Oleh
NIM 1110013000024
JAKARTA
2016
ABSTRAK
Kata kunci: Kritik sosial, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri,
Pembelajaran Bahasa dan Satra Indonesia.
i
ABSTRACT
Keyword: Social critic, short story of Lukisan Kaligrafi collection, A. Mustofa Bisri,
Indonesian language learning and literature.
ii
KATA PENGANTAR
1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa
mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia.
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi
bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik.
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu
pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan
6. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas A Ahmad Fahrudin,
Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti
Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas
Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan,
Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang
iii
Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur,
Fahrudin Muallim, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat
Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza
Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana,
dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi
arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang
Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit
Purnomo, Zakky Ramdhani Muslim, Dede Sunarya, Lintang
Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak
kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan
semangat kepada penulis.
7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah
putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian
semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam
pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukannya.
Penulis
Muhammad Zainal Abidin
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
v
1. Pengertian Cerita Pendek
2. Ciri-Ciri Cerita Pendek
3. Unsur Cerita Pendek
E. Pendekatan Mimetik...................................................................... 24
F. Pembelajaran Sastra ...................................................................... 25
G. Penelitian yang Relevan ................................................................ 26
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................................... 64
B. Saran .............................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa‟ cerpen-
cerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam
sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui
cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap
masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan
cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa
cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang
lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang
terdapat dalam buku kumpulan cerpennya.
Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau
fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan
di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa
mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut,
karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan
yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk
masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau
menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan.
Dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia nilai ekstrinsik mencakup
beberapa nilai dalam kehidupan, seperti nilai sosial, agama, budaya dan politik.
Minimnya pembelajaran agama di sekolah karena porsi jam pelajaran agama yang
hanya mendapat waktu belajar 2x45 menit dalam satu minggu sehingga dirasa masih
sedikit dibandingkan dengan pelajaran ilmu umum lainnya terutama bahasa Indonesia
yang mendapat waktu lebih banyak 4x45 menit dalam seminggu maka salah satu
siasat guru bahasa dan sastra indonesia untuk memberikan pengetahuan agama
kepada siswa dengan cara mengajarkan untuk mencari nilai-nilai agama atau
ekstrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
3
Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti
unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu
diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui
pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia Di SMA.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang
kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia.
C. Batasan Masalah
bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan
cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu,
penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:
1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di
Indonesia
2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri
terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan Penelitian
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya
referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di
pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra
serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan
pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan
menjadi calon pendidik
c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara
terstruktur dan mendalam
G. Metode Penelitian
tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik
islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.
“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-
fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan
analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari
bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti
tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan
pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya
deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan,
dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti
dengan pemahaman dari dalam ke luar.1
Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang
mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang
ada.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain
yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan
Kaligrafi.
b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada
kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi sebagai objek penelitian dengan
1
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h.. 53.
7
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu
cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat
kabar, dan majalah.
6. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung
objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus
2009, Lukisan Kaligrafi.
8
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari
penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.
BAB II
LANDASAN TEORI
1
Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3
— 1.4.
2
http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015.
3
Ibid.
4
Moh Mahfud MD dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII
Press,1997), h. 47.
9
10
Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab
ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di
sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati
bersama.”5 Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap
persoalan yang dikembalikan terhadap
B. Pesantren
1. Pengertian Pesantren
Pesantren berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran
“an” yang mempunya arti asrama tempat santri atau tempat murid belajar
mengaji. Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang
beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6
Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal
dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama
Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci,
buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7
Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa
dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti
seorang guru kemana pergi.8
Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan
untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang
berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji,
belajar agama Islam).9
5
Ibid., h. 71.
6
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
h. 878.
7
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41.
8
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 19-20.
9
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 781.
11
10
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta:
P3M, 1987), h. 5.
11
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.
12
Dhofier, Op.Cit., h. 44.
13
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Rosda Karya, 1992),
h. 193.
12
C. Pengertian Kiai
Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial
bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik,
dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok
pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu
pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.
Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar
yang saling berbeda, yaitu:
1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat,
misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan
Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta.
2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan
kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga
sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).14
Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam,
seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang
tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15
Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus”
yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar
menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk
seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama
julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16
Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras
melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta
menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai,
14
Dhofier, Op. Cit., h. 93.
15
Dhofier, Op. Cit., h. 94.
16
KBBI edisi kedua, h. 377.
13
D. Cerita Pendek
17
Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h.
436.
18
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2,
h. 50.
19
Ibid.
14
diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya
memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran
Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.
Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan
Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan
Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia
terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena
konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain
mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak
panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan
memberi kesan tunggal.
Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah
cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam
aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya
yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang
sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan
jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang
ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali
membacanya kita tak akan mudah lupa.20
Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho
Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen
sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen,
selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa
dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi
ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena
peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif
sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21 Satu yang terpenting, cerita
20
Ibid., h. 51.
21
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010), h. 126.
15
pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih
sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22
Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan
Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari
Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang
tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang
sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan
pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya
22
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76
23
Purba, Op. Cit., h. 52.
24
Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia,
1986), h. 37.
16
25
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140.
26
Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS,
2006), cet. 2, h. 37.
27
Heru Kurniawan dan Sutardi, Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), h. 61.
17
cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut
dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat,
suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28
a. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra.29 Unsur-unsurnya antara lain: biografi
pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi
pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti
ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.
b. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah
karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan
atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang
membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah tema, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau
amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.
1). Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30 Stanton
dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa
tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah
cerita.31 Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca
sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang
berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta
hidup dan kehidupan.32 Dengan demikian, untuk menentukan
28
Ibid.
29
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), cet. 5, h. 23
30
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
31
Burhan, Op. Cit., h. 67.
32
Siswanto, Op. Cit., h. 161.
18
33
Priyatni, Op. Cit., h. 110.
34
Siswanto, Op. Cit., h. 142.
35
Burhan, Op. Cit., h. 165.
36
Ibid., h.176.
19
37
Priyatni, Op. Cit., 110
38
Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya,
1988), h. 27.
39
Siswanto, Op. Cit., h. 159.
20
4. Latar (Setting)
Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah
cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin,
saat cerita itu terjadi.41 Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi
peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun
karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana
40
Ibid., h. 160.
41
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 72.
21
42
Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.
43
Siswanto, Op. Cit., h. 149.
44
Priyatni, Op. Cit., h. 112.
45
Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.
22
46
Burhan, Op. Cit., h. 233-234.
47
Priyatni, Op. Cit., h. 115.
23
8). Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar.49 Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika
menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan
bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan
dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern
amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.
48
Burhan, Op. Cit., h. 248.
49
Ibid., h. 162.
24
E. Pendekatan Mimetik
Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf
besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya
sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut
dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato
berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan
dan ide. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru
membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni
merupakan aktivitas manusia.50
Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan.
Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh
Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni
dan sastra di Eropa.
Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis
merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya
ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra
Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan
alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis
dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila
kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra
memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan
ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis.
Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan
pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya
seni.51
Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia)
dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial
50
Yudiono K.S, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31.
51
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), cet. III, h. 69-70.
25
suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung
antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul
pada unsur-unsur karya sastra.52
F. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra di sekolah sangat penting keberadaannya. Pendidikan
sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi
apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk
langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara
langsung. Dalam pembelajaran sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk
memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya
sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi diajak untuk mengembangkan
sikap positif terhadap karya sastra. Hal tersebut akan mengembangkan
kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.53
Pembelajaran sastra di sekolah akan membantu meningkatkan
pengetahuan tentang sastra kepada peserta didik. Dari pembelajaran sastra, peserta
didik bisa menafsirkan karya-karya terbaik dari banyak sastrawan dan memahami
karya tersebut, bahkan tidak hanya karyanya tetapi mengetahui kehidupan
sastrawannya. Kemudian, dapat memperoleh pesan-pesan sehingga memberikan
pelajaran yang positif di kehidupan peserta didik. Dalam hal pengajaran sastra
atau pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan
yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang
bersifat sosial; serta ditambah lagi yang bersifat religius.54
Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat
diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang
membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen
(silabus dan RPP terlampir).
52
Siswanto., Op. Cit., h. 189.
53
Ibid., h. 168-169.
54
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 19 .
26
Kedua, skripsi yang berjudul Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk
Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014),
program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
tersebut hanya dibatasi pada dua puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi “Kalau
Kau Sibuk Kapan Kau Sempat dan Saling”, serta implikasi kedua puisi tersebut
dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.
Ketiga skripsi yang membahas kumpulan cerpen-cerpen Gus Mus. Skripsi
ini ditulis oleh Nanik Widayati, mahasiswi Fakultas Tarbiyah, IAIN
Walisongo, Semarang tahun 2006. Dalam skripsi yang berjudul "Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya KH. A.
Mustofa Bisri," Nanik Widayati meneliti hubungan karya sastra dengan nilai-nilai
pendidikan akhlak. Dalam penelitiannya penulis memaparkan berapa contoh sikap
27
yang mampu dijadikan teladan dalam proses pendidikan antara lain sikap rendah
hati yang harus dimiliki oleh setiap orang, seperti yang ada dalam cerpen Gus
Mus yang berjudul Gus Jakfar.
Berdasarkan pengamatan penulis, maka penelitian mengenai kritik sosial
dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, ini patut untuk
dilakukan. Mengingat, dalam beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan
objek yang sama yaitu Lukisan Kaligrafi hanya mengambil nilai-nilai pendidikan,
sedangkan penulis lebih berfokus pada kritik yang hendak disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya.
BAB III
BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG
28
29
3
Ibid.
4
Ibid.
30
dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak
dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah.”5
A. Mustofa Bisri yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis
kemudian lebih banyak berkiprah sebagai „kutu buku‟ dan penulis. Tulisan A.
Mustofa Bisri yang berupa esai, cerpen dan puisi banyak dimuat di berbagai media
massa, seperti: Intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR Horison, Jawa Post,
Tempo, Gatra, Forum,Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas dan
Bernas. Adakalanya tulisan-tulisan A. Mustofa Bisri di surat kabar tersebut
mengandung kritik. Namun demikian, A. Mustofa Bisri berharap tidak menyakitkan
hati, melainkan kritiknya diharap mampu menembus relung-relung jiwa yang berbuah
penyadaran.
A. Mustofa Bisri mengakui, perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi
pandangan gurunya, KH Ali Maksum dan KH Bisri Mustofa, ayahnya. Keduanya
memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat seni.
Ketika mondok di pesantren Krapyak, di masa itulah A. Mustofa Bisri mengaku
sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Di antaranya bertandang ke rumah
Affandi, untuk melihat bagaimana sang maestro lukis. Maka tak mengherankan jika
setiap kali ada waktu luang, sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil
spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan
tak pernah serius,” kata A. Mustofa Bisri, perokok berat yang sehari-hari
menghabiskan dua setengah bungkus rokok.”6
5
Priyo B. Sumbogo, Heddy Lugito dan Hidayat Tantan, Kiai Klelet dari Rembang, dalam
Gatra, IV Januari, 1998, h.104.
6
Ibid.
31
sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi,
padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.7
A. Mustofa Bisri muncul pertama kalinya untuk membacakan puisi pada
tahun 1987 pada acara “Mubalig Baca Puisi” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta. Ketika itu ia membacakan sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa
Saja” yang kemudian dihimpun dalam buku puisi pertamanya, Ohoi.8
Berikut kutipan dari dua bait pertama sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa
Boleh Apa Saja”
Merdeka!
Ohoi, Ucapkanlah lagi pelan-pelan
Merdeka
Kau „kan tahu nikmatnya nyanyian kebebasan…
Nyanyian kebebasan
Ohoi,
Lelaki boleh genit bermanja-manja
Wanita boleh sengit bermain bola…
Anak muda boleh berkhutbah di mana-mana
Orang tua boleh berpacaran di mana saja
7
Ida Nur Chasnah, M. Hum, Ekspresi Sosial Sajak-sajak KH. A. Mustofa Bisri, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005), h. 4-5.
8
Abdul Wachid B.S, K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi, dalam Pikiran Rakyat, 29 Oktober
2005.
9
Ibid.
33
10
Sohirin, Puisi Itu Tradisi Pesantren, dalam Tempo, 18 Desember 2005.
11
Ibid.
34
12
Rachmat H Cahyono, Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus, Suara Pembaruan, 23 Mei
2004.
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Tema
Cerpen “GusJakfar” bertemakan ilmu mistik, hal ini dapat diketahui melalui
keistimewaan berupa kemampuan yang dimiliki oleh beberapa tokoh diantaranya Gus
Jakfar dan Kiai Tawakkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Tapi Gus Jakfar memang luar biasa,” kata mas Bambang, pegawai pemda
yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas
saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi.”1
Melalui kutipan diatas dengan adanya dialog antara “mas bambang dengan
pencerita” menunjukan bahwa cerpen tersebut erat kaitanya dengan kiai, dimana
kemampuan kiai tersebut dianggap mistis oleh warga sekitar. Ditunjukkan denga
adanya ungkapan bahwa gus Jakfar mampu melihat tanda yang terdapat pada kening
orang yang dijumpainya. sehingga beliau mampu melihat peristiwa yang akan
menimpa orang tersebut, antara lain, kematian, jodoh dan rezeki.
1
A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 2.
2
Ibid., h. 13.
35
36
Kutipan di atas menjelaskan pemikiran baru masih sulit untuk diterima oleh
orang-orang yang masih menganut dan meyakini bahwa semua kebiasaan lama
bernilai positif.
Kemudian, cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah cerpen yang bertemakan
tentang kaidah kesenian. Kaligrafi merupakan seni melukis yang mengkombinasikan
antara tulisan arab dengan makna atau arti dari tulisan tersebut. Ini terlihat dari
kutipan berikut:
“…, Hardi sama sekali tak mengenal khath Arab. Tak tahu bedanya
Naskh dan Tsuluts , Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi.
Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan,
mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya. Dia
hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan
Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas
atau kanvas. bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi,
maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat-
ayat yang bersangkutan.”3
Melalui ajakan seorang teman lamanya, Hardi. Ust Bachri bersedia mengikuti
pameran kaligrafi. yang akhirnya membuat Ust Bachri terkenal karena lukisanya
dianggap memiliki nilai seni yang tinggi, terlihat dari kutipan berikut. “begitu melihat
lukisan Anda, saya langsung tertarik. …”…“apalagi setelah kawan Anda ini
menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”4
Terbukti dengan adanya kutipan diatas, maka kemauan Ust Bachri mengikuti
pameran dikarenakan ajakan seorang temanya. Dapat dilihat dari tema yang terdapat
dalam tiga cerpen tersebut menggambarkan masyarakat secara umum, pesantren dan
kiai. semuanya berhubungan erat, bahwa kiai juga merupakan bagian dari
masyarakat, begitu juga dengan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang
berada dalam sebuah masyarakat. sehingga satu dengan yang lain erat kaitanya.
Dari ketiga cerpen di atas erat kaitanya dalam dunia pesantren, dengan adanya
ajaran-ajaran yang dibawa oleh tokoh yang dibuat Gus Mus dalam ketiga cerpen
3
Ibid., h. 63.
4
ibid., h, 68.
37
2. Penokohan
Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam ketiga cerpen ini rata-rata merupakan
tokoh yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan identik dengan dunia
pesantren. Sosok sentral yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang kiai atau
alim ulama.
Pada cerpen “Gus Jakfar” mempunyai tokoh utama seorang ulama yaitu Gus
Jakfar. Terlihat dalam kutipan berikut. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh
pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfarlah yang
paling menarik perhatian masyarakat.” 5 Hal ini dikarenakan Gus Jakfar dianggap
memiliki kelebihan dibanding saudaranya yang lain yaitu memiliki kemampuan
melihat pertanda yang terdapat pada seseorang yang ia temui. Bahkan, Kiai Saleh
menyatakan Gus Jakfar lebih tua dari beliau sendiri hal ini juga diketahui oleh tokoh
Kang Solikin yang ketika itu bercerita kepada kawan kawannya terkait tentang Gus
Jakfar.
Gus Jakfar mempunyai kemampuan yang suka membaca pertanda yang
terdapat pada orang dan langsung mengatakannya kepada orang tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda
yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas
saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang
dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sebrang kan ketemu Gus
5
Ibid., h. 1.
38
Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, Sum kulihat keningmu kok bersinar,
sudah ada yang melamar ya?. Tak lama kemudian orang sebrang itu datang
melamar.”6
Tetapi pada akhir cerita sifat Gus Jakfar mengalami perubahan, karena beliau
bertemu dengan kiai Tawakkal. Pada awalnya Gus Jakfar melihat pertanda bahwa
Kiai Tawakkal adalah ahli neraka, tetapi apa yang dilihatnya berbeda dengan
kenyataanya dan ia pun sadar bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar. Sehingga
beliau tidak lagi suka membaca pertanda dan memberikan isyarah-isyarat apa yang
dia lihat dari seseorang. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
“Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger,
terutama santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak
tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika
kembali tau-tau sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali
berhenti dan tidak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan
isyarat-isyarat yang berupa ramalan.”7
Sementara itu pada cerpen “Gus Muslih”, tokoh utama yang menjadi sumber
perbincangan adalah seorang Ustaz bernama Gus Muslih, yang dianggap memiliki
kecerdasan yang luar biasa, sosok yang kritis dan lugas.Hal ini terlihat dalam kutipan
berikut. “Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang cerdas dan krtis, tetapi juga
tegas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu
dia akan terang-terangan menyalahkannya.”8
6
Ibid., h. 2.
7
Ibid., h. 3.
8
Ibid., h. 13.
9
Ibid., h. 62.
39
Ustadz Bachri adalah seseorang yang mempunyai tekad yang kuat dalam
mengerjakan sesuatu. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Meski mula-mula
istri dan anak-anaknya menertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai
juga mereka menyemangati.”10 Dan diperkuat juga dengan kutipan berikut: “Istri dan
anak-anaknyapun biasanya sudah lelap tidur saat dia mulai masuk ke gudang berkutat
dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar.”11
Semua tokoh utama yang ada di atas, merupakan tokoh yang memegang
keseluruhan cerita dalam ketiga cerpen ini. Tokoh-tokoh tersebut ialah merupakan
kiai yang banyak menjadi panutan dalam hal beragama dan berpengaruh dalam
masyarakat, khususnya dalam masyarakat pesantren dan sekitarnya.
3. Alur
Dalam meneliti ketiga cerpen ini, pengarang membagi alur menjadi tiga
bagian. Alur pembuka adalah bagian pengenalan tokoh utama beserta
pembawaannya. Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai
bergerak kearah kondisi puncak, dan alur tutup adalah penyelesaian dari masalah
yang terjadi.
a) Alur Pembuka
Alur pembuka yang tersaji dalam ketiga cerpen ini digunakan oleh pengarang
untuk menyampaikan prolog atau asal-muasal terjadinya konflik di dalam cerpen.
Misalnya pada cerpen Gus Jakfar.
“Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?” Tanya Pak Carik yang sejak
tadi hanya asik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu
Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya
terganggu.”12
10
Ibid., h. 65.
11
Ibid., h. 65.
12
Ibid., h. 2.
40
Dari kutipan tersebut alur yang menjadi pembuka perbincangan antara para
tokoh yang ada dalam cerpen “Gus Jakfar” merupakan alur pembuka yang
dicantumkan oleh pengarang ditengah cerita sekaligus yang menjadi penyebab
terjadinya konflik utama pada cerpen. Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” yang
menjadi alur pembukanya masih ada pada saat cerita menjelang alur tengah.“Gus
Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga cerdas
dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia
akan terang-terangan menyalahkannya”.13
Dalam ketiga cerpen di atas, hasil analisis penulis terhadap alur pembuka
yang digunakan oleh pengarang terdapat ketika cerita menjelang masuk ke dalam alur
tengah yang menjadi penyebab lahirnya sebuah konflik. Selain itu menjelang masuk
cara pengarang untuk menandakan bahwa cerita mulai masuk ke alur selanjutnya
adalah dengan tanda “***” maupun dengan kata seperti“berawal”, atau juga dibuka
dengan menceritakan karakteristik tokoh utama yang berperan terhadap lahirnya
konflik yang kebanyakan dijelaskan oleh tokoh pelengkap dalam cerita.
13
Ibid., h. 13.
14
Ibid., h. 62.
41
b) Alur Tengah.
Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai bergerak
kearah kondisi puncak. Dalam bahasan mengenai alur pembuka di atas penulis sudah
menganalisis bahwa pengarang kebanyak memberikan tanda-tanda atau kata yang
cukup jelas untuk menandakan bahwa cerita-cerita dalam cerpenya sudah masuk ke
dalam tahapan alur tengah. Cerpen Gus Jakfar dalam kutipan di bawah ini merupakan
salah satu contohnya.
***
“Maka ketika kemudian sikap gus jakfar berubah masyarakat pun geger,
terutama para santri kalong, orang orang kampung yang ikut mengaji tapi
tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat
dengan beliau.”15
Terlihat ada penggunaan simbol penjeda cerita “***”yang muncul pada gaya
kepenulisan pengarang untuk menandakan bahwa cerita telah masuk dalam tahapan
baru. Kutipan di atas menceritakan sosok Gus Jakfar yang hilang berminggu-minggu,
namun ketika ia pulang sikapnya menjadi berubah yang awalnya suka membaca tanda
yang terdapat pada diri seseorang dan sekarang sudah tidak. Perubahan sikap itulah
yang membuat masyarakat sekitar heran. Itu menjadi penanda bahwa alur sudah
berubah ke alur tengah.
Puncaknya pada suatu hari Gus Jakfar pergi ke suatu tempat untuk berguru
kepada seseorang yang bernama Kiai Tawakkal, setelah beberapa minggu tinggal di
sana tepat pada malam bulan purnama dia melihat Kiai Tawakkal keluar lalu
mengikutinya sampai pada suatu warung dimana suasana sangat ramai sekali, dengan
rasa tidak percaya tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari Kia Tawakkal. Ini
dapat dilihat dari kutipan berikut. “Mas Jakfar!‟ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara
yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah saya
15
Ibid., h. 3.
42
Saat pertama kali bertemu dengan Kiai Tawakkal saya melihat tanda yang
terdapat pada keningnya dan itu membuat saya penasaran untuk mencari tahu apakah
benar tanda tersebut, pada akhirnya Kiai Tawakkal tau akan hal tersebut dan bertanya
kepada saya atas hal yang membuat saya mengikutinya.“Apakah kau sudah
menemukan pembenaran dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau
seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu
terhadap kemahiranmu sendiri?”17
Kiai Tawakkal banyak menasehati saya atas anugrah yang telah Allah
berikantidak membuat saya menjadi takabbur dan itu membuat saya sadar. “Malam
itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa
yang selama ini sudah saya ketahui.”18
Dalam cerpen “Gus Muslih” gaya penulisan pengarang masih cenderung sama
dengan cerpen “Gus Jakfar”, meskipun tidak menggunakan tanda penjeda cerita.
Letak kesamaan antara keduanya terlihat dari pola sebab-akibatnya.“yang lebih
membikin jengkel kelompok orang tua yang tidak menyetujuinya itu, justeru karena
kiai ini selalu bisa menjawab keberatan mereka dengan argumentasi yang mematikan;
baik mnggunakan dalil naqli atau ‘aqli.”19
16
Ibid., h. 8.
17
Ibid., h. 10.
18
Ibid., h. 11.
19
Ibid., h. 14.
43
baik langsung atau tidak. Mereka beralih pada gerakan membentengi diri.
Mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak
sejalan dengan sikap Gus Muslih…”20
Gus Muslih tidak membantah berita yang mengatakan dia memelihara seekor
anjing, bahkan dia menjelaskan kepada para pengikutnya dari mana mendapatkan
anjing itu. Sekarang anjing itu sudah dia berikan kepada tetangganya yang bernama
Babah Ong. “ mengapa harus dibantah ” Tanya gus muslih kalem, membuat semua
yang merubungnya jengah. ”aku sekarang ini memang sedang memelihara anjing.”22
20
Ibid., h. 15.
21
Ibid., h. 16.
22
Ibid., h. 17.
23
Ibid., h. 64.
44
Dari kutipan di atas telihat bahwa Ustaz Bachri yang sebenarnya tidak pandai
dalam melukis merasa tertantang danmengiyakan ajakan teman lamanya untuk
melukis, lukisan itu akan diikut sertakan dalam pameran yang akan diadakan tiga
bulan lagi di sebuah hotel.Melukis tidak semudah yang dibayangkan, sampai-sampai
Ustaz Bachri merasakan kesulitan dalam melukis dan hampir saja putus asa, karena
merasa tersindir akan komentar-komentar yang terlontar dari istri dan anak-anaknya
dia bertekad harus menyelesaikan lukisanya untuk diikut sertakan dalam
pameran.“Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi istri dan anak-anaknya selalu
melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang terdengar di
telinganya seperti menyindir nyalinya.”24
Di luar dugaan Ustaz Bachri, lukisan alif yang awalnya dia ragukan untuk
diikut sertakan dalam pameran yang diadakan oleh teman lamanya itu laku dan dibeli
oleh seorang kolektor asal Jakarta dengan harga $ 10.000 dolar sehingga membuat
namanya melambung dan seketika dirinya menjadi terkenal. Ini dapat dilihat dari
kutipan di bawah ini:
“Besoknya semua media massa memuat tentang berita tentang pameran yang
isinya hampir didominasi oleh liputan tetang dirinya dan lukisannya. hampir
semua Koran, baik koran ibukota, maupun daerah, melengkapi pemberitahuan
itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu tidak tampak
lukisan Alif-nya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas
kosong.”25
Pola sebab akibat dalam cerpen ini masih dimainkan. Bedanya, dalam cerpen
ini pengarang mengantarkan kejadian yang belum dapat diprediksikan pada alur
pembuka yang membedakan cerpen ini dengan kedua cerpen yang sudah penulis
bahas sebelumnya.
24
Ibid., h. 66.
25
Ibid., h. 68.
45
c) Alur Penutup
Dalam alur penutup ini penulis memberikan penyelesaian tentang segala
macam konflik yang terjadi pada alur tengah. Kebanyakan penulis menempatkan alur
penutup pada akhir atau menjelang akhir tulisan. Seperti pada cerpen “Gus
Jakfar”.“Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil
mengubah sikap saya itu masih merupakan misteri. “26
Dari kutipan di atas penulis menutup cerita denganmenjelaskan bahwa sosok
Mbah Jogolah yang telah menyadarkan Kiai Tawakkal dan merubah sifat awalnya
yang suka membaca tanda-tanda yang terdapat dari kening masyarakat.
Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” pengarang juga memberikan
penyelesaian menjelang akhir cerita. terlihat dari kutipan berikut ini:
“Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik nafas panjang, kemudian teringat
sesuatu, meneruskan bicaranya, “Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa
hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong,
tetanggaku, memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya
dengan baik.”27
Ketiga cerpen yang penulis bahas ini mempunyai latar belakang untuk
menutup alur yang sama, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan pada alur tengah. Barulah di akhir
cerita dituliskan penyelesaian tersebut. Hal sama dan cenderung unik yang terjadi
26
Ibid., h. 12.
27
Ibid., h. 20.
28
Ibid., h. 71.
46
pada ketiga cerpen ini, bahwa opini untuk mengakhiri alur berada sebelum paragraph
akhir, atau pada satu paragraf sebelum akhir, penulis memberikan penyelesaian
terhadap konflik tersebut.
4. Latar
Latar yang akan dijelaskan oleh penulis dibagi menjadi dua bagian, yang
pertama adalah latar tempat yang akan menyebutkan berbagai tempat kejadian yang
terdapat dalam setiap cerpen. Kedua, adalah latar waktu yang menunjukan kapan
kejadian terjadi.
1. Latar Tempat
Contoh kutipan yang menyebutkan latar tempat dalam cerpen “Gus Jakfar”.
“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang
Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang
membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu.” 30
“…‟Gus Jakfar bilang kepada saya, „Wah saku sampeyan kok mondol-
mondo;, dapat proyek besar ya‟ Padahal saat itu saku saya justru
sedang kempes.”31
29
Ibid., h. 1.
30
Ibid., h. 1.
47
Dari kutipan di atas, dapat dilihat penggunaan kata Gus dan sampeyan
menjadi ciri khas sebuah pesantren yang terdapat di daerah Jawa Timur. Gus
adalah panggilan kepada seorang anak kiai yang terdapat di Jawa timur
berbeda dengan Madura yang menggunakan Ra, sedangkan di Tanah Sunda
menggunakan panggilan Ceng. Penggunakan kata sampeyan menguatkan
bahwa kejadian dalam cerpen tersebut terjadi di Jawa Timur. Penulis cerpen
sendiri berasal dari Jawa Timur, itu memperkuat bahwa penulis mengangkat
lingkungan sosialnya.
31
Ibid., h. 2.
32
Ibid., h. 6.
33
Ibid., h. 8.
48
c. Di Jalan Raya
Jalan raya dalah lokasi ketika Gus Muslih meminta untuk di turunkan
kepada supir yang mengantarnya lantaran sebal karena supir itu merasa jijik
melihatnya memeluk seekor anjing yang dia temukan di jalan raya. “Bukan
karena aku ditinggal sendirian di tengah jalan di malam gerimis, tapi karena
aku teringat ceramah Halal-bihalal-ku di kota P tadi.”. 37
d. Di Kota P
Di kota P inilah Gus Muslih mengisi sebuah ceramah yang berisi
hikmah bulan Syawal setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan. “Malam
34
Ibid., h. 16-17.
35
Ibid., h. 17-18 .
36
Ibid., h. 18.
37
Ibid., h. 18-19.
49
itu aku pulang dari mendatangi undangan panitia untuk berceramah Halal-bi-
halal di kota P.”38
b. Hotel
Karena berkali-kali Hardi menelepon Ustadz Bachri agar datang dalam
pameran yang dilakukannya, iapun memutuskan untuk datang. Hotel menjadi
lokasi yang dipilih oleh Hardi untuk menyelenggarakan pameran lukisan.
“Ternyata Pameran di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan–itu
diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah
dirinya pun semakin memuncak”.40
2. Latar Waktu
Latar waktu menunjukkan waktu yang digunakan oleh pengarang untuk
menunjukan saat terjadinya sebuah peristiwa, apakah pagi hari, siang hari, atau
malam hari.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
38
Ibid., h. 17.
39
Ibid., h. 69.
40
Ibid., h. 66.
50
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Jakfar” adalah pada malam
hari ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil,
pada malam Jum‟at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak
mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.”41
Dalam kutipan di atas jelas mengungkapkan dalam setiap peristiwa terjadi
dimalam hari.
Pada malam Jumat saat Gus Jakfar libur mengajar santri kalong yang
penasaran langsung mendatanginya dan menanyakan langsung terkait kenapa
sikapnya berubah, tidak seperti dulu yang suka membaca tanda-tanda yang
terdapat pada masyarakat lingkungan pesantren.
Terdapat sebuah kutipan yang menunjukan waktu pagi hari (menjelang
subuh) sebagai berikut: “ayo, kita pulang!‟ tiba-tiba Kiai bangkit.‟ sebentar lagi
subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.‟ Saya tidak merasa di
usir., nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari Kiai luar biasa ini.”42
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Muslih” adalah malam hari,
di malam sehabis pulang ceramah Gus Muslih meminta untuk di turunkan di
tengah jalan oleh seseorang yang mengantarnya dari kota P tempat di mana dia
habis mengisi ceramah, terlihat dari kutipan berikut ini. “Sejenak aku dilanda
kemurungan yang sangat. Bukan karena aku ditinggalkan sendirian di tengah
jalan di malam gerimis, tapi karena aku teringat ceramah Halal-bihalalku di kota
P.”43
Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah malam
dan siang hari. Ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Mungkin tidak ingin
diganggu atau malu dilihat orang,Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk
melukis.”44
41
Ibid., h. 4.
42
Ibid.,h.12.
43
Ibid., h. 18-19.
44
Ibid., h. 65.
51
Ketika istri dan anak-anaknya sudah terlelap tidur maka Ustaz bachri
memilih untuk melukis.
Kemudian latar waktu di siang hari adalah“Ketika makan siang, istri dan
anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan
Alif-nya itu pula.”45
Saat keluarga Ustaz Bachri berkumpul untuk makan siang, istri dan anak-
anaknya penasaran akan lukisan Alif yang dia buat langsung bergantian
menanyakan kenapa hanya melukis huruf alif dan kenapa bisa lukisan itu laku
mahal.
5. Sudut Pandang
Dalam ketiga cerpen penulis menggunakan sudut pandang yang sama yaitu
orang ketiga serba tahu atau diaan, dalam sudut pandang ini penulis menceritakan
segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam sebuah cerita .Hal
ini senada dengan pendapat Endah Tri Priyatni dalam bukunya Membaca Sastra dengan
Ancangan Literasi Kritis. Ia mengungkapkan bahwa“Pencerita diaan dalam bercerita
biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang
digunakan biasanya: dia, ia, atau mereka.”46
Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut yang terdapat dalam cerpen “Gus
Jakfar”.“Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia
mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, …
.”47
Sedangkan dalam cerpen “Gus Muslih”. “Apabila dia melihat sesuatu yang
dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan akan
menyalahkannya.”48
45
Ibid., h. 69.
46
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2010), h. 115.
47
Op.Cit. A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi., h. 13.
48
Ibid., h. 13.
52
6. Amanat
Amanat yang tersampaikan dalam cerpen “Gus Jakfar” ditujukan untuk semua
orang, karena dalam menjalani hidup kita hanya perlu bertawakkal kepada Tuhan,
dengan bertawakkal kepada Tuhan, kita tidak perlu mengkhawatirkan segala yang
akan terjadi di dalam hidup ini, sebab semua sudah digariskan oleh-Nya. Khususnya
bagi orang yang mempunyai kelebihan, maka mereka tidak seharusnya takabbur,
karena semua itu bukan hanya berarti kelebihan, melainkan juga menjadi beban.
“Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa
penderitaan”50.
Dalam cerpen “Gus Muslih” amanat yang tersirat ditujukan untuk setiap
permasalahan yang melibatkan agama dan adat istiadat. Khususnya di Indonesia,
permasalahan ini harusnya tidak menjadi suatu permasalahan yang serius, karena nilai
yang terkandung di dalam agama dan adat istiadat adalah berbeda. Selain itu, lahirnya
pemikiran baru yang dianut oleh sebagian kaula muda bukan justru harus
dipertentangkan, semua itu harus dijalankan sesuai keyakinan masing-masing, karena
perbedaan nilai antara agama dan adat istiadat terdapat pada keyakinan masing-
masing inndividu dan kelompok untuk menjalaninya dan meyakininya sesuai tafsiran
mereka sendiri.
Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” tertuju untuk khalayak umum
yang masih menilai bahwa agama dan seni memiliki gaya yang berbeda. Seni yang
mengandung unsur kebebasan di dalamnya dan agama yang bagi kebanyakan orang
banyak mengandung ketetapan yang hakiki atau mutlak. Gagasan pengarang yang
tertuju pada kedua hal tersebut memberikan pemikiran bagi para pembaca, bahwa
seni dan agama dapat digabungkan dengan menyatukan kedua unsur yang terbentuk
49
Ibid., h. 62.
50
Ibid., h. 11.
53
di dalamnya, yaitu kaligrafi yang di Indonesia bersinggungan dengan seni yang ada
didalam Islam.
Dari Kutipan di atas ada baiknya lagi apabila kita merujuk pada pandangan
Dhofier mengenai hakikat sebuah pesantren dalam Abd. Muin, dkk. “Dhofir
51
Said Aqil Siradj, Pesantren, NU, dan Politik, Kompas, 3 Desember 2004.
52
Abd. A‟la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,
2007), h. 11.
54
menawarkan cara pandang baru yang ia sebut dengan continuiy and change
(kesinambungan dan perubahan).”53
Dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” pola-pola kesinambungan dan
perubahan yang ditawarkan oleh Dhofier tadi memang benar adanya. Seperti pada
cerpen “Gus Jakfar” yang berisikan tentang perubahan pola hidup seorang kiai muda
yang seketika itu juga menjadi isu publik yang paling santer dibicarakan. “Maka,
ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger; terutama para
santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji, tapi tidak tinggal di
pesantren, seperti kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.”54
“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di
daerah kami di hujat dan dipertanakan oleh Gus Muslih misalnya, kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu
yang bertakziah dan member uang salawat atau modin ditentangnya habis-
habisan.55”
Dari kutipan di atas mengungkapkan kepada pembaca, bahwa adanya gejala-
gejala perubahan sosial yang terjadi dalam pola kehidupan masyarakat itu
dilatarbelakangi oleh seorang ulama terkemuka yang merupakan elemen dari sebuah
pesantren. Melihat beberapa contoh kasus seperti yag terjadi di dalam cerpen di atas,
ada baiknya apabila kita sinkronisasikan dengan hal-hal yang memang terjadi pada
kehidupan nyata untuk mendapatkan sebuah kritik yang mengandung sebuah fakta.
“H. Achmad Sutarjo sekeluarga memperhatikan hal ini dengan seksama. Agar
para mubaligh gerakan tajdid tidak makin langka dari kitab kuning yang terus
berkembang di kawasan timur tengah, maka tidak ada jalan lain kecuali harus
ada yang merintis berdirinya pondok pesantren yang para santrinya nanti
53
Abd. Muin, dkk, Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme, (Yogyakarta; CV
Prasasti, 2001), h. 4.
54
Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 3.
55
Ibid., h. 13.
55
diharapkan dapat menguasai bahasa Arab dan mampu membaca kitab kuning
dengan sebaik-baiknya.”56
Kemudian pada fakta di bawah ini yang membuktikan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang banyak mencetak agen perubahan sosial berupa
santri yang menjadi pemimpin daerah atau dapat dikatakan bahwa santri menjadi
kaum elit politik. salah satu contohnya dalam buku yang ditulis oleh Abd. Mu‟in
yang berjudul Praksis Pembelajaran Pesantren. Ia menyebutkan bahwa:
“Tasikmalaya terkenal sebagai “kota santri” karena di kota ini berdiri banyak
sekali pesantren yang kira-kira setara dengan kota Jombang di Jawa Timur.
Kasarnya, kalau kita berjalan-jalan di Tasikmalaya maka setiap berjalan satu
kilometer kita akan menemukan pesantren. Pondok pesantren di Tasikmalaya,
sebagaimana di tempat lain, pada umumnya berafiliasi dengan organisasi
kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama (NU). Selain NU, organisasi keagamaan
lain yang cukup penting adalah Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah.
Dari segi politik, sebagian besar adalah simpatisan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)., tentu ada juga
partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar, dan PDI-P. Peta politik di
Tasikmalaya barangkali terepresentasikan dalam diri Bupati Tasikmalaya
yang merupakan kader PPP. Di Tasikmalaya juga hidup jemaat Ahmadiah.
Walaupun dikenal sebagai kota santri di Tasikmalaya ada juga kalangan non-
Islam, seperti Katolik dan Protestan.”57
Bebarapa fakta yang telah disebutkan di atas setidaknya dapat memberikan
bukti bahwa segala pesantren merupakan lembaga yang mencetak agen perubahan
sosial bagi masyarakat. Meskipun memang tidak ditampik oleh pengarang bahwa
dalam proses perubahan tersebut banyak terjadi konflik, namun hal ini tetap menjadi
acuan terbentuknya bagi terbentuknya paham-paham baru yang lahir akibat pemikiran
para kaum terpelajarnya. Seperti yang terjadi dalam cerpen “Gus Muslih”.
“Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda;
ada juga yag tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua,
mereka ini menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “Wong itu sudah
merupakan tradisi sejak lama kok di utik-utik!” Begitu kilah mereka. “Itu
56
Abd. Muin, Op.Cit., h. 41.
57
Abd. Muin, Op,Cit., h. 145.
56
58
Mustafa Bisri, Op. Cit., h. 14.
59
Mukhtar Sarman, Jagat Kiai, Kompas 9 Agustus 1994.
57
kalau hal itu yang terjadi, maka permainan sepak bola pun boleh jadi akan dikenakan
hukum makruh atau bahkan haram untuk kiai.”60
Pendapat Mukhtar Sarman tadi menandakan bahwa sosok kiai menurutnya
dapat melakukan apa saja apabila ia menginginkannya. Hanya saja menurutnya, kiai
harus mempunyai pakem untuk berekspresi, karena hal tersebut akan mengakibatkan
hilangnya peran sosial seorang kiai apabila ia melakukan hal yang berlebihan.
Maka, dalam Cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini letak kritik yang dibicarakan
adalah mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat untuk menyikapi segala
kejadian hanya dari satu sisi saja, melainkan mereka harus mempertimbangkan segala
aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Bahwa
seorang pemuka agama berhak melakukan apa saja yang ia sukai, dan masyarakat
harus melepaskan segala latar belakang dari manusia tersebut, terlepas dari peran
yang telah kita ketahui sebelumnya. Seperti Ustadz Bachri yang merupakan seorang
pelukis terlepas dari perannya sebagai pemuka agama.
60
Ibid., h. 1.
58
“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di
daerah kami di hujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan
keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu
yang bertakziah dan memberikan uang shalawat pada kiai atau modin
ditentangnya habis-habisan.”61
Di Indonesia, kontroversi yang terjadi di dunia Islam sangat sering terjadi.
Khususnya dari ulama-ulama yang memiliki pemikiran baru. Seperti yang pernah
terjadi pada awal terbentuknya Muhamadiyah di Indonesia.
“Melihat fenomena Muhamadiyah sebagai suatu “isme‟ atau gerakan tidaklah
berlebihan jika menyejajarkan KH ahmad Dahlan dengan tokoh-tokoh muslim
terkemuka lainnya, seperti Muhammad Bin Abdul Wahab, Sayid Ahmad
Khan, Tjokroaminoto, dan Muhammad abduh. Parameternya bukan itu saja.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan yang orisinal, brilian, dan cerdas juga menjadi
parameter yang shahih.62
Lahirnya Muhamadiyah sebagai salah satu golongan yang sangat terkemuka
di Indonesia menandakan bahwa masyarakat Indonesia dapat dengan mudah
menerima berbagai pemikiran baru yang lahir dari para kiai atau ulama-ulama atau
orang-orang yang membawa ajaran tersebut. Namun, bukan berarti bahwa tidak ada
kontroversi yang terjadi akibat lahirnya pemikiran baru tersebut. Sudah pasti ada
sebagian kalangan yang idak dapat menerima berbagai pembaharuan tersebut karena
berbagai alasan baik karena tradisi lama yang masih ingin dipertahankan dan juga
karena pemikiran baru tersebut memang tidak dapat dibenarkan adanya.“Mereka
yang tidak setuju itu umumnya dari golongan tua; mereka ini menganggapnya terlalu
kemajon, sok maju. “wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diutik-utik!”
begitu kilah mereka. “Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-
mula mentradisikannya.”63
Hal yang terjadi di dalam cerpen seperti pada kutipan barusan merupakan
contoh kontroversi yang lahir akibat adanya masyarakat yang tidak bisa membiarkan
tradisi yang sudah mereka pegang teguh sejak lama terancam keberadaannya. Hal
61
A. Mustafa Bisri, Op.Cit.,h.13.
62
Ari Junaedi, KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu, Kompas7 juli 1995.
63
A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 14.
59
serupa juga terjadi pada dunia nyata. Seperti pada masalah yang pernah di alami oleh
KH Ahmad Dahlan.“Sebagai seorang tokoh yang lahir belakangan masuk kategori
ulama khalaf (baru), bukan mustahil pemikiran KH Ahmad Dahlan berimpit dan
bersinggungan dengan tokoh pemikir lain. Hal ini terjadi karena kemungkinan KH
Dahlan banyak mempelajari pemikiran tokoh lain.”64
Kutipan KH. A. Dahlan di atas menunjukan bahwa Ajaran Islam di Indonesia
banyak mengalami perkembangan berupa lahirnya pemikiran yang melahirkan
golongan-golongan baru oleh ulama-ulama terkemuka yang masih dikenal hingga
sekarang. Hal ini juga di perkuat oleh pendapat Ari Junaidi dalam tulisannya yang
dimuat di Kompas dengan judul “KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim
Pembaharu”
“KIPRAH cendikiawan Muslim tidaklah mengemuka akhir-akhir ini saja.
Namun sudah lama dipelopori oleh Agus Salim – jauh sebelum Kongres
Pemuda 1928 diadakan, dengan Jong Islamenten Bondnya sebagai protes
salim terhadap Jong Jawa. Jong Jawa dalam pandangan Salim tidak mampu
mengakomodir suara-suara Muslim. Sementara itu di Solo, Samanhudi
dengan Sarekat Dagang Islamnya mampu mengemas Islam dalam selimut
organisasi perniagaan batik. Akhirnya, pemunculan Sarekat Islam dengan
tokohnya Ciptomangunkusumo dianggap sebagai kebangkitan peran politik
umat Islam di Indonesia.”65
Memang menarik apabila perbedaan tersebut justru melahirkan hal-hal positif
dengan munculnya sekte-sekte atau golongan-golongan seperti yang ada di Indonesia
hingga saat ini. Meskipun masih terdapat selisih paham, namun hal tersebut justru
membuat masyarakat Indonesia akan kaya pengetahuan dan informasi, sebab
berbagai pemikiran tersebut bukan berarti tanpa dasar dan muncul secara tiba-tiba.
Namun, apabila perbedaan tersebut melahirkan adanya perpecahan yang berbuntut
pada perkelahian dan perang dingin antara masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi
akan menarik lagi, dan justru akan memberikan kesan mengerikan terhadap dunia
Islam sendiri. Mudahnya berbagai macam pemikiran yang masuk tersebut juga akan
64
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 2.
65
Ibid, h. 3.
60
66
http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-ini-
dinyatakan-menyimpang-1457599747 di akses pada tanggal 16 Maret 2016.
67
A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 15-16.
61
Selain itu, dalam sosok Ustadz Bachri yang memiliki bakat melukis juga
menjadi kritik untuk pada ulama agar mereka tidak ragu untuk menjadikan bakatnya
sebagai sumber penghasilan mereka. Meskipun sumber penghasilan tersebut masih
berkenaan dengan dunia Islam. Bakat Ustadz Bahcri memang cenderung berlainan
dengan sapaannya, sebagai seorang ustadz, awalnya ragu untuk terjun ke dunia seni.
“Wah, “kata tamunya masih belum lepas pandangannya ke tulisan di atas
pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.”
“Saya? Saya melukis kaligrafi?” Katanya sambil ketawa spontan.
“Tidak. Saya serius ini,” Tukas tamunya. “Sampeyan mesti melukis kaligrafi.
Goresan-goresan sampeyan berkarakter. („ini apa pula maksudnya?‟ Ustadz
Bachri membatin tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?
Betul ya! Tiga bulan lagi kawan-kawan pelukis kaligrafi, kebetulan akan
pameran. Nanti sampeyan ikut. Ya, ya?!”68
68
Ibid., h. 64.
69
Ibid., h. 14.
62
Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang ada
di dalamnya. Dikaitkan dengan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yaitu siswa mampu
menemukan unsur intrinsik cerpen berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya.
70
Ari Junaedi, Op.Cit., h. 3.
63
Maka dari itu, ketika siswa membaca kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan
cermat dapat menemukan unsur intrinsik yang sudah disebutkan. Siswa dapat
mengaitkan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan kejadian di luar karya
sastra atau unsur ekstrinsiknya. Disesuaikan dengan indikator maka siswa mampu
menemukan dan memahami sejarah yang dikaitkan ketika cerpen tersebut dibuat.
Hal tersebut mampu mengembangkan daya ingin tahu siswa mengenai sejarah apa
saja yang akan ditemui sesuai dengan cerpen yang dimaksud. Selain itu, siswa juga
bisa mengetahui hubungan antara karya sastra dankenyataan.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen karya
Gus Mus, yaitu “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi”, maka dapat
diambil beberapa simpulan, yaitu:
1. Kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen ini adalah anggapan masyarakat
tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi
kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi
institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan
tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain
pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di
kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren). Maka, dalam
kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu
mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi
segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus
mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian
tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara
umum.
2. Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.
Mustofa Bisri, implikasinya terhadap pembelajaran sastra agar para siswa
SMA kelas XI mampu menganalisis dan memahami unsur intrinsik dan
ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.
64
65
B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan
analisis dan implikasi adalah sebagai berikut:
1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya
meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang
bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan
memahami kritik sosial yang terdapat dalam karya sastra yang dibacanya.
2. Selain nilai moral guru dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat
menuntun peserta didiknya agar menangkap kritik sosial seperti apa saja
yang ada dalam karya sastra, dan diharapkan cerpen-cerpen Gus Mus bisa
dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sasrtra
Indonesia di sekolah-sekolah.
3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca
anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan
yang baik untuk pembentukan karakter si anak.
4. Dan yang terakhir, sebagai intelek yang bergerak di bidang sastra dan juga
calon pendidik (dalam hal ini adalah adik-adik kelas mahasiswa PBSI),
agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan baik karya sastra
melalui tinjauan sosiologi sastra dan juga ketika mengajarkan peserta
didiknya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-
ini-dinyatakan-menyimpang-1457599747 (diakses pada tanggal 16 Maret
2016).
B.S, Abdul Wachid. K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat: 29 Oktober
2005.
Cahyono, Rachmat H. Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus. Suara Pembaruan: 23
Mei 2004.
Chasnah, Ida Nur. Ekspresi Sosial Sajak-Sajak KH. A. Mustofa Bisri. Yogyakarta:
Logung Pustaka. 2005.
Hudiono, Anwar. Lebih Jauh dengan Hasan Ali dalam Kompas: 1 November 1998.
Kurniawan, Heru dan Sutardi. Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994.
MD., Moh Mahfud, dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta:
UII Press. 1997.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT
Bumi Aksara. 2010.
Riatmoko, Ferganata Indra. Mistifikasi Politik Gus Dur dalam Kompas: 14 Juni 2010.
Sayuti, Suminto A., Wiyatmi. Kritik Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007.
Siradj, Said Aqil. Pesantren, NU, dan Politik. Kompas. 3 Desember 2004.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sumbogo, Priyo B., Heddy Lugito dan Hidayat Tantan. Kiai Klelet dari Rembang.
Jakarta: Gatra, IV Januari. 1998.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.
2010.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Tri Priyatni. Endah, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010.
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sastra Indonesia. Cetakan Kedua.
Bandung: UPI PRESS. 2006.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP)
KELAS : XI
SEMESTER :I
A. STANDAR KOMPETENSI
Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerita
pendek
B. KOMPETENSI DASAR
Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerita pendek
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
Siswa dapat:
1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh
dan perwatakan.
2. Mampu mengaitkan cerpen dengan kejadian di luar karya (sejarah,
sosial, budaya)
E. METODE PEMBELAJARAN
Pemodelan
Inkuiri
Tanya jawab
Penugasan
F. STRATEGI PEMBELAJARAN
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Menjelaskan Membaca cerpen Siswa dapat
pengertian unsur Menemukan unsur mendeskripsikan
intrinsik dan intrinsik yang dan menemukan
berupa tema, latar,
ekstrinsik unsur intrinsik
tokoh dan
perwatakan (tema, latar, tokoh
Mengaitkan dan perwatakan)
cerpen dengan dan mengaitkannya
kejadian di luar dengan kejadian di
karya (sejarah, luar cerpen
sosial, budaya)
Pertemuan Kedua
I. PENILAIAN
1. Teknik
Tes (PG, isian, dan uraian)
Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik
2. Bentuk Instrumen Soal
a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?
b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan
cerpen Lukisan Kaligrafi?
c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam kumpulan cerpen
Lukisan Kaligrafi?
J. FORMAT PENILAIAN
UNSUR PENILAIAN
SKOR SKOR
No Unsur Intrinsik 1 2 3 4 5 Unsur Ekstrinsik 1 2 3 4 5
SILABUS
Sekolah : SMA/MA....
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas : XI
Semester :1
Standar Kompetensi : Membaca
Memahamiwacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen