Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH KHASANAH SASTRA ISLAM

“Analisis Karya Sastra Hamzah Fansuri Berbentuk Prosa ”


Dosen Pengampu : Trie Utarie Dewi, M.Hum
“Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah Khasanah Sastra
Islam”

Disusun Oleh :

Rafida Rachma : 1601045084


Amelia Mardhotillah : 1601045053
Maulina Dewanti : 1601045029
Zulha Hidayati : 1601045
7C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat serta hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas untuk membuat makalah
Khasanah Sastra Islam dengan judul “ Analisis Karya Sastra Hamzah Fansuri Berbentuk Prosa”.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Khasanah Sastra
Islam
Dalam penulisan Makalah ini kami menyadari mempunyai banyak kekurangan oleh
sebab itu bantuan dan dorongan telah kami terima dari semua pihak. Oleh karena itu tiada lupa
kami dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada Ibu Trie Utarie Dewi, M.Hum
selaku dosen mata kuliah Khasanah Sastra Islam dan teman-teman kami yang telah membantu
penyususan makalah ini.
kami mohon maaf jika terdapat kekurangan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, hal ini karena keterbatasan kami. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca semua. Amin.
Wassalamua‟alaikum Wr Wb.

Jakarta, Oktober 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah………………………………………………………………. 5
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAAN

A. Pengertian Sastra dan Prosa……………………………………………………. 6


B. Biografi Hamzah Fansuri………………………………………………………. 7
C. Analisis Karya Sastra Hamzah Fansuri Berbentuk Prosa………………………. 8

BAB III ANALISIS…………………………………………………………………….. 11

A. Dekripsi Umum Teks Syarat Al-Asyiqin…………………………………………11


B. Pengertian Wujud…………………………………………………………………13
C. Ajaran Tentang Tuhan…………………………………………………………….16
D. Ajaran Tentang Penciptaan Alam…………………………………………………22
E. Ajaran Tentang Manusia…………………………………………………………..25
F. Syariat……………………………………………………………………………..26
G. Tarikat……………………………………………………………………………..28

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan……………………………………………………………………………30
B. Saran………………………………………………………………………………..30

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..31

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sastra adalah kristalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang disepakati
masyarakat (Escarpit, 2005: viii). Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan
seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Proses penciptaan-Nya akan
selalu beriringan dengan perkembangan zaman yang sangat berpengaruh terhadap isi
sebuah karya sastra dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kemunculan sebuah
karya sastra bisa menjadi bagian sentral tumbuh kembangnya kebudayaan.
Karya sastra adalah bentuk kreativitas dalam bahasa yang indah berisi sederetan
pengalaman batin dan imajinasi yang berasal dari penghayatan realitas sosial pengarang.
Sebagai hasil ciptaan manusia, maka karya sastra merupakan sarana untuk
mengekspresikan pikiran, gagasan, dan tanggapan perasaan penciptanya. Karya sastra
diciptakan dari ide di sekitarnya dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan
emosional. Sebagai sebuah ciptaan yang bersifat imajinatif, selain berfungsi sebagai
hiburan yang menyenangkan, juga berfungsi untuk menambah pengalaman batin bagi
para pembacanya. Sebuah teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama,
yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikan kenikmatan
melalui unsur estetik), dan movere (mampu mengerakkan kreativitas pembaca) (Winarni,
2009: 2).
Karya sastra yang diciptakan pengarang menceritakan berbagai kehidupan
masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan sesama dan menyentuh hampir di
semua aspek kehidupan manusia dalam masyarakat. Karya sastra merupakan hasil dialog,
kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan. Meskipun karya sastra bersifat
imajinatif, bukan berarti merupakan hasil kerja lamunan belaka, melainkan sebuah
penghayatan dan perenungan yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan tanggung
jawab.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sastra?
2. Apa yang dimaksud dengan prosa?
3. Bagaimana biografi Hamzah Fansuri?
4. Bagaimana pengaruh latar belakang Hamzah Fansuri terhadap karyanya?
5. Bagaimana hasil analisis karya Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengertian sastra
2. Pengertian prosa
3. Biografi Hamzah Fansuri
4. Pengaruh latar belakang Hamzah Fansuri terhadap karyanya
5. Hasil analisis karya Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa

5
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Sastra dan Prosa


Sastra mempunyai fungsi ganda yakni menghibur sekaligus bermanfaat. Sastra menghibur
dengan cara menyajikan keindahan dan memberikan makna terhadap kehidupan. Proses
penciptaan karya sastra pada hakikatnya adalah proses berimajinasi. Hal ini sejalan dengan
pengertian prosa fiksi yakni rangkaian cerita yang diperankan sejumlah pelaku dalam urutan
peristiwa tertentu dan bertumpu pada latar tertentu pula sebagai hasil dari imajinasi
pengarang. Dengan demikian, proses penciptaan prosa fiksi adalah hasil kerja imajinasi yang
tertuang dalam bentuk lisan maupun bentuk tulisan (Wahid, 2004:65).
Menurut Teeuw dalam Kurniawan (2012:2) sastra secara etimologi berasal dari bahasa
Sansekerta, yaitu sas- yang berarti, mengarahkan, mengajarkanmemberi petunjuk, atau
instruksi. Sementara itu, kata -tra bermakna alat atau sarana. Oleh karena itu sastra dapat
bermakna sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Karya sastra memiliki fungsi menyampaikan ide-ide atau gagasan-gagasan seorang
penulis puisi, prosa, dan drama. Ide-ide itu dapat berupa kritik sosial, politik, budaya, dan
pertahanan keamanan berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar
tempat tinggalnya. Upaya menuangkan ide atau gagasan melalui karya sastra dapat dikatakan
sebagai upaya kreatif seorang penulis untuk mengajak masyarakat pembaca mendiskusikan
permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan (Nyoman, 2012:3).
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan karya
imajinatif yang berupa tulisan atau bahasa yang indah, menghibur, serta pengalaman hidup
penciptanya. Dengan bahasa yang indah dapat menimbulkan getaran jiwa terhadap orang yang
membaca dan mendengarkan sehingga melahirkan keharuan, kemesraan, kebencian,
kecemasan, dendam, dan seterusnya.

6
B. Biografi Hamzah Fansyuri

Hamzah Fansuri berasal dari Barus. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa tempat
kelahirannya berdasarkan pada pengakuan Hamzah Fansuri dalam karyanya. Kemunculannya
dikenal pada masa kekuasaan Sultan ‘Ala’ al-Din Ri‘ayatsyah di Aceh pada penghujung abad
ke XVI. Belum ada pakar sejarah yang menentukan secara tepat kapan tahun kelahirannya dan
pendapat yang diajukan oleh para peneliti hanya berdasarkan pada perkiraan sejarah dan
zaman dimana Hamzah Fansuri hidup. Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf yang
suka mengembara. Dalam pengembaraannya itulah ia mempelajari dan mengajarkan paham-
paham tasawufnya.
Pengembaraan Hamzah Fansuri ke berbagai penjuru dunia Timur di kala itu, yaitu ke
Timur Tengah, Siam, Malaka. Karya tulis Hamzah Fansuri juga dibuat dalam beberapa
bahasa, seperti dalam bahasa Arab, Persia dan Melayu. Ia juga dikenal dengan
pengembaraannya ke berbagai wilayah Nusantara dan dunia. Mulai dari Banten, dan bahkan
sampai ke seluruh Tanah Jawa, Semenanjung Melayu, India, Parsi, Arab. Adapun mengenai
silsilah keturunan dan kehidupannya, menurut Ali Hasjmy, ada hubungan darah antara
Hamzah Fansuri dengan ayah ‘Abd al-Ra’ūf al-Fansuri.
Pada penyelidikan ini Ali Hasjmy menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah saudara
kandung dari ‘Ali al-Fansuri. Syeikh ‘Ali Fansuri adalah ayah ‘Abd al-Ra’uf al-Fansuri.
Adapun makam Hamzah Fansuri menurut penelitian Dada Meuraxa bahwa makam Hamzah
Fansuri ada di satu kampung bernama Oboh yang terletak di hulu sungai Singkil. Menurutnya,
makam itu bertulis: inilah makam Hamzah Fansuri mursyid ‘Abd al-Ra’uf: Fansuri guru ‘Abd
al-Ra’uf. Mengenai tahun wafatnya Hamzah Fansuri secara tepat tidak ditemukan tetapi
Azyumardi Azra menyatakan bahwa Hamzah meninggal pada tahun 1607 M. meskipun
banyak perbedaan pendapat tentang wafatnya tokoh ini.
Hamzah Fansuri mengungkapkan melalui syair dakwah sufinya yang bernuansa monistik
(wujudiyyah) yang ditemukannya pengembaraannya yang banyak di Arabia, Baitul Maqdis,
Baghdad, Ayuthiya. Melihat dari perjalanan panjangnya, tidak diragukan lagi bahwa keilmuan
yang dimilikinya telah teruji dengan perjumpaannya dengan tokoh-tokoh yang ditemuinya
sepanjang perjalanannya. Kesamaan aliran tasawufnya dengan Ibn ‘Arabi diyakini benar
adanya berdasarkan konsep-konsep yang dianutnya, yaitu wihdah al-wujud, al-hulul dan al-

7
ittihad. Adapun mengenai tentang wafat Hamzah Fansuri dan kuburannya, tidak ditemukan
sumber yang benar-benar dipercaya. Dan semua naskah itu tidak memberikan informasi
mengenai kehidupan Hamzah Fansuri, kapan dia dilahirkan dan wafat serta di mana
jenazahnya dimakamkan. Namun, pendapat terbaru mengenai Hamzah Fansuri dikembangkan
oleh Claude Guillot dan Ludvik Kalus,13 yang menyatakan bahwa mereka menemukan
sebuah nisan yang berada di pekuburan Bab al-Ma‘la di kota Makkah. Tertulis di nisan
tersebut bahwa nama yang meninggal tersebut bernama Syeikh Hamzah bin ‘Abdullah al-
Fansuri yang meninggal pada tanggal 9 Rajab 933 H atau 1529 M. Meskipun demikian,
keterangan tersebut kurang diyakini oleh para peneliti. Karena pada penanggalan yang ada,
terpaut jauh dengan dasar penelitian yang menyatakan bahwa Hamzah hidup pada abad ke-
XVII M. Karya-karya Hamzah Fansuri ini hanya dapat ditemukan di dalam manuskrip yang
tidak terlalu banyak.
Minimnya jumlah karya Hamzah Fansuri yang ditemukan ini adalah berlawanan dengan
kemasyhurannya sebagai ahli ma‘rifat dan penyair. Perpustakaan Pesantren Tanoh Abe di
Aceh yang menyimpan ribuan manuskrip lama sampai sekarang belum diteliti dengan
sungguh-sungguh, dan mungkin terdapat karya Hamzah Fansuri yang lain, prosa maupun
puisi. Tidak mustahil masih ada karya-karyanya yang turut musnah dalam peristiwa
pembakaran kitab-kitab yang mengandung paham wujūdiyyah di Aceh pada tahun 1637M.
Hasil dari pengembaraan Hamzah Fansuri terlihat dari keluasan ilmu dan pengalamannya
dalam bidang tasawuf.
Pengalaman mistik dan keilmuannya dituangkan dalam berbagai karangan. Karangan
beliau dalam prosa yang dikenal sampai sekarang hanya tiga buah. Sedangkan yang terbanyak
adalah karya puisi atau syair. Adapun tiga karya yang berbentuk prosa adalah Syarab
al-‘Asyiqin, Asrar al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilmi al-Suluk wa al-Tawhid dan Zinat al-Muwahhidin.
Adapun karya Hamzah Fansuri yang berbentuk puisi antara lain adalah; Syair Perahu, Sidang
Fakir Empunya Kata, Syair Burung Pingai, Syair Ikan Tongkol, Syair Dagang, Syair Pungguk

8
BAB III
KITAB SYARAB AL-‘ASYIQIN DAN PEMBAHASANNYA

A. Analisis Karya Sastra Hamzah Fansuri Berbentuk Prosa


Karya sastra sering dinilai sebagai objek yang unik dan seringkali sukar diberikan
rumusan yang jelas dan tegas. Sastra adalah objek ilmu yang tidak perlu diragukan lagi.
Walaupun unik dan sukar dirumuskan dalam suatu rumusan yang universal, karya sastra adalah
sosok yangdapat diberikan batasan dan ciri-ciri, serta dapat diuji dengan pancaindra manusia
(Semi, 2012:24). Sastra dapat berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan sebagai sarana
menghibur diri pembaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Warren dalam (Nurgiyantoro, 2010:3)
yang menyatakan bahwa membaca sebuah karya sastra fiksi berarti menikmati cerita dan
menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin.
Religiositas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati (moving in the deep hart), riak
getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang
lain. Dengan demikian, sikap religius ini lebih mengacu pada pribadi seseorang dengan
khaliqnya, bertata laku sesuai dengan kuasa Tuhan (Lathief, 2008:175). Menurut Mangunwijaya
(dalam Nurgiyantoro, 2010:326-327) mengatakan bahwa kehadiran unsur religius dan
keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari
sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius. Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa religiositas merupakan nilai kerohanian
tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Pengalaman religi atau agama yang dialami seseorang dalam kehidupannya, bisa menjadi
inspirasi seorang pengarang untuk menuliskan dalam sebuah novel atau bentuk karya sastra
lainnya dengan memperhatikan nilai religiusnya. Oleh karena itu, sastra dan agama mempunyai
hubungan yang sangat erat sebab banyak diantara karya sastra yang merupakan sarana
penyampaian nilai-nilai keagamaan dan salah satunya seperti dalam analisis karya sastra karya
Hamzah Fansyuri yang berbentuk prosa.

9
B. Deskripsi Umum Teks Syarab Al-‘Asyiqin

Syarab al-‘Asyiqin (minuman orang berahi atau bercinta) yang juga dikenal dengan Zīnat
al-Muwahhiddin (Perhiasan ahli tauhid). Kitab ini ditulis pada akhir abad ke-16 M., ketika
perdebatan tentang ajaran wujudiyah (wahdat al-wujud) sedang berlangsung di Sumatera,
khususnya di Aceh, yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuluddin, dan ahli ilmu fiqih
terkemuka pada masa itu. Perdebatan tentang wujudiyah ini lebih dikenal sebagai perdebatan
tentang al-a’yan al-tsabitah1 yang menjadi pusat permasalahan di dalam ajaran wujudiyah.
Sebelum Syarab al-‘Asyiqin ditulis, tak ada bukti yang menyatakan bahwa telah ada kitab lain
yang ditulis di dalam bahasa Melayu. Itulah sebabnya mengapa al-Attas meyakini bahwa karya-
karya Hamzah Fansuri merupakan kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu.
Kitab ini ditujukan kepada mereka yang baru mulai mengikuti jalan tasawuf. Uraiannya ringkas
dan sederhana, tidak terlalu rumit. Yang merupakan inti sari ajaran wahdat al-wujud yang telah
diasaskan oleh Ibn al-‘Arabi, Sadruddin Qunawi, Fakhruddin Iraqi, dan Abdul Karim al-Jili. Di
dalamnya diuraikan tahap-tahap ilmu tasawuf yang terdiri dari syariat, tarikat, hakikat dan
makrifat. Dijelaskan pula di dalamnya mengenai cara-cara mencapai makrifat menurut disiplin
kerohanian Tarikat Qadiriyah.

Naskah teks Syarab al-‘Asyiqin dijumpai di dalam beberapa manuskrip. Naskah yang ada
ialah koleksi Snouck Hurgronje yang ia temukan di Aceh pada akhir abad ke-19 dan sekarang
disimpan di Bibliotheek der Rijksuniversiteit Leiden, dengan kode manuskrip Leiden Codex
Orientalis 7291 (MS Cod. Or. 7291). Teks yang lebih lengkap dari yang ditemukan oleh Snouck
Hurgronje, djumpai di Banten dan disimpan di tempat yang sama, di Leiden, tetapi dengan
pengkodean yang berbeda, yaitu MS Cod. Or. 2016. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
teks yang berada di Banten ini terjemahan dalam bahasa Jawa. Naskah Syarab al-‘Asyiqin versi
Jawa ini telah disalin dan disunting serta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes
dan Brakel. Teks yang terdapat di dalam manuskrip Leiden ini juga telah ditransliterasi oleh
Doorenbos untuk disertasi doktornya yang brjudul De Geschriften van Hamzah Pantsoerim dan
oleh Syed Muhammad Naguib al-Attas, juga untuk lampiran disertasi doktornya berjudul The
Mysticism of Hamzah Fansuri.

10
Kitab ini terdiri atas tujuh bab, yaitu sebagai berikut : Bab pertama menyatakan perbuatan
syariat, yaitu syahadat, shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadan, dan pergi ke tanah
suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Bab kedua menyatakan bahwa tarikat tiada lain
daripada hakikat, karena tarikat itu merupakan permulaan dari hakikat. Permulaan hakikat yang
dimaksud, yaitu tidak menaruh harta serta meninggalkan dunia untuk menjadi orang yang
mengisi kubur. Bab ketiga menyatakan bahwa hakikat adalah kesudahan jalannya. Manusia yang
sudah sampai tingkat ini tidak akan merasa suka dan duka, hina dan mulia, kaya dan miskin, atau
sakit dan nyaman, semua itu sama saja. Ia tidak melihat dirinya melainkan Allah Swt. juga yang
dilihatnya, karena kepada ahli hakikat wujud sekalian alam itu adalah wujud Allah Swt. Bab
keempat menyatakan bahwa orang yang sudah mencapai makrifat itu akan mengetahui rahasia
Nabi Saw. dan sifat-sifat Allah Swt. diantaranya, yaitu Allah Swt. Esa tiada dua, Awal tiada
akhir, khalik tiada makhluk, dan lain sebagainya.

Bab kelima berisi tentang kenyataan Sat Tuhan yang maha tinggi dan tidak dapat
dipikirkan. SatTuhan ini yang dinamai ahli suluk la ta’ayun (tidak nyata), yang nyata ialah
ta’ayun yang terbagi dalam lima martabat, yaitu ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, ta’ayyun
ta’ayyun tsalits, ta’ayyun rabi dan khamis. Bab ini merupakan bab yang penting, sebab di
dalamnya diuraikan asas-asas ontologi wujudiyah. Bab keenam berisi tentang sifat-sifat Allah
Swt. yang sudah dijelaskan dalam bab keempat. Hanya saja, dalam bab ini ada tanya-jawab
tentang agama, misalnya perbedaan antara Islam dan kafir yang sama-sama dijadikan Allah Swt.
Bab yang terakhir yaitu bab 7, yang di dalamnya Hamzah Fansuri membicarakan berahi atau
‘isyq dan syukr (kemabukan mistis), dua gagasan kerohanian yang merupakan tujuan utama
seorang sufi. ‘isyq adalah keadaan ruhani (hal) yang menurut Hamzah Fansuri merupakan
tingkatan yang tinggi di dalam ilmu tasawuf, sebab ia merupakan anugerah Tuhan. Seorang sufi
yang mencapai tingkatan ‘isyqini tidak takut mati, karena baginya mati itu titian yang
menyampaikan kekasih kepada Kekasih yaitu kepada Allah Swt. dengan cara menyerahkan diri
kepada Allah Swt. melalui jalan tajrīd (menyendiri) dan tafrid (tidak bergaul dengan manusia).
Lawan dari berahi adalah budi yang membuat manusia ingin hidup menikmati kesenangan
duniawi, mencari harta, dan kekuasaan.

11
1. Syahadat
Pengertian Syahadatain Syahadat adalah berasal dari bahasa Arab yaitu syahida yang
berarti telah bersaksi. Kemudian secara harfiah maknanya ialah memberikan kesaksian dan
memberikan pengakuan. Setelah mengikrarkan dua kalimt syahadat kemudian mengetahui
makna yang terkandung didalam keduanya dan segala konsekuensinya, sehingga kita dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu kita beriman dan bertaqwa kepada Allah,
menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangannya, menyembah hanya kepada Allah
tanpa menyekutukannyasedikitpun dengan sesuatu apapun merupakan bentuk dan implementasi
terhadap kalimat tauhid. Selalu mengikuti sunnah Nabi, ittiba’, tidak taklid atau ikut-ikutan
dalam mengerjakan suatu amalan ibadah, terlebih lagi menjauhi segala perbuatan bid’ah apapun
bentuknya sebagai bentuk utama dari penerapan sekaligus konsekuensi terhadap kalimat
syahadat.
Syahadat yaitu ucapan ayshadu Alla ilaha illallah wa ayshadu Anna
Muhammadarrasulullah (aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya) Syahadat menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu syahida yang artinya telah
bersaksi. Arti secara harfiah syahadat adalah memberikan persaksian,memberikan ikrar setia dan
memberikan pengakuan. Syahadat terdiri dari dua kalimat persaksian yang disebut dengan
Syahadatain, yaitu:
1. Ayshadu An-la ilaha illallah yang artinya saya bersaksi tiada tuhan selain Allah
2. Wa Ayshadu Anna Muhammada Rasulullah yang artinya dan saya bersaksi bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah.(Hamid Ahmad At-Thahir, 2010)
Pernyataan kalimat Syahadat dengan lisan paling tidak diucapkan satu kali seumur hidup
sebagai pernyataan hasi secara resmi, sebagai pernyataan awal sebagai pemeluk agama Islam.
Sebagai konsekuensinya setiap muslim dikenai kewajiban berikutnya, yang masing-masing
mempunyai ketentuan yang khusus bagi setiap macam ibadah. Sementara itu adalah kenyataan
seorang muslim yang baik tidak hanya mengucapkan sekali saja ucapan Syahadat, sebab setiap
menunaikan shalatb akan diulangi berkali-kali bacaan sahadat itu. ( Abu Su’ud,2003: 169)

12
Rukun imam yang paling fundamental yang diajarkan oleh Allah adalah keesaan Allah
(Tauhid). Hal ini diekspresikan dalam kalimat syahadat perta yang berbunyi laa ilaha illallah,
yang berarti “tidak ada tuhan selain Allah.” Ekspesi iman ini membedakan orang muslim sejati
denga orang kafir (yang tidak beriman). Hal ini penting sekali karena ekspresi itu membebaskan
konsep tauhid (keesaan Allah) dari semua ketidaksucian dan menjadikannya suci, sederhana, dan
terlepas dari setiap bahaya syirik. (Begum ‘Aisyah Bawany, 1994:17)
Syahadat adalah pengakuan dan penyaksian dengan sebenarnya baik secara lahir maupun
batin.
Kalimat Syahadat:
Artinya: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Dua kalimat syahadat ialah:
1. Syahadat Tauhid : Artinya menyaksikan dan mengakui ke Esaan Allah SWT.
2. Syahadat Rasul : Artinya menyaksikan dan mengakui ke Rasulan Nabi Muhammad
Saw. (S.A.Zainal Abidin,2001:16-17).
Makna kata Muhammad Rasulullah,menuntut kesediaan menjadikan Rasullullah sebagai
teladan, sehingga bernilai disisi Allah. Kalimat ini menjadikan seorang muslim memiliki rasa
cinta, ridho dengan segala yang dicontohkan dari segi amal, perkataan dan semua tingkah laku
beliau. (Ummu Yasmin,2004 : 48).
Selain sifatnya yang dimaksud oleh Allah atau juga karena keteladanan Rasulullah dan
juga pengorbanan yang sangat mulia kepada umatnya. Allah telah menganugerahkan syafaat dan
derajat yang tinggi kepada Rasulullah, menunjuki manusia agar manusia mencintai beliau dan
melandasi kehendak untuk mengikuti beliau karena cinta kepada Allah.tentang akhlak beliau,
Sayyidah ‘Aisyah pernah berkata : “ Akhlak beliau adalah alquran .” menurut Syaikh
Muhammad Ali Al Harakan : “ Maka siapa yang memiliki akhlak seperti akhlak beliau, dialah
orang yang paling baik, paling sempurna, dan paling layak menerima cinta semua hamba
ALLAH.” (Syafiyurrahman Al Mubarakfury, 2001 :19 ).
Kata “Ilah” mempunyai pengertian yang sangat luas,mencakup pengertian Rububiyah
dan Mulkiyah,maka kata inilah yang dipilih Allah SWT. untuk kalimat thayyibah yaitu:
La Illahaillallah. Iqrar La Illahaillallah bersifat komprehensif,mencakup pengertian :
• La Khaliqa Illallah (Tidak Ada Yang Maha Pencipta Kecuali Allah).

13
• La Raziqa Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memberi Rezeki Kecuali Allah).
• La Hafizah Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memelihara Kecuali Allah).
• La Mudabbira Illallah (Tidak Ada Yang Mengelola Kecuali Allah).
• La Malika Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memiliki Kecuali Allah,Tidak ada Yang
Maha merajai Kecuali Allah).
• La Waliya Illallah (Tidak Ada Yang Maha Memimpin Kecuali Allah).
• La Hakima Illallah (Tidak Ada Yang Maha Menentukan Aturan Kecuali Allah).
• La Ghayata Illallah (Tidak Ada Yang Maha Menjadi Tujuan Kecuali Allah).
• La Ma’buda Illallah (Tidak Ada Yang Maha Disembah Kecuali Allah).
(Hadis Purba,dkk,2016:83-89)
Dimasa sekarang ini, kalimat tauhid menjadi miss oriented, seperti tidak ada cinta lagi
yang membingkainya. Kini kalimat tauhid itu menjadi kunci keberkahan yang hilang.Padahal
kunci keberkahan dari langit itu adalah taqwa yang dilandasi ajaran syahadat beserta
pengamalannya. Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan “Seseorang tidak dikatakan beriman
kepada Allah, kalau dia tidak bertauhid, orang yang bertauhid dan bertakwa akan diberikan jalan
keluar dari berbagai masalah hidupnya.”,Ibnu Qoyyim rahimahullah juga berkata : “ Tauhid
mampu membukakan pintu kebaikan, kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, dan kegembiraan
bagi seorang hamba.” (Qommarudin, 2014 :10).
Syahadah juga termasuk dalam misi atau prinsip gerakan dakwah Nabi Muhammad saw,
yang dulunya bersifat monoteisme didalam bacaan-bacaan awal menjadi teologi dominan yang
disebut sebagai pesan social.Mulai saat itulah dua sumber kalimat ini disebarkan secara massive
dengan terang-terangan setelah bertahun-tahun pola dakwah yang digunakan adalah dengan
secara sembunyisembunyi.( Reza Aslan, 2007 :99 ). Allah (Nafi Itsbat)
Untuk menerjemahkan iqrar La Ilaha Illallah ke dalam bahasa Indonesia kita harus
terlebih dahulu memahami susunan kalimatnya. La yang terdapat pada awal iqrar tersebut adalah
La Nafiyata Liljinsi,yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis Ilah. Illa adalah huruf
istisna (pengecualian)yang mengecualikan Allahdari segala macam jenis Ilah yang dinafikan.
Bentuk kalimat seperti ini dinamai kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsbat
(positif).Kata illa berfungsi mengitsbatkan kalimat yang manfi.Dalam kaidah bahasa Arab itsbat
sesudah nafi itu mempunyai maksud alhashru (membatasi) dan taukid (menguatkan).Dengan

14
demikian kalimat Tauhid ini mengandung pengertian sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-
benar berhak disebut Tuhan selain Allah SWT semata. (Yunahar Ilyas, 2010:31)

Sholat

Salah satu ibadah yang wajib dan ditekankan dalam Islam adalah ibadah sholat. Secara bahasa
sholat sendiri berarti do’a sedang secara istilah, Shalat Wajib merupakan ibadah wajib yang
dilakukan dengan ucapan dan perbuatan diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta
melakukan rukun sholat dengan syarat tertentu. Secara hakekat, sholat menghadapkan jiwa pada
Allah SWT.(Baca : Hukum Membaca Doa Iftitah)
1. Syarat Wajib Sholat
 Muslim
 Berakal sehat
 Baligh
 Suci dari hadats besar dan kecil
 Sadar

2. Syarat Sah Sholat


 Masuk waktu sholat
 Menghadap kiblat
 Menutup aurat
 Suci badan, tempat sholat, dan pakaian yang digunakan
 Tahu tata cara pelaksanaannya

Rukun sholat atau tahapan dalam melakukan sholat yaitu:


 Niat ; Niat bisa diucapkan dengan suara lirih atau di dalam hati saja. Ada yang
mengucapkan niat dalam bahasa Arab namun ada kalangan lain yang mengungkapkan bahwa
niat tersebut berupa niatan untuk melakukan sholat tertentu tidak berupa kalimat yang pasti.
(Baca : Shalat Sunnat)
 Berdiri tegap jika mampu ; Sholat pada dasarnya dilakukan dengan berdiri tegap jika
mampu namun jika tak mampu misalnya karena sakit maka bisa dilakukan dengan duduk atau
bahkan berbaring.(Baca : Hukum Sholat Jumat Bagi Wanita)
 Takbiratul ihram ; Takbiratul ihram merupakan bacaan “Allahu akbar” yang diucapkan
di awal melakukan shalat dan gerakan-gerakan lainnya.
 Membaca Surat Al fatihah setiap rokaatnya ; Setiap rakaat orang yang melakukan
shalat wajib untuk membaca surat Al Fatihah. Ada baiknya juga mengerti maknanya sehingga
bisa meresapi apa yang dibaca.

15
 Ruku’ ; Ruku’ merupakan gerakan menunduk dengan posisi lurus 90 derajat dan kedua
tangan menyentuh bagian lutut. Pada saat ruku’ menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-
Syafi’I dibaca bacaan “Subhana Rabbial Adzim” sebanyak tiga kali. Namun ulama lain, Imam
Malik mengungkapkan bahwa tidak ada bacaan yang baku untuk ruku’.
 I’tidal ; I’tidal merupakan gerakan sholat yang dilakukan setelah gerakan ruku’ berupa
berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan. Bacaan I’tidal yaitu “Sami’Allahu limah hamidah.”
 Sujud ; Gerakan sujud dalam sholat yaitu dengan menempelkan dahi dan hidung di lantai
atau tempat sujud. Kedua tangan juga diletakkan di lantai sejajar dengan pundak dan telinga.
Jari-jari tangan dirapatkan serta menghadap ke kiblat, sedangkan kedua lutut berada di lantai.
 Duduk di antara dua sujud ; Duduk di antara dua sujud merupakan posisi duduk
setelah bangun dari sujud yang pertama.
 Duduk tahiyatul akhir ; Duduk tahiyatul akhir merupakan posisi duduk setelah sujud
yang kedua. Dilakukan pada rakaat kedua dan keempat jika sholatnya empat rakaat. Untuk shalat
subuh dilakukan di rakaat kedua sedangkan sholat maghrib dilakukan saat rakaat kedua dan
ketiga.
 Membaca tasyahud akhir ; Tasyahud akhir dilakukan setelah gerakan duduk di akhir
shalat dengan pantat di lantai dan kaki kiri dimasukkan ke bawah kaki kanan. Setelah itu
membaca lafal tasyahud akhir.
 Membaca shalawat nabi ; Saat membaca tasyahud akhir maka dibaca shalawat nabi.
 Mengucap salam ; Gerakan terakhir adalah mengucapkan salam yaitu
“Assalamualaikum Warohmatullahi wabarakatuh” dengan menolehkan kepala ke sebelah kanan
terlebih dahulu kemudian menolehkan kepala ke sebelah kiri.
 Tertib ; Pelaksanaan sholat dilakukan dengan tertib sesuai dengan urutannya.
Baca artikel sholat :

 Shalat Fardhu
 Shalat Tasbih
 Shalat Istikharah
 Shalat Hajat
Sholat wajib dalam ajaran agama Islam berupa shalat lima waktu yang dikerjakan setiap harinya.
Sholat lima waktu tersebut terdiri dari Shalat Subuh, sholat dhuhur, sholat ashar, sholat maghrib,
dan sholat isya’. Setiap muslim wajib mengerjakannya setiap hari.(Baca : Tata Cara Sholat
Sunah Rawatib)
Sholat sendiri bisa menghindarkan kita dari perbuatan maksiat jika sholat tersebut memang
dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Bacaan-bacaan dalam sholat sendiri seharusnya juga tidak
hanya sekedar dihafalkan saja namun dipahami maknanya sehingga dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.(Baca : Tata Cara Shalat Jamak)
Sejarah kewajiban sholat sendiri melalui perjalanan yang luar biasa yaitu Tahun Baru dalam
Islam Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Melalui sholat, muslim bisa

16
berkomunikasi dengan Allah SWT sehingga saat sholat seharusnya bisa mengerjakan dengan
khusyu’ dan tidak asal-asalan.(Baca : Do’a Setelah Shalat Fardhu)
Muslim yang melakukan sholat dengan baik maka bisa menerapkan kedisiplinan dalam dirinya.
Etos kerja seseorang dapat ditingkatkan dengan rutin melakukan sholat karena sholat sendiri
sebenarnya bukan hanya ibadah ritual saja yang setelah selesai maka akan berlalu begitu saja.
Sholat bisa menjadi begitu bermakna jika pelaksanaannya secara khusyu’ atau dihayati dalam
hati.

3. Puasa

Puasa yang dimaksud adalah puasa pada bulan Ramadan yang merupakan bulan kesembilan
dalam bulan Hijriyah. Umat Islam wajib melakukan Ibadan puasa tersebut untuk menunjukkan
keimanan dan ketakwaannya. Berpuasa di bulan Ramadan menjadi salah satu kewajiban
sekaligus ujian sebagai seorang muslim.(Baca : Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa)
Puasa sendiri berarti menahan makan, minum, dan hubungan suami istri mulai terbit fajar sampai
dengan terbenamnya matahari. Puasa sendiri sebenarnya tidak sekedar Cara Ampuh Menahan
Nafsu Di Bulan Ramadhan seperti makan-minum dan berhubungan suami-istri saja namun ada
beberapa hawa nafsu lain yang juga perlu ditahan seperti rasa marah, berbohong, mencuri, dan
perilaku berdosa lainnya.(Baca : Hukum Puasa Tanpa Sahur)
Selain berpuasa di bulan Ramadhan, umat Islam juga memiliki jenis puasa lainnya yang sifatnya
sunnah. Puasa bulan Ramadhan sendiri merupakan puasa yang wajib dilakukan oleh setiap
muslim yang sudah baligh, berakal, sehat/mampu untuk melakukannya, dan dalam keadaan
mukim.(Baca : Hukum Menangis Saat Puasa)
Para wanita yang berhalangan berpuasa di bulan Ramadhan diwajibkan untuk mengganti
puasanya di bulan-bulan lainnya. Begitu juga bagi yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa
seperti sakit atau sudah tua maka bisa membayar fidyah untuk mengganti puasa yang tidak bisa
dilakukannya tersebut.(Baca : Amalan di Bulan Ramadhan Bagi Wanita Haid, Larangan Saat
Haid)
Baca juga :

 Hukum Membaca Alqur’an Saat Haid


 Hukum Wanita Haid Masuk Masjid
 Keramas Saat Haid

17
 Hukum Wanita Haid Ziarah Kubur
 Niat Mandi Haid
 Doa Mandi Haid
Keutamaan Puasa di bulan Ramadhan bagi Umat Islam
 Ramadhan merupakan bulan diturunkannya Al-quran.
Umat Islam diwajibkan berpuasa di bulan Ramadhan yang merupakan bulan turunnya Al-
quran. Amalan di Bulan Ramadhan menjadi bulan yang mulia apalagi dengan diturunkannya Al-
quran sebagai kitab suci umat Islam yaitu  Dasar Hukum Islam.
 Pada bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu-pintu
surga dibuka. Banyak yang kemudian bertanya-tanya mengapa di bulan Ramadhan masih tetap
terjadi banyak kejahatan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Maksud dari setan-setan
dibelenggu yaitu karena sedikitnya maksiat yang dilakukan karena banyak orang yang sedang
melakukan puasa. Sedangkan pintu surga dibuka karena banyak amal yang dilakukan oleh umat
Islam saat bulan Ramadhan.(Baca : Bahagia Menurut Al-Quran)
 Terdapat malam Lailatul Qadar. Di bulan Ramadhan terdapat malam yang lebih baik dari
seribu bulan yaitu Doa di Malam Lailatul Qadar yang terdapat pada Malam Terakhir Bulan
Ramadhan yaitu 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Malam tersebut merupakan malam
diturunkannya Al-quran. Allah berfirman dalam surat Al-qadr bahwa malam tersebut merupakan
malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan.(Baca : Keutamaan Malam Lailatul Qadar)
 Pada bulan Ramadhan merupakan waktu yang baik dikabulkannya doa di bulan
Ramadhan. Orang yang berpuasa memiliki pahala yang besar belum lagi doa-doa yang
diucapkan dapat terkabulkan.
Manfaat Puasa dari Berbagai Aspek
 Merupakan ibadah pada Allah SWT sehingga seorang hamba dapat bertakwa kepada
Allah SWT.
Puasa merupakan bentuk ibadah yang personal, hanya orang yang menjalankan dan Tuhan saja
yang tahu persis apakah betul-betul dijalankan sesuai aturan ataukah tidak.
 Dari segi kesehatan.
Puasa bisa dijadikan cara untuk menjaga pola hidup yang teratur dan sehat. Baik pada saat sahur
dan berbuka maka makanan yang dimakan sebaiknya makanan yang sehat namun tidak
berlebihan.(Baca : Tips Puasa Ramadhan untuk Ibu Hamil,  Tips Puasa Ramadhan untuk Ibu
Menyusui)
 Dari segi ekonomi.
Puasa bisa menjadi berkah bagi banyak orang seperti pedagang makanan, pedagang pakaian
muslim, dan lain-lain. Bagi yang menjalankan ibadah puasa, maka bersedekah di bulan puasa
juga menjadi salah satu kelebihan tersendiri.
 Dari segi sosial.
Umat Islam diajarkan untuk merasakan bagaimana saudara kita yang kelaparan karena
kekurangan makan dan minum. Saat bulan ramadhan, maka umat Islam menjadi lebih banyak
bersedekah dan melakukan zakat.
4. Zakat

Rukun Islam yang keempat adalah zakat. Zakat dari bahasa Arab yaitu Zakah  atau zakat yang
berarti harta tertentu yang wajib dikeluarga oleh umat Islam untuk diberikan pada

18
kaum Penerima Zakat yang berhak menerimanya. Dari segi bahasa maka Zakat Dalam
Islam berarti bersih, suci, berkat, subur, dan berkembang.
Zakat merupakan salah satu ibadah yang wajib untuk dilakukan oleh umat Islam sejak tahun 662
M. Zakat kemudian diterapkan dalam negara-negara Islam dan diatur melalui lembaga tertentu.
Jenis zakat sendiri ada dua yaitu Zakat Fitrah dan Zakat Maal atau zakat harta.
Zakat fitrah merupakan Zakat Penghasilan yang wajib dikeluarkan menjelang idul fitri yang
berupa makanan pokok di daerah yang bersangkutan. Besarnya zakat fitrah sendiri setara dengan
3,5 liter atau 2,7 kilogram. Sedangkan zakat maal merupakan zakan yang dikeluarkan seorang
muslim dari harta yang dimilikinya mencakup hasil perniagaan, pertambangan, pertanian, hasil
laut, harta temuan, emas, perat, ataupun hasil ternak.(Baca : Cara Menghitung Zakat Maal)
Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan kegiatan sosial karena dapat membantu
orang-orang yang tidak mampu.(Baca : Hukum Zakat Pendapatan)
Syarat Penerima Zakat ada 8 golongan yang berhak menerima zakat yaitu:
 Fakir ; Fakir merupakan orang yang hampir tidak memiliki harta apapun sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup pokoknya sehari-hari.
 Miskin ; Orang miskin merupakan orang yang memiliki harta namun harta tersebut tidak
dapat mencukup kebuthan hidupnya sehari-hari.
 Amil ; Amil merupakan orang yang mengumpulkan serta membagikan zakat. Amil bisa
berupa panitia zakat ataupun lembaga zakat yang membantu mengumpulkan dan membagikan
zakat.
 Mu’alaf ; Mu’alaf merupakan orang yang baru saja masuk Islam, mereka perlu bantuan
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya. Mereka perlu bantuan dukungan agar dapat
menjalankan agama Islam dengan baik.
 Hamba sahaya ; Hamba sahaya merupakan budak yang ingin memerdekakan diri. Di
zaman dahulu budak memang banyak ditemui, namun sekarang sistem perbudakan sendiri sudah
dicoba dihapuskan.
 Gharimin ; Gharimin merupakan orang yang berhutang untuk kebutuhan halal namun
mereka tidak mampu memenuhinya. Orang yang memiliki hutang ini juga menjadi golongan
yang berhak mendapatkan zakat.
 Fisabilillah ; Fisabilillah merupakan orang-orang yang berjuang di jalan
Allah. Fisabilillah bisa berupa pendakwah, pejuang perang, dan sebagainya. Perjuangan mereka
di jalan Allah perlu diperhatikan oleh sesama umat Islam salah satunya dengan memberikan
zakat kepada mereka.
 Ibnus Sabil ; Ibnus sabil merupakan orang yang sedang dalam perjalanan namun
kehabisan biaya.
Zakat sendiri memiliki berbagai manfaat baik dari segi agama maupun sosial. Selain sebagai
salah satu rukun Islam, zakat juga memiliki faedah dari sisi akhlak. Orang Islam diajarkan untuk

19
memiliki rasa toleran dan berbagai kepada sesama yang membutuhkan. Zakat dapat membantu
orang lain yang tidak mampu dan mampu mengurangi kecemburuan sosial.

Orang yang berzakat dapat menyucikan hartanya dan orang yang menerimanya juga akan
bersyukur masih ada orang yang memperhatikan mereka. Melalui zakat, umat Islam dapat belajar
untuk selalu mengingat sesame sehingga nantinya tidak hanya berzakat saja tapi melakukan amal
sosial yang lain seperti bersedekah. Memberikan sesuatu pada orang yang membutuhkan menjadi
salah satu wujud rasa syukur kita atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.

Baca juga :

 Tips Mengatur Keuangan Rumah Tangga


 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
 Keutamaan Sedekah Dalam Islam
 Emansipasi Wanita dalam Islam
 Ibu Tiri dalam Islam
5. Haji

Rukun Islam yang kelima adalah haji. Keutamaan Ibadah Haji ini merupakan Syarat Wajib
Haji sekali dalam seumur hidup bagi yang mampu. Tak semua orang bisa melakukan ibadah haji
karena masalah tak memiliki harta yang cukup atau dalam keadaan sakit. Ibadah haji sendiri
merupakan ibadah fisik yang membutuhkan kesehatan yang prima sehingga dapat melakukannya
dengan baik. Ibadah haji sendiri ada beberapa jenis, misalnya haji ifrad, haji tamattu’, dan
haji qiran.
 Haji ifrad merupakan haji menyendiri baik menyendirikan haji ataupun menyendirikan
umrah. Karena yang wajib adalah Ibadah haji maka pada haji ifrad yang didahulukan adalah
ibadah hajinya.(Baca : Keutamaan Ibadah Umroh)
 Haji tamattu’ merupakan haji yang bersantai yaitu dengan melakukan umrah terlebih
dahulu di bulan haji, lalu baru melaksanakan ibadah haji di tahun yang sama.(Baca : Pengertian
Mahram)
 Haji qiran merupakan haji yang menggabungkan antara ibadah haji dengan ibadah
umrah. Orang yang berhaji qiran melaksanakan semua rukun dan wajib haji sampai selesai. Pada
ibadah yang satu ini berarti melakukan dua thawaf dan dua sa’i.
Rukun Haji atau perbuatan yang wajib dilakukan saat berhaji
 Ihram ; Ihram merupakan niatan untuk masuk manasik haji. Wajib ihram mencakup
ihram dari miqot, tidak memakai pakaian berjahit yang menunjukkan lekuk badan serta
bertalbiyah.(Baca : Muhrim Dalam Islam)

20
 Wukuf di Arafah ; Wukuf di Arafah cukup penting karena bagi yang luput dari wukuf
di Arafah maka hajinya menjad tidak sah. Wukuf sendiri berarti hadir di daerah di Arafah walau
dalam keadaan tidur, sadar, duduk, berjalan, atau berkendara.
 Tawaf ifadah ; Tawaf berarti mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Syarat
melakukan tawaf yaitu berniat, suci dari hadats, menutup aurat, di dalam masjid walau jauh dari
Ka’bah, Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang tawaf, tawaf dilakukan tujuh kali, dilakukan
berturut-turut tanpa ada selang jika tak ada hajat, dan memulai tawaf dari Hajar Aswad.
 Sa’i ; Sa’i yaitu berjalan antara Safa dan Marwah untuk beribadah. Syarat Sa’i yaitu
berniat, berurutan, dilakukan berturut-turut, menyempurnakan sampai 7 putaran, dan dilakukan
setelah melakukan tawaf yang shahih.
 Mencukur rambut di kepala atau memotong sebagian
Kegiatan yang dilakukan dalam ibadah haji menurut waktunya
 Sebelum 8 Zulhijah melakukan tawaf haji di Masjidil Haram
 Pada 8 Zulhijah para jamaah haji bermalam di mina.
 Pada 9 Zulhijah pagi harinya para jamaah pergi ke Arafah. Di sana pada jamaah
melakukan wukuf sampai maghrib datang.
 Pada 10 Zulhijah setelah pagi harinya di Muzdalifah lalu jamaah menuju ke Mina untuk
melakukan Jumrah Aqobah.
 Pada 11 Zulhijah para jamaah melempar jumrah sambungan (Ula) di tugu pertama,
kedua, dan ketiga.
 Pada 12 Zulhijah para jamaah melempar jumrah sambungan.
 Sebelum pulang ke negara masing-masing para jamaah melakukan tawaf Wada’ atau
tawaf perpisahan.

Haji yang dilakukan dengan baik tidak hanya membuat seseorang mendapatkan pahala saat
beribadah saja namun dapat membuat dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Saat sudah
kembali ke negara asalnya maka seseorang yang telah berhaji seharusnya menjadi seorang
muslim yang lebih taat dan berakhlak mulia.

21
C. Pengertian Wujud

Untuk mengetahui ajaran tasawuf Hamzah Fansuri yang terdapat di dalam karyanya yang
berjudul Syarab al-‘Asyiqin terlebih dahulu harus dipahami pengertian wahdat al-wujud.
Karena di dalam karya Hamzah Fansuri ini terkandung doktrin ajaran wahdat al-
wujud.Wahdat al-wujud (wujudiyah) adalah ungkapan yang terdiri dari dua suku kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdata rtinya yang satu, tunggal, esa, atau kesatuan, sedangkan al-
wujud artinya ada. Amatullah Amstrong memberikan definisi wahdat al-wujud sebagai
kesatuan eksistensi, kesatuan wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir perjalanan hanyalah
Allah Swt. yang ditemukan. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata
wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Di kalangan ulama ada
yang mengartikan wahdat sebagai sesuatu Sat-Nya yang tidak dapat dibagi-bagi pada bagian

22
yang lebih kecil lagi. Selain itu kata wahdat digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik
sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara
yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah Swt. Karena alam dari segi
hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Kata wujud biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “being”dan
“existence.”Di samping dua terjemahan itu, ada pula yang menambahkan dengan kata yang
berbeda dengan terjemahan yang sama, yaitu “finding.” Kata wujud telah masuk ke dalam
kosa kata bahasa Indonesia, tetapi mempunyai dua cara penulisan, yaitu, “wujud” (dengan w)
dan ujud (tanpa w), yang mempunyai arti “yang ada rupa dan bentuknya,” “tujuan; maksud,”
“sesuatu yang berupa (dapat dilihat, diraba, dsb)”, “benda (yang nyata, konkret)”, “rupa
(bentuk, dsb) yang kelihatan.” Di dalam bahasa Arab, kata wujūd, bentuk masdar dari wajada
dan wujida, yang berasal dari akar kata w-j-d. Kata wujud tidak hanya mempunyai
pengertian obyektif tetapi juga subyektif. Dalam pengertian obyektifnya, kata wujūd adalah
masdar dari wujida, yang berarti “ditemukan”. Dalam pengertian inilah kata wujud biasanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “being” atau “existence”. Dalam pengertian
subyektifnya, kata wujud adalah masdar dari wajada, yang berarti “menemukan.” Dalam
pengertian kedua ini, kata wujud diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “finding”.
Dalam pengertian subyektif kata wujud terletak aspek epistemologi dan dalam pengertian
obyektif terletak aspek ontologis. Kedua aspek ini dalam sistem pemikiran Ibn al-‘Arabi
menyatu secara harmonis yang disebut dengan wahdat al-wujud.

Ada dua pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami istilah wujud, yaitu wujud
sebagai suatu konsep ide tentang “wujud” eksistensi dan wujud bisa berarti yang mempunyai
wujud, yang ada (exists) atau yang hidup (subsists). Kata wujud terutama dan lebih khusus
digunakan oleh Ibn al-‘Arabi untuk menyebut wujud Tuhan. Satu-satunya wujud adalah
wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud Tuhan. Ini berarti, apa pun selain Tuhan tidak
mempunyai wujud. Dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada
segala sesuatu selain Tuhan. Ia menggunakan pengertian metaforis (majaz) untuk segala
sesuatu selain Tuhan. Wujud yang ada pada alam pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang
dipinjamkan kepadanya. Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkan dengan
hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam

23
(ketiadaan) adalah milik alam. Oleh karena itu, Ibn al-Arabi mengatakan bahwa wujud
adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan Ibn al-‘Arabi membedakan tiga kategori wujud
secara ontologis. Pertama adalah wujud yang mustahil tidak ada, Ia mewujudkan segala
sesuatu, Ia adalah wujud absolut (al-wujūd al-mutlak). Kategori ini dinamai Ibn al-‘Arabi
sebagai Allah Swt. Kedua adalah yang ada dengan Tuhan (diwujudkan oleh Tuhan). Ia
adalah wujud terikat atau terbatas (al-wujudal-muqayyad). Ia berwujud hanya karena Tuhan,
tidak mempunyai wujud sendiri tetapi dari Tuhan. Kategori ini menurut Ibn al-‘Arabi sebagai
alam material dan segala yang ada di dalamnya. Kategori terakhir atau ketiga adalah yang
tidak bersifat wujud dan tidak pula bersifat tidak ada (‘adam), tidak bersifat huduts (baru)
dan tidak pula qidam(dahulu). Ia sejak azali ada bersama Tuhan dan alam. Secara ontologis
ia adalah Tuhan dan alam, tetapi pada saat yang sama ia bukan Tuhan dan juga bukan alam.
Dengan demikian, ia mempunyai posisi tengah antara kategori pertama dan kategori kedua,
antara Tuhan dan alam.
Sama halnya dengan pandangan Ibn al-‘Arabi tentang wujud, Hamzah Fansuri di dalam
Syarab al-‘Asyiqin mendeskripsikan wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatannya banyak.
Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi
(kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari Tuhan.
Hamzah Fansuri menggambarkan atau mengumpamakan wujud Tuhan bagaikan lautan
dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud
Tuhan. Hamzah Fansuri mengatakan:

Keadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti laut yang tiada berhingga dan
berkesudahan; ‘alam ini seperti ombak, Keadaan Allah Ta’al seperti laut; sungguh pun
ombak lain daripada laut, kepada haqiqatnya tiada lain daripada laut.

Selain itu, Hamzah Fansuri menyamakan wujud Tuhan dengan Cinta Tuhan, yaitu
rahman(Maha Pengasih) dan rahim (Maha Penyayang). Hamzah Fansuri berkata, “kerana
Rahman seperti laut, Adam seperti buih. Hal ini dapat juga dilihat di dalam syairnya sebagai
berikut:
Tuhan kita yang bernama qadim

24
Pada sekalian makhluk terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dari al-Rahman al-Rahim

Rahman itulah yang bernama Wujud


Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dari Rahman itulah sekalian maujud

Rahman dan rahim berasal dari kata yang sama yaitu rahmah (rahmat). Rahmānadalah
rahmat Tuhan yang bersifat esensial dan rahim adalah rahmat Tuhan yang bersifat wajib.
Dikatakan esensial karena sifat rahmān Tuhan atau wujud rahim-Nya berlaku atas semua
ciptaan-Nya termasuk manusia yang beragama Islam, Nasrani maupun Yahudi. Segala
ciptaan di alam semesta tidak terbebas dari rahman-Nya. Semua memperoleh kewujudan
karena rahman-Nya, dan diliputi oleh pengetahuan-Nya yang termanifestasi karena dorongan
Cinta Tuhan. Di sisi lain, raham rahmat-Nya yang wajib, sebab rahim wajib dilimpahkan
kepada orang-orang tertentu yang mencintai-Nya dengan penuh kesungguhan, yakni orang
yang Islam yang bertaqwa, sungguh-sungguh dalam

beribadah kepada-Nya, dan melakukan musyahadah dan mujahadah. Dapat disimpulkan bahwa
Hamzah Fansuri menggambarkan wujud Tuhan sebagai Cinta Tuhan yang terdiri dari Rahmān
dan rahim. Rahman bersifat umum untuk semua ciptaan-Nya, sedangkan rahim lebih bersifat
khusus yang dilimpahkan kepada kaum muslim yang selalu taat beribadah kepada-Nya.
D. Ajaran Tentang Tuhan

Menurut Ibn al-‘Arabi, Sat Tuhan itu tidak dapat dikenal oleh akal, dan akal tidak mampu
mencapai pengetahuan tentang-Nya, Ia tidak sama dengan yang selain-Nya. Ibn al-‘Arabi
menegaskan, bahwa bagi manusia hanya wajib mengetahui bahwa Dia itu ada, Esa dalam
uluhiyah-Nya, tanpa pengetahuan tentang Hakikat-Nya. Lebih lanjut tentang Sat Tuhan yang
tidak dapat diketahui itu, Ibn al-‘Arabi mengatakan di dalam Risalat al-Ahadiyyah sebagai
berikut:

25
..... tiada sesuatu yang menguasai-Nya, kecuali Dia sendiri. Tak ada seorangpun yang
mengetahui-Nya, kecuali Ia sendiri ..... Dia mengetahui diri-Nya dengan diri-Nya sendiri. Selain
Dia tak dapat menguasai-Nya. Hijab-Nya yang tidak dapat ditembus adalah keesaan diri-Nya.
Selain Dia, tidak ada sesuatupun yang menyelubungi-Nya. Hijab-Nya adalah eksistensi-Nya
yang sebenar-Nya. Dia dihijab oleh keesaan-Nya dalam sifat yang tidak dapat dijelaskan.
Kecuali Dia, tidak ada sesuatupun yang melihat-Nya, apakah Rasul, Nabi, Wali, atau Malaikat
sekali pun yang dekat dengan-Nya.

Oleh karena hakikat Sat Tuhan itu tidak mungkin dikenal oleh siapa pun, maka di dalam
pemikiran wahdat al-wujud Ibn al-Arabi disebutkan, bahwa tujuan tajalli (penampilan) diri
Tuhan adalah supaya Tuhan itu dapat dikenal melalui asma’ dan sifat-sifat-Nya. Hal ini
merupakan makna dari rahasia penciptaan alam semesta oleh Allah Swt. di dalam filsafat mistik
mereka. Bagi Ibn al-Arabi sifat, asma’ dan af’al Tuhan itu esensi-Nya dalam satu aspek atau
aspek lain yang tidak terbatas, ia adalah suatu bentuk terbatas dan pasti dari esensi Tuhan.
Adapun sifat serta af’al itu tidak lain nama Tuhan yang dimanifestasikan di dalam dunia
eksternal ini. Ibn al-Arabi menamakannya “teater manifestasi” (majla dan mazhar) suatu
substansi Tuhan untuk memanifestasikan diri dalam tingkat yang berbeda. Ibn al-Arabi juga
meyakini bahwa sifat, asma’, dan af’al tersebut tidak mempunyai eksistensi (a’yan) dan wujud
entitas di dalam esensi Tuhan, lebih lanjut ia mengatakan hal tersebut haruslah dipahami bahwa
itu hanya metafor saja bukan dalam pengertian sebagai tambahan atas esensi atau dzat Tuhan
yang Tunggal Tuhan menurut ajaran tasawuf Hamzah Fansuri di dalam karya Syarab al-‘Asyiqin
adalah sesuatu yang Maha Tinggi dan qadim. Konsep tentang Tuhan, yaitu bahwa yang ada
hanya Allah Swt. tampaknya berpengaruh besar atas pemikiran Hamzah Fansuri dalam
menjelaskan hubungan antara Sat, sifat, asma’dan af’al (perbuatan) Tuhan. Menurut dia, Sat
Tuhan meliputi sifat, asma’ dan af’al-nya. Karena hubungan masing-masing sangatlah erat.
Walaupun Sat, sifat, asma’, dan af’al tadi dapat dibedakan satu sama lain menurut pengertiannya.
Namun, semuanya merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, masing-masing
saling berhubungan. Adanya Sat sekaligus menunjukkan adanya sifat, asma’, dan af’al-nya.
Sebagaimana Hamzah Fansuri katakan:

26
Adapun Sifāt Haqq Subhanahu wa Ta’ala Kamal.
Dibawah ini Jalal dan Jamāl,
kerana kenyataan semesta seklian ‘alam ini dibawah Jalal dan Jamal juga.
Adapun Dhat lengkap; kepada Jalal pun serta,
kepada Jamal pun serta, kerana Jalal dan Jamal SifatNya juga.

Dalam al-Quran tidak didapati penjelasan tentang hubungan antara Sat, sifat, asma’, dan
af’al Allah Swt. Pernyataan bahwa Allah Swt. tidak menyatakan hal-hal tersebut sebagai sifat-
sifat Alah Swt., tetapi al-Qur’an menyebutnya sebagai nama-nama yang Maha Indah (al-asma’
al-husna), sebagaimana firman Allah Swt. di dalam al-Qur’an:

‫ض َوه َُو ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َح ِكي ُم‬ ‫ص ِّو ۖ ُر لَهُ ٱأۡل َ ۡس َمٓا ُء ۡٱلح ُۡسن َٰۚى يُ َسبِّ ُح لَ ۥهُ َما فِي ٱل َّس ٰ َم ٰ َو ِ أۡل‬
َ ‫ئ ۡٱل ُم‬ ۡ ُ ِ‫ه َُو ٱهَّلل ُ ۡٱل ٰ َخل‬
ِ ۖ ‫ت َوٱ َ ۡر‬ ُ ‫ار‬
ِ َ‫ق ٱلب‬
Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai
asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Hasyr, 59:24).

Penjelasan tentang Sat, sifat, asma’, dan af’al Alah Swt. menurut pandangan Hamzah
Fansuri yang ia jelaskan di dalam Syarab al-‘Asyiqin adalah sebagai berikut, Sat Tuhan adalah
mutlak, tidak bernama, tidak bersifat, serta tidak ada hubungan dengan apa pun. Satu-satunya
nama yang diberikan kepada Sat yang mutlak itu adalah Huwa (Dia). Sat Tuhan adalah kesatuan
yang mutlak, tidak terhayati oleh siapapun. Nabi, waliyullah dan malaikat pun tidak dapat
mengenal kunhi (bentuk/esensi) Sat Tuhan. Sat Tuhan merupakan Sat yang tertinggi, semua Sat
berada dibawahnya. Sat Tuhan ini disebut la ta’ayyun, yakni tidak nyata. Disebut la ta’ayyun
karena akal pikiran, perkataan, pengetahuan, dan makrifat manusia tidak akan sampai kepada-
Nya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hamzah Fansuri:

Ketahui bahwa kunhi Dhat Haqq Subhanahu wa Ta’ala ini dinamai Ahlu’l-Suluk la ta’ayyun.
Maka dinamai la ta’yyun kerana budi dan bichara, ‘ilmu dan ma’krifat kita tiada lulus
kepadaNya. Jangankan ‘ilmu dan ma’rifat kita, Anbiya’ dan Awliya’ pun hayran.

27
Dari pernyataan Hamzah Fansuri ini dapat dipahami bahwa Sat itu disebut la ta’ayyun
atau kunhi Sat Allah Swt.. Pada Sat Tuhan ini muncul semua sifat danasma’ (nama-nama) Allah
Swt., namun sifat dan asma’ sirna (fana’) di dalam SatAllah Swt. Menurut dia tidak ada Sat lain
yang lebih tinggi dari pada Sat Tuhan ini. Pandangan tentang Sat Tuhan didasarkan juga pada
hadis Nabi Saw., “Pikirkan apa saja yang diciptakan Tuhan, tapi jangan pikirkan tentang zatnya”.
Makna jangan pikirkan tentang Sat-Nya, ialah bahwa pikiran, perkataan dan makrifat manusia
mustahil mengetahui dan memahami Sat-Nya. Apabila para sufi berbicara tentang prinsip-prinsip
penciptaan, tidaklah berbicara tentang Sat Tuhan. Yang dapat dicapai oleh pikiran dan makrifat
ialah jalannya penciptaan secara bertingkat, dimulai dari yang paling dekat kepada-Nya sampai
yang paling jauh dari-Nya secara spiritual. Uraian Hamzah Fansuri menggambarkan bahwa
Tuhan itu sebagai Sat Mutlak yang tidak dapat diketahui melalui akal, indera, maupun dugaan.
Pendapatnya ini tampaknya sejalan dengan paham Ibn al-‘Arabi tentang Tuhan. Walaupun Sat
Tuhan itu la ta’ayyun, tetapi Dia ingin dikenal. Oleh karena itu, Ia menciptakan sifat, asma’ dan
af’al-Nya dengan maksud agar Diri-Nya dikenal. Hal ini terdapat di dalam hadis Qudsi, yaitu:

Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakanlah makhluk dan merekapun kenal pada-Ku melalui diri-Ku.

Kehendak supaya dikenal inilah yang merupakan permulaan tajallīI lahi. Sesudah tajalli itu
dilakukan maka Dia dinamakan ta’ayyun, yang berarti nyata. Keadaan ta’ayyun inilah yang
dapat dicapai oleh pikiran, pengetahuan dan makrifat melalui sifat, asmā’, dan af’al -Nya.

Hamzah Fansuri dalam hubungan ini mengatakan, bahwa Allah Swt. dapat dikenal oleh
makhluk-Nya, maka Allah Swt. ber-tajalli diri-Nya di dalam Nur Muhammad yang merupakan
asal kejadian. Proses tajalli diri Tuhan ini menghasilkan fenomena sebagai mazhar (manifestasi)
dari Sat Allah Swt. itu sendiri, maka yang sebenar-benarnya ada hanyalah wujud Tuhan sendiri
(wajibul wujud), yang lainnya pada hakikatnya adalah tidak berwujud (mumkin al wujud).
Hamzah Fansuri menegaskan lebih lanjut:

Ya’niAdaNya; Itu senantiasa ada, yang lain daripada Itu senantiasa tiada ada, kerana
kepada Ahlu’l-Suluk yang ada juga menjadi ada; yang tiada itu tiada [dapat] menjadi ada.

28
Ya’ni Allah Subhanahu wa Ta’ala Wajibu’l-Wujud, qa’im dengan Dia. Apabila mumkinu’l-
wujud qa’im dengan Dia, hukumnya tiada [ber] wujud. Kata ‘Ulama’ ‘alam ini daripada tiada
diadakanNya; sudah diadakanNya maka ditiadakanNya. Kata Ahlu’l-Suluk jika demikian
fasiqlah Allah Ta’ala, atau berhingga. Adapun kepada kami yang tiada itu tiada dapat menjadi
ada; yang ada itu tiada’kan tiada. Ada kepada suwari juga lenyap, kepada ma’nawi tiada
lenyap. Seperti upama yang mati; zāhirnya lenyap, kepada batinnya tiada lenyap.

Berdasarkan uraian yang diberikan Hamzah Fansuri ini dapat dipahami, bahwa tidak ada
yang maujud (ada), kecuali wujud Allah Swt. wujud yang tidak ada menurut Hamzah Fansuri
disebut mumkin al-wujud,sedangkan wujud yang ada hanya wujud Allah Swt yang diistilahkan
oleh Hamzah Fansuri dengan nama wajib al-wujud. Segala Sat apapun termasuk Sat manusia
sirna di bawah Sat Allah Swt. Tiada yang maujud, melainkan hanya Allah Swt, sedangkan wujud
yang selain Allah Swt adalah tidak ada karena wujudnya diadakan oleh Allah Swt. Pada
hakikatnya wujud selain Allah Swt adalah khayalan bila dibandingkan dengan wujud Allah Swt.
Hamzah Fansuri menyindir ulama yang mengatakan bahwa alam ini ada dari tiada, segala yang
ada dianggap tidak ada atau sebaliknya, Hamzah Fansuri menyebut ulama yang berbuat seperti
itu adalah fasiq.
Hubungan antara Sat dan sifat Allah Swt. pernah menimbulkan pertentangan teologis
antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Masalahnya berkisar pada pilihan apakah Allah Swt.
mempunyai sifat atau tidak. Jika Allah Swt. mempunyai sifat kekal, maka konsekuensinya sifat
itu haruslah kekal sebagaimana Sat-Nya. Selanjutnya bila sifat itu kekal, maka yang kekal
bukanlah satu tetapi banyak. Kaum Mu’tazilah menyelesaikan masalah ini dengan mengatakan,
bahwa Allah Swt. tidak mempunyai sifat. Bagi mereka, Tuhan mengetahui, berkuasa, hidup, dan
lain sebagainya dengan Sat-Nya. Sementara, kaum Asy’ariyah menyelesaikan masalah ini
dengan mengatakan, bahwa Allah Swt. mempunyai sifat. Bagi mereka sifat Allah Swt bukan Sat-
Nya, dan juga bukan lain dari Sat-Nya (al-sifat laisa al- Sat wala hiya gairuha). Menurut mereka,
sifat itu bukan Sat adalah sesuatu yang sudah jelas. Hal ini didasarkan pada pengertian sifat yang
tidak sama dengan Sat. Makna sifat bukan dari Sa(wala hiya gairuha), tidak berarti bahwa sifat
itu adalah Sat. Sebab, yang dimaksud dengan al-gairiyyah di sini ialah “boleh berpisah”
(mufarraqah), sesuatu dengan lainnya dari sesuatu yang tertentu.” Kaitannya dengan masalah di
atas, Hamzah Fansuri mengatakan bahwa sifat itu bukan merupakan tambahan pada Sat, serta

29
bukan pula sesuatu yang melekat pada Sat. Perkataan tersebut, menurutnnya berasal dari para
ahli tasawuf, salah satunya berasal dari Imam al-Ghazali. Hamzah Fansuri mengatakan:

Ketahui bahwa Sifāt Allah yang qadim sertaNya tujuh:


kesatu Hayat, kedua ‘Ilm, ketiga Iradah, keempat Qudrah,
kelima Kalam, keenam Sami’, ketujuh Basar.
[Allah itu] qadim dengan sifāt yang ketujh ini tiada sertaNya, naqis hukumnya,
karena kepada Ahlul-Suluk Sifat ‘ayn Dhat, seperti Hayat;
Dhat juga yang bernama Hayy, seperti ‘Ilm;
Dhat juga, karena Ilmu, maka bernama ‘Alim, seperti Iradah;
Dhat juga,karena Iradat, maka bernama Murid.
Dengan sekalian Sifat pun demikian- ila ma la nihayata lahu.
Adapun kata ‘Ulama’ Sifat ‘ayn Dhat pun tiada, ghayr
Dhat pun tiada; seperti kata Imam Ghazzāli:

Sifatu’ Llahi laysat ‘ayna’l-dhati wa la ghayra siwahu dhal-infisali.


Yakni, Sifat Allah tiada ‘ayn Dhat dan tiada yang lain daripada-Nya bercherai
Dari kutipan di atas dapat dipahami, pendapat Hamzah Fansuri yang ia pinjam dari
pendapat “ahli suluk” menyatakan, bahwa sifat adalah diri mausuf (sifat adalah Sat yang
disifati), tidak ada perbedaan pada makna, tidak pula merupakan tambahan pada Ŝāt dan bukan
pula melekat pada Sat. Oleh sebab itu para sufi berpendapat, yang dikutip oleh Hamzah Fansuri,
bahwa Allah Swt. Maha Kuasa dan hidup dengan Sat-Nya, maka berkehendak dengan Sat-Nya,
Maha Mengetahui dengan Sat-Nya, Maha Mendengar dengan Sat-Nya, Maha Melihat dengan
Sat-Nya, dan Maha Berkata-kata dengan Sat-Nya, bukan dengan selain Sat-Nya.

Selain berhubungan dengan Sat Tuhan, sifat Tuhan juga sering kali dikaitkan dengan sifat
makhluk. Akan tetapi sifat makhluk ini sebenarnya tidak ada. Alasannya bila merujuk kepada
diri sendiri, awalnya manusia tidak memiliki satu pun sifat-sifat yang melekat pada diri manusia,
seperti sifat qudrat, iradat, ‘ilm,hayat, sama’, basar dan kalam. Tatkala terlahir ke dunia ini,
manusia tidak memiliki ilmu, dan juga tidak memiliki kekuasaan. Secara berangsur-angsur, sifat-
sifat ini terbina di dalam diri manusia. Dengan dasar ini, sifat-sifat yang awalnya tidak ada,

30
kemudian muncul adalah menunjukkan adanya sumber sifat, yaitu sifat-sifat Allah Swt. Oleh
karena itu, pada suatu hari nanti, sifat-sifat yang munculnya berangsur-angsur melekat pada diri
manusia tersebut akan sirna. Jadi, diadakannya sifat-sifat pada makhluk, hanya sekedar pinjaman
dan bukan pada hakikatnya. Semua sifat yang ada pada makhluk merupakan kenyataan akan sifat
Allah Swt.

Lebuh lanjut, Hamzah Fansuri juga menjelaskan tentang hubungan yang saling berkaitan
antara asmā’ dan af’al Tuhan. Asma’ Allah Swt adalah mengesakan Allah Swt pada segala nama,
yaitu mengesakan yang memiliki nama, sebab semua asmā’ kembali kepada wujud, yaitu Allah
Swt, sedangkan pengertian af’al Allah Swt ialah keesaan Allah Swt dalam segala perbuatan.
Apapun yang terjadi di alam semesta ini, pada hakikatnya adalah af’al Allah Swt. Semua yang
terjadi di alam semesta, menurut Hamzah Fansuri, dapat dibagi menjadi dua hal pokok, yaitu
pertama, baik pada bentuk (rupa) dan isi (hakikat), maksudnya kelihatannya atau lahirnya baik,
dan isi (hakikatnya) juga baik. Kedua, jelek pada bentuk (rupa), namun baik pada isi
(hakikatnya). Maksudnya dilihat dari segi syariat buruk, namun dilihat dari segi hakikat baik.
Misalnya, berbuat maksiat dan kafir, dari segi ketentuan syara’ perbuatan ini dipandang buruk.
Akan tetapi, perbuatan ini dipandang baik karena pada hakikatnya perbuatan itu adalah ketentuan
dan perbuatan Allah Yang Maha Baik.

E. Ajaran Tentang Penciptaan Alam

Ajaran tentang penciptaan alam Hamzah Fansuri dapat dihubungkan dengan ajaran tentang
penciptaan alam Ibn al-Arabi. Kedua ajaran ini sama-sama berpendapat bahwa alam diciptakan
dari yang ada menjadi ada, bukan diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo).
Alam bersifat qadim, alam ini ada, diciptakan melalui proses tajalli, yaitu manifestasi diri yang
abadi dan tanpa akhir. Tajalli adalah proses penampakkan diri Tuhan dalam bentuk-bentuk yang
telah ditentukan dan dikhususkan, yang disebut dengan ta’ayyun (nyata).
Teori tentang penciptaan menurut Ibn al-‘Arabi bertumpu pada pengertian bahwa wujud ini
pada hakikatnya adalah satu, yakni wujud Allah yang bersifat mutlak. Wujud Allah yang bersifat
mutlak itulah yangber-tajjali melaui tigamartabat (tahapan) sebagai berikut:

31
2. Martabat ahadiyah (kesatuan), disebut juga martabat Satiyyah. Dalam tahapan ini kondisi
wujud Alllah yang mutlak itu belum dapat dipahami dan dikhayalkan.
3. Martabat wāhidiyyah, melalui tahapan kedua ini Sat Tuhan ber-tajalli dalam sifat-sifat dan
asma’ Tuhan. Inilah al-a’yān al-tsabitah yang disebut juga ta’ayyun awal. Pada tahap ini
wujud yang riel masih wujud Allah semata.
4. Martabat tajalla syuhudi yang disebut ta’ayyun tsani. Pada tahap ini Tuhan ber-tajalli
masih melalui asma’ dan sifat-sifat-Nya dalam kenyataan empiris. Dengan demikian,
maka al-a’yan al-tsabitah atau ta’ayyun awwal yang pada tahap kedua masih merupakan
wujud potensial dalam Zat Allah Swt. kini menjelma sebagai wujud atau kenyataan aktual
dalam alam empiris. Alam ini yang merupakan kumpulan fenomena empiris tajalli Tuhan
dalam berbagai wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya.

Proses tajalli Tuhan di atas berlangsung di luar ukuran ruang dan waktu, tidak ada awal
dan akhir, dan Ia berasal dari esensial yang satu untuk memanifestasikan diri-Nya di dalam
realitas-realitas eksternal. Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal melalui asma’ dan sifat-
sifat-Nya ber-tajalli pada alam ini. Teori penciptaan dari Ibn al-‘Arabi ini kemudian dikenal
dengan istilah bahwa alam adalah “nafas dari Yang Pengasih” karena penciptaan ini didasari
oleh “kasih”, Citra esensial Tuhan. Teori Ibn al-Arabi ini juga mempengaruhi Abd al-Karim
al-Jili, ia menyebut bahwa proses tanazzul (turun berjenjang) atau tajalliTuhan itu ada tiga,
yaitu ahadiyah, huwiyah, dan iniyyah. Pada tahap ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya
baru keluar dari al-a’ma41, sedangkan Huwiyah masih belum tampak dalam kenyataan, tetapi
di bawah ahadiyah, sifat-sifat dan asmā’ dalam bentuk potensial. Tahap terakhir, Iniyyah
merupakan penampakkan diri Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk.

Pada peringkat pertama muncul dari Sat Tuhan segala sifat dan asma-Nya secara global.
Jenjang ini merupakan kesatuan tunggal yang mengandung kejamakan. Pada jenjang inilah
menurut Hamzah Fansuri terdapat hakikat Muhammadiah (nur Muhammad). Yakni ibarat
ilmu Tuhan terhadap Sat, sifat dan asma’-Nya, dan terhadap semua kenyataan secara
keseluruhan, tidak ada pemisah satu dengan yang lain, merupakan awal bagi kenyataan.
Martabat kesatuan dalamta’ayyun awwal, diumpamakan seperti biji, di mana bagian-
bagiannya, seperti bakal batang, cabang dan daun masih menjadi satu dalam biji. Dapat juga

32
diibaratkan noktah (titik) di dalam bulatan, maka noktah itu asal bagi segala huruf,
mengandung segala huruf yang hendak disuratkan, tetapi terhimpun utuh di dalamnya tiada
ada kenyataan huruf. Huruf masih terpadu menjadi satu, belum kelihatan batas-batasnya.
Dalam karya Syarab al-‘Asyiqin Hamzah Fansuri memberikan perumpamaan tentang
ta’ayyun awwal sebagai laut, yakni:

Adapun ta’ayyun awwal dinamai ahad pun ia, wahid pun namanya; apabila kita
lainkan Dzat Semata Sendiri-Nya ahad Nama-Nya; apabila kita sertakan Sifat-Nya
dengan ibarat-Nya wahid Nama-Nya (karena ahad) inilah bernama wahid, memegang
alam sekalian min awwalihi ila akhirihi.

Selanjutnya ia menerangkan:

Adapun ta’ayyun awwal ini dimisalkan Ahlul-Suluk seperti laut. Apabila laut itu timbul, ombak
namanya yakni apabila Alim memandang Diri-Nya Ma’lum jadi daripada-Nya. Apabila laut itu
melepas nyawa, asap namanya-yakni dirinya nyawa dengan ruh idhafi (kepada) a’yan tsabitah
sekalian. Apabila asap berhimpun di udara awan namanya-yakni isti’dat adanya a’yan tsabitah
berhimpun hendak keluar.
Dalam kutipan di atas, Hamzah Fansuri memberikan perumpamaan ta’yyun awwal
bagaikan air laut yang menjadi gelombang laut, sungai, yang kemudian menguap ke udara
menjadi awan, dari awan itu turunlah hujan. Proses ini semua tidak lain berawal dari setetes air
laut yang nantinya menghasilkan air di lautan, sungai, dan hujan. Setetes air laut itulah yang
dinamakan ta’ayyun awwal.

Setelah martabat ta’yyun awwal, tuhan ber-tajallī ke jenjang yang kedua (ta’ayyun tsani)
atau disebut juga martabat wahidiyyah. Ta’ayyun tsani(penampakkan kedua) di kenal juga
dengan ta’ayyun ma’lum, kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua. Pada martabat ini, segala
sesuatu yang terpendam itu sudah bisa dibedakan dengan jelas dan terperinci. Akan tetapi, belum
muncul dalam alam kenyataan. Dalam setiap kesatuan telah terang batasannya dalam ilmu
Tuhan. Dia Yang Dikenal atau Diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan menyatakan diri dalam
bentuk ‘yang dikenal’ atau ‘diketahui’. Pengetahun Tuhan yang dikenal disebut al-a’yan tsabitah,

33
yakni kenyataan segala sesuatu. Al-a’yan al-tsabitah juga disebut suwar al-‘ilmiyah, yakni
bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah al-asyya, yakni hakikat segala sesuatu di alam semesta dan
ruh idhafi, yakni ruh yang terpaut.
Selanjutnya ia menerangkan:
Adapun ta’ayyun awwal ini dimisalkan Ahlul-Suluk seperti laut. Apabila laut itu timbul,
ombak namanya yakni apabila Alim memandang Diri-Nya Ma’lum jadi daripada-Nya. Apabila
laut itu melepas nyawa, asap namanya-yakni dirinya nyawa dengan ruh idhafi (kepada) a’yan
tsabitah sekalian. Apabila asap berhimpun di udara awan namanya-yakni isti’dat adanya a’yan
tsabitah berhimpun hendak keluar.

Dalam kutipan di atas, Hamzah Fansuri memberikan perumpamaan ta’yyun awwal


bagaikan air laut yang menjadi gelombang laut, sungai, yang kemudian menguap ke udara
menjadi awan, dari awan itu turunlah hujan. Proses ini semua tidak lain berawal dari setetes air
laut yang nantinya menghasilkan air di lautan, sungai, dan hujan. Setetes air laut itulah yang
dinamakan ta’ayyun awwal. Setelah martabat ta’yyun awwal, tuhan ber-tajallī ke jenjang yang
kedua (ta’ayyun tsani) atau disebut juga martabat wahidiyyah. Ta’ayyun tsani(penampakkan
kedua) di kenal juga dengan ta’ayyun ma’lum, kenyataan Tuhan dalam peringkat kedua. Pada
martabat ini, segala sesuatu yang terpendam itu sudah bisa dibedakan dengan jelas dan
terperinci. Akan tetapi, belum muncul dalam alam kenyataan. Dalam setiap kesatuan telah terang
batasannya dalam ilmu Tuhan. Dia Yang Dikenal atau Diketahui. Pengetahuan atau ilmu Tuhan
menyatakan diri dalam bentuk ‘yang dikenal’ atau ‘diketahui’. Pengetahun Tuhan yang dikenal
disebut al-a’yan tsabitah, yakni kenyataan segala sesuatu. Al-a’yān al-tsabitah juga disebut suwar
al-‘ilmiyah, yakni bentuk yang dikenal, atau al-haqiqah al-asyya, yakni hakikat segala sesuatu di
alam semesta dan ruh idhafi, yakni ruh yang terpaut.

Adapun Ma’lum itulah yang dinamai Ahlul-Suluk a’yan tsabitah. Setengah menamai dia
suwarul-‘ilmiyyah, setengah menamai (dia) haqiqatul asyya, setengah menamai (dia) ruh idhafi.
Sekalian ini dinami Ta’yyun tsani hukumnya Kedua martabat tersebut di atas, yaitu ta’yyun
awwal dan ta’yyun tsānīmerupakan wujud batin yang bersifat qadīm dan tsābitah (tetap dalam
ilmu Tuhan, tiada berubah semenjak qadīm). Dari kedua martabat batin muncul dua martabat

34
lahir yang bersifat baru, dan disebut a’yan kharijiyah (wujud luar atau wujud lahir) yaitu
ta’ayyun tsālits (martabat alam arwah)dan ta’ayyun rābi’ dankhāmis (martabat alam mitsal).

Ta’ayyun tsālits (martabat alam arwah), yakni alam segala roh, yang berupa badan halus
(jisim latif). Sebagai jisim latif, alam arwah tidak terhayati oleh panca indera dan mata hati
(perasaan), serta tidak dapat diserupakan keadaannya. Pada martabat ini realitas yang mengalir
ke luar mengambil bentuk ‘alam arwah. Hakikat alam ini satu, hanya aspeknya yang terbagi ke
dalam ruh manusia, ruh hewan dan ruh tumbuh-tumbuhan. Mengenai hal ini, Hamzah Fansuri
mengatakan bahwa, “Adapun ruh insani dan ruh hewani dan ruh nabati ta’ayyun tsalits
hukumnya.”

F. Ajaran Tentang Manusia

Konsep manusia sangat penting artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam
kerangka berpikir seorang pemikir. Konsep tentang manusia menjadi penting karena ia termasuk
bagian dari pandangan hidup. Karena itu, meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang
tidak pernah dapat dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetetahui hakikatnya ternyata
tidak pernah berhenti. Pandangan tentang hakikat manusia berkaitan erat dan bahkan merupakan
bagian dari sistem kepercayaan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan yang mendasar
tentang manusia ditemukan pada tasawuf. Tasawuf membicarakan persoalan yang berhubungan
dengan Tuhan, yang meliputi hakikat, wujud, kesempurnaan, awal penciptaan, dan akhir
kehidupan.

Tasawuf pada umumnya, memandang manusia terdiri dari dua substansi, yaitu substansi
yang bersifat materi (badan) dan substansi yang bersifat immateri (jiwa). Ketinggian dan
kesempurnaan manusia diperoleh dengan memfungsikan substansi immaterial itu, dengan jalan
mempertajam daya-daya yang dimilikinya. Di dalam tasawuf, kata al-ruh dan kata al-qalb
digunakan untuk merujuk substansi immaterial manusia. Dengan substansi immaterial ini, para
sufi berusaha untuk mencapai tingkat kesempurnaan yang tertinggi sehingga mereka
memperoleh pengetahuan tentang hakikat Tuhan atau dapat “bersatu dengan-Nya”.54 Bagi para
sufi, tampaknya, ruh dan hati manusia itu adalah bersifat azali, sudah ada sebelum adanya waktu.

35
Sebelum ruh itu ditiupkan ke dalam jasad, ia telah mengenal Tuhan secara langsung, bahkan
berada di dalam kesatuan dengan-Nya. Di antara para sufi bahkan ada yang menyatakan bahwa
ruh manusia itu bukan makhluk, tetapi menganggap sebagai cahaya dari esensi Tuhan yang

qadīm.

G. Syariat

Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar al-
Qur’an dan Sunah yang merupakan sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia.
Tetapi menurut para sufi, bahwa syariat itu baru merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan
kepada Tuhan. Perkataan syariat dalam kalangan sufi mempunyai arti tertentu. Bagi golongan
sufi syariat adalah melakukan ajaran-ajaran yang disifati sebagai amalan-amalan lahir (eksoterik)
yang diwajibkan, biasa dikenal dengan nama rukun Islam. Penjelasan ahli fiqih berbeda dengan
penjelasan ahli tasawuf. Untuk mempelajari shalat, ahli fiqih memakai istilah Kitab al-Shalat,
menguraikan tentang syarat sahnya, rukun-rukunnya, batalnya, rakaatnya, waktunya, dan lain-
lain. Sementara itu, golongan sufi memakai istilah Fadhilah al-Shalatatau Asrar al-Shalat,
sehingga uraiannya lebih banyak tentang hikmah-hikmahnya dan keutamaan-keutamaannya.
Orang sufi tidak hanya mencari sesuatu yang tersurat juga makna yang tersirat, makna batiniyah.
Mengenai ibadah yang wajib sangat diperhatikan adalah tentang pelaksanaan dan
kesempurnaannya. Ibadah-ibadah sunah ditetapkan tata caranya serta waktu pengamalannya
seperti zikir sekian ribu kali, pada waktu tertentu, shalat sunah sekian rakaat, sehingga hampir
seluruh waktunya untuk melakukan shalat, zikir, dan wirid. Hal ini bertujuan agar manusia dapat
mengetahui hakikat Tuhan.

Syariat dengan hakikat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bagi seorang sufi, syariat
dan hakikat satu sama lain saling berhubungan. Karena itulah kaum sufi mengatakan bahwa
sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal dan syariat tanpa hakikat adalah tak berarti.
Menurut al-Ghazali orang yang mengatakan bahwa hakikat berlawanan dengan syariat dan

36
bagian batin bertentangan dengan bagian lahir, telah dekat dia kepada kekafiran. Berdasarkan
uraian tersebut maka bisa diambil kesimpulan bahwa syariat adalah salah satu unsur yang harus
dilaksanakan dalam bertasawuf. Syariat dan hakikat saling berhubungan satu sama lain dan
barangsiapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, bukan
kesolehan yang didapat, tetapi malah kekafiran. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh
Hamzah Fansuri, bahwa seorang ahli tarikat tidak boleh meninggalkan syariat, karena syariat
ialah permulaan tarikat. Intisari atau makna kerohanian syariat ialah kewajiban berbuat kebaikan
di dunia dan menjauhkan diri dari segala perbuatan jahat. Wujud lahirnya berupa lima amalan
yang terdapat di dalam rukun Islam, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat fardu lima
waktu dalam sehari semalam, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan pergi haji ke
tanah suci Mekkah jika mampu. Hamzah Fansuri berkata dalam Syarab al-‘Asyiqin pada bab
tentang syariat:

Adapun perkara syariat tiga perkara: suatu syariat barang terlihat tiada didengarnya: suatu
(lagi) syariat yang disuruhnya; dan suatu syariat yang diperbuat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Seperkara lagi (yogya) kita membawa iman (beriman) akan Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa ia pesuruh Allah Ta’ala. Barang katanya sungguh, barang perbuatannya benar
Adapun barangsiapa mengerjakan sembahyang fardu dan puasa fardu, dan memakan halal
meninggalkan haram, dan berkata benar dan tiada loba, dan tiada dengki dan tiada mengumpat
orang, dan tiada mengadu-adu dan tiada minum tuak, dan tiada zina, dan tiada ijab dan tiada
riya, dan tiada takabur dan banyaklah (lagi misalnya). Ini karena syariat perbuatan Nabi
Shalalahu ‘alaihi wa sallam
.
Hamzah Fansuri mengutip perkataan Syamsi Tabriz dalam bahasa Persia,:
Kasiku dar shari’ at rasikh ayad Haqiqat ruh bar way khud gushayad Ya’ni: Barangsiapa
kepada syariat telah sempurna datang jalan hakikat kepada orang itu, niscaya membukakan
dirinya.
Berbicara mengenai syariat, Hamzah Fansuri merujuk kepada sosok Nabi Muhammad Saw.
sebagai contoh teladan yang harus ditiru baik perbuatan maupun perkataannya. Karena Nabi
Saw. oleh Allah Swt. diberi kelebihan dari makhluk lainnya. Nabi menyuruh kita untuk berbuat
baik dan melarang untuk berbuat jahat. Barangsiapa yang tidak sungguh-sungguh dalam

37
mengikuti syariat dan ajaran Nabi Muhammad Saw. maka dikatakan oleh Hamzah Fansuri
bahwa orang itu sesat dan kafir dan barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengikuti
syariat yang sudah diajarkannya, maka orang itu akan mendapatkan keberkahan di sisi Allah swt.

H. Tarikat

Melaksanakan ibadah tersebut di atas haruslah berdasarkan tata cara yang telah ditentukan
dalam agama dan hanya dilakukan karena penghambaan diri kepada Allah Swt. kecintaan, dan
ingin berjumpa dengan-Nya. Tata cara yang seakan-akan merupakan perjalanan menuju Allah
Swt. itu disebut tarikat, perjalanan itu sudah bersifat batiniyah. Menurut keyakinan sufi, orang
tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah sebelum menempuh tarikat ini. Tarikat dapat
dilihat dalam dua pengertian. Pertama, tarikat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan,
meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, adapun metode sufistik itu
seperti hulūl, ittihād, dan wahdah al-wujūd. Dan kedua, dalam pengertian persaudaraan suci di
mana berkumpul sejumlah murid dan seorang guru, yang dibantu oleh mursyid-mursyid lainnya.
Dalam konteks ini tarikat dapat dipahami sebagai jalan spiritual menuju Tuhan dan perspektif
etimologis kata tarikat itu sendiri.

Sebelum memasuki tarikat terlebih dahulu seseorang itu melakukan taubatan nasuha dari
pada dosa-dosa yang telah diperbutanya. Dalam hal ini Hamzah Fansuri mengutip ayat al-Qur’an
yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat
yang semurni-murninya). (Q.S. At Tahrim, 66:8).
Selanjutnya Hamzah Fansuri berkata:

38
Ketahui bahwa tarikat itu tiada lain daripada hakikat, karena tarikat permulaan hakikat,
seperti
syariat permulaan tarikat.”

Setelah melakukan taubatan nasuha, barulah ia mulai mengamalkan amalan tarikat yang telah
diperintahkan oleh Allah Swt. dengan kesungguhan hati. Amalan-amalan itu selain mengerjakan
ibadah yang wajib juga harus melaksanakan ibadah sunah seperti, shalat sunah rawatib, tahajud,
duha, dan ibadah sunah lainnya. Mengurangi makan dengan berpuasa, adapun puasa yang sunah
itu ialah puasa pada hari senin dan kamis, puasa ayyamal-bid, asyura, puasa di bulan Rajab dan
Sya’ban. Lisannya selalu basah dengan mengucapkan kalimat tasbih, tahmid, takbir dan tahlil
kepada Allha Swt. Itu semua menurut Hamzah Fansuri merupakan beberapa amalan tarikat yang
harus dikerjakan dan jangan dianggap kecil.

Seperti halnya syariat, tarikat (thariqah) menurut bahasa artinya jalan, cara, garis, kedudukan,
keyakinan dan agama. Adapun tarikat menurut istilah ulama tasawuf, yaitu jalan kepada Allah
dengan mengamalkan ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Cara atau kaifiat mengerjakan sesuatu
amalan untuk mencapai suatu tujuan. Berdasarkan definisi tersebut, tarikat dapat disimpulkan
sebagai suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan mengamalkan
ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf. Sedangkan pengertian tarikat menurut Syeikh Zainuddin bin Ali
sebagaimana yang dikutip oleh Abu bakar Aceh beliau berkata :

Thariqat adalah menjalankan amal yang lebih berhati-hati dan tidak memilih kemurahan
(keringanan) syara’, seperti sifat wara’ serta ketetapan hati yang kuat seperti latihan-latihan
jiwa

Tarikat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh seorang sufi. Adapun jalan
yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. terdiri dari dua usaha.
Mulazamatu-zikri, yaitu terus menerus berada dalam zikir atau ingat terus kepada Tuhan. Dan
Mukhalafa, yaitu terus-menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan
Tuhan.71 Pengertian tarikat sebagai jalan spiritual itu sendiri bersifat objektif, dalam arti benar-
benar peristiwa itu dialami oleh para sufi, akan tetapi setiap sufi yang menempuhnya mungkin

39
mempunyai pengalaman berbeda-beda yang bersifat sangat subjektif. Sekalipun tujuannya adalah
sama, yaitu menuju atau mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya (Ittihad), baik dalam arti
majasi atupun hakiki, dalam apa yang disebut sebagai kesatuan mistik.

BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Karya sastra sering dinilai sebagai objek yang unik dan seringkali sukar diberikan rumusan
yang jelas dan tegas. Sastra adalah objek ilmu yang tidak perlu diragukan lagi. Walaupun unik
dan sukar dirumuskan dalam suatu rumusan yang universal, karya sastra adalah sosok yangdapat
diberikan batasan dan cirri-ciri, serta dapat diuji dengan pancaindra manusia (Semi, 2012:24).
Sastra dapat berfungsi sebagai karya seni yang bisa digunakan sebagai sarana menghibur diri
pembaca.
B. SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini pembaca lebih memahami tentang karya sastra
Hamzah Fanzuri yang memberikan sebuah aspirasi yang dituangkan dalam sebuah karya agar
pembaca tertarik serta menambah pengetahuannya secara mendalam.

40
DAFTAR PUSTAKA

Fang, Liaw Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik. Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia.
Solihati, Nani dkk. 2016. Teori Sastra. Jakarta: Uhamka Press
Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3, Desember 2015 / ISSN 1979-8296
Jurnal Al-Bayan / VOL. 22 NO. 33 JANUARI - JUNI 2016

41
42

Anda mungkin juga menyukai