Anda di halaman 1dari 69

NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

DIAN SARI NESTITI


030701012

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

Oleh

DIAN SARI NESTITI

NIM 030701012

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui

oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S. Dra. Nurhayati Harahap,M. Hum.

NIP 130365337 NIP 131676481

Departemen Sastra Indonesia


Ketua

Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum.


NIP 131763364
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini
tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 24 September 2007


Penulis

Dian Sari Nestiti


NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA

Dian Sari Nestiti

Fakultas Sastra USU

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat pada novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian menggunakan teori struktural dan sosiologi
sastra yang akan melihat nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat didalamnya yaitu lingkungan, cinta,
perkawinan, budaya, dan politik.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu membuat fakta-fakta penginderaan secara
sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Teknik penelitian adalah studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di
ruang perpustakaan. Pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui
buku-buku.
Tema novel ini adalah lika-liku kehidupan seorang ronggeng. Cerita disusun dalam bentuk alur
flash back dengan sudut pandang multiple (campur aduk).
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmanirrahim

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kesehatan dan

kemampuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Hasil penelitian ini merupakan salah

satu syarat untuk menempuh ujian kesarjanaan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,

Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, kebesaran Allah Swt dan kemuliaan Rasulullah Saw, mudah-

mudahan semakin kokoh menyertai penulis dalam mempertahankan dan menyempurnakan skripsi ini.

Sesungguhnya tanpa bantuan semua pihak, skripsi ini tidak akan pernah selesai. Penulis menyadari

bahwa bantuan semua pihak pada prinsipnya sangatlah berarti. Tanpa bermaksud mengurutkan nama per

nama dari semua pihak tersebut, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Sastra USU.

2. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum., sebagai Ketua Departemen Sastra Indonesia

USU

3. Ibu Dra. Mascahaya M. Hum., sebagai Sekretaris Departemen Sastra Indonesia USU

4. Bapak Prof. H. Ahmad Samin Siregar, S.S., dosen pembimbing I, dan Ibu Dra. Nurhayati Harahap,

M.Hum., dosen pembimbing II. Terima kasih telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Mohon maaf atas segala sikap penulis selama penulis

menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah Swt, membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Amin.

5. Ibunda tercinta Suhyani Hanafiah, terima kasih atas segala kesabaran, semangat, doa,

dan sujud di tengah malammu. Ayahanda Alm. T. Maidi yang kehadirannya tetap menghiasi relung

hati penulis. Apapun tak kan menjadi lebih indah tanpa kehadiran bapak. Terima kasih untuk hidup
dan keringat yang Ibunda dan Ayahanda berikan untuk penulis. Semoga bapak menjadi orang-orang

yang terpilih disisiNya.

6. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., yang bersedia meluangkan waktu untuk

berdiskusi dan bersedia menjawab semua pertanyaan dan kebingungan penulis.Semoga ilmu yang

bapak miliki menjadi sebuah amalan yang sangat berarti.

7. Seluruh dosen Sastra Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua

ajaran dan didikannya selama penulis menjadi mahasiswa. Semoga Allah Swt memberikan umur yang

panjang. Amin.

8. Kak Fitri yang memberikan kemudahan dan keringanan dalam setiap masalah administrasi yang

penulis hadapi.

9. Khaylila Hannesti Herlambang, putri kecilku yang kehadirannya senantiasa menguatkan penulis dalam

menghadapi masalah, serta ayahnya Bohati Herlambang, terima kasih atas segala yang diberikan, pahit

ataupun manis. Apapun yang terjadi tetap harus terjalani kan…? Maafkan bunda yang selalu

meninggalkan kalian dikala bunda sibuk di depan komputer ya…

10. Kakanda Bhekti Handoko, S.T., dan keluarga yang tak pernah mengeluh dan selalu sabar pada penulis,

Kakanda Amalia Warastuti, S.Pd., dan keluarga yang setia menyayangi Khaylila seperti anak sendiri,

Kakanda Rahmat Handoyo, S.T., dan Kakanda Sidiq Hanteja, A.Md beserta keluarga, terima kasih telah

mendengarkan segala keluh kesah penulis. Waktu dan doa kakanda semua telah memberikan semangat

kepada penulis merampungkan skripsi ini.

11. Alm. Imran Zhofy dan keluarga. Walaupun penulis tak sempat mengenal papa, tapi

gerak dan wajah papa begitu lekat di hati penulis. Penulis sayang papa.

12. Keponakan tersayang Bayu Muhammad Azizul, Nurul Ageng Anisa, Hanna

Maidinah, Albani Muhhamad Rizki, Duta Razak Suhoyo, dan Kinanti Nazmi
Suhoyo. Kalian adalah bintang-bintang kecil di tengah keluarga. Ibu sayang kalian.

13. Sahabat penulis, Tia, Lida, Lia, Nova, Ade, Erni, Icha, Baim, Kak Adhe dan Tina. Terima kasih atas

dukungan, semangat dan cinta yang diberikan. Kalian adalah kekuatan yang ada di sekeliling penulis.

Teman-teman stambuk 2003, tanpa kalian tidak akan ada tawa dan airmata di kampus ini.

14. Adik-adik stambuk 2004-2006, yang sedikit banyak memberikan referensi kepada

penulis. Indah dan Mustika, semangat ya dek!

Penulis menyadari sepenuh hati, bahwa skripsi ini masih memiliki kelemahan. Demi mencapai

kesempurnaan, penulis membuka diri terhadap berbagai kritik dan saran. Akhirnya, penulis berdoa kepada

Allah Swt, semoga skripsi ini memberi manfaat yang besar bagi perkembangan dan kemajuan ilmu sastra.

Amin ya Robbal ‘Alamin.

Medan September2007

Penulis,

Dian Sari Nestiti

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK …………………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….ii


DAFTAR ISI …………………………………………………………………………….v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah


1.1.1 Latar Belakang …………………………………………….1
1.1.2 Masalah …………………………………………………….7
1.2 Batasan Masalah …………………………………………………………….7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian …………………………………………….8
1.3.2 Manfaat Penelitian …………………………………………….8
1.4 Metode dan Teknik Penelitian
1.4.1 Metode Penelitian …………………………………………….8
1.4.2 Teknik Penelitian …………………………………………….9
1.4.3 Bahan Analisis …………………………………………….9
1.5 Landasn Teori ……………………………………………………………10
BAB II SOSIOLOGI SASTRA DAN STRUKTURALISME
2.1 Pengertian Sosiologi Sastra ……………………………………………13
2.2 Sastra Sebagai Cermin Masyarakat ……………………………………14
2.3 Pengertian Strukturalisme ……………………………………………16
2.4 Pengertian Ekstrinsik ……………………………………………………18
BAB III ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
3.1 Sinopsis ……………………………………………………………………19
3.2 Alur ……………………………………………………………………24
3.3 Perwatakan ……………………………………………………………31
3.4 Latar ……………………………………………………………………41
3.5 Sudut Pandang ……………………………………………………………44
3.6 Tema ……………………………………………………………………45
BAB IV ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
4.1 Lingkungan ……………………………………………………………49
4.2 Cinta ……………………………………………………………………51
4.3 Perkawinan ……………………………………………………………53
4.4 Budaya ……………………………………………………………………55
4.5 Politik ……………………………………………………………………57
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………60
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………61
LAMPIRAN ……………………………………………………………………………63
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar belakang

Suatu karya sastra diciptakan oleh para sastrawan untuk dapat dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan masyarakat. Karya sastra di samping sebagai alat untuk menghibur juga dipakai sebagai alat

pendidikan. Atau dengan kata lain, karya sastra juga dapat menjadi sarana pengajaran moral bagi manusia.

Karya sastra merupakan cermin dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat. Sebuah karya

sastra yang baik memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu

ada selama manusia masih ada (Sumardjo dan Saini K.M, 1991:9). Kenyataan yang ada di dalam karya

sastra tidak harus sama dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat karena karya sastra merupakan

dunia yang dituangkan dalam bentuk kata-kata. Hal ini tidak terlepas dari misi atau amanat dalam karya

sastra itu sendiri yaitu sebagai hiburan yang bermanfaat.

Suatu kecenderungan dalam perkembangan karya sastra Indonesia adalah masuknya nilai budaya

daerah, bahasa daerah, maupun bahasa asing dalam sebuah karya sastra. Nilai-nilai kebudayaan nasional

menunjukkan bahwa sastra tidak meninggalkan secara keseluruhan sastra tradisional. Dengan demikian,

walaupun banyak budaya asing maupun budaya daerah yang masuk kedalam kesusastraan Indonesia,

diharapkan kesusastraan Indonesia tetap menunjukkan ciri khas tradisional kesusastraannya.

Kesadaran para sastrawan untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya ke dalam karya sastra

mengungkapkan dasar tradisional dan konflik nilai budaya dalam penghayatan manusia modern (Teeuw,

1988:12). Salah satu ciri tradisional yang masih tercermin dalam karya sastra adalah digunakannya bahasa

daerah serta bahasa asing untuk mengungkapkan atau mengucapkan istilah-istilah tertentu.
Permasalahan istilah-istilah pada sebuah karya sastra yang berbahasa daerah maupun bahasa asing

dapat dilakukan dengan cara memberikan catatan kaki. Ciri tradisional lain yang masih dapat dijumpai

dalam karya sastra adalah pola pikir yang masih dipengaruhi adat atau kebudayaan daerah. Pertentangan

adat sering timbul jika memandangnya dari sudut yang berbeda. Adat-istiadat daerah tidak dapat

ditinggalkan, tetapi bukan berarti adat-istiadat tersebut menjadi pegangan hidup yang harus dipegang

teguh karena akan terbentur perkembangan zaman. Oleh karena itu, beberapa dari pengarang kita selalu

meletakkan budaya dan adat istiadat suatu daerah ke dalam karya sastra yang diciptakannya.

Pada dasarnya, karya sastra mengungkapkan persoalan kehidupan manusia. Dalam hal ini, seorang

sastrawan membutuhkan pengetahuan sosiologi secara teoritis untuk mengungkapkan atau memecahkan

masalah itu dalam karyanya. Sastrawan adalah anggota masyarakat yang secara langsung mengetahui

bagaimana keadaan masyarakatnya atau apa yang tengah terjadi di lingkungan sosialnya. Kondisi dan

permasalahan sosial yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari itu membangkitkan rangsangan imajinasi

sang sastrawan untuk mengungkapkan permasalahan sosial itu dengan sudut pandang tertentu sehingga

lahirlah kenyataan baru dalam karyanya. Dengan kata lain, sebuah karya sastra tidak mutlak

mencerminkan seluruh aspek kehidupan atau kenyataan sosial sehari-hari. Uraian ini menekankan

kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat. Hal ini juga berarti meletakkan sastra dalam

konteks sosiobudayanya. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat merupakan

pengkajian sosiologi sastra.

Berangkat dari kerangka hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat, beberapa ahli

telah mencoba membuat suatu klasifikasi atau ruang lingkup pendekatan sosiologi sastra. Para ahli

tersebut sepakat bahwa sosiologi sastra dapat menelaah tiga faktor yaitu: 1) keadaan sosial pengarang, 2)

keadaan sosial yang tergambar dalam karya sastra, dan 3) keadaan sosial pembaca sastra. Ruang lingkup
ini secara lengkap akan dijelaskan melalui pendapat ahli Rene Wellek dan Austin Warren (dalam

Damono, 1984:3) yang membuat klasifikasi sosiologi sastra sebagai berikut.

1) Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain- lain yang

menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra.

2) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri dan yang menjadi pokok

penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Berdasarkan klasifikasi tersebut di atas, penelitian ini akan menitikberatkan permasalahan pada

klasifikasi yang kedua yaitu sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri sebagai

objek kajian dan penelitian. Pengkajian objek dilakukan dengan cara mencari unsur-unsur yang terdapat di

dalam karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu dapat berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Unsur

intrinsik ini akan mengkaji secara struktural karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkannya dengan

faktor-faktor luar. Sedangkan unsur ekstrinsik nantinya akan membahas masalah dalam karya sastra

tersebut berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, ideologi, dan politik.

Tentunya untuk menelaah unsur ekstrinsik ini tidak lepas dari pendekatan sosiologi sastra.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang

diterbitkan pada tahun 1981. Kalau ditinjau dalam dasawarsa belakangan ini banyak terjadi beberapa

peristiwa yang menarik dalam kesusastraan Indonesia, khususnya novel. Banyak novel yang telah dicetak

puluhan tahun lalu kembali diterbitkan karena minat pembaca yang begitu besar akan novel tersebut. Hal

ini juga dimaksudkan agar para pembaca kini dapat mengetahui dan menghayati hal-hal berharga yang

terdapat dalam karya sastra terdahulu. Ahmad Tohari lahir di desa Tinggar Jaya, Banyumas, 13 Juni 1948.

Novelnya yang pertama Di Kaki Bukit Cibalak ditulis pada 1977. Kemudian novel Kubah terbit pada 1980

yang dinyatakan sebagai karya fiksi terbaik tahun tersebut oleh Yayasan Buku Utama.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk sangat menarik dan meraih angka penjualan yang tinggi sehingga

dicetak berulang-ulang. Menurut Dr. Bertold Damhauser dari Universitas Bonn Jerman, novel ini

merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa Asia Timur di Cina, Korea Selatan, Korea Utara, dan Jepang.

Novel ini juga telah terbssit dalam bahasa Belanda, Jerman dan segera menyusul dalam bahasa Inggris. Di

Leiden dan Lund Universitas Swedia, lebih dari 50 skripsi dan tesis mengambil objek kajian novel ini.

Shinobu Yamane, seorang penerjemah berkebangsaan Jepang mengatakan:

”Semula saya hanya menerjemahkan buku pertama trilogi ini, Catatan Buat Emak, ke dalam
bahasa Jepang. Namun karena sangat menarik, maka saya putuskan untuk juga menerjemahkan
dua buku berikutnya. Pekerjaan saya ini dibiayai oleh Japan Foundation.

Penelitian tentang analisis maupun tinjauan sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra sudah

banyak dilakukan, namun penelitian tentang analisis sosiologi sastra belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai objek kajian sudah pernah dilakukan

oleh Maini Trisna Jayawati pada tahun 1986, dengan judul, ”Nilai-nilai Sastra yang Terdapat dalam Novel

Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”. Akan tetapi, novel Ronggeng Dukuh Paruk yang diteliti

pada 1986 ini isinya bukan lagi seperti aslinya. Ada beberapa bagian dari novel tersebut yang dihapus

jalan ceritanya. Pada 1986-2003, novel ini berada dalam tahap pencekalan pemerintah. Sedangkan novel

yang diteliti saat ini merupakan novel yang lengkap dengan bagian-bagian yang disensor selama 17 tahun

oleh pemerintah. Pada 2003 PT Gramedia berani untuk menerbitkannya menjadi satu kumpulan buku

yang sebelumnya diterbitkan pada 1981 yang merupakan trilogi. Buku yang pertama berjudul Ronggeng

Dukuh Paruk, buku kedua berjudul Lintang Kemukus Dini Hari, dan buku ketiga berjudul Jantera

Bianglala. Pada 2003 novel trilogi tersebut menjadi satu novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Sebelum Gramedia berani menerbitkan novel tersebut lengkap dengan bagian yang hilang, pada 2002

novel ini telah diterbitkan di Swedia.Di dalamnya mengisahkan tentang sebuah desa Dukuh Paruk yang

menganggap bahwa ronggeng merupakan simbol harkat, derajat, dan martabat dari desa tersebut. Seorang
ronggeng merasa bangga jika ia bisa tidur dengan banyak lelaki dan mampu menaklukkannya. Bahkan

seorang ayah yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah bersedia menyerahkan anaknya untuk

tidur dengan seorang ronggeng untuk mendapatkan keahlian sebagai seorang suami di tempat tidur agar

dapat melayani dan memuaskan istrinya. Masyarakat Dukuh Paruk tidak ingin mengubah pola hidup

desanya yang kuno dan lekat dengan kemelaratan serta kesengsaraan.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari berhasil menunjukkan kepada pembaca

bahwa seorang perempuan penghibur yang mengumbar erotisme tidak termarjinalkan masyarakat

setempat. Banyumas sebagai kota kelahiran Ahmad Tohari dikenal dengan ronggeng atau lengger yang

sering kali menjadi kebanggaan desanya, terutama sebelum peristiwa politik 1965. Seksualitas perempuan

yang biasanya tabu untuk tampil di hadapan publik, menjadi ajang pengakuan bagi seorang ronggeng

dalam trilogi ini. Masyarakat desa sangat terbuka menerima ronggeng dalam kehidupan mereka, bahkan

dianggap sebagai duta perempuan dalam dunia laki-laki. Kenyataan bahwa para istri tidak cemburu jika

suami menari ataupun berhubungan dengan ronggeng bukanlah hanya cerita fiksi. Ahmad Tohari

menjelaskan bahwa realitas masyarakat saat itu memang membolehkan suami berhubungan dengan

ronggeng. Seorang laki-laki yang berhubungan dengan ronggeng sudah pasti memiliki kejantanan dan

uang, dua hal inilah yang dibanggakan istri di mata masyarakat saat itu. Ahmad Tohari mengatakan:

”Bagi perempuan saat itu, yang penting suaminya tidak dibawa pergi sang
ronggeng”

Melalui novel ini Ahmad Tohari menggambarkan toleransi masyarakat yang tinggi dalam

perbedaan elemen yang ada. Keberadaan ronggeng tidak terganggu ataupun mengganggu kelompok

masyarakat lain, yaitu agamawan. Saat itu di wilayah Banyumas juga terdapat pesantren, termasuk Ahmad

Tohari sendiri. Keberadaan penari Jawa ini juga pernah diungkapkan oleh Curt Sach dalam buku Ben

Suharto yang berjudul ”Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan” disebutkan adanya tarian di Jawa yang

pada pelaksanaannya, penari lelakinya mesti mencium pasangannya. Diungkapkan pula di situ manakala
lelakinya mendekat, seseorang mengerudungkan kain sehingga keduanya ada dalam satu kain yang

melingkar dan dengan bebas bisa saling berciuman sementara orang berkerumun di antara mereka.

(1999:15). Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir di seluruh Jawa dan Betawi dengan

bentuk dan nama yang berlainan. Dalam sejarah Jawa yang terkenal, Stamford Raffles yang berkuasa

antara tahun 1811-1816, sudah menulis tentang ronggeng. Menurutnya ronggeng merupakan kesenian

yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Kesenian ini digelar

untuk mensyukuri panen yang melimpah. (Koentjoroningrat, 1994:45).

Fakta dan fiksi dalam cerita Ahmad Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa tayub dimanfaatkan

Lekra merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap komunis sudah

lama menjadi penelitian para ahli. Oleh karena itu, kisah ini sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis

secara sosiologi sastra dengan memandang unsur instrinsik, ekstrinsik, maupun nilai-nilai kemanusiaan

yang terdapat dalam novel tersebut. Berdasarkan unsur-unsur tersebutlah penelitian ini akan dibahas lebih

lanjut. Penelitian ini akan sangat menarik mengingat cara hidup masyarakat yang dituangkan dalam novel

tersebut sangat bertentangan dengan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia yang terkenal dengan

budaya timurnya. Hal inilah yang membuat peneliti merasa yakin bahwa penelitian ini layak diangkat

mengingat Ahmad Tohari dikenal sebagai penulis yang fenomenal.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian ini dan klasifikasi sosiologi sastra kedua, maka

pokok permasalahan yang akan dibicarakan adalah:

1) Bagaimanakah unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk?

2) Bagaimanakah unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta,

perkawinan, budaya, dan politik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk?
1.2 Batasan Masalah

Pembahasan sebuah karya sastra akan mengalami kesulitan jika tanpa batasan masalah karena

dikhawatirkan peneliti akan menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Bertitik tolak dari judul dan

bahan analisis, karya sastra tersebut dianalisis dari unsur-unsur yang ada di dalam karya sastra itu sendiri.

Setelah dilakukan penganalisisan tersebut kemudian dihubungkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan

menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pada dasarnya setiap karya sastra selalu berhubungan dengan

unsur-unsur sosial.

Unsur intrinsik dalam penelitian ini meliputi sinopsis, alur, perwatakan, latar, sudut pandang, dan

tema. Sedangkan unsur ekstrinsik akan mengacu kepada nilai-nilai kemanusiaan dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pada akhirnya nanti,

semua ruang lingkup permasalahan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk

memberikan pemahaman pada kita tentang nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1) Menguraikan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ronggeng

Dukuh Paruk.

2) Menguraikan unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai kemanusiaan yaitu lingkungan, cinta,

perkawinan, budaya, dan politik yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1) Mengenalkan novel Ronggeng Dukuh Paruk pada pembaca sebagai karya sastra

yang merupakan novel terbaik sepanjang tahun dan tetap digemari peminatnya.

2) Mengetahui ragam budaya masyarakat pada saat diciptakannya novel Ronggeng

Dukuh Paruk.

2) Menambah wawasan pembaca khususnya pembaca sastra tentang nilai-nilai

sosiologi sastra dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

1.4 Metode Penelitian dan Teknik Penelitian

1.4.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yaitu membuat fakta-fakta

penginderaan secara sistematis dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah

tertentu (Semi, 1988:24). Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang berasumsi pada perilaku manusia yang dipengaruhi oleh latar, situasi, dan budaya di mana

perilaku itu muncul (Semi, 1988:24). Metode kerja yang pertama diterapkan yaitu pendekatan intrinsik.

Lalu agar lebih mudah melihat nilai-nilai sosiologi sastra pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, dilakukan

pendekatan ekstrinsik. Selain itu nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk seperti tradisi, adat, perasaan berupa percintaan dan perkawinan, kepercayaan, dan keyakinan harus

dibuat batasannya untuk mencapai sasaran penelitian. Sedangkan unsur intrinsik dalam novel ini yakni

sinopsis, alur, perwatakan, tokoh, latar, sudut pandang, dan tema. Lalu unsur ekstrinsiknya mengacu pada

nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan, cinta, perkawinan,

budaya, dan politik.


1.4.2 Teknik Penelitian

Teknik penelitian yang digunakan adalah studi perpustakaan (library research) yaitu penelitian

yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek

penelitian melalui buku-buku (Semi, 1988:8). Adapun objek penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari.

Dalam menganalisis data objek yang akan diteliti terlebih dahulu dirumuskan berdasarkan masalah

kemudian diadakan studi perpustakaan. Setelah berbagai informasi diperoleh, selanjutnya dilakukan

pengumpulan data, penyusunan data, penganalisisan data, serta penafsiran data. Kesimpulan merupakan

langkah akhir dalam penyusunan laporan penelitian.

1.4.3 Bahan Analisis

Yang menjadi objek penulisan dalam penelitian ini adalah:

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk

Tahun : 2003

Penerbit : PT Gramedia

Jenis : Novel

Cetakan : Kedua

Ukuran : Tiga belas kali dua puluh satu sentimeter

Tebal : 408 halaman

Warna Kulit : Oranye dengan tulisan dan gambar ronggeng bewarna putih
1.5 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian, dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori

merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi

tumpuan seluruh pembahasan. Hubungan yang terjadi antara pengarang, karya sastra, dan masyarakatnya

memungkinkan analisis ini bertolak dari dua sisi pendekatan yakni unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik

karya sastra tersebut. Pertama, analisis struktural. Analisis ini melihat unsur-unsur yang terdapat dalam

suatu karya sastra (unsur intrinsik) seperti sinopsis, alur, perwatakan, latar, sudut pandang, dan tema.

Kemudian membongkar dan meneliti karya sastra berdasarkan teks untuk melihat keterkaitan dan

keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra (Teeuw, 1988:135). Analisis struktural dapat dijadikan

titik tumpu proses penelitian. Selanjutnya analisis struktural merupakan penelitian yang menganalisis

suatu karya sastra secara keseluruhan, baik unsur-unsur di dalam karya sastra, maupun unsur-unsur di luar

karya sastra tersebut. Teeuw (1988:154) berpendapat bahwa analisis struktural merupakan langkah awal

dalam proses pemberian makna, tetapi tidak boleh dimutlakkan dan juga tidak boleh ditiadakan. Teori dan

metode dalam penelitian sastra disesuaikan dengan bahan yang ada. Penelitian yang tidak dilandasi oleh

teori yang umum, bukan merupakan teori yang kuat kedudukannya sebagai teori (Junus, 1981:8-9).

Kedua, analisis sosiologi sastra. Nilai-nilai sosiologi sastra yang akan diungkapkan dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk ini mengacu pada unsur ekstrinsik dan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat

dalam novel tersebut yakni lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, ideologi, dan politik. Analisis

sosiologi sastra ini akan dilakukan dengan salah satu pendekatan yang diturunkan oleh Luxemburg dkk

(1992: 24) yaitu yang diteliti ialah hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakatnya.

Selain itu juga diteliti tentang sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam

sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisis sistem masyarakat.
Nilai-nilai kemanusiaan berupa lingkungan, cinta, perkawinan, budaya dan politik dibahas dalam

penelitian ini karena bagian-bagian tersebut sangat mendominasi isi cerita dan turut serta dalam

mengembangkan keseluruhan cerita. Bagian-bagian tersebut tidak terlepas dari kehidupan masyarakat

yang membangunnya. Lingkungan merupakan tempat dimana masyarakat berkembang, cinta dan

perkawinan merupakan media berketurunan, sedangkan budaya dan politik merupakan bagian yang telah

ada semenjak manusia hidup berkelompok.

Kebudayaan merupakan keseluruhan total dari apa yang pernah dihasilkan oleh mahkluk manusia

yang menguasai planet ini sejak zaman ia muncul di muka bumi kira-kira empat juta tahun yang lalu,

sampai sekarang (Koentjoroningrat, 1982:10). Koentjoroningrat (1982:16) mengatakan ada beberapa

puluh pranata yang digolongkan ke dalam delapan kelompok, dengan memakai delapan kebutuhan hidup

manusia sebagai prinsip penggolongan. Tetapi hanya yang berhubungan dengan lingkungan, cinta,

perkawinan, budaya dan politik yang akan dicantumkan.

1) Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan, ialah yang sering disebut

kinship atau domestic institusions. Contoh: pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan kanak-

kanak, perceraian, dan sebagainya.

2) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan

atau dengan alam gaib, ialah religious institutions. Contoh: gereja, doa, kenduri, upacara,

penyiaran agama, pantangan, ilmu gaib, dan sebagainya.

3) Pranata-pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan

berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh:

pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan, dan sebagainya.

Hal ini diperkuat oleh teori Auguste Comte dan Pitirim Sorikin dalam membicarakan tingkatan-

tingkatan budaya , kebudayaan dominan, misalnya analisis peranan pandangan dunia untuk memahami
sistem sosial tertentu. Teori Karl Marx (khususnya paradigma kelompok para-Marxis) dalam

membicarakan sistem sosiokultural, misalnya analisis ideologi, polarisasi superstruktur ideologis dan

infrastruktur material dan teori Clifford Geertz dalam membicarakan sisitem simbol kebudayaan, misalnya

analisis karya seni sebagai sistem simbol, karya sebagai bagian integral strukur sosial (Kutha Ratna,

2003:19-20)
BAB II

SOSIOLOGI SASTRA DAN STRUKTURALISME

2.1 Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masyarakat. Sosiologi

berasal dari dua kata Latin yakni socius yang berarti ’kawan, masyarakat’ dan logos berarti ’ilmu; kata;

berbicara’ (Soekanto, 1982:3).

Masyarakat merupakan objek dalam sosiologi yang menghasilkan suatu kebudayaan yang lahir

dari tata cara kehidupan. Dalam sosiologi, kita juga mempelajari perubahan-perubahan sosial dari

kelompok manusia tersebut, baik itu struktur, maupun proses sosialnya. Soemarjan dan Soemardi (dalam

Soekanto, 1982:17) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dalam

masyarakat dan proses sosialnya, termasuk perubahan-perubahan sosial yang ada dalam masyarakat.

Sorikin (dalam Soekanto, 1982:17) menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari

hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi

dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi serta politik); hubungan timbal balik antara gejala

sosial dan nonsosial (seperti gejala geografis dan politik, biologi, ekonomi, dan sebagainya).

Selain mempelajari naskah, puisi, majalah, dan buku, sastra juga membicarakan karakteristik

seorang tokoh maupun karakteristik suatu bangsa bahkan kelompok manusia (masyarakat). Melalui sastra,

pembaca pada hakikatnya lebih baik menghayati permasalahan kehidupan dari pada mereka harus

membaca tulisan sosiologi ( Teeuw, 1988:237). Beberapa ahli mendefinisikan bahwa sastra adalah

pengungkapan dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh manusia tentang kehidupan (Hardjana, 1981:10).

Menurut Damono (1984:5), sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya

dan sastra menggambarkan kehidupan yang merupakan kenyataan sosial. Kedua pendapat tersebut masih
sejalan dengan Semi (1988:8) yang menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni

kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

mediumnya.

Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah sama-sama

berurusan dengan manusia dan masyarakat. Tetapi tidak berarti kedua bidang tersebut disamakan begitu

saja. Seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat

atau dengan kata lain hanya mampu mengungkapkan kenyataan dengan apa adanya. Seorang sastrawan

mampu menembus jauh dari balik kenyataan tersebut. Hal ini terjadi karena seorang sastrawan dengan

kedalaman imajinasinya mampu mengungkapkan keberadaan manusia dalam sebuah kenyataan.

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologi pada karya

sastra. Grebstein (dalam Damono, 1984:4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara

menyeluruh dan tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya. Selanjutnya

Wellek dan Austin Warren (1989:80) menyatakan bahwa metode yang dilakukan dalam menganalisis

sebuah karya sastra tidak mungkin dilakukan hanya satu faktor saja, melainkan juga harus menganalisis

karya sastra tersebut dengan latar belakangnya secara keseluruhan.

2.2 Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat

Sastra merupakan karya kreatif dari sebuah proses pemikiran untuk menyampaikan ide,

pengalaman, dan sistem berpikir atau teori. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Hardjana (1981:10)

bahwa sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami, dipermenungkan, dan

dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan. Pada hakikatnya, sastra menggambarkan keadaan manusia

dalam masyarakatnya. Permasalahan kehidupan lebih dapat dirasakan dalam novel dari pada kita harus

membaca catatan biografi. Walaupun kenyataan dalam sastra merupakan kenyataan yang ditafsirkan dan
bermakna subjektif, kenyataan itu dapat dipandang sebagai kenyataan dalam masyarakat pendukungnya.

Georg Lukacs (dalam Jefferson, 1988:204) mengatakan bahwa kesusastraan adalah pengetahuan tentang

realita. Oleh sebab itu, karya sastra yang terbentuk dengan betul akan menghasilkan karya sastra yang

mencerminkan bentuk dunia nyata. Hal ini dijelaskan pula oleh Luxemburg (1992:12) bahwa meskipun di

dalam novel, tokoh dan peristiwa merupakan suatu cerita rekaan, tempat dan waktu sering tepat sesui

dengan pengalaman kita tentang kenyataan. Sebuah karya sastra dengan kedalaman pemikiran

sastrawannya akan mampu memberikan gambaran tentang karakteristik suatu bangsa atau bahkan berhasil

mengungkapkan kebobrokan sistem masyarakatnya. Namun, tidak selamanya suatu peristiwa yang terjadi

selalu diikuti dengan lahirnya sebuah karya sastra. Ada kalanya suatu karya sastra tidak dapat

menggambarkan kehidupan masyarakat yang sesuai lagi dengan keadaan masyarakatnya pada saat itu.

Kita harus ingat bahwa karya sastra adalah dunia tersendiri yang berarti imajinasi sastrawan sangat

berperan dalam menghasilkan karya sastra tersebut. Dengan demikian, jelaslah bahwa sastra merupakan

penggabungan antara kenyataan dengan imajinasi.

Contohnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk yang merupakan penggabungan antara kenyataan dan

imajinasi. Dengan keutuhan ide dan imajinasinya, pengarang mampu melukiskan sosok Srintil yang telah

kemasukan roh ’indang’ sehingga mampu untuk menjadi seorang ronggeng. Seorang ronggeng pada masa

itu merupakan simbol dari harkat dan martabat suatu desa yang bernama Dukuh Paruk. Tidak semua

wanita yang ada di Dukuh Paruk bisa menjadi ronggeng. Hanya seorang wanita yang mendapat roh

’indang’ yang mampu menjadi seorang ronggeng, Srintil. Ketika pada 1965 Srintil terpaksa masuk penjara

karena dituduh ikon atau lambang dari suatu partai politik. Padahal Srintil hanya menari untuk menghibur

para anggota partai politik yang saat itu sedang gencar melaksanakan kampanye. Setiap partai berusaha

untuk mencari dukungan dari masyarakat hingga ke desa-desa agar memenangkan pemilu nantinya.

Karena saat itu begitu banyak pergolakan, Srintil pun dikira membela suatu partai sehingga dianggap
membahayakan. Seorang ronggeng yang sangat dibanggakan menjadi tidak ada artinya lagi. Pada saat

yang bersamaan itu pula Dukuh Paruk hancur dan hampir tidak terdengar lagi namanya.

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa sastra adalah produk masyarakat yang

menggambarkan kehidupan mereka. Seperti apa yang dikatakan Swingewood (dalam Damono, 1984:13)

bahwa sastra merupakan cermin masyarakat atau cermin dari suatu zaman. Maka novel Ronggeng Dukuh

Paruk merupakan produk masyarakat pada zamannya dan tempat karya itu diciptakan. Dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk, kita mendapatkan suatu gambaran keadaan masyarakat pada masa itu tentang

budaya yang tidak terlepas dari adat ketimuran.

2.3 Pengertian Strukturalisme

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, kata Latin, yang berarti bentuk atau

bangunan. Asal muasal strukturalisme dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles dalam kaitannya dengan

tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot (Kutha Ratna, 2004:88). Hawkes (dalam

Pradopo, 2002:93) mengatakan bahwa karya sastra itu merupakan sebuah struktur yang unsur-unsurnya

atau bagian-bagiannya saling berjalinan erat. Dalam struktur itu unsur-unsur tidak mempunyai makna

dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsur-unsur lainnya dan

keseluruhan atau totalitasnya. Dalam sebuah novel atau cipta sastra, terdapat pengelompokan-

pengelompokan yang didasarkan atas keterkaitan atau hubungan. Keteraturan dari urutan-urutan hubungan

tersebut menunjukkan bahwa karya sastra itu mempunyai struktur. Hubungan yang saling terkait itu

bersifat tetap. Artinya, tidak bergantung atas sebuah novel atau cipta sastra tertentu saja. Menurut

Luxemburg (1992:36), struktur atau strukturalisme adalah sesuatu yang saling berkaitan dan teratur.

Kaitan-kaitan itu dilakukan oleh seorang peneliti berdasarkan observasinya. Di dalam keterkaitan dan

keterpaduan struktur akan terkandung keseluruhan makna yang ada. Teeuw (dalam Pradopo 2002:93)
mengatakan bahwa analisis struktural sukar dihindari sebab analisis demikian itu baru memungkinkan

tercapainya pemahaman yang optimal.

Maren-Grisebach (dalam Junus, 1981:17) menyatakan bahwa strukturalisme memiliki tiga

pengertian. Pertama, saling berhubungan unsur-unsur dalam sebuah karya atau adanya suatu sistem

interaksi antara unsur-unsur pembentuknya. Kedua, strukturalisme abstrak yang menyatukan hal-hal yang

berbeda dan biasanya bertujuan untuk mendapatkan suatu hukum universal. Ketiga, strukturalisme adalah

sesuatu yang tidak mengenal sejarah karena perkara tersebut akan berlaku selama-lamanya.

Teeuw (1988:133) mengatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan

memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang

sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Selanjutnya, Luxemburg (1992:38) menyatakan bahwa

sebuah karya sastra atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi keseluruhan karena adanya relasi timbal

balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan. Hal senada pula diungkapkan oleh Lane

(dalam Sukada, 1987:52) bahwa struktur adalah sesuatu yang memiliki hubungan abstrak antara yang satu

dengan yang lain. Struktur ini memiliki isi yang tidak tertentu dan hanya dapat dipahami melalui

organisasi akal dan memberikan gambaran mengenai sesuatu yang nyata secara wajar.

2.4 Pengertian Ekstrinsik

Pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan yang menekankan unsur-unsur luar yang mempengaruhi

pengarang di dalam menciptakan sebuah karya sastra. Wellek dan Warren (1993:109) mengatakan bahwa

pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan situasi sosial tertentu,

sistem ekonomi, sistem sosial, adat istiadat dan politik. Lebih lanjut Luxemburg (1992:24) mengatakan

bahwa penelitian dilakukan dengan melihat hubungan antara aspek teks sastra dan susunan masyarakat,
sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam karya sastra. Sastra pun dipergunakan sebagai

sumber untuk menganalisis sistem yang ada di dalam masyrakat.

Sastra sebagai institusi sosial yang menggunakan bahasa sebagi medium selalu menyajikan

kehidupan dan kehidupan itu sendiri merupakan bagian dari kenyataan sosial.

Nurgiyantoro (1998:23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar

karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Bagaimana pun juga, memahami unsur ekstrinsik dalam suatu karya sastra akan sangat membantu kita

dalam memahami makna karya sastra tersebut, karena karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan

budaya.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk menghadirkan penjelasan yang kuat tentang kepribadian dan

kehidupan wilayah pengarang dan tokoh utamanya. Namun, kita tidak boleh terjebak oleh pernyataan

bahwa seni adalah ekspresi jiwa yang murni dan polos ini berarti perwujudan pengalaman pribadi dan

perasaan yang tercermin dalam sastra tidaklah mutlak atau fotokopi dari kehidupan itu sendiri. Walaupun

karya itu sendiri sangat erat dengan kehidupan pengarang atau tokoh dalam karya tersebut.

Oleh karena itu, unsur ekstrinsik pada pembahasan novel ini mengacu pada nilai-nilai sosiologi

sastra yang terdapat dalam novel tersebut seperti lingkungan, cinta, perkawinan, budaya, dan politik.

BAB III

ANALISIS STRUKTURAL NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

3.1 Sinopsis

Sebuah pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk hidup penuh dengan kebodohan, kemelaratan, dan

kemiskinan. Di pedukuhan tersebut hanya terdapat 23 rumah yang kesemuanya adalah keturunan Ki

Secamenggala. Dahulunya, Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah, yaitu perampok, pembunuh,


dan pemerkosa. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya dia menghabiskan sisa hidupnya. Walaupun dahulunya

Ki Secamenggala menjadi musuh masyarakat tetapi orang-orang di Dukuh Paruk sangat memujanya. Hal

ini ditandai dengan dijadikannya kuburan Ki Secamenggala sebagai pusat kebatinan mereka.

Ketika musim kemarau, tiga anak laki-laki Dukuh Paruk bernama Warta, Darsun dan Rasus serta

seorang gadis berusia sebelas tahun yang bernama Srintil sedang asyik-asyiknya bermain di bawah pohon

nangka. Srintil sangat pintar menari dan menyanyi layaknya seorang ronggeng sehingga ketiga anak laki-

laki itu sangat senang hatinya.

Tanpa disadari mereka, gerak-gerik Srintil diperhatikan oleh Sakarya, seorang kamitua di Dukuh

Paruk sekaligus kakek Srintil. Setelah Sakarya melihat Srintil menari dan menyanyi, maka yakinlah dia

bahwa cucunya Srintil telah dirasuki roh indang untuk menjadi seorang ronggeng. Betapa gembiranya hati

Sakarya melihat kenyataan ini karena selama dua belas tahun pedukuhan tersebut tidak mempunyai

seorang ronggeng. Ronggeng adalah simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka dengan munculnya Srintil

akan mengembalikan Dukuh Paruk kepada keasliannya. Akhirnya, Sakarya menyerahkan Srintil kepada

seorang dukun ronggeng bernama Kartareja. Penyerahan ini adalah suatu hukum di Dukuh Paruk.

Suatu senja yang sangat dinantikan warga Dukuh Paruk karena pada saat itu mereka akan

menyaksikan penampilan perdana Srintil, seorang ronggeng yang sangat diharapkan kehadirannya tampil

dengan sangat memukau. Hampir semua warga Dukuh Paruk memuji penampilan Srintil. Tapi sebelum

Srintil tampil menunjukkan kebolehannya maka Nyai Kartareja terlebih dahulu merias Srintil seperti

seorang ronggeng dewasa. Untuk menambah kecantikannya, Nyai Kartareja meniupkan mantera ke ubun-

ubun Srintil dan memasang susuk di tubuh gadis itu.

Penampilan Srintil malam itu mengingatkan kembali kejadian sebelas tahun yang lalu. Santayib,

ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek. Namun naas menimpa dirinya. Pada 1946, tempe

bongkrek yang dibuatnya mengandung asam tembaga hingga orang-orang yang membeli tempenya
keracunan dan mati seketika. Beberapa warga yang tidak ikut memakan tempenya terlihat segar bugar.

Mereka menuntut pertanggungjawaban Santayib. Santayib membuktikan bahwa tempe bongkrek

buatannya tidak mengandung racun. Seketika ia menelan tempe buatannya sendiri. Istri Santayib, ibu

Srintil menyaksikan suaminya meregang nyawa, ia pun tak mau ketinggalan. Ditelannya tempe bongkrek

tersebut dan akhirnya ibu Srintil meninggal sambil memeluk Srintil yang saat itu berusia lima bulan.

Malapetaka yang menimpa Dukuh Paruk ini selalu dihubungkan warganya atas kehendak Ki

Secamenggala, tetapi bagi seorang laki-laki bernama Rasus, hal ini tidak bisa diterimanya. Rasus adalah

salah satu dari sekian banyak anak yatim piatu yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya akibat

malapetaka tempe bongkrek. Namun yang menjadi persoalan bagi Rasus adalah perihal keberadaan

emaknya yang tidak pernah pulang dari puskesmas kecamatan semenjak kejadian malam itu. Ada berita

yang mengabarkan kepada Rasus bahwa ibunya dibawa pergi oleh sang mantri dan kawin lari. Namun

kabar lain mengatakan bahwa ibunya mati setelah keracunan tersebut dan mayatnya dipotong-potong

untuk dijadikan bahan penelitian dokter. Cerita-cerita tentang nasib emaknya membuat Rasus semakin

bingung akan sosok emaknya. Rindunya Rasus pada emaknya dapat terobati dengan hadirnya Srintil.

Dalam diri Srintillah Rasus menemukan bayangan emaknya. Tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng,

Rasus tidak bisa lagi berdekatan dengan Srintil. Ini karena Srintil sudah menjadi milik semua warga

Dukuh Paruk.

Sebagai seorang ronggeng Srintil harus melalui upacara ataupun syarat agar resmi menjadi

ronggeng. Maka pada waktu yang telah ditentukan Srintil melakukan upacara pemandian di kuburan Ki

Secamenggala. Setelah upacara pemandian selesai maka ada satu lagi syarat yang harus ditempuh yaitu

upacara bukak klambu. Syarat inilah yang dibenci Rasus karena dalam upacara bukak klambu, Srintil

harus menyerahkan keperawanannya kepada laki-laki yang bisa memberikan sekeping ringgit emas.

Sebenarnya Srintil sendiri lebih senang menyerahkan keperawanannya kepada Rasus tetapi Srintil tahu
Rasus adalah pemuda miskin yang tak punya apa-apa. Tetapi secara diam-diam, pada malam upacara

bukak klambu, Srintil bertemu dengan Rasus di belakang rumah Nyai Kartareja. Srintil akhirnya

menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Kejadian ini hanya mereka berdua yang mengetahui.

Pemenang sayembara yang bernama Dower pun tidak mengetahui bahwa Srintil baru saja menyerahkan

keperawannya pada Rasus.

Peristiwa di atas menjadikan Rasus berniat meninggalkan Dukuh Paruk. Dukuh Paruk telah

bertindak semena-mena terhadapnya karena sejak peristiwa bukak klambu, ia tidak pernah lagi

menemukan sosok emak dalam diri Srintil.

Rasus akhirnya pindah ke wilayah kecamatan Dawuan. Ketika terjadi perampokan di Dawuan,

Rasus diangkat menjadi seorang tobang oleh salah satu sersan yang menjaga kecamatan itu berkat

keberaniannya melawan perampok. Semakin lama Rasus tinggal di Dukuh Paruk, semakin mampu ia

menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Sementara Srintil berkembang menjadi seorang

ronggeng yang sangat terkenal. Siapa pun bisa tidur dengannya asal memiliki cukup uang. Ia tidak hanya

dipuja di Dukuh Paruk, tetapi juga di luar wilayah itu. Ketika ia berbelanja ke pasar, orang-orang

berlomba-lomba untuk melayaninya. Ketika usia dua puluh tahun, Srintil mulai mempertanyakan harga

dirinya sebagai wanita. Ia menginginkan kehidupan yang normal sebagai wanita yang ingin mempunyai

suami dan anak. Srintil mulai berani menampik laki-laki yang tidak disukainya. Pada suatu ketika, tawaran

datang pada dirinya untuk menjadi seorang gowok. Gowok adalah wanita yang disewa oleh seorang ayah

yang mempunyai anak laki-laki yang akan menikah. Selama seminggu Srintil diharuskan memberi

pelajaran kepada anak laki-laki tersebut bagaimana menjadi suami yang baik dan melayani istri, termasuk

di dalamnya masalah seks. Berperan menjadi gowok, membangkitkan gairah dan semangatnya menjadi

seorang wanita. Ia merasa dirinya sangat diperlukan.


Setelah selesai berperan sebagai gowok, tawaran meronggeng kembali datang pada Srintil.

Awalnya Srintil menolaknya, tetapi Sakarya membujuknya karena mereka diminta mengisi pementasan

pada acara tujuh belasan di kecamatan. Penampilan Srintil pada acara tersebut memikat hati Bakar,

seorang politisi pada saat itu. Srintil kemudian ditawari untuk tampil pada acara kampanye. Rombongan

ronggeng Srintil pun diberi nama ronggeng rakyat oleh Bakar. Di depan rumah Sakarya dipasang sebuah

papan yang berisi simbol. Tidak ada satupun warga yang tahu apa makna dari simbol tersebut. Ketika

Bakar berkampanye, Srintil juga harus meneriakkan yel-yel kepada massa yang datang. Kebodohan

Srintil, rombongan ronggeng, dan warga Dukuh Paruk membuat malapetaka bagi mereka. Peristiwa

politik pada 1965 menbuat rombongan ronggeng Srintil dan warga Dukuh Paruk dituduh sebagai biang

kerusuhan karena ronggeng Srintil menarik massa saat berkampanye. Padi warga Dukuh Paruk dibabat

habis oleh orang-orang tak dikenal. Kuburan Ki Secamenggala diletakkan caping dan arit. Hal ini

membuat kemarahan warga Dukuh Paruk. Namun sebenarnya yang meletakkan caping itu adalah Bakar

sendiri. Ia ingin melimpahkan semua kesalahan pada Dukuh Paruk. Akhirnya Srintil, Kartareja, Nyai

Kartareja dan Sakum pergi ke kantor polisi kecamatan untuk minta perlindungan diri. Bukan perlindungan

yang didapatkan mereka, melainkan mereka ditahan sebagai tahanan politik. Banyak di antara tahanan

yang dibunuh. Karena kecantikannyalah maka Srintil tidak diperlakukan semena-mena.

Kartareja, Nyai Kartareja, dan Sakum hanya ditahan selama dua minggu, seterusnya mereka

diwajibkan melapor setiap hari ke markas tentara di Dawuan.

Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk untuk melihat neneknya yang sedang sakit dan akhirnya

meninggal dunia, semua warga mengharapkannya agar mau menjadi pengayom bagi mereka. Sebenarnya

Rasus ingin tinggal kembali di Dukuh itu, namun tugasnya sebagai tentara tidak bisa ia tinggalkan. Rasus

berjanji akan mencari tahu dimana Srintil ditahan dan sebisa mungkin membebaskannya.
Srintil bebas setelah dua tahun dipenjara. Ia kembali ke Dukuh Paruk dengan perubahan sikap

yang luar biasa. Ia menjadi seorang gadis yang pendiam. Srintil menyadari bahwa bagaimanapun ia

seorang perempuan yang menginginkan sebuah keluarga. Srintil ingin meninggalkan semua pekerjaannya

yang dulu, baik sebagai ronggeng maupun pelacur.

Pada suatu ketika, ada pengembangan proyek irigasi di Dawuan. Orang-orang proyek sering

melewati Dukuh Paruk dan datang kesana. Pimpinan proyek yang bernama Bajus berkenalan dengan

Srintil. Bajus mulai menyukai Srintil dan mempekerjakan beberapa warga Dukuh Paruk. Orang-orang

yang awalnya sinis terhadap Srintil yang dianggap mantan tahanan politik dan warga Dukuh Paruk

sebagai biang kerusuhan 1965, mulai menaruh hormat kepada Srintil dan warga Dukuh Paruk karena

Srintil dan warga Dukuh Paruk dekat dengan Bajus, orang pemerintah. Artinya, mereka sudah digandeng

dan dimaafkan pemerintah.

Ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk, Srintil berharap Rasus mau mengawininya, tetapi ia tidak

mampu mengungkapkannya. Srintil merasa malu atas perbuatannya selama ini. Ketika Rasus mau kembali

ke kesatuannya, ia tidak memberi keputusan yang tegas meskipun ia mencintai Srintil.

Sementara itu, Bajus semakin dekat dengan Srintil. Bajus bersikap ramah, baik dan tidak pernah

berbuat senonoh kepada Srintil. Hal ini membuat Srintil yakin bahwa Bajus adalah lelaki yang baik dan ia

menaruh harapan yang besar pada Bajus walaupun Bajus tidak pernah menyatakan cintanya.

Apa yang diharapkan Srintil ternyata tidak terjadi. Bajus hanya memanfaatkan Srintil. Bajus

menginginkan Srintil melayani bosnya agar ia memenangkan proyek. Akan tetapi Srintil menentang dan

menolaknya. Bajus marah dan mengancam akan memasukkan Srintil kembali ke penjara. Hal ini membuat

Srintil kecewa, marah, sedih dan shock. Akibatnya Srintil menjadi gila.

Rasus sangat kecewa ketika kembali ke Dukuh Paruk mendapati Srintil menjadi gila karena Bajus.

Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa dan Rasus mengatakan kepada pegawai rumah sakit bahwa
Srintil adalah calon istrinya. Rasus pun berjanji pada dirinya untuk memperbaiki Dukuh Paruk dari

kemelaratan, kesengsaraan, dan kemiskinan.

3.2 Alur

Alur diibaratkan seperti rangka dalam tubuh manusia atau rangka pada sebuah rumah. Dengan

demikian, sama halnya dalam karya sastra, alur dapat dikatakan sebagai tulang punggung dari cerita. Alur

akan menuntun kita dalam keseluruhan cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya.

Alur yang baik adalah alur yang dapat membangun satu cerita, sehingga pembaca ingin membaca

cerita itu hingga akhir dan dapat memahaminya. Alur yang baik juga memiliki kejelasan dan

kesederhanaan, sebagaimana dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1998:110) kejelasan alur dapat berarti

kejelasan cerita dan kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dipahami.

Alur diwujudkan melalui perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita, bahkan

umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tidak lain dari perbuatan dan tingkah laku tokoh-tokoh

cerita. Alur merupakan cermin dari perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir,

berperasaan, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114).

Banyak cara bagi pengarang untuk melukiskan jalan cerita, di antaranya ada yang menggunakan

alur sorot balik dan ada juga yang secara kronologis. Sorot balik atau flash back adalah jika urutan

peristiwa-peristiwa yang disajikan disisipi dengan peristiwa sebelumnya. Sorot balik ini biasanya

ditampilkan pengarang dengan bentuk dialog, dalam bentuk mimpi, lamunan, atau teringat kembali pada

sesuatu hal atau peristiwa. Sedangkan secara kronologis adalah peristiwa yang bergerak dari awal hingga

akhir dan tersusun menurut urutan waktu terjadinya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memakai

alur flash back. Secara umum unsur cerita terdiri dari tiga hal, yakni pendahuluan, isi, dan penutup. Akan
tetapi, pengarang biasanya lebih memperhalus bagian-bagian tersebut hingga menjadi beberapa unsur lagi.

Pembagian alur dari sebuah cerita rekaan telah diperinci oleh Mochtar Lubis (1981:17) dalam 5 bagian:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan).

2. Generating Circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak).

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak).

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya).

5. Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa).

Demikianlah jika di tinjau dari jalan ceritanya, alur novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah flash-

back. Hal ini terlihat karena Ahmad Tohari memulai cerita langsung dengan melukiskan keadaan Dukuh

Paruk, lalu peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut mulai bergerak diselingi dengan menceritakan

kejadian yang telah lalu, diteruskan dengan keadaan memuncak, dan setelah peristiwa-peristiwa mencapai

puncaknya, maka Ahmad Tohari memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.

Lengkapnya, alur yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, terlihat sebagai berikut:

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

Dukuh Paruk adalah suatu daerah yang kecil dan menciptakan kehidupan tersendiri. Sebagai pusat

kebatinan warga Dukuh Paruk, adalah kuburan Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit di

tengah Dukuh Paruk. Dulunya Ki Secamenggala adalah seorang bromocorah yang mencari daerah paling

sunyi sebagai tempat menghabiskan sisa hidupnya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala

bertempat tinggal sampai akhir hidupnya.

Tradisi dan kepercayaan alam sangat dipegang teguh oleh anak cucu Ki Secamenggala. Mereka

sangat percaya kepada hukum alam yang berlaku dan sangat menghormati kuburan Ki Secamenggala.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk
menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kuburan
Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di
sana. (hal.10)
Masyarakat Dukuh Paruk juga terkenal karena ronggengnya. Namun sudah hampir sebelas tahun

lamanya mereka tidak memiliki seorang ronggeng. Akhirnya seorang gadis kecil bernama Srintil

menunjukkan gerak-geriknya sebagai seorang ronggeng.

Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan


hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. ”Dukuh Paruk
tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra
sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri. (hal.15)

2. Generating Circumtances (peristiwa-peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)

Malapetaka tempe bongkrek yang terjadi sekitar tahun 1946 atau sebelas tahun yang lalu membuat

Dukuh Paruk gempar. Santayib, ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe bongkrek di pedukuhan itu.

Namun malang baginya, pagi itu tempe yang dijualnya mengandung racun. Sembilan orang dewasa dan

sebelas anak-anak Dukuh Paruk meninggal, termasuk di dalamnya Santayib dan istrinya yang nekat

menelan tempe buatannya sendiri guna membuktikan bahwa tempenya tidak beracun.

Dalam haru biru kepanikan itu kata-kata ”wuru bongkrek” mulai diteriakkan orang.
Keracunan tempe bongkrek. Santayib, pembuat tempe bongkrek itu, sudah mendengar
teriakan demikian. Hatinya ingin dengan sengit membantahnya. Namun nuraninya juga
berbicara, ”Santayib, bongkrekmu akan membunuh banyak orang di Dukuh Paruk ini.”
(hal.25)

Kemunculan Srintil sebagai seorang ronggeng baru membuat masyarakat Dukuh Paruk kembali

ingat pada kejadian tersebut dan membuat hati Rasus, teman sepermainannya menjadi gelisah. Emak dan

ayah Rasus adalah salah satu korban malapetaka tempe bongkrek. Ayahnya mati pada saat itu juga,

sementara ibunya dalam keadaan tidak sadar dibawa oleh mantri ke kota. Semenjak itu ia tidak pernah lagi

mengetahui apakah ibunya sudah mati atau kawin lari dengan mantri itu.

Saat membayangkan pencincangan terhadap mayat emak, aku tidak merasakan kengerian.
Ini pengakuanku yang jujur. Sebab bayangan demikian masih lebih baik bagiku daripada
bayangan lain yang juga mengusik angan-anganku. Itu andaikan emak meninggal,
melainkan pergi bersama si mantri entah ke mana. (hal.35)
Rasus menyadari bahwa ia menemukan bayangan emak pada diri Srintil. Namun, semenjak Srintil

dipuja oleh banyak orang ia mulai menyadari bahwa Srintil bukanlah milik dirinya semata melainkan

milik semua warga Dukuh Paruk.

Tidak bisa kupastikan yang kurindukan adalah seorang perempuan sebagai kecintaan atau
seorang perempuan sebagai citra seorang emak. Emakku. Atau kedua-duanya. Tetapi jelas,
penampilan Srintil membantuku mewujudkan angan-anganku tentang pribadi perempuan
yang telah melahirkanku. Bahkan juga bentuk lahirnya. Jadi sudah kuanggap pasti, Emak
mempunyai senyum yang bagus seperti Srintil. Suaranya lembut, sejuk, suara seorang
perempuan sejati. Tetapi aku tidak bisa memastikan apakah emak mempunyai cambang
halus di kedua pipinya seperti halnya Srintil. Atau, apakah juga ada lesung pipi pada pipi
kiri emak. Srintil bertambah manis dengan lekuk kecil di pipi kirinya, bila ia sedang
tertawa. Hanya secara umum Emak mirip Srintil. Sudah kukatakan aku belum pernah atau
takkan pernah melihat emak. Persamaan itu kubangun sendiri sedikit demi sedikit. Lama-
lama hal yang kureka sendiri itu kujadikan kepastian dalam hidupku. (hal.45)

Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi


ronggeng itu penuh berahi.
Penonton bersorak. Mereka bertepuk tangan dengan gembira. Tetapi aku diam terpaku.
Jantungku berdebar. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian
dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. (hal.48)

3. Rising Action (keadaan mulai memuncak)

Keadaan mulai memuncak ketika Rasus menyadari bahwa di samping upacara pemandian, masih

ada satu lagi syarat menjadi seorang ronggeng. Srintil harus menjalankan upacara ”bukak klambu” yaitu

upacara penyerahan keperawanan seorang ronggeng kepada seorang laki-laki. Sebagai salah satu syarat,

laki-laki yang memenangkan sayembara tersebut harus menyerahkan sekeping ringgit emas. Dengan

diadakannya sayembara tersebut, Rasus semakin membenci tradisi Dukuh Paruk dalam memperlakukan

Srintil sebagi seorang ronggeng.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak klambu bagi
Srintil, tidak lebih dari sebuah tempat pembantain. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana,
tiga hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak
berbicara atas kepentingan berahi atau sebangsanya. Di sana, di dalam kurung kelambu
yang tampak dari tempatku berdiri, akan terjadi pemusnahan mustika yang selama ini amat
kuhargai. (hal.53)
Upacara bukak klambu itu merupakan suatu tradisi yang harus dijalankan oleh setiap wanita yang

akan menjadi ronggeng. Sebenarnya Srintil merasa tak berdaya dengan malam bukak klambu yang akan

dilaluinya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan semua persyaratan.

”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”
”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapapun yang akan menjadi
ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?” (hal.55)

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)

Puncak cerita ini adalah terjadinya malam bukak klambu. Artinya Srintil resmi menjadi seorang

ronggeng baru yang sah. Dengan demikian semua lelaki berhak atas dirinya dengan memberikan uang

sebagai imabalannya. Yang memenangkan sayembara tersebut adalah Dower, pemuda dari Pecikalan.

Tetapi kelicikan Kartareja dan Nyai Kartareja membuat pemenang sayembara menjadi dua pemuda dan

pemuda yang lain bernama Sulam. Tanpa diketahui oleh pasangan Kartareja, sebenarnya Srintil pada

malam itu menyelinap keluar dan menyerahkan keperawanannya pada Rasus.

”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak
seperti kaulakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau,
bukan?” (hal.76)

5. Denouement (pengarang memberi pemecahan soal dari semua peristiwa).

Ahmad Tohari memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk ini sebagai berikut:

Setelah Srintil resmi menjadi ronggeng dan dipuja oleh banyak orang, Rasus meninggalkan Dukuh

Paruk. Srintil pun dipuja oleh banyak orang dan hidupnya bergelimang harta namun sesungguhnya hati

kecilnya masih ingat pada Rasus. Dalam perantauannya, Rasus bertemu dengan Srintil dan ia merasakan

bahwa Srintil tidak pernah melupakannya.

Di warung cendol itu terbukti pengertianku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari caranya
duduk di sampingku, dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di
belakang rumah Kartareja itu secara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya
akan kata-kata orang bahwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan
dilupakannya sepanjang usia. Juga aku jadi percaya akan kata-kata yang pernah kudengar
bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia mengharapkan seorang
kecintaan. (hal.89)

Ketika Srintil berusia dua puluh tahun, lambat laun ia menyadari keberadaannya sebagai wanita

utuh. Ia mulai berani menampik lelaki dan melakukan kehendaknya tanpa izin Nyai Kartareja. Ketika ia

menjadi seorang gowok. Ia merasa tidak semua laki-laki menginginkan kewanitaannya.

Srintil menyerah dalam kekecewaan yang amat sangat. Bukan karena tak terpenuhinya
kebutuhan pribadi, melainkan karena kenyataan bahwa pada suatu ketika
keperempuanannya sama sekali tidak berarti, hal mana belum pernah sekali pun
terbayangkan. (hal.224)

Ketenaran Srintil membawanya ke dalam sebuah kampanye politik. Kebodohan warga Dukuh

Paruk dimanfaatkan oleh pak Bakar dan rombongannya. Rombongan ronggeng Srintl pun dianggap

sebagai kelompok komunis. Srintil dipenjara selama dua tahun. Hidup dipenjara membuat Srintil

menyadari kodratnya sebagai seorang wanita.

”Oalah Gusti Pangeran,” tangis Srintil dalam ratap tertahan. ”Nyai, kamu ini kebangetan!
Kamu menyuruh aku kembali seperti dulu? Kamu tidak membaca zaman? Kamu tidak
membaca betapa keadaanku sekarang? Oalah, Gusti.....” (hal.288)

Ketika Rasus kembali, Srintil masih berharap agar Rasus mau menjadi suaminya. Semua warga

Dukuh Paruk mendukungnya, namun Rasus menolaknya dan akhirnya ia kembali meninggalkan Dukuh

Paruk. Selepas kepergian Rasus, Srintil berteman akrab dengan Bajus. Srintil berharap kelak Bajus akan

menikahinya. Namun, Srintil hanya diperalat Bajus untuk mendapatkan proyek dari pak Blengur bosnya.

”Anu Srin. Kamu sudah kuperkenalkan pada pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik.
Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapapun harganya, akan dia kabulkan.
Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” (hal.381)
Kejadian tersebut membuat Srintil shock dan menjadi gila. Pada saat itulah Rasus kembali datang.

Ia membawa Srintil pergi berobat dan berharap kelak jika Srintil sembuh, akan menjadikannya sebagai

istri.

Kepala bangsal memanggilku untuk minta keterangan dan data tentang Srintil. Kukatakan
semuanya, terutama bahwa akulah yang menanggung segala biaya perawatan. Tetapi tiba-
tiba lidahku kelu ketika petugas bertanya tentang hubunganku dengan Srintil.
”Istri?”
”Bukan. Aku masih bujangan.”
”Hanya saudara?”
Aku diam dan menunduk.
”Wah, sayang. Sungguh sayang. Sepintas kulihat dia memang, wah. Bisa kubayangkan
kecantikannya di kala dia sehat. Lalu, maafkan aku Mas. Dia bukan istri, bukan pula adik
sampean. Maaf, pasien itu calon istri sampean barangkali?”
”Ya!” (hal.402)

3.3 Perwatakan

Perwatakan dalam sebuah cipta sastra tidak terlepas dari tokoh atau pelaku dalam suatu cerita.

Sehingga segala kejadian atau peristiwa di dalam karya sastra berlangsung sedemikian rupa karena adanya

tokoh.

Sudjiman (1988:17) membedakan fungsi tokoh dalam cerita atas dua bagian, yakni tokoh utama

dan tokoh bawahan. Tokoh utama masih dapat dibedakan lagi atas protagonis dan antagonis. Tokoh

protagonis adalah tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam cerita. Tokoh antagonis merupakan

penentang utama tokoh protagonis. Tokoh antagonis dalam novel ini adalah pasangan Kartareja.

Sudjiman (1988:18-19) mengatakan bahwa biasanya tokoh protagonis menjadi pusat sorotan cerita

dan sekaligus memberi kemungkinan menempati kedudukan sebagai tokoh utama. Ada beberapa kriteria

yang dapat kita pergunakan untuk menentukan tokoh utama, (1) Bagaimana intensitas keterlibatan tokoh

dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, (2) Tokoh mana yang paling banyak berhubungan

dengan tokoh-tokoh lainnya, (3) Tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan, (4)

Tokoh utama selalu bisa mendukung ide pengarang, (5) Dilihat dari judul, sebab ada kalanya judul cerita
mengisyaratkan tokoh utama, (6) Apabila fokus pengisahan pada bab pertama dan bab penutup dilakukan

oleh tokoh yang sama (Sudjiman 1988:19, Luxemburg, 1992:132).

Adapun fungsi kedua tokoh adalah tokoh bawahan yang kedudukannya tidak sentral di dalam

cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh

sentral dalam novel ini adalah Rasus.

Dalam hal cara menampilkan watak atau karakter tokoh dalam cipta sastra Sudjiman (1988:20)

menggunakan istilah tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar bersifat statis, lakuan atau karakter tokoh

ini sedikit sekali mengalami perubahan bahkan cenderung tidak berubah sama sekali. Sebaliknya watak

atau karakter tokoh yang menampilkan lebih dari satu segi atau ciri adalah tokoh bulat. Yang menjadi

tokoh datar atau tokoh bulat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Sakarya, kakek Srintil dan

Sakum. Sedangkan Bajus dan Rasus termasuk kedalam tokoh bulat.

Sudjiman (1988:23-24) memberikan metode penyajian watak tokoh, yakni metode langsung atau

metode analitis. Dalam metode ini pengarang melalui pencerita mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat,

pikiran, dan perasaannya. Metode kedua menurut Sudjiman (1988:26) adalah metode tidak langsung atau

metode dramatik. Watak tokoh dalam metode ini dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan dan

lakuan tokoh yang disajikan pengarang, juga dapat disimpulkan dari gambaran lingkungan sekeliling

maupun penampilan fisik tokoh. Dalam novel ini, pengarang menggunakan kedua metode tersebut yaitu

metode analitis dan metode dramatik.

1) Srintil

Srintil merupakan tokoh utama dalam novel ini. Intensitas keterlibatan Srintil dalam cerita ini

dimulai dari awal hingga akhir. Srintil menjadi tokoh yang menjalankan alur cerita, yang mengemban

tema, dan yang mengembangkan peristiwa demi peristiwa. Di samping itu Srintil juga merupakan salah
satu dari struktur itu sendiri. Sebagai tokoh utama, peran Srintil sangat menentukan dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk. Srintillah yang membawa pola kehidupan di Dukuh Paruk dan sekitarnya. Srintil

pulalah yang menghidupkan kembali tradisi ronggeng yang telah lama tenggelam di Dukuh Paruk.

Pada saat Srintil berusia sebelas tahun, ia mampu menari seperti ronggeng sungguhan. Srintil

mampu menyanyikan lagu-lagu ronggeng dan menari laiknya ronggeng sejati.

”Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil


berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua
bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara
kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: senggot
timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe.” (hal. 11)

”Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya,
juga diperbuat Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil
menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa mana pun yang meliriknya.”
(hal.13)

Sebelum Srintil menjadi seorang ronggeng, ia harus menjalankan beberapa persyaratan.

Diantarnya adalah bukak klambu yaitu penyerahan keperawanan Srintil. Srintil sebenarnya ragu, tetapi ini

merupakan suatu keharusan untuk menerima keadaan karena ia tunduk pada tradisi dan bersikap pasrah

terhadap apa yang terjadi. Persyaratan itu tidak bisa ditolaknya dan ia sangat menyukai Rasus dan

akhirnya ia menyerahkan keperawanannya pada Rasus

Mungkin selama ini Srintil hanya terpukau oleh janji Kartareja bahwa sebuah
ringgit emas yang diberikan oleh laki-laki pemenang akan menjadi miliknya. Kemampuan
pikirannya hanya sampai di situ.
”Bagaimana?” tanyaku mengulang.
”Entahlah, Rasus. Aku tak mengerti,” jawab Srintil sambil menundukkan kepala.
”Tentu kau senang karena kau akan memiliki sebuah ringgit emas. Kukira begitu.”
”Aku tak mengerti, Rasus. Yang jelas aku seorang ronggeng. Siapa pun yang akan menjadi
seorang ronggeng harus mengalami malam bukak klambu. Kau sudah tahu itu, bukan?”.
(hal.55)

Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tahu apa
yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.
”Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak
seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau,
bukan?” (hal. 76)

Status Srintil sebagai seorang ronggeng menjadikan dirinya begitu tenar dan menjadi pusat

perhatian orang banyak di mana pun ia berada. Di samping itu juga Srintil dengan mudah memperoleh

harta hingga hidupnya menjadi senang dibanding dengan warga lainnya. Tetapi itu semua tidaklah

membuat hidupnya bahagia. Nalurinya tidak dapat dibohongi untuk hidup layak dengan laki-laki yang

dicintainya.

Sepanjang malam itu aku menghadapi ulah seorang perempuan yang sedang dituntut oleh
nalurinya. Seorang perempuan yang ingin kuanggap tanpa sebutan apa pun, baik sebutan
ronggeng atau sebutan perempuan Dukuh Paruk. Srintil hanya ingin disebut sebagai
seorang perempuan utuh. Dia ingin sungguh-sungguh melahirkan anakku dari rahimnya.
(hal.171)

Kodrat Srintil sebagai seorang ronggeng membuat ia harus menjunjung tradisi dan kepercayaan

yang diberikan kepadanya. Itulah watak Srintil sebagai wanita yang berwatak nrimo (tunduk kepada

keadaan), rila (kesanggupan untuk melepaskan hak milik), dan ihklas (bersedia untuk melepaskan

individualitas dan mencocokkan diri ke dalam keselarasan agung alam semesta sebagaimana sudah

menjadi tradisi).

2) Rasus

Rasus sebenarnya pria yang cerdas, tetapi Rasus masih tunduk kepada tradisi walaupun di dalam

hatinya ia mengutuk kebodohan, kemelaratan dan kesengsaraan Dukuh Paruk. Watak ini terlihat dalam

kutipan di bawah ini:

”Boleh jadi dengan cara ditanam seperti itu keringatku yang pasti
mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori di kulit tubuhku. Dengan
demikian kekuatan racun cepat berkurang. Ah, tetapi teori demikian sangat tidak patut dan
hanya akan mengundang tawa orang-orang pandai. Maka lebih baik kuikuti keyakinan
nenek, bahwa aku selamat karena roh Ki Secamenggala belum menghendaki kematianku.”
(hal.33-34)
Rasus sangat merindukan sosok emak yang telah pergi meninggalkannya ketika umur tiga tahun.

Ketika terjadi peristiwa tempe bongkrek, emak dibawa mantri ke kota untuk berobat. Namun emak tak

pernah kembali. Rasus hanya membayangkan bahwa wujud emak ada dalam diri Srintil.

”Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya
hidup dalam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja
perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili emak, walau aku tidak
pernah tahu dia dimana.” (hal.41)

Dengan perginya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk tersebut, maka terjadilah perubahan

wataknya. Dirinya tidak lagi menganggap Srintil sebagai bayangan emaknya dan ia juga telah mampu

hidup tanpa bayangan emaknya. Pandangannya semakin kritis terhadap tradisi yang berlaku di Dukuh

Paruk.

”Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala
sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci
meskipun dulu aku telah bersumpah tidak memaafkannya karena dia telah merenggut
Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Akan memberikan kesempatan kepada
pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan
yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk,
ronggeng!.” (hal.88)

Setelah Rasus keluar dari Dukuh Paruk ia diangkat menjadi seorang tobang, berkat keberaniannya

melawan perampok Kemudian ia diangkat menjadi seorang tentara. Tentu saja keberadaan Rasus sebagai

seorang tentara membuat bangga warga Dukuh Paruk. Apalagi Rasuslah warga Dukuh Paruk yang

pertama sekali menjadi tentara. Ketika Srintil berada di dalam tahanan, Rasus pulalah yang diharapkan

mampu menolong Srintil.

”Eh, itukah Rasus? Kamu masih ingat padaku? Aku Sakum.”


”Sakum! Panggil dia ’Pak’. Tidak pantas kau ber-kamu kepadanya sekarang,” ujar Nyai
Kartareja.
”Oh, maafkan aku, Rasus, eh Pak Rasus. Sampean sudah beristri, bukan? Cantik mana
dengan Srintil?”
”Aku masih sendiri Kang Sakum.”
”Sendiri? Malah kebetulan. Srintil juga masih sendiri. Tetapi dia sekarang entah di mana.
Nah, sampean tentara, kan?”
”Ya, Kang.”
”Nah, jadi sampean bisa menolong Srintil. Kasihan dia. Hanya sampean yang bisa
menolong. Sampean mau, bukan?”
sakum tidak dapat melihat Rasus yang langsung terpekur. Tetapi dia bisa merasakan
suasana yang mendadak janggal. Maka dia tidak berani berkata-kata lebih jauh. (hal.257)

Ketika Rasus kembali ke Dukuh Paruk, dan mendapati Srintil dalam kedaan gila, ia menyesali

segala perbuatannya. Kenapa ia justru pergi dari Dukuh Paruk ketika warganya membutuhkan pertolongan

untuk keluar dari kemelaratan dan kebodohan.

Aku diam dan menelan ludah. Bahkan aku tidak berani melihat mata Sakum yang buta.
Tiba-tiba aku merasa menjdi inti kedunguan Dukuh Paruk kepada siapa tadi malam aku
mengumumkan perang. Dan Sakum dengan bahasa yang amat bersahaja menunjukkan
bahwa kunci utama untuk menembus kedunguan tanah airku yang kecil justru berada pada
genggamanku. (hal.399)

Itulah watak Rasus, seorang pemuda yang kritis menilai lingkungannya sehingga harus

melepaskan diri dari tradisinya itu walaupun belum terniat dalam hatinya untuk merombak tradisi

warganya.

3. Kartareja

Kartareja adalah seorang dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Kartareja berwatak licik dan mata

duitan. Watak ini tergambar jelas dalam kutipan berikut ini:

”Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus
datang membawa sebuah ringgit emas. Kalau tidak apa boleh buat. Kau
kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
”Kalau aku gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjarku
hilang?” tanya Dower.
”Ya!” Jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. ”kalau
engkau berkeberatan, maka terserah. Aku akan menunggu pemuda yang
lain”. (hal.59)

Kartareja tidak mengubah roman muka meski dalam hati dia merasa senang. Seekor kerbau
betina yang besar di tambah dengan dua keping rupiah perak. Dukun ronggeng itu
terbahak-bahak dalam hati. Hanya karena Kartareja sudah amat berpengalaman maka dia
dapat mengendalikan perasaannya.” (hal.70)
Demikianlah dengan kelicikannya, Kartareja telah mengeruk keuntungan yang besar dari peminat

sayembara ”bukak klambu” yang diselenggarakannya itu. Dalam hal ini Srintil telah diperalatnya dan ia

mengenyampingkan perasaan Srintil.

4) Nyai Kartareja

Nyai Kartareja juga tidak berbeda wataknya dengan suaminya Kartareja. Nyai Kartareja ini

seorang wanita tua yang bergaya mucikari. Dengan segala kelicikannya, ia membantu suaminya

mendapatkan keuntungan besar dari sayembara ”bukak klambu” dengan cara memperalat Srintil.

Tindakannya yang sewenang-wenang terhadap Srintil, terlihat dalam kutipan di bawah ini:

Dengan gaya memanjakan, Nyai Kartareja membelai rambut Srintil.


”Tak mengapa bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit
emas di Dukuh Paruk ini.”
”Tetapi perutku sakit, nek. Amat sakit”.
”Aku pernah mengalami hal seperti itu. Bocah ayu, percayalah padaku. Semuanya tak
mengapa kau lakukan. Ingat, Sebuah ringgit emas! Istirahatlah sekarang selagi Sulam
masih mendengkur.”(hal.77)

Dalam memilih lelaki pun, Srintil tidak turut mencampuri lelaki mana yang akan tidur dengannya.

Yang mengaturnya adalah Nyai Kartareja.

”Wong ayu,” kata Nyai Kartareja lembut. Tangannya membelai pundak Srintil. ”Tak baik
menampik uluran tangan seseorang. Apalagi dia adalah pak Marsusi. Kau belum bertanya
hendak ke mana kau akan dibawanya. Nah, bahkan kau belum mengerti apa hadiah Pak
Marsusi buatmu kali ini.” (hal.147)

5) Sakarya

Sakarya adalah kakek Srintil. Sakarya adalah seorang kamitua di pedukuhan itu. Ia sangat

memegang teguh budaya dan adat yang ditinggalkan oleh Ki Secamenggala. Keberadaan Srintil sebagai

seorang ronggeng baru membuat Sakarya bangga.


Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu
merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. ”
Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan
mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya pada dirinya sendiri.
(hal.15)

Ketika mengetahui Srintil kerasukan Indang ronggeng, maka Sakarya menyerahkan Srintil kepada

keluarga Kartareja untuk diasuh menjadi ronggeng.

Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya kepada Kartareja. Itu
hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng. Keluarga calon harus
menyerahkan kepada dukun ronggeng, menjadi anak akuan. (hal.17)

Ketika hari kematian Sakarya sudah dekat, ia mersakan hal-hal aneh dan ia menyadari bahwa

sebentar lagi kematian akan datang padanya.

Perasaan kakek Srintil itu lebih dirisaukan oleh peristiwa-peristiwa kecil namun baginya
penuh makna. Kemarin, seekor burung trimulkan terbang secepat angin menerobos pintu
rumahnya yang terbuka, membentur keras cermin lemari kacanya. Burung itu runtuh ke
lantai dan mati seketika. Dari paruhnya yang mungil menetes darah. (Hal.158)

Sakarya merasa hawa dingin bertiup di kuduknya. Suara hiruk pikuk bergalau dalam
telinga. Dan tiba-tiba Sakarya terkejut oleh sinar yang menyilaukan yang menusuk
matanya. Matahari pagi muncul dari balik awan. ”Ah, boleh jadi benar, kematianku sudah
dekat,” gumam Sakarya. (Hal.160)

6) Sakum

Sakum adalah penabuh calung yang buta. Tetapi ia dapat menyesuaikan gerak gerik ronggeng

dengan calung yang dipukulnya. Sakum selalu meneriakkan kata-kata cessss! Saat ronggeng

menggerakkan pinggulnya.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesyaduhan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu
pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan
mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul.
Cessss...cessss.

Ketika Srintil berkeinginan untuk berhenti menjadi seorang ronggeng, Sakumlah yang

memperingatinya agar jangan terjerumus pada perasaan yang menyakiti hati sendiri. Sakum berusaha
meyakinkan Srintil bahwa ia masih seorang ronggeng, indang ronggeng masih melekat di badannya,

Srintil harus berhati-hati karena hal itu dapat membahayakannya. Sakum memberikan contoh ronggeng

yang pernah melanggar dunia peronggengan.

”Eh, sudah puluhan tahun dan sudah sekian banyak ronggeng yang kukenal.
Getar suara sampean adalah getar suara ronggeng. Bau badan sampean adalah bau badan
ronggeng. Wibawa sampean juga wibawa ronggeng. Nah, sampean memang masih seorang
ronggeng. Kelak pada suatu saat aku akan tahu sampean bukan lagi ronggeng. Yakni bila
indang telah meninggalkan diri sampean.” (hal.115)

7) Emak dan Mantri

Emak dan Mantri merupakan tokoh-tokoh hasil ciptaan Rasus. Kedua tokoh ini tidak pernah ada

secara nyata, namun sangat berpengaruh terhadap Rasus dan jalan cerita. Semua hal tentang emak dan

mantri hanya dalam angan Rasus belaka.

Gambaran mengenai emak dalam angan Rasus pada mulanya identik dengan Srintil yang cantik

dengan memiliki cambang halus di pipinya, berlesung pipit kiri, suaranya lembut, kulitnya putih, dan

senyumnya menawan hati. Tetapi akhirnya gambaran ini telah digantikan dengan citra perempuan Dukuh

Paruk pada umumnya, seperti berambut kusut dengan ujung kemerahan, wajah lesu dan pucat, telapak

kaki yang lebar dan penuh kotoran, kata-katanya yang kasar diiringi dengan ucapan cabul.

Gambaran mantri dalam angan Rasus adalah seorang pria berkumis panjang, bertopi gabus,

berpakaian putih, dan telah mengawini emaknya. Ketika gambaran tentang emaknya berubah, maka

gambaran tentang mantripun ikut berubah yaitu pria sinting dan bodoh karena mau mengawini warga

Dukuh Paruk.

8) Dower

Dower adalah seorang pemuda yang berambisi untuk segera memenangkan sayembara ”bukak

klambu”. Keambisiannya untuk memenangkan sayembara ”bukak klambu” tersebut, bukanlah hanya
masalah keperawanan ronggeng saja, tetapi juga merupakan suatu kebanggaan. Didorong oleh hal inilah

maka tidak disadarinya bahwa ia telah ditipu oleh suami istri Kartareja.

”Memenangkan sayembara ”bukak klambu” bukan hanya menyangkut


rencana berahi. Bukan pula hanya menyangkut suka cita mewisuda seorang perawan,
melainkan juga kebanggaan. Dower sungguh-sungguh berharap kelak orang akan
bergunjing, ternyata Dower bukan pemuda semabarangan. Dialah orangnya yang
memenangkan sayembara ”bukak klambu” bagi ronggeng Srintil”.

9) Waras

Waras adalah anak seorang petani kaya dari Pecikalan. Sebagai seorang keturunan yang

diharapkan mampu meneruskan silsilah keluarga, Pak Sentika menginginkan agar Waras bisa menikah

sekalipun Waras mempunyai kekurangan. Pak Sentika berkeinginan agar Srintil menjadi gowok yaitu

seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa dan

menjelang kawin.

Waras, lelaki berusia tujuh belas tahun yang sangat lugu membuat Srintil merasa tertantang.

Namun, bagaimanapun usaha Srintil tidak ada sedikitpun nafsu berahi pada Waras.

Tetapi Srintil berhasil membawa Waras masuk ke kamar, mengajaknya bermain tidur-
tiduran. Konsep tentang tidur terlalu sederhana. Yakni merebahkan diri di samping emak,
miring-meringkuk. Tangan kanan bersembunyi di ketiak emak dan tangan kiri bermain
kain kutangnya. Atau memijit-mijit puting teteknya. Dan demikian jugalah yang
dilakukannya terhadap Srintil.
Mula-mula Srintil merasa yang biasa terjadi, terjadilah. Dia menunggu dalam kesadaran
seorang ronggeng yang sebenarnya, dengan kerelaan yang hampir mutlak, tanpa sedikitpun
menyelipkan kepentingan pribadi di sana. Tetapi penantian itu tawar, bahkan kosong.
Waras hanya berhenti pada bermain kutangnya sambil merengek pelan seperti bayi. Makin
lama geraknya makin lemah. Matanya tertutup kemudian terdengar dengkurnya yang
teratur dan panjang. Waras lelap dalam mimpi seorang bocah. (Hal. 222-223)

10) Bajus

Bajus adalah orang kota yang sedang menangani proyek di Dawuan. Setelah Srintil keluar dari

penjara, ia tidak lagi mempunyai keberanian untuk dekat dengan laki-laki. Namun Bajus dapat
memulihkan kepercayaan Srintil. Tetapi malangnya, Bajus pulalah yang sangat mengecewakan hidupnya.

Bajus hanya berpura-pura baik kepada Srintil agar ia bisa memberikan Srintil kepada bosnya dan Bajus

bisa memenangkan proyek tersebut.

Dalam gerakan limbung Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Di sana dia menjatuhkan diri
ke kasur dan merasa terhempas ke balik tabir antah-barantah. Dalam sekejap dunianya yang
penuh bunga bersemi berubah menjadi padang kerontang dan sangat gersang. ”Oalah,
Gusti Pangeran, oalah, Biyung, kaniaya temen awakku....” (Hal.382)

”Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan
aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?”
(Hal.383)

3.4 Latar

Latar merupakan salah satu unsur novel ataupun cerita pendek yang dapat memberikan suatu

informasi kepada pembaca, dengan sendirinya latar dapat memperkaya pengetahuan pembaca tersebut.

Nurgiyantoro (1998:223) mengatakan bahwa unsur latar mampu mempengaruhi keseluruhan unsur

lainnya sehingga tampak bahwa berbagai unsur dan cerita bergantung pada latar.

Sumardjo (1981:41) menyatakan setting menerangkan dimana sebuah kejadian berlangsung dalam

sebuah cerita. Selanjutnya Sudjiman (1988:44) mengatakan bahwa segala keterangan, petunjuk,

pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah karya

sastra membangun latar.

Menurut Hudson dalam Sudjiman (1988:44) latar dapat di bagi dua, yakni:

Latar Sosial dan Latar Fisik. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-

kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud

dengan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu daerah, bangsawan, dan sebagainya.

Hubungan Srintil dengan latar Ronggeng Dukuh Paruk tentunya sangat erat, karena perkembangan

kehidupan Srintil ada kaitannya dengan latar Ronggeng Dukuh Paruk secara keseluruhan.
Secara umum pengarang memberi gambaran tentang latar waktu dan tempat dalam novel ini. Latar

waktu peristiwa ini terjadi di Dukuh Paruk dan Pasar Dawuan pada 1946, 1957, 1960 an dan 1971.

Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira
saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. (hal.21)

Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di lapangan
Kecamatan Dawuan. (hal.180)

Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan ronggengnya
berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar. Srintil mendapat julukan baru yang
cepat menjadi tenar. Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir.
(hal. 232)

Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau
berkumpul dalam rapat dengan tutup kapala seperti itu.(hal. 236)

Latar Dukuh Paruk sangat terikat dengan tradisi dan kebudayaan. Masyarakat Dukuh Paruk sangat

percaya akan pengaruh dan tanda-tanda yang ditimbulkan oleh alam.

Beberapa hari sebelum terjadi malapetaka itu telah terlihat berbagai pertanda.
Pancuran di Dukuh Paruk mengeluarkan air berbau busuk. Pohon-pohon puring di
pekuburan Melayu, tetapi pohon semboja malah berbunga. Meskipun belum waktunya,
anjing-anjing berdatangan ke Dukuh Paruk. Anjing-anjing jantan berebut betina dalam
kegaduhan yang mngerikan. Burung kedasih berbunyi sejak malam tiba sampai terbit fajar.
(hal. 33)

”Rasus, kau tak mau?” tanya Srintil dengan suara hampir tak kudengar.
”Takkan ada orang yang melihat kita disini.
”Srin, ini tanah pekuburan. Dekat makam Ki Secamenggala pula. Kita bisa kualat nanti,”
jawabku. Dalih yang sangat gemilang mendadak muncul di otakku. (hal.67)

Keberadaan Dukuh Paruk yang melarat juga terlihat jelas dalam kutipan berikut.

Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh
Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepaasang burung bangau itu takkan menemukan
genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering
bewarna kelabu. Segala jenis rumput mati. Yang menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini
adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis
kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya. (hal.9)
Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk.
Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah
serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. (hal.79)

Di pedukuhan itulah Srintil hidup dan dibesarkan dengan pola kehidupan yang bodoh, miskin, dan

terbelakang. Latar seperti itulah yang menciptakan Srintil harus mengikuti aturan-aturan yang sudah

digariskan oleh nenek moyang mereka. Kemelaratan dan kesengsaraan warga Dukuh Paruk juga diakui

dan disadari oleh masyarakat di luar pedukuhan itu. Bahkan warga di luar Dukuh Paruk menyatakan

bahwa pedukuhan tersebut adalah simbol kemelaratan.

Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata
misalnya, ”Jangan mengabadikan kemelaratan seperti orang Dukuh Paruk.” atau, ”Hai,
anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena
kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk!” (Hal.15-16)

Lukisan suasana atau kedaerahan yang masih diwarnai adat Jawa ini sangat ditonjolkan oleh

Ahmad Tohari. Lukisan suasana menggambarkan budaya Banyuwangi khususnya sebagai daerah

kelahiran pengarang.

Jadi, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada novel tersebut dari 1946-1971, selama dua puluh lima

tahun, hampir semua peristiwa berkaitan dengan Srintil, dan bisa dikatakan novel Ronggeng Dukuh Paruk

adalah kisah hidup Srintil dari usia lima bulan hingga ia menjadi dewasa dan gila.

3.5 Sudut Pandang

Sudut pandang mengandung arti hubungan antara tempat pencerita berdiri dengan ceritanya.

Hubungan tersebut dapat diartikan di sisi mana pengarang berdiri, apakah di dalam atau di luar cerita.

Sudut pandang pengarang dalam mengisahkan ceritanya dibagi dalam empat cara oleh Mochtar

Lubis (1981:21):
(1) Author ominiscient (orang ketiga). Cara ini cara yang biasa dipakai. Si pengarang menceritakan

ceritanya dengan mempergunakan kata-kata ”dia” untuk pelakon utama, akan tetapi ia turut hidup

dalam pribadi lakonnya.

(2) Author participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ada dua kemungkinan, atau

pengarang menjadi pelakon ”aku” main character atau ia hanya mengambil bagian kecil saja

subordinate character.

(3) Author Observer (ini hampir sama dengan cara kesatu, bedanya pengarang hanya sebagai peninjau,

seolah-olah ia tidak dapat mengetahui jalan pikiran pelakunya)

(4) Multiple (campur aduk).

Sudut pandang yang dipergunakan Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah

dengan cara multiple (campur aduk). Hal ini disebabkan Ahmad Tohari memakai cara Author ominiscient

dan juga memakai Author participant (pengarang turut mengambil bagian dalam cerita). Ini berawal

karena novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan trilogi, antara novel yang pertama, kedua dan ketiga

memakai sudut pandang yang berbeda.

Pada bagian yang pertama, Catatan Buat Emak, pengarang menggunakan Author Participant yaitu

pengarang mengambil bagian dalam cerita. Dalam hal ini pengarang memakai perkataan ”aku” (main

character).

Masih merangkulku kuat-kuat, Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tahu apa
yang harus kuperbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar.(hal.76)

”Sesungguhnya aku menginginkan jeruk koprok,” kata Srintil dingin. ”Tetapi buah pepaya
pun tak mengapa.”
aku diam karena kecewa, dan sedikit malu. Namun aku mendapat akal untuk menolong
keadaan. Pikiranku itu mendadak muncul setelah kuluhat gigi Srintil telah berubah. (hal.37)
Pada bagian yang kedua, Lintang Kemukus Dini Hari dan bagian yang ketiga Jantera Bianglala,

pengarang menggunakan Author Ominiscient yaitu pengarang mengisahkan ceritanya dengan bertindak

sebagai orang ketiga akan tetapi pengarang turut hidup dalam pribadi tokoh-tokohnya.

Srintil tidak tertawa meski hatinya tergelitik bukan main. Ada malapetaka tertentu yang
telah menghimpit hidup Waras. Srintil dapat merasakan tapak kaki bencana itu pada postur
tubuh dan perilaku Waras. (hal.214)

Srintil bangkit hendak menghentikan ucapan Nyai Sakarya. Namun gerakannya terhenti
pada sikap setengah berdiri. Lalu duduk lagi dan tersedu lagi. Rasus pun terkejut sehingga
sukar baginya menanggapi ucapan Nyai Sakarya. (hal.349)

3.6 Tema

Tema adalah gagasan utama atau masalah yang mendasari sebuah karya sastra. Dalam mengangkat

sebuah tema dalam karyanya, pengarang biasanya menerima dari apa yang dilihat, didengar, atau

dirasakannya dari peristiwa-peristiwa disekelilingnya. Hal ini merupakan pengalaman hidupnya sendiri

atau hasil dari pengamatannya dari kehidupan suatu masyarakat tertentu.

Sudjiman (1988:50) mengatakan bahwa gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu

karya sastra itu yang disebut tema. Lebih lanjut Sudjiman mengatakan bahwa tema terkadang di dukung

oleh pelukisan latar, dapat pula tersirat dalam lakuan tokoh atau penokohan, atau bahkan tema dapat pula

menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu alur. Namun, adakalanya juga kekuatan tema

mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra.

Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Pengarang

menawarkan makna tertentu dari kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan

menghayati makna kehidupan tersebut dengan memandang persoalan itu seperti yang ia alami. Selesai

membaca sebuah karya sastra (novel). Kemungkinan sekali kita akan merasakan sesuatu yang belum

pernah dirasakan, mungkin berupa keharuan, ikut merasakan penderitaan atau kebahagiaan seperti yang
dialami tokoh cerita atau berbagai reaksi emotif yang lain yang dapat menyebabkan kita mengalami

perubahan dalam menyikapi hidup dan kehidupan ini (Nurgiyantoro, 1998:71)

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini temanya berhubungan erat dengan Srintil sebagai tokoh

utama. Srintillah yang ditugasi pengarang untuk menyampaikan temanya. Maka tema dari novel

Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah lika-liku kehidupan seorang ronggeng.

Mengutip istilah Sudjiman (1988:56) tentang adanya tema sentral dan tema sampingan maka

dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini memenuhi kedua jenis tema tersebut. Adapun tentang tema

sentralnya, yakni tentang seorang ronggeng yang mendapatkan indang dan harus menjalani aturan-aturan

menjadi seorang ronggeng tanpa memikirkan keinginannya sendiri. Kematangan usia Srintil dan

pengalamannya sebagai tahanan politik membawanya pada kedewasaan dalam menentukan sikap. Hingga

timbullah konflik maupun persoalan sosial dan cinta di lingkungan tokoh utama novel ini.

Berbagai peristiwa maupun persoalan yang ada dalam novel ini pada akhirnya memiliki kekuatan

untuk mendukung persoalan pokok yang menjadi tema dalam novel ini.

Srintil adalah seorang gadis berusia sebelas tahun. Pada usianya yang masih sangat muda ia sudah

hapal lagu-lagu yang biasa dibawakan oleh seorang ronggeng tanpa pernah mempelajarinya. Srintil juga

mampu menari dan melenggak-lenggokkan badannya seperti seorang ronggeng sungguhan.

Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil berdendang. Siapa pun
di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan
anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil
mendendangkan lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngengot
ning ora suwe. (hal.11)

Siapa yang akan percaya, tak seorang pun pernah mengajari Srintil menari dan bertembang.
Siapa yang akan percaya, belum sekalipun Srintil pernah melihat pentas ronggeng.
Ronggeng terakhir di Dukuh Paruk mati ketika Srintil masih bayi. Tetapi di depan Rasus,
Warta, dan Darsun, Srintil menari dengan baiknya.
Mimik penagih berahi yang selalu ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya,
juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil
menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa manapun yang melihatnya.
Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya seorang
ronggeng. Dan orang Dukuh Paruk tidak bakal heran. (Hal.13)

Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil pengajaran.

Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi ronggeng kecuali roh indang telah merasuk

tubuhnya.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang
terharu dan kagum bagaimana Srintil melempar sampur. (hal.20)

Awalnya, Srintil sangat senang menjadi seorang ronggeng karena ia dipuja banyak orang, namun

kedewasaannya dan malapetaka yang membawanya menjadi tahanan politik membuat ia sadar bahwa ia

adalah wanita biasa yang menginginkan sebuah keluarga. Akan tetapi, roh indang masih bersemayam

ditubuhnya dan ia tidak bisa berbuat banyak selain menuruti aturan-aturan yang telah ditetapkan sebagai

seorang ronggeng.

Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali Srintil menyuruh,
jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di tangannya. Hasrat meneteki Goder
telah berubah menjadi rencana jiwanya, rencana hatinya, dan rencana sistem ragawinya.
Maka alam jangan disalahkan bila dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja
meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan dan bukan pula dalam masa menyusui.
Ketika Srintil pertama kali sadar teteknya mengeluarkan air susu maka dia berurai air mata.
Namun semangat hidupnya bangkit segera. Srintil kini banyak makan, banyak minum air
sayur, bahkan minta diramukan jamu pelancar air susu. Hanya dalam beberapa hari
tubuhnya kembali segar dan kelihatan lebih hidup. (hal.139)

Keinginan-keinginan Srintil untuk menjadi wanita utuh akhirnya harus kandas karena laki-laki

yang diharapkannya ternyata hanya memanfaatkan dirinya semata. Harapan yang besar pada diri Srintil

untuk menikah membuat ia kehilangan akal ketika impiannya runtuh.

Akhir dari novel ini digambarkan bagaimana Rasus berusaha menolong Srintil dengan

membawanya ke rumah sakit jiwa. Rasus bertekad untuk membimbing Dukuh Paruk dari keterpurukan.

Ahmad Tohari melalui tokoh Rasus bukan melarang tradisi ronggeng itu, tetapi perbuatan, sikap, dan

tingkah laku masyarakat yang membuat tradisi ronggeng itu jadi berubah makna.
BAB IV

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK

4.1 Lingkungan

Salah satu ciri masyarakat Jawa dalam memandang dunia adalah keyakinannya tentang realitas

kehidupan dunia. Dunia tidaklah terdiri atas beberapa bidang yang saling terpisah tanpa hubungan sama

sekali, tetapi realitas dalam pandangan mereka merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh serta

saling berhubungan. Dalam alam pemikiran modern, pembagian bidang-bidang realitas dapat dilihat

secara jelas dan tajam yakni, dunia, masyarakat, dan alam adikodrati. Namun bagi orang Jawa tiga hal

tersebut tidak berdiri sendiri melainkan satu kesatuan yang terkait.

Lingkungan adalah keadaan (kondisi, kekuatan sekitar) yang mempengaruhi perkembangan dan

tingkah laku organisme (Ali, 1986:526). Dari pengertian tersebut kita dapat mengartikan bahwa kondisi

atau kekuatan yang ada di dalam lingkungan berpengaruh bagi perkembangan prilaku manusia.

Lingkungan dalam pandangan Jawa menjadi sesuatu yang sangat penting. Magnis (1996:93)

menyatakan bahwa tempat yang tepat mempunyai arti yang sangat besar bagi orang Jawa.

Keselamatannya tergantung dari apakah ia menemukan tempat yang tepat diharapkan agar tercapailah

keberhasilan usaha-usahanya, pemenuhan keinginan-keinginannya, dan pemuasan kepentingannya.

Di daerah Banyuwangi, tempat kelahiran pengarang yang terkenal dengan ronggengnya sekaligus

sebagai latar novel ini, memiliki dua golongan yaitu golongan abangan atau rakyat biasa dan golongan

santri atau alim ulama dan pengarang termasuk kedalam golongan yang kedua. Walaupun di daerah

tersebut terdapat golongan santri, namun keberadaannya tidak pernah mengganggu keberadaan para

ronggeng.

Kebudayaan tradisional Jawa diliputi oleh suatu keyakinan yang kuat akan hal-hal yang serba gaib

seperti umumnya masyarakat yang masih berada dalam alam mistis. Ini digambarkan dengan kejadian-
kejadian alam serta kepercayaan yang sengaja digambarkan pengarang dari awal cerita hingga akhir

cerita.

Kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk
menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kuburan
Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di
sana. (hal.10)

Sementara aku berdiri di punggung Dukuh Paruk yang tua dan masih naif, langit di atasku
kelihatan bersih. Hanya kabut yang gaib, dan baru kasatmata setelah dia membuat jantera
bianglala di seputar bulan. Mendiang Sakarya mengatakan, bulan berkalang bianglala
adalah pertanda datangnya masa susah dan Dukuh Paruk percaya kata-kata
kamituanya.(hal.404)

Lingkungan Dukuh Paruk yang terpencil dan terasing membuat warganya selalu terbelakang dan

senantiasa hidup dalam kemelaratan ditambah lagi dengan kuatnya tradisi dan kepercayaan yang mereka

anut. Ronggeng mereka anggap sebagai simbol keberadaan Dukuh Paruk. Maka, ketika Srintil menjadi

seorang ronggeng, ia dipuja oleh warganya. Srintil merasa senang, ia menjadi duta bagi perempuan

dipedukuhannya walaupun secara naluri ada sedikit perasaan tidak nyaman karena segala sesuatunya

ditentukan oleh dukun ronggeng.

”Tak kusangka Srintil bisa menari sebagus itu,” katanya. ”Kalau boleh aku ingin
menggendongnya sampai lelap di pangkuanku.”
”Yah, aku pun ingin mencuci pakaiannya. Aku akan memandikannya besok pagi,” kata
perempuan lainnya.
”Eh, kalian dengar. Srintil bukan milik orang per orang. Bukan hanya kalian yang ingin
memanjakan Srintil. Sehabis pertunjukan nanti aku mau minta izin kepada Nyai Kartareja.”
”Engkau mau apa?”
”Memijit Srintil. Bocah ayu itu pasti lelah nanti. Dia akan kubelai sebelum tidur.”
”Yah, Srintil. Bocah kenes, bocah kewes. Andaikata dia lahir dari perutku!” kata
perempuan lainnya lagi. Berkata demikian, perempuan itu mengusap matanya sendiri.
Kemudian membersihkan air mata yang menetes dari hidung. (Hal.20)
Kebodohan warga Dukuh Paruk terlihat ketika mereka diperdaya oleh lingkungan sekitarnya.

Ronggeng mereka bukan lagi sebagai wadah seni tapi berubah haluan menjadi ronggeng penarik massa

dan diberi nama ronggeng rakyat. Keberadaan Srintil yang dipuja sebagai ronggeng oleh warga Dukuh

Paruk justru membawa malapetaka dan ketakutan bagi warganya. Karena Srintillah, Dukuh Paruk
dianggap sebagai orang-orang komunis. Sawah warga hancur dibabat oleh orang-orang yang tak dikenal,

rumah mereka pun hangus terbakar. Semua hidup dalam ketakutan. Srintil yang pada saat itu ditahan,

karena kecantikannyalah maka ia tidak diperlakukan semena-mena di dalam penjara.

Lingkungan dan masyarakat yang mendukung tidak hanya menjadikan ronggeng sebagai sarana

hiburan seni semata melainkan dijadikan sebagai tarian cabul dan penuh berahi. Siapa yang mampu

membayar maka dipersilahkan baginya untuk tidur dengan Srintil. Wanita-wanita di Dukuh Paruk pun tak

pernah keberatan dan seolah-olah sangat mendukung jika suaminya berhubungan dengan ronggeng Srintil.

Lingkungan yang menghalalkan kebodohan, sumpah serapah dan seloroh cabul inilah yang menjadikan

segala gerak-gerik Srintil tidak lagi aneh dan melanggar etika dan moral bagi masyarakat disekitarnya.

4.2 Cinta

Dalam cerita, seorang ronggeng dilarang jatuh cinta, begitu juga peran Srintil sebagai seorang

gowok. Srintil dan Rasus memang saling mencintai walaupun pengarang tidak pernah

mengungkapkannya. Percintaan mereka selalu mendapatkan rintangan yang datangnya dari luar dan dalam

diri mereka sendiri, sehingga percintaan itu merupakan percintaan yang gagal. Rasus mencintai Srintil

tetapi merelakannya untuk menjadi ronggeng demi keaslian Dukuh Paruk. Srintil rela untuk tidak

meronggeng tetapi Dukuh Paruk menuntutnya untuk tetap menjadi ronggeng. Namun, kedekatan perasaan

mereka membawa Srintil untuk menyerahkan keperawanannya pada Rasus, bukan kepada Dower, laki-

laki yang memenangkan sayembara tersebut. Gunawan (2000:55) mengatakan bahwa seseorang yang

dengan sadar dan tanpa paksaan menyerahkan keperawanannya pada orang yang dicintainya serta atas

dasar keinginan bersama adalah sebuah pikiran sadar yang harus dihormati. Tidak menjadi soal apakah

mereka kemudian akan menikah atau tidak.


Rintangan yang sangat kuat sebenarnya ada pada kemunafikan Rasus. Rasus benci ronggeng tetapi

ia memberikan keris kepada Srintil, malam bukak klambu tidak disukainya, tetapi justru dialah yang

mengambil keperawanan Srintil. Kemunafikan Rasus terus berlanjut, setelah ia meninggalkan Dukuh

Paruk dan tinggal di pasar Dawuan. Dia sering melihat Srintil datang ke pasar Dawuan dan melihat Srintil

selalu digoda oleh pedagang dengan menyentuh pantat atau pipinya. Rasus hanya dapat menggerutu dalam

hati.

”Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu
bilikmu bagiku. Nah kemarilah.” berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah
pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu.
Bangsat!
Babah pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya ikut berbicara. Juga
dengan wajah beringas dan mata berkilat. Seperti juga Pak Simbar, Babah Pincang juga
gatal tangan. Bukan pinggul Srintil yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini Srintil
pun tak berusaha menolak. Bangsat lagi! (hal.83)

Dia dengan sadar dan bangga menjadi ronggeng dan sundal, dua predikat yag tiada beda.
(hal.84)

Kemunafikan Rasus ini mempengaruhi karakteristik Srintil. Ia merasa dihina, dipermainkan dan

dikecewakan. Srintil menjadi terombang-ambing antara menanti cinta Rasus atau tetap mengemban tradisi

untuk menjadi ronggeng di Dukuh Paruk. Di samping itu Srintil mulai merasakan bahwa haknya sebagai

pribadi telah dikungkung oleh tradisi itu. Sejak saat Rasus meninggalkan Dukuh Paruk, mereka berdua

berusaha hidup dalam kenangan masing-masing. Srintil tak ingin berharap terlalu jauh lagi akan cinta

Rasus, hingga ia menemukan kembali cintanya pada Bajus, laki-laki kota yang sangat diharapkannya akan

menjadi suaminya kelak. Namun nasib berkata lain, cintanya bertepuk tangan karena Bajus hanya

memanfaatkannya. Dalam hidup Srintil ia tidak pernah mendapatkan cintanya secara utuh.

Ketidakwarasannyalah yang kemudian membawanya kembali pada pelukan Rasus.


4.3 Perkawinan

Tidak ada perkawinan dalam novel ini. Tapi ada keinginan yang kuat dari tokoh utama untuk

kawin dengan Rasus ataupun Bajus sekalipun keinginan itu tidak terwujud.

Meskipun Srintil selalu marah bila disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap rumah yang
bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak
mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang
perkawinan. (hal.89)

Keinginan Srintil untuk menikah, harus dikuburnya dalam-dalam karena dalam tradisi, seorang

ronggeng tidak boleh menikah. Jika ia melanggarnya, maka malpetaka akan menimpa dirinya. Kepergian

Rasus dari Dukuh Paruk menambah keyakinan diri Srintil bahwa ia tidak akan pernah menikah. Srintil

pun terus meronggeng dan memendam harapannya.

”Ya, kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari lagi, kang. Tetapi
hatiku, kang, hatiku!”
”Hati?”
”Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari.”
”Bisa,” ujar Sakum cepat. ”Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada
diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia.”
”Dia?”
”Ya, Rasus.” (hal.165)

Keinginan Srintil untuk menikah mulai dikhawatirkan oleh dirinya jikalau ia tidak akan pernah

memiliki anak.

Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit
hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami istri dukun ronggeng itu merasa perlu
berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan karier seorang ronggeng terhenti
sejak kehamilannya yang pertama. (hal.90)

Keinginan yang kuat dari Srintil untuk memiliki anak, membuatnya ingin mengasuh seorang anak

dari temannya Tampi, yang bernama Goder.

Hari-hari selanjutnya Srintil makin larut dalam dunia Goder, larut dalam ocehan bayi yang
lucu menawan. Sentuhan kulit bayi itu menggugah perasaan aneh pada dirinya. Demikian,
maka entah apa yang dirasakan Srintil ketika ia membenamkan hidung dalam-dalam ke
pipi goder. (hal.139)
Ketika ia keluar dari penjara dan roh indang tidak lagi bersemayam dalam dirinya, ia kembali

melambungkan harapan untuk segera menikah. Kedatangan seorang Bajus memberinya keyakinan bahwa

pernikahan pasti akan terjadi.

”Katakan, Mas. Aku harus berbuat apa? Sekiranya selama ini mas menutup-nutupi
kenyataan bahwa sebenarnya mas sudah punya istri, maka aku mau menjadi istri kedua.
Dan biarlah aku menjadi pelayan istri pertama serta anak-anak mas.” (hal.381)

Kekecewaan Srintil yang tidak jadi menikah membuat ia menjadi gila. Bahkan ketika ia sudah

hilang ingatan pun, Srintil masih saja berceloteh tentang pernikahan.

”Nah, lihat. Pak Tentara datang. Malu, kan? Maka ayo mandi,” bujuk Nyai Kartareja.
Srintil menoleh kepadaku. Reda. Lalu tersenyum dan liar.
”He, Kang Rasus gagah.”
”Memang. Kamu juga cantik.”
”He. Kang Rasus mau jadi penganten, ya?”
Semua diam. Semua menghujam pandang ke mataku.
”Tidak! Oh, ya. Aku mau jadi penganten,” kataku
”Nyai. Aku juga mau jadi penganten. Nyai, mandi. Eh, Kang Rasus. Kamu mau
memandikan aku?”
”Tentu. Ayo ke sumur. Ayo mandi.” (hal.399)

Rasus pun, kemudian menyadari, bahwa kesalahannya adalah pergi dari Dukuh Paruk dan

meninggalkan Srintil. Ia pun berniat mengawini Srintil sekalipun Srintil dalam keadaan gila.

Kemudian, siapa saja bakal percuma bila ingin tahu motivasi di balik keputusanku.
Mungkin orang akan mengatakan, karena cinta yang demikian dalam maka aku
memutuskan hendak mengawini Srintil meski dia kini dalam keadaan tanpa martabat
kemanusiaan. Itu pikiran umum dan wajar. Namun bagiku jalan pikiran demikian amat
sepele dan terlalu bersahaja. ”Ya” yang kuucapkan terbit dari jiwa yang bening dan dalam,
dari pergulatan rasa yang telah mengendap. (hal.403)

4.4 Budaya

Kebudayaan adalah semua tindakan dan hasil karya yang dilakukan oleh manusia untuk

memberikan arti kepada alam sekitarnya serta juga memberikan bentuk baru kepada alam. Dengan kata

lain kebudayaan tidak lain dari usaha dan hasil manusia mengatasi alam dengan daya pikirnya
(Poedjawijatna, 1987:134). Manusia lahir, tumbuh, dan berkembang bukan ditentukan oleh

lingkungannya, melainkan oleh kebudayaannya.

Dalam kebudayaan Jawa juga dikenal adanya dua bentuk kesenian, yakni kesenian keraton dan

kesenian rakyat (Koentjoroningrat, 1994:212). Kesenian keraton dikenal dengan kesenian halus sedangkan

kesenian rakyat dianggap sebagai kesenian kasar (Geerzt, 1989:350). Akan tetapi tidak jarang kesenian

rakyat diambil alih oleh seniman-seniman keraton dengan cara memperhalus dan segi artistiknya,

sehingga kesenian itu dapat dipertunjukkan di istana raja atau keraton, seperti tayuban misalnya. Kesenian

keraton itu, misalnya wayang, gamelan, lakon, joged, tembang, batik, dan sebagainya, sedangkan kesenian

rakyat seperti ludruk, jaranan, dongeng, dan ronggeng.

Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk ini kita mengenal adanya istilah tayuban. Tayuban atau

ronggeng adalah salah satu kesenian rakyat tradisional. Tayub adalah tari pergaulan tetapi dalam

perwujudannya bisa bersifat romantis dan bisa pula erotis.

Penari tayub (ronggeng) biasanya mengenakan kostum kain biasa dan kain setagen sebagai

penutup dada (kemben), rambutnya disanggul gaya Jawa. Di samping itu, seorang ronggeng memakai

selendang yang digunakan untuk menari atau sampur. Para pengibing biasanya berpakaian Jawa lengkap

yaitu memakai blangkon, baju surjan, kain, setagen sebagai pengikat keris. Para pengibing adalah pria

dewasa yang berumur 30-60 tahun. Setiap pengibing menggunakan teknik tari Jawa gagah atau halus

dengan gaya-gaya improvisasi, makin kaya gerak yang dikuasainya akan membuat adegan duet semakin

meriah (Suharyoso, 2000:66-67).

Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan bagaimana seorang

ronggeng di atas pentas dan bagaimana di luar pentas. Diceritakan dalam novel tersebut bagaimana Srintil

yang masih berusia sebelas tahun, dapat menari seperti seorang ronggeng walaupun tidak ada yang

mengajarinya. Hal itu diyakini bahwa Srintil telah dirasuki oleh indang ronggeng.
Sebelum menjadi seorang ronggeng, Srintil harus menjalankan syarat-syarat atau tahap-tahap yang

harus dijalankannya agar menjadi ronggeng. Tahap pertama, Srintil diserahkan ke dukun ronggeng untuk

dijadikan anak akuan dan akan dilatih menjadi ronggeng sejati. Saat itu Srintil didandani, dimantrai, dan

diberi susuk emas. Ini dilakukan agar Srintil kelihatan cantik.

Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton. Banyak orang
terharu, dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar sampur. Bahkan Srintil mampu
melentikkan jari-jari tangan, sebuah gerakan yang paling sulit dilakukan oleh seorang
ronggeng. Penampilan Srintil masih dibumbui dengan ulah Sakum.(hal.38)

Tahap kedua, Srintil harus dimandikan di depan makam Ki Secamenggala. Orang Dukuh Paruk

percaya upacara memandikan seorang ronggeng adalah upacara sakral, peristiwa yang sangat penting,

sehingga pada saat upacara itu diadakan semua warga mengikutinya. Pada saat upacara berlangsung,

Kartareja kemasukan roh Ki Secamenggala, yang ingin bertayub.

Calung ditabuh dalam irama tayub. Kesahduan upacara sakral itu hilang. Lagu-lagu
pemancing berahi disuarakan. Sakum tidak pernah lupa akan tugasnya. Memoncongkan
mulut lalu mengembuskan seruan cabul pada saat Srintil menggoyang pinggul,
cess......cess.
Kartareja menari semakin menjadi-jadi. Berjoged dan melangkah makin mendekati Srintil.
Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba
dengan kekuatan yang mengherankan, Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi.
Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi. (hal.48)

Tahap ketiga adalah upacara bukak klambu. Tahap ini sebenarnya tidak bermoral dan sangat

asusila jika ditinjau dari sudut agama, etika dan moral. Akan tetapi jika ditinjau dari sudut tradisi, maka

tahap itu merupakan suatu kewajaran. Dalam bukak klambu itu yang disayembarakan adalah keperawanan

calon ronggeng, yakni Srintil. Dalam hal ini Srintil harus menerima kenyataan itu, walaupun sebenarnya

pada saat itu Srintil sudah tidak perawan lagi, karena ia telah menyerahkan keperawanannya kepada

Rasus.

Setelah melalui tiga tahap ini, maka resmilah Srintil menjadi ronggeng yang sah. Selain adanya

ritual yang dilakukan untuk menjadi seorang ronggeng, masih ada lagi satu kebudayaan yang menarik
dalam novel ini, yaitu pergowokan. Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah

bagi anak laki-lakinya yang akan kawin. Pergowokan ini berlangsung selama seminggu. Tugas gowok ini

adalah mengajari perjaka tersebut untuk menjadi seorang suami yang baik termasuk didalamnya melayani

istri berhubungan badan. Seorang gowok akan mendapatkan upah dalam pekerjaannya itu. Ketika Srintil

menjadi gowok, ia berpura-pura berhasil di depan Pak Sentika, ayah dari Waras. Ini dikarenakan Waras

mempunyai kekurangan dalam usianya yang remaja tetapi sifatnya masih terlalu kanak-kanak.

Tiga malam berikutnya adalah pengulangan malam yang pertama. Tetapi Srintil masih ada
sesuatu di luar kamarnya. Dia mencium bau sirih. Dalam kelengangan yang hampir
sempurna itu Srintil juga mendengar suara tarikan napas di luar kamar. Dan Srintil sadar,
sesuatu harus diperbuatnya. Maka kakinya membuat gerakan-gerakan teratur sehingga
menimbulkan suara tertentu. Kemudian dipijitnya hidung Waras yang sedang lelap. Waras
melenguh dan Srintil melenguh profesional. (hal.224)

4.5 Politik

Politik tumbuh dan berkembang dengan tatanan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Tatanan

politik disebut juga budaya politik. Budaya politik merupakan suatu hal yang wajar dalam proses sosial

suatu masyarakat (negara). Budaya politik sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial atau sebaliknya.

Andrain (1992:36) mengatakan agar perubahan sosial terjadi, maka orang harus diyakinkan bahwa

perubahan itu dimungkinkan dan diinginkan dalam suatu masyarakat.

Salah satu sektor yang ada kaitannya dengan budaya politik adalah sastra. Sastra dipandang

sebagai salah satu cara untuk membicarakan atau menyebarluaskan politik. Garcia Marquez (Dewanto,

1996:133) mengatakan bahwa tidak ada sastra yang tidak bernilai politik, karena tidak ada manusia yang

tidak berpolitik.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki gambaran tentang suasana politik di Indonesia.

Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai denngan upacara pagi hari di lapangan
kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang dengan tulisan macam-
macam. Ada yang direntang di antara pohon-pohon, tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke
lapangan yang padat manusia. Gelombang ribuan kepala memberi gambaran seperti
pemandangan di ladang tembaku yang ditiup angin. Acungan seribu tangan yang diiringi
pekik gempita hanya dapat diandaikan kepada petir yang terjadi di hutan jati meranggas.
(hal.180)

Setelah perayaan Agustusan itu, tatanan politik mulai masuk ke Dukuh Paruk, walaupun warga

tidak memahami apa itu politik. Gambar-gambar partai dipampangkan dan ditempelkan di daerah itu,

bahkan di rumah Kartareja terpampang gambar salah satu partai. Tatanan politik itu dimasukkan oleh Pak

Bakar (PKI) ke Dukuh Paruk. Rombongan ronggeng Dukuh Paruk diganti namanya menjadi ronggeng

rakyat. Pak Bakar telah menghubungkan warga Dukuh Paruk dengan rakyat tertindas.

Kepolosan warga Dukuh Paruk telah diwakili oleh Sakarya, kamitua di pedukuhan itu.

Ketidaktahuan akan politik, karena semua warga buta huruf, dimanfaatkan oleh kelompok Bakar. Jadi,

tatanan politik telah mempengaruhi dan mengubah suasana di Dukuh Paruk, terutama rombongan

ronggeng. Setiap mengadakan pentas, rombongan itu dilarang untuk membakar kemenyan dan memasang

sesaji. Lirik-lirik lagu telah diubah dengan menyelipkan kata-kata ”rakyat” dan ”revolusi” untuk

”pembakar” semangat massa.

Peritiwa G 30 S PKI merupakan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah yang berakibat

fatal bagi Dukuh Paruk. Warga hanya mendengar di Jakarta terjadi pembunuhan-pembunuhan yang

dilakukan orang-orang seperti Pak Bakar.

Puncak dari peristiwa politik tersebut adalah ditahannya rombongan ronggeng Srintil. Warga

dituduh sebagai antek-antek PKI. Dan ketika Srintil keluar dari tahanan, ia dicap sebagai tahanan politik

dan wajib lapor ke kecamatan seminggu sekali. Kejadian ini menimbulkan luka yang mendalam bagi diri

Srintil
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Novel Indonesia mengalami masa gemilang dalam dekade 1970-an. Ahmad Tohari yang namanya

muncul sekitar tahun 1970-an mampu menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi kesusastraan

Indonesia, khususnya novel.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini sangat erat hubungannya dengan budaya

yang berada di tanah kelahiran pengarang, yaitu Banyuwangi yang terkenal dengan ronggengnya. Ahmad

Tohari telah mengangkat tema yang sederhana dalam novelnya ini. Kehidupan seorang ronggeng di atas

pentas dan di luar pentas. Banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh beliau dalam novel ini.

Diantaranya adalah masalah kehidupan suatu masyarakat yang terbelakang dan masih menjunjung tinggi

tradisi dan kepercayaannya. Kejadian politik yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia, turut serta pula

mewarnai alur cerita. Oleh karenanya, novel ini banyak menyampaikan nilai-nilai sosiologi masyarakat

pendukungnya yang akan menambah mantapnya pelukisan latar dan suasana dalam novel ini.

5.2 Saran

Novel ini bukan hanya menarik sebatas struktural dan sosiologi saja, tetapi dapat dilihat dari aspek

lainnya. Misalnya, aspek psikologis yaitu menganalisis perwatakan tokoh-tokoh dalam Ronggeng Dukuh

Paruk yang masing-masing memiliki beban psikologis sendiri, baik akibat dari kejadian-kejadian dan

masalah yang menimpa tokoh-tokohnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Fachri. 1986. Refleksi Paham ”Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Dewanto, Nirwan.1996. Senjakala Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya.

Effendi, S. 1979. Pedoman Penulisan Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa Depdikbud.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Widyatama.

Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Gunawan, Rudy. 2000. Mendobrak Tabu. Yogyakarta: Galang Press.

Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hartoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Jafferson, Ann dan David Rubey. 1988. Teori Kesusastraan Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka.

Jayawati, Maini Trisna. 1986. ”Nilai-Nilai Sastra yang Terdapat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Karya Ahmad Tohari”. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.

Kalsum, Umi.2007. Eksistensi Perempuan dalam Fiksi Tohari. Harian Kompas 5 Februari.

Koentjoroningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Kutha Ratna, Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luxemburg, Jan van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Magnis, Franz Suseno. 1996. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Poedjawijatna, I.R.1987. Manusia dan Alamnya. Jakarta: Bina Aksara.

Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan penerapannya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakrta: Gama Media.

Semi, Atar. 1988. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi.

Bandung: Angkasa.

Sumardjo, Jakob dan Saini KM. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:Gramedia.

. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar dan Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.

Lampiran

Ahmad Tohari, dilahirkan di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas pada 13 Juni

1948. Pendidikan formalnya hanya sampai SMAN II Purwokerto. Namun demikian, beberapa fakultas
seperti ekonomi, sospol, dan kedokteran pernah dijelajahinya. Semuanya tidak ada yang ditekuninya.

Tohari tidak pernah melepaskan diri dari pengalamn hidup kedesaannya, yang mewarnai seluruh karya

sastranya. Hingga Tohari dikenal sebagai sastrawan yang banyak menuturkan kisah-kisah dari dunia

rakyat kecil, dengan latar pedesaan.

Sosok tubuhnya kecil. Jauh daripada bayangan figur seorang yang mempunyai prestasi

Internasional. Cara berpakaiannya sederhana, mengingatkan pada seorang santri saleh yang mempunyai

wawasan terbuka, bisa menerima insan di dunia dari segala lapisan untuk hidup berdampingan secara

damai sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dan ia rendah hati.

Tohari mempunyai cara unik mencari inspirasi, yakni mancing. Dengan cara inilah ia banyak

mendapat ide dan merangkai imajinasi. Untuk hobi yang biasa ia salurkan di sebuah kali dekat

kampungnya ini, Tohari bisa tahan berjam-jam kendati kailnya tidak pernah disentuh ikan.

Bila sesepuh Pesantren Al Falah Banyumas ini telah menemukan inspirasi, jangan coba-coba

mengganggu. Istri tercinta dan anak-anaknya pun akan menyingkir apabila Tohari sedang bekerja. Hanya

satu yang dibenci mantan redaktur Amanah ini. Suara ayam dan tangis bayi. Konon, jika Tohari

mendengar suara ayam dan tangis bayi, konsentrasinya mendadak lenyap.

Selain dikenal sebagai novelis, Tohari merupakan salah satu cerpenis produktif. Karya-karya

cerpennya dibukukan dalam antologi ”Senyum Karyamin” (1989) dan ”Nyanyian Malam” (2001). Novel

terbarunya yang terbit awal tahun ini, berjudul ”Orang-orang Proyek”.

Anda mungkin juga menyukai