TESIS
OLEH
PRINSI RIGITTA
097009009/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
Tesis ini berjudul “Formasi Ideologi dalam Novel Entrok Karya Okky
Madasari”; tesis ini memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang
tergambar dalam sebuah karya sastra.
Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan
pemerolehan gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi
Analisis Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu
kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah
ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman
terhadap karya sastra terutama Cultural Studies, yakni sebagai cerminan isu-isu sosial
yang meliputi ideologi, politik dan kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat; sehingga pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai sarana
luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan memotivasi
pembacanya.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan
sempurna, dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca;
melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian
dan pendalaman ilmu kesusasteraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya
kritik konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan
pembahasan di lain waktu.
Penulis
Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad
S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh
bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin
Nasution, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan,
beliau selalu memberikan motivasi, arahan, kritik, saran, serta kesediaan waktu
ditengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, sehingga dirasakan sangat
bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran
berharga dari beliau, antara lain kedisiplinan, ketekunan, dan kemandirian. Beliau
juga dengan tulus meminjamkan beberapa referensi kepada penulis untuk mendukung
penyelesaian tesis ini.
Terima kasih dan rasa sayang saya kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.,
yang berperan sebagai Pembimbing II. Beliau adalah sosok pembimbing sekaligus
Ibu bagi penulis, beliau selalu menyediakan waktunya ditengah-tengah kesibukannya
yang sangat padat untuk mendidik penulis dengan ilmu pengetahuan, referensi, dan
filosofi kehidupan yang sangat relevantif. Beliau senantiasa memberikan wejangan-
wejangan berharga kepada penulis, dan juga memotivasi penulis dengan nilai
kesabaran, etika, moral, dan konsistensi. Sungguh suatu hal yang tidak pernah
disangka penulis sebelumnya, bisa mendapat kesempatan menjadi mahasiswa
bimbingannya.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham
selama penyelesaian tesis ini, terutama kepada:
Halaman
JUDUL
PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING
PANITIA PENGUJI
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
DAFTAR BAGAN............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
ABSTRAK ......................................................................................................... xi
ABSTRACT ........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah........................................................................ 8
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 10
1.5.1 Manfaat Teoritis .............................................................. 10
1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................... 11
Halaman
Tabel 4.1 Kelompok Ideologi Para Tokoh dalam Novel Entrok ........................ 64
Tabel 4.2 Negosiasi Ideologi ............................................................................. 65
Halaman
Bagan 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif ........................................ 31
Bagan 2. Sifat-sifat Formasi ............................................................................... 58
Bagan 3. Penguasaan Legislatif Melalui Sentralisasi Kekuasaan Pada
Presiden Masa Orde Baru .................................................................. 88
The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and
the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the
ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the
ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based
on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that
the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The
method of research used is Qualitative Descriptive method.
The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books
of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes
on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of
data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis
used to reveal, understand, and catch the message of literary work.
The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character
and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of
consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the
characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all
conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and
becomes public learning.
The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and
the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the
ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the
ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based
on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that
the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The
method of research used is Qualitative Descriptive method.
The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books
of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes
on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of
data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis
used to reveal, understand, and catch the message of literary work.
The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character
and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of
consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the
characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all
conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and
becomes public learning.
PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.
Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang
hidup di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ditemukan pengarang yang
dianggap menarik dan layak untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Oleh karena
adanya pengalaman hidup yang dialami pengarang atau hal-hal hidup yang menarik
yang pernah dijumpai pengarang dalam bersosialisasi dengan individu lainnya, maka
karya sastra menjadi satu kesatuan yang utuh jika dipasangkan dengan masyarakat
tidak akan pernah lepas dari rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan di dalam hidup
manusia. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan itu sendiri, yakni
memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta
sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005: 14). Sastra dan
ditafsirkan.
pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan atas pentingnya peranan karya sastra itu sendiri
dan bahasa yang ada di dalamnya. Pengungkapan sistem kultural di dalam karya
1
sastra meliputi aspek-aspek kebudayaan yang sama sekali tidak bisa dipahami jika
terpisah dari gejala yang lain. Karya sastra yang menyajikan permasalahan
berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, dan sekaligus masuk akal.
karya sastra dan manusia sebagai penghasil kebudayaan, dalam hubungan ini manusia
mengacu pada cultural studies. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan
dengan sastra kelas pekerja. Milner (Ratna, 2005: 13-14) juga menambahkan, pada
paradigma dari penelitian sastra yang memberikan perhatian pada kualitas estetis,
karya sastra yang tidak terkait dengan ruang dan waktu ke penelitian sastra sebagai
konstruksi sosial. Pendekatan cultural studies merupakan teori dan kritik dalam
manusia yang sempurna pada bagian kebenaran tertentu atau nilai-nilai universal.
Proses ini merupakan penemuan dan gambaran di dalam kehidupan dan pekerjaan
dari semua nilai. Kedua, kebudayaan diartikan sebagai manusia yang bekerja dengan
ingatan mereka. Kegiatan kritik berlangsung secara alami, gagasan dan pengalaman
kehidupan yang diungkapkan dengan makna pasti dan nilai, tidak hanya dalam seni
dan belajar tetapi juga dalam institusi dan tingkah laku yang luar biasa. Selanjutnya
(high culture) dan kebudayaan populer (popular culture) sebagai ranah cultural
membedakannya. Kebudayaan tinggi berasal atau diciptakan oleh para petinggi atau
rakyat biasa. Kebudayaan tinggi tentu saja hanya dapat dinikmati oleh para petinggi
juga biaya yang diperlukan tidak sedikit, kebudayaan ini cenderung mewah dan
populer senantiasa bersifat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar,
kebudayaan ini dilakukan dan dinikmati oleh rakyat biasa, dan penciptaan
dianggap sebagai seni, tetapi juga sebagai barang komoditi yang mampu
menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat universal yang
dimiliki oleh kebudayaan populer. Sejalan dengan hal tersebut maka muncul
anggapan bahwa konstruksi sastra merupakan bagian dari industri budaya dan telah
logika industri. Karya sastra atau produk-produk kebudayaan lainnya, tidak dapat
disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi logika industri itu sedikit
banyak ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi
karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami,
dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi,
itu sendiri.
menghasilkan karya sastra yang bergenre sastra populer. Sastra populer lahir dari
populer merupakan sebuah situs ideologi, sebab semua elemen dalam teks sastra
elemen kebebasan) merupakan representasi ideologi yang melekat pada setiap elemen
tersebut. Sastra populer sebagai salah satu wujud dari fiksi populer, telah berhasil
dikorbankan dan termanipulasi. Menurut Storey (Siswadi, 2010), ideologi itu sendiri
adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia, yang mempunyai
lain-lain. Sastra populer memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan apa
Salah satu karya sastra populer yang saat ini sedang banyak diperbincangkan
dan dinikmati masyarakat adalah novel Entrok karya Okky Madasari. Novel Entrok
terbit pada April 2010 di Jakarta. Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan
pada tahun 1950-1999 di sekitar daerah Madiun. Novel ini diterbitkan untuk
memperingati hari Kartini 21 April 2010 lalu, bersama beberapa novel lainnya. Novel
ini menceritakan perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh
pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang
menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini, seperti tema
perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama. Novel ini juga
Baru. Pada masa kepemimpinan Soeharto diceritakan dalam novel ini berkisar antara
tahun 1950 sampai 1999. Peristiwa yang mendominasi alur penceritaan dalam novel
ini adalah kekuasaan kaum militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat
tersebut.
memengaruhi kehidupan sosial dalam novel Entrok. Sejalan dengan realitas sosial
yang terdapat dalam novel, maka dapat dirujuk pada fakta sosial yang pernah terjadi
sekitar tahun 1966 sampai 1998. Masa ini adalah masa pemerintahan Presiden
Soekarno. Pada masa Soeharto ditemukan banyak ketimpangan sosial, seperti realitas
Ketimpangan sosial pada era Orde Baru dapat dilihat melalui beberapa fakta
sosial. Pertama, peristiwa Malari yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui
penangkapan dan pengadilan yang dilakukan dalam kaitan dengan Malari dilakukan
pula dalam kerangka “penyingkiran lawan politik” (Fatah, 2010: 199). Kedua, peran
militer yang semakin meningkat, padahal tidak pernah terjadi sebelumnya dalam
politik dan administrasi negara, dan seusai pembubaran parlemen untuk pertama
orang dalam parlemen yang anggotanya 283 orang, jadi 12% untuk pertama kalinya
sejak proklamasi kemerdekaan di dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan
sudah mulai berjalan sejak itu, ketika suatu sistem perwakilan dibuat di mana militer
massal rakyat Timor Timur di Santa Cruz yang dilakukan oleh militer (Dhakidae,
2003: 279). Keempat, adanya politik etnisitas seperti superioritas kebudayaan Jawa
yang dimasukkan ke dalam politik Orde Baru, serta pelarangan terhadap bahasa Cina
birokrasi sipil dan militer hanya dimungkinkan oleh kekerasan (Dhakidae, 2003:
288). Berdasarkan fakta sosial di atas, penulis didorong untuk menelusuri jejak fakta
sosial yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok. Oleh sebab itu
populer. Novel ini juga mengandung produk ideologi tokoh-tokoh dan industri di
dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada ideologi yang muncul
dari para tokoh dan industri, politik, dan kekuasaan dalam novel Entrok. Ketiga aspek
ini merupakan isu yang fundamental dalam ranah cultural studies. Cultural studies
juga menyentralkan budaya pop dalam kajiannya. Budaya pop secara gamblang
diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan yang ingin
dicapai.
bertentangan, korelatif, dan subordinatif) ideologi-ideologi yang lahir dari para tokoh
dan institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang terdapat dalam
novel, dan mengkaji pengaruh ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap para tokoh.
yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel
Entrok.
novel Entrok.
ideologi, politik, dan kekuasaan yang digambarkan dalam sebuah novel dapat
Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari
peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau
Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini
berjudul Pandangan Para Tokoh Utama dalam Novel A Bird Named Enza
atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas ideologi
12
tokoh-tokoh dan institusi publik dalam novel Entrok secara bervariasi dan
Frankenstein.
novel Perburuan.
yang lahir dari masyarakat Jawa abangan di Magetan dan ideologi yang
muncul dari hegemoni kaum militer pada masa Orde Baru di Indonesia,
Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam
samping itu juga teori yang digunakan dalam menganalisis objek penelitian
perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian
ini penulis mengedepankan salah satu tema, yakni politik, yang berhubungan
ideologi-ideologi tertentu.
masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan
bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.
Menurut Hall (Barker, 2009: 6), pendekatan cultural studies merupakan suatu
sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat
Cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang
pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal
posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa.
Cultural studies dibangun oleh suatu cara berbicara yang tertata perihal objek-objek
studies memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun
penamaan itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual
lalu dan kondisi krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural studies
formasi yang tidak stabil; mempunyai banyak lintasan; kebanyakan orang telah
Storey (2010: 1) mengatakan bahwa cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan
kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan,
ketidaksetujuan, dan intervensi. Cultural studies juga menganggap budaya itu bersifat
politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan
ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang
estetis (seni tinggi); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang
spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.
Inilah definisi budaya yang bisa mencakup dua definisi sebelumnya; selain itu, dan
ini sangat penting, melibatkan kajian budaya pop bisa bergerak melampaui
arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif
bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender,
berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah
Cultural studies dilihat sebagai situs penting bagi produksi dan reproduksi
hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Storey (2010: 3), elaborasi
yang sangat bagus mengenai cara melihat budaya ini barangkali datang dari Stuart
Hall, yang menggambarkan budaya pop sebagai sebuah arena konsensus dan
resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di
sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun di atas premis
pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial
politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak
penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi
sebagai sebuah epifenomena semata, yakni refleksi semata dari elemen ekonomi sub /
transmisi yang lazim disebut “swasta” seperti universitas, sekolah, media massa,
kelompok) berkuasa dalam melestarikan kontrol sosial dan politiknya atas kelompok-
“perintah”. Termasuk dalam kategori ini, masyarakat politik mengacu pada, antara
lain, institusi seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintah. Dengan
kata lain, hal itu menunjuk pada semua institusi yang biasa disebut sebagai negara
dan, memang demikian halnya, pada beberapa bagian Prison Notebooks Gramsci
negara sebagai persamaan dari masyarakat politik plus masyarakat sipil atau memakai
rumusannya sendiri: “negara= masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lain
hegemoni dilindungi oleh baju besi koersi. Patria dan Andi Arief (2003: 32)
konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan
manifestasi perorangan. Pengaruh dari spirit ini berbentuk moralitas, adat, religi,
prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni
ditonjolkan dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama,
ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial
harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas,
bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya
pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur
2.3 Konsep
Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam
penelitian, antara lain: (1) Formasi, (2) Ideologi, (3) Politik, (4) Kekuasaan, (5)
2.3.1 Formasi
ideologi tidak hanya membahas ideologi apa saja yang terdapat dalam teks, akan
tetapi juga membahas bagaimana relasi antar ideologi tersebut. Menurut Storey
(Siswadi, 2010), formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian
dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen
bersamaan. Elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang berwujud
berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup
2.3.2 Ideologi
dari sejumlah kecil manusia sinis yang mengandalkan representasi dunia yang
imajinasi.
atau berfungsi dengan suatu cara yang merekrut subjek-subjek di antara individu-
subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-perintah Subjek, yakni
agar dia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, agar dia membuat gerak-gerik
atau tindak tanduk dari ketaatannya sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Tidak ada
sendiri.
memiliki esensi sebagai makhluk ideologi yang tak mungkin lepas darinya, seolah-
dilakukan sedemikian rupa dan setiap usaha yang dianggap baik bagi produksi
produksi, menjadi alat bagi reproduksi produksi dan pelengkap bagi relasi produksi.
Agar keberlangsungan proses reproduksi produksi dan relasi produksi terjaga dengan
baik, maka individu-individu dipersatukan dan direkatkan oleh struktur tertinggi yaitu
negara.
aparatusnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi
dan relasi produksi berlangsung terus. Althusser lalu membedakan dua jenis aparatus
negara menjadi: (a) Repressive State Apparatus (RSA) yang bekerja dengan cara
represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi, hukum, penjara dan pengadilan);
4. ISA Hukum
2.3.3 Politik
nilainya sendiri yang berbeda dari sistem etika perseorangan. Kekuasaan sebagai
nexus sistem ini, karena tanpa kekuasaan realisasi dari tujuan-tujuan sosial tidaklah
jelas merupakan kejahatan dilihat dari sudut pandang moralitas dan agama.
2.3.4 Kekuasaan
bukan hanya sekadar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau kekuatan
koersif yang menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain, meskipun dia
pada dasarnya memang demikian, karena dia juga merupakan proses yang
membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau
tatanan sosial. Dalam hal ini, kekuasaan, meskipun benar-benar menghambat, juga
kemudian baru karena soal ras, gender, kebangsaan, kelompok umur,dll (Barker,
2009: 10-11).
2.3.5 Postrukturalisme
strukturalisme. Pada awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1980-an, dilakukan revisi
Hal ini dapat dijelaskan bahwa makna sebuah karya ditentukan oleh apa yang
dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari
teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan partisipasi aktif. Karya
sastra tidak hanya milik pengarang, tetapi juga milik pembaca. Karya sastra juga
sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Oleh sebab itu,
makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks juga tidak tertutup,
(Ratna, 2004: 160), antara lain: (a) belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap;
(b) karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial; (c) kesangsian
terhadap struktur objektif karya; (d) karya dilepaskan dari relevansi pembacanya; dan
(e) karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang
melatarbelakanginya.
2.3.6 Representasi
terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”.
Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada benda yang
digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa
ada sebuah batas representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang
harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia.
“so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things
which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a
Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda
dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka
terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.
Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya
(Yolagani, 2007).
METODOLOGI PENELITIAN
(content analysis). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak
ditekankan pada bagaimana teks-teks yang ada dalam komunikasi itu terbaca dalam
interaksi sosial; dan bagaimana teks-teks itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Oleh
karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan mampu untuk
merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang
pada umumnya (Bungin, 2008: 158). Selanjutnya digunakan juga metode membaca
pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan
Menurut Teeuw (1984: 123) hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi
karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.
Dalam praktik interpretasi sastra itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan
lingkaran dalam bentuk spiral. Selanjutnya interpretasi (Palmer, 2005: 24) merupakan
sesuatu.
Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mencatat pada
kartu data. Kartu data dibuat sesuai dengan kebutuhan permasalahan penelitian.
Adapun tahapan pengumpulan data: (1) membaca novel Entrok secara cermat dan
teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode
bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan
teknik analisis data. Observasi sebagai metode penelitian kualitatif merupakan suatu
pengamatan dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya.
pengetahuannya melalui hasil kerja panca indra mata, serta dibantu oleh panca indra
lainnya.
relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus
secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah
metode dan teknik analisis data. Strategi analisis data penelitian ini menggunakan
strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk
(2008: 160):
peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, dan juga bagaimana
komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap
sekaligus juga adalah metode analisis data atau, dengan kata lain, prosedur metodis
sekaligus juga adalah strategis analisis data itu sendiri, sehingga proses pengumpulan
data juga adalah proses analisis data. Bahkan, keduanya erat berkaitan dengan teori.
Penokohan DATA
Alur
Tema
T Latar DATA
E Ideologi
O Politik
R Kekuasaan DATA
I
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pustaka deskriptif yang
berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang
digambarkan dalam teks. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah
data deskriptif menggunakan pendekatan cultural studies, yang dipelopori oleh Stuart
Hall. Cultural studies cenderung merespons kondisi politik dan historis yang berubah
Sumber data primer yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah:
Judul : Entrok
Ukuran : 20 cm
Cetakan : Pertama
Tahun : 2010
primer antara lain berupa analisis sumber dari internet dan buku-buku yang dapat
Penokohan
Ideologi
Alur Cerita
Politik
Tema Novel
Kekuasaan
Latar
Hegemoni
Kekuasaan
Pemerintah Orde Kekuasaan Kaum Kekuasaan Partai Doktrinasi
Baru Militer Politik Ideologi
Penjelasan Model :
Novel Entrok karya Okky Madasari dibahas menurut konsep pendekatan yang
dipelopori oleh Wellek dan Warren (1977), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik
yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, alur
cerita, tema, dan latar novel, sedangkan pada pendekatan ekstrinsik dikaji melalui
menitikberatkan pada ideologi aparatus negara yaitu militer yang kerap melakukan
kekuasaan pemerintah pada masa Orde Baru yang menekankan pada kekuasaan kaum
militer sebagai aparatus negara. Kemudian ideologi juga lahir dari kekuasaan partai
kelompok dominan terhadap kelompok subaltern atau yang lazim dikenal sebagai
keberagaman isu-isu sosial dalam objek yang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa
melalui karya sastranya, Okky Madasari berusaha untuk menciptakan suatu tamsil
Pada era Orde Baru kerap ditemukan orang-orang animis, seperti halnya tokoh
Simbok dan Marni dalam novel Entrok yang menganut Animisme. Hal inilah yang
atau organisasi terlarang yang menjadi musuh negara. Sebagaimana yang dikatakan
Dhakidae (2003: 204), bahwasanya perwira dalam kategori alat negara dengan tujuan
utama menjadi pelayan negara yang sama sekali tidak politis, mereka anti-PKI, anti-
kiri, dan anti-Islam, kanan, bukan karena keyakinan mendalam dan pemahaman
kedua-duanya akan menghancurkan tata tertib priyayi abangan Jawa. Hal tersebut
agar Marni menyadari bahwa hal di atas merupakan kebiasaan yang kerap
kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Semua peristiwa dapat terjadi jikalau Dia yang
menginginkan.
Marni dan Simbok belum mempunyai agama atau animisme, tetapi hal tersebut
material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian,
elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, serta elemen kebebasan hak warga
negara.
dalih menjaga keamanan. Di dalam menjalankan tradisi ronda tersebut, para tentara
target utama bagi para tentara tersebut adalah orang-orang yang mempunyai banyak
uang atau orang-orang usahawan. Di samping itu juga orang-orang animis dan orang-
orang yang tidak disukai atau kontradiktif terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat
tentara, yang dinyatakan melalui ‘orang-orang berseragam loreng’ yang rutin datang
dalam pemilu.
dan represi terutama kepada orang-orang yang lemah dan bodoh. Kutipan-kutipan
tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma
dalam kehidupan keseharian, dan juga merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi
Masa-masa sulit dalam perekonomian yang terjadi sebelum rezim Orde Baru
penting dalam kehidupan mereka, seperti halnya momen kelahiran mereka atau
sejarah berdirinya sebuah monumen nasional. Pada masa itu mereka hanya fokus
ingatannya atas waktu atau momen kelahirannya, yakni ketika orang-orang menjalani
Ngranget yang dirunut melalui kisah hidup Mbah Noto yang dikaitkannya dengan
zaman Jepang, zaman susah, dimana orang berburu tikus di sawah untuk dimakan.
Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat
melalui Simbok, Mbah Noto, dan orang-orang lain pada zaman tersebut, zaman
perang, baju goni dan berburu tikus di sawah untuk dimakan. Kutipan-kutipan
tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan
terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu berburu tikus di sawah, di samping itu
juga merupakan elemen kesadaran tradisi hidup susah, elemen solidaritas identitas
kaum militer. Marni berupaya untuk selalu menuruti segala permintaan komandan
tentara terhadapnya, namun satu hal yang tetap dipertahankannya dari paksaan dan
hasutan kaum militer adalah kepercayaannya terhadap Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
yang dianut oleh putrinya, Rahayu dan Pak Waji, guru agama Rahayu di sekolah. Hal
Marni, yang kerap melakukan tirakat atau nyuwun kepada Pemilik dunia dan
seisinya, yang diyakini Marni sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
“Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas dia
berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik. Masih menyembah leluhur,
memberi makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya
tuyul.” (Entrok: 57).
omongan Pak Waji, guru agamanya, yang kerap mengumpat tingkah laku Ibunya atau
Marni.
dengan adanya pendapat yang berlawanan, yaitu antara Islam dan Animisme.
kepercayaannya dan Pak Waji juga dengan agama Islamnya, yang nyata saling
melalui tradisi masing-masing, serta elemen solidaritas yang berwujud rakyat biasa.
Pemilu dimenangkan oleh partai pemerintah, dengan tujuan agar pemerintahan Orde
upaya untuk memenangkan partai pemerintah. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan
“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai
lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia
pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak
Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di
rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu,
gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan
meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan
memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).
partai kuning, sedang partai hijau dan partai merah masing-masing memperoleh satu
“Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah,
artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan
perdamaian. Kebalikannya adalah tiga jari, jempol, telunjuk, dan
kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar,
orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak
pernah mengacungkan tiga jari di mana pun.” (Entrok: 86).
terjadi persuasi terhadap dirinya agar mencoblos partai nomor dua atau partai kuning
Kedua kutipan di atas merupakan ISA politik. Hal ini ditunjukkan dengan
keseharian, yang ditunjukkan dengan kebiasaan mengacungkan dua jari di mana pun
berada.
menjaga keamanan, para tentara bersama Pak Lurah yang juga merupakan institusi
publik kerap melakukan ancaman terhadap penduduk desa tersebut. Untuk lebih jelas
“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang
benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo
datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat
keamanannya.”
“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini
bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata
Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak
pucat pasi, tak mampu lagi bicara.” (Entrok: 71).
“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama
tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua
tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan
jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to?
Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya
yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).
sebagai institusi publik yang bertujuan mengancam dan mendiskreditkan Marni yang
“Hari-hari terasa mudah dan begitu teratur bagi Ibu. Sejak dia
mengikuti kemauan Komandan dan Pak Lurah, tak ada lagi orang-
orang bersarung yang datang saat subuh dan menyebutnya rentenir
langsung di depan hidungnya. Orang-orang hanya berani berbicara di
balik punggung, dan bermanis-manis di depan muka.” (Entrok: 87).
Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa Marni atau tokoh Ibu semakin
lancar dalam menjalankan usahanya sejak dia mengikuti segala kehendak komandan
dan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik di tempat praktik sosial
berlangsung.
apabila Marni tidak mau menuruti kehendak para petinggi atau institusi publik
setempat, maka Marni bisa saja mendapat masalah, meskipun pada kenyataannya
tidak bersalah. Hal seperti ini bisa membuatnya berhadapan dengan penegak hukum.
praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian sebagai petinggi atau sebagai
institusi publik yang sering mengancam warganya, juga Marni sebagai warga yang
selalu mengikuti kemauan petinggi, agar dia tidak mendapat masalah. Di samping itu
kutipan-kutipan di atas juga merupakan elemen kesadaran yaitu sebagai warga yang
kerap menjalankan tradisi untuk mengikuti kemauan petinggi atau institusi publik.
terhadap pemerintah Orde Baru yang senantiasa menindas mereka, para warga
tersebut meminta keselamatan dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
dirinya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga dari perlakuan
sewenang-wenang aparat pemerintah Orde Baru, dalam hal ini tentara-tentara dan
juga institusi publik lainnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut
ini.
Kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini dapat dilihat melalui
kepercayaan yang dianut Koh Cayadi dan Marni yang cenderung digolongkan ke
dalam Animisme, akan tetapi meskipun demikian, hal ini tetaplah merupakan
aktivitas transendental yang rutin dilakukan oleh mereka. Di samping itu kutipan
tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan
terjelma dalam kehidupan keseharian mereka, elemen kesadaran berupa tradisi dalam
pementasan gambyong yang kerap dilakukan setelah pemilu diadakan dan disusul
suatu pesta besar untuk menyambut masa panen tebu dan giling tebu untuk menjadi
gula.
temanten tebu. Di samping itu juga merupakan elemen material yang berwujud
aktivitas praktis.
lahan di Desa Singget. Di atas lahan tersebut terdapat ladang, pohon, rumah-rumah,
sekolah dan lain-lain. Waduk ini dibangun dengan tujuan untuk memakmurkan dan
berikut.
untuk menggantikan sekolah lama (pesantren) yang telah roboh karena digusur alat-
alat berat yang digerakkan oleh pemerintah daerah perihal tempat tersebut akan
dijadikan waduk.
adanya sistem sekolah privat dan sekolah publik yang berbeda. Kutipan-kutipan
tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan
bersekolah, oleh karenanya sekolah itu harus tetap didirikan, untuk menjadikan
Profesi penebang tebu adalah pekerjaan yang banyak dilakukan oleh kaum
pria di Desa Singget. Mereka kerap menerima upah dari Marni sebagai pemilik kebun
keberhasilannya sebagai perempuan pekerja yang meniti karier dari seorang pengupas
memberi upah setara antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Hal ini disebabkan
adanya pengalaman pahit ketika Marni masih bekerja sebagai pengupas singkong
Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA serikat buruh. Hal ini ditunjukkan
melalui pemaparan aktivitas para buruh tebu di Desa Singget. Selanjutnya merupakan
elemen material yang berwujud aktivitas praktis yang terjelma dalam kehidupan
keseharian dan elemen kesadaran yaitu tradisi menjadi buruh dan tradisi menjadi
juragan.
senantiasa menindas masyarakat sipil, dan hal ini berdampak pada terjadinya
penduduk Desa Singget hingga akhirnya peristiwa ini dipublikasikan melalui media
massa oleh tokoh-tokoh aktivis. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan
sebagai berikut.
pengendara becak. Peristiwa tersebut dilakukan oleh petugas berbaju loreng dengan
pengendara becak, yang beritanya telah dimunculkan beritanya di dua Koran, yakni di
Jogja dan di Semarang. Berdasarkan data tersebut dijelaskan bahwa Mehong dibawa
oleh enam laki-laki yang mengaku sebagai petugas yang tidak lain adalah tentara.
Mehong disusul oleh peristiwa kematiannya. Hal ini menjadi sebuah rentetan
“Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat sebagai
dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai mahasiswa. Kami
dianggap telah menyebabkan terjadinya kerusuhan. Tak ada sedikit
pun yang menyinggung tentang peristiwa di Kali Manggis atau
kematian Mehong. Taufik juga dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh
mengarang berita. Kami orang-orang kalah.” (Entrok: 161).
kemudian Rahayu, Iman, dan Arini juga diberhentikan dari status mereka sebagai
aktivitas praktis.
yakni Marni dan Rahayu kerap dimanfaatkan oleh aparat pemerintah dalam hal ini
tentara untuk memprovokasi keduanya hingga hubungan di antara ibu dan anak
tersebut terjalin tidak harmonis. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan
sebagai berikut.
sejalan dengan Rahayu. Di samping itu pandangan kebencian Rahayu terhadap Marni
semakin bertambah ketika Pak Waji, guru agama Rahayu, membicarakan segala
kebiasaan ibunya tersebut di depan kelas ketika Rahayu dan teman-temannya sedang
“Aku bilang, “Aku berdoa lima kali sehari. Itu cara yang benar, bukan
dengan cara yang dosa.”
Ibu marah. “Aku nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa sejak
lahir. Aku tidak mengganggu orang lain. Dosa apa yang kulakukan?”
“Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi,” kataku
dengan suara keras, membalas teriakan Ibu.
“Sampai setua ini, sampai punya anak sebesar kamu, Nduk, aku tidak
pernah tahu Gusti Allah. Mbah Ibu Bumi yang selalu membantuku.
Mbah Ibu Bumi yang memberiku semua ini. Apanya yang salah?”
dalam aktivitas transendental, Rahayu percaya kepada Gusti Allah, sedang Marni
“Lha kok malah semua orang ngrasani. Malah anakku sendiri, anakku
satu-satunya, ikut-ikutan menyalahkanku. Dia bilang aku ini dosa. Dia
bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho . . . lha
wong aku sejak kecil diajari orang tuaku nyembah leluhur kok tidak
boleh. Lha buktinya kan setiap aku minta ke leluhur, lewat tumpeng
dan panggang yang harganya tak seberapa itu, semua yang kuminta
kudapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha
ia, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana
mau nyuwun kalau kenal saja belum.” (Entrok: 100-101).
kepercayaan antara Ia dan Rahayu yang kerap memunculkan suasana tidak kondusif
Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA agama, hal ini dapat dilihat pada
juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam
nrima ketika berhadapan dengan beragam konflik kehidupan, juga kerap kali
menghadapi tekanan dari aparatur pemerintah Orde Baru. Hal tersebut dapat
“Dasar Teja, lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari
duit, dia malah enak-enakan kelonan sama kledek. Ibu sudah tidak lagi
memaki Tonah. Kini dia mengumpat Bapak. Padahal orang yang
dimaki entah sedang di mana. Teja yang pemalas. Teja yang tidurnya
seperti kerbau. Teja yang hanya mau enaknya sendiri. Teja yang
sekarang sedang gandrung dengan kledek…” (Entrok: 53).
memiliki karakter pemalas yang menggandrungi kledek. Perihal kebiasaan buruk Teja
“Waktu berjalan seiring putaran roda sepeda yang dinaiki Bapak dan
Ibu. Terasa lambat saat ada yang ingin dikejar, dan terlalu cepat saat
Bapak dan Ibu hendak berteduh di bawah pohon trembesi, menghindar
sebentar dari teriknya matahari.” (Entrok: 60).
Berdasarkan gambaran situasi di atas, dapat dilihat bahwa Teja dan Marni
“Ibu tak lagi hanya meminjamkan ketika ada orang yang memaksa
berutang. Dia terang-terangan menawarkan pinjaman uang pada semua
orang, sebagaimana dia menawarkan barang dagangan. Pedagang-
pedagang di Pasar Ngranget menjadi langganannya. Sekarang, Ibu dan
Bapak berangkat ke pasar bukan hanya untuk kulakan barang, tapi
untuk mengambil cicilan dari pedagang-pedagang yang meminjam
uang Ibu.” (Entrok: 69).
Teja, terutama dalam berjuang mencari nafkah, Teja yang senantiasa menemani
Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat
elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan
pada masa pemberantasan PKI yang bekerja sama dengan pemerintah Orde Baru, dan
tentunya anti kepada orang-orang yang menganut Animisme. Untuk lebih jelasnya
perbedaan keyakinan antara Kyai Hasbi dan Marni, ibu Rahayu. Kutipan tersebut
menunjukkan ISA agama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan keyakinan
antara Marni dan Kyai Hasbi. Kutipan tersebut juga menunjukkan elemen material
yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, dan juga
masing-masing.
publik, maka terlebih dahulu dipaparkan mengenai para tokoh yang dianalisis dalam
novel Entrok. Penganalisisan meliputi para tokoh publik dan para tokoh institusi
publik.
sebagai berikut:
Simbok
Marni
Rahayu
Pak Waji
Koh Cayadi
Teja
Kyai Hasbi
Mbah Noto
Pak Lurah
Adapun sifat-sifat formasi ideologi para tokoh yang dianalisis adalah sebagai
berikut:
Marni sebagai Ibu dengan Pak Waji sebagai guru Rahayu adalah
tesis hal.45.
Marni dengan Mbah Noto sebagai kuli yang paling tua di Pasar
Marni sebagai anak dengan Simbok sebagai ibu Marni adalah formasi
Marni sebagai istri dan Teja sebagai suami adalah formasi bersifat
Rahayu Bertentangan
Teja Korelatif
Loomba (2003: 68). Istilah subaltern merupakan sebutan bagi para perwira di bawah
berbagai macam kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki
formasi ideologi dapat ditelusuri melalui beberapa elemen yaitu: (1) elemen material,
yang berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian,
cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial
berlangsung, (2) elemen kesadaran, yaitu suatu tradisi yang berlaku pada setiap
individu, juga kedudukan dan hak, (3) elemen solidaritas-identitas, yaitu posisi pada
setiap individu yang membedakannya dengan individu lain, (4) elemen kebebasan,
Ada empat hal yang patut dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya
dengan teori Marx. Pertama, di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi.
kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas
sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai
berada dalam superstruktur (Siswadi, 2010). Jadi ada dua kelompok ideologi yang
dapat ditemukan dari studi Gramsci. Kelompok pertama adalah kelompok dominan
kesadaran kelas.
Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang
kelompok ideologi dominan yang dalam hal ini adalah ideologi kapitalisme yang
orang yang sangat kaya atau juga birokrat yang mempunyai kedudukan di lembaga
kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri yang membuat sistem dan
industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri
yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin dan sebagainya). Feodalisme
adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada
berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda yaitu paham bahwa ras diri
sendiri adalah ras yang paling unggul. Vandalisme adalah perbuatan merusak dan
menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dan
adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan
kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara atau bentuk
wakilnya.
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik atau paham
yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. Sosialisme adalah ajaran
atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industri dan
formasi ideologi feodalis dan kapitalis-sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk kaya,
formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin,
ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin, elemen
ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk tidak bekerja,
formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk mengajar,
elemen solidaritas-identitas kyai dan guru, elemen kebebasan hak warga negara.
harta.
Elemen
Elemen Elemen
Nama Kelompok Kategori Ideologi Solidaritas‐
Kesadaran Kebebasan
Identitas
Marni Subaltern Rakyat Feodalis Tradisi Rakyat biasa Adat dan
Kapitalis‐ untuk kaya Harta
Sosialis
Rahayu Subaltern Rakyat Demokratis ‐ Aktivis Hak Warga
–Sosialis Negara
Pak Waji Subaltern Intelektual Demokratis ‐ Guru Hak Warga
–Sosialis Negara
Koh Cayadi Subaltern Rakyat Feodalis Tradisi Wiraswasta Adat dan
Kapitalis‐ untuk kaya Harta
Sosialis
Mbah Noto Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk Negara
miskin
Simbok Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk Negara
miskin
Teja Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk tidak Negara
bekerja
Kyai Hasbi Subaltern Intelektual Demokratis Tradisi Kyai, Guru Hak Warga
‐Sosialis untuk Negara
mengajar
Sumadi Dominan Pemimpin Otoriter Kedudukan Pemimpin Kekuasaan
(komandan) Kapitalis tradisi Militer dan Harta
Militeris otoriter
Pak Lurah Dominan Pemimpin Kapitalis‐ Kedudukan Kepala Desa Kekuasaan
Humanis tradisi dan Harta
berkuasa
(Sumber : Hasil Analisis Data, 2011)
humanis, sosialis dan demokratis (dapat dilihat pada tabel di bawah ini).
Tabel 4.2
Negosiasi Ideologi
dominan dan ideologi kelompok subaltern. Sumadi atau Komandan adalah pimpinan
tentara yang digolongkan ke dalam tokoh institusi publik dan dikategorikan sebagai
kelompok dominan. Begitu juga halnya dengan Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak
Bupati yang digolongkan ke dalam institusi publik dan dan dikategorikan sebagai
kelompok subaltern. Demikian juga halnya dengan Rahayu, Pak Waji, Koh Cayadi,
Mbah Noto, Simbok, Teja, dan Kyai Hasbi. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan
sebagai berikut.
beranggapan bahwa kelas memang ditentukan oleh peran ekonomi, tetapi sangat
dipengaruhi pula unsur-unsur politik dan ideologi. Dalam kerangka ini, Poulantzas
dapat disebut sebagai seorang Neo-Marxis pertama yang secara tegas merumuskan
66
Universitas Sumatera Utara
pengaruh politik dan ideologi terhadap pembentukan kelas. Konsep hegemoni
Gramsci dekat dengan konsep ideologi Louis Althusser dalam buku “Tentang
Essays on Ideology) (2004 : 18-24) membedakan adanya dua jenis aparat negara,
yaitu Repressive State Apparatus (RSA) atau aparat negara represif dan Ideological
State Apparatus (ISA) atau aparat negara ideologis. Yang pertama bersifat represif
kedua bersifat tanpa paksaan, persuasif, dan plural. Lembaga-lembaga yang termasuk
aparat negara ideologis adalah lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik,
serikat buruh, komunikasi (pers, radio, tv, iklan), dan kebudayaan (seni, sastra,
dalamnya Marx. Pada pandangan para Marxis terdahulu itulah menurut Poulantzas ia
secara lebih jelas dan rinci. Sebagaimana dikatakan oleh Poulantzas : “Bahkan ketika
Marx Engels, Lenin atau Mao menganalisis kelas sosial, mereka jelas tidak
membatasi diri pada kriteria ekonomi semata-mata, melainkan secara tegas mengacu
merupakan kelas sosial atas yang kerap menindas kelompok subaltern sebagai kelas
sosial bawah. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama
tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua
tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan
jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to?
Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya
yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).
1. Masyarakat sipil yang mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut
swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya.
2. Masyarakat politik atau negara adalah semua institusi publik yang memegang
Kedua level struktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda yaitu
ranah persetujuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat
politik (Sugiono, 1999: 35). Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan sebagai
berikut.
masyarakat politik atau negara yang senantiasa bertindak represif, dan kerap berujung
dalam hal ini Marni dan Teja mengalami kekalahan atas masyarakat politik atau
“Kebetulan ini begini, Yu. Aku diutus Pak Camat dan Pak Bupati
minta sampeyan ikut membantu kampanye hari Rabu besok.”
“Wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan, kemarin
sudah saya titipkan sama pamong.”
“Iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang kok, Yu.
Soal uang, kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak Bupati
mengalah kepada Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sebagai masyarakat politik
atau negara.
Menurut Simon (Siswadi, 2010) hegemoni menurut titik awal konsep Gramsci
adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-
kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam novel Entrok terlihat
bahwa kelas atas dalam hal ini kaum dominan yaitu Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak
terhadap orang-orang kelas bawah atau kelompok subaltern. Ketika pemerintah Orde
Baru yang berkuasa secara otoriter dan atas nama pembangunan menggusur tanah dan
rumah rakyat untuk dijadikan waduk. Dalam menyelesaikan pembebasan tanah ini,
aparat-aparat lain seperti Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati, apalagi bila
menemukan hambatan atau menemukan perlawanan rakyatnya, hal ini tampak jelas
masyarakat sipil. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
politik melakukan perdebatan dengan Wagimun atau masyarakat sipil. Sehingga hal
“Segera pindah dari sini sebelum kalian mati tertimbun tanah atau di
penjara sampai mati. Kalian telah jadi PKI.”
“Selama tentara-tentara itu hanya bicara, kami hanya diam. Komandan
pasukan tahu kami mengikutinya. Dia tak keberatan. Malah seperti
bangga, karena orang-orang asing ini telah melihat bagaimana tentara
yang punya kuasa menyampaikan ancaman pada orang-orang desa.”
(Entrok: 227).
disampaikan tentara tersebut tampak pada tiga baris pertama dari data di atas,
ini dengan jelas mengungkapkan bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan
agar segera pindah. Akan tetapi, orang-orang desa tetap bertahan. Hal ini ditunjukkan
melalui tulisan pada umbul-umbul yang mereka buat. Namun aksi penduduk desa
tersebut tetap tidak meluluhkan hati tentara-tentara itu. Kekuasaan masyarakat politik
kenyataan tersebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat (Patria, Andi
Arief, 2003: 23). Selanjutnya dapat dijelaskan melalui kutipan sebagai berikut.
“Orang itu memang tentara. Tapi kita tidak akan mati tenggalam di
sini. Sudah, lupakan apa yang dikatakan orang itu tadi…”
“Dor! Terdengar tembakan. Gusti Allah! Aku berlari meninggalkan
anak-anak itu menghambur ke dalam rumah Wagimun. Amri sudah
tergeletak di lantai. Ada darah menggenang di samping tubuhnya.”
(Entrok: 230).
sipil dalam hal ini Wagimun dan Amri, merupakan korban dari kekuasaan politik dan
Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa politik digambarkan pada dua
baris pertama, lalu kekuasaan pada baris ketiga, sedangkan ideologi digambarkan
pada baris keenam. Maka dapat ditelaah dengan jelas bahwa politik dan kekuasaan
berkaitan dengan ideologi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan masyarakat politik
dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh
kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas
dari infrastrukturnya.
pembangunannya direncanakan akan melewati tanah pada Desa Singget, yang mau
dari rakyat Desa Singget tersebut. Hal ini adalah suatu tindakan politik-kekuatan dan
Kebijakan pemerintah pada era orde baru adalah suatu kebijakan yang
cenderung pada militeristis, hal ini dapat dibuktikan melalui latar belakang
pendidikan militer yang dimiliki oleh kebanyakan petinggi negara, meliputi pejabat
sipil, seperti gubernur, bupati maupun pejabat negara yang menangani berbagai divisi
Kaum militer dalam hal ini juga mempengaruhi pejabat-pejabat sipil atau non
militer, yakni mengupayakan agar para pejabat sipil tersebut berseteru dengan
masyarakat sipil melalui provokasi, sehingga dalam kurun waktu yang tidak lama
Korem, Komandan Kodim, Komandan Koramil dan lain-lain. Bahkan bisa saja
1. Mengetahui dan memahami sifat-sifat ideologi masyarakat sipil atau para tokoh
publik dalam wilayah praktik sosial berlangsung, sehingga dalam kurun waktu
75
Universitas Sumatera Utara
yang singkat masing-masing tokoh publik tersebut diprovokasi satu sama lain,
militer dapat menguasai tokoh-tokoh publik tersebut dan juga menguasai wilayah
praktik sosial yang sebelumnya telah dikuasai kaum sipil. Berdasarkan formasi
ideologi seperti yang telah dipaparkan pada bab iv, dapat dipahami bahwa dalam
novel Entrok komandan tentara yang mewakili kaum militer mempelajari formasi
ideologi tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.
“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang
benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo
datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat
keamanannya.”
“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini
bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata
Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak
pucat pasi, tak mampu lagi bicara.
Sumadi menggebrak meja. “Kalian akan tahu akibatnya. Aku tunggu
kalian datang kepadaku, memohon-mohon minta keamanan,” kata
Sumadi. Tentara-tentara itu meninggalkan rumah kami. (Entrok: 71).
sebagai pasangan suami istri senantiasa tidak berdaya menghadapi segala perintah
yang dalam hal ini disebut tentara kepada masyarakat pada era orde baru,
2. Latar waktu pada novel Entrok adalah tahun 1950-1994, dalam periode tersebut
terjadi peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, hingga akhirnya kemudian
tersebut, seperti halnya banyak tokoh-tokoh sipil yang dilabelisasi PKI sehingga
ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini dapat dilihat melalui
tentara, Sumadi mengenai Koh Cahyadi yang menyandang status sebagai buron.
dipegang oleh institusi publik, dalam hal ini kaum militer. Kaum militer dalam novel
uang dengan berbagai macam dalih, seperti halnya untuk keamanan atau lain-lain.
Masyarakat sipil dimintai setoran, sumbangan, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya
selalu patuh dan tunduk terhadap tentara sebagai masyarakat politik atau negara.
berikut.
Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan GESTAPU yang diprakarsai oleh PKI
yang berakibat dibubarkannya PKI. Kebijakan pemerintah pada masa itu yang
tersebut. Oleh sebab itu, dengan mudah setiap orang dilabelisasi PKI dan dijebloskan
“Pak Kyai, sampeyan sudah ikuti kami terus dari tadi. Sampeyan tahu
tidak, ada berapa rumah yang masih membangkang?” tanya komandan
itu pada Kyai Hasbi, dan dijawab dengan anggukan. “Ada 65, Pak
Kyai. Ya, 65. Tahu kan artinya 65? Mereka semua ini orang-orang
PKI.” (Entrok: 227).
melalui aparatnya paling depan seperti tentara, lurah, camat, dan bupati harus bekerja
keras agar partai pemerintah (Golkar / Partai Pohon Beringin / Partai Kuning)
menjuarai pemilu tersebut dengan coblosan terbanyak dari seluruh masyarakat sipil di
tempat praktik sosial berlangsung. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.
“Sudah yo, Mbakyu, Kang, sudah beres urusan. Kalian tadi belum
nyoblos, to? Sudah, sekarang giliran kalian. Jangan lupa yang
gambarnya pohon. Kalian bukan PKI, to?” (Entrok: 65).
Pemilu kedua diadakan pada tahun 1977. Pada pemilu kedua ini pemerintah
tetap ingin agar partainya (Partai Golkar / Partai Beringin / Partai Kuning) menang
lagi. Partai-partai yang ikut pada pemilu kedua ini tidak sebanyak pemilu pertama.
Pemilu kedua ini memiliki peserta tiga partai saja, yaitu Partai Hijau, Partai Kuning,
dan Partai Merah. Tentara, lurah, camat, dan bupati juga tetap harus bekerja keras
agar Partai Kuning menang lagi. Adapun kedudukan masing-masing partai peserta
pemilu tersebut yakni Partai Hijau nomor satu, Partai Kuning nomor dua dan Partai
Merah nomor tiga. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan berikut ini.
Pemilu ketiga dilaksanakan pada tahun 1982 dan pemilu keempat pada tahun
1987. Partai pemerintah (Partai Golkar / Partai Beringin / Partai Kuning) pada pemilu
tersebut ditargetkan untuk menang kembali. Meskipun pada pemilu tersebut tentara-
dilakukan oleh tentara-tentara, lurah, camat, dan bupati. Mereka saling bekerja sama
dan berupaya semaksimal mungkin agar tanah yang akan dibangun oleh pemerintah
era orde baru itu akan berjalan dengan baik dan tanpa hambatan dari masyarakat sipil
Desa tersebut akan menjadi kolam raksasa atau waduk. Semua masyarakat sipil terus-
tersebut dibangun untuk mensejahterakan masyarakat sipil tersebut. Hal ini dapat
Para warga yang enggan pindah dan masih bertahan di tempat tinggalnya
masing-masing yang berada di desa tersebut terdiri dari 65 rumah. Untuk lebih jelas
dengan gamblang oleh Manan (2005: 43-44) dalam bukunya “Gerakan Rakyat
Melawan Elite”. Manan menjelaskan bahwa baru sejak awal tahun 1980-an dominasi
negara atau tentara terhadap rakyat mulai menurun, namun sebelumnya dominasi
politik yang menang di dalam setiap pemilu, oleh sebab itu pemilu selalu menjadi
ajang adu kekuatan, adu argumentasi dan sebagainya. Maka partai penguasa tersebut
akan berusaha semaksimal mungkin agar partainya dapat menang kembali dalam
partai tersebut dalam pemilu. Pada pemilu pertama, yakni pada tahun 1972, Partai
Beringin atau partai pemerintah yang menang. Untuk lebih jelas dapat dilihat kutipan
sebagai berikut.
“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai
lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia
pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak
Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di
rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu,
gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan
meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan
memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).
Dalam setiap pemilu yang digambarkan dalam novel Entrok, baik tentara
maupun lurah bahkan bupati selalu melakukan penjagaan di sekitar kamar coblosan.
Selanjutnya pada pemilu kedua, yaitu pada tahun 1977 juga dimenangkan oleh partai
Pada pemilu selanjutnya, yakni pada tahun 1982, dimenangkan lagi oleh
“Aku nyoblos gambar kuning itu karena disuruh Pak Lurah dan orang-
orang berseragam loreng yang menjaga di depan kamar coblosan.
Setelah nyoblos aku menyerahkan kertasnya pada tentara-tentara itu,
lalu mereka yang memasukkannya ke kotak.” (Entrok: 105-106).
dimenangkan oleh Partai Kuning atau partai pemerintah. Penjagaan terhadap para
warga yang mencoblos tidak begitu ketat lagi, karena masing-masing warga sudah
tahu partai mana yang wajib dicoblos. Hal ini mereka lakukan demi keamanan dan
dalam bidang legislatif. Hal ini dapat dilihat melalui bagan di bawah ini.
Bagan 3
Penguasaan Legislatif Melalui
Sentralisasi Kekuasaan Pada Presiden Masa Orde Baru
PRESIDEN
FRAKSI KARYA
FRAKSI ABRI PEMBANGUNAN
FPP FPDI
KONTROL SEMU
dan Ketua Dewan Pembina Golkar (Partai Pemerintah). Sementara itu, perimbangan
kekuatan di lembaga legislatif selama Orde Baru memperlihatkan betapa fraksi karya
pembangunan dan fraksi ABRI memiliki kekuatan yang dominan dengan menguasai
sekitar 70-80% kursi DPR, sedangkan FPP dan FPDI hanya sekitar 20-30% kursi.
Kontrol yang dijalankan legislatif dan bersifat semu dan karenanya tidak pernah
efektif.
Doktrin adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan, atau
oleh Komandan Tentara terhadap Kyai Hasbi, sebagai tokoh pembela rakyat yang
orang-orang agama yang tentunya akan mendukung program pemerintah. Posisi Kyai
“Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-
mesin keruk akan mengangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati
tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa saja kalian selamat.
Tapi hari itu seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua
akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama orang-orang
PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (Entrok: 226).
Komandan Tentara terhadap Wagimun, salah seorang warga yang enggan pindah dari
lokasi yang direncanakan pemerintah akan dijadikan waduk. Doktrinasi ideologi yang
mengenai keagamaan, dalam hal ini tempat peribadatan etnis Cina yang pada masa
pemerintahan orde baru ditutup. Kebijakan pemerintah pada masa itu memaksakan
agar seluruh orang Cina tidak lagi mendatangi kelenteng untuk beribadah.
kekuasaan Orde baru biasanya bertujuan untuk kepentingan golongan tertentu bagi
orang-orang yang menolak berbagai kebijakan pemerintah atau negara sesuai dengan
kebenaran universal, yang ada hanya kebenaran yang bertujuan untuk menopang
hari dan juga merupakan fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari.
Situasi psikologis masyarakat Indonesia sesuai dengan pendapat Althusser (2004: 59)
7.1 Simpulan
Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan novel yang memiliki latar
tempat di daerah Madiun dan latar waktu yaitu tahun 1950-1999. Adapun cerita yang
menonjol dalam novel tersebut adalah seputar pemerintahan rezim orde baru yang
didominasi oleh kaum militer yang berlangsung sekitar tahun 1966-1998. Pemerintah
orde baru yang otoriter melalui masyarakat politik atau negara dalam hal ini bertindak
sebagai berikut:
1. Institusi publik atau masyarakat politik atau negara telah mempelajari terlebih
2. Dalam deskripsi politik dan kekuasaan yang terdapat pada wilayah tempat praktik
92
Universitas Sumatera Utara
kelompok ideologi subaltern, yang tidak paham akan politik dan hanya sekadar
mengikuti aturan perpolitikan negara pada masa itu, dipaksa oleh kekuasaan
otoriter kaum militer yang tergolong ke dalam kelompok ideologi dominan, agar
3. Pengaruh politik dan kekuasaan terhadap ideologi menghasilkan pro dan kontra
dalam penyelesaian masalah. Masalah politik yang timbul kerap kali diberikan
sebuah konsensus.
7.2 Saran
masyarakat politik atau negara agar orang-orang yang menjadi korban tidak
paksaan dari pihak yang berkuasa atau dominan, dalam hal ini masyarakat politik
atau negara.
menciptakan suasana yang tidak kondusif. Oleh sebab itu, maka seharusnya
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik. (diterjemahkan oleh
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Esten, Mursal (Ed.). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia Yang
Relevan. Bandung: Angkasa.
Klarer, Mario. 1999. An Introduction to Literary Studies. London and New York:
Routledge.
Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book.
95
Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pranachitra, Bima. 2010. Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mery Shelley
Frankenstein Karya Mary Shelley. Tesis (Magister/S2). Medan: Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Prawoto, Poer Adhie. 1991. Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern. Bandung:
Angkasa.
Purnomo, Akhlis. 2009. Pandangan Para Tokoh Utama dalam Novel A Bird Named
Enza Karya Dawn Meier Mengenai American Dream: Sebuah Pendekatan
Sosiologi Sastra. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro, dalam
http://eprints.undip.ac.id/16321/1/AKHLIS_PURNOMO.pdf, diunduh 29
Desember 2010.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schmandt, Henry, J. 2009. Filsafat Politik. (diterjemahkan oleh Ahmad Baidlowi dan
Imam Bahehaqi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswadi, Tenggina Rahmad. 2010. Perang Ideologi dalam Novel Entrok Kajian
Sastra Populer dan Hegemoni Gramsci, dalam novelentrok.blogspot.com,
diunduh 28 Agustus 2010.
Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1977. Theory of Literature. Florida: Harcourt Brace
Javanovich.
Universitas Gadjah Mada. Setamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan
mendalami dunia penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai
www.madasari.blogspot.com
berperan sebagai tokoh utama, yakni Sumarni dan Rahayu. Sumarni adalah ibu
kandung Rahayu, sedangkan Rahayu adalah anak semata wayang dari pernikahan
Sumarni dan Teja. Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Sumarni hidup bersama
ibunya yang biasa dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah.
Pada masa ini Sumarni adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu.
Sedangkan Simbok bekerja di pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-
orang yang berjualan ubi di pasar. Ubi merupakan makanan pokok pada masa itu dan
akan diolah menjadi gaplek. Desa Singget sebagai tempat tinggal Sumarni dan
membantu ibunya bekerja mengupas dan memotong ubi. Ia telah melihat hingar-
bingar kehidupan pasar, mulai dari para penjual yang berjualan beraneka ragam
barang dagangan, pembeli yang beragam status sosialnya, para kuli yang mondar-
mandir membawa belanjaan para pembeli, bahkan para preman pasar yang selalu
99
Universitas Sumatera Utara
Setelah pekerjaan mengupas ubi berakhir, maka Simbok pun menerima upah
dari pedagang tersebut berupa beberapa buah ubi. Sumarni menjadi sangat kecewa
melihat pembayaran atas keringatnya dan ibunya. Akan tetapi memang seperti ini
tradisi yang berlaku di pasar ini, pekerja perempuan dihargai dengan ubi dan
sebaliknya pekerja laki-laki dihargai dengan uang. Hal ini tentu saja dirasakan
Sumarni sebagai suatu ketidakadilan yang perlu diperangi. Apalagi seusia Sumarni
yang sudah layak memakai entrok (bahasa Jawa, artinya kutang). Sumarni sangat
memiliki ayah yang berprofesi pegawai telah memiliki minimal satu buah entrok.
Mulai saat itu Sumarni berjanji pada dirinya sendiri untuk menaikkan derajat
kehidupannya dan keluarganya. Ia pun tertarik untuk menjadi kuli di sebuah grosir
milik seorang Cina, meskipun cuma Sumarni satu-satunya kuli perempuan di Pasar
Ngranget. Setiap hari Ia lalui bersama Simbok di pasar yang memberikannya sedikit
demi sedikit uang, sehingga Ia pun dapat membeli entrok yang diinginkannya.
Cerita pun tidak berakhir sampai di sini. Disela-sela Sumarni bekerja sebagai
kuli, Ia pun menjalin hubungan dengan teman laki-lakinya yang berprofesi sama
dengannya, namanya Teja. Mereka lalu menikah dan hidup berkecukupan bersama
barang rumah tangga dan dikreditkannya kepada seluruh pembeli, sehingga banyak
dengan nasi. Tak lama kemudian Simbok meninggal dunia. Hari-hari yang dilalui
Sumarni pun menjadi sepi tanpa kehadiran Simbok. Akan tetapi hal ini tidak
berlangsung lama dalam kehidupan Sumarni dan Teja. Karena tak lama sepeninggal
Kehidupan ekonomi Sumarni semakin meningkat drastis, dan tentu saja hal ini
berdampak besar bagi Rahayu dan Teja. Sumarni mengembangkan usahanya dari
komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu juga sudah tidak lagi
mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Rahayu bersekolah di
tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai. Kemudian Rahayu juga
belajar mengaji sepulang sekolah. Memang semua ini adalah cita-cita Sumarni sejak
dulu agar nasibnya tidak terulang pada putrinya itu. Sumarni yang sepanjang
hidupnya bekerja keras demi mendapatkan sesuatu selalu mendapat masalah dengan
Suatu ketika Pak Guru Waji yang mengajar Rahayu di sekolahnya, meminjam
uang pada Sumarni. Pak Guru Waji merupakan guru agama yang dikagumi Rahayu
karena kepintarannya. Bukan hanya Pak Waji, bahkan hampir semua warga Desa
Singget mencari hutangan ke rumah ibu Rahayu tersebut. Lalu pada saat tanggal
penagihan hutang tiba, maka Sumarni pun berkeliling menagih satu per satu warga
Sumarni ketika ditagih olehnya. Ada yang dengan legowo membayar cicilannya, ada
yang tampak tidak senang terlihat dari parasnya walaupun akhirnya cicilan itu
dipenuhinya, ada juga yang memaki-maki Sumarni dengan sebutan “lintah darat”,
“penghisap darah”, dan sebagainya. Hal ini awalnya tidak diambil pusing oleh
kepadanya, malahan orang-orang itu yang memelas datang kepadanya agar dipinjami
Lontaran-lontaran negatif itu justru terucap dari Pak Waji ketika sedang
mengajar di kelas. Pak Waji secara terang-terangan mengatakan bahwa Ibu Rahayu
adalah rentenir yang suka menyiksa orang, lintah darat, dan lain sebagainya. Hal ini
tentu saja membuat Rahayu marah dan malu di hadapan teman-teman sekelasnya itu.
Setelah Rahayu pulang ke rumah, Ia menjadi sangat marah dan seketika meluapkan
emosinya kepada Ibunya, karena ucapan-ucapan negatif dari Pak Waji yang tidak bisa
diterimanya. Begitu juga dengan kebiasaan Ibunya di malam hari yang selalu duduk
dan merenung di bawah pohon depan rumahnya sambil memohon kepada “Mbah Ibu
Bumi Bapa Kuasa” yang diyakini Sumarni sebagai Tuhan Penguasa Alam. Sejak
kecil Sumarni diajarkan Simbok mengenai hal ini. Sumarni yang tak bisa baca, tak
pernah sekolah, tak bisa mengaji, selalu mengamalkan segala sesuatu yang diajarkan
Simbok kepadanya. Ditambah lagi dengan hadirnya sesajen di dalam kamar Sumarni
yang berisi tumpengan dan panggang yang ditujukan kepada para leluhur di setiap
tanggal kelahiran dan hari-hari tertentu. Sumarni dan almarhumah Simbok meyakini
di atas dijalankan.
Segala kebiasaan Ibunya tentu saja ditentang oleh Rahayu yang sangat
menjunjung tinggi ajaran-ajaran agama yang hakiki yang telah diperolehnya dari guru
Rahayu tumbuh menjadi seorang remaja yang beranjak dewasa. Ketika Rahayu telah
lulus SMA, maka Sumarni pun menganjurkan kepada putrinya itu agar melanjutkan
dengan berat hati Sumarni tetap memperbolehkan Rahayu hidup mandiri demi cita-
Tak lama setelah kepergian Rahayu, konflik demi konflik pun terjadi pada
kehidupan Sumarni. Meskipun usahanya berkembang pesat, akan tetapi tetap saja
kebahagiaan yang sejati sulit untuk diperolehnya, belum lagi Teja yang sering pulang
pagi. Sikap suaminya ini telah disadari Sumarni sebagai gejala-gejala perselingkuhan
mengumpulkan rejeki seorang diri, karena Teja yang semenjak menikah dengan
Sumarni adalah Teja yang hidup dari penghasilan sang istri semata. Sedangkan
kerinduan yang tulus selalu berdoa agar putri semata wayangnya itu senantiasa dalam
anak satu-satunya ini telah menemukan kekasihnya, yaitu seorang dosen yang
mengajarnya di universitas tempat Rahayu menimba ilmu. Dosen yang telah beristri
itu adalah Amri Hasan. Rahayu dan Amri beserta beberapa temannya bergabung
tentara, akan tetapi aksi mereka ditentang oleh pihak rektorat universitas, maka
mereka pun resmi dikeluarkan dan Amri dipecat. Kemudian Rahayu pun kembali ke
Doa restu pun diperoleh mereka dari kedua orang tua Rahayu meskipun ada
rasa kecewa yang amat dalam pada diri Sumarni. Kemudian mereka menikah dengan
bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik
Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran
Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren
pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah. Mereka akan
masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Sedangkan Ibu Rahayu belum sekalipun
mendapatkan kabar dari putrinya itu. Kesedihan dialami Sumarni untuk kesekian
kembali kepada ibunya di tengah-tengah duka yang dialami keluarganya. Rahayu kini
tidak lagi seperti Rahayu yang dulu. Kini Ia lebih pendiam dan sangat menurut
meramaikan rumahnya, juga ketika ibunya berdoa di depan rumah pada malam hari
Akan tetapi Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi
tanda di KTP, karena pada masa itu hal ini dianggap terlibat dalam PKI. Sehingga
orang yang telah masuk dalam kategori ini akan sulit diterima dalam masyarakat.
Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Sumarni. Kondisi
fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada
berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata
107