OLEH
NI WAYAN SULIANTINI (1929011007)
NI PUTU YUYUN RUMANTI (1929011008)
NATALINO MUNI NEPA RASSI (1929011009)
NI PUTU AYU SINTYA DEWI (1929011011)
Jadi berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, dibedakan
adanya tiga macam fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akuistik, dan fonetik
auditoris. Berikut ini dijelaskan jenis-jenis fonetik.
1) Terjadinya Bunyi:
(1) Sumber energi utama terjadinya bunyi bunyi bahasa adalah adanya udara dari paru-
paru.
(2) Udara dihirup ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan keluar bersama-sama
waktu sedang bernapas.
(3) Udara yang dihembuskan (atau dihirup untuk sebagaian kecil bunyi bahasa)
mendapat hambatan di berbagai tempat alat-alat bicara dengan berbagai cara
sehingga terjadi bunyi bahasa.
(4) Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya batang tenggorok,
pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung.
(5) Pada waktu udara mengalir keluar pita suara harus dalam keadaan terbuka.
(6) Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara, bunyi bahasa tidak akan
terjadi.
(7) Syarat terjadinya bunyi bahasa secara garis besar.
2) Alat ucap
Alat-alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa ini mempunyai
fungsi utama lain yang bersifat fisiologis. Misalnya, paru-paru untuk bernapas, lidah
untuk mencecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, alat-alat itu secara linguistik
digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa sewaktu berujar. Nama-nama bunyi
bahasa diambil dari nama-nama alat ucap yang diambil dari bahasa Latin. Berikut adalah
gambar alat ucap manusia.
Keterangan gambar
1. Paru-paru (lungs)
2. Batang tenggorok (trachea)
3. Pangkal tenggorok (larynx)
4. Pita-pita suara (vocal cords)
5. Krikoid (cricoid)
6. Tiroid (thyroid/lekum)
7. Aritenoid (arythenoids)
8. Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9. Epiglotis (epiglottis)
10. Akar lidah (root of the tongue)
11. Punggung lidah/ pangkal lidah (dorsum)
12. Tengah lidah (medium, middle of the tongue)
13. Daun lidah (lamina, blade of tongue)
14. Ujung lidah (apex, tip of the tongue)
15. Anak tekak (uvula)
16. Langit-langit lunak (velum, soft palate)
17. Langit-langit keras (palatum, hard palate)
18. Gusi dalam/ ceruk gigi (alveolum)
19. Gigi atas (upper teeth, dentum)
20. Gigi bawah (lower teeth, dentum)
21. Bibir atas (upper lip, labium)
22. Bibir bawah (lower lip, labium)
23. Mulut (mouth)
24. Rongga mulut (oral cavity)
25. Rongga hidung (nasal cavity)
Nama-nama Latin alat ucap tersebut perlu diperhatikan karena nama-nama bunyi
disebut dengan nama Latinnya itu. Sebagai contoh bunyi yang dihasilkan di bibir disebut bunyi
labial, diambil dari kata labium yang artinya bibir; dan bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah
dan gigi disebut apikodental, yang diambi, dari kata apeks yaitu ujung lidah dan kata dentum
yaitu gigi. Berikut adalah penjelasan mengenai cara kerja alat ucap di atas.
(a) Paru-paru (Lungs)
Paru-paru berfungsi untuk bernapas. Bernapas terdiri atas dua proses, yakni: (1)
Proses menghirup udara ke paru-paru, yang berupa oksigen (O2); dan (2) Proses
mengeluarkan udara dari paru-paru, yang berupa karbondioksida (CO2). Selama hidup,
manusia senantiasa menghisap dan mengeluarkan uadara. Dengan demikian, paru-paru
berfungsi untuk mengeluarkan udara yang menjadi sumber terbentuk bunyi bahasa (Pike,
1974).
(b) Pangkal tenggorokan (Larynx)
Pangkal tenggorokan adalah rongga di ujung saluran pernapasan. Pangkal
tenggorokan ini terdiri atas empat komponen, yakni: (1) tulang rawan krikoid, (2) tulang
rawan Aritenoid, (3) sepasang pita suara, dan (4) tulang rawan tiroid (Malmberg, 1963:22).
Tenggorokan (larynx), rongga anak tekak (pharinx), pita suara (vokal cords), dan anak
tekak (uvula). Tenggorokan berfungsi untuk mengeluarkan udara dari paru-paru, rongga
tersebut dapat membuka atau menutup. Jika rongga tenggorokan membuka akan
membentuk bunyi vokal, sebaliknya jika rongga tenggorokan menutup akan membentuk
bunyi konsonan. Tentu saja, fungsi pita suara sangat penting dalam menghasilkan bunyi.
Uraian mengenai fungsi pita suara dijelaskan di bawah ini.
(c) Rongga anak tekak (Pharynx)
Rongga anak tekak ada di antara pangkal tenggorokan dan rongga mulut dan rongga
hidung. Gunanya sebagai saluran udara yang akan bergetar bersama sama dengan pita
suara. Adapun bunyi yang dihasilkannya disebut bunyi faringal.
(d) Pita suara (Vokal cords)
Bunyi yang dihasilkan pita suara diatur oleh sistem otot aritenoid. Pita suara bagian
depan mengait pada tulang rawan tiroid. Adapun pita suara bagian belakang mengait pada
tulang rawan Aritenoid. Pita suara dapat membuka luas atau menutup, fungsinya sebagai
katup yang ngatur jalannya udara dari paru-paru ketika melalui tenggorokan.
Akibat membuka dan menutup pita suara, akan memunculkan rongga di antara pita
suara yang disebut glotis. Posisi glotis ada empat macam, yakni: membuka lebar,
membuka, menutup, dan menutup rapat. Proses bergetarnya pita suara tersebut
disebut proses fonasi. Proses teresebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Bunyi-bunyi sertaan disebut juga bunyi pengiring yang muncul, antara lain, akibat
adanya proses artikulasi sertaan yang disebut :
(a) Labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan
disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan
[ʷ] pada bunyi utama. Misalnya, bunyi [t] pada kata < tujuan > terdengar sebagai bunyi
[tʷ] sehingga lafalnya [tʷujuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan.
(b) Palatalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkan
mendekati langit-langit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan
sehingga terdengar bunyi sertaan [ʸ]. Misalnya, bunyi [p] pada kata <piara> terdengar
sebagai bunyi [pʸ] sehingga ucapannya menjadi [pʸara]. Jadi, bunyi [p] telah dipalatalisasi.
(c) Valerisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara mengangkat lidah ke arah
langit-langit lunak (velum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar
bunyi sertaan [ˣ]. Misalnya, bunyi [m] pada kata <makhluk> terdengar sebagai bunyi [mˣ],
sehingga ucapannya menjadi [mˣaxluk]
(d) Retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik ke
belakang segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ʳ].
Misalnya, bunyi [k] pada kata <kertas> terdengar sebagai bunyi [kʳ], sehingga ucapannya
menjadi [kʳertas]. Jadi, bunyi [k] telah diretrofleksikan.
(e) Glotalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi
utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ˀ]. Misalnya, bunyi [a] pada kata
<akan> terdengar sebagai bunyi [aˀ], sehingga ucapannya menjadi [aˀkan].
(f) Aspirasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang ke luar lewat
rongga mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi sertaan [ʰ]. Misalnya, bunyi [p] pada
awal kata bahasa Inggris <peace> terdengar sebagai bunyi [pʰ], sehinga ucapannya
menjadi [pʰeis].
(g) Nasalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesempatan arus
udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat bunyi utama diucapkan, sehingga
terdengar bunyi sertaan [ ͫ ]. Hal ini biasa terjadi pada konsonan hambat bersuara, yaitu [b],
[d], dan [g].
F. Unsur Suprasegmental
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi
yang sambung-bersambung terus-menerus diselangseling dengan jeda singkat atau jeda agak
singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan
sebagainya. Dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan, sehingga disebut
bunyi segment tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi
tidak dapat disegmentasikan. Dalam studi mengenai bunyi atau unsur suprasegmental itu
biasanya dibedakan pula atas, seperti yang dibicarakan dibawah ini.
1) Nada dan Intonasi
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental
diartikulasikan dengan frekuensi getaran yang tinggi, bunyi tersebut akan terdengar bernada
tinggi. Sebaliknya, jika diartikulasikan dengan frekuensi yang rendah, bunyi tersebut akan
terdengar benada rendah. Di dalam bahasa Indonesia, nada tidak bersifat fonemis tidak pula
bersifat morfemis. Akan tetapi, ada bahasa-bahasa yang memang melibatkan nada yang bersifat
seperti itu.
Dalam bahasa-bahasa yang bernada, nada bisa bersifat morfemis. Artinya, perbedaan nada
dapat membedakan makna. Bahasa-bahasa tonal atau bahasa bernada misalnya bahasa
Vietnam, Thailand, dan Mandarin.
2) Durasi
Durasi berkenaan dengan panjang atau pendeknya pembunyian suatu bunyi segmental.
Bahasa yang melibatkan durasi sebagai pembeda makna (durasi berciri distingtif) misalnya
bahasa Jepang dan Arab.
Jeda berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar (Chaer, 2003:122). Chaer
menyebut jeda juga sebagai persendian karena memang pada jeda itulah terjadinya
persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain (misalnya segmen suku
kata). Jeda dapat bersifat penuh dapat pula bersifat sementara.
Sendi dalam atau internal juncture adalah sendi yang menunjukkan batas antara satu silabe
dengan selabe yang lain. Ketika dilambangkan secara ortografis, sendi dalam dilambangkan
dengan tanda “+”. Misalnya lari terdiri dari la + ri.
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih luas daripada suku kata. Pembedaannya antara lain:
“Silaba atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau
runtunan bunyi ujaran” (Chaer, 2003:123). Satu silabel biasanya meliputi satu vokoid dan satu
kontoid atau lebih.
Kontoid yang posisinya mengawali silabe disebut onset sedangkan kontoid yang mengakhiri
silabe disebut koda. Di antara onset dan koda tersebut, terdapat sebuah inti silabe yang disebut
sebagai nukleus. Inti silabe atau nukleus adalah bagian silabe yang memiliki puncak
kenyaringan atau sonoritas yang paling tinggi.
Kenyaringan atau sonoritas yang tertinggi itu biasanya terletak pada sebuah vokoid.
Kenyaringan atau sonoritas yang menjadi puncak silabe itu terjadi karena adanya ruang
resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-rongga lain di kepala dan dada.
Bunyi vokoid menjadi bunyi yang paling nyaring dalam satu silabe karena bunyi vokoid
menggunakan ruang resonansi tersebut secara maksimal.
Berpijak pada teori tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa struktur silabe dalam bahasa
Indonesia secara umum adalah:
O N K
Keterangan:
O=onset
N=nukleus
K=koda
Meskipun bunyi vokoid memang hampir selalu menjadi puncak kenyaringan dalam suatu
silabe, tidak tertutup kemungkinan bahwa kontoid pun, baik bersuara maupun tidak, dapat
menjadi puncak silabe. Dengan demikian, pada kasus tersebut, kontoid menjadi inti/nukleus
silabe.
Untuk contoh kasus, Chaer (2003:124) memberikan contoh kata nggak [ŋ'gak] dalam
dialek Jakarta. Kata tersebut terdiri dari empat bunyi, [ŋ], [g], [a], dan [k]. Kata tersebut dari
dua silabe, [ŋ] dan [gak]. Kenyaringan pada silabe pertama terletak pada satu-satunya bunyi
pada silabe tersebut, yaitu kontoid [ŋ].
Penentuan batas silabe sebuah kata kadangkala sukar karena penentuan batas tersebut
bukan sekadar problematika fonetik tetapi juga soal fonemik morfologi, dan ortografi. Sebagai
contoh, ambillah kata makan. Kata tersebut dapat dipecah menjadi [ma] dan [kan], tetapi
kata makanan yang dibangun oleh bentuk dasar makan [ma] + [kan] dan sufiks -an dipecah
menjadi [ma], [ka], dan [nan]. Pada contoh kasus tersebut, koda pada silabe [kan] pada
kata makan berpindah tempat menjadi onset pada silabe [nan] pada kata makananpadahal
secara ortografi, dan menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia, silabenya adalah [ma], [kan],
dan [an]–dalam pemenggalan suku kata, bentuk dasar harus utuh dan dipisahkan dari
konstituen morfem terikat.
Mengenai kontoid tak bersuara yang menjadi puncak silabis, Verhaar (2004:60)
memberi contoh kata sepakat [səpakàt]. Sejatinya, kata tersebut terdiri dari tiga silabe, [sə],
[pa], dan [kàt]. Akan tetapi, kata sepakat, dalam tuturan sehari-hari, cenderung diujarkan
dengan menghilangkan bunyi [ə] pada silabe pertama menjadi [spakàt]. Dengan begitu,
tinggallah [s] sebagai satu-satunya anggota suku kata pertama.
DAFTAR RUJUKAN
Muaffaq, Ahmad. 2012. Fonologi Bahasa Indonessia. (Cet. I, Makassar: Alauddin University
Press, hlm. 1
W Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yokyakrta: Gadjah Mada University Press.