Anda di halaman 1dari 15

MIKROLINGUISTIK

FONETIK DAN FONOLOGI

OLEH
NI WAYAN SULIANTINI (1929011007)
NI PUTU YUYUN RUMANTI (1929011008)
NATALINO MUNI NEPA RASSI (1929011009)
NI PUTU AYU SINTYA DEWI (1929011011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2019
FONETIK DAN FONOLOGI

A. Kedudukan Fonologi dalam Linguistik


Kedudukan fonologi dalam studi bahasa dapat dilihat dari hubungan antara
bentuk bahasa. Jika bahasa dibagi secara sederhana atas dua ranah: bentuk dan makna,
maka fonologi berada pada tataran bentuk. fonologi merupakan penghubung antara
substansi bahasa dan bentuk bahasa. Substansi bahasa di sini adalah fonetik sementara
tata bahasa (grammar) dan leksis (lexis). Halliday sendiri membagi bahasa atas lima
tataran, yang terdiri atas tiga tataran utama, yaitu: isi (substance), bentuk (form), dan
situasi ekstralinguistik (sxtralinguistic situation), ditambah dua tataran antra
(interlevels), yakni fonologi dan konteks.
Secara umum, tataran linguistik dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1)
fonologi, 2) morfologi, 3) sintaksis, dan 4) semantik. Kedudukan fonologi dalam studi
linguistik adalah sebagai tataran awal yang menjadi syarat mutlak untuk dapat
menguasai dengan baik tataran-tataran berikutnya.
B. Fonologi
Secara etimologi fonologi berasal dari gabungan kata fon yang berarti bunyi,
dan logi yang berarti ilmu. Chaer (2009: 1) menyatakan sebagai sebuah ilmu, fonologi
lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas,
membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat
ucap manusia. Runtutan bunyi bahasa dapat dianalisis atau disegmentasi berdasarkan
tingkat-tingkat kesatuannya. Jadi, objek kajian fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa
yang dihasilkan oleh alat ucap atau alat bicara manusia.
Chaer (2009: 3) juga menjelaskan bahwa menurut status atau hierarki satuan
bunyi terkecil yang menjadi objek kajiannya, fonologi dibagi atas dua bagian, yaitu
fonetik dan fonemik. Secara umum, fonetik bisa dijelaskan sebagai cabang fonologi
yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan statusnya, apakah bunyi-
bunyi bahasa itu dapat membedakan makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah
cabang kajian fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan
fungsinya sebagai pembeda makna.
C. Fonetik
Bunyi bahasa dibedakan menjadi dua yaitu, bunyi-bunyi yang tidak
membedakan makna yang disebut dengan fon dan dikenal dengan sebutan fonetik.
Sedangkan bunyi-bunyi yang membedakan makna yang disebut dengan fonem atau
fonemik. Berikut adalah pengertian fonetik menurut para ahli.
Chaer (2003:102) mendefinisikan bahwa fonetik adalah cabang studi fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Menurut Muaffaq (2012:8) bahwa fonetik adalah ilmu yang mengkaji bunyi
bahasa, yang mencakup produksi, tranmisi, dan presepsi terhadapnya, tanpa
memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna.
Marsono (1999:1) mendefinisikan bahwa fonetik adalah ilmu yang menyelidiki
dan berusaha merumuskan secara teratur tentang hal ihwal bunyi bahasa, bagaimana
cara membentuknya, berapa frekuensinya, intensitas, timbernya sebagai getaran udara,
dan bagaimana bunyi diterima oleh telinga.
Menurut Verhaar (2004:2 ) fonetik ialah cabang ilmu linguistik yang meneliti
dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Ia meneliti bunyi bahasa menurut cara pelafalannya,
dan menurut sifat-sifat akuistiknya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas, disimpulkan bahwa
fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa baik itu prosesi
terbentuknya, dan bagaimana bunyi diterima oleh telinga pendengar, tanpa
memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau
tidak.

Jadi berdasarkan di mana beradanya bunyi bahasa itu sewaktu dikaji, dibedakan
adanya tiga macam fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akuistik, dan fonetik
auditoris. Berikut ini dijelaskan jenis-jenis fonetik.

a) Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis.


Fonetik artikulatoris meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu diproduksi
oleh alat-alat ucap manusia. Pembahasannya, antara lain meliputi masalah
alat-alat ucap yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa itu;
mekanisme arus udara yang digunakan dalam memproduksi bunyi bahasa;
bagaimana bunyi bahasa itu dibuat; mengenai klasifikasi bunyi bahasa yang
dihasilkan serta apa kriteria yang digunakan; mengenai silabel; dan juga
mengenai unsur-unsur atau ciri-ciri suprasegmental, seperti tekanan, jeda,
durasi, dan nada.
b) Fonetik akustik, yang objeknya adalah bunyi bahasa ketika merambat di
udara, antara lain membicarakan: gelombang bunyi beserta frekuensi dan
kecepatannya ketika merambat di udara, spektrum, tekanan, dan intensitas
bunyi. Juga mengenai skala desibel, resonansi, akustik produksi bunyi, serta
pengukuran akustik itu. Kajian fonetik akustik lebih mengarah kepada
kajian fisika daripada kajian linguistik, meskipun linguistik memiliki
kepentigan di dalamnya.
c) Fonetik auditori meneliti bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu ‘diterima’ oleh
telinga, sehingga bunyi-bunyi itu didengar dan dapat dipahami. Dalam hal
ini, tentunya pembahasan mengenai struktur dan fungsi alat dengar, yang
disebut telinga itu bekerja. Kajian fonetik auditori lebih berkenaan dengan
ilmu kedokteran, termasuk kajian neurologi.

Jadi berdasarkan uraian di atas mengenai jenis-jenis fonetik ketiganya memiliki


peranan dalam bidnag ilmu yang berbeda. Sebab objek yang dikaji pada tiap-tiap
fonetik tersebut berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa fonetik artikulatoris yang
paling berkaitan dengan linguistik dibandingkan fonetik yang lain. Berikut adalah
gambar jenis-jenis fonetik.

D. Terjadinya Bunyi dan Alat Ucap


Seperti yang sudah disebutkan, bahwa fonetik (artikulatoris) mengkaji cara membentuk
bunyi-bunyi bahasa. Adapun sumber kakuatan utama untuk membentuk bunyi bahasa yaitu
udara yang keluar dari paru-paru. Udara tersebut dihisap ke dalam paru-paru, kemudian
dikeluarkan ketika bernafas. Ketika udara keluar dari paru-paru melalui tenggorokan, ada yang
mendapat hambatan ada yang tidak mendapat hambatan.
Proses membentuk dan mengucapkan bunyi berlangsung dalam suatu kontinuum.
Menurut analisis bunyi fungsional, arus bunyi yang kontinuum tersebut bisa dikategorisasikan
berdasarkan segmen tertentu. Walaupun demikian, ada pula bunyi yang tidak dapat
dikategorisasikan menjadi segmen-segmen tertentu yang disebut bunyi suprasegmental. Oleh
sebab itu, bunyi bahasa dapat dibagi menjadi:
(1) Bunyi segmental dan
(2) Bunyi suprasegmental.
Proses terbentuknya bunyi bahasa secara garis besarnya terbagi atas 4 macam, yakni:
(1) Proses keluarnya bunyi dari paru-paru,
(2) Proses fonasi, yaitu lewatnya bunyi dalam tenggorokan,
(3) Proses artikulasi yaitu proses terbentuknya bunyi oleh artikulator dan,
(4) Proses oro-nasal, proses keluarnya bunyi melalui mulut atau hidung.

1) Terjadinya Bunyi:
(1) Sumber energi utama terjadinya bunyi bunyi bahasa adalah adanya udara dari paru-
paru.
(2) Udara dihirup ke dalam paru-paru kemudian dihembuskan keluar bersama-sama
waktu sedang bernapas.
(3) Udara yang dihembuskan (atau dihirup untuk sebagaian kecil bunyi bahasa)
mendapat hambatan di berbagai tempat alat-alat bicara dengan berbagai cara
sehingga terjadi bunyi bahasa.
(4) Tempat atau alat bicara yang dilewati diantaranya batang tenggorok,
pangkal tenggorok, kerongkongan, rongga mulut, rongga hidung.
(5) Pada waktu udara mengalir keluar pita suara harus dalam keadaan terbuka.
(6) Jika udara tidak mengalami hambatan pada alat bicara, bunyi bahasa tidak akan
terjadi.
(7) Syarat terjadinya bunyi bahasa secara garis besar.
2) Alat ucap
Alat-alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa ini mempunyai
fungsi utama lain yang bersifat fisiologis. Misalnya, paru-paru untuk bernapas, lidah
untuk mencecap, dan gigi untuk mengunyah. Namun, alat-alat itu secara linguistik
digunakan untuk menghasilkan bunyi-bunyi bahasa sewaktu berujar. Nama-nama bunyi
bahasa diambil dari nama-nama alat ucap yang diambil dari bahasa Latin. Berikut adalah
gambar alat ucap manusia.
Keterangan gambar
1. Paru-paru (lungs)
2. Batang tenggorok (trachea)
3. Pangkal tenggorok (larynx)
4. Pita-pita suara (vocal cords)
5. Krikoid (cricoid)
6. Tiroid (thyroid/lekum)
7. Aritenoid (arythenoids)
8. Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9. Epiglotis (epiglottis)
10. Akar lidah (root of the tongue)
11. Punggung lidah/ pangkal lidah (dorsum)
12. Tengah lidah (medium, middle of the tongue)
13. Daun lidah (lamina, blade of tongue)
14. Ujung lidah (apex, tip of the tongue)
15. Anak tekak (uvula)
16. Langit-langit lunak (velum, soft palate)
17. Langit-langit keras (palatum, hard palate)
18. Gusi dalam/ ceruk gigi (alveolum)
19. Gigi atas (upper teeth, dentum)
20. Gigi bawah (lower teeth, dentum)
21. Bibir atas (upper lip, labium)
22. Bibir bawah (lower lip, labium)
23. Mulut (mouth)
24. Rongga mulut (oral cavity)
25. Rongga hidung (nasal cavity)

Nama-nama Latin alat ucap tersebut perlu diperhatikan karena nama-nama bunyi
disebut dengan nama Latinnya itu. Sebagai contoh bunyi yang dihasilkan di bibir disebut bunyi
labial, diambil dari kata labium yang artinya bibir; dan bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah
dan gigi disebut apikodental, yang diambi, dari kata apeks yaitu ujung lidah dan kata dentum
yaitu gigi. Berikut adalah penjelasan mengenai cara kerja alat ucap di atas.
(a) Paru-paru (Lungs)
Paru-paru berfungsi untuk bernapas. Bernapas terdiri atas dua proses, yakni: (1)
Proses menghirup udara ke paru-paru, yang berupa oksigen (O2); dan (2) Proses
mengeluarkan udara dari paru-paru, yang berupa karbondioksida (CO2). Selama hidup,
manusia senantiasa menghisap dan mengeluarkan uadara. Dengan demikian, paru-paru
berfungsi untuk mengeluarkan udara yang menjadi sumber terbentuk bunyi bahasa (Pike,
1974).
(b) Pangkal tenggorokan (Larynx)
Pangkal tenggorokan adalah rongga di ujung saluran pernapasan. Pangkal
tenggorokan ini terdiri atas empat komponen, yakni: (1) tulang rawan krikoid, (2) tulang
rawan Aritenoid, (3) sepasang pita suara, dan (4) tulang rawan tiroid (Malmberg, 1963:22).
Tenggorokan (larynx), rongga anak tekak (pharinx), pita suara (vokal cords), dan anak
tekak (uvula). Tenggorokan berfungsi untuk mengeluarkan udara dari paru-paru, rongga
tersebut dapat membuka atau menutup. Jika rongga tenggorokan membuka akan
membentuk bunyi vokal, sebaliknya jika rongga tenggorokan menutup akan membentuk
bunyi konsonan. Tentu saja, fungsi pita suara sangat penting dalam menghasilkan bunyi.
Uraian mengenai fungsi pita suara dijelaskan di bawah ini.
(c) Rongga anak tekak (Pharynx)
Rongga anak tekak ada di antara pangkal tenggorokan dan rongga mulut dan rongga
hidung. Gunanya sebagai saluran udara yang akan bergetar bersama sama dengan pita
suara. Adapun bunyi yang dihasilkannya disebut bunyi faringal.
(d) Pita suara (Vokal cords)
Bunyi yang dihasilkan pita suara diatur oleh sistem otot aritenoid. Pita suara bagian
depan mengait pada tulang rawan tiroid. Adapun pita suara bagian belakang mengait pada
tulang rawan Aritenoid. Pita suara dapat membuka luas atau menutup, fungsinya sebagai
katup yang ngatur jalannya udara dari paru-paru ketika melalui tenggorokan.
Akibat membuka dan menutup pita suara, akan memunculkan rongga di antara pita
suara yang disebut glotis. Posisi glotis ada empat macam, yakni: membuka lebar,
membuka, menutup, dan menutup rapat. Proses bergetarnya pita suara tersebut
disebut proses fonasi. Proses teresebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Proses membuka tutupnya Glotis


Posisi Glotis akan mempengaruhi pola terbentuknya bunyi bahasa. Jika posisi glotis
membuka akan menghasilkan bunyi tak bersuara. Sebaliknya, jika posisi glotis menutup akan
menghasilkan bunyi bersuara. Di bawah ini dijelaskan posisi pita suara ketika membentuk
bunyi bahasa.

1. Posisi pita suara ketika bernafas


Ketika bernafas, pita suara membuka lebar sehingga udara yang keluar dari paru-paru melalui
tenggorokan tidak ada yang menghalangi. Posisi pita suara seperti ini umumnya menghasilkan
bunyi vokal, bunyi [h p,t,s k].
2. Posisi pita suara bergetar
Jika pita suara bergetar, bagian atasnya membuka sedikit sehingga membentuk bunyi
[b,d,g,m,r]. Jika pita suara tidak bergetar, akan menghasilkan bunyi [p,t,c,k,f,h,s].
3. Posisi pita suara ketika ngengucapkan bunyi glotal
Ketika ngucapkan konsonan glotal, pita suara menutup sehingga bunyi yang melalui
tenggorokanberhenti sejenak, dan menghasilkan bunyi hamzah [?].
4. Posisi pita suara ketika berbisik
Posisi pita suara ketika berbisik, bagian bawahnya menutup sedikit, udara yang keluarnya pun
berkurang sehingga bunyi–bunyi bahasa tersebut tidak jelas terdengarnya.

Macam-macam Posisi Glotis


e. Langit-langit Lunak (Velum) dan Anak tekak (Uvula)
Langit-langit lunak (velum) beserta bagian ujungnya yaitu anak tekak (uvula) dalam
menghasilkan bunyi bahasa, dapat turun atau naik. Ketika bernafas normal, langit-langit lunak
dan anak tekak tersebut turun, sehingga udara dapat leluasa melalui hidung, termasuk ketika
membentuk bunyi nasal. Ketika menghasilkan bunyi nonnasal, langit-langit lunak dan anak
tekak naik menutup rongga hidung. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh langit-langit lunak
disebut bunyi velar. Adapun bunyi yang dihasilkan dengan hambatan anak tekak disebut bunyi
uvular.
f. Langit-langit Keras (Palatum)
Langit-langit keras merupakan susunan tulang-belulang. Bagian depannya mulai dari
langit-langit cekung ka atas, kemudian diikuti oleh bagian belakang yang lunak. Menghasilkan
bunyi bahasa, langit-langit keras menjadi artikulator pasif. Adapun artikulator aktifnya ialah
ujung lidah dan tengah lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh langit-langit keras disebut bunyi
palatal, sedangkan bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah (apex) disebut bunyi apical. Bunyi
yang dihasilkan oleh tengah lidah (medium) disebut bunyi medial. Bunyi-bunyi tersebut biasa
digabungkan menjadi apikopalatal dan medio-palatal.
g. Gusi (Alveolum)
Gusi merupakan tempat tumbuhnya gigi. Gusi dapat disebut daerah kaki gigi. Dalam
membentuk bunyi bahasa, lidah merupakan titik artikulasi, sedangkan articulator aktifnya ialah
ujung lidah. Bunyi yang dihasilkan oleh gusi disebut bunyi alveolar. Selain itu, gusi dapat
bersama-sama dengan daun lidah (lamina) membentuk bunyi bahasa, sehingga menghasilkan
bunyi laminal. Gabungan kedua bunyi tersebut disebut bunyi lamino-alveolar.
h. Gigi (Dentum)
Gigi terbagi dua, yaitu gigi atas dan gigi bawah. Ketika membentuk bunyi bahasa, gigi
yang berperan penting yaitu gigi atas. Gigi atas biasanya bersama-sama dengan bibir baeah
atau ujung lidah. Bunyi bahasa yang dihasilkan oleh gigi atas dan gigi bawah disebut bunyi
dental, bunyi bahasa yang dihasilkan oleh gigi atas dan bibir bawah disebut labio-dental.
Adapun bunyi bahasa yang terbentuk oleh gigi atas dan ujung lidah disebut bunyi apiko-dental.
i. Bibir (labium)
Bibir dibagi menjadi dua bagian, yaitu bibir atas dan bibir bawah. Ketika membentuk
bunyi bahasa, bibir atas berfungsi sebagai articulator pasif bersama-sama dengan bibir bawah
yang menjadi articulator aktif. Bunyi yang dihasilkan oleh dua bibir disebut bunyi bilabial.

E. Jenis-jenis bunyi bahasa


Chaer (2009:32) menyatakan bunyi-bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap. Berdasarkan kriteria
tertentu bunyi-bunyi tersebut dibedakan sebagai berikut.
1) Bunyi Vokal, Konsonan, dan Semivokal
Bunyi-bunyi vokal, konsonan, dan semivokal adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan
berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Vokal adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara,
setelah arus udara ke luar dari glotis (celah pita suara), lalu arus ujar hanya “diganggu” atau diubah
oleh posisi lidah dan bentuk mulut. Misalnya bunyi [i], bunyi [a], dan bunyi [u]. Sedangkan bunyi
konsonan terjadi setelah arus ujar melewati pita suara diteruskan ke rongga mulut dengan mendapat
hambatan dari artikulator aktif dan artikulator pasif. Misalnya, bunyi [b] yang mendapat hambatan
pada kedua bibir; bunyi [d] yang mendapat hambatan pada belakang lidah (dorsum) dan langit-
langit lunak (velum). Sedangkan bunyi semivokal adalah bunyi yang proses pembentukannya
mula-mula secara vokal lalu diakhiri secara konsonan. Karena itu, bunyi ini sering juga disebut
bunyi hampiran (aproksiman). Bunyi semivokal hanya ada dua yaitu bunyi [w] yangtermasuk
bunyi bilabial dan bunyi [y] yang termasuk bunyi laminopalatal.
2) Bunyi oral dn bunyi nasal
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan keluarnya arus ujar. Bila arus ujar ke luar melalui
rongga mulut maka disebut bunyi oral. Bila ke luar melalui rongga hidung disebut bunyi nasal.
Bunyi nasal yang ada hanyalah [m] yang merupakan nasal bilabial, bunyi [n] yang merupakan nasal
laminoalveoral atau apikodental, bunyi [ñ] yang merupakan nasal laminopalatal; dan bunyi [ŋ]
yang merupakan nasal dorsovelar.
3) Bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara
Kedua bunyi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya getaran pada pita suara sewaktu
bunyi itu diproduksi. Bila pita suara turut bergetar pada proses pembunyian itu, maka disebut
bunyi bersuara. Hal ini terjadi karena glotis pita suara terbuka sedikit. Yang termasuk bunyi
bersuara antara lain bunyi [b], bunyi [d], dan bunyi [g]. Bila pita suara tidak bergetar disebut
bunyi tak bersuara. Dalam bahasa Indonesia hanya ada empat buah bunyi tak bersuara, yaitu
bunyi [s], bunyi [k], bunyi [p], dan bunyi [t].
4) Bunyi Keras dan Bunyi Lunak
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan ada tidaknya ketegangan kekuatan arus udara
ketika bunyi ini diartikulasikan. Sebuah bunyi disebut keras (fortis) apabila terjadi karena
pernafasan yang kuat dan otot tegang. Bunyi [t], [k], dan [s] adalah fortis. Sebaliknya sebuah
bunyi disebut lunak (lenis) apabila terjadi karena pernafasan lembut dan otot kendur. Bunyi
seperti [d], [g], dan [z] adalah lenis.
5) Bunyi Panjang dan Bunyi Pendek
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada lama dan tidaknya bunyi itu diartikulasikan.
Baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan dapat dibagi atas bunyi panjang dan bunyi pendek.
Kasus ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, tetapi ada dalam bahasa Latin dan bahasa Arab.
6) Bunyi Tunggal dan Bunyi Rangkap
Pembedaan ini berdasarkan pada hadirnya sebuah bunyi yang tidak sama sebagai satu
kesatuan dalam sebuah silabel (suku kata). Bunyi vokal rangkap disebut diftong dan bunyi
tungga disebut monoftong. Bunyi rangkap konsonan disebut klaster. Tempat artikulasi kedua
konsonan dalam klaster berbeda.
7) Bunyi Nyaring dan Tak Nyaring
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan derajat kenyaringan (sonoritas) bunyi-bunyi itu
yang ditentukan oleh besar kecilnya ruang resonansi pada waktu bunyi itu diujarkan. Bunyi
vokal pada umumnya mempunyai sonoritas yang lebih tinggi daripada bunyi konsonan. Oleh
karena itu, setiap bunyi vokal menjadi puncak kenyaringan setiap silabel.
8) Bunyi Egresif dan Bunyi Ingresif
Pembedaan kedua bunyi ini berdasarkan dari mana datangnya arus udara dalam
pembentukan bunyi itu. Kalau arus udara datang dari dalam (seperti dari paru-paru), maka
bunyi tersebut disebut bunyi egresif; bila datangnya dari luar disebut bunyi ingresif.
Ada dua macam bunyi egresif, yaitu (a) bunyi egresif pulmonik, apabila arus udara itu
berasal dari paru-paru; dan (b) egresif glotalik apabila arus udara itu berasal dari pangkal
tenggorokan. Bunyi ingresif juga ada dua macam, yaitu bunyi ingresif glotalik yang prosesnya
sama dengan bunyi egresif glotalik; hanya arus udaranya masuk dari luar. Yang kedua ialah
bunyi ingresif velarik yang terjadi dengan mekanisme velarik, yakni pangkal lidah dinaikkan
ke langit-langit lunak (velum).
9) Bunyi Segmental dan Bunyi Suprasegmental
Pembedaan kedua bunyi ini didasarkan pada dapat tidaknya bunyi itu disegmentasikan.
Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan adalah
bunyi segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang
menyertai bunyi segmental itu, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (pemanjangan) disebut
bunyi atau unsur suprasegmental atau non segmental.
10) Bunyi Utama dan Bunyi Sertaan
Dalam pertuturan bunyi-bunyi bahasa itu tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling
pengaruh-mempengaruhi baik dari bunyi yang ada sebelumnya maupun dari bunyi sesudahnya.
Begitulah ketika sebuah bunyi diartikulasikan, maka akibat dari pengaruh bunyi berikutnya
terjadi pulalah artikulasi lain yang disebut artikulasi sertaan atau ko-artikulasi atau artikulasi
sekunder. Maka, pembedaan adanya bunyi utama dan bunyi sertaan ini didasarkan pada adanya
proses artikulasi pertama, artikulasi utama, atau artikulasi primer, dan adanya artikulasi sertaan.

Bunyi-bunyi sertaan disebut juga bunyi pengiring yang muncul, antara lain, akibat
adanya proses artikulasi sertaan yang disebut :
(a) Labialisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir dibulatkan dan
disempitkan segera atau ketika bunyi utama diucapkan, sehingga terdengar bunyi sertaan
[ʷ] pada bunyi utama. Misalnya, bunyi [t] pada kata < tujuan > terdengar sebagai bunyi
[tʷ] sehingga lafalnya [tʷujuan]. Jadi, bunyi [t] dikatakan dilabialisasikan.
(b) Palatalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara tengah lidah dinaikkan
mendekati langit-langit keras (palatum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan
sehingga terdengar bunyi sertaan [ʸ]. Misalnya, bunyi [p] pada kata <piara> terdengar
sebagai bunyi [pʸ] sehingga ucapannya menjadi [pʸara]. Jadi, bunyi [p] telah dipalatalisasi.
(c) Valerisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara mengangkat lidah ke arah
langit-langit lunak (velum) segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar
bunyi sertaan [ˣ]. Misalnya, bunyi [m] pada kata <makhluk> terdengar sebagai bunyi [mˣ],
sehingga ucapannya menjadi [mˣaxluk]
(d) Retrofleksi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara ujung lidah ditarik ke
belakang segera atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ʳ].
Misalnya, bunyi [k] pada kata <kertas> terdengar sebagai bunyi [kʳ], sehingga ucapannya
menjadi [kʳertas]. Jadi, bunyi [k] telah diretrofleksikan.
(e) Glotalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glotis ditutup sesudah bunyi
utama diucapkan sehingga terdengar bunyi sertaan [ˀ]. Misalnya, bunyi [a] pada kata
<akan> terdengar sebagai bunyi [aˀ], sehingga ucapannya menjadi [aˀkan].
(f) Aspirasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara yang ke luar lewat
rongga mulut terlalu keras sehingga terdengar bunyi sertaan [ʰ]. Misalnya, bunyi [p] pada
awal kata bahasa Inggris <peace> terdengar sebagai bunyi [pʰ], sehinga ucapannya
menjadi [pʰeis].
(g) Nasalisasi, yaitu bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan kesempatan arus
udara melalui rongga hidung sebelum atau sesaat bunyi utama diucapkan, sehingga
terdengar bunyi sertaan [ ͫ ]. Hal ini biasa terjadi pada konsonan hambat bersuara, yaitu [b],
[d], dan [g].

F. Unsur Suprasegmental
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi
yang sambung-bersambung terus-menerus diselangseling dengan jeda singkat atau jeda agak
singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan
sebagainya. Dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan, sehingga disebut
bunyi segment tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi
tidak dapat disegmentasikan. Dalam studi mengenai bunyi atau unsur suprasegmental itu
biasanya dibedakan pula atas, seperti yang dibicarakan dibawah ini.
1) Nada dan Intonasi
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental
diartikulasikan dengan frekuensi getaran yang tinggi, bunyi tersebut akan terdengar bernada
tinggi. Sebaliknya, jika diartikulasikan dengan frekuensi yang rendah, bunyi tersebut akan
terdengar benada rendah. Di dalam bahasa Indonesia, nada tidak bersifat fonemis tidak pula
bersifat morfemis. Akan tetapi, ada bahasa-bahasa yang memang melibatkan nada yang bersifat
seperti itu.

Dalam bahasa-bahasa yang bernada, nada bisa bersifat morfemis. Artinya, perbedaan nada
dapat membedakan makna. Bahasa-bahasa tonal atau bahasa bernada misalnya bahasa
Vietnam, Thailand, dan Mandarin.

2) Durasi

Durasi berkenaan dengan panjang atau pendeknya pembunyian suatu bunyi segmental.
Bahasa yang melibatkan durasi sebagai pembeda makna (durasi berciri distingtif) misalnya
bahasa Jepang dan Arab.

3) Jeda dan Tekanan

Jeda berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar (Chaer, 2003:122). Chaer
menyebut jeda juga sebagai persendian karena memang pada jeda itulah terjadinya
persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain (misalnya segmen suku
kata). Jeda dapat bersifat penuh dapat pula bersifat sementara.

Sendi dalam atau internal juncture adalah sendi yang menunjukkan batas antara satu silabe
dengan selabe yang lain. Ketika dilambangkan secara ortografis, sendi dalam dilambangkan
dengan tanda “+”. Misalnya lari terdiri dari la + ri.

Sendi luar menunjukkan batas yang lebih luas daripada suku kata. Pembedaannya antara lain:

1. Jeda antarkata dalam frasa diberi tanda garis miring tunggal ( / );


2. Jeda antarfrasa dalam klausa diberi tanda garis miring ganda ( // );
3. Jeda antarkalimat dalam wacana diberi tanda “#”.
Tekanan adalah pengerasan atau penguatan artikulasi terhadap salah satu bunyi bahasa.
Pemberian tekanan terhadap bunyi bahasa tertentu di dalam bahasa Indonesia tidak bersifat
distingtif. Akan tetapi, penekanan kata dalam tataran kalimat dapat mengakibatkan perbedaan
makna tertentu. Misalnya ketika mengujarkan kata “Nak”. Jika kata tersebut diujarkan tanpa
tekanan, ungkapan tersebut bisa mengungkapkan sapaan atau panggilan kepada anak. Akan
tetapi, jika kata tersebut diungkapkan dengan tekanan yang lebih keras, ungkapan tersebut
dapat mengungkapkan teguran atau bahkan hardikan pada si anak yang dipanggil/disapa.

4) Silabe atau Suku Kata

“Silaba atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau
runtunan bunyi ujaran” (Chaer, 2003:123). Satu silabel biasanya meliputi satu vokoid dan satu
kontoid atau lebih.

Kontoid yang posisinya mengawali silabe disebut onset sedangkan kontoid yang mengakhiri
silabe disebut koda. Di antara onset dan koda tersebut, terdapat sebuah inti silabe yang disebut
sebagai nukleus. Inti silabe atau nukleus adalah bagian silabe yang memiliki puncak
kenyaringan atau sonoritas yang paling tinggi.

Kenyaringan atau sonoritas yang tertinggi itu biasanya terletak pada sebuah vokoid.
Kenyaringan atau sonoritas yang menjadi puncak silabe itu terjadi karena adanya ruang
resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung, atau rongga-rongga lain di kepala dan dada.
Bunyi vokoid menjadi bunyi yang paling nyaring dalam satu silabe karena bunyi vokoid
menggunakan ruang resonansi tersebut secara maksimal.

Berpijak pada teori tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa struktur silabe dalam bahasa
Indonesia secara umum adalah:

O N K

Keterangan:

O=onset

N=nukleus

K=koda

Meskipun bunyi vokoid memang hampir selalu menjadi puncak kenyaringan dalam suatu
silabe, tidak tertutup kemungkinan bahwa kontoid pun, baik bersuara maupun tidak, dapat
menjadi puncak silabe. Dengan demikian, pada kasus tersebut, kontoid menjadi inti/nukleus
silabe.

Untuk contoh kasus, Chaer (2003:124) memberikan contoh kata nggak [ŋ'gak] dalam
dialek Jakarta. Kata tersebut terdiri dari empat bunyi, [ŋ], [g], [a], dan [k]. Kata tersebut dari
dua silabe, [ŋ] dan [gak]. Kenyaringan pada silabe pertama terletak pada satu-satunya bunyi
pada silabe tersebut, yaitu kontoid [ŋ].

Penentuan batas silabe sebuah kata kadangkala sukar karena penentuan batas tersebut
bukan sekadar problematika fonetik tetapi juga soal fonemik morfologi, dan ortografi. Sebagai
contoh, ambillah kata makan. Kata tersebut dapat dipecah menjadi [ma] dan [kan], tetapi
kata makanan yang dibangun oleh bentuk dasar makan [ma] + [kan] dan sufiks -an dipecah
menjadi [ma], [ka], dan [nan]. Pada contoh kasus tersebut, koda pada silabe [kan] pada
kata makan berpindah tempat menjadi onset pada silabe [nan] pada kata makananpadahal
secara ortografi, dan menurut ketentuan ejaan bahasa Indonesia, silabenya adalah [ma], [kan],
dan [an]–dalam pemenggalan suku kata, bentuk dasar harus utuh dan dipisahkan dari
konstituen morfem terikat.

Mengenai kontoid tak bersuara yang menjadi puncak silabis, Verhaar (2004:60)
memberi contoh kata sepakat [səpakàt]. Sejatinya, kata tersebut terdiri dari tiga silabe, [sə],
[pa], dan [kàt]. Akan tetapi, kata sepakat, dalam tuturan sehari-hari, cenderung diujarkan
dengan menghilangkan bunyi [ə] pada silabe pertama menjadi [spakàt]. Dengan begitu,
tinggallah [s] sebagai satu-satunya anggota suku kata pertama.
DAFTAR RUJUKAN

Muaffaq, Ahmad. 2012. Fonologi Bahasa Indonessia. (Cet. I, Makassar: Alauddin University
Press, hlm. 1

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

___________. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Marsono. 1999. Fonetik. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.

W Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yokyakrta: Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai