasi pada dua puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi “Kalau
Kau Sibuk Kapan Kau Sempat dan Saling”, serta implikasi kedua puisi tersebut
dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
Ketiga skripsi yang membahas kumpulan cerpen-cerpen Gus Mus. Skripsi
ini ditulis oleh Nanik Widayati, mahasiswi Fakultas Tarbiyah, IAIN
Walisongo, Semarang tahun 2006. Dalam skripsi yang berjudul "Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya KH. A.
Mustofa Bisri," Nanik Widayati meneliti hubungan karya sastra dengan nilai-nilai
pendidikan akhlak. Dalam penelitiannya penulis memaparkan berapa contoh sikap
27

yang mampu dijadikan teladan dalam proses pendidikan antara lain sikap rendah
hati yang harus dimiliki oleh setiap orang, seperti yang ada dalam cerpen Gus
Mus yang berjudul Gus Jakfar.
Berdasarkan pengamatan penulis, maka penelitian mengenai kritik sosial
dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, ini patut untuk
dilakukan. Mengingat, dalam beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan
objek yang sama yaitu Lukisan Kaligrafi hanya mengambil nilai-nilai pendidikan,
sedangkan penulis lebih berfokus pada kritik yang hendak disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya.
BAB III
BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG

A. Biorafi Singkat A. Mustofa Bisri


K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa
Tengah, 10 Agustus 1944. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama.
Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama
kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin,
Rembang, Jawa Tengah.1
Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut
prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat
sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan
jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren
Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah
lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H.
Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian kembali ke Rembang untuk mengaji
langsung di bawah asuhan ayahnya.2
K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling
banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan
kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964,
Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil
jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan
dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum).
Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai
yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan
ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama
1
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009)
2
Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indeks.html di akses pada
24 November 2015.

28
29

dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai


prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia
selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur
mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar
NU ke-31 itu. Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak,
enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad
Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri
di sana.3
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren
Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya,
Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi.
Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap
kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar.
Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop,
ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat,
menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya
ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. sebagian besar
kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-indahkan, kata Jim Supangkat,
memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran
lukisan. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan
pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang
berjudul Berdzikir Bersama Inul.4
A. Mustofa Bisri pernah terjun di gelanggang politik praktis, ia menjadi
anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992 dari Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Setelah itu, ia menolak dicalonkan lagi sebagai anggota DPRD dengan
argumennya “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering kali terjadi pertikaian

3
Ibid.
4
Ibid.
30

dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak
dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah.”5
A. Mustofa Bisri yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis
kemudian lebih banyak berkiprah sebagai „kutu buku‟ dan penulis. Tulisan A.
Mustofa Bisri yang berupa esai, cerpen dan puisi banyak dimuat di berbagai media
massa, seperti: Intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR Horison, Jawa Post,
Tempo, Gatra, Forum,Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas dan
Bernas. Adakalanya tulisan-tulisan A. Mustofa Bisri di surat kabar tersebut
mengandung kritik. Namun demikian, A. Mustofa Bisri berharap tidak menyakitkan
hati, melainkan kritiknya diharap mampu menembus relung-relung jiwa yang berbuah
penyadaran.
A. Mustofa Bisri mengakui, perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi
pandangan gurunya, KH Ali Maksum dan KH Bisri Mustofa, ayahnya. Keduanya
memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat seni.
Ketika mondok di pesantren Krapyak, di masa itulah A. Mustofa Bisri mengaku
sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Di antaranya bertandang ke rumah
Affandi, untuk melihat bagaimana sang maestro lukis. Maka tak mengherankan jika
setiap kali ada waktu luang, sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil
spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan
tak pernah serius,” kata A. Mustofa Bisri, perokok berat yang sehari-hari
menghabiskan dua setengah bungkus rokok.”6

B. Karya-karya A. Mustofa Bisri


A Mustofa Bisri telah menghasilkan sejumlah karya tulis, seperti Ensiklopedi
Ijma (terjemahan bersma K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta);
Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya); Awas Manusia dan Nyamuk yang

5
Priyo B. Sumbogo, Heddy Lugito dan Hidayat Tantan, Kiai Klelet dari Rembang, dalam
Gatra, IV Januari, 1998, h.104.
6
Ibid.
31

perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta); Mutiara-mutiara


Benjol (Lembaga studi Filsafat, Yogya); Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Al-
Huda, Temanggung); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung);
Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti, Surabaya);
Al-Muna, Terjemahan Syair Asmahul Husna (Al-Miftah Surabaya); Fikih
Keseharian, Bungga Rampai Masalah-masalah keberagamaan (Yayasan Pendidikan
Al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya); Canda Nabi & Tawa Sufi, (Hikmah,
Jakarta); dan Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogya).
Selain karya-karya di atas, A. Mustofa Bisri juga telah menulis delapan
kumpulan sajak dan sebuah kumpulan cerpen, yaitu Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem
(Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Pahlawan dan
Tikus, (Pustaka Firdaus, Jakarta); Rubaiyat Angin dan Rumput (diterbitkan atas kerja
sama majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakarta); Wekwekwek (risalah
Gusti, Surabaya); Gelap berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak
Cinta (Al-Ibriz, rembang); Negeri Daging (Bentang, Yogya); dan Lukisan Kaligrafi
(kumpulan cerita pendek, penerbit buku Kompas, Jakarta)

C. Pandangan Mustofa Bisri sebagai Sastrawan


A. Mustofa Bisri sebagai seorang penyair santri memiliki kekhasan dalam
karyanya, antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan
menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapkan yang lugas. Bahasa yang
digunakan cukup wajar dan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu sebenarnya
terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity
(kesederhanaan yang menipu). Hal ini juga diungkapkan oleh Umar Kayam pada
pengantar kumpulan puisi Tadarus bahwa Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan
pendamba kearifan” dan “penjaga taman kata-kata”, melainkan ia sudah
menggengam kearifan dan indahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak
Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah
32

sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi,
padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.7
A. Mustofa Bisri muncul pertama kalinya untuk membacakan puisi pada
tahun 1987 pada acara “Mubalig Baca Puisi” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Ketika itu ia membacakan sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa
Saja” yang kemudian dihimpun dalam buku puisi pertamanya, Ohoi.8
Berikut kutipan dari dua bait pertama sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa
Boleh Apa Saja”

Merdeka!
Ohoi, Ucapkanlah lagi pelan-pelan
Merdeka
Kau „kan tahu nikmatnya nyanyian kebebasan…
Nyanyian kebebasan
Ohoi,
Lelaki boleh genit bermanja-manja
Wanita boleh sengit bermain bola…
Anak muda boleh berkhutbah di mana-mana
Orang tua boleh berpacaran di mana saja

A. Mustofa Bisri lebih dikenal dengan “puisi balsemnya”. Menurut sastrawan


yang gemar memakai kopiah ini, puisi balsemnya lahir sebagai bentuk ketidakpuasan
karena ia merasa masih adanya jarak antara seniman dan masyarakat. Sajak-sajak A.
Mustofa Bisri memang cukup ampuh “menyembuhkan” sebagaimana balsam yang
yang terasa panas sepintas, namun selebihnya mengobati „si sakit hati,‟ bahkan „si
sakit jiwa‟.9 Sajak-sajak A. Mustofa Bisri yang terkumpul dalam buku Ohoi pernah
masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Namun, A. Mustofa Bisri malah

7
Ida Nur Chasnah, M. Hum, Ekspresi Sosial Sajak-sajak KH. A. Mustofa Bisri, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005), h. 4-5.
8
Abdul Wachid B.S, K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi, dalam Pikiran Rakyat, 29 Oktober
2005.
9
Ibid.
33

bersyukur kalau akhirnya puisinya tidak mendapatkan penghargaan tersebut. A.


Mustofa Bisri merasa masih banyak penyair yang lebih baik dibandingkan dirinya.
Selain menjadi penyair, A. Mustofa Bisri adalah seorang penulis cerpen yang
handal, banyak cerita ditujukan untuk mengkritik lingkungan sekitar. Meski terbilang
baru sebagai seorang penulis cerpen, A. Mustofa Bisri boleh dikatakan baru
menerbitkan cerpennya di tahun 2002. Cerpen pertama A. Mustofa Bisri berjudul
“Gus Jakfar.” Menurut A. Mustofa Bisri cerpen tersebut lahir karena diprovokasi oleh
Danarto.10 Pada tahun 2003, cerpen “Gus Jakfar” A. Mustofa Bisri terpilih sebagai
cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Kemudian, pada tahun 2005, kumpulan cerpen
Lukisan Kaligrafi A. Mustofa Bisri menerima Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia
Tenggara) dari pemerintahan Malaysia. Buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
memuat 15 cerpen karyanya.
Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri memang berhubungan dengan
kehidupan masyarakat pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut
dapat dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Hal ini
pun diakui A. Mustofa Bisri bahwa hampir semua cerpennya bertema pesantren.
Dalam artikelnya, Achmad Muchlis Ar menyatakan kumpulan cerpen A. Mustofa
Bisri mengangkat budaya kehidupan masyarakat pesantren di jawa.
Berdasarkan pengamatan Muchlis AR, Analogi cerpen A. Mustofa Bisri telah
menghadirkan antologi cerpen yang cukup bernilai bagi sastra Indonesia, yakni
Lukisan Kaligrafi. Cerpen-cerpen dalam buku ini umumnya mengambil latar
pesantren dengan segala tradisi dan budayanya. Kecerdasan A. Mustofa Bisri
mengolah cerpennya terletak pada penyusunan narasi untuk membangun plot dengan
konflik yang halus namun memikat, sehingga pembaca takkan merasa tiba-tiba
cerpen yang dibacanya selesai karena mereka larut dan masuk ke dalam teks
tersebut.11.

10
Sohirin, Puisi Itu Tradisi Pesantren, dalam Tempo, 18 Desember 2005.
11
Ibid.
34

Idiom-idiom estetika A. Mustofa Bisri menjadi khas karena muncul dari


intuisi dan obsesinya terhadap objek yang sangat dia kenal. Ia tak berpaling dari
objek dunia pesantren, dunia kesufian dan pergulatan manusia yang mencari cahaya
keilahian. Kancah perhatian cerpen-cerpennya yang berpusat pada dunia pesantren
dan keulamaan telah mewarnai diksi-siksi yang terbingkai estetika lokal, yang
membedakannya dengan cerpen-cerpen Ahmad Tohari, misalnya, dalam Senyum
Karyamin yang berlatar sosial pedesaan meski keduanya sama-sama ulama pesantren.
Rahmat H. Cahyono, cerpenis ini pun mengomentari cerpen-cerpen A.
Mustofa Bisri. Menurut Cahyono (2004), A. Mustofa Bisri memang belum banyak
menulis cerpen. Namun, membaca kumpulan cerpen pertamanya, terasa ada
kesegaran. Lebih lanjut, Cahyono memaparkan istilah „pembocoran fakta‟ yang
digunakan Seno Gumira Ajidarma untuk menyebut sastra yang „membocorkan fakta‟
yang tidak muncul di media massa. Cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, Menurut
Cahyono telah „membocorkan fakta‟ keseharian dalam komunitas pesantren atau
komunitas kiai ke dalam cerita rekaan. Cahyono juga menyebut cerpen-cerpen A.
Mustofa Bisri serumpun dengan fiksi-fiksi karya Danarto, Kuntowijoya, atau Ahmad
Tohari yang dapat disebut sebagai sastra atau fiksi profetik.
Mengenai gaya penulisan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya, Cahyono
berpendapat, “A. Mustofa Bisri berada dalam tataran realisme yang lebih sederhana,
cair dan liniear. Dalam cerpen-cerpennya, ia setia menjaga hubungan liniear antara
fiksi dan fakta yang sangat dikenalnya, yakni komunalisme kaum santri. Model
penulisan semacam ini memudahkan pembaca yang senang mencari pesan di balik
sebuah karya sastra.”12

12
Rachmat H Cahyono, Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus, Suara Pembaruan, 23 Mei
2004.
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik Kumpulan Cerpen “Lukisan Kaligrafi”

1. Tema
Cerpen “GusJakfar” bertemakan ilmu mistik, hal ini dapat diketahui melalui
keistimewaan berupa kemampuan yang dimiliki oleh beberapa tokoh diantaranya Gus
Jakfar dan Kiai Tawakkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Tapi Gus Jakfar memang luar biasa,” kata mas Bambang, pegawai pemda
yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas
saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi.”1

Melalui kutipan diatas dengan adanya dialog antara “mas bambang dengan
pencerita” menunjukan bahwa cerpen tersebut erat kaitanya dengan kiai, dimana
kemampuan kiai tersebut dianggap mistis oleh warga sekitar. Ditunjukkan denga
adanya ungkapan bahwa gus Jakfar mampu melihat tanda yang terdapat pada kening
orang yang dijumpainya. sehingga beliau mampu melihat peristiwa yang akan
menimpa orang tersebut, antara lain, kematian, jodoh dan rezeki.

Sedangkan tema yang terdapat di dalam cerpen “Gus Muslih” menceritakan


tentang kritik terhadap kebiasaan lama yang masih dianut oleh sebagian besar
masyarakat.
“Gus Muslih dianggap pembaharu, banyak hal yang sudah berjalan lama di
daerah kami dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu
yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin
ditentangnya habis-habisan.”2

1
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 2.
2
Ibid., h. 13.

35
36

Kutipan di atas menjelaskan pemikiran baru masih sulit untuk diterima oleh
orang-orang yang masih menganut dan meyakini bahwa semua kebiasaan lama
bernilai positif.
Kemudian, cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah cerpen yang bertemakan
tentang kaidah kesenian. Kaligrafi merupakan seni melukis yang mengkombinasikan
antara tulisan arab dengan makna atau arti dari tulisan tersebut. Ini terlihat dari
kutipan berikut:
“…, Hardi sama sekali tak mengenal khath Arab. Tak tahu bedanya
Naskh dan Tsuluts , Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi.
Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan,
mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya. Dia
hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan
Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas
atau kanvas. bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi,
maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat-
ayat yang bersangkutan.”3
Melalui ajakan seorang teman lamanya, Hardi. Ust Bachri bersedia mengikuti
pameran kaligrafi. yang akhirnya membuat Ust Bachri terkenal karena lukisanya
dianggap memiliki nilai seni yang tinggi, terlihat dari kutipan berikut. “begitu melihat
lukisan Anda, saya langsung tertarik. …”…“apalagi setelah kawan Anda ini
menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”4
Terbukti dengan adanya kutipan diatas, maka kemauan Ust Bachri mengikuti
pameran dikarenakan ajakan seorang temanya. Dapat dilihat dari tema yang terdapat
dalam tiga cerpen tersebut menggambarkan masyarakat secara umum, pesantren dan
kiai. semuanya berhubungan erat, bahwa kiai juga merupakan bagian dari
masyarakat, begitu juga dengan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang
berada dalam sebuah masyarakat. sehingga satu dengan yang lain erat kaitanya.
Dari ketiga cerpen di atas erat kaitanya dalam dunia pesantren, dengan adanya
ajaran-ajaran yang dibawa oleh tokoh yang dibuat Gus Mus dalam ketiga cerpen

3
Ibid., h. 63.
4
ibid., h, 68.
37

tersebut dapat menggambarkan pola-pola kehidupan dalam pesantren. Seperti pada


cerpen Lukisan Kaligrafi yang membahas seni melukis bahasa arab yang biasa di
ajarkan dalam pesantren. Sosok kiai muncul dalam ketiga cerpen tersebut dimana kiai
adalah orang tidak terlepas dari dunia pesantren karena dia adalah sosok sentral di
lingkungan pondok pesantren.

2. Penokohan
Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam ketiga cerpen ini rata-rata merupakan
tokoh yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan identik dengan dunia
pesantren. Sosok sentral yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang kiai atau
alim ulama.
Pada cerpen “Gus Jakfar” mempunyai tokoh utama seorang ulama yaitu Gus
Jakfar. Terlihat dalam kutipan berikut. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh
pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfarlah yang
paling menarik perhatian masyarakat.” 5 Hal ini dikarenakan Gus Jakfar dianggap
memiliki kelebihan dibanding saudaranya yang lain yaitu memiliki kemampuan
melihat pertanda yang terdapat pada seseorang yang ia temui. Bahkan, Kiai Saleh
menyatakan Gus Jakfar lebih tua dari beliau sendiri hal ini juga diketahui oleh tokoh
Kang Solikin yang ketika itu bercerita kepada kawan kawannya terkait tentang Gus
Jakfar.
Gus Jakfar mempunyai kemampuan yang suka membaca pertanda yang
terdapat pada orang dan langsung mengatakannya kepada orang tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda
yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas
saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang
dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sebrang kan ketemu Gus

5
Ibid., h. 1.
38

Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, Sum kulihat keningmu kok bersinar,
sudah ada yang melamar ya?. Tak lama kemudian orang sebrang itu datang
melamar.”6

Tetapi pada akhir cerita sifat Gus Jakfar mengalami perubahan, karena beliau
bertemu dengan kiai Tawakkal. Pada awalnya Gus Jakfar melihat pertanda bahwa
Kiai Tawakkal adalah ahli neraka, tetapi apa yang dilihatnya berbeda dengan
kenyataanya dan ia pun sadar bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar. Sehingga
beliau tidak lagi suka membaca pertanda dan memberikan isyarah-isyarat apa yang
dia lihat dari seseorang. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
“Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger,
terutama santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak
tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika
kembali tau-tau sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali
berhenti dan tidak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan
isyarat-isyarat yang berupa ramalan.”7

Sementara itu pada cerpen “Gus Muslih”, tokoh utama yang menjadi sumber
perbincangan adalah seorang Ustaz bernama Gus Muslih, yang dianggap memiliki
kecerdasan yang luar biasa, sosok yang kritis dan lugas.Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut. “Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang cerdas dan krtis, tetapi juga
tegas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu
dia akan terang-terangan menyalahkannya.”8

Selanjutnya Tokoh dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi” tokohnya bernama


Ustadz Bachri, yang memiliki kemampuan menulis kaligrafi Arab.”Menurut Hardi,
disamping silaturrahmi, kedatangannya juga dimaksudkan untuk berbincang-bincang
dengan Ustadz Bachri soal kaligfrafi. Ustadz Bachri sendiri, yang sedikit banyak
mengerti soal kaligrafi arab, segera menyambutnya antusias.”9

6
Ibid., h. 2.
7
Ibid., h. 3.
8
Ibid., h. 13.
9
Ibid., h. 62.
39

Ustadz Bachri adalah seseorang yang mempunyai tekad yang kuat dalam
mengerjakan sesuatu. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Meski mula-mula
istri dan anak-anaknya menertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai
juga mereka menyemangati.”10 Dan diperkuat juga dengan kutipan berikut: “Istri dan
anak-anaknyapun biasanya sudah lelap tidur saat dia mulai masuk ke gudang berkutat
dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar.”11

Semua tokoh utama yang ada di atas, merupakan tokoh yang memegang
keseluruhan cerita dalam ketiga cerpen ini. Tokoh-tokoh tersebut ialah merupakan
kiai yang banyak menjadi panutan dalam hal beragama dan berpengaruh dalam
masyarakat, khususnya dalam masyarakat pesantren dan sekitarnya.

3. Alur
Dalam meneliti ketiga cerpen ini, pengarang membagi alur menjadi tiga
bagian. Alur pembuka adalah bagian pengenalan tokoh utama beserta
pembawaannya. Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai
bergerak kearah kondisi puncak, dan alur tutup adalah penyelesaian dari masalah
yang terjadi.

a) Alur Pembuka
Alur pembuka yang tersaji dalam ketiga cerpen ini digunakan oleh pengarang
untuk menyampaikan prolog atau asal-muasal terjadinya konflik di dalam cerpen.
Misalnya pada cerpen Gus Jakfar.

“Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?” Tanya Pak Carik yang sejak
tadi hanya asik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu
Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya
terganggu.”12

10
Ibid., h. 65.
11
Ibid., h. 65.
12
Ibid., h. 2.
40

Dari kutipan tersebut alur yang menjadi pembuka perbincangan antara para
tokoh yang ada dalam cerpen “Gus Jakfar” merupakan alur pembuka yang
dicantumkan oleh pengarang ditengah cerita sekaligus yang menjadi penyebab
terjadinya konflik utama pada cerpen. Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” yang
menjadi alur pembukanya masih ada pada saat cerita menjelang alur tengah.“Gus
Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga cerdas
dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia
akan terang-terangan menyalahkannya”.13

Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi”, pengarang langsung meringkas


cerita menjadi sebuah adegan pertemuan antara tokoh utama dengan rekannya yaitu
ketika Ustadz Bachri yang menerima tawaran teman pelukisnya untuk melukis.
“Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, pelukis yang capek
mengikuti idealismenya sendiri, lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain:
berbisnis, meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya.”14

Dalam ketiga cerpen di atas, hasil analisis penulis terhadap alur pembuka
yang digunakan oleh pengarang terdapat ketika cerita menjelang masuk ke dalam alur
tengah yang menjadi penyebab lahirnya sebuah konflik. Selain itu menjelang masuk
cara pengarang untuk menandakan bahwa cerita mulai masuk ke alur selanjutnya
adalah dengan tanda “***” maupun dengan kata seperti“berawal”, atau juga dibuka
dengan menceritakan karakteristik tokoh utama yang berperan terhadap lahirnya
konflik yang kebanyakan dijelaskan oleh tokoh pelengkap dalam cerita.

13
Ibid., h. 13.
14
Ibid., h. 62.
41

b) Alur Tengah.
Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai bergerak
kearah kondisi puncak. Dalam bahasan mengenai alur pembuka di atas penulis sudah
menganalisis bahwa pengarang kebanyak memberikan tanda-tanda atau kata yang
cukup jelas untuk menandakan bahwa cerita-cerita dalam cerpenya sudah masuk ke
dalam tahapan alur tengah. Cerpen Gus Jakfar dalam kutipan di bawah ini merupakan
salah satu contohnya.
***
“Maka ketika kemudian sikap gus jakfar berubah masyarakat pun geger,
terutama para santri kalong, orang orang kampung yang ikut mengaji tapi
tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat
dengan beliau.”15

Terlihat ada penggunaan simbol penjeda cerita “***”yang muncul pada gaya
kepenulisan pengarang untuk menandakan bahwa cerita telah masuk dalam tahapan
baru. Kutipan di atas menceritakan sosok Gus Jakfar yang hilang berminggu-minggu,
namun ketika ia pulang sikapnya menjadi berubah yang awalnya suka membaca tanda
yang terdapat pada diri seseorang dan sekarang sudah tidak. Perubahan sikap itulah
yang membuat masyarakat sekitar heran. Itu menjadi penanda bahwa alur sudah
berubah ke alur tengah.
Puncaknya pada suatu hari Gus Jakfar pergi ke suatu tempat untuk berguru
kepada seseorang yang bernama Kiai Tawakkal, setelah beberapa minggu tinggal di
sana tepat pada malam bulan purnama dia melihat Kiai Tawakkal keluar lalu
mengikutinya sampai pada suatu warung dimana suasana sangat ramai sekali, dengan
rasa tidak percaya tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari Kia Tawakkal. Ini
dapat dilihat dari kutipan berikut. “Mas Jakfar!‟ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara
yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah saya

15
Ibid., h. 3.
42

hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,


mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung.”16

Saat pertama kali bertemu dengan Kiai Tawakkal saya melihat tanda yang
terdapat pada keningnya dan itu membuat saya penasaran untuk mencari tahu apakah
benar tanda tersebut, pada akhirnya Kiai Tawakkal tau akan hal tersebut dan bertanya
kepada saya atas hal yang membuat saya mengikutinya.“Apakah kau sudah
menemukan pembenaran dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau
seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu
terhadap kemahiranmu sendiri?”17

Kiai Tawakkal banyak menasehati saya atas anugrah yang telah Allah
berikantidak membuat saya menjadi takabbur dan itu membuat saya sadar. “Malam
itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui.”18

Dalam cerpen “Gus Muslih” gaya penulisan pengarang masih cenderung sama
dengan cerpen “Gus Jakfar”, meskipun tidak menggunakan tanda penjeda cerita.
Letak kesamaan antara keduanya terlihat dari pola sebab-akibatnya.“yang lebih
membikin jengkel kelompok orang tua yang tidak menyetujuinya itu, justeru karena
kiai ini selalu bisa menjawab keberatan mereka dengan argumentasi yang mematikan;
baik mnggunakan dalil naqli atau ‘aqli.”19

Terlihat bahwa titik klimaks yang digunakan oleh pengarang membenturkan


antara kejadian yang menjadi penyebab di alur pembuka menjadi akibat yang lahir
pada konflik.
“Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi ma berdialog
dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya,

16
Ibid., h. 8.
17
Ibid., h. 10.
18
Ibid., h. 11.
19
Ibid., h. 14.
43

baik langsung atau tidak. Mereka beralih pada gerakan membentengi diri.
Mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak
sejalan dengan sikap Gus Muslih…”20

Kutipan diatasmemperlihatkan bahwa masyarakat yang marah karena sikap


Gus Muslih dan para pengikutnya tidak mau lagi berdialog karena mereka dianggap
menyimpang dari ajaran para pendahulu.
Suasana memuncak ketika masyarakat mendengar kabar bahwa Gus Muslih
memelihara seekor anjing sehingga menyebabkan masyarakat dan pengikut Gus
Muslih heboh. Tidak percaya akan berita yang tersebar pengikut Gus Muslih
memutuskan untuk menayakan langsung perihal kebenaran kabar tersebut. ini dapat
dibuktikan dari kutipan berikut. “suatu ketika, tersebar berita bahwa gus muslih
memelihara anjing. tentu saja hal ini membuat geger masyarakat.”21

Gus Muslih tidak membantah berita yang mengatakan dia memelihara seekor
anjing, bahkan dia menjelaskan kepada para pengikutnya dari mana mendapatkan
anjing itu. Sekarang anjing itu sudah dia berikan kepada tetangganya yang bernama
Babah Ong. “ mengapa harus dibantah ” Tanya gus muslih kalem, membuat semua
yang merubungnya jengah. ”aku sekarang ini memang sedang memelihara anjing.”22

Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” pengarang memberikan pola


yang masih sama. Lewat kutipan di bawah ini kita dapat mengetahuinya.“Ustadz
Bachri tidak bisa berkata-berkata tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa
tidak, pikirnya. Orang yang tak tau khath saja berani memamerkan kaligrafinya,
mengapa dia tidak? Namun ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal
mengangguk.”23

20
Ibid., h. 15.
21
Ibid., h. 16.
22
Ibid., h. 17.
23
Ibid., h. 64.
44

Dari kutipan di atas telihat bahwa Ustaz Bachri yang sebenarnya tidak pandai
dalam melukis merasa tertantang danmengiyakan ajakan teman lamanya untuk
melukis, lukisan itu akan diikut sertakan dalam pameran yang akan diadakan tiga
bulan lagi di sebuah hotel.Melukis tidak semudah yang dibayangkan, sampai-sampai
Ustaz Bachri merasakan kesulitan dalam melukis dan hampir saja putus asa, karena
merasa tersindir akan komentar-komentar yang terlontar dari istri dan anak-anaknya
dia bertekad harus menyelesaikan lukisanya untuk diikut sertakan dalam
pameran.“Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi istri dan anak-anaknya selalu
melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang terdengar di
telinganya seperti menyindir nyalinya.”24

Di luar dugaan Ustaz Bachri, lukisan alif yang awalnya dia ragukan untuk
diikut sertakan dalam pameran yang diadakan oleh teman lamanya itu laku dan dibeli
oleh seorang kolektor asal Jakarta dengan harga $ 10.000 dolar sehingga membuat
namanya melambung dan seketika dirinya menjadi terkenal. Ini dapat dilihat dari
kutipan di bawah ini:
“Besoknya semua media massa memuat tentang berita tentang pameran yang
isinya hampir didominasi oleh liputan tetang dirinya dan lukisannya. hampir
semua Koran, baik koran ibukota, maupun daerah, melengkapi pemberitahuan
itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu tidak tampak
lukisan Alif-nya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas
kosong.”25

Pola sebab akibat dalam cerpen ini masih dimainkan. Bedanya, dalam cerpen
ini pengarang mengantarkan kejadian yang belum dapat diprediksikan pada alur
pembuka yang membedakan cerpen ini dengan kedua cerpen yang sudah penulis
bahas sebelumnya.

24
Ibid., h. 66.
25
Ibid., h. 68.
45

c) Alur Penutup
Dalam alur penutup ini penulis memberikan penyelesaian tentang segala
macam konflik yang terjadi pada alur tengah. Kebanyakan penulis menempatkan alur
penutup pada akhir atau menjelang akhir tulisan. Seperti pada cerpen “Gus
Jakfar”.“Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil
mengubah sikap saya itu masih merupakan misteri. “26
Dari kutipan di atas penulis menutup cerita denganmenjelaskan bahwa sosok
Mbah Jogolah yang telah menyadarkan Kiai Tawakkal dan merubah sifat awalnya
yang suka membaca tanda-tanda yang terdapat dari kening masyarakat.
Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” pengarang juga memberikan
penyelesaian menjelang akhir cerita. terlihat dari kutipan berikut ini:
“Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik nafas panjang, kemudian teringat
sesuatu, meneruskan bicaranya, “Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa
hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong,
tetanggaku, memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya
dengan baik.”27

Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” diberikan penyelesaian logis atau


jawaban dari konflik yang terjadi di alur tengah dan hal itu terjadi sama dengan
cerpen-cerpen sebelumnya, yaitu menjelang akhir cerita.“Wah, kamu ini ikut-ikutan
mempercayai mistik ya? ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis
hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver
untuk alifnya. mungkin yang karen silver di atas putih itu yang membuatnya tak
tampak ketika di foto.”28

Ketiga cerpen yang penulis bahas ini mempunyai latar belakang untuk
menutup alur yang sama, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan pada alur tengah. Barulah di akhir
cerita dituliskan penyelesaian tersebut. Hal sama dan cenderung unik yang terjadi

26
Ibid., h. 12.
27
Ibid., h. 20.
28
Ibid., h. 71.
46

pada ketiga cerpen ini, bahwa opini untuk mengakhiri alur berada sebelum paragraph
akhir, atau pada satu paragraf sebelum akhir, penulis memberikan penyelesaian
terhadap konflik tersebut.

4. Latar
Latar yang akan dijelaskan oleh penulis dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama adalah latar tempat yang akan menyebutkan berbagai tempat kejadian yang
terdapat dalam setiap cerpen. Kedua, adalah latar waktu yang menunjukan kapan
kejadian terjadi.
1. Latar Tempat
Contoh kutipan yang menyebutkan latar tempat dalam cerpen “Gus Jakfar”.

a. Pesantren Sabilul Muttaqin


Latar tempat yang ada pada cerpen ini sebagian besar terjadi di
Pesantren Sabilul Muttaqin. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh
pesantren „Sabilul Muttaqin‟, dan sesepuh di daerah kami,”29
Terlihat dalam kutipan tadi pesantren Sabilul Muttaqin adalah sebuah
pesantren yang terdapat dalam cerpen yang menjadi latar utama dari kejadian
ini, karena pembuka cerpen ini, secara langsung menuliskan pesantren
tersebut tetapi pengarang tidak menjelaskan secara pasti letak pesantren
tersebut namun dapat disimpulkan bahwa pesantren tersebut terletak di daerah
jawa timur. Dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang
Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang
membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu.” 30
“…‟Gus Jakfar bilang kepada saya, „Wah saku sampeyan kok mondol-
mondo;, dapat proyek besar ya‟ Padahal saat itu saku saya justru
sedang kempes.”31

29
Ibid., h. 1.
30
Ibid., h. 1.
47

Dari kutipan di atas, dapat dilihat penggunaan kata Gus dan sampeyan
menjadi ciri khas sebuah pesantren yang terdapat di daerah Jawa Timur. Gus
adalah panggilan kepada seorang anak kiai yang terdapat di Jawa timur
berbeda dengan Madura yang menggunakan Ra, sedangkan di Tanah Sunda
menggunakan panggilan Ceng. Penggunakan kata sampeyan menguatkan
bahwa kejadian dalam cerpen tersebut terjadi di Jawa Timur. Penulis cerpen
sendiri berasal dari Jawa Timur, itu memperkuat bahwa penulis mengangkat
lingkungan sosialnya.

b. Gubuk Bambu (Tempat Kiai Tawakkal)


Di tengah komplek rata-rata bangunannya berupa bambu, Gus Jakfar
menemukan sosok Kiai Tawakkal. Gubuk bambu yang berada persis di tengah
kompleks bambu tersebut adalah tempat Kiai Tawakkal mengajarkan para
santrinya, termasuk Gus Jakfar. “Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di
tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang
dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.”32
c. Warung Remang-remang
Warung remang-remang ini adalah tempat dimana pengintaian Gus
Jakfar terhadap Kiai Tawakkal berakhir. Di warung ini Gus Jakfar seperti
tidak percaya bahwa Kiai Tawakkal mampir ke warung yang menurutnya
berbau suasana mesum. “Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir
saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja
mengesankan kemesuman ini.”33
Sedangkan yang menjadi latar tempat dalam cerpen “Gus Muslih” adalah.
a. Serambi Masjid
Latar tempat yang terdapat di dalam cerpen ini adalah di masjid, hal
ini terlihat dalam kutipan berikut ini:

31
Ibid., h. 2.
32
Ibid., h. 6.
33
Ibid., h. 8.
48

“Namun sebelum mereka bertemu dengan orang yang mereka cari,


mereka melihat Gus Muslih sedang bersembahyang di mesjid. Mereka
menunggu hingga Gus Muslih selesai bersembahyang dan berdzikir
seperti biasanya, Setelah Gus Muslih beranjak menuju serambi mesjid,
baru mereka menghambur menghampiri idola mereka itu.”34
b. Di Mobil
Latar tempat di Mobil adalah ketika Gus Muslih diantar pulang oleh
seorang supir dari kota P tempat dia berceramah.“Ketika kami sedang
melintasi jalan raya yang menuju ke kota kita ini, aku melihat sosok makhluk
kecil bergerak-gerak di tengah jalan. Langsung aku berteriak, „berenti, Mas!
Mobil pun berhenti.”.35
Dari kutipan tersebut terlihat latar yang terdapat dalam cerpen tersebut
berada di dalam mobil. Hal ini di perkuat juga oleh kutipan berikut.“Dia tidak
segera menjalankan mobilnya kembali. Tiba-tiba aku menjadi sebal. „sudah,
begini saja,‟ kataku kemudian, „biar aku turun di sini saja.”36

c. Di Jalan Raya
Jalan raya dalah lokasi ketika Gus Muslih meminta untuk di turunkan
kepada supir yang mengantarnya lantaran sebal karena supir itu merasa jijik
melihatnya memeluk seekor anjing yang dia temukan di jalan raya. “Bukan
karena aku ditinggal sendirian di tengah jalan di malam gerimis, tapi karena
aku teringat ceramah Halal-bihalal-ku di kota P tadi.”. 37
d. Di Kota P
Di kota P inilah Gus Muslih mengisi sebuah ceramah yang berisi
hikmah bulan Syawal setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan. “Malam

34
Ibid., h. 16-17.
35
Ibid., h. 17-18 .
36
Ibid., h. 18.
37
Ibid., h. 18-19.
49

itu aku pulang dari mendatangi undangan panitia untuk berceramah Halal-bi-
halal di kota P.”38

Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Lukisan kaligrafi” adalah.


a. Rumah
Banyaknya pemberitaan dari media massa tentang lukisan Alif Ustadz
Bachri yang tidak tampak ketika di foto maka beberapa wartawan datang ke
rumahnya untuk menanyakan terkait lukisan tersebut.
“Beberapa hari kemudian beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz
Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan Alif-nya yang
menggepmarka. tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia
menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb.
Seperti ketika pameran, dia asal menjawab saja.”39

b. Hotel
Karena berkali-kali Hardi menelepon Ustadz Bachri agar datang dalam
pameran yang dilakukannya, iapun memutuskan untuk datang. Hotel menjadi
lokasi yang dipilih oleh Hardi untuk menyelenggarakan pameran lukisan.
“Ternyata Pameran di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan–itu
diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah
dirinya pun semakin memuncak”.40
2. Latar Waktu
Latar waktu menunjukkan waktu yang digunakan oleh pengarang untuk
menunjukan saat terjadinya sebuah peristiwa, apakah pagi hari, siang hari, atau
malam hari.
Dengan penjelasan sebagai berikut:

38
Ibid., h. 17.
39
Ibid., h. 69.
40
Ibid., h. 66.
50

Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Jakfar” adalah pada malam
hari ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil,
pada malam Jum‟at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak
mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.”41
Dalam kutipan di atas jelas mengungkapkan dalam setiap peristiwa terjadi
dimalam hari.
Pada malam Jumat saat Gus Jakfar libur mengajar santri kalong yang
penasaran langsung mendatanginya dan menanyakan langsung terkait kenapa
sikapnya berubah, tidak seperti dulu yang suka membaca tanda-tanda yang
terdapat pada masyarakat lingkungan pesantren.
Terdapat sebuah kutipan yang menunjukan waktu pagi hari (menjelang
subuh) sebagai berikut: “ayo, kita pulang!‟ tiba-tiba Kiai bangkit.‟ sebentar lagi
subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.‟ Saya tidak merasa di
usir., nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari Kiai luar biasa ini.”42
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Muslih” adalah malam hari,
di malam sehabis pulang ceramah Gus Muslih meminta untuk di turunkan di
tengah jalan oleh seseorang yang mengantarnya dari kota P tempat di mana dia
habis mengisi ceramah, terlihat dari kutipan berikut ini. “Sejenak aku dilanda
kemurungan yang sangat. Bukan karena aku ditinggalkan sendirian di tengah
jalan di malam gerimis, tapi karena aku teringat ceramah Halal-bihalalku di kota
P.”43
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah malam
dan siang hari. Ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Mungkin tidak ingin
diganggu atau malu dilihat orang,Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk
melukis.”44

41
Ibid., h. 4.
42
Ibid.,h.12.
43
Ibid., h. 18-19.
44
Ibid., h. 65.
51

Ketika istri dan anak-anaknya sudah terlelap tidur maka Ustaz bachri
memilih untuk melukis.
Kemudian latar waktu di siang hari adalah“Ketika makan siang, istri dan
anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan
Alif-nya itu pula.”45
Saat keluarga Ustaz Bachri berkumpul untuk makan siang, istri dan anak-
anaknya penasaran akan lukisan Alif yang dia buat langsung bergantian
menanyakan kenapa hanya melukis huruf alif dan kenapa bisa lukisan itu laku
mahal.
5. Sudut Pandang
Dalam ketiga cerpen penulis menggunakan sudut pandang yang sama yaitu
orang ketiga serba tahu atau diaan, dalam sudut pandang ini penulis menceritakan
segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam sebuah cerita .Hal
ini senada dengan pendapat Endah Tri Priyatni dalam bukunya Membaca Sastra dengan
Ancangan Literasi Kritis. Ia mengungkapkan bahwa“Pencerita diaan dalam bercerita
biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang
digunakan biasanya: dia, ia, atau mereka.”46

Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut yang terdapat dalam cerpen “Gus
Jakfar”.“Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia
mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, …
.”47

Sedangkan dalam cerpen “Gus Muslih”. “Apabila dia melihat sesuatu yang
dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan akan
menyalahkannya.”48

45
Ibid., h. 69.
46
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2010), h. 115.
47
Op.Cit. A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi., h. 13.
48
Ibid., h. 13.
52

Selanjutnya dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi”. “Dia melukis mulai dari


perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi.”49

6. Amanat
Amanat yang tersampaikan dalam cerpen “Gus Jakfar” ditujukan untuk semua
orang, karena dalam menjalani hidup kita hanya perlu bertawakkal kepada Tuhan,
dengan bertawakkal kepada Tuhan, kita tidak perlu mengkhawatirkan segala yang
akan terjadi di dalam hidup ini, sebab semua sudah digariskan oleh-Nya. Khususnya
bagi orang yang mempunyai kelebihan, maka mereka tidak seharusnya takabbur,
karena semua itu bukan hanya berarti kelebihan, melainkan juga menjadi beban.
“Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa
penderitaan”50.
Dalam cerpen “Gus Muslih” amanat yang tersirat ditujukan untuk setiap
permasalahan yang melibatkan agama dan adat istiadat. Khususnya di Indonesia,
permasalahan ini harusnya tidak menjadi suatu permasalahan yang serius, karena nilai
yang terkandung di dalam agama dan adat istiadat adalah berbeda. Selain itu, lahirnya
pemikiran baru yang dianut oleh sebagian kaula muda bukan justru harus
dipertentangkan, semua itu harus dijalankan sesuai keyakinan masing-masing, karena
perbedaan nilai antara agama dan adat istiadat terdapat pada keyakinan masing-
masing inndividu dan kelompok untuk menjalaninya dan meyakininya sesuai tafsiran
mereka sendiri.
Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” tertuju untuk khalayak umum
yang masih menilai bahwa agama dan seni memiliki gaya yang berbeda. Seni yang
mengandung unsur kebebasan di dalamnya dan agama yang bagi kebanyakan orang
banyak mengandung ketetapan yang hakiki atau mutlak. Gagasan pengarang yang
tertuju pada kedua hal tersebut memberikan pemikiran bagi para pembaca, bahwa
seni dan agama dapat digabungkan dengan menyatukan kedua unsur yang terbentuk

49
Ibid., h. 62.
50
Ibid., h. 11.
53

di dalamnya, yaitu kaligrafi yang di Indonesia bersinggungan dengan seni yang ada
didalam Islam.

B. Analisis Kritik Sosial

1. Kritik Terhadap Pesantren


Kritik terhadap pesantren yang penulis temukan dalam ketiga cerpen yang
penulis teliti adalah mengenai anggapan masyarakat untuk menanggapi adanya
sebuah pesantren dan elemen-elemen pembentuknya dalam lingkungannya. Bagi
sebagian kalangan pesantren hanya melingkupi institusi pendidikan yang bergerak
pada sisi keislamannya. Pandangan tersebut secara garis besar memang benar adanya,
namun tidaklah mengherankan bagi kita apabila dalam dunia pendidikan tersebut
terdapat anggapan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan ikut memproses
perkembangan interaksi sosial dalam masyarakat dan ikut membentuk kader-kader
politik guna menjadi agen perubahan sosial. Dapat kita lihat dari kutipan berikut ini.
“Pesantren juga dipandang sebagai lembaga pendidikan islam yang menjadi
wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual islam
tradisional. Dala perjalanan historisnya, pesantren muncul sejak awal abah
Hijriah, hingga masa-masa paling akhir dari imperium Utmaniyah di Turki
pada awal abad ke-20. Dan sampai kini, keberadaan pesantren masih
sedemikian penting dalam pemberdayaan masyarakat.”51

“Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga


pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan islam yang sekaligus juga
memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,
kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul budaya,
maka itulah pondok pesantren.”52

Dari Kutipan di atas ada baiknya lagi apabila kita merujuk pada pandangan
Dhofier mengenai hakikat sebuah pesantren dalam Abd. Muin, dkk. “Dhofir

51
Said Aqil Siradj, Pesantren, NU, dan Politik, Kompas, 3 Desember 2004.
52
Abd. A‟la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,
2007), h. 11.
54

menawarkan cara pandang baru yang ia sebut dengan continuiy and change
(kesinambungan dan perubahan).”53
Dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” pola-pola kesinambungan dan
perubahan yang ditawarkan oleh Dhofier tadi memang benar adanya. Seperti pada
cerpen “Gus Jakfar” yang berisikan tentang perubahan pola hidup seorang kiai muda
yang seketika itu juga menjadi isu publik yang paling santer dibicarakan. “Maka,
ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger; terutama para
santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji, tapi tidak tinggal di
pesantren, seperti kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.”54

Kemudian yang terjadi pada Gus Muslih,

“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di
daerah kami di hujat dan dipertanakan oleh Gus Muslih misalnya, kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu
yang bertakziah dan member uang salawat atau modin ditentangnya habis-
habisan.55”
Dari kutipan di atas mengungkapkan kepada pembaca, bahwa adanya gejala-
gejala perubahan sosial yang terjadi dalam pola kehidupan masyarakat itu
dilatarbelakangi oleh seorang ulama terkemuka yang merupakan elemen dari sebuah
pesantren. Melihat beberapa contoh kasus seperti yag terjadi di dalam cerpen di atas,
ada baiknya apabila kita sinkronisasikan dengan hal-hal yang memang terjadi pada
kehidupan nyata untuk mendapatkan sebuah kritik yang mengandung sebuah fakta.
“H. Achmad Sutarjo sekeluarga memperhatikan hal ini dengan seksama. Agar
para mubaligh gerakan tajdid tidak makin langka dari kitab kuning yang terus
berkembang di kawasan timur tengah, maka tidak ada jalan lain kecuali harus
ada yang merintis berdirinya pondok pesantren yang para santrinya nanti

53
Abd. Muin, dkk, Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme, (Yogyakarta; CV
Prasasti, 2001), h. 4.
54
Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 3.
55
Ibid., h. 13.
55

diharapkan dapat menguasai bahasa Arab dan mampu membaca kitab kuning
dengan sebaik-baiknya.”56
Kemudian pada fakta di bawah ini yang membuktikan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang banyak mencetak agen perubahan sosial berupa
santri yang menjadi pemimpin daerah atau dapat dikatakan bahwa santri menjadi
kaum elit politik. salah satu contohnya dalam buku yang ditulis oleh Abd. Mu‟in
yang berjudul Praksis Pembelajaran Pesantren. Ia menyebutkan bahwa:
“Tasikmalaya terkenal sebagai “kota santri” karena di kota ini berdiri banyak
sekali pesantren yang kira-kira setara dengan kota Jombang di Jawa Timur.
Kasarnya, kalau kita berjalan-jalan di Tasikmalaya maka setiap berjalan satu
kilometer kita akan menemukan pesantren. Pondok pesantren di Tasikmalaya,
sebagaimana di tempat lain, pada umumnya berafiliasi dengan organisasi
kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama (NU). Selain NU, organisasi keagamaan
lain yang cukup penting adalah Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah.
Dari segi politik, sebagian besar adalah simpatisan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)., tentu ada juga
partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar, dan PDI-P. Peta politik di
Tasikmalaya barangkali terepresentasikan dalam diri Bupati Tasikmalaya
yang merupakan kader PPP. Di Tasikmalaya juga hidup jemaat Ahmadiah.
Walaupun dikenal sebagai kota santri di Tasikmalaya ada juga kalangan non-
Islam, seperti Katolik dan Protestan.”57
Bebarapa fakta yang telah disebutkan di atas setidaknya dapat memberikan
bukti bahwa segala pesantren merupakan lembaga yang mencetak agen perubahan
sosial bagi masyarakat. Meskipun memang tidak ditampik oleh pengarang bahwa
dalam proses perubahan tersebut banyak terjadi konflik, namun hal ini tetap menjadi
acuan terbentuknya bagi terbentuknya paham-paham baru yang lahir akibat pemikiran
para kaum terpelajarnya. Seperti yang terjadi dalam cerpen “Gus Muslih”.
“Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda;
ada juga yag tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua,
mereka ini menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “Wong itu sudah
merupakan tradisi sejak lama kok di utik-utik!” Begitu kilah mereka. “Itu

56
Abd. Muin, Op.Cit., h. 41.
57
Abd. Muin, Op,Cit., h. 145.
56

namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-mula


mentradisikannya.”58
Dalam konflik yang di sebutkan di atas, memberikan pelajaran bagi kita,
bahwa lahirnya pemikiran-pemikiran tersebut banyak melahirkan golongan-golongan
yang menganut paham-paham tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, seperti
NU, Muhammadiyah, Persis, PKS, dll, yang notabenya adalah partai politik yang
mengatas namakan paham-paham Islam tertentu dan pesantrenlah yang melahirkan
kader-kader untuk partai-partai politik tersebut.
Hal yang memang unik ini kerap kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya
sebagai cendikiawan di dunia Islam yang banyak turun dalam dunia politik, seperti
Gus Dur, Said Agil Sirad, dan lain-lain. Seorang pemuka agama di Indonesia banyak
juga yang terjun ke dunia seni. Seperti yang terjadi pada kiai yang tidak disebutkan
namanya oleh Mukhtar Salma dalam tulisannya yang dimuat oleh Kompas.
“Namun demikian, jikalau dikaitkan dengan kelaziman dari status peran
tradisional seorang kiai, maka peran sebagai komentator piala dunia sepakbola
itu memang agak terasa unik untuk seorang kiai. Unik karena peran
fungsional seorang kiai biasanya tidak jauh dari persoalan fakta tentang
masalah hidup dan kehidupan yang berkaitan dengan masalah “sangu” untuk
di bawa ke alam akhirat kelak.”59

Jika zaman memang menuntut manusia untuk bertindak sekreatif mungkin


untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa itu
adalah kiai yang mencoba untuk menjadi seorang yang berbeda ketika ia menjalani
peran sebagai manusia. Oleh karena itu, yang terjadi adalah hal unik yang sangat
jarang ditemui seperti yang diungkapan oleh Mukhtar Sarman. Asalkan hal itu tidak
berlebihan dan membuat peran utamanya sebagai seorang kiai luntur, hal itu menurut
Sarman masih wajar. “Asalkan sang kiai tidak nyeleneh main sepak bola pakai sarung
misalnya. Kalau tidak sang kiai akan mengumbang ghibah alias pergunjingan. Dan

58
Mustafa Bisri, Op. Cit., h. 14.
59
Mukhtar Sarman, Jagat Kiai, Kompas 9 Agustus 1994.
57

kalau hal itu yang terjadi, maka permainan sepak bola pun boleh jadi akan dikenakan
hukum makruh atau bahkan haram untuk kiai.”60
Pendapat Mukhtar Sarman tadi menandakan bahwa sosok kiai menurutnya
dapat melakukan apa saja apabila ia menginginkannya. Hanya saja menurutnya, kiai
harus mempunyai pakem untuk berekspresi, karena hal tersebut akan mengakibatkan
hilangnya peran sosial seorang kiai apabila ia melakukan hal yang berlebihan.
Maka, dalam Cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini letak kritik yang dibicarakan
adalah mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat untuk menyikapi segala
kejadian hanya dari satu sisi saja, melainkan mereka harus mempertimbangkan segala
aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Bahwa
seorang pemuka agama berhak melakukan apa saja yang ia sukai, dan masyarakat
harus melepaskan segala latar belakang dari manusia tersebut, terlepas dari peran
yang telah kita ketahui sebelumnya. Seperti Ustadz Bachri yang merupakan seorang
pelukis terlepas dari perannya sebagai pemuka agama.

2. Kritik Terhadap Kiai


Kiai dapat dikatakan sebagai pemimpin nonformal yang berada pada sebuah
daerah. Oleh karena itu, sangat berpengaruhnya sosok kiai tersebut, mereka memiliki
massa, atau yang biasa kita sebut dengan jemaah, yang juga mengadopsi berbagai
pemikirannya. Namun demikian, bukan berarti semua pemikiran tersebut terlahir
tanpa kontroversi sebelumnya, apalagi di dunia Islam yang ketat memegang sanad,
ketika pemikiran tersebut dianggap sebagai sebuah pembaharuan yang tidak layak,
maka para pengikut atau masyarakat sekitar pasti menjadikan hal tersebut sebagai
bahan pergunjingan.
Dalam cerpen “Gus Muslih” ini, pembaharuan yang dibawa oleh pemikiran
kiai yang kritis terhadap sikap dan prilaku masyarakat Islam tersampaikan. Sosok kiai
muda yang memberikan pemikiran baru. Seperti pada cerpen,

60
Ibid., h. 1.
58

“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di
daerah kami di hujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu
yang bertakziah dan memberikan uang shalawat pada kiai atau modin
ditentangnya habis-habisan.”61
Di Indonesia, kontroversi yang terjadi di dunia Islam sangat sering terjadi.
Khususnya dari ulama-ulama yang memiliki pemikiran baru. Seperti yang pernah
terjadi pada awal terbentuknya Muhamadiyah di Indonesia.
“Melihat fenomena Muhamadiyah sebagai suatu “isme‟ atau gerakan tidaklah
berlebihan jika menyejajarkan KH ahmad Dahlan dengan tokoh-tokoh muslim
terkemuka lainnya, seperti Muhammad Bin Abdul Wahab, Sayid Ahmad
Khan, Tjokroaminoto, dan Muhammad abduh. Parameternya bukan itu saja.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan yang orisinal, brilian, dan cerdas juga menjadi
parameter yang shahih.62
Lahirnya Muhamadiyah sebagai salah satu golongan yang sangat terkemuka
di Indonesia menandakan bahwa masyarakat Indonesia dapat dengan mudah
menerima berbagai pemikiran baru yang lahir dari para kiai atau ulama-ulama atau
orang-orang yang membawa ajaran tersebut. Namun, bukan berarti bahwa tidak ada
kontroversi yang terjadi akibat lahirnya pemikiran baru tersebut. Sudah pasti ada
sebagian kalangan yang idak dapat menerima berbagai pembaharuan tersebut karena
berbagai alasan baik karena tradisi lama yang masih ingin dipertahankan dan juga
karena pemikiran baru tersebut memang tidak dapat dibenarkan adanya.“Mereka
yang tidak setuju itu umumnya dari golongan tua; mereka ini menganggapnya terlalu
kemajon, sok maju. “wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diutik-utik!”
begitu kilah mereka. “Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-
mula mentradisikannya.”63
Hal yang terjadi di dalam cerpen seperti pada kutipan barusan merupakan
contoh kontroversi yang lahir akibat adanya masyarakat yang tidak bisa membiarkan
tradisi yang sudah mereka pegang teguh sejak lama terancam keberadaannya. Hal

61
A. Mustafa Bisri, Op.Cit.,h.13.
62
Ari Junaedi, KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu, Kompas7 juli 1995.
63
A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 14.
59

serupa juga terjadi pada dunia nyata. Seperti pada masalah yang pernah di alami oleh
KH Ahmad Dahlan.“Sebagai seorang tokoh yang lahir belakangan masuk kategori
ulama khalaf (baru), bukan mustahil pemikiran KH Ahmad Dahlan berimpit dan
bersinggungan dengan tokoh pemikir lain. Hal ini terjadi karena kemungkinan KH
Dahlan banyak mempelajari pemikiran tokoh lain.”64
Kutipan KH. A. Dahlan di atas menunjukan bahwa Ajaran Islam di Indonesia
banyak mengalami perkembangan berupa lahirnya pemikiran yang melahirkan
golongan-golongan baru oleh ulama-ulama terkemuka yang masih dikenal hingga
sekarang. Hal ini juga di perkuat oleh pendapat Ari Junaidi dalam tulisannya yang
dimuat di Kompas dengan judul “KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim
Pembaharu”
“KIPRAH cendikiawan Muslim tidaklah mengemuka akhir-akhir ini saja.
Namun sudah lama dipelopori oleh Agus Salim – jauh sebelum Kongres
Pemuda 1928 diadakan, dengan Jong Islamenten Bondnya sebagai protes
salim terhadap Jong Jawa. Jong Jawa dalam pandangan Salim tidak mampu
mengakomodir suara-suara Muslim. Sementara itu di Solo, Samanhudi
dengan Sarekat Dagang Islamnya mampu mengemas Islam dalam selimut
organisasi perniagaan batik. Akhirnya, pemunculan Sarekat Islam dengan
tokohnya Ciptomangunkusumo dianggap sebagai kebangkitan peran politik
umat Islam di Indonesia.”65
Memang menarik apabila perbedaan tersebut justru melahirkan hal-hal positif
dengan munculnya sekte-sekte atau golongan-golongan seperti yang ada di Indonesia
hingga saat ini. Meskipun masih terdapat selisih paham, namun hal tersebut justru
membuat masyarakat Indonesia akan kaya pengetahuan dan informasi, sebab
berbagai pemikiran tersebut bukan berarti tanpa dasar dan muncul secara tiba-tiba.
Namun, apabila perbedaan tersebut melahirkan adanya perpecahan yang berbuntut
pada perkelahian dan perang dingin antara masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi
akan menarik lagi, dan justru akan memberikan kesan mengerikan terhadap dunia
Islam sendiri. Mudahnya berbagai macam pemikiran yang masuk tersebut juga akan

64
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 2.
65
Ibid, h. 3.
60

mengakibatkan munculnya golongan-golongan yang menganut pemikiran berbeda-


beda. Seperti yang kita ketahui ada banyak golongan-golongan yang muncul di
Indonesia yang dianggap sebagai aliran menyimpang dan radikal yang ditentang oleh
negara dan masyarakat Indonesia, sebut saja NII, pimpinan Karto Suwiryo, ISIS,
Ahmadiyah, dan Kerajaan Tuhan yang dipimpin oleh Lia Eden dan Aliran Suci yang
baru-baru ini dinyatakan sebagai aliran menyimpang di Indonesia yang akhirnya di
putuskan sebagai aliran terlarang oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal ini disampaikan
dalam Sindo news.com sebagai berikut.“Majelis Ulama Indonesia (MUI) Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) MUI menyatakan Aliran Suci yang melakukan
shalat wajib dengan bahasa jawa menyimpang dari syariat islam.”66
Seperti halnya dalam cerpen “Gus Muslih” persoalan demikian memang
tidaklah terjadi, yang terjadi hanya perang dingin akibat kesalahpahaman antara para
pemegang tradisi lama dengan pengikut Gus Muslih, dimana golongan tua (orang-
orang terdahulu) menolak adanya paham baru. Hal itu dapat dilihat dari kutipan
berikut ini.
“Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi mau berdialog
dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya,
baik langsung atau tidak. Mereka beralih kepada gerakan membentengi diri.
mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak
sejalan dengan sikap Gus Muslih dan menganjurkan jamaah mereka sendiri
untuk tidak usah mendegarkan ceramah atau omongan kiai muda yang mereka
anggap mursal itu.”67
Hal ini dikarenakan Gus Muslih dianggap menyimpang sehingga
mengakibatkan terjadinya perang dingin akibat kesalah-pahaman antara golongan-
golongan seperti pada kutipan dari cerpen di atas dapat kita jadikan sebagai acuan.
Bahwa sudah seharusnya mereka bersikap dewasa untuk menyikapi segala perbedaan
tersebut bukan justru membuat keadaan menjadi buruk dengan menganggap
perbedaan tersebut adalah sesuatu yang selamanya tidak sopan.

66
http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-ini-
dinyatakan-menyimpang-1457599747 di akses pada tanggal 16 Maret 2016.
67
A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 15-16.
61

Selain itu, dalam sosok Ustadz Bachri yang memiliki bakat melukis juga
menjadi kritik untuk pada ulama agar mereka tidak ragu untuk menjadikan bakatnya
sebagai sumber penghasilan mereka. Meskipun sumber penghasilan tersebut masih
berkenaan dengan dunia Islam. Bakat Ustadz Bahcri memang cenderung berlainan
dengan sapaannya, sebagai seorang ustadz, awalnya ragu untuk terjun ke dunia seni.
“Wah, “kata tamunya masih belum lepas pandangannya ke tulisan di atas
pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.”
“Saya? Saya melukis kaligrafi?” Katanya sambil ketawa spontan.
“Tidak. Saya serius ini,” Tukas tamunya. “Sampeyan mesti melukis kaligrafi.
Goresan-goresan sampeyan berkarakter. („ini apa pula maksudnya?‟ Ustadz
Bachri membatin tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?
Betul ya! Tiga bulan lagi kawan-kawan pelukis kaligrafi, kebetulan akan
pameran. Nanti sampeyan ikut. Ya, ya?!”68

Peran Kiai sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan


dunia islam haruslah transparan dan harus mempunyai alasan yang jelas dan logis.
Seperti sikap Gus Muslih, yang menentang tradisi-tradisi Islam lama. “Ya, kalau
keluarga yang tertimpa musibah itu keluarga yang berada, tak masalah,” katanya
dalam sebuah ceramah.” Kalau keluarga itu miskin, apakah hal itu tidak menambah
musibah?”69
Alasan yang memang dapat diterima seperti pada sikap Gus Muslih di atas
membuat kita dapat mengetahui bahwa penolakan terhadap tradisi tersebut harus
bersikap objektif dan fleksibel. Maka dari itu, seorang pemuka agama, seperti kiai
dan ulama-ulama haruslah mengesampingkan sikap egois dan fanatik terhadap
pemikiran yang diyakiniya untuk menyikapi berbagai pemikiran baru yang lahir di
Indonesia. Sejauh ini pun setidaknya MUI dan organisasi-organisasi islam terkemuka
di Indonesia mempunyai koordinasi yang baik untuk melindungi masyarakat dari
pemikiran-pemikiran yang bersifat radikal dan cenderung menyimpang. Seperti
pemikiran Ari Junaedi di bawah ini.

68
Ibid., h. 64.
69
Ibid., h. 14.
62

“Dengan berpijak pada kesadaran, tanggung jawab, dan keterlibatan aktif


dalam aksi sosial maka peran kaun cendikiawan Muslim harus ditingkatkan.
Jalan yang lebih baik dan terbuka adalah mementaskan tanggung jawab dan
peranannya dengan bersikap pragmatis dan mengambil pendekatan praktis.
Dalam pendekatan ini yang penting adalah mewujudkan komitmen dengan
amal konkret. Ilmu hanyalah hasil proses refleksi dan konsolidasi konseptual
terhadap pengalaman lapangan dalam perubahan sosial ekonomi.”70

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang penting untuk disampaikan di


sekolah. Keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi
perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, jadi pembelajaran sastra tidak
hanya menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca
dan menikmati karya sastra secara langsung. Dari aktivitas membaca, siswa mampu
menafsirkan dan memperoleh pengetahuan baru (kognitif). Kemudian, respon dari
siswa dapat diketahui apakah ada ketertarikan atau tidak setelah membaca karya
sastra (afektif). Bahkan adanya penyerapan pesan setelah membaca karya sastra
sehingga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa (psikomotor).

Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.


Mustofa Bisri, implikasinya dalam pembelajaran sastra adalah memahami serta
menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.
Pembelajaran mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen dapat membuat siswa
lebih kritis dalam mengidentifikasi kedua unsur karya sastra tersebut.
pembelajaran mengenai identifikasi unsur karya sastra dapat diajarkan pada kelas
XI semester ganjil.

Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang ada
di dalamnya. Dikaitkan dengan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yaitu siswa mampu
menemukan unsur intrinsik cerpen berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya.

70
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 3.
63

Maka dari itu, ketika siswa membaca kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan
cermat dapat menemukan unsur intrinsik yang sudah disebutkan. Siswa dapat
mengaitkan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan kejadian di luar karya
sastra atau unsur ekstrinsiknya. Disesuaikan dengan indikator maka siswa mampu
menemukan dan memahami sejarah yang dikaitkan ketika cerpen tersebut dibuat.
Hal tersebut mampu mengembangkan daya ingin tahu siswa mengenai sejarah apa
saja yang akan ditemui sesuai dengan cerpen yang dimaksud. Selain itu, siswa juga
bisa mengetahui hubungan antara karya sastra dankenyataan.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen karya
Gus Mus, yaitu “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi”, maka dapat
diambil beberapa simpulan, yaitu:

1. Kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen ini adalah anggapan masyarakat
tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi
kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi
institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan
tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain
pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di
kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren). Maka, dalam
kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu
mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi
segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus
mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian
tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara
umum.
2. Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri, implikasinya terhadap pembelajaran sastra agar para siswa
SMA kelas XI mampu menganalisis dan memahami unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.

64
65

B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan
analisis dan implikasi adalah sebagai berikut:
1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya
meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang
bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan
memahami kritik sosial yang terdapat dalam karya sastra yang dibacanya.
2. Selain nilai moral guru dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat
menuntun peserta didiknya agar menangkap kritik sosial seperti apa saja
yang ada dalam karya sastra, dan diharapkan cerpen-cerpen Gus Mus bisa
dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sasrtra
Indonesia di sekolah-sekolah.
3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca
anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan
yang baik untuk pembentukan karakter si anak.
4. Dan yang terakhir, sebagai intelek yang bergerak di bidang sastra dan juga
calon pendidik (dalam hal ini adalah adik-adik kelas mahasiswa PBSI),
agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan baik karya sastra
melalui tinjauan sosiologi sastra dan juga ketika mengajarkan peserta
didiknya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-
ini-dinyatakan-menyimpang-1457599747 (diakses pada tanggal 16 Maret
2016).

Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri diakses dari


http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-
bisri/biografi/indeks.html

A’la, Abd. dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta; LKiS PelangiAksara,


2007

B.S, Abdul Wachid. K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat: 29 Oktober
2005.

Bisri. Ahmad Mustofa, Lukisan Kaligrafi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.


2009.

Cahyono, Rachmat H. Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus. Suara Pembaruan: 23
Mei 2004.

Chasnah, Ida Nur. Ekspresi Sosial Sajak-Sajak KH. A. Mustofa Bisri. Yogyakarta:
Logung Pustaka. 2005.

Dhofier. Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Kehidupan Kiyai. Jakarta: LP3S.


1982.

Haroen, Ahmad Musthofa dkk. Khazanah Intelektual Pesantren. Jakarta:2009.

Hudiono, Anwar. Lebih Jauh dengan Hasan Ali dalam Kompas: 1 November 1998.

Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.


Junaedi, Ari. KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu dalam
Kompas: 7 juli 1995.

K.S, Yudiono. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. 1986.

Kurniawan, Heru dan Sutardi. Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:


Paramadina. 1997.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994.

MD., Moh Mahfud, dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta:
UII Press. 1997.

Muin, Abd. dkk. Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme. Yogyakarta: CV


Prasasti. 2001.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press. 2005.

Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT
Bumi Aksara. 2010.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Graha


Imu. 2012.

Rahardjo, M. Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah.


Jakarta: P3M. 1987.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.


Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007.

Riatmoko, Ferganata Indra. Mistifikasi Politik Gus Dur dalam Kompas: 14 Juni 2010.

Sarman, Mukhtar. Jagat Kiai dalam Kompas: 9 Agustus 1994.

Sayuti, Suminto A., Wiyatmi. Kritik Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007.

Siradj, Said Aqil. Pesantren, NU, dan Politik. Kompas. 3 Desember 2004.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya.


1988.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.


1986.

Sumbogo, Priyo B., Heddy Lugito dan Hidayat Tantan. Kiai Klelet dari Rembang.
Jakarta: Gatra, IV Januari. 1998.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.
2010.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Tri Priyatni. Endah, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010.

Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah. 2000.


Wibowo, Wahyu. Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paronpers. 1995.

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sastra Indonesia. Cetakan Kedua.
Bandung: UPI PRESS. 2006.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP)

SEKOLAH : SMAN 50 Jakarta

MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia

KELAS : XI

SEMESTER :I

Alokasi Waktu : 4 x 40 menit

A. STANDAR KOMPETENSI
Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerita
pendek

B. KOMPETENSI DASAR
Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerita pendek

C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

Nilai Budaya dan


No Indikator Pencapaian Kompetensi
Karakter Bangsa
1 Mampu menemukan unsur intrinsik yang  Bersahabat/
berupa tema, latar, tokoh dan perwatakan. Komunikatif

2 Mampu mengaitkan cerpen dengan  Kreatif


kejadian di luar karya (sejarah, sosial,
budaya)

D. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat:
1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh
dan perwatakan.
2. Mampu mengaitkan cerpen dengan kejadian di luar karya (sejarah,
sosial, budaya)
E. METODE PEMBELAJARAN
 Pemodelan
 Inkuiri
 Tanya jawab
 Penugasan

F. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
 Menjelaskan  Membaca cerpen  Siswa dapat
pengertian unsur  Menemukan unsur mendeskripsikan
intrinsik dan intrinsik yang dan menemukan
berupa tema, latar,
ekstrinsik unsur intrinsik
tokoh dan
perwatakan (tema, latar, tokoh
 Mengaitkan dan perwatakan)
cerpen dengan dan mengaitkannya
kejadian di luar dengan kejadian di
karya (sejarah, luar cerpen
sosial, budaya)

G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBALAJARAN


Pertemuan Pertama

Nilai Budaya dan


No Kegiatan Belajar
Karakter Bangsa
1 Kegiatan Awal: Religius,
 Guru memberi salam bersahabat/
 Guru menyapa dan menanyakan kabar komunikatif
siswa
 Guru mengabsen siswa
 Guru menjelaskan tujuan dan manfaat
pembelajaran hari ini
 Guru memotivasi siswa sebelum
memulai pembelajaran
 Guru membuka schemata siswa
mengenai materi yang akan dipelajari
2 Kegiatan Inti: Mandiri, kreatif,
 Eksplorasi gemar membaca,
Dalam kegiatan eksplorasi: percaya diri
 Guru bertanya jawab dengan
siswa tentang unsur intrinsik
 Siswa menyebutkan unsur
intrinsik cerpen (tema, latar,
tokoh dan perwatakan)
 Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi:
 Siswa mengamati kutipan cerpen yang
disediakan oleh guru
 Siswa menemukan unsur intrinsik
cerita berupa tema, latar, tokoh dan
perwatakan.
 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
 Menjelaskan tema, latar, tokoh dan
perwatakan
 Menyimpulkan tentang materi yang
telah disampaikan
3 Kegiatan Akhir: Bersahabat/
 Refleksi Komunikatif
 Guru menyimpulkan pembelajaran
hari ini
 Penugasan

Pertemuan Kedua

Nilai Budaya dan


No Kegiatan Belajar
Karakter Bangsa
1 Kegiatan Awal: Religius,
 Guru memberi salam bersahabat/
 Guru menyapa dan menanyakan kabar komunikatif
siswa
 Guru mengabsen siswa
 Guru menjelaskan tujuan dan manfaat
pembelajaran hari ini
 Guru memotivasi siswa sebelum
memulai pembelajaran
 Guru membuka schemata siswa
mengenai materi yang akan dipelajari
2 Kegiatan Inti: Mandiri, kreatif,
 Eksplorasi gemar membaca,
Dalam kegiatan eksplorasi: percaya diri
Guru bertanya jawab dengan siswa
tentang materi unsur ekstrinsik cerpen
 Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi:
 Siswa mengamati kutipan cerpen yang
disediakan oleh guru
 Siswa mendiskusikan dan menganalisis
unsur ekstrinsik (sejarah, sosial,
budaya) cerpen disertai bukti yang
mendukung
 Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
 Menjelaskan unsur ekstrinsik
(sejarah)
 Menyimpulkan tentang materi yang
telah disampaikan
3 Kegiatan Akhir: Bersahabat/
 Refleksi Komunikatif
 Guru menyimpulkan pembelajaran
hari ini
 Penugasan

H. SUMBER BELAJAR/ ALAT/ BAHAN:


 Buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas XI semester 1
 Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri
 Biografi A. Mustofa Bisri
 Cara menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen

I. PENILAIAN
1. Teknik
 Tes (PG, isian, dan uraian)
 Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik
2. Bentuk Instrumen Soal
a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?
b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan
cerpen Lukisan Kaligrafi?
c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam kumpulan cerpen
Lukisan Kaligrafi?
J. FORMAT PENILAIAN
UNSUR PENILAIAN

SKOR SKOR
No Unsur Intrinsik 1 2 3 4 5 Unsur Ekstrinsik 1 2 3 4 5

1 Menganalisis Menganalisis dengan


dengan cermat dan cermat dan tepat
tepat
2 Menemukan unsur- Menemukan unsur-
unsur dengan bukti unsur dengan bukti
yang tepat yang tepat
3 Mendeskripsikan Mendeskripsikan hasil
hasil analisis analisis dengan tepat
dengan tepat
4 Amanat yang bisa Amanat yang bisa
diambil dari unsur diambil dari unsur
intrinsik ekstrinsik
Perolehan Nilai = Total Perolehan Nilai =
skor x 5 Total skor x 5

Mengetahui : Jakarta, .............


Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran
Bahasa dan Sastra
Indonesia

Drs. Lukmanul Hakim, MM Muhammad Zainal Abidin


LAMPIRAN 1

SILABUS
Sekolah : SMA/MA....
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas : XI
Semester :1
Standar Kompetensi : Membaca
Memahamiwacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen

Kompetensi Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Alokasi Sumber


Dasar Pencapaian Waktu /Bahan/
Kompetensi Alat
Menganalisis Cerita pendek  Membaca cerpen Menganalisis Jenis Tagihan: 4 Buku kumpulan
unsur-unsur  unsur-unsur intrinsik  Mengidentifikasi unsur unsur-unsur  Tugas individu cerpen
intrinsik dan (tema, tokoh, perwatakan, intrinsik cerpen yang ekstrinsik dan  Tugas kelompok Internet
ekstrinsik cerita latar, sudut pandang, alur, telah dibaca intrinsik  Ulangan
pendek amanat, dan gaya bahasa)  Mengaitkan cerpen Bentuk Instrumen:
 unsur ekstrinsik (agama, dengan kejadian di luar  Uraian bebas
sejarah, sosial, budaya) karya (unsur ekstrinsik)  Pilihan ganda
 Jawaban singkat

Anda mungkin juga menyukai