Anda di halaman 1dari 123

FORMASI IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK

KARYA OKKY MADASARI

TESIS

OLEH

PRINSI RIGITTA
097009009/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul “Formasi Ideologi dalam Novel Entrok Karya Okky
Madasari”; tesis ini memfokuskan analisis terhadap representasi realitas sosial yang
tergambar dalam sebuah karya sastra.
Tujuan disusunnya tesis ini adalah untuk melengkapi persyaratan
pemerolehan gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik: Konsentrasi
Analisis Wacana Kesusastraan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Dengan diselesaikannya tesis ini, peneliti berharap dapat memberikan suatu
kontribusi ilmu pengetahuan yang berharga dan bermanfaat, terutama dalam ranah
ilmu kesusastraan. Hasil penelitian diharapkan dapat mengilhami pemahaman
terhadap karya sastra terutama Cultural Studies, yakni sebagai cerminan isu-isu sosial
yang meliputi ideologi, politik dan kekuasaan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat; sehingga pada akhirnya dapat memposisikan karya sastra sebagai sarana
luapan ekspresi yang bersifat mendidik sekaligus mengintrospeksi dan memotivasi
pembacanya.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini belum dapat dikatakan
sempurna, dan juga belum sepenuhnya mampu menjawab keinginan pembaca;
melainkan merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan minat pengkajian
dan pendalaman ilmu kesusasteraan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya
kritik konstruktif ataupun ilham lainnya dari pembaca demi penyempurnaan
pembahasan di lain waktu.

Medan, September 2011

Penulis

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur dan sembah sujud penulis haturkan kepada Allah S.W.T. atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tak lupa dikumandangkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad
S.A.W. Perlu diketahui bahwa selama penulisan tesis ini, penulis memperoleh
bantuan dan motivasi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin sekali menyampaikan sebentuk ucapan terima kasih setulus hati.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin
Nasution, M.Si., yang berperan sebagai Pembimbing I. Selama masa bimbingan,
beliau selalu memberikan motivasi, arahan, kritik, saran, serta kesediaan waktu
ditengah-tengah kesibukannya yang sangat padat, sehingga dirasakan sangat
bermanfaat dalam penyelesaian tesis ini. Penulis memperoleh banyak pelajaran
berharga dari beliau, antara lain kedisiplinan, ketekunan, dan kemandirian. Beliau
juga dengan tulus meminjamkan beberapa referensi kepada penulis untuk mendukung
penyelesaian tesis ini.
Terima kasih dan rasa sayang saya kepada Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.,
yang berperan sebagai Pembimbing II. Beliau adalah sosok pembimbing sekaligus
Ibu bagi penulis, beliau selalu menyediakan waktunya ditengah-tengah kesibukannya
yang sangat padat untuk mendidik penulis dengan ilmu pengetahuan, referensi, dan
filosofi kehidupan yang sangat relevantif. Beliau senantiasa memberikan wejangan-
wejangan berharga kepada penulis, dan juga memotivasi penulis dengan nilai
kesabaran, etika, moral, dan konsistensi. Sungguh suatu hal yang tidak pernah
disangka penulis sebelumnya, bisa mendapat kesempatan menjadi mahasiswa
bimbingannya.
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral, material, spiritual, maupun ilham
selama penyelesaian tesis ini, terutama kepada:

Universitas Sumatera Utara


1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc., (CTM), Sp.A(K). selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE. selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. dan Ibu Dr. Nurlela, M.Hum. selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan segala kemudahan dalam penyelenggaraan
kegiatan akademik.
4. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. dan Ibu Dr. Rosmawaty, M.Pd. selaku penguji,
yang telah banyak memberikan koreksi bermanfaat.
5. Semua Dosen Program Studi Magister Linguistik dan Konsentrasi Analisis
Wacana Kesusastraan USU.
6. Kepada seluruh Staf Administrasi Program Studi Magister Linguistik Sekolah
Pascasarjana USU.
7. Kepada kedua orangtua saya. Ayahanda tercinta Ir. Syahril Dulman dan Ibunda
(Almh.) Hj. Trisnawati yang telah membuai, membesarkan, mendidik, dan
membina etika, moral, mental dan spiritual saya sebagai bekal menghadapi
kehidupan yang didasari oleh tanggung jawab dan reputasi baik. Kepada Ibunda
Nilawaty, yang turut mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatiannya.
8. Kepada Kakak-kakak tercinta, Ulfa Nadra, S.E, M.Si. dan Sucahyanto, S.T.,
M.M., Iqbal Reza, S.T. dan Vivi Ekayanti, S.T., Novel Faisal dan Yunita, Farid
Aulia, S.Sos., M.Si. dan Rahima Purba, S.E., M.Si., Dwi Bagus Gunawan, S.T.
dan Maslinda, S.S., yang selalu menstimulasi, membantu, menguatkan,
menghibur, dan mencerahkan saya selama proses penyelesaian tesis ini.
9. Kepada keponakan-keponakan tercinta, R. Alfito Satria Kamil, Rr. Jasmine
Tresna Sukmahani, Shiellsy Revioza Daulay, Fanny Nabila Putri Daulay, M.Wira
Daulay, Thariq Daulay, Arrafa Istiqlal Jauhari Daulay, Nabila, Zahra, dan
Camila. Generasi-generasi platinum ini telah menginspirasi saya untuk segera
merampungkan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


10. Sahabat-sahabat saya di AWK angkatan 2009/2010, Kak Ayu, Kak Elva, Kak
Isma, Kak Henni, Kak Erni, Yelly, Bang Riko, Anggi Daulay, dan Cito. Juga
rekan-rekan mahasiswa/i Magister Linguistik angkatan 2009/2010. Momen-
momen manis kebersamaan kita selamanya akan menjadi pengerat tali silaturahmi
kita.
11. Kepada tokoh-tokoh yang mengilhami penulis: Okky Madasari, Tenggina
Rahmad Siswadi, Antonio Gramsci, Louis Althusser, John Storey, dan Stuart
Hall.

Medan, September 2011


Penulis,

Prinsi Rigitta, S.S.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL
PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING
PANITIA PENGUJI
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
DAFTAR BAGAN............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
ABSTRAK ......................................................................................................... xi
ABSTRACT ........................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah........................................................................ 8
1.3 Rumusan Masalah ..................................................................... 9
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 10
1.5.1 Manfaat Teoritis .............................................................. 10
1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................... 11

Universitas Sumatera Utara


BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN
KONSEP .......................................................................................... 12
2.1 Kajian Pustaka.......................................................................... 12
2.2 Landasan Teoretis ..................................................................... 15
2.2.1 Cultural Studies............................................................... 16
2.2.2 Teori Hegemoni .............................................................. 18
2.3 Konsep....................................................................................... 21
2.3.1 Formasi............................................................................ 21
2.3.2 Ideologi ........................................................................... 22
2.3.3 Politik .............................................................................. 24
2.3.4 Kekuasaan ....................................................................... 25
2.3.5 Postrukturalisme.............................................................. 25
2.3.6 Representasi .................................................................... 26

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 28


3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data .................................... 28
3.2 Teknik Analisis Data................................................................. 30
3.3 Data dan Sumber Data .............................................................. 32
3.3.1 Sumber Data Primer........................................................ 32
3.3.2 Sumber Data Sekunder.................................................... 33
3.4 Model Penelitian ....................................................................... 33

BAB IV FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOGI


INSTITUSI PUBLIK DALAM NOVEL ENTROK..................... 36
4.1 Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik ................. 36
4.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi
Institusi Publik .......................................................................... 56
4.2.1 Tokoh-tokoh Publik dalam Novel Entrok ....................... 56
4.2.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Para Tokoh ......................... 57

Universitas Sumatera Utara


4.3 Kelompok Ideologi ................................................................... 59

BAB V POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN


DENGAN IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK .................. 66
5.1 Ideologi dalam Novel Entrok .................................................... 66
5.2 Politik dan Kekuasaan............................................................... 68

BAB VI PENGARUH POLITIK DAN KEKUASAAN YANG


BERKAITAN DENGAN IDEOLOGI PARA TOKOH
DALAM NOVEL ENTROK .......................................................... 75
6.1 ......................................................................................... Kekuas
aan Pemerintah Orde Baru ........................................................ 75
6.2 ......................................................................................... Kekuas
aan Kaum Militer ...................................................................... 78
6.3 ......................................................................................... Kekuas
aan Partai Politik ....................................................................... 85
6.4 ......................................................................................... Doktrin
asi Ideologi ................................................................................ 89

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN............................................................. 92


7.1 ......................................................................................... Simpula
n................................................................................................. 92
7.2 ......................................................................................... Saran
................................................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 95

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1 Kelompok Ideologi Para Tokoh dalam Novel Entrok ........................ 64
Tabel 4.2 Negosiasi Ideologi ............................................................................. 65

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 1. Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif ........................................ 31
Bagan 2. Sifat-sifat Formasi ............................................................................... 58
Bagan 3. Penguasaan Legislatif Melalui Sentralisasi Kekuasaan Pada
Presiden Masa Orde Baru .................................................................. 88

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto dan Biografi Okky Madasari ................................................. 98


Lampiran 2. Sinopsis Novel Entrok Karya Okky Madasari .............................. 99
Lampiran 3. Kulit Sampul Novel Entrok Karya Okky Madasari ....................... 106
Lampiran 4. Kulit Sampul Buku-Buku Acuan.................................................... 107

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi


institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan
ideologi serta menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan
ideologi. Ketiga hal tersebut dibahas melalui pendekatan cultural studies dan
berdasarkan teori Hegemoni Gramsci serta konsep Ideologi Althusser, sehingga dapat
diperoleh hubungan antara politik, kekuasaan, dan ideologi dalam novel Entrok.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian adalah novel Entrok karya Okky Madasari dan sejumlah buku
acuan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data, dan
metode membaca heuristik dan hermeneutik. Teknik analisis data dilakukan dengan
strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk
mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh ideologi-ideologi masing-masing tokoh
dan tokoh-tokoh institusi publik yang saling bertentangan sehingga menimbulkan
pergolakan akibat tidak adanya konsensus di antara keduanya. Untuk mengatasi hal
itu, maka diadakanlah negosiasi antara ideologi yang dianut tokoh-tokoh dan tokoh-
tokoh institusi publik, sehingga segala konflik yang muncul dapat diatasi. Hal ini
menumbuhkan kesadaran masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran publik.

Kata-kata kunci : Ideologi, cultural studies, konsensus, aparatus, represif,


otoriterisme, militeristik.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and
the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the
ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the
ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based
on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that
the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The
method of research used is Qualitative Descriptive method.
The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books
of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes
on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of
data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis
used to reveal, understand, and catch the message of literary work.
The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character
and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of
consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the
characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all
conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and
becomes public learning.

Keywords : Ideology, cultural studies, consensus, apparatus, repressive, otoriterism,


militaristic.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi


institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan
ideologi serta menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan
ideologi. Ketiga hal tersebut dibahas melalui pendekatan cultural studies dan
berdasarkan teori Hegemoni Gramsci serta konsep Ideologi Althusser, sehingga dapat
diperoleh hubungan antara politik, kekuasaan, dan ideologi dalam novel Entrok.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode Deskriptif Kualitatif.
Data penelitian adalah novel Entrok karya Okky Madasari dan sejumlah buku
acuan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data, dan
metode membaca heuristik dan hermeneutik. Teknik analisis data dilakukan dengan
strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk
mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh ideologi-ideologi masing-masing tokoh
dan tokoh-tokoh institusi publik yang saling bertentangan sehingga menimbulkan
pergolakan akibat tidak adanya konsensus di antara keduanya. Untuk mengatasi hal
itu, maka diadakanlah negosiasi antara ideologi yang dianut tokoh-tokoh dan tokoh-
tokoh institusi publik, sehingga segala konflik yang muncul dapat diatasi. Hal ini
menumbuhkan kesadaran masyarakat sekaligus menjadi pembelajaran publik.

Kata-kata kunci : Ideologi, cultural studies, konsensus, aparatus, represif,


otoriterisme, militeristik.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

The purpose of this research is to formate the ideology of the characters and
the ideology of public institution, to describe power and politic concerning with the
ideologies and to analyze the influence of power and politic concerning with the
ideologies. The three subjects are discussed with cultural studies approach and based
on Gramsci’s theory of Hegemony as well as Althusser’s concept of Ideology, so that
the relation among politic, power, and ideology in the novel Entrok can be found. The
method of research used is Qualitative Descriptive method.
The data of research are Entrok, a novel by Okky Madasari, and some books
of reference. The technique of collecting data is done by the technique of taking notes
on data card, and the method of heuristic and hermeneutic reading. The technique of
data analysis is done by the strategy of content analysis, which is the type of analysis
used to reveal, understand, and catch the message of literary work.
The result of analysis finds that the contradicting ideologies of each character
and the characters of public institution cause upheaval as a result of the absence of
consensus between both of them. Therefore a negotiation between the ideology of the
characters and the ideology of the characters of public institution is held so that all
conflicts that happen can be solved. This thing grows the public awareness and
becomes public learning.

Keywords : Ideology, cultural studies, consensus, apparatus, repressive, otoriterism,


militaristic.

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang

hidup di alam semesta ini atau segala sesuatu yang ditemukan pengarang yang

dianggap menarik dan layak untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Oleh karena

adanya pengalaman hidup yang dialami pengarang atau hal-hal hidup yang menarik

yang pernah dijumpai pengarang dalam bersosialisasi dengan individu lainnya, maka

karya sastra menjadi satu kesatuan yang utuh jika dipasangkan dengan masyarakat

serta kebudayaan yang terlahir di dalamnya.

Karya sastra sebagai cerminan dari perilaku kehidupan manusia, tentunya

tidak akan pernah lepas dari rekaman peristiwa-peristiwa kebudayaan di dalam hidup

manusia. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan kebudayaan itu sendiri, yakni

memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta

sosial, dan manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005: 14). Sastra dan

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan adalah multidisiplin yang secara terus-menerus menelusuri model

antarhubungan keduanya, sehingga makna karya sastra secara terus-menerus dapat

ditafsirkan.

Karya sastra adalah pengungkapan sebuah sistem kultural yang tersimpan

pada suatu bangsa. Hal ini didasarkan atas pentingnya peranan karya sastra itu sendiri

dan bahasa yang ada di dalamnya. Pengungkapan sistem kultural di dalam karya
1
sastra meliputi aspek-aspek kebudayaan yang sama sekali tidak bisa dipahami jika

terpisah dari gejala yang lain. Karya sastra yang menyajikan permasalahan

kebudayaan di dalamnya mempunyai sebuah bagian integral yang menceritakan

berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, dan sekaligus masuk akal.

Permasalahan budaya di dalam karya sastra senantiasa memaparkan persoalan antara

karya sastra dan manusia sebagai penghasil kebudayaan, dalam hubungan ini manusia

yang dimaksudkan adalah tokoh-tokoh dalam karya sastra.

Apabila dilihat dari relevansi sastra terhadap eksistensi kebudayaan dan

sumbangan yang dapat diberikan sastra terhadap pemahaman aspek-aspek

kebudayaan, khususnya kebudayaan kontemporer, maka model hubungan ini

mengacu pada cultural studies. Hal ini didasarkan pada hakikat sastra dan

kebudayaan, yang pada umumnya berbeda, kebudayaan memiliki hakikat objektif

empiris sedangkan karya sastra memiliki hakikat subjektif imajinatif.

Menurut Hutcheon (Ratna, 2005: 13) postmodernisme dan cultural studies,

meskipun secara umum didefinisikan sebagai kajian yang mempelajari seluruh

aktivitas kemanusiaan, tetapi apabila dilihat sejarah kelahirannya, yaitu di Inggris,

Universitas Sumatera Utara


diawali dengan perdebatan mengenai sastra, khususnya perbedaan sastra tinggi

dengan sastra kelas pekerja. Milner (Ratna, 2005: 13-14) juga menambahkan, pada

dasarnya cultural studies merupakan pergeseran sosiologis, sebagai pergeseran

paradigma dari penelitian sastra yang memberikan perhatian pada kualitas estetis,

karya sastra yang tidak terkait dengan ruang dan waktu ke penelitian sastra sebagai

konstruksi sosial. Pendekatan cultural studies merupakan teori dan kritik dalam

kesusastraan Inggris kontemporer yang menekankan peran penting intelektual dan

bersifat emansipatoris (Klarer, 1999).

Williams (Siswadi, 2010) mengungkapkan tiga kategori dalam

mendefinisikan kebudayaan. Pertama, kebudayaan merupakan proses atau ketetapan

manusia yang sempurna pada bagian kebenaran tertentu atau nilai-nilai universal.

Proses ini merupakan penemuan dan gambaran di dalam kehidupan dan pekerjaan

dari semua nilai. Kedua, kebudayaan diartikan sebagai manusia yang bekerja dengan

intelektualitas, daya khayal, ide, dan pengalaman yang bermacam-macam dalam

ingatan mereka. Kegiatan kritik berlangsung secara alami, gagasan dan pengalaman

digambarkan serta dinilai. Ketiga, kebudayaan merupakan gambaran perjalanan fakta

kehidupan yang diungkapkan dengan makna pasti dan nilai, tidak hanya dalam seni

dan belajar tetapi juga dalam institusi dan tingkah laku yang luar biasa. Selanjutnya

juga dipaparkan mengenai pembedaan kebudayaan mencakup kebudayaan tinggi

(high culture) dan kebudayaan populer (popular culture) sebagai ranah cultural

studies karena masing-masing kebudayaan tersebut memiliki ciri-ciri yang

membedakannya. Kebudayaan tinggi berasal atau diciptakan oleh para petinggi atau

Universitas Sumatera Utara


pejabat (dahulu kerajaan atau keraton), sedangkan kebudayaan populer berasal dari

rakyat biasa. Kebudayaan tinggi tentu saja hanya dapat dinikmati oleh para petinggi

di keraton saja (sekarang, masyarakat lapisan atas), sedangkan kebudayaan populer

dapat dinikmati secara massal oleh masyarakat.

Kebudayaan tinggi senantiasa dipenuhi oleh orang-orang khusus dan pilihan,

juga biaya yang diperlukan tidak sedikit, kebudayaan ini cenderung mewah dan

bersifat sakral serta penciptaannya tidak bertujuan komersial. Sebaliknya kebudayaan

populer senantiasa bersifat sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang besar,

kebudayaan ini dilakukan dan dinikmati oleh rakyat biasa, dan penciptaan

kebudayaan ini bertujuan komersial.

Siswadi (2010) memaparkan bahwa kebudayaan populer dihasilkan dari

masyarakat modern (kapitalisme dan demokrasi). Kebudayaan ini tidak sekadar

dianggap sebagai seni, tetapi juga sebagai barang komoditi yang mampu

menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini disebabkan karena sifat universal yang

dimiliki oleh kebudayaan populer. Sejalan dengan hal tersebut maka muncul

anggapan bahwa konstruksi sastra merupakan bagian dari industri budaya dan telah

mengkhawatirkan kalangan kritikus sastra, karena penciptaan sastra berbasis pada

logika industri. Karya sastra atau produk-produk kebudayaan lainnya, tidak dapat

disamakan dengan barang-barang industri. Akan tetapi logika industri itu sedikit

banyak ikut mempengaruhi perkembangan strategi, bentuk, gaya, dan kandungan isi

karya-karya sastra. Tekanan agar karya sastra dapat diterima, diapresiasi, dipahami,

dan dikonsumsi oleh massa yang luas agar memaksimalkan keuntungan ekonomi,

Universitas Sumatera Utara


telah mendorong ke arah bentuk-bentuk sastra yang disesuaikan dengan selera massa

itu sendiri.

Selanjutnya Siswadi (2010) juga mengemukakan bahwa kebudayaan populer

menghasilkan karya sastra yang bergenre sastra populer. Sastra populer lahir dari

semangat kebudayaan populer, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Sastra

populer merupakan sebuah situs ideologi, sebab semua elemen dalam teks sastra

(meliputi elemen material, elemen kesadaran, elemen solidaritas-identitas, dan

elemen kebebasan) merupakan representasi ideologi yang melekat pada setiap elemen

tersebut. Sastra populer sebagai salah satu wujud dari fiksi populer, telah berhasil

mentransmisikan ideologi dominan dari industri-industri budaya kepada massa yang

dikorbankan dan termanipulasi. Menurut Storey (Siswadi, 2010), ideologi itu sendiri

adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia, yang mempunyai

pengikut. Ideologi bersifat kolektif dan berada di wilayah superstruktur atau

kesadaran dan menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang, lembaga-lembaga

pemerintah, institusi pendidikan, organisasi-organisasi, perusahaan komersial, dan

lain-lain. Sastra populer memiliki ciri yang khas yang membedakannya dengan apa

yang dianggap sastra tinggi, seperti mengharamkan makna ganda, menghindari

kerumitan dengan cara penyelesaian masalah dengan mudah, penokohan stereotip

dengan sistem bintang, dan sebagainya.

Salah satu karya sastra populer yang saat ini sedang banyak diperbincangkan

dan dinikmati masyarakat adalah novel Entrok karya Okky Madasari. Novel Entrok

terbit pada April 2010 di Jakarta. Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan

Universitas Sumatera Utara


karya pertamanya dalam dunia kreativitasnya. Novel ini berlatar waktu dan tempat,

pada tahun 1950-1999 di sekitar daerah Madiun. Novel ini diterbitkan untuk

memperingati hari Kartini 21 April 2010 lalu, bersama beberapa novel lainnya. Novel

ini menceritakan perjalanan hidup dua wanita di masa-masa sulit dan penuh

pergolakan. Namun yang lebih menarik adalah beberapa tema besar yang khas yang

menyatu dan mengalir bersama dengan wajar dalam novel ini, seperti tema

perempuan, politik, profesi, dan kepercayaan serta agama. Novel ini juga

memaparkan ketimpangan-ketimpangan sosial yang kerap terjadi pada masa Orde

Baru. Pada masa kepemimpinan Soeharto diceritakan dalam novel ini berkisar antara

tahun 1950 sampai 1999. Peristiwa yang mendominasi alur penceritaan dalam novel

ini adalah kekuasaan kaum militer yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat

lemah dan mengakibatkan doktrinasi ideologi terhadap masyarakat di dalam novel

tersebut.

Di samping itu juga ditemukan kekuasaan partai politik dominan yang

memengaruhi kehidupan sosial dalam novel Entrok. Sejalan dengan realitas sosial

yang terdapat dalam novel, maka dapat dirujuk pada fakta sosial yang pernah terjadi

sekitar tahun 1966 sampai 1998. Masa ini adalah masa pemerintahan Presiden

Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama di bawah kepemimpinan

Soekarno. Pada masa Soeharto ditemukan banyak ketimpangan sosial, seperti realitas

sosial yang kerap dijumpai dalam novel Entrok.

Ketimpangan sosial pada era Orde Baru dapat dilihat melalui beberapa fakta

sosial. Pertama, peristiwa Malari yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru melalui

Universitas Sumatera Utara


tindakan kerasnya yang pertama terhadap mahasiswa dan politisi sipil yang

sebelumnya telah menjadi penyokong utama rezim Orde Baru. Tindakan

penangkapan dan pengadilan yang dilakukan dalam kaitan dengan Malari dilakukan

pula dalam kerangka “penyingkiran lawan politik” (Fatah, 2010: 199). Kedua, peran

militer yang semakin meningkat, padahal tidak pernah terjadi sebelumnya dalam

politik dan administrasi negara, dan seusai pembubaran parlemen untuk pertama

kalinya militer duduk dengan jumlah yang tidak tanggung-tanggung sebanyak 35

orang dalam parlemen yang anggotanya 283 orang, jadi 12% untuk pertama kalinya

sejak proklamasi kemerdekaan di dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan

dengan pekerjaan militer. Sebuah proses yang dapat dikatakan state-corporatism

sudah mulai berjalan sejak itu, ketika suatu sistem perwakilan dibuat di mana militer

mewakili dirinya di dalam suatu parlemen. Di bidang administrasi negara jumlah

militer aktif mulai mengambil tempat di dalam badan eksekutif di dalam

pemerintahan daerah seiring dengan menguatnya pusat dan perlahan-lahan

melenyapnya otonomi daerah (Dhakidae, 2003: 243). Ketiga, peristiwa penembakan

massal rakyat Timor Timur di Santa Cruz yang dilakukan oleh militer (Dhakidae,

2003: 279). Keempat, adanya politik etnisitas seperti superioritas kebudayaan Jawa

yang dimasukkan ke dalam politik Orde Baru, serta pelarangan terhadap bahasa Cina

dan serpihan-serpihan kebudayaan Cina yang dipaksakan ke dalam politiknya melalui

birokrasi sipil dan militer hanya dimungkinkan oleh kekerasan (Dhakidae, 2003:

288). Berdasarkan fakta sosial di atas, penulis didorong untuk menelusuri jejak fakta

sosial yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok. Oleh sebab itu

Universitas Sumatera Utara


ideologi-ideologi yang terdapat di dalam novel ini menjadikannya sebuah situs yang

menarik bagi penulis untuk mengkajinya.

Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan perwujudan dari sastra

populer. Novel ini juga mengandung produk ideologi tokoh-tokoh dan industri di

dalamnya. Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada ideologi yang muncul

dari para tokoh dan industri, politik, dan kekuasaan dalam novel Entrok. Ketiga aspek

ini merupakan isu yang fundamental dalam ranah cultural studies. Cultural studies

juga menyentralkan budaya pop dalam kajiannya. Budaya pop secara gamblang

dideskripsikan dalam novel Entrok karya Okky Madasari.

1.2 Batasan Masalah

Karya sastra mengandung berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia.

Dengan kalimat lain, karya sastra merupakan kompleksitas dalam kehidupan

manusia. Di dalamnya tertuang berbagai bentuk kehidupan manusia. Untuk

membahas permasalahan yang bersifat kompleks dalam sebuah karya sastra,

diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan yang ingin

dicapai.

Berdasarkan judul penelitian ini, masalah dibatasi dengan hanya

memformasikan (membuat suatu susunan dengan hubungan yang bersifat

bertentangan, korelatif, dan subordinatif) ideologi-ideologi yang lahir dari para tokoh

dan institusi publik, mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang terdapat dalam

novel, dan mengkaji pengaruh ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap para tokoh.

Universitas Sumatera Utara


Pada akhirnya, semua ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah deskripsi

yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel

Entrok.

1.3 Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana formasi ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam

novel Entrok karya Okky Madasari?

2. Bagaimana pendeskripsian politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan

ideologi dalam novel Entrok?

3. Bagaimana pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi

terhadap tokoh-tokoh dalam novel Entrok?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian tesis adalah sebagai berikut:

1. Memformasikan ideologi tokoh-tokoh dan ideologi institusi publik dalam

novel Entrok.

2. Mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi

dalam novel Entrok.

3. Menganalisis pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi

terhadap para tokoh dalam novel Entrok.

Universitas Sumatera Utara


1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan penelitian

mengenai Kesusastraan Indonesia, dan selanjutnya dapat membantu

penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pembahasan tentang Cultural

Studies, Budaya Populer, dan novel-novel karya Okky Madasari.

2. Diharapkan mampu berkontribusi dalam pengembangan keilmuan, khususnya

mengenai kajian Postrukturalisme.

3. Penelitian ini diharapkan mampu mengilhami sastrawan dan pengarang

Indonesia untuk mengangkat tema-tema yang menceritakan tentang realitas

sosial masyarakat sebagai media perlawanan.

Universitas Sumatera Utara


1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian antara lain, sebagai berikut:

1. Memberikan edukasi publik untuk memahami bagaimana isu-isu sosial,

ideologi, politik, dan kekuasaan yang digambarkan dalam sebuah novel dapat

bertujuan emansipatoris demi meningkatkan mutu kehidupan manusia.

2. Memberikan kontribusi terhadap masyarakat dan pemerintah mengenai

sejarah bangsa Indonesia pada masa Orde Baru.

3. Menstimulasi dan memperkaya khazanah Kesusastraan Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIK, DAN KONSEP

Dalam melakukan penelitian yang bersifat ilmiah, tentunya tidak terlepas dari

peran kajian pustaka, kerangka teoretik, dan konsep yang dijadikan pegangan atau

pedoman dalam memecahkan permasalahan yang diangkat.

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa kajian pustaka yaitu penelitian yang terkait dengan judul ini

dikemukakan sebagai berikut:

1. Tesis Universitas Diponegoro oleh Akhlis Purnomo yang

berjudul Pandangan Para Tokoh Utama dalam Novel A Bird Named Enza

Karya Dawn Meier Mengenai American Dream: Sebuah Pendekatan

Sosiologi Sastra (2009). Pada penelitian ini dibahas pandangan mengenai

American Dream dalam novel A Bird Named Enza. Pandangan American

Dream dibahas menurut tokoh-tokoh utama secara bervariasi tetapi

memiliki kesamaan, yaitu memiliki keinginan kuat dalam mewujudkan

Universitas Sumatera Utara


kehidupan yang lebih baik di Lemmon dengan semangat khas American

Dream yaitu liberty, equality, dan prosperity.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu

keduanya membahas masalah ideologi tokoh-tokoh yang berkaitan dengan

wilayah praktik sosial berlangsung. Sedangkan perbedaan antara penelitian di

atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas ideologi
12
tokoh-tokoh dan institusi publik dalam novel Entrok secara bervariasi dan

bertentangan, seperti ideologi Marni sebagai tokoh ibu bertentangan dengan

ideologi Rahayu sebagai tokoh anak.

2. Tesis Universitas Sumatera Utara oleh Bima Pranachitra yang

berjudul Representasi Byronic Hero dalam Novel Mary Shelley

Frankenstein Karya Mary Shelley (2010). Pada penelitian ini dibahas

mengenai penokohan Byronic Hero dan representasinya terhadap konteks

sosial, politik, dan budaya masyarakat dalam novel Mary Shelley

Frankenstein.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu

keduanya menggunakan konsep Postrukturalisme dalam penelitiannya

masing-masing. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian

ini, yaitu dalam penelitian ini penulis membahas formasi ideologi,

mendeskripsikan politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi, serta

mengkaji pengaruh politik dan kekuasaan yang berkaitan dengan ideologi

dalam novel Entrok.

Universitas Sumatera Utara


3. Jurnal Studi Islam dan Budaya: “Relasi Formatif Hegemoni

Gramsci dalam Novel Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer” oleh

Heru Kurniawan (2007). Pada penelitian ini dibahas pertentangan antara

ideologi nasionalisme humanisme dan ideologi priyayi yang muncul dari

hegemoni pemerintah kolonial Belanda di Indonesia yang terdapat dalam

novel Perburuan.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu

keduanya menggunakan teori hegemoni Gramsci dalam menganalisis objek

penelitian. Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini,

yaitu dalam penelitian ini penulis membahas pertentangan antara ideologi

yang lahir dari masyarakat Jawa abangan di Magetan dan ideologi yang

muncul dari hegemoni kaum militer pada masa Orde Baru di Indonesia,

keduanya terdapat dalam novel Entrok.

4. Penelitian essay Tenggina Rahmad Siswadi yang berjudul

Perang Ideologi dalam Novel Entrok: Kajian Sastra Populer dan

Hegemoni Gramsci (2010). Pada penelitian ini dibahas formasi dan

negosiasi ideologi dalam novel Entrok.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu

keduanya menganalisis novel Entrok sebagai objek penelitian dan

menggunakan teori hegemoni Gramsci dalam menganalisis novel tersebut.

Sedangkan perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam

penelitian ini penulis membahas formasi ideologi, mendeskripsikan politik

Universitas Sumatera Utara


dan kekuasaan yang terdapat dalam novel Entrok serta mengkaji pengaruh

ideologi, politik, dan kekuasaan terhadap tokoh-tokoh dalam novel. Di

samping itu juga teori yang digunakan dalam menganalisis objek penelitian

adalah teori hegemoni Gramsci dan teori ideologi Althusser.

5. Penelitian essay Apsanti Djokosujatno yang berjudul Entrok:

Sebuah Novel Multifaset (2010). Pada penelitian ini dibahas tema-tema

yang dimunculkan dari novel Entrok, seperti tema perempuan, politik,

profesi, dan kepercayaan serta agama.

Penelitian di atas memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu

keduanya menganalisis novel Entrok sebagai objek penelitian. Sedangkan

perbedaan antara penelitian di atas dan penelitian ini, yaitu dalam penelitian

ini penulis mengedepankan salah satu tema, yakni politik, yang berhubungan

dengan perubahan kebijakan pemerintah yang semakin lama cenderung pada

militer, menjadikan militer semakin berkuasa dan bertindak sewenang-

wenang semenjak PKI dihancurkan. Hal ini melahirkan hegemoni dengan

ideologi-ideologi tertentu.

2.2 Landasan Teoretis

Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu memecahkan

masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih memahami serta melakukan

pembatasan dalam rangka menjawab setiap permasalahan yang timbul. Sebelum

Universitas Sumatera Utara


dilakukan penelitian, peneliti sudah mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau

bayangan tentang apa yang akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.

Sesuai dengan format penelitian yang dibuat dalam desain deskriptif-

kualitatif, maka digunakan beberapa teori yang dimaksudkan sebagai pijakan.

2.2.1 Cultural Studies

Menurut Hall (Barker, 2009: 6), pendekatan cultural studies merupakan suatu

pembentukan wacana, yaitu kluster (atau bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan

praktik-praktik, yang menyediakan cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas

sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat. Cara-cara tersebut dapat

berbentuk pengetahuan dan tindakan yang terkait dengannya.

Cultural studies adalah satu teori yang dibangun oleh para pemikir yang

memandang produksi pengetahuan teoretis sebagai praktik politik. Di sini,

pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal

posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa.

Cultural studies dibangun oleh suatu cara berbicara yang tertata perihal objek-objek

(yang dibawanya sebagai permasalahan) dan yang berkumpul di sekitar konsep-

konsep kunci, gagasan-gagasan dan pokok-pokok perhatian. Selain itu, cultural

studies memiliki suatu momen ketika dia menamai dirinya sendiri, meskipun

penamaan itu hanya menandai penggalan atau kilasan dari suatu proyek intelektual

yang terus berubah (Barker, 2009: 6).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Hall (Storey, 2010: 2) cultural studies mengandung wacana yang

berlipat ganda; merupakan seperangkat formasi; ia merekam momen-momen di masa

lalu dan kondisi krisisnya (conjuncture) sendiri yang berbeda. Cultural studies

mencakup pelbagai jenis karya yang berbeda; senantiasa merupakan seperangkat

formasi yang tidak stabil; mempunyai banyak lintasan; kebanyakan orang telah

mengambil posisi teoretis yang berbeda, kesemuanya teguh pada pendiriannya.

Storey (2010: 1) mengatakan bahwa cultural studies bukanlah sekumpulan teori dan

metode yang monolitik.

Cultural studies merupakan wacana yang membentang, yang merespons

kondisi politik dan historis yang berubah dan selalu ditandai dengan perdebatan,

ketidaksetujuan, dan intervensi. Cultural studies juga menganggap budaya itu bersifat

politis dalam pengertian yang sangat spesifik, yaitu sebagai ranah konflik dan

pergumulan. Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis

ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang

didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan

estetis (seni tinggi); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang

sama-sama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual,

spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari.

Inilah definisi budaya yang bisa mencakup dua definisi sebelumnya; selain itu, dan

ini sangat penting, melibatkan kajian budaya pop bisa bergerak melampaui

eksklusivitas sosial dan sempitnya definisi budaya ini (Storey, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Bennett (Barker, 2009: 8) memaparkan bahwa cultural studies adalah suatu

arena interdisipliner di mana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif

dapat digunakan untuk menguji hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Bentuk-

bentuk kekuasaan yang dieksplorasi oleh cultural studies beragam, termasuk gender,

ras, kelas, kolonialisme, dan lain-lain. Cultural studies berusaha mengeksplorasi

hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan ini dan berusaha mengembangkan cara

berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah

agen dalam upayanya melakukan perubahan.

Cultural studies dilihat sebagai situs penting bagi produksi dan reproduksi

hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Storey (2010: 3), elaborasi

yang sangat bagus mengenai cara melihat budaya ini barangkali datang dari Stuart

Hall, yang menggambarkan budaya pop sebagai sebuah arena konsensus dan

resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah di

mana hegemoni berlangsung.

2.2.2 Teori Hegemoni

Sugiono (2006: 31) mengemukakan bahwa teori hegemoni Gramsci adalah

sebuah teori politik paling penting abad XX. Teori ini dibangun di atas premis

pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial

politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak

hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma

penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi

Universitas Sumatera Utara


mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan hegemoni atau menguasai dengan

kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual.

Selanjutnya pandangan Gramsci (Sugiono, 2006: 34-35) menjelaskan bahwa

mengenai pentingnya kepemimpinan kultural ini membuatnya mempertimbangkan

kembali konsep “suprastruktur” Marxian. Tetapi bukannya memandang suprastruktur

sebagai sebuah epifenomena semata, yakni refleksi semata dari elemen ekonomi sub /

struktur, ia justru mengkarakterisasi suprastruktur sebagai penting dengan sendirinya.

Ia memilah pengertian suprastruktur menjadi “dua level struktur utama”: tingkat

pertama ia sebut “masyarakat sipil,” lainnya adalah “masyarakat politik” atau

“negara”. Dalam konsepsi Gramsci “masyarakat sipil” mencakup seluruh aparatus

transmisi yang lazim disebut “swasta” seperti universitas, sekolah, media massa,

gereja dan lain sebagainya. Karena aparatus-aparatus tersebut memainkan peran

sangat signifikan dalam membentuk kesadaran massa, maka kemampuan kelompok(-

kelompok) berkuasa dalam melestarikan kontrol sosial dan politiknya atas kelompok-

kelompok lain sepenuhnya bergantung pada kemampuannya mengontrol aparatus-

aparatus tadi. Yang dimaksud Gramsci dengan “masyarakat politik,” sebaliknya,

adalah semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan

“perintah”. Termasuk dalam kategori ini, masyarakat politik mengacu pada, antara

lain, institusi seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintah. Dengan

kata lain, hal itu menunjuk pada semua institusi yang biasa disebut sebagai negara

dan, memang demikian halnya, pada beberapa bagian Prison Notebooks Gramsci

mempersamakan masyarakat politik dengan negara.

Universitas Sumatera Utara


Mengikuti konsepsi di atas, Gramsci (Sugiono, 2006: 36) mendefinisikan

negara sebagai persamaan dari masyarakat politik plus masyarakat sipil atau memakai

rumusannya sendiri: “negara= masyarakat politik + masyarakat sipil, dengan kata lain

hegemoni dilindungi oleh baju besi koersi. Patria dan Andi Arief (2003: 32)

mengatakan bahwa hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang

situasi sosial-politik, dalam terminologinya disebut momen dimana filsafat dan

praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan

konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan

manifestasi perorangan. Pengaruh dari spirit ini berbentuk moralitas, adat, religi,

prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni

selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai klas diktator.

Harjito (Siswadi, 2010) menjelaskan bahwa terdapat empat hal yang

ditonjolkan dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama,

Gramsci berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi.

Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok

dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global untuk mendapatkan kontrol

ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial

harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas,

Gramsci menyatakan bahwa untuk menjadi kelompok dominan, kelompok harus

mewakili kepentingan. Kelompok dominan harus berkoordinasi, memperluas, dan

mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok

subaltern. Menurut Loomba (Ratna, 2005: 189-190), subaltern merupakan sebutan

Universitas Sumatera Utara


bagi kolektif yang terdiri atas orang-orang tertindas serta kelompok yang didominasi,

dieksploitasi, dan kurang memiliki kesadaran kelas. Selanjutnya Harjito (Siswadi,

2010) menjelaskan pandangan Gramsci berikutnya. Keempat, Gramsci berpandangan

bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur. Seni diletakkan dalam upaya

pembentukan hegemoni dan budaya baru. Seni membawa ideologi atau superstruktur

yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi tersebut merupakan

wujud counter-hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang

dipertahankan anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan

kehendak Tuhan atau produk alam.

2.3 Konsep

Pada bagian ini, peneliti akan memaparkan konsep yang digunakan dalam

penelitian, antara lain: (1) Formasi, (2) Ideologi, (3) Politik, (4) Kekuasaan, (5)

Postrukturalisme, dan (6) Representasi.

2.3.1 Formasi

Harjito (Siswadi, 2010) menyatakan bahwa formasi merupakan suatu susunan

dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif, dan subordinatif. Formasi

ideologi tidak hanya membahas ideologi apa saja yang terdapat dalam teks, akan

tetapi juga membahas bagaimana relasi antar ideologi tersebut. Menurut Storey

(Siswadi, 2010), formasi ideologi dapat ditelusuri melalui elemen material, kemudian

dikaji lebih lanjut pada hal-hal yang berkaitan dengan elemen kesadaran, elemen

Universitas Sumatera Utara


solidaritas-identitas, dan elemen kebebasan. Keempat elemen tidak harus muncul

bersamaan. Elemen yang harus muncul adalah elemen material, yang berwujud

berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup

kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung.

2.3.2 Ideologi

Menurut Althusser (2010: 39), ideologi adalah sebuah representasi relasi

individu-individu imajiner pada kondisi nyata dari eksistensinya. Terjadinya

transposisi imajiner atas kondisi-kondisi eksistensi nyata disebabkan oleh eksistensi

dari sejumlah kecil manusia sinis yang mengandalkan representasi dunia yang

dipalsukan yang diimajinalisasikannya demi dominasi dan eksploitasi terhadap

rakyat, sehingga sanggup memperbudak kecerdasannya dengan mendominasi

imajinasi.

Selanjutnya Althusser (2010: 51) juga menjelaskan bahwa ideologi bertindak

atau berfungsi dengan suatu cara yang merekrut subjek-subjek di antara individu-

individu (ideologi merekrut mereka semua), atau mengubah individu-individu

menjadi subjek-subjek (ideologi mengubah mereka semua) melalui operasi yang

sangat presisi, yang dinamakan interpelasi. Individu diinterpelasi sebagai suatu

subjek (bebas) agar ia dapat taat sepenuhnya pada perintah-perintah Subjek, yakni

agar dia dapat (sepenuhnya) menerima ketaatannya, agar dia membuat gerak-gerik

atau tindak tanduk dari ketaatannya sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Tidak ada

Universitas Sumatera Utara


subjek kecuali dengan, dan demi ketaatannya. Itulah sebabnya mereka menjalaninya

sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa sepertinya manusia

memiliki esensi sebagai makhluk ideologi yang tak mungkin lepas darinya, seolah-

olah ideologi merupakan udara tempat manusia menghirup nafas untuk

melangsungkan hidup. Dengan adanya ideologi, dapat menolong manusia untuk

memperoleh sumberdaya pemenuh kebutuhan bagi diri sendiri dan kelompoknya,

juga mencegah lawan-lawannya untuk memperoleh hal yang sama.

Setiap individu dalam kelompok harus mampu menjaga keberlangsungan

usaha pemenuhan kebutuhan, wujud konkretnya adalah produksi. Usaha-usaha itu

dilakukan sedemikian rupa dan setiap usaha yang dianggap baik bagi produksi

dipertahankan, dibakukan dan diwariskan kepada generasi penerus, senantiasa

direproduksi. Setiap individu baru dipersiapkan untuk menjadi penerus proses

produksi, menjadi alat bagi reproduksi produksi dan pelengkap bagi relasi produksi.

Agar keberlangsungan proses reproduksi produksi dan relasi produksi terjaga dengan

baik, maka individu-individu dipersatukan dan direkatkan oleh struktur tertinggi yaitu

negara.

Takwin (Althusser, 2010: xxiv) memaparkan bahwa negara dengan

aparatusnya menjaga dengan berbagai cara agar kondisi yang menunjang reproduksi

dan relasi produksi berlangsung terus. Althusser lalu membedakan dua jenis aparatus

negara menjadi: (a) Repressive State Apparatus (RSA) yang bekerja dengan cara

represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi, hukum, penjara dan pengadilan);

Universitas Sumatera Utara


dan (b) Ideological State Apparatus (ISA) yang bekerja dengan cara persuasif,

ideologis (agama, pendidikan, keluarga, media massa, dan sebagainya).

Selanjutnya Althusser (2010: 20-21) menjelaskan bahwa aparatus Negara

Represif (RSA) sepenuhnya berada pada wewenang institusi publik, sebaliknya,

aparatus Negara Ideologis (ISA) kebanyakan merupakan wewenang institusi privat.

Adapun institusi-institusi privat yang termasuk ke dalam aparatus Negara Ideologis

(ISA) adalah sebagai berikut.

1. ISA Agama (sistem Gereja-gereja yang berbeda)

2. ISA Pendidikan (sistem Sekolah privat dan publik yang berbeda)

3. ISA Keluarga (merupakan unit produksi dan/atau unit konsumsi)

4. ISA Hukum

5. ISA Politik (sistem politik, termasuk pelbagai partai yang berbeda)

6. ISA Serikat Buruh

7. ISA Komunikasi (press, radio dan televisi, dan sebagainya)

8. ISA Budaya (kesusastraan, seni, olahraga, dan sebagainya)

2.3.3 Politik

Menurut Machiavelli (Schmandt, 2009: 269), politik mempunyai sistem

nilainya sendiri yang berbeda dari sistem etika perseorangan. Kekuasaan sebagai

nexus sistem ini, karena tanpa kekuasaan realisasi dari tujuan-tujuan sosial tidaklah

mungkin. Oleh karenanya, segala sesuatu yang kondusif untuk mencapai,

Universitas Sumatera Utara


mempertahankan, dan meluaskan kekuasaan politik bisa dibenarkan sekalipun hal itu

jelas merupakan kejahatan dilihat dari sudut pandang moralitas dan agama.

2.3.4 Kekuasaan

Kekuasaan dipandang terdapat pada setiap level hubungan sosial. Kekuasaan

bukan hanya sekadar perekat yang menyatukan kehidupan sosial, atau kekuatan

koersif yang menempatkan sekelompok orang di bawah orang lain, meskipun dia

pada dasarnya memang demikian, karena dia juga merupakan proses yang

membangun dan membuka jalan bagi adanya segala bentuk tindakan, hubungan atau

tatanan sosial. Dalam hal ini, kekuasaan, meskipun benar-benar menghambat, juga

melapangkan jalan. Di samping itu, cultural studies menunjukkan perhatian khusus

terhadap kelompok-kelompok pinggiran, pertama-tama karena soal kelas, dan

kemudian baru karena soal ras, gender, kebangsaan, kelompok umur,dll (Barker,

2009: 10-11).

2.3.5 Postrukturalisme

Postrukturalisme merupakan aliran penyempurnaan terhadap aliran

strukturalisme. Pada awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1980-an, dilakukan revisi

oleh postrukturalisme terhadap strukturalisme, yakni dengan mempersempit pretensi-

Universitas Sumatera Utara


pretensi ilmiahnya. Postrukturalisme memiliki ciri khas yaitu ketidakmantapan teks.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa makna sebuah karya ditentukan oleh apa yang

dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari

estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna sebuah

teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan partisipasi aktif. Karya

sastra tidak hanya milik pengarang, tetapi juga milik pembaca. Karya sastra juga

sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Oleh sebab itu,

makna teks tergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks juga tidak tertutup,

tetapi terbuka karena secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.

Adapun beberapa kelemahan strukturalisme yang dikemukakan Teeuw

(Ratna, 2004: 160), antara lain: (a) belum memiliki syarat sebagai teori yang lengkap;

(b) karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial; (c) kesangsian

terhadap struktur objektif karya; (d) karya dilepaskan dari relevansi pembacanya; dan

(e) karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang

melatarbelakanginya.

2.3.6 Representasi

Representasi adalah gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang

terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict”.

Representasi adalah sebuah cara memaknai apa yang diberikan pada benda yang

digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa

ada sebuah batas representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang

Universitas Sumatera Utara


diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini

terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan

pemahaman standar itu, Hall (Yolagani, 2007) berargumentasi bahwa representasi

harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia.

“so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things

which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a

page which stand for what we’re talking about.”

Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda

dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka

dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan “Representasi sebagai konstitutif.

Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak

terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian.

Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya

(Yolagani, 2007).

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis isi

(content analysis). Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak

ditekankan pada bagaimana teks-teks yang ada dalam komunikasi itu terbaca dalam

interaksi sosial; dan bagaimana teks-teks itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Oleh

karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan mampu untuk

merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang

pada umumnya (Bungin, 2008: 158). Selanjutnya digunakan juga metode membaca

heuristik dan hermeneutik. Pradopo (Jabrohim, 2003:80) menjelaskan,

Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan


metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan
novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang
memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini
dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca
tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian
cerita secara berurutan.

Selanjutnya beliau juga menjelaskan, pembacaan hermeneutik adalah

pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan

Universitas Sumatera Utara


konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik juga merupakan pembacaan ulang

(retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.

Menurut Teeuw (1984: 123) hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi

karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.

Dalam praktik interpretasi sastra itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan

lingkaran dalam bentuk spiral. Selanjutnya interpretasi (Palmer, 2005: 24) merupakan

kerja pokok intelektualitas dalam memformulasikan keputusan yang benar tentang

sesuatu.

Menurut Endraswara (2008: 5), ciri penting dari penelitian kualitatif dalam

sastra antara lain:

“(1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara


cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif,
artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan,
bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan
hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak
mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna
merupakan andalan utama.”

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan mencatat pada

kartu data. Kartu data dibuat sesuai dengan kebutuhan permasalahan penelitian.

Adapun tahapan pengumpulan data: (1) membaca novel Entrok secara cermat dan

berulang-ulang; (2) menuliskan temuan data dalam kartu data, diklasifikasikan

berdasarkan permasalahan penelitian; (3) pada saat bersamaan dilakukan reduksi

data, yakni dengan cara mengabaikan data-data yang kurang relevan.

Menurut Bungin (2008), dalam penelitian kualitatif, terdapat keterkaitan antara

teori, metode pengumpulan data, dan metode analisis data; di mana relasi metode

Universitas Sumatera Utara


pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus secara

bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah metode dan

teknik analisis data. Observasi sebagai metode penelitian kualitatif merupakan suatu

pengamatan dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu utamanya.

Oleh sebab itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengetahuannya melalui hasil kerja panca indra mata, serta dibantu oleh panca indra

lainnya.

3.2 Teknik Analisis Data

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada halaman sebelumnya, bahwasanya

relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data dilakukan sekaligus

secara bersamaan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah

metode dan teknik analisis data. Strategi analisis data penelitian ini menggunakan

strategi analisis isi (content analysis), yaitu model analisis yang digunakan untuk

mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Menurut Endraswara

(2008: 160):

“Pada dasarnya, analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya


pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi
di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati, dan dibahas
mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis
konten cukup banyak, antara lain meliputi: (a) pesan moral/etika, (b)
nilai pendidikan (didaktis), (c) nilai filosofis, (d) nilai religius, (e) nilai
kesejarahan, dan sebagainya. Dengan kata lain, peneliti baru
memanfaatkan analisis konten apabila hendak mengungkap kandungan
nilai tertentu dalam karya sastra.”

Universitas Sumatera Utara


Dalam penelitian kualitatif, analisis konten ditekankan pada bagaimana

peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, dan juga bagaimana

peneliti memaknakan isi komunikasi. Pemahaman dasar terhadap kultur di mana

komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap

berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat (Bungin, 2008: 158).

Pada dasarnya, metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif

sekaligus juga adalah metode analisis data atau, dengan kata lain, prosedur metodis

sekaligus juga adalah strategis analisis data itu sendiri, sehingga proses pengumpulan

data juga adalah proses analisis data. Bahkan, keduanya erat berkaitan dengan teori.

Keseluruhan data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan strategi

analisis data deskriptif-kualitatif (Bagan 1). Setelah seluruh data terkumpul,

dilakukan analisis secara induktif dengan menggunakan metode triangulasi, yaitu

penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori. Keterangan

tersebut digambarkan sebagai berikut:

Penokohan DATA
Alur
Tema
T Latar DATA
E Ideologi
O Politik
R Kekuasaan DATA
I

Induktif Analisis DATA

Bagan 1 Strategi Analisis Data Deskriptif-Kualitatif


(Dimodifikasi dari sumber : Bungin, 2008)

Universitas Sumatera Utara


Keterangan :

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

: tanda panah putus-putus satu arah menunjukkan keterbukaan.

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pustaka deskriptif yang

berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang

digambarkan dalam teks. Jenis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah

data deskriptif menggunakan pendekatan cultural studies, yang dipelopori oleh Stuart

Hall. Cultural studies cenderung merespons kondisi politik dan historis yang berubah

dan selalu ditandai dengan perdebatan, ketidaksetujuan, dan intervensi.

3.3.1 Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah:

Judul : Entrok

Pengarang : Okky Madasari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal Buku : 288 halaman

Ukuran : 20 cm

Cetakan : Pertama

Tahun : 2010

Universitas Sumatera Utara


Warna sampul : warna cokelat muda, hijau, kuning, dan merah muda

Gambar sampul: Gambar bra

Desain sampul : Restu Ratnaningtyas

3.3.2 Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan peneliti dalam menganalisis data

primer antara lain berupa analisis sumber dari internet dan buku-buku yang dapat

dijadikan sebagai acuan.

3.4 Model Penelitian

Intrinsik Pembaca Ekstrinsik

Penokohan
Ideologi
Alur Cerita
Politik
Tema Novel
Kekuasaan
Latar

Formasi Ideologi dalam


Novel Entrok Karya
Okky Madasari

Hegemoni

Kekuasaan
Pemerintah Orde Kekuasaan Kaum Kekuasaan Partai Doktrinasi
Baru Militer Politik Ideologi

Universitas Sumatera Utara


Pendekatan Cultural
Studies

Pedoman Hidup Multifaset Bagi Manusia


Keterangan :

: tanda panah dua arah menunjukkan kesalinghubungan.

: tanda panah satu arah menunjukkan hubungan satu arah.

: tanda panah putus-putus satu arah menunjukkan keterbukaan.

Penjelasan Model :

Novel Entrok karya Okky Madasari dibahas menurut konsep pendekatan yang

dipelopori oleh Wellek dan Warren (1977), yakni pendekatan intrinsik dan ekstrinsik

yang dilakukan secara bersamaan. Pada pendekatan intrinsik dikaji penokohan, alur

cerita, tema, dan latar novel, sedangkan pada pendekatan ekstrinsik dikaji melalui

ideologi, politik, dan kekuasaan.

Formasi ideologi yang digambarkan Okky Madasari dalam novel Entrok

menitikberatkan pada ideologi aparatus negara yaitu militer yang kerap melakukan

tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat sebagai tokoh-tokoh publik yang

berada di wilayah praktik sosial berlangsung. Permasalahan tersebut kemudian

dianalisis melalui konsep hegemoni Gramsci dan konsep ideologi Althusser.

Universitas Sumatera Utara


Setelah dilakukan analisis, dapat diketahui bahwa ideologi muncul dari

kekuasaan pemerintah pada masa Orde Baru yang menekankan pada kekuasaan kaum

militer sebagai aparatus negara. Kemudian ideologi juga lahir dari kekuasaan partai

politik dominan dan kerap memunculkan terjadinya doktrinasi ideologi oleh

kelompok dominan terhadap kelompok subaltern atau yang lazim dikenal sebagai

kelompok subordinat atau yang terpinggirkan.

Selanjutnya, hasil analisis di atas didasarkan pada pendekatan cultural studies

untuk menyingkap isu-isu sosial yang fundamental. Dengan mengetahui adanya

keberagaman isu-isu sosial dalam objek yang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa

melalui karya sastranya, Okky Madasari berusaha untuk menciptakan suatu tamsil

bagi publik dalam menjalankan setiap babak kehidupannya secara multifaset.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOGI INSTITUSI

PUBLIK DALAM NOVEL ENTROK

4.1 Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik

Pada era Orde Baru kerap ditemukan orang-orang animis, seperti halnya tokoh

Simbok dan Marni dalam novel Entrok yang menganut Animisme. Hal inilah yang

mengakibatkan mereka takut kepada pemerintah, terutama kepada tentara-tentara.

Sebab kalangan tentara melabelisasi orang-orang di atas sebagai orang-orang PKI

atau organisasi terlarang yang menjadi musuh negara. Sebagaimana yang dikatakan

Dhakidae (2003: 204), bahwasanya perwira dalam kategori alat negara dengan tujuan

utama menjadi pelayan negara yang sama sekali tidak politis, mereka anti-PKI, anti-

kiri, dan anti-Islam, kanan, bukan karena keyakinan mendalam dan pemahaman

mendalam tentang keduanya, akan tetapi hanya bermodalkan keyakinan bahwa

kedua-duanya akan menghancurkan tata tertib priyayi abangan Jawa. Hal tersebut

dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


"Tumpeng dan panggang itu kubuat untuk sesajen dewamu. Agar kau
kembali ingat masih ada Dia di sana yang dulu selalu kau puja. Ayo
minta ke Dia! Minta agar Dia kembali membuatmu punya jiwa!”
(Entrok: 12).

Percakapan di atas merupakan ucapan Rahayu yang ditujukan kepada Marni

agar Marni menyadari bahwa hal di atas merupakan kebiasaan yang kerap

dilakukannya ketika jiwanya belum terganggu.


36

“Aku sebenarnya tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sekadar


mengikuti perintah Simbok, kuucapkan permintaanku dalam hati,
“Gusti Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, berkatilah usahaku. Aku mau
punya uang, memiliki seperti yang dimiliki Nyai Wedana. Biar nggak
ngrepoti orang lain.” Permintaan itu kuulangi terus, sampai Simbok
menyentuh bahuku dan mengajakku masuk rumah.” (Entrok: 43).

Monolog di atas merupakan permintaan Marni dalam hati yaitu nyuwun

kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Semua peristiwa dapat terjadi jikalau Dia yang

menginginkan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama, meskipun dalam cerita

Marni dan Simbok belum mempunyai agama atau animisme, tetapi hal tersebut

menunjukkan aktivitas transendental. Kutipan-kutipan tersebut merupakan elemen

material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian,

kemudian merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi dalam mempercayai sesuatu,

elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, serta elemen kebebasan hak warga

negara.

Universitas Sumatera Utara


Tentara-tentara senantiasa melakukan tradisi ronda keliling kampung dengan

dalih menjaga keamanan. Di dalam menjalankan tradisi ronda tersebut, para tentara

kerap melakukan pengutipan uang keamanan. Adapun orang-orang yang menjadi

target utama bagi para tentara tersebut adalah orang-orang yang mempunyai banyak

uang atau orang-orang usahawan. Di samping itu juga orang-orang animis dan orang-

orang yang tidak disukai atau kontradiktif terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat

ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Dulu, aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam


datang ke rumah kami. Kata Ibu, untuk keamanan. Lalu kenapa Ibu
selalu memberikan uang pada mereka? tanyaku lagi. Namanya
keamanan ya bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam loreng sering
datang ke rumah. Mereka selalu datang pada hari Senin dua minggu
sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang di luar hari itu. Katanya
kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahulah Ibu apa yang
harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau
bukan menyerahkan setumpuk uang.” (Entrok: 53).

Percakapan di atas menunjukkan keberadaan institusi publik dalam hal ini

tentara, yang dinyatakan melalui ‘orang-orang berseragam loreng’ yang rutin datang

mengambil uang keamanan dari Ibu, yaitu Marni.

“Ada banyak petugas berseragam loreng-loreng. Mereka memegang


pistol, mengatur orang-orang. Meneriaki kalau ada yang nyolong
antrean atau pulang sebelum masuk ke kamar coblosan.” (Entrok: 61).

Universitas Sumatera Utara


Gambaran situasi di atas menunjukkan institusi publik atau tentara, hal ini

dinyatakan melalui ‘petugas berseragam loreng dengan pistol’ mengatur orang-orang

dalam pemilu.

Kedua kutipan di atas menunjukkan RSA yang mengatur lewat kekerasan

dan represi terutama kepada orang-orang yang lemah dan bodoh. Kutipan-kutipan

tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma

dalam kehidupan keseharian, dan juga merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi

untuk melakukan represi dan kekerasan.

Masa-masa sulit dalam perekonomian yang terjadi sebelum rezim Orde Baru

berkuasa, menjadikan rakyat Indonesia sulit untuk mengingat berbagai peristiwa

penting dalam kehidupan mereka, seperti halnya momen kelahiran mereka atau

sejarah berdirinya sebuah monumen nasional. Pada masa itu mereka hanya fokus

pada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarganya

masing-masing. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Tak juga kutahu kapan tepatnya aku dilahirkan. Simbok hanya


berkata aku lahir waktu zaman perang. Saat semua orang
menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus sawah untuk
digoreng.” (Entrok: 15).

Monolog di atas merupakan pernyataan Marni yang berkaitan dengan

ingatannya atas waktu atau momen kelahirannya, yakni ketika orang-orang menjalani

hidup dengan dilanda kesulitan pangan.

Universitas Sumatera Utara


“Orang tak pernah tahun kapan persisnya Pasar Ngranget mulai ada.
Mbah Noto, kuli paling tua yang bekerja paling awal dibanding kuli
lain, hanya ingat dia sudah nguli pada zaman Jepang. Waktu zaman
susah itu, barang dagangan sudah dicari. Singkong saja susah dicari di
pasar. Semua hasil bumi petani diminta sama Jepang, buat bekal
perang. Mbah Noto masih ingat rasa daging tikus hasil buruannya di
sawah.” (Entrok: 36).

Gambaran situasi di atas menjelaskan tentang riwayat berdirinya Pasar

Ngranget yang dirunut melalui kisah hidup Mbah Noto yang dikaitkannya dengan

zaman Jepang, zaman susah, dimana orang berburu tikus di sawah untuk dimakan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat

melalui Simbok, Mbah Noto, dan orang-orang lain pada zaman tersebut, zaman

perang, baju goni dan berburu tikus di sawah untuk dimakan. Kutipan-kutipan

tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan

terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu berburu tikus di sawah, di samping itu

juga merupakan elemen kesadaran tradisi hidup susah, elemen solidaritas identitas

rakyat biasa serta elemen kebebasan hak warga negara.

Tokoh Marni yang menganut Animisme senantiasa menjadi bulan-bulanan

kaum militer. Marni berupaya untuk selalu menuruti segala permintaan komandan

tentara terhadapnya, namun satu hal yang tetap dipertahankannya dari paksaan dan

hasutan kaum militer adalah kepercayaannya terhadap Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

Marni kerap melakukan aktivitas transendental yang kontradiktif dengan kepercayaan

yang dianut oleh putrinya, Rahayu dan Pak Waji, guru agama Rahayu di sekolah. Hal

tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


“Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun.
Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan.
“Nyuwun supaya menjadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.”
(Entrok: 55-56).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu tentang kebiasaan Ibu atau

Marni, yang kerap melakukan tirakat atau nyuwun kepada Pemilik dunia dan

seisinya, yang diyakini Marni sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

“Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas dia
berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik. Masih menyembah leluhur,
memberi makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya
tuyul.” (Entrok: 57).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu mengenai omongan-

omongan Pak Waji, guru agamanya, yang kerap mengumpat tingkah laku Ibunya atau

Marni.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini diperlihatkan

dengan adanya pendapat yang berlawanan, yaitu antara Islam dan Animisme.

Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas

praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu Marni dengan

kepercayaannya dan Pak Waji juga dengan agama Islamnya, yang nyata saling

berseberangan. Di samping itu juga merupakan elemen kesadaran yang ditunjukkan

melalui tradisi masing-masing, serta elemen solidaritas yang berwujud rakyat biasa.

Sesuai dengan harapan pemerintah Orde Baru, bahwasanya dalam setiap

Pemilu dimenangkan oleh partai pemerintah, dengan tujuan agar pemerintahan Orde

Universitas Sumatera Utara


Baru tetap berkuasa. Oleh sebab itu sebelum pelaksanaan pemilu, dilakukan berbagai

upaya untuk memenangkan partai pemerintah. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan

melalui kutipan sebagai berikut.

“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai
lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia
pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak
Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di
rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu,
gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan
meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan
memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).

Gambaran situasi di atas memperlihatkan kemenangan sebuah partai, yaitu

partai kuning, sedang partai hijau dan partai merah masing-masing memperoleh satu

suara dari sekian banyak penduduk tempat praktik sosial berlangsung.

“Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah,
artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan
perdamaian. Kebalikannya adalah tiga jari, jempol, telunjuk, dan
kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar,
orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak
pernah mengacungkan tiga jari di mana pun.” (Entrok: 86).

Monolog di atas merupakan pernyataan Rahayu yang menjelaskan bahwa

terjadi persuasi terhadap dirinya agar mencoblos partai nomor dua atau partai kuning

pada pemilu, dan mengabaikan partai politik lainnya.

Kedua kutipan di atas merupakan ISA politik. Hal ini ditunjukkan dengan

adanya partai-partai politik yang berbeda, Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan

Universitas Sumatera Utara


elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan

keseharian, yang ditunjukkan dengan kebiasaan mengacungkan dua jari di mana pun

berada.

Tentara-tentara sebagai institusi publik secara rutin melakukan ronda di Desa

Singget, tempat praktik sosial berlangsung. Dengan berlandaskan dalih untuk

menjaga keamanan, para tentara bersama Pak Lurah yang juga merupakan institusi

publik kerap melakukan ancaman terhadap penduduk desa tersebut. Untuk lebih jelas

dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang
benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo
datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat
keamanannya.”
“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini
bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata
Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak
pucat pasi, tak mampu lagi bicara.” (Entrok: 71).

Percakapan di atas merupakan dialog antara Teja, suami Marni, dengan

Sumadi, komandan dari institusi publik (militer).

“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama
tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua
tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan
jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to?
Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya
yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).

Universitas Sumatera Utara


Percakapan di atas merupakan ucapan Pak Lurah sebagai petinggi dan

sebagai institusi publik yang bertujuan mengancam dan mendiskreditkan Marni yang

berprofesi sebagai rentenir.

“Hari-hari terasa mudah dan begitu teratur bagi Ibu. Sejak dia
mengikuti kemauan Komandan dan Pak Lurah, tak ada lagi orang-
orang bersarung yang datang saat subuh dan menyebutnya rentenir
langsung di depan hidungnya. Orang-orang hanya berani berbicara di
balik punggung, dan bermanis-manis di depan muka.” (Entrok: 87).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa Marni atau tokoh Ibu semakin

lancar dalam menjalankan usahanya sejak dia mengikuti segala kehendak komandan

dan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik di tempat praktik sosial

berlangsung.

Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA hukum. Dapat dikatakan bahwa

apabila Marni tidak mau menuruti kehendak para petinggi atau institusi publik

setempat, maka Marni bisa saja mendapat masalah, meskipun pada kenyataannya

tidak bersalah. Hal seperti ini bisa membuatnya berhadapan dengan penegak hukum.

Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas

praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian sebagai petinggi atau sebagai

institusi publik yang sering mengancam warganya, juga Marni sebagai warga yang

selalu mengikuti kemauan petinggi, agar dia tidak mendapat masalah. Di samping itu

kutipan-kutipan di atas juga merupakan elemen kesadaran yaitu sebagai warga yang

kerap menjalankan tradisi untuk mengikuti kemauan petinggi atau institusi publik.

Universitas Sumatera Utara


Berbagai aktivitas transendental warga Desa Singget merupakan reaksi

terhadap pemerintah Orde Baru yang senantiasa menindas mereka, para warga

tersebut meminta keselamatan dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar

dirinya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga dari perlakuan

sewenang-wenang aparat pemerintah Orde Baru, dalam hal ini tentara-tentara dan

juga institusi publik lainnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut

ini.

“Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang


diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun-
tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orang
tuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di
Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka biasa pergi ke sana naik bus,
dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu ada makam, yang bisa
memberi berkat bagi orang yang menziarahinya.
Ibu mendengarkan itu secara antusias. Ia sangat percaya upaya batin
diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan
kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.
Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa
panggang ke makam penguasa desa, dan selamatan setiap hari
kelahiran.” (Entrok: 92).

Kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini dapat dilihat melalui

kepercayaan yang dianut Koh Cayadi dan Marni yang cenderung digolongkan ke

dalam Animisme, akan tetapi meskipun demikian, hal ini tetaplah merupakan

aktivitas transendental yang rutin dilakukan oleh mereka. Di samping itu kutipan

tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan

terjelma dalam kehidupan keseharian mereka, elemen kesadaran berupa tradisi dalam

Universitas Sumatera Utara


kepercayaan dan tradisi untuk kaya, elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa,

dan elemen kebebasan berupa adat dan harta.

Pemerintah Orde Baru kerap kali menghadirkan tontonan budaya untuk

meminimalisasi kejenuhan rakyat terhadap hal-hal monoton yang muncul akibat

tindakan-tindakan represif aparatur negara. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui

kutipan sebagai berikut.

“Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem,


halaman balai desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore,
setelah suara dihitung, Gong akan ditabuh dan orang akan
gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai
pemerintah.” (Entrok: 86).

Gambaran situasi di atas menunjukkan berlangsungnya sebuah tradisi

pementasan gambyong yang kerap dilakukan setelah pemilu diadakan dan disusul

dengan kemenangan partai pemerintah.

“Jam tujuh pagi di Glodok. Orang-orang sudah berdesak-desakan di


halaman Pabrik Gula Purwadadi. Aku dan Teja ikut berdesak-desakan,
sambil mencari-cari jalan, siapa tahu bisa mendapat tempat paling
depan. Kami semua ingin bisa melihat iring-iringan Temanten Tebu.
Iring-iringan muncul dari samping bangunan paling besar di pabrik
gula itu. Paling depan terlihat seorang laki-laki berpakaian seperti
pemain ketoprak dengan baju warna hijau mencolok dan hiasan kepala
warna emas. Dia menjadi cucuk lampah, pemandu langkah orang-
orang yang ikut dalam iring-iringan. Cucuk lampah menari-nari dalam
setiap langkahnya, mengikuti irama gamelan dari bagian belakang
iring-iringan. Di belakang cucuk lampah ada empat laki-laki
mengusung tandu. Mereka berpakaian Jawa, beskap dengan kepala
ditutup blangkon. Tandu itu dihiasi dengan janur dan melati, persis
seperti tandu pengantin. Tapi yang ada di dalam tandu bukan manusia,

Universitas Sumatera Utara


melainkan dua tebu yang juga dihias dengan kantil dan melati. Itulah
Temanten Tebu.” (Entrok: 104).

Gambaran situasi di atas menunjukkan prosesi ritual temanten tebu, yaitu

suatu pesta besar untuk menyambut masa panen tebu dan giling tebu untuk menjadi

gula.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA budaya, yaitu gambyongan dan

temanten tebu. Di samping itu juga merupakan elemen material yang berwujud

aktivitas praktis.

“Putaran waktu kuhitung dengan sekat-sekat yang berasal dari kegiatan


sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang
kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD
menandakan akan segera berakhirnya tahun 1970.” (Entrok: 60).

Monolog di atas menunjukkan ucapan Rahayu yang mengungkapkan tentang

gambaran pemikiran Rahayu dalam perhitungan waktu.

Pembuatan Waduk Kedung Merah berdampak pada penggusuran lahan-

lahan di Desa Singget. Di atas lahan tersebut terdapat ladang, pohon, rumah-rumah,

sekolah dan lain-lain. Waduk ini dibangun dengan tujuan untuk memakmurkan dan

menyejahterakan masyarakat. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai

berikut.

“Sekolah ini belum bisa menggantikan sekolah mereka yang dulu.


Sekolah ini hanya penyelamat darurat untuk anak-anak yang haknya
telah terenggut untuk mendapatkan ilmu. Sekolah ini juga akan

Universitas Sumatera Utara


menjadi jalan keluar sementara atas hari-hari tanpa harapan yang
dilalui anak-anak ini. Di sekolah baru, mereka akan kembali memiliki
cita-cita, kembali memelihara mimpi. Mereka tidak akan lagi hanya
keluyuran seharian hanya untuk memperebutkan neker atau engklek.
Sekolah ini akan meyakinkan mereka lagi, hidup bukan hanya hari ini,
tapi juga masih ada masa depan.” (Entrok: 221-222).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa sekolah baru telah didirikan

untuk menggantikan sekolah lama (pesantren) yang telah roboh karena digusur alat-

alat berat yang digerakkan oleh pemerintah daerah perihal tempat tersebut akan

dijadikan waduk.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA pendidikan, karena memperlihatkan

adanya sistem sekolah privat dan sekolah publik yang berbeda. Kutipan-kutipan

tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan

terjelma dalam kehidupan keseharian, elemen kesadaran yaitu tradisi untuk

bersekolah, oleh karenanya sekolah itu harus tetap didirikan, untuk menjadikan

manusia-manusia yang cerdas serta generasi yang lebih baik.

Profesi penebang tebu adalah pekerjaan yang banyak dilakukan oleh kaum

pria di Desa Singget. Mereka kerap menerima upah dari Marni sebagai pemilik kebun

tebu. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Pekerja-pekerja itu duduk mengelilingiku sambil menuang teh dari


cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki.
Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. Simbok, lihatlah anakmu
ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo,
bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu
yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki.”
(Entrok: 102).

Universitas Sumatera Utara


Monolog di atas merupakan ucapan Marni yang mengungkapkan

keberhasilannya sebagai perempuan pekerja yang meniti karier dari seorang pengupas

singkong. Kutipan tersebut juga mengungkapkan kesedihan seorang Marni karena

kesuksesan yang tengah diraihnya tidak sempat disaksikan oleh Simbok.

“Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku


mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang
besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih-
lebih hanya diupahi dengan telo. Tapi tak ada perempuan yang ikut
menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh-buruh laki-laki.
Bagian buruh perempuan hanya nderep atau mbethot kacang.” (Entrok:
103).

Monolog di atas mengungkapkan pemikiran Marni tentang ambisinya untuk

memberi upah setara antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Hal ini disebabkan

adanya pengalaman pahit ketika Marni masih bekerja sebagai pengupas singkong

bersama Simbok, yakni bekerja hanya dengan imbalan ubi.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA serikat buruh. Hal ini ditunjukkan

melalui pemaparan aktivitas para buruh tebu di Desa Singget. Selanjutnya merupakan

elemen material yang berwujud aktivitas praktis yang terjelma dalam kehidupan

keseharian dan elemen kesadaran yaitu tradisi menjadi buruh dan tradisi menjadi

juragan.

Kekejaman pemerintah Orde Baru melalui kekuasaan kaum militer

senantiasa menindas masyarakat sipil, dan hal ini berdampak pada terjadinya

Universitas Sumatera Utara


peristiwa penculikan bahkan pembunuhan. Peristiwa ini menimbulkan keresahan bagi

penduduk Desa Singget hingga akhirnya peristiwa ini dipublikasikan melalui media

massa oleh tokoh-tokoh aktivis. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan

sebagai berikut.

“Amri dan Taufik menambah informasi tentang Mehong dengan berita


yang ditulis Taufik di koran. Dimulai dari kesewenangan di malam itu,
pemuatan berita di koran, lalu penculikan pada hari yang sama dengan
penerbitan koran. Istri Mehong sendiri berkata orang yang membawa
suaminya pergi mengaku sebagai petugas. Sudah begitu gamblang
untuk menduga siapa yang membawa Mehong pergi.” (Entrok: 158).

Gambaran situasi di atas menunjukkan peristiwa penculikan Mehong,

pengendara becak. Peristiwa tersebut dilakukan oleh petugas berbaju loreng dengan

motif balas dendam.

“Berita hilangnya Mehong kembali terbit di dua koran, di Jogja dan


Semarang. Mehong tidak menggunakan kata penculikan, tapi hilang.
Judulnya: Tukang Becak “Kentut” Hilang. Semua cerita istri Mehong
ada dalam berita itu. Termasuk gambaran enam laki-laki yang
membawa Mehong pergi dan pengakuan mereka sebagai petugas. Tak
ketinggalan pengakuan isteri Mehong bahwa ia ditempeleng saat
menanyakan mau dibawa ke mana suaminya.” (Entrok: 158).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa peristiwa hilangnya Mehong,

pengendara becak, yang beritanya telah dimunculkan beritanya di dua Koran, yakni di

Jogja dan di Semarang. Berdasarkan data tersebut dijelaskan bahwa Mehong dibawa

oleh enam laki-laki yang mengaku sebagai petugas yang tidak lain adalah tentara.

Universitas Sumatera Utara


“Taufik menulis tentang kematian Mehong. Aku seperti sudah
kehilangan harapan. Berita itu akan menjadi berita pengumuman
kematian, orang kasihan lalu melupakannya. Koran memang dibuat
untuk menyampaikan pesan, mengabarkan apa yang tidak diketahui
orang. Tapi bukan untuk didengar, apalagi untuk membuat seseorang
terhindar dari kematian.” (Entrok: 160).

Berdasarkan monolog di atas dapat dijelaskan bahwa peristiwa hilangnya

Mehong disusul oleh peristiwa kematiannya. Hal ini menjadi sebuah rentetan

peristiwa yang tragis.

“Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat sebagai
dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai mahasiswa. Kami
dianggap telah menyebabkan terjadinya kerusuhan. Tak ada sedikit
pun yang menyinggung tentang peristiwa di Kali Manggis atau
kematian Mehong. Taufik juga dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh
mengarang berita. Kami orang-orang kalah.” (Entrok: 161).

Gambaran situasi di atas menunjukkan dampak-dampak yang muncul pasca

kematian Mehong, yaitu diberhentikannya Amri dari profesinya sebagai dosen,

kemudian Rahayu, Iman, dan Arini juga diberhentikan dari status mereka sebagai

mahasiswa, serta Taufik diberhentikan dari profesinya sebagai wartawan.

Keempat kutipan di atas menunjukkan ISA komunikasi. Hal ini ditunjukkan

melalui berita-berita penculikan hingga kematian Mehong yang diterbitkan di koran-

koran. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud

aktivitas praktis.

Universitas Sumatera Utara


Formasi ideologi bertentangan yang terjadi antara tokoh ibu dan tokoh anak,

yakni Marni dan Rahayu kerap dimanfaatkan oleh aparat pemerintah dalam hal ini

tentara untuk memprovokasi keduanya hingga hubungan di antara ibu dan anak

tersebut terjalin tidak harmonis. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan

sebagai berikut.

“Aku membenci Ibu. Dia orang berdosa.


Aku membenci Ibu. Kata orang, dia memelihara tuyul.
Aku membenci Ibu, karena dia menyembah leluhur. Aku malu, Ibu.
Aku tak pernah lagi berdoa di bawah pohon asem saat tengah malam.
Aku juga selalu menolak makan panggang dan tumpeng yang dibuat
untuk selamatan. Ibu tak pernah lagi membangunkanku saat tengah
malam. Aku tahu Ibu marah, tapi kami tak pernah membicarakannya.”
(Entrok: 58).

Berdasarkan monolog di atas terlihat ucapan Rahayu yang menyatakan

kebencian terhadap ibunya karena kebiasaan-kebiasaan Marni yang kerap tidak

sejalan dengan Rahayu. Di samping itu pandangan kebencian Rahayu terhadap Marni

semakin bertambah ketika Pak Waji, guru agama Rahayu, membicarakan segala

kebiasaan ibunya tersebut di depan kelas ketika Rahayu dan teman-temannya sedang

mengikuti pelajaran agama.

“Aku bilang, “Aku berdoa lima kali sehari. Itu cara yang benar, bukan
dengan cara yang dosa.”
Ibu marah. “Aku nyuwun pada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa sejak
lahir. Aku tidak mengganggu orang lain. Dosa apa yang kulakukan?”
“Yang kuasa itu Gusti Allah, Bu. Bukan Mbah Ibu Bumi,” kataku
dengan suara keras, membalas teriakan Ibu.
“Sampai setua ini, sampai punya anak sebesar kamu, Nduk, aku tidak
pernah tahu Gusti Allah. Mbah Ibu Bumi yang selalu membantuku.
Mbah Ibu Bumi yang memberiku semua ini. Apanya yang salah?”

Universitas Sumatera Utara


Ibu menangis dengan suara keras. Perdebatan tentang keyakinan kami
selalu berakhir seperti ini. Tangisan Ibu dan kebencianku yang makin
bertambah.” (Entrok: 59).

Percakapan di atas menunjukkan perbedaan pandangan antara ibu dan anak

dalam aktivitas transendental, Rahayu percaya kepada Gusti Allah, sedang Marni

senantiasa nyuwun kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

“Lha kok malah semua orang ngrasani. Malah anakku sendiri, anakku
satu-satunya, ikut-ikutan menyalahkanku. Dia bilang aku ini dosa. Dia
bilang aku ini sirik. Dia bilang aku penyembah leluhur. Lho . . . lha
wong aku sejak kecil diajari orang tuaku nyembah leluhur kok tidak
boleh. Lha buktinya kan setiap aku minta ke leluhur, lewat tumpeng
dan panggang yang harganya tak seberapa itu, semua yang kuminta
kudapatkan. Dia bilang hanya Gusti Allah yang boleh disembah. Lha
ia, tapi wong aku tahu Gusti Allah ya baru-baru ini saja. Lha gimana
mau nyuwun kalau kenal saja belum.” (Entrok: 100-101).

Monolog di atas menunjukkan pernyataan Marni mengenai pertentangan

kepercayaan antara Ia dan Rahayu yang kerap memunculkan suasana tidak kondusif

dalam kehidupan mereka.

Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA agama, hal ini dapat dilihat pada

kepercayaan yang dianut masing-masing tokoh tersebut. Kutipan-kutipan tersebut

juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam

kehidupan keseharian, dan merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi dalam

menganut kepercayaannya masing-masing.

Universitas Sumatera Utara


Potret kehidupan pasangan suami istri, yakni Marni dan Teja, senantiasa

nrima ketika berhadapan dengan beragam konflik kehidupan, juga kerap kali

menghadapi tekanan dari aparatur pemerintah Orde Baru. Hal tersebut dapat

ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Dasar Teja, lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari
duit, dia malah enak-enakan kelonan sama kledek. Ibu sudah tidak lagi
memaki Tonah. Kini dia mengumpat Bapak. Padahal orang yang
dimaki entah sedang di mana. Teja yang pemalas. Teja yang tidurnya
seperti kerbau. Teja yang hanya mau enaknya sendiri. Teja yang
sekarang sedang gandrung dengan kledek…” (Entrok: 53).

Berdasarkan percakapan di atas, dapat dilihat bahwa Teja, suami Marni

memiliki karakter pemalas yang menggandrungi kledek. Perihal kebiasaan buruk Teja

ini, Marni menyikapinya dengan berlapang dada.

“Waktu berjalan seiring putaran roda sepeda yang dinaiki Bapak dan
Ibu. Terasa lambat saat ada yang ingin dikejar, dan terlalu cepat saat
Bapak dan Ibu hendak berteduh di bawah pohon trembesi, menghindar
sebentar dari teriknya matahari.” (Entrok: 60).

Berdasarkan gambaran situasi di atas, dapat dilihat bahwa Teja dan Marni

selalu sabar dalam menghadapi setiap problematika kehidupan mereka.

“Ibu tak lagi hanya meminjamkan ketika ada orang yang memaksa
berutang. Dia terang-terangan menawarkan pinjaman uang pada semua
orang, sebagaimana dia menawarkan barang dagangan. Pedagang-
pedagang di Pasar Ngranget menjadi langganannya. Sekarang, Ibu dan
Bapak berangkat ke pasar bukan hanya untuk kulakan barang, tapi
untuk mengambil cicilan dari pedagang-pedagang yang meminjam
uang Ibu.” (Entrok: 69).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan gambaran situasi di atas, dapat dilihat kebersamaan Marni dan

Teja, terutama dalam berjuang mencari nafkah, Teja yang senantiasa menemani

Marni menjumpai para pelanggannya di pasar.

Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat

melalui kebersamaan Marni dan Teja. Kutipan-kutipan tersebut juga menunjukkan

elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan

keseharian, serta menunjukkan elemen kesadaran yaitu tradisi dalam kebersamaan.

Kyai Hasbi merupakan tokoh yang berperan sebagai pemimpin pesantren

pada masa pemberantasan PKI yang bekerja sama dengan pemerintah Orde Baru, dan

tentunya anti kepada orang-orang yang menganut Animisme. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Kata-kata Kyai Hasbi tiba-tiba mengingatkanku pada Ibu. Aku seperti


menemukan titik persinggungan di antara mereka berdua.
Ah…ngawur! Bagaimana bisa kusamakan Pak Kyai dengan
perempuan yang masih menyembah leluhur!” (Entrok: 214).

Monolog di atas merupakan pernyataan Rahayu yang menunjukkan

perbedaan keyakinan antara Kyai Hasbi dan Marni, ibu Rahayu. Kutipan tersebut

menunjukkan ISA agama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan keyakinan

antara Marni dan Kyai Hasbi. Kutipan tersebut juga menunjukkan elemen material

yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, dan juga

merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi hidup dengan menganut kepercayaan

masing-masing.

Universitas Sumatera Utara


4.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik

Untuk mengetahui sifat-sifat formasi ideologi tokoh-tokoh publik dan institusi

publik, maka terlebih dahulu dipaparkan mengenai para tokoh yang dianalisis dalam

novel Entrok. Penganalisisan meliputi para tokoh publik dan para tokoh institusi

publik.

4.2.1 Tokoh-tokoh Publik dalam Novel Entrok

Adapun tokoh-tokoh publik dalam novel Entrok yang dianalisis adalah

sebagai berikut:

 Simbok

 Marni

 Rahayu

 Pak Waji

 Koh Cayadi

 Teja

 Kyai Hasbi

 Mbah Noto

Sedangkan tokoh-tokoh institusi publik dalam novel Entrok yang dianalisis

antara lain sebagai berikut:

 Sumadi atau Komandan

 Pak Lurah

Universitas Sumatera Utara


4.2.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Para Tokoh

Adapun sifat-sifat formasi ideologi para tokoh yang dianalisis adalah sebagai

berikut:

 Marni sebagai Ibu dengan Rahayu sebagai anak adalah formasi

bersifat bertentangan. Data (Entrok: 58)=lihat tesis hal.52 dan (Entrok:

59)=lihat tesis hal.52 dan (Entrok: 100-101)=lihat tesis hal.53.

 Marni sebagai Ibu dengan Pak Waji sebagai guru Rahayu adalah

formasi bersifat bertentangan. Data (Entrok: 55-56)=lihat tesis hal.40

dan (Entrok: 57)=lihat tesis hal.41.

 Marni sebagai Ibu dengan Koh Cahyadi sebagai pemilik toko

elektronik adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 92)=lihat

tesis hal.45.

 Marni dengan Mbah Noto sebagai kuli yang paling tua di Pasar

Ngranget adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 15)=lihat

tesis hal.39 dan (Entrok: 36)=lihat tesis hal.39.

 Marni sebagai anak dengan Simbok sebagai ibu Marni adalah formasi

bersifat korelatif. Data (Entrok: 12)=lihat tesis hal.36 dan (Entrok:

43)=lihat tesis hal.37.

 Marni sebagai istri dan Teja sebagai suami adalah formasi bersifat

korelatif. Data (Entrok: 53)=lihat tesis hal.54, (Entrok: 60)=lihat tesis

hal.47, dan (Entrok: 69)=lihat tesis hal.54.

Universitas Sumatera Utara


 Marni sebagai Ibu dengan Kyai Hasbi sebagai guru di pesantren adalah

formasi bersifat bertentangan. (Entrok: 214)=lihat tesis hal.55.

 Marni sebagai istri Teja dengan Sumadi sebagai komandan tentara

atau institusi publik adalah formasi bersifat subordinatif. (Entrok:

71)=lihat tesis hal.43.

 Marni sebagai Mbakyu dengan Pak Lurah sebagai institusi publik

adalah formasi bersifat subordinatif. (Entrok: 80)=lihat tesis hal.43.

Keterangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Rahayu Bertentangan

Pak Waji Bertentangan

Koh Cahyadi Korelatif

Mbah Noto Korelatif

Marni Simbok Korelatif

Teja Korelatif

Kyai Hasbi Bertentangan

Sumadi (Komandan) Subordinatif

Pak Lurah Subordinatif

Bagan 2. Sifat-sifat Formasi

Universitas Sumatera Utara


4.3 Kelompok Ideologi

Studi Gramsci selanjutnya adalah subaltern, dikemukakan tahun 1934 oleh

Loomba (2003: 68). Istilah subaltern merupakan sebutan bagi para perwira di bawah

kapten, kemudian mengacu pada orang-orang yang tertindas, deskripsi kolektif

berbagai macam kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki

kesadaran kelas. Dalam perkembangannya kemudian digunakan untuk

menggambarkan para petani yang secara periodik muncul melawan Kolonialis

Inggeris atau orang-orang tertentu pada umumnya (Ratna, 2005: 189-190).

Sedangkan kelompok dominan adalah kelompok yang mewakili kepentingan

yang harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan

kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern (Siswadi, 2010). Selanjutnya

formasi ideologi dapat ditelusuri melalui beberapa elemen yaitu: (1) elemen material,

yang berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian,

cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial

berlangsung, (2) elemen kesadaran, yaitu suatu tradisi yang berlaku pada setiap

individu, juga kedudukan dan hak, (3) elemen solidaritas-identitas, yaitu posisi pada

setiap individu yang membedakannya dengan individu lain, (4) elemen kebebasan,

yaitu kedudukan individu-individu yang bernaung di bawah eksistensi individu yang

dibanggakan oleh individu lainnya (Siswadi, 2010).

Ada empat hal yang patut dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya

dengan teori Marx. Pertama, di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi.

Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok

Universitas Sumatera Utara


dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan

kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas

sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai

kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk kelompok dominan, kelompok harus

mewakili kepentingan. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra

berada dalam superstruktur (Siswadi, 2010). Jadi ada dua kelompok ideologi yang

dapat ditemukan dari studi Gramsci. Kelompok pertama adalah kelompok dominan

yang mewakili kepentingan, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok subaltern

yaitu kelompok tertindas, dieksploitasi dan masyarakat yang kurang memiliki

kesadaran kelas.

Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang

dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok ideologi sebagai berikut:

kelompok ideologi dominan yang dalam hal ini adalah ideologi kapitalisme yang

mendapat dukungan dari ideologi otoriterisme dan ideologi militerisme. Kelompok

ideologi subaltern adalah ideologi sosialisme, feodalisme, rasialisme, vandalisme, dan

anarkisme. Apabila kedua kelompok ideologi tersebut dengan ideologi-ideologi di

atas bernegosiasi hasilnya adalah ideologi kapitalisme, sosialisme, demokrasi dan

humanisme (Siswadi, 2010).

Kapitalisme adalah kaum bermodal, orang yang bermodal besar, golongan

orang yang sangat kaya atau juga birokrat yang mempunyai kedudukan di lembaga

pemerintah atau di organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan

kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri yang membuat sistem dan

Universitas Sumatera Utara


paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan

industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri

persaingan di pasar bebas. Otoriterisme adalah paham yang berkuasa sendiri,

tindakan yang sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan, membuat peraturan

untuk memerintah orang lain.

Militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai

pendukung kekuasaan, pemerintah yang dikuasai oleh golongan militer, pemerintah

yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin dan sebagainya). Feodalisme

adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada

golongan bangsawan atau sistem sosial yang mengagung-agungkan pangkat jabatan

dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.

Rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang

berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda yaitu paham bahwa ras diri

sendiri adalah ras yang paling unggul. Vandalisme adalah perbuatan merusak dan

menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dan

sebagainya), perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Anarkisme adalah paham yang menentang setiap kekuatan negara. Demokrasi

adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan

kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara atau bentuk

pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan

wakilnya.

Universitas Sumatera Utara


Humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa

perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik atau paham

yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. Sosialisme adalah ajaran

atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industri dan

perusahaan menjadi milik negara.

Marni digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi

ideologi feodal, kapitalis-sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk kaya, elemen

solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan adat dan harta.

Rahayu digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi

ideologi demokratis dan sosialis, elemen solidaritas-identitas aktivis, elemen

kebebasan hak warga negara.

Pak Waji digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori intelektual,

formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen solidaritas-identitas guru, elemen

kebebasan hak warga negara.

Koh Cayadi digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat,

formasi ideologi feodalis dan kapitalis-sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk kaya,

elemen solidaritas-identitas wiraswasta, elemen kebebasan adat dan harta.

Mbah Noto digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat,

formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin,

elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Universitas Sumatera Utara


Simbok digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi

ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin, elemen

solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Teja digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi

ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk tidak bekerja,

elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Kyai Hasbi digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori intelektual,

formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk mengajar,

elemen solidaritas-identitas kyai dan guru, elemen kebebasan hak warga negara.

Sumadi atau Komandan digolongkan ke dalam kelompok dominan, kategori

pemimpin, formasi ideologi otoriter, militerisme, kapitalis, elemen kesadaran

kedudukan dan tradisi otoriter, elemen solidaritas-identitas pemimpin militer, elemen

kebebasan kekuasaan dan harta.

Pak Lurah digolongkan ke dalam kelompok dominan, kategori pemimpin,

formasi ideologi kapitalis-humanis, elemen kesadaran kedudukan dan tradisi

berkuasa, elemen solidaritas-identitas kepala desa, elemen kebebasan kekuasaan dan

harta.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.1

Kelompok Ideologi Para Tokoh dalam Novel Entrok

Elemen
Elemen Elemen
Nama Kelompok Kategori Ideologi Solidaritas‐
Kesadaran Kebebasan
Identitas
Marni Subaltern Rakyat Feodalis Tradisi Rakyat biasa Adat dan
Kapitalis‐ untuk kaya Harta
Sosialis
Rahayu Subaltern Rakyat Demokratis ‐ Aktivis Hak Warga
–Sosialis Negara
Pak Waji Subaltern Intelektual Demokratis ‐ Guru Hak Warga
–Sosialis Negara
Koh Cayadi Subaltern Rakyat Feodalis Tradisi Wiraswasta Adat dan
Kapitalis‐ untuk kaya Harta
Sosialis
Mbah Noto Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk Negara
miskin
Simbok Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk Negara
miskin
Teja Subaltern Rakyat Demokratis Tradisi Rakyat Biasa Hak Warga
–Sosialis untuk tidak Negara
bekerja
Kyai Hasbi Subaltern Intelektual Demokratis Tradisi Kyai, Guru Hak Warga
‐Sosialis untuk Negara
mengajar
Sumadi Dominan Pemimpin Otoriter Kedudukan Pemimpin Kekuasaan
(komandan) Kapitalis tradisi Militer dan Harta
Militeris otoriter
Pak Lurah Dominan Pemimpin Kapitalis‐ Kedudukan Kepala Desa Kekuasaan
Humanis tradisi dan Harta
berkuasa
(Sumber : Hasil Analisis Data, 2011)

Universitas Sumatera Utara


Dari uraian di atas dapat disederhanakan bahwa ideologi dominan, yaitu

kapitalisme mendapat dukungan dari ideologi otoriterisme dan militerisme,

sedangkan ideologi subaltern adalah ideologi sosialisme, feodalisme, rasialisme,

vandalisme dan anarkisme (Siswadi, 2010).

Terjadi negosiasi ideologi yang dilakukan oleh ideologi kapitalisme yang

humanis, sosialis dan demokratis (dapat dilihat pada tabel di bawah ini).

Tabel 4.2

Negosiasi Ideologi

Kelompok Dominan Negosiasi Kelompok Subaltern

Kapitalisme Kapitalisme Sosialisme


Sosialisme Feodalisme
Otoriterisme Demokratisme Rasialisme
Vandalisme
Militerisme Humanisme Anarkisme

(Sumber: Siswadi, 2010)

Universitas Sumatera Utara


BAB V

POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN

IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK

5.1 Ideologi dalam Novel Entrok

Ideologi yang terdapat dalam novel Entrok merupakan ideologi kelompok

dominan dan ideologi kelompok subaltern. Sumadi atau Komandan adalah pimpinan

tentara yang digolongkan ke dalam tokoh institusi publik dan dikategorikan sebagai

kelompok dominan. Begitu juga halnya dengan Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak

Bupati yang digolongkan ke dalam institusi publik dan dan dikategorikan sebagai

kelompok dominan. Sedangkan Marni sebagai tokoh sentral digolongkan ke dalam

kelompok subaltern. Demikian juga halnya dengan Rahayu, Pak Waji, Koh Cayadi,

Mbah Noto, Simbok, Teja, dan Kyai Hasbi. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan

sebagai berikut.

“Kapok bikin masalah dengan orang-orang negara. Dengan mereka itu


yang penting nurut saja, biar urusan beres. Sama seperti setoranku ke
Komandan. Asal dikasih duit, urusan keamanan beres. Tidak ada
orang yang berani mengganggu, paling hanya berani ngrasani dari
belakang.” (Entrok: 105).

Dipengaruhi oleh pandangan Althusserian, Poulantzas (Fatah, 2010: 53)

beranggapan bahwa kelas memang ditentukan oleh peran ekonomi, tetapi sangat

dipengaruhi pula unsur-unsur politik dan ideologi. Dalam kerangka ini, Poulantzas

dapat disebut sebagai seorang Neo-Marxis pertama yang secara tegas merumuskan

66
Universitas Sumatera Utara
pengaruh politik dan ideologi terhadap pembentukan kelas. Konsep hegemoni

Gramsci dekat dengan konsep ideologi Louis Althusser dalam buku “Tentang

Ideologi”, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies (terjemahan

Essays on Ideology) (2004 : 18-24) membedakan adanya dua jenis aparat negara,

yaitu Repressive State Apparatus (RSA) atau aparat negara represif dan Ideological

State Apparatus (ISA) atau aparat negara ideologis. Yang pertama bersifat represif

dengan pengertian, ia berfungsi melalui kekerasan dan paksaan serta bersifat

monolitik (pemerintah, angkatan bersenjata, polisi, penjara, dan sebagainya). Yang

kedua bersifat tanpa paksaan, persuasif, dan plural. Lembaga-lembaga yang termasuk

aparat negara ideologis adalah lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik,

serikat buruh, komunikasi (pers, radio, tv, iklan), dan kebudayaan (seni, sastra,

olahraga) (Surbakti, 2008).

Sekalipun Nicos Poulantzas melangkah lebih jauh dibanding para Marxis

terdahulu, Poulantzas justru mengakui bahwa pendefinisian kelas yang dilakukannya

sebetulnya masih mendasarkan diri pada pandangan para Marxis termasuk di

dalamnya Marx. Pada pandangan para Marxis terdahulu itulah menurut Poulantzas ia

menemukan kriteria-kriteria yang kemudian dipakainya untuk mendefinisikan kelas

secara lebih jelas dan rinci. Sebagaimana dikatakan oleh Poulantzas : “Bahkan ketika

Marx Engels, Lenin atau Mao menganalisis kelas sosial, mereka jelas tidak

membatasi diri pada kriteria ekonomi semata-mata, melainkan secara tegas mengacu

kepada kriteria politik dan ideologi.” (Fatah, 2010: 53).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa kelompok dominan

merupakan kelas sosial atas yang kerap menindas kelompok subaltern sebagai kelas

sosial bawah. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama
tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua
tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan
jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to?
Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya
yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).

5.2 Politik dan Kekuasaan

Superstruktur menurut Gramsci dapat dikelompokkan menjadi dua level

struktur utama, yaitu:

1. Masyarakat sipil yang mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut

swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya.

2. Masyarakat politik atau negara adalah semua institusi publik yang memegang

kekuasaan untuk melaksanakan perintah secara yuridis seperti tentara, polisi,

pengadilan, birokrasi dan pemerintahan.

Kedua level struktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda yaitu

ranah persetujuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat

politik (Sugiono, 1999: 35). Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan sebagai

berikut.

Universitas Sumatera Utara


“Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat sebagai
dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai mahasiswa. Kami
dianggap telah menyebabkan terjadinya kerusuhan. Tak ada sedikit
pun yang menyinggung tentang peristiwa di Kali Manggis atau
kematian Mehong. Taufik juga dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh
mengarang berita. Kami orang-orang kalah.” (Entrok: 161).

Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa kekuasaan

masyarakat politik atau negara yang senantiasa bertindak represif, dan kerap berujung

pada kekalahan masyarakat sipil.

“BRAK! Polisi itu menggebrak meja. Semua orang di ruangan itu


terkejut, termasuk aku. Apakah omonganku keterlaluan? Tapi
bukankah aku benar? Aku tidak tahu apa-apa, aku meminjamkan
kendaraan tanpa dapat uang untuk urusan kampanye, roda empatku
remuk, sekarang malah aku yang diperas.”
“Sampeyan jangan sembarangan kalau ngomong! Siapa yang meres-
meres? Ini memang aturannya seperti itu. Mau kalian masuk penjara?”
“Tidak, Pak, tidak. Bukan begitu maksud istri saya, Pak. Kami ini
nurut pada negara. Kami cuma tidak tahu aturannya saja, kami bodoh,
buta huruf.” (Entrok: 118).

Berdasarkan percakapan di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat sipil

dalam hal ini Marni dan Teja mengalami kekalahan atas masyarakat politik atau

negara dalam hal ini polisi.

“Kebetulan ini begini, Yu. Aku diutus Pak Camat dan Pak Bupati
minta sampeyan ikut membantu kampanye hari Rabu besok.”
“Wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan, kemarin
sudah saya titipkan sama pamong.”
“Iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang kok, Yu.
Soal uang, kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak Bupati

Universitas Sumatera Utara


kan minta orang-orang desa kita ikut arak-arakan keliling Kabupaten,
terus nanti siangnya dangdutan di lapangan Singget.”
“Lha terus, maksudnya saya harus ikut arak-arakan atau bagaimana?”
“Ndak harus ikut, Yu. Kita cuma mau minta dipinjami mobil sehari
itu. Namanya buat negara, jadi ya hitungannya sumbangan. Bisa to,
Yu?” (Entrok: 113).

Percakapan di atas menunjukkan bahwa Marni sebagai masyarakat sipil harus

mengalah kepada Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sebagai masyarakat politik

atau negara.

Menurut Simon (Siswadi, 2010) hegemoni menurut titik awal konsep Gramsci

adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-

kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam novel Entrok terlihat

bahwa kelas atas dalam hal ini kaum dominan yaitu Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak

Bupati sekaligus tentara dan polisi memperlihatkan kekuasaannya dan kekuatannya

terhadap orang-orang kelas bawah atau kelompok subaltern. Ketika pemerintah Orde

Baru yang berkuasa secara otoriter dan atas nama pembangunan menggusur tanah dan

rumah rakyat untuk dijadikan waduk. Dalam menyelesaikan pembebasan tanah ini,

pemerintah menggunakan kekerasan, kekuasaan dengan menggunakan militer, juga

aparat-aparat lain seperti Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati, apalagi bila

menemukan hambatan atau menemukan perlawanan rakyatnya, hal ini tampak jelas

bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan kekuasaannya terhadap

masyarakat sipil. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan
ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan mengangkat
tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau
kalau untung, bisa saja kalian selamat. Tapi hari itu seluruh pasukan
akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup
masuk penjara bersama orang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi
PKI.”
“Wagimun tak mengeluarkan kata apa-apa. Dia bahkan tidak
memandang wajah tentara itu. Pandangannya jauh ke depan, ke tempat
mesin keruk yang ada di desa seberang.” (Entrok: 226-227).

Berdasarkan percakapan di atas dapat dilihat bahwa tentara atau masyarakat

politik melakukan perdebatan dengan Wagimun atau masyarakat sipil. Sehingga hal

ini menyebabkan Wagimun tidak dapat bertindak dan berkata apa-apa.

“Segera pindah dari sini sebelum kalian mati tertimbun tanah atau di
penjara sampai mati. Kalian telah jadi PKI.”
“Selama tentara-tentara itu hanya bicara, kami hanya diam. Komandan
pasukan tahu kami mengikutinya. Dia tak keberatan. Malah seperti
bangga, karena orang-orang asing ini telah melihat bagaimana tentara
yang punya kuasa menyampaikan ancaman pada orang-orang desa.”
(Entrok: 227).

Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa politik yang

disampaikan tentara tersebut tampak pada tiga baris pertama dari data di atas,

sedangkan selebihnya menunjukkan kekuasaan kepada orang-orang desa tersebut. Hal

ini dengan jelas mengungkapkan bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan

kekuasaannya pada masyarakat sipil.

Universitas Sumatera Utara


“Tentara-tentara itu datang. Salah seorang dari mereka berteriak di
corong pengeras suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk segera
meninggalkan desa ini. Tak ada yang beranjak. Semua orang berdiri
mematung dan mengacungkan tulisan “Jangan Ambil Tanah Kami”.
Sepuluh menit itu habis. Tentara-tentara bergerak ke semua rumah.
Menggebuk semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Mereka
tetap bertahan, lalu menyerang. Gebukan, pukulan, teriakan, juga
tembakan. Anak-anak kecil menangis sambil berlari-lari. Aku melihat
tongkat hitam memukul kepala Wagimun yang berdiri di sebelahku.
Aku masih melihat darah keluar dari keningnya, juga tengkuknya. Aku
ingat dia berteriak kesakitan. Tapi aku tak tahu lagi apa yang terjadi
setelah itu.” (Entrok: 254).

Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa pemerintah

menunjukkan kekuasaannya lewat tentara-tentara yang meneriaki orang-orang desa

agar segera pindah. Akan tetapi, orang-orang desa tetap bertahan. Hal ini ditunjukkan

melalui tulisan pada umbul-umbul yang mereka buat. Namun aksi penduduk desa

tersebut tetap tidak meluluhkan hati tentara-tentara itu. Kekuasaan masyarakat politik

terhadap masyarakat sipil pada data di atas ditunjukkan melalui penggebukan,

pemukulan, dan penembakan.

Hegemoni adalah suatu konsensus dengan persetujuan menggunakan

kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan demikian dalam wacana politik

kenyataan tersebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat (Patria, Andi

Arief, 2003: 23). Selanjutnya dapat dijelaskan melalui kutipan sebagai berikut.

“Orang itu memang tentara. Tapi kita tidak akan mati tenggalam di
sini. Sudah, lupakan apa yang dikatakan orang itu tadi…”
“Dor! Terdengar tembakan. Gusti Allah! Aku berlari meninggalkan
anak-anak itu menghambur ke dalam rumah Wagimun. Amri sudah
tergeletak di lantai. Ada darah menggenang di samping tubuhnya.”
(Entrok: 230).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat

sipil dalam hal ini Wagimun dan Amri, merupakan korban dari kekuasaan politik dan

ideologis dari masyarakat politik atau negara.

“Seperti PKI?” Aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat ciri di


KTP-nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan bisa hidup
enak. Selamanya bakal jadi kere.
Rahayu mengangguk. “Ya.”
“Lha kowe kan bukan PKI to, Nduk. Buyutmu, mbah-mu, ibu-
bapakmu, ndak ada yang PKI. Kowe masih bayi waktu ada geger PKI.
“Nyatanya sekarang ada tanda ini di KTP-ku, Bu.”
“Oalah, Nduk… kok begini jadinya nasibmu… salah apa orang tuamu
dulu, Yuk?” (Entrok: 275).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa politik digambarkan pada dua

baris pertama, lalu kekuasaan pada baris ketiga, sedangkan ideologi digambarkan

pada baris keenam. Maka dapat ditelaah dengan jelas bahwa politik dan kekuasaan

berkaitan dengan ideologi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan masyarakat politik

atau negara senantiasa berada di atas masyarakat sipil.

Menurut Faruk (Siswadi, 2010), teori hegemoni Gramsci membuka dimensi

baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi

dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh

masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan dan

kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas

dari infrastrukturnya.

Universitas Sumatera Utara


Novel Entrok pada hakikatnya menganut paham seperti di atas yang secara

singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Pemerintah Orde Baru yang

mengatasnamakan pembangunan akan membuat Waduk Kedung Merah, yang

pembangunannya direncanakan akan melewati tanah pada Desa Singget, yang mau

tidak mau harus digusur. Pembebasan tanah ditempuh pemerintah dengan

menggunakan otoriterisasi kaum militer guna melancarkan hambatan atau perlawanan

dari rakyat Desa Singget tersebut. Hal ini adalah suatu tindakan politik-kekuatan dan

konsensus, otoritas dan hegemoni, serta kekerasan dan kesopanan.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

PENGARUH POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN

IDEOLOGI PARA TOKOH DALAM NOVEL ENTROK

6.1 Kekuasaan Pemerintah Orde Baru

Kebijakan pemerintah pada era orde baru adalah suatu kebijakan yang

cenderung pada militeristis, hal ini dapat dibuktikan melalui latar belakang

pendidikan militer yang dimiliki oleh kebanyakan petinggi negara, meliputi pejabat

sipil, seperti gubernur, bupati maupun pejabat negara yang menangani berbagai divisi

penting negara, misalnya Bulog, Pertamina, Perhubungan dan lain-lain.

Kaum militer dalam hal ini juga mempengaruhi pejabat-pejabat sipil atau non

militer, yakni mengupayakan agar para pejabat sipil tersebut berseteru dengan

masyarakat sipil melalui provokasi, sehingga dalam kurun waktu yang tidak lama

masyarakat sipil yang digolongkan ke dalam kelompok subaltern tersebut akan

meminta perlindungan kepada kaum militer, yaitu Panglima Militer, Komandan

Korem, Komandan Kodim, Komandan Koramil dan lain-lain. Bahkan bisa saja

mereka memohon perlindungan kepada gubernur atau bupati berlatarbelakang militer,

meskipun seyogianya jabatan tersebut dipegang oleh sipil.

Adapun upaya-upaya yang dilakukan kaum militer guna menguasai

masyarakat sipil adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui dan memahami sifat-sifat ideologi masyarakat sipil atau para tokoh

publik dalam wilayah praktik sosial berlangsung, sehingga dalam kurun waktu

75
Universitas Sumatera Utara
yang singkat masing-masing tokoh publik tersebut diprovokasi satu sama lain,

dan akhirnya meminta perlindungan kepada militer. Dengan demikian, kaum

militer dapat menguasai tokoh-tokoh publik tersebut dan juga menguasai wilayah

praktik sosial yang sebelumnya telah dikuasai kaum sipil. Berdasarkan formasi

ideologi seperti yang telah dipaparkan pada bab iv, dapat dipahami bahwa dalam

novel Entrok komandan tentara yang mewakili kaum militer mempelajari formasi

ideologi tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang
benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo
datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat
keamanannya.”
“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini
bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata
Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak
pucat pasi, tak mampu lagi bicara.
Sumadi menggebrak meja. “Kalian akan tahu akibatnya. Aku tunggu
kalian datang kepadaku, memohon-mohon minta keamanan,” kata
Sumadi. Tentara-tentara itu meninggalkan rumah kami. (Entrok: 71).

Berdasarkan percakapan di atas dapat dilihat bahwa Teja dan Marni

sebagai pasangan suami istri senantiasa tidak berdaya menghadapi segala perintah

komandan tentara tersebut. Ketegangan hubungan antara penguasa atau negara

yang dalam hal ini disebut tentara kepada masyarakat pada era orde baru,

dijelaskan oleh Manan (2005: 61-62) sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara


“Sepanjang orba berkuasa, posisi hubungan itu terus bertahan, dan
terus menerus membuahkan ketegangan antara negara dan masyarakat.
Tetapi, posisi negara tetap superior. Posisi tawar masyarakat yang
lemah membuat negara sangat leluasa menancapkan dominasi dan
hegemoninya. Relasi negara-masyarakat pada era orba adalah bentuk
hubungan yang tidak sejajar (zero-sum), dimana dominasi negara
adalah ciri utamanya. Negara orba adalah gigantisme politik yang
sangat perkasa di depan sosok masyarakat yang lemah, bisu, gagap,
dan selalu tanpa daya.”

2. Latar waktu pada novel Entrok adalah tahun 1950-1994, dalam periode tersebut

terjadi peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, hingga akhirnya kemudian

PKI dibubarkan. Berdasarkan hal ini kaum tentara memanfaatkan momen

tersebut, seperti halnya banyak tokoh-tokoh sipil yang dilabelisasi PKI sehingga

ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini dapat dilihat melalui

kutipan sebagai berikut.

“Dia akan dipenjara?” tanyaku.


“Pasti. Dia sudah melawan negara. Mau jadi PKI apa?” (Entrok: 182).

Percakapan di atas merupakan pembicaraan antara Marni dan komandan

tentara, Sumadi mengenai Koh Cahyadi yang menyandang status sebagai buron.

Universitas Sumatera Utara


6.2 Kekuasaan Kaum Militer

RSA atau Aparatus Negara Represif memiliki wewenang yang sepenuhnya

dipegang oleh institusi publik, dalam hal ini kaum militer. Kaum militer dalam novel

Entrok kerap bertindak sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh sipil yang dianggap

dapat menghalangi program pemerintah atau sekadar tentara-tentara tersebut mencari

uang dengan berbagai macam dalih, seperti halnya untuk keamanan atau lain-lain.

Masyarakat sipil dimintai setoran, sumbangan, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat melalui kutipan di bawah ini.

“Begini kok dibilang seret to Yu, seret apanya?”


“Seret ya seret, Ndan. Cuma setoran buat sampeyan aja yang nggak
boleh seret, iya to?”
“Lha ya iya. Ini kan buat keamanan sampeyan dan keamanan
lingkungan. Iya, to? Kalau bukan kami, siapa lagi yang ngatur!”
(Entrok: 52).

“Mau apa kalian pagi-pagi ke sini, hah?”


Ibu diam tak menjawab. Memang sudah begitu rencananya. Bapak
menganggap semua keruwetan ini bersumber dari omongan Ibu. Maka
pada pertemuan kali ini, Ibu hanya akan diam dan menyetujui apa yang
dikatakan suaminya.
“Sebelumnya mohon maaf, Ndan, kalau mengganggu waktu
Komandan. Kami minta maaf juga kalau kemarin sudah membuat
Komandan kecewa…”
“Hasyahh… tidak usah bertele-tele. Apa mau kalian?”
“Mohon maaf, Ndan. Kami… anu… kami mau minta keamanan.”
Komandan Sumadi tertawa terbahak-bahak. “Benar begitu, Yu?”
Ibu mengangguk lalu berkata, “Iya, Ndan. Saya minta tolong, saya
cuma mau cari makan. Jangan diganggu sama Pak RT dan orang-orang
desa itu.” (Entrok: 76-77).

Universitas Sumatera Utara


Koh Cayadi menggeleng. “Katanya ini peringatan. Mereka minta uang
jaminan. Tapi kalau ketahuan sekali lagi aku mau ditangkap.”
“Hmm… apa lagi kalau bukan itu. Tentara-tentara itu, apa pun yang
mereka lakukan, apa pun yang mereka katakan, intinya ya duit.
Selama kita nuruti permintaan mereka, memberikan berapa pun duit
yang diminta, beres urusan cari makan dan urusan dagang. Bertahun-
tahun orang tidak berani lagi mengganggu urusanku ya karena tentara-
tentara itu sudah kusumpal pakai duit.” (Entrok: 111).

“Tentara makin sering berkeliaran di Singget. Datang ke warung-


warung, minta setoran uang keamanan. Kalau tidak, ya awas saja,
orang-orang yang sedang main kartu bakal digaruk semua. Yang punya
warung bakal bangkrut karena orang-orang tidak mau ke sana lagi.”
(Entrok: 168).

“Tapi setidaknya sampeyan ndak jadi buron, Yu.”


“Lha iya, setoranku kenceng. Kalau tidak, aku sudah diusir dari desaku
ini.” (Entrok: 178-179).

“Sumadi mendekatkan mulutnya ke telingaku.”


“Sudah, ndak usah kebanyakan omong. Yang penting kowe bebas, to.”
“Bisa tak atur kowe pulang sore ini. Yang penting jelas
perhitungannya.” (Entrok: 182).

Tentara sebagai masyarakat politik atau negara yang dilengkapi dengan

instrumen-instrumen tertentu, baik pendidikan maupun segala sesuatu yang dapat

menimbulkan ketakutan bagi masyarakat sipil. Dalam novel Entrok digambarkan

mengenai program-program pemerintah, yang mengharuskan masyarakat sipil untuk

selalu patuh dan tunduk terhadap tentara sebagai masyarakat politik atau negara.

Adapun program-program tersebut muncul melalui beberapa peristiwa sebagai

berikut.

Universitas Sumatera Utara


1. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (GESTAPU) pada tahun 1965 yang

diprakarsai oleh PKI.

2. Pemilihan Umum (PEMILU) pada tahun 1972.

3. Pemilihan Umum (PEMILU) pada tahun 1977.

4. Pemilihan Umum (PEMILU) pada tahun 1982.

5. Pemilihan Umum (PEMILU) pada tahun 1987.

6. Pembuatan Waduk Kedung Merah Tahun 1987.

Semua peristiwa di atas dijadikan momen bagi tentara untuk menunjukkan

kekuasaannya terhadap masyarakat sipil, serta untuk memuluskan program-program

pemerintah dari segala hambatan maupun gangguan dari masyarakat sipil.

Pada tahun 1965 terjadi pemberontakan GESTAPU yang diprakarsai oleh PKI

yang berakibat dibubarkannya PKI. Kebijakan pemerintah pada masa itu yang

semakin lama cenderung militeristis dan senantiasa bertindak sewenang-wenang

adalah merupakan tema politik yang berhubungan dengan perubahan kebijakan

tersebut. Oleh sebab itu, dengan mudah setiap orang dilabelisasi PKI dan dijebloskan

ke dalam penjara, terutama masyarakat sipil yang menghalangi kebijakan pemerintah

tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut ini.

“Pak Kyai, sampeyan sudah ikuti kami terus dari tadi. Sampeyan tahu
tidak, ada berapa rumah yang masih membangkang?” tanya komandan
itu pada Kyai Hasbi, dan dijawab dengan anggukan. “Ada 65, Pak
Kyai. Ya, 65. Tahu kan artinya 65? Mereka semua ini orang-orang
PKI.” (Entrok: 227).

Universitas Sumatera Utara


Pemilu pada tahun 1972 merupakan pemilu pertama selama Orde Baru

berkuasa. Pemerintah tentu mengharapkan partai pemerintah menang. Pemerintah

melalui aparatnya paling depan seperti tentara, lurah, camat, dan bupati harus bekerja

keras agar partai pemerintah (Golkar / Partai Pohon Beringin / Partai Kuning)

menjuarai pemilu tersebut dengan coblosan terbanyak dari seluruh masyarakat sipil di

tempat praktik sosial berlangsung. Hal ini dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.

“Sudah yo, Mbakyu, Kang, sudah beres urusan. Kalian tadi belum
nyoblos, to? Sudah, sekarang giliran kalian. Jangan lupa yang
gambarnya pohon. Kalian bukan PKI, to?” (Entrok: 65).

“Bapak terus berbicara tentang pemilu pertama yang diikutinya dan


kehebatan Partai Beringin. Bapak tidak ada bedanya dengan tentara-
tentara itu.” (Entrok: 66).

Pemilu kedua diadakan pada tahun 1977. Pada pemilu kedua ini pemerintah

tetap ingin agar partainya (Partai Golkar / Partai Beringin / Partai Kuning) menang

lagi. Partai-partai yang ikut pada pemilu kedua ini tidak sebanyak pemilu pertama.

Pemilu kedua ini memiliki peserta tiga partai saja, yaitu Partai Hijau, Partai Kuning,

dan Partai Merah. Tentara, lurah, camat, dan bupati juga tetap harus bekerja keras

agar Partai Kuning menang lagi. Adapun kedudukan masing-masing partai peserta

pemilu tersebut yakni Partai Hijau nomor satu, Partai Kuning nomor dua dan Partai

Merah nomor tiga. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


“Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah,
artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan
perdamaian. Kebalikannya adalah riga jari, jempol, telunjuk, dan
kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar,
orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak
pernah mengacung-acungkan tiga jari itu di mana pun.” (Entrok: 86).

“Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem,


halaman balai desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore,
setelah suara dihitung, gong akan ditabuh dan orang akan gambyongan
sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah.”
(Entrok: 86).

Pemilu ketiga dilaksanakan pada tahun 1982 dan pemilu keempat pada tahun

1987. Partai pemerintah (Partai Golkar / Partai Beringin / Partai Kuning) pada pemilu

tersebut ditargetkan untuk menang kembali. Meskipun pada pemilu tersebut tentara-

tentara tidak terlalu menunjukkan aktivitasnya seperti pada pemilu-pemilu

sebelumnya, masyarakat sipil tetap mencoblos partai pemerintah. Sehingga pada

pemilu ketiga dan keempat tersebut Partai Beringin menang lagi.

Pembangunan Waduk Kedung Merah diawali dengan pembebasan tanah yang

dilakukan oleh tentara-tentara, lurah, camat, dan bupati. Mereka saling bekerja sama

dan berupaya semaksimal mungkin agar tanah yang akan dibangun oleh pemerintah

era orde baru itu akan berjalan dengan baik dan tanpa hambatan dari masyarakat sipil

yang memiliki rumah dan tanah di lokasi tersebut.

Masyarakat sipil yang berdomisili di desa tersebut sangat khawatir akan

tergusurnya mereka dari tempat yang telah memberinya kehidupan turun-temurun.

Desa tersebut akan menjadi kolam raksasa atau waduk. Semua masyarakat sipil terus-

Universitas Sumatera Utara


menerus dipaksa menyingkir, dan para penguasa selalu berdalih bahwa waduk

tersebut dibangun untuk mensejahterakan masyarakat sipil tersebut. Hal ini dapat

dilihat melalui kutipan di bawah ini.

“Pak Kyai, pesantren itu isinya orang-orang agama, to… orang-orang


pemerintah semua. Dulu tahun 65 kita sama-sama numpas PKI. Berarti
kita sama, to? Berarti Pak Kyai bakal mendukung semua program
pemerintah, to? Ini waduk mau dibangun agar semua orang sejahtera.
Ajak mereka semua pindah dari sini. Nanti bikin sekolah di tempat
yang baru…” (Entrok: 225-226).

Para warga yang enggan pindah dan masih bertahan di tempat tinggalnya

masing-masing yang berada di desa tersebut terdiri dari 65 rumah. Untuk lebih jelas

dapat dilihat kutipan sebagai berikut.

“Ada 65 rumah di desa ini yang masih berdiri. Pada pemiliknya,


seperti Wagimun, orang-orang yang tak lagi memiliki rasa gentar.
Mereka meneriakkan segala kata, menggunakan seluruh tenaga,
menolak kedatangan orang-orang yang tak dikenal itu. Dalam segala
keterbatasan mereka tetap bertahan. Berbagai bangunan umum di desa
ini telah dirobohkan. Balai desa, sekolah, gardu, dam masjid besar,
semuanya telah rata dengan tanah. Sawah-sawah tak lagi bisa digarap.
Orang-orang itu telah membuat patok di seluruh sawah, menjaganya
sepanjang hari. Siapa pun tak diizinkan menggarap tanah yang selama
puluhan tahun telah menghidupi mereka.” (Entrok: 215).

Seseorang yang sepertinya komandan pasukan mendekati Wagimun.


“Banyak orang asing di sini, Pak?”
“Oh… ini teman-teman dari pesantren di Magelang. Mau buat sekolah
di sini.”
“Sampeyan tidak mengingatkan ke teman-teman sampeyan kalau
daerah ini sebentar lagi akan menjadi waduk?” (Entrok: 225).

Universitas Sumatera Utara


Tiba-tiba sekarang mereka menjadi begitu terasing di alam mereka
sendiri. Dipaksa menyingkir, meninggalkan tanah tempat puak mereka
dikubur dan janin darah daging mereka terlahir. Orang-orang yang
punya kuasa dan senjata itu datang begitu saja, mematok tanah-tanah
mereka dan berkata, “Segera pergilah atau kau mati tenggelam
bersama moyangmu yang sudah terkubur di tanah ini.” (Entrok: 214-
215).

Representasi situasi negara-masyarakat dalam novel Entrok dijabarkan

dengan gamblang oleh Manan (2005: 43-44) dalam bukunya “Gerakan Rakyat

Melawan Elite”. Manan menjelaskan bahwa baru sejak awal tahun 1980-an dominasi

negara atau tentara terhadap rakyat mulai menurun, namun sebelumnya dominasi

tentara tersebut memasuki sendi-sendi birokrasi utama di seluruh Indonesia. Seperti

yang dijelaskan oleh Manan di bawah ini:

“Kendali birokrasi juga ditempuh dengan proliferasi perwira-perwira


ABRI ke semua lini birokrasi, baik di pusat maupun daerah. Sejak
Kabinet Pembangunan I tahun 1968 dibentuk, mayoritas departemen
dan badan pemerintahan dikepalai oleh perwira ABRI. Begitu juga
pos-pos kepala daerah tingkat I dan II. Dalam tahun 1960, hanya
beberapa gubernur saja berasal dari ABRI, tetapi di tahun 1968, 68%
para gubernur adalah perwira ABRI, dan meningkat menjadi 92% di
awal 1970-an. Sedang dalam tahun 1968, 59% dari para bupati adalah
perwira ABRI. Agar cengkraman atas birokrasi makin kuat, dibentuk
jaringan aparatur intelijen dan keamanan yang ditempatkan dalam
setiap bidang birokrasi utama dan setiap ibu kota propinsi. Untuk
keperluan ini, dibentuk tiga badan, yaitu: Kopkamtib (Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), Opsus (Operasi
Khusus), Bineg (Badan Intelijen Negara). Strategi ini tidak hanya
efektif mengendalikan birokrasi, tetapi juga memunculkan dominasi
ABRI yang luas di dalamnya. Baru sejak awal 1980-an dominasi itu
mulai menurun. Memasuki dekade ini, perwira-perwira ABRI agak
kurang menonjol dalam pemerintahan.”

Universitas Sumatera Utara


6.3 Kekuasaan Partai Politik

Pemerintah yang berkuasa pada rezimnya senantiasa ditandai dengan partai

politik yang menang di dalam setiap pemilu, oleh sebab itu pemilu selalu menjadi

ajang adu kekuatan, adu argumentasi dan sebagainya. Maka partai penguasa tersebut

akan berusaha semaksimal mungkin agar partainya dapat menang kembali dalam

pemilu berikutnya. Segala cara diupayakan sedemikian rupa untuk mengedepankan

partai tersebut dalam pemilu. Pada pemilu pertama, yakni pada tahun 1972, Partai

Beringin atau partai pemerintah yang menang. Untuk lebih jelas dapat dilihat kutipan

sebagai berikut.

“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai
lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia
pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak
Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di
rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu,
gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan
meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan
memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).

Dalam setiap pemilu yang digambarkan dalam novel Entrok, baik tentara

maupun lurah bahkan bupati selalu melakukan penjagaan di sekitar kamar coblosan.

Hal ini mereka lakukan demi mewujudkan kemenangan partai pemerintah.

Selanjutnya pada pemilu kedua, yaitu pada tahun 1977 juga dimenangkan oleh partai

pemerintah. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan-kutipan di bawah ini.

Universitas Sumatera Utara


“Dari atas panggung suara Bupati menggema. Aku tak tahu apa yang
sedang dikatakannya. Setiap penggal kalimatnya diikuti tepuk tangan
dan gemuruh suara penonton, termasuk aku. Karena seperti itulah
perintah Pak Lurah. Aku juga diajari untuk mengacungkan jari
telunjuk dan jari tengah, artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu
katanya juga menyimbolkan perdamaian. Kebalikannya adalah tiga
jari, jempol, telunjuk, dan kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-
orang yang suka bikin onar, orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah
diwanti-wanti untuk tidak pernah mengacung-acungkan tiga jari itu
dimana pun.” (Entrok: 86).

“Coblosan dilakukan beberapa hari kemudian. Tanggal 2 Mei 1977.


Semua orang ramai-ramai datang ke balai desa. Sama seperti yang
kulihat lima tahun sebelumnya, orang-orang mencoblos kertas dengan
paku di dalam bilik bertirai. Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga.
Seperti sudah menjadi pakem, halaman balai desa sudah dipersiapkan
untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, gong akan ditabuh
dan orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan
kemenangan partai pemerintah.” (Entrok: 86).

Pada pemilu selanjutnya, yakni pada tahun 1982, dimenangkan lagi oleh

partai pemerintah. Dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Bupati itu mengingatkan agar kami semua memilih partai pemerintah


saat coblosan dua minggu lagi. Itu satu-satunya partai yang bisa
membuat kita semua sejahtera. Semua orang bertepuk tangan dan
mengacungkan dua jari. Aku selalu mencoblos partai itu. Nomor
dua, warna kuning. Tapi sebenarnya aku tidak pernah tahu apa itu
partai dan apa yang mereka lakukan untukku. Yang jelas aku tahu
ketika mau Pemilu pasti ada tarikan-tarikan duit yang katanya buat
sumbangan partai.” (Entrok: 105).

“Aku nyoblos gambar kuning itu karena disuruh Pak Lurah dan orang-
orang berseragam loreng yang menjaga di depan kamar coblosan.
Setelah nyoblos aku menyerahkan kertasnya pada tentara-tentara itu,
lalu mereka yang memasukkannya ke kotak.” (Entrok: 105-106).

Universitas Sumatera Utara


Pada pemilu tahun 1987, yang merupakan pemilu keempat, kembali

dimenangkan oleh Partai Kuning atau partai pemerintah. Penjagaan terhadap para

warga yang mencoblos tidak begitu ketat lagi, karena masing-masing warga sudah

tahu partai mana yang wajib dicoblos. Hal ini mereka lakukan demi keamanan dan

kenyamanan hidupnya masing-masing. Untuk lebih jelas dapat dilihat kutipan-

kutipan sebagai berikut.

“Beramai-ramai datang ke balai desa, mencoblos gambar kuning. Aku


juga berangkat. Walaupun sebenarnya tak ada satu pun alasan bagiku
untuk ikut pemilu dan nyoblos partai itu.” (Entrok: 122).

“Tapi ya bagaimana lagi, aku tidak mau menambah masalah, dicap


bukan orang pemerintah, apalagi PKI, karena tidak ikut nyoblos.”
“Lagi-lagi Pemilu dimenangkan partai pemerintah. Ya memang sudah
semestinya to, wong semua orang harus nyoblos itu.” (Entrok: 122).

Universitas Sumatera Utara


Kekuasaan pada era Orde Baru tidak hanya di bidang eksekutif, tetapi juga

dalam bidang legislatif. Hal ini dapat dilihat melalui bagan di bawah ini.

Bagan 3
Penguasaan Legislatif Melalui
Sentralisasi Kekuasaan Pada Presiden Masa Orde Baru

PRESIDEN

PANGTI KETUA DP KEPALA


ABRI GOLKAR EKSEKUTIF

MABES ABRI DPP GOLKAR EKSEKUTIF

FRAKSI KARYA
FRAKSI ABRI PEMBANGUNAN

FPP FPDI

KONTROL SEMU

(Sumber: Fatah, 2010: 93)

Universitas Sumatera Utara


Dari bagan 2 dapat dilihat bahwa Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI

dan Ketua Dewan Pembina Golkar (Partai Pemerintah). Sementara itu, perimbangan

kekuatan di lembaga legislatif selama Orde Baru memperlihatkan betapa fraksi karya

pembangunan dan fraksi ABRI memiliki kekuatan yang dominan dengan menguasai

sekitar 70-80% kursi DPR, sedangkan FPP dan FPDI hanya sekitar 20-30% kursi.

Kontrol yang dijalankan legislatif dan bersifat semu dan karenanya tidak pernah

efektif.

6.4 Doktrinasi Ideologi

Doktrin adalah ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan, atau

pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan, keagamaan, ketatanegaraan secara

bersistem, khususnya dalam penyusunan kebijakan negara. Selanjutnya dapat

dipahami melalui kutipan sebagai berikut.

“Pak Kyai, pesantren itu isinya orang-orang agama, to…orang-orang


pemerintah semua. Dulu tahun 65 kita sama-sama numpas PKI.
Berarti kita sama, to? Berarti Pak Kyai bakal mendukung semua
program pemerintah, to? Ini waduk mau dibangun agar semua orang
sejahtera. Ajak mereka semua pindah dari sini. Nanti bikin sekolah di
tempat yang baru…“ (Entrok: 225-226).

Percakapan di atas menunjukkan adanya proses doktrinasi yang dilakukan

oleh Komandan Tentara terhadap Kyai Hasbi, sebagai tokoh pembela rakyat yang

tertindas. Doktrinasi ideologi disampaikannya melalui pandangannya mengenai

orang-orang agama yang tentunya akan mendukung program pemerintah. Posisi Kyai

Universitas Sumatera Utara


Hasbi sebagai tokoh agama yang dipercayai oleh Wagimun dan teman-teman,

dimanfaatkan oleh komandan untuk menularkan pemahamannya kepada Kyai Hasbi

agar warga segera meninggalkan rumah mereka masing-masing.

“Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-
mesin keruk akan mengangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati
tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa saja kalian selamat.
Tapi hari itu seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua
akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama orang-orang
PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.” (Entrok: 226).

Gambaran situasi di atas menunjukkan doktrinasi yang dilakukan oleh

Komandan Tentara terhadap Wagimun, salah seorang warga yang enggan pindah dari

lokasi yang direncanakan pemerintah akan dijadikan waduk. Doktrinasi ideologi yang

ditekankan adalah masalah penularan pemikiran yang menganggap warga

pembangkang adalah orang-orang yang tergolong PKI.

“Katanya kelenteng itu tempat orang-orang Cina menyembah leluhur.


Mereka menyimpan abu nenek moyang dalam guci yang disimpan di
kelenteng, lalu berdoa di sana. Sejak goro-goro PKI, orang tidak boleh
lagi ke kelenteng. Kelenteng-kelenteng ditutup.” (Entrok: 108).

Gambaran situasi di atas memaparkan bahwa adanya doktrinasi ideologi

mengenai keagamaan, dalam hal ini tempat peribadatan etnis Cina yang pada masa

pemerintahan orde baru ditutup. Kebijakan pemerintah pada masa itu memaksakan

agar seluruh orang Cina tidak lagi mendatangi kelenteng untuk beribadah.

Universitas Sumatera Utara


Doktrinasi yang dilakukan oleh tentara kepada masyarakat sepanjang

kekuasaan Orde baru biasanya bertujuan untuk kepentingan golongan tertentu bagi

orang-orang yang menolak berbagai kebijakan pemerintah atau negara sesuai dengan

semangat developmentalismenya akan dicap sebagai orang-orang PKI. Tidak ada

kebenaran universal, yang ada hanya kebenaran yang bertujuan untuk menopang

kekuasaan pemerintah. Doktrinasi ideologi terdapat dalam aktivitas kehidupan sehari-

hari dan juga merupakan fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari.

Situasi psikologis masyarakat Indonesia sesuai dengan pendapat Althusser (2004: 59)

seperti di bawah ini:

“Bagi Althusser, titik masuk kita ke dalam tatanan bahasa dan


terbentuknya diri kita sebagai subjek adalah hasil kerja ideologi.
Dalam essainya “Ideology and the Ideological State Apparatuses”, dia
berpendapat bahwa “ideologi memuji dan mempertanyakan individu
sebagai subjek konkret”. Ideologi “berfungsi untuk membentuk
individu konkret sebagai subjek”. Argumen ini adalah bagian dari
antihumanisme Althusser dimana subjek dilihat bukan sebagai agen
yang membentuk dirinya sendiri melainkan sebagai “efek” dari
struktur.” (Barker, 2009: 379-380).

Universitas Sumatera Utara


BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Novel Entrok karya Okky Madasari merupakan novel yang memiliki latar

tempat di daerah Madiun dan latar waktu yaitu tahun 1950-1999. Adapun cerita yang

menonjol dalam novel tersebut adalah seputar pemerintahan rezim orde baru yang

didominasi oleh kaum militer yang berlangsung sekitar tahun 1966-1998. Pemerintah

orde baru yang otoriter melalui masyarakat politik atau negara dalam hal ini bertindak

sebagai kaum dominan senantiasa menguasai masyarakat sipil yang tergolong ke

dalam kaum subaltern.

Berdasarkan uraian penelitian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Institusi publik atau masyarakat politik atau negara telah mempelajari terlebih

dahulu dengan seksama mengenai formasi ideologi tokoh-tokoh publik atau

masyarakat sipil di wilayah tempat praktik sosial berlangsung, masyarakat politik

atau negara dengan mudah menjalankan kekuasaannya terhadap tokoh-tokoh

publik atau masyarakat sipil di wilayah tersebut melalui negosiasi ideologi,

sehingga institusi publik dapat menguasai tokoh-tokoh atau masyarakat sipil

melalui sebuah konsensus.

2. Dalam deskripsi politik dan kekuasaan yang terdapat pada wilayah tempat praktik

sosial berlangsung, dapat dilihat bahwa orang-orang yang tergolong ke dalam

92
Universitas Sumatera Utara
kelompok ideologi subaltern, yang tidak paham akan politik dan hanya sekadar

mengikuti aturan perpolitikan negara pada masa itu, dipaksa oleh kekuasaan

otoriter kaum militer yang tergolong ke dalam kelompok ideologi dominan, agar

menuruti kehendak masyarakat politik atau negara tersebut.

3. Pengaruh politik dan kekuasaan terhadap ideologi menghasilkan pro dan kontra

dalam penyelesaian masalah. Masalah politik yang timbul kerap kali diberikan

perlawanan oleh penduduk di wilayah tempat praktik sosial berlangsung,

sehingga menimbulkan konflik, namun penyelesaian dapat ditempuh melalui

sebuah konsensus.

7.2 Saran

1. Masyarakat sipil atau tokoh-tokoh publik yang berdomisili di wilayah tempat

praktik sosial berlangsung, seharusnya lebih dini melakukan negosiasi dengan

masyarakat politik atau negara agar orang-orang yang menjadi korban tidak

semakin banyak. Di samping itu juga menghilangkan kekhawatiran massa akan

paksaan dari pihak yang berkuasa atau dominan, dalam hal ini masyarakat politik

atau negara.

2. Penduduk yang berdomisili di wilayah tempat praktik sosial berlangsung

seharusnya mempelajari atau memperoleh informasi sekaligus edukasi mengenai

politik, sehingga dapat diketahui strategi perpolitikan di wilayah tersebut, dan

akhirnya masyarakat politik atau negara sulit untuk menguasai mereka.

Universitas Sumatera Utara


3. Kurangnya informasi atau edukasi mengenai situasi perpolitikan negara pada

sebuah rezim pemerintahan dapat menyebabkan masyarakat sipil kerap

melakukan perlawanan terhadap masyarakat politik atau negara, sehingga

menciptakan suasana yang tidak kondusif. Oleh sebab itu, maka seharusnya

masyarakat sipil atau tokoh publik memiliki kesadaran akan pentingnya

pendidikan dan betapa berharganya ilmu pengetahuan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,


Cultural Studies. (diterjemahkan oleh Olsy Vinoli Arnof). Yogyakarta:
Jalasutra.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik. (diterjemahkan oleh
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan


Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djokosujatno, Apsanti. 2010. Entrok: Sebuah Novel Multifaset, dalam


novelentrok.blogspot.com, diunduh 28 Agustus 2010.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media


Pressindo.

Esten, Mursal (Ed.). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia Yang
Relevan. Bandung: Angkasa.

Jabrohim (Ed.). 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha


Widya.

Klarer, Mario. 1999. An Introduction to Literary Studies. London and New York:
Routledge.

Kurniawan, Heru. 2007. “Relasi Formatif Hegemoni Gramsci dalam Novel


Perburuan Karya Pramoedya Ananta Toer.” Dalam Jurnal Studi Islam dan
Budaya. 5(1): 157-175, dalam http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/10-
relasi-formatif-hegemoni-gramsci.pdf, diunduh 29 Desember 2010.

Madasari, Okky. 2010. Entrok. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Manan, Munafrizal. 2005. Gerakan Rakyat Melawan Elite. Yogyakarta: Resist Book.

95

Universitas Sumatera Utara


Palmer, Richard, E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi.
(diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pranachitra, Bima. 2010. Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mery Shelley
Frankenstein Karya Mary Shelley. Tesis (Magister/S2). Medan: Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Prawoto, Poer Adhie. 1991. Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern. Bandung:
Angkasa.

Purnomo, Akhlis. 2009. Pandangan Para Tokoh Utama dalam Novel A Bird Named
Enza Karya Dawn Meier Mengenai American Dream: Sebuah Pendekatan
Sosiologi Sastra. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro, dalam
http://eprints.undip.ac.id/16321/1/AKHLIS_PURNOMO.pdf, diunduh 29
Desember 2010.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Schmandt, Henry, J. 2009. Filsafat Politik. (diterjemahkan oleh Ahmad Baidlowi dan
Imam Bahehaqi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Siswadi, Tenggina Rahmad. 2010. Perang Ideologi dalam Novel Entrok Kajian
Sastra Populer dan Hegemoni Gramsci, dalam novelentrok.blogspot.com,
diunduh 28 Agustus 2010.

Storey, John. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Universitas Sumatera Utara


Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. (diterjemahkan oleh Cholish). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Surbakti, Asmyta. 2008. “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata di Kota


Medan: Sebuah Kajian Budaya”. Disertasi (Doktor/S3). Denpasar: Program
Pascasarjana Universitas Udayana.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1977. Theory of Literature. Florida: Harcourt Brace
Javanovich.

Yolagani. 2007. Representasi Oleh Media dan Stuart Hall, dalam


http://yolagani.wordpress.com/2007/11/18/representasi-dan-media-oleh-
stuart-hall/, diunduh 29 Desember 2010.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

Foto dan Biografi Okky Madasari

Okky Madasari lahir di Magetan, Jawa Timur, pada 30 Oktober 1984.

Mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional,

Universitas Gadjah Mada. Setamat kuliah memilih berkarier sebagai wartawan dan

mendalami dunia penulisan. Entrok adalah novel pertamanya yang lahir sebagai

kegelisahan atas menipisnya toleransi dan maraknya kesewenang-wenangan. Tinggal

di Jakarta dan dapat dihubungi di okky_madasari@yahoo.com dan

www.madasari.blogspot.com

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

Sinopsis Novel Entrok Karya Okky Madasari

Okky Madasari mengawali Entrok-nya dengan kehadiran dua orang yang

berperan sebagai tokoh utama, yakni Sumarni dan Rahayu. Sumarni adalah ibu

kandung Rahayu, sedangkan Rahayu adalah anak semata wayang dari pernikahan

Sumarni dan Teja. Cerita bermula pada tahun 1950-an, ketika Sumarni hidup bersama

ibunya yang biasa dipanggil “Simbok” tanpa asuhan dan nafkah dari seorang ayah.

Pada masa ini Sumarni adalah seorang gadis kecil yang tidak pernah mendapatkan

pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena sulitnya perekonomian pada masa itu.

Sedangkan Simbok bekerja di pasar hanya sebagai tukang potong ubi pada orang-

orang yang berjualan ubi di pasar. Ubi merupakan makanan pokok pada masa itu dan

akan diolah menjadi gaplek. Desa Singget sebagai tempat tinggal Sumarni dan

Simbok berada jauh dari pasar Ngranget, tempat Simbok kerja.

Suatu hari Sumarni ikut bersama Simbok ke pasar Ngranget. Ia mencoba

membantu ibunya bekerja mengupas dan memotong ubi. Ia telah melihat hingar-

bingar kehidupan pasar, mulai dari para penjual yang berjualan beraneka ragam

barang dagangan, pembeli yang beragam status sosialnya, para kuli yang mondar-

mandir membawa belanjaan para pembeli, bahkan para preman pasar yang selalu

menunggu jatah duit dari setiap pedagang pasar.

99
Universitas Sumatera Utara
Setelah pekerjaan mengupas ubi berakhir, maka Simbok pun menerima upah

dari pedagang tersebut berupa beberapa buah ubi. Sumarni menjadi sangat kecewa

melihat pembayaran atas keringatnya dan ibunya. Akan tetapi memang seperti ini

tradisi yang berlaku di pasar ini, pekerja perempuan dihargai dengan ubi dan

sebaliknya pekerja laki-laki dihargai dengan uang. Hal ini tentu saja dirasakan

Sumarni sebagai suatu ketidakadilan yang perlu diperangi. Apalagi seusia Sumarni

yang sudah layak memakai entrok (bahasa Jawa, artinya kutang). Sumarni sangat

mendambakan entrok-entrok yang dijual di pasar karena teman-teman seusianya yang

memiliki ayah yang berprofesi pegawai telah memiliki minimal satu buah entrok.

Sedangkan Simbok setiap harinya hanya mendapatkan ubi.

Mulai saat itu Sumarni berjanji pada dirinya sendiri untuk menaikkan derajat

kehidupannya dan keluarganya. Ia pun tertarik untuk menjadi kuli di sebuah grosir

milik seorang Cina, meskipun cuma Sumarni satu-satunya kuli perempuan di Pasar

Ngranget. Setiap hari Ia lalui bersama Simbok di pasar yang memberikannya sedikit

demi sedikit uang, sehingga Ia pun dapat membeli entrok yang diinginkannya.

Cerita pun tidak berakhir sampai di sini. Disela-sela Sumarni bekerja sebagai

kuli, Ia pun menjalin hubungan dengan teman laki-lakinya yang berprofesi sama

dengannya, namanya Teja. Mereka lalu menikah dan hidup berkecukupan bersama

Simbok. Sumarni mulai beralih profesi menjadi pedagang di Pasar Ngranget.

Modalnya berjualan didapatkannya dari tabungan upah kuli. Ia berjualan barang-

barang rumah tangga dan dikreditkannya kepada seluruh pembeli, sehingga banyak

pedagang-pedagang pasar membeli barang dagangannya. Pundi-pundi Sumarni pun

Universitas Sumatera Utara


terus meningkat. Gaplek yang dikonsumsi sebagai makanan pokok perlahan berganti

dengan nasi. Tak lama kemudian Simbok meninggal dunia. Hari-hari yang dilalui

Sumarni pun menjadi sepi tanpa kehadiran Simbok. Akan tetapi hal ini tidak

berlangsung lama dalam kehidupan Sumarni dan Teja. Karena tak lama sepeninggal

Simbok, lahirlah Rahayu melengkapi kehidupan Sumarni dan Teja.

Kehidupan ekonomi Sumarni semakin meningkat drastis, dan tentu saja hal ini

berdampak besar bagi Rahayu dan Teja. Sumarni mengembangkan usahanya dari

keuntungannya berjualan, yaitu meminjamkan uang dengan imbalan pembayaran

komplit bunga sepuluh persen dan juga bisa dicicil. Rahayu juga sudah tidak lagi

mengalami masa-masa sulit seperti yang dulu dialami ibunya. Rahayu bersekolah di

tempat yang bagus bersama dengan anak-anak pegawai. Kemudian Rahayu juga

belajar mengaji sepulang sekolah. Memang semua ini adalah cita-cita Sumarni sejak

dulu agar nasibnya tidak terulang pada putrinya itu. Sumarni yang sepanjang

hidupnya bekerja keras demi mendapatkan sesuatu selalu mendapat masalah dengan

masyarakat sekitar hanya gara-gara prasangka. Ditambah masalahnya dengan

“penguasa berbaju loreng” yang sedikit-sedikit datang meminta uang keamanan

dengan ancaman terselubung.

Suatu ketika Pak Guru Waji yang mengajar Rahayu di sekolahnya, meminjam

uang pada Sumarni. Pak Guru Waji merupakan guru agama yang dikagumi Rahayu

karena kepintarannya. Bukan hanya Pak Waji, bahkan hampir semua warga Desa

Singget mencari hutangan ke rumah ibu Rahayu tersebut. Lalu pada saat tanggal

penagihan hutang tiba, maka Sumarni pun berkeliling menagih satu per satu warga

Universitas Sumatera Utara


Singget maupun pedagang Ngranget. Bermacam pola tingkah pelanggan-pelanggan

Sumarni ketika ditagih olehnya. Ada yang dengan legowo membayar cicilannya, ada

yang tampak tidak senang terlihat dari parasnya walaupun akhirnya cicilan itu

dipenuhinya, ada juga yang memaki-maki Sumarni dengan sebutan “lintah darat”,

“penghisap darah”, dan sebagainya. Hal ini awalnya tidak diambil pusing oleh

Sumarni karena Ia berpikir bahwa Ia tidak pernah memaksa orang-orang berhutang

kepadanya, malahan orang-orang itu yang memelas datang kepadanya agar dipinjami

uang dengan dalih yang bermacam-macam.

Lontaran-lontaran negatif itu justru terucap dari Pak Waji ketika sedang

mengajar di kelas. Pak Waji secara terang-terangan mengatakan bahwa Ibu Rahayu

adalah rentenir yang suka menyiksa orang, lintah darat, dan lain sebagainya. Hal ini

tentu saja membuat Rahayu marah dan malu di hadapan teman-teman sekelasnya itu.

Setelah Rahayu pulang ke rumah, Ia menjadi sangat marah dan seketika meluapkan

emosinya kepada Ibunya, karena ucapan-ucapan negatif dari Pak Waji yang tidak bisa

diterimanya. Begitu juga dengan kebiasaan Ibunya di malam hari yang selalu duduk

dan merenung di bawah pohon depan rumahnya sambil memohon kepada “Mbah Ibu

Bumi Bapa Kuasa” yang diyakini Sumarni sebagai Tuhan Penguasa Alam. Sejak

kecil Sumarni diajarkan Simbok mengenai hal ini. Sumarni yang tak bisa baca, tak

pernah sekolah, tak bisa mengaji, selalu mengamalkan segala sesuatu yang diajarkan

Simbok kepadanya. Ditambah lagi dengan hadirnya sesajen di dalam kamar Sumarni

yang berisi tumpengan dan panggang yang ditujukan kepada para leluhur di setiap

tanggal kelahiran dan hari-hari tertentu. Sumarni dan almarhumah Simbok meyakini

Universitas Sumatera Utara


akan ada perlindungan dan kemurahan rejeki yang terus mengalir apabila semua ritual

di atas dijalankan.

Segala kebiasaan Ibunya tentu saja ditentang oleh Rahayu yang sangat

menjunjung tinggi ajaran-ajaran agama yang hakiki yang telah diperolehnya dari guru

agama di sekolah. Perbedaan paham inilah yang mengakibatkan Rahayu sering

berselisih dengan Ibunya. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi berulang-ulang hingga

Rahayu tumbuh menjadi seorang remaja yang beranjak dewasa. Ketika Rahayu telah

lulus SMA, maka Sumarni pun menganjurkan kepada putrinya itu agar melanjutkan

ke bangku kuliah. Dan Rahayu pun memilih berkuliah di Yogyakarta. Walaupun

dengan berat hati Sumarni tetap memperbolehkan Rahayu hidup mandiri demi cita-

citanya “jadi pegawai”.

Tak lama setelah kepergian Rahayu, konflik demi konflik pun terjadi pada

kehidupan Sumarni. Meskipun usahanya berkembang pesat, akan tetapi tetap saja

kebahagiaan yang sejati sulit untuk diperolehnya, belum lagi Teja yang sering pulang

pagi. Sikap suaminya ini telah disadari Sumarni sebagai gejala-gejala perselingkuhan

antara Teja dan gendakannya.

Tahun berganti tahun Sumarni lalui dengan peluh bercampur darah

mengumpulkan rejeki seorang diri, karena Teja yang semenjak menikah dengan

Sumarni adalah Teja yang hidup dari penghasilan sang istri semata. Sedangkan

Rahayu tak juga datang ke kampung halamannya. Sumarni yang menyimpan

kerinduan yang tulus selalu berdoa agar putri semata wayangnya itu senantiasa dalam

perlindungan Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

Universitas Sumatera Utara


Dibalik harapan-harapan agung seorang ibu terhadap anaknya, ternyata sang

anak satu-satunya ini telah menemukan kekasihnya, yaitu seorang dosen yang

mengajarnya di universitas tempat Rahayu menimba ilmu. Dosen yang telah beristri

itu adalah Amri Hasan. Rahayu dan Amri beserta beberapa temannya bergabung

membentuk kelompok demonstran yang melakukan unjuk rasa di markas besar

tentara, akan tetapi aksi mereka ditentang oleh pihak rektorat universitas, maka

mereka pun resmi dikeluarkan dan Amri dipecat. Kemudian Rahayu pun kembali ke

kampung halamannya bersama calon suaminya itu.

Doa restu pun diperoleh mereka dari kedua orang tua Rahayu meskipun ada

rasa kecewa yang amat dalam pada diri Sumarni. Kemudian mereka menikah dengan

hanya disaksikan orang-orang terdekat saja. Beberapa hari setelah pernikahan

berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta. Setibanya di sana Rahayu pun

bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik

Kyai Hasbi, guru spiritual Amri. Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran

Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren

pergi ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah. Mereka akan

memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di kampung tersebut.

Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan Rahayu

masuk penjara dan Amri meninggal dunia. Sedangkan Ibu Rahayu belum sekalipun

mendapatkan kabar dari putrinya itu. Kesedihan dialami Sumarni untuk kesekian

kalinya. Teja meninggal dunia.

Universitas Sumatera Utara


Setelah tiga tahun terlewati, Rahayu pun telah keluar dari penjara. Ia pun

kembali kepada ibunya di tengah-tengah duka yang dialami keluarganya. Rahayu kini

tidak lagi seperti Rahayu yang dulu. Kini Ia lebih pendiam dan sangat menurut

kepada ibunya. Ia bahkan tidak lagi menentang Sumarni ketika sesajen-sesajen

meramaikan rumahnya, juga ketika ibunya berdoa di depan rumah pada malam hari

seraya memohon perlindungan kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

Sumarni menerima dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi.

Akan tetapi Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi

narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan mendapat

tanda di KTP, karena pada masa itu hal ini dianggap terlibat dalam PKI. Sehingga

orang yang telah masuk dalam kategori ini akan sulit diterima dalam masyarakat.

Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Sumarni. Kondisi

fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada

berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan keberadaan putri semata

wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

Kulit Sampul Novel Entrok Karya Okky Madasari

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4

Kulit Sampul Buku-Buku Acuan

107

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai