i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
DAFTAR ISIii
BAB I PENDAHULUAN1
A. Latar Belakang1
B. Rumusan Masalah3
C. Tujuan Penulisan3
D. Metode Penulisan3
BAB II PEMBAHASAN3
A. Persepsi Sehat Sakit Dan Etiologi Penyakit Suku Basemah 3
B. Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Pada Suku Basemah 7
C. Praktik Budaya Dan Agama Pada Suku Basemah 9
D. Makanan Dalam Perspektif Budaya Suku Basemah20
E. Etnofamakologi Suku Basemah25
BAB III PENUTUP32
A. Kesimpulan32
B. Saran32
DAFTAR PUSTAKA33
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian
selatan pulau sumatera dengan Palembang sebagai ibukotanya yang dikenal sejak abad ke-7
hingga abad ke-12 Masehi dengan sebutan Bumi Sriwijaya, wilayah Provinsi Sumatera
Selatan merupakan pusat peradaban Kerajaan Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan
maritim terbesar dan terkuat di Nusantara yang pengaruhnya sampai ke Madagaskar Benua
Afrika. Menurut prasasti kedukan bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan bahwa
pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 masehi yang
kemudian menjadikan tanggal tersebut menjadi hari jadi kota Palembang.
Penduduk pertama Sumatera Selatan diperkirakan berasal dari zaman palaeolitikum, hal
ini dapat dibuktikan dari benda-benda zaman palaeolitikum yang ditemukan di beberapa
wilayah, antara lain di Desa Bengamas, di dasar Sungai Saling, dan Sungai Kikim. Para Ahli
berpendapat bahwa penduduk zaman itu adalah termasuk ras wedda, dimana orang kubu dan
toale termasuk ke dalam ras tersebut.
Sejak tahun 300 SM, bang deutro-malayan sudah mendiami daerah Sumatera Selatan.
Sejak awal masehi, penduduk sumatera selatan sudah menjalin hubungan dagang dengan
bangsa-bangsa lain seperti Arab, Tiongkok, dan India. Perkembangan masyarakat yang pesat
menghasilkan terbentuknya suatu kerajaan besar yang bernama Sriwijaya. Mayoritas
Masyarakatnya menganut agama islam karena masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya
memiliki darah dari keturunan bangsa melayu yang merupakan mayoritas beragama islam..
Masyarakat Palembang memegang teguh semboyan sondok piyago yang bermakna adat
dipangku, syariat dijunjung artinya meskipun sudah mengecap pendidikan tinggi, mereka
tetap mempertahankan adat kebiasaan Suku Palembang.
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Palembang yang memiliki dua tingkatan, yaitu
Baso Palembang Alus (Bebaso) dan Baso Palembang Sari-Sari . Baso Palembang Alus
digunakan dalam percakapan dengan pemuka masyarakat terutama dalam upacara adat,
orang-orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang
seumuran dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya sopan dan halus.
Bahasa Palembang alus berkembang bersamaan dengan berkembangnya Bahasa Palembang
sari-sari yang digunakan sekarang. Baso Palembang sari-sari digunakan oleh wong
Palembang dan merupakan Bahasa penghubung bagi masyarakat Sumatera bagian Selatan .
Antara Bahasa alus dengan Bahasa sari-sari memiliki perbedaan yang sangat jauh sehingga
1
bisa dikatakan kedua Bahasa ini merupakan Bahasa sendiri-sendiri. Hampir 80%
penduduknya merupakan petani yang memiliki lahan kebun karet.
Luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan adalah 87.017,41 km.
Jumlah Penduduk per tahun 2021 menurut data statistic yaitu 8.551.000 jiwa. Provinsi ini
identic dengan sungai-sungai , setiap kabupaten/kota dialiri oleh sungai, termasuk kota
Palembang yang dibelah oleh aliran sungai musi dan dihubungkan oleh Jembatan Ampera.
Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari 13 Kabupaten dan 4 kota yaitu Kabupaten Banyuasin,
Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Lahat, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi
Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Ogan Ilir,
Kabupaten OKU, Kabupaten OKU Selatan, Kabupaten OKU Timur, Kabupaten OKI,
Kabupaten PALI, Kota Lubuklinggau, Kota Pagar Alam, Kota Palembang, Kota Prabumulih.
Di Provinsi Sumatera Selatan terdapat bermacam-macam suku bangsa dan setiap suku
bangsa memilik jenis Bahasa sendiri. Adapun beberapa suku yang terdapat pada Provinsi
Sumatera Selatan yaitu Suku Palembang, Suku Komering, Suku Lematang, Suku
Basemah/Pasemah, Suku Semendo, Suku Sekayu, Suku Ogan, Suku Gumai, Suku Kayu
Agung, Suku Lintang, Suku Rawas, Suku Musi Banyuasin.
Dalam kesempatan ini kelompok kami akan membahas mengenai salah satu suku yang
mendiami wilayah Sumatera Selatan yaitu Suku Basemah. Suku Basemah atau Pasemah
adalah suatu suku yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dengan
Provinsi Bengkulu. Suku ini mendiami wilayah sekitar Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat,
Kabupaten Empat Lawang, OKU, Kabupaten Muara enim (sekitar daerah semendo) dan di
sekitaran Kawasan Gunung Dempo, gunung berapi yang masih aktif. Menurut sejarah, nenek
moyang suku ini berasal dari keturunan Raja Darmawijaya (kerajaan majapahit) yang
menyebrang ke Palembang (Pulau perca).
Istilah Pasemah terdapat dalam prasasti yang dibuat oleh bala tentara Raja Yayanasa
dari Kedatukan Sriwijaya setelah penaklukan Lampung tahun 680 Masehi, yaitu prasasti
Palas Basemah dan ada hubungannya dengan tanah Pasemah. Dengan adanya prasasti ini
menunjukkan bahwa suku Pasemah telah ada sejak sebelum abad 6 Masehi.
Masyarakat Pasemah menyebut diri mereka sebagai orang basemah. Saat ini, justru
sebutan Pasemah yang popular di Indonesia, tidak banyak orang tahu dengan sebutan yang
benar, Basemah. Suku Basemah merupakan suku bangsa asli yang berasal dari wilayah
Sumatera Selatan yang memiliki kerabatan dengan suku melayu dan suku komering yang
juga sudah ratusan tahun tinggal di Sumatera Selatan. Masyarakat Basemah yang tinggal
sekitaran Gunung Dempo Sebagian besar adalah petani yang mengelola kebun. Saat ini pun
2
daerah ini masih menjadi sentra produksi kopi di Sumatera Selatan dan Kota Pagar Alam
menjadi sentral sayuran.
Falsafah hidup Suku Basemah yang mengatakan “Dak pacak ngilokki, Ngejage Jadilah”
(tidak dapat membantu, tapi jangan merusak jadilah) . Berdasarkan data tersebut, kami
tertarik untuk mengidentifikasi keperawatan transkultural di Suku Basemah Sumatera
Selatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan makalah
ini yaitu:
1. Bagaimana persepsi sehat sakit dan etiologi penyakit pada suku Basemah ?
2. Bagaimana perilaku pencarian pelayanan kesehatan pada suku Basemah ?
3. Bagaimana praktik budaya dan agama pada suku Basemah ?
4. Bagaimana makanan dalam perspektif budaya suku Basemah ?
5. Bagaimana etnofarmakologi pada suku Basemah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui persepsi sehat sakit dan etiologi penyakit pada suku Basemah
2. Untuk mengetahui perilaku pencarian pelayanan kesehatan pada suku Basemah
3. Untuk mengetahui praktik budaya dan agama pada suku Basemah
4. Untuk mengetahui makanan dalam perspektif budaya suku Basemah
5. Untuk mengetahui etnofarmakologi pada suku Basemah
D. Metode Penulisan
Metode penulisan menggunakan metode studi literatur yang diambil dari buku refrensi dan
subyek langsung orang suku Basemah. Selanjutnya diuraikan dalam bentuk makalah ilmiah.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Paramitha, dkk. (2017) terkait konsep sehat-
sakit serta pilihan pengobatan pada suku Basemah menyatakan bahwa pilihan berobat secara
tradisional lebih diyakini dan mudah di dapati daripada medis. Alasan pilihan ini dikaitkan
dengan kondisi masyarakat Basemah yang hidup dengan adat istiadat yang masih kental dan
tinggal di kawasan gunung dengan faktor geografis dan faktor alam yang membuat
masyarakat sangat bergantung pada adat istiadat, kepercayaan dan pengetahuan bahwa
tanaman tertentu memiliki sifat dan berguna untuk pengobatan. Perspektif masyarakat
terhadap sehat, sakit dan penyebab sakit akan menentukan upaya kesehatan yang dilakukan
oleh keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan. Penyebab yang paling umum dalam
meyakini penyebab suatu penyakit, dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor lingkungan,
faktor kebiasaan dan faktor psikologis.
4
masih membudidayakan tumbuhan obat di pekarangan atau kebun yang digunakan sebagai
bahan masakan, bahan obat tradisional ataupun keperluan lainnya.
Selain pengobatan pada saat terkena penyakit, masyarakat suku Basemah meyakini
tindakan sebagai upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. Upaya tersebut
diantaranya tradisi ngayikka dakecik anak perempuan di semende lembak, Upacara
Bakayekan, Tradisi Ngindun dan pembuatan jamban dengan diadakannya program Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Ngayikka Dakecik berasal dari kata Aik artinya air dan Dakecik artinya Anak-anak
(laki-laki dan perempuan), sedangkan Ngayikka adalah mengajak mandi atau
memandikan. Jadi Ngayikka Dakecik adalah memandikan anak-anak khusus perempuan
untuk dibersihakan badannya sebelum melakukan khitan. Ngayikka Dakecik di desa Pulau
Beringin ini adalah salah satu tradisi adat istiadat yang dilakukan secara turun temurun
oleh masyarakat di desa tersebut. Upacara Ngayikka Dakecik ini dilakukan pada anak
perempuan yang berusia 3 sampai dengan 12 tahun, yang diharuskan untuk melakukan
berbagai ritual sebelum dikhitan, sepertidi dihiasi dengan pakaian adat, diajak turun
kesungai untuk melakukan proses ritual mandi yang didampingi oleh orang tua anak, dan
dukun yang memandu proses ritual, dan diiringi oleh masyarakat atau temanteman anak
tersebut.
Upacara Khitan (Ngayikka Dakecik) ini merupakan taradisi yang masih dilestarikan
dan tetap ada dikalangan masyarakat desa Pulau Beringin di era globalisasi saat ini.
Tradisi ini merupakan adat kebiasaan yang khusus dilakukan pada anak perempuan.
Upacara khitanan (Ngayikka Dakecik) atau proses mengkhitan (memotong kulup) ini
berlangsung setelah si anak membersihkan diri di sungai, sehingga keadaan anak tersebut
bersih dan suci dan setelah selesai melakukan ritual yang dipandu oleh dukun sunat
barulah proses khitannya dilakukan. Tradisi upacara Ngayikka Dakecik (khitanan anak
perempuan) ini merupakan sebuah proses untuk peremajaan dan pendewasaan, serta untuk
5
mensucikan diri anak terutama anak perempuan, agar mampu bertingkah laku sesuai
dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Khitan perempuan yang sudah terlembagakan
di masyarakat dapat dimaknai bahwa perilaku tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk
kontrol masyarakat terhadap perempuan.
2. Upacara Bakayekan
Upacara Bakayekan Suku Pasemah Upacara ini diadakan oleh suku Pasemah di
Sumatera Selatan. Tujuannya adalah menyucikan gadis atau anak perempuan sebelum
dewasa. Kalau bayi, sebutan upacaranya Kayek Upik. Perempuan yang dikhitan berusia
empat hingga tujuh tahun. Biasanya upaca digelar dengan meriah, seperti mengundang
banyak tamu. Tradisi ini sering ditemukan saat Ramadan. Sesaat sebelum dikhitan, anak
perempuan akan didandani seperti pengantin. Selain itu, ia harus mengenakan baju adat
Sumatera Selatan yang disebut Betaju. Lalu, perempuan akan diantar ke sungai untuk
dimandikan dengan diiringi suara rebana. Setelah mandi, perempuan akan dikhitan dan
daging hasil khitan akan ditanam di bawah pohon kelapa. Maknanya agar anak perempuan
tersebut seperti tunas kelapa yang bisa beradaptasi di mana pun ia berada.
3. Tradisi Ngindun
Dalam penyampaiannya, dakwah kultural sangat mengedepankan penanaman nilai,
kesadaran, kepahaman ideologi dari sasaran dakwah. Dakwah kultural melibatkan kajian
antara disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan serta memberdayakan masyarakat.
Aktivitas dakwah kultural meliputi seluruh aspek kehidupan, baik yang menyangkut aspek
sosial budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan, alam sekitar dan lain sebagainya.
Keberhasilan dakwah kultural ditandai dengan teraktualisasikan dan terfungsikannya nilai-
nilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga kelompok, dan masyarakat. Dengan
harapan anak tersebut bisa menjadi anak yang berguna di kemudian hari, anak yang sehat,
anak yang cerdas, serta memiliki akhlaq yang baik. Setelah pembacaan doa, pembawa
acara menutup acara tersebut dengan mengucap hamdalah. Setelah acara tradisi tersebut
selesai maka tamu undangan di persilakan memakan nasi, yang sudah di sediakan oleh
orang tua bayi.
Tradisi ngindun adalah suatu tradisi yang dilakukan masyarakat suku semende
sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran anak bayi yang diadakan bersamaan dengan
Aqiqah. Sampai saat ini masyarakat suku semende masih mempertahankan tradisi ini
6
sebagai wujud ungkapan terima kasih kepada Allah swt. atas kelahiran bayi mereka.
Tradisi ngindun ini merupakan kebiasaan turun-temurun yang telah di wariskan oleh
nenek moyang sejak lama. Ngindun dan aqiqah ini diadakan biasanya pada hari ketujuh
setelah kelahiran anak bayi atau paling lambat ketika bayi berumur 3 bulan, saat tradisi ini
berlangsung biasanya pihak keluarga mengundang kerabat dekat maupun kerabat jauh
untuk hadir dan turut mendoakan anak bayi yang akan ngindun dan Aqiqah. Tradisi
Ngindun merupakan ungkapan rasa syukur atas kelahiran bayi yang dilaksanakan setelah
bayi berumur tujuh hari sampai tiga bulan. Dalam tradisi Ngindun ini pelaksanaannya
dilakukan dalam beberapa tahap, yakni :
a. Pemberian nama bayi
b. Pemotongan Kambing
Perilaku pencarian kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor besar, yaitu faktor
predisposing, faktor enabling dan faktor need. Faktor predisposing adalah predisposisi
7
seseorang untuk menggunakan pelayanan, yaitu faktor demografi, faktor struktur sosial dan
faktor keyakinan terhadap kesehatan. Faktor enabling merupakan kemampuan seseorang
untuk mencari pelayanan, yaitu berupa sumber daya keluarga atau sumber daya masyarakat,
sedangkan faktor need adalah kebutuhan seseorang akan pelayanan.
Menurut Ahmad Bastari Suan (2007:5) nama Basemah berasal dari nama ikan yakni ikan
semah, ikan dari jenis cyprimus, termasuk famili ikan semah ini juga tambra dan ikan mas.
Salah satu cerita tentang asal nama Basemah termasuk dalam naskah “Kitap Puyang
Mnejadikan Jagat Basemah” cerita tersebut dalam bahasa sekarang bunyinya yaitu :“Maka
puteri kenantan buwih (istri Radin Suane) turun (ke sungai) membasuh bersa maka bakul
berasnya dimasuki oleh anak ikan Basemah. Tatkala puteri kenantan buwih pulang dari
membasuh beras dan ada membawa anak ikan semah, maka tanah (daerah sekitar) itu
dinamai oleh atung bungsu tanah Basemah”.
Secara morfologis, Basemah berasal dari kata semah ditambah awalan be-(ber) yang
berarti “cada” memiliki atau mengandung. Basemah berarti ada “semahnya”. Sungai tempat
ditemukannya ikan tersebut disebut Ayik Besemah. Ayik Besemah (air Besemah) berarti air
(sungai) yang ada ikan semahnya tanah atau tempat sungai itu berada disebut tanah Basemah
yang berarti “tanah” atau daerah yang sungai-sungainya ada ataupun banyak hidup ikan
semah.
Kota Pagaralam sebagai salah satu kampung halaman orang basemah berdiri sebagai
daerah otonom sejak tahun 2011. Kota Pagaralam juga mendapat sebutan “Kota Perjuangan”
dengan merujuk pada perjalanan sejarah Kota Pagaralam pada masa awal kemerdekaan
Republik Indonesia. Secara geografis Kota Pagaralam terletak pada 4° Lintang Selatan dan
103,15° Bujur Timur dengan luas 63.366 hektar. Dari ibukota provinsi Sumatera Selatan,
yakni Kota Palembang berjarak 298 km dan 60 km dari Ibukota Kabupaten Lahat dan
8
Kabupaten Manna, Provinsi Bengkulu yang posisinya bagian barat daya. Daerah Pagaralam
merupakan Kawasan perbukitan dengan ketinggian bervariasi dari 100-100 m dari
permukaan laut. Sebagian besar wilayahnya terletak di kaki Gunung Dempo (3.159m),
sehingga Kota Pagaralam berhawa sejuk.
Masyarakat suku Basemah memiliki sifat keterbukaan dan saling tolong menolong. Jika
ada yang sakit ataupun butuh pertolongan mereka langsung membantu. Karena
perkembangan semakin maju, pembangunan fasilitas pelayanan publik termasuk fasilitas
pelayanan kesehatan yaitu dengan adanya puskesmas, klinik dan RS serta akses menuju
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut dapat terjangkau. Namun, ada sebagian masyarakat
suku Basemah yang masih mempertahankan budaya leluhur ataupun adat istiadat jika dalam
keadaan sakit dengan memanfaatkan obat tradisional.
Terbentuknya suatu kelompok sosial karena adanya naluri manusia yang selalu ingin
hidup bersama. Secara sosiologis kelompok sosial merupakan suatu kumpulan orang-orang
yang mempunyai hubungan dan saling berinteraksi satu sama lainnya. Sehingga
membutuhkan komunikasi satu dengan lainnya dalam bentuk individu maupun kelompok.
Seperti yang dikatakan bapak umar: “Apabila suatu daerah memiliki falsafah hidup, dijaga,
maka tidak akan terjadi kerusuhan. Contohnya dari suku basemah “kite lok ui pengarang
rakit timbul tenggelam same-same” jadi siapopun wongnyo harus kito luruhi,” Dapat
dikatakan bahwa apabila falsafah hidup dapat dijaga, maka suatu daerah akan damai dan
terhindar dari konflik. Contohnya falsafah dari suku Basemah yang artinya “kita ibaratkan
rotan pengikat (penyatu) rakit, timbul tenggelam bersama-sama” jadi siapapun orangnya
harus kita hormati.
Bidang kesehatan di Kota Pagar Alam memiliki fasilitas berupa 1 (satu) buah Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD), 5 (lima) buah Puskesmas yang tersebar merata di setiap
kecamatan, 10 (sepuluh) buah Puskesmas Pembantu, dan 37 (tiga tujuh) buah Polindes.
Tenaga paramedis terdiri dari 7 orang dokter, 64 orang bidan dan 27 orang tenaga medis
lainnya.
Sumber lain yang ditulis oleh A. Grozali Mengkerin dari Dusun Benuakeling
yang berjudul ‘Benuakeling Putting Jagad Besemah’. Secara umum kisah
10
mengenai Atung Bungsu dan dua orang anaknya, yaitu Bujang Jawe (Puyang Diwate)
dan Riye Rekian berasal dari Kerajaan Majapahit. Asal mula kata ‘Besemah’ berasal
dari cerita istri Atung Bungsu yang bernama Putri Senantan Buwih (anak Ratu
Benuakeling) yang ketika sedang mencuci beras di sungai, bakul berasnya dimasuki
ikan semah. Jelasnya Atung Bungsu dan keturunannya dianggap sebagai folkore yang
menbangun konstruksi ‘Jagat Besemah’. Jika kita berbicara istilah ‘Jagat Besemah’,
konsep ini tidaklah mengacu pada pengertian dunia atau alam semesta. Jagat tidak
berarti berhubungan dengan suatu wilayah atau negeri, melainkan menekankan
pengertian pada adanya periodesasi kesejarahan dalam konsep pemerintahan
Besemah. Masa kekuasaan ‘jagat besemah’ terkait masa kekekuasaan Ratu Atung
Bungsu. Jagat besemah secara kultural memiliki hubungan dengan Jagat Acih (Aceh)
dan Jagat Jawe (Jawa). Sehingga dalam kosmologi politik, jagat besemah memiliki
legimitasi kultural selain pengakuan politik atas adanya periode Kerajaan Aceh dan
Kerajaan Demak, (Wasrie, 2021).
11
dan membentuk suatu kelompok masyarakat yang memiliki tatanan demokrasi
modern (Jumhari, Hariadi, 2014).
Penjelasan diatas menjadi bukti klaim kultural bahwa orang Besemah masih
hubungan keturunan dengan Kerajaaan Majapahit. Dan sebagai simbol legitimasi
kultural adanya keterkaitan dan hubungan kekerabatan dengan Wong Majapahit,
orang Besemah dengan bangga menunjukkan sebilah tombak tua yang disebut dengan
tumbal ulas dan sebuah keris yang bernama Tata Arjuna (Tatah Renjune) yang
tersimpan di Tanjung Tapus. Benda pusaka tersebut, diyakini oleh orang Besemah
dibawa oleh leluhur mereka dari tanah Majapahit (Jumhari, Hariadi, 2014).
Masyarakat Suku Pasemah yang hidup di sekitar Gunung Dempo sebagian besar
merupakan petani. Saat ini pun daerah ini masih menjadi sentra produksi kopi di
Sumatera Selatan. Sedangkan tanaman lainnya adalah sayuran, seperti kubis, wortel,
cabe, sawi, kentang, tomat, daun bawang, terong, seledri, dan lain-lain (Dudi
Oskandar, 2021).
12
Di Kota Pagaralam konsentrasi rumah Baghi ditemukan di daerah Pelang
Keniday. Rumah tradisional orang Besemah (rumah Baghi) memiliki arsitektur yang
unik, karena menggunakan pasak dan ragam hias yang tersebar di hampir seluruh
bagian rumah. Orang Besemah di Dusun Pelang Keniday mengelompokan rumah
Baghi dalam 4 (empat) tipe yakni:1) Rumah Tatahan 2) Rumah Gilapan 3) Rumah
Padu Tiking dan terakhir Rumah Padu Ampagh (Rois Leonard Arios, 2012 dalam
Jumhari Hariadi, 2014).
1) Rumah Tatahan adalah rumah tradisional Besemah dimana semua bagian-
bagian tertentu di luar rumah diberi ukiran. Oleh karena membuat ukiran
dengan cara menatah dengan jenis-jenis pahat maka rumah ini disebut rumah
tatahan.
2) Rumah Gilapan yakni rumah yang memiliki bentuk sama dengan rumah tatahan,
yang membedakan adalah rumah gilapan bagian-bagian dinding luarnya tidak
diukir.
3) Rumah Padu Tiking adalah rumah tradisional di Besemah, yang memiliki
bentuk sama dengan kedua rumah sebelumnya, yang membedakan adalah
bangunan rumah ini terutama pada bagian-bagian tertentu dibuat dari kayu dan
bambu.
4) Rumah Padu Ampagh adalah jenis rumah yang dibuat sangat sederhana dengan
bahan dari anyaman bamboo.
Dalam proses pembangunan rumah baghi orang Besemah mengenal ritual adat
atau upacara adat pendirian rumah baghi, seperti Sedekah Negah Ka Tiang. Sedekah
Nunggah Mubungan, Sedekah Nunggu Ghumah dan Sedekah Nyimak Ghumah.
Ritual adat memancang tiang atau Sedekah Negah Ka Tiang yakni doa selamatan agar
pemasangan tiang pancang untuk rumah baghi berjalan lancer, biasanya dilaksanakan
pada pagi hari. Selanjutnya setelah kerangka rumah berdiri, maka dilakukan ritual
menaikan bubungan (Sedekah Nunggah Mubungan) yang dimulai dari pagi sampai
sore. Tujuannnya agar para tukang yang bekerja diberikan keselamatan dan
kelancaran. Bahan yang diperlukan dalam ritual adat ini, antara lain bendera merah
putih yang dipasang dipuncak bubungan, air kelapa hijau, linggur (sejenis buah labu)
yang tidak boleh dimakan, satu tandan pisang mas, tebung satu batang dan daun
sedingin. Secara filosofi bahan-bahan tersebut menyiratkan kearifan lokal orang
13
Besemah tentang harmonisasi mereka dengan alam atau relasi antara makrokosmos
dan mikrokosmos (Rois Leonard Arios, 2012 dalam Jumhari, Hariadi, 2014).
14
Gambar 2. Motif Mendale Kencana Mandulike Gambar 3. Motif Munce Ghebung
15
Walaupun sumatera selatan merupakan tempat berdirinya kerajaan sriwijaya yang
menganut Buddha, tetapi mayoritas masyarakatnya beragama islam karena
masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya memiliki darah dan keturunan bangsa
melayu yang mayoritas beragama islam. Masyarakat Palembang memegang teguh
semboyan sondok piyogo yang bermakna adat dipangku, syariat dijunjung artinya
meskipun sudah mengecap pendidikan tinggi, mereka tetap mempertahankan adat
kebiasaan suku Palembang (Wasrie, 2021).
Dalam Jumhari, Hariadi, (2014), Secara kultural orang Besemah juga menerima
pengaruh dari Islam, Islam juga mempengaruhi pada karya sastra seperti seni sastra
Tadut. Seni Tadut merupakan sarana bagi masyarakat Besemah untuk menghafal dan
mengingat ajaran Islam.
Orang Besemah juga memiliki karya budaya yang adiluhung dengan nilai-nilai
yang menjunjung tinggi harkat dan martabat orang Besemah, yang merupakan
khazanah budaya orang orang Besemah, antara lain:
a. Mantra
Jenis matra yang dikenal dalam tradisi orang Besemah sudah mendapat
pengaruh Islam. Ciri mantra yang telah diwarnai ajaran Islam, yakni adanya
kalimat syahadat dalam mantra.
b. Pantun
Ciri khas pantun Besemah penuh dengan perumpaan dan makna kiasan.
Pantun Besemah baghi tidak langsung pada tujuan pada sasaran, akan tetapi
menggunakan kalimat sindiran dan perumpaan. Secara umum dalam tradisi
besemah pada zaman dahulu pantau dipergunakan dalam beberapa aktifitas
budaya, seperti, pertama, pada acara meminang gadis (menuweghi rasan), Kedua,
pantun Besemah digunakan pada kegiatan adat begarihi atau beramah tamah
untuk perkenalan dengan gadis atau bujang, ketiga, pantun Besemah dipakai pada
acara pernikahan, yakni pada saat tari Keok.
c. Rejung
Tradisi sastra lisan lainnya di Besemah, adalah Berejung yakni seni
melantunkan syair dan pantun yang diiringi dengan gitar. Sampai saat ini berejung
masih bertahan di daerah ini. Berejung pada dasarnya adalah seni yang
menggabungkan antara seni musik dan sastra.
16
d. Guritan
Guritan adalah seni sastra yang menuturkan atau menceritakan sejarah,
kerajaan, percintaandan budaya, Ciri-ciri guritan biasanya bertema tentang cerita
sejarah dari masa kerajaan, masa penjajahan hingga Indonesia merdeka. Sebagai
sebuah karya sastra, geguritan tidak dikenal pengarang atau penciptanya
(anonym).
e. Tadut
Tadut merupakan sastra tutur Besemah, yang berhubungan dengan cara
mempelajari agama, terutama ajaran agama Islam. Tadut merupakan jenis sastra
puisi, kata tadut berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti pengulangan atau
berulang-ulang.
f. Fabel (cerita binatang)
Andai-andai merupakan jenis karya sastra yang mirip dengan fabel, yakni
ceita dimana tokoh-tokohnya semua berasal dari binatang yang berperan layaknya
manusia.
g. Peribahasa dan Ungkapan (Petata-Petiti)
Peribahasa adalah kelompok kata yang menggunakan bahasa yang
mengandung pesan-pesan yang dapat diteladani, peribahasa di Besemah, ada yang
berisi tentang perumpaan, nasihat dan prinsip hidup, dibawah ini beberapa
peribahasa yang dikenal luas oleh orang Besemah.
c. Budaya Pernikahan
Pasemah adalah kelompok masayarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai
adat, tradisi, dan budaya yang masih dipertahankan sampai saat ini. Salah satunya
adalah tradisi pada adat pernikahan. Tradisi dalam adat pernikahan ini, adalah tradisi
nampun kule. Nampun kule merupakan adat dalam peminangan atau melamar di suku
Pasemah yang bertujuan untuk mempersatukan antara keluarga kedua belah pihak,
pihak bujang dan gadis melalui musyawarah sampai ada kesepakatan dari sejak
mereka akan menikah sampai nantinya menjadi sepasang suami istri. Tradisi ini, akan
membentuk pranata kebudayaan (Bayu Utomo., dkk, 2019).
Mengenai nampun kule, ada beberapa ketentuan yang harus disiapkan oleh pihak
bujang ketika akan datang ke tempat gadis, yaitu mempersiapkan radak ridik kule
(syarat nampun kule). Radak ridik kule meliputi 10 batang lemang, satu bungkus
17
lemak manis yang diikat bersama lemang, satu bungkus bajik, satu bungkus pisang
goreng, dan tunking (tempat sirih) isinya sirih lengkap (Bayu Utomo., dkk, 2019).
Tradisi nampun kule dilaksanakan dengan tahapan nuei rasan, ngalih tutughan,
nentukan kekendakan, perundingan terakhir, Ijab Kabul, bimbang (Bayu Utomo.,
dkk, 2019). Yaitu:
1) Nuei Rasan
Proses nuei rasan adalah proses awal dari nampun kule untuk menyampaikan niat
baik dari bujang yang sudah ada komitmen dengan gadis untuk ke jenjang
pernikahan yang diwakili oleh utusan dari pihak sang bujang sesuai dengan waktu
yang disepakati kedua belah pihak. Pada proses nuei rasan ini, pihak dari bujang
membawa tungking (tempat sirih) lengkap berisi ramuan sirih. Tungking beserta
isinya yang di bawa dibungkus dengan kain panjang. Perwakilan dari bujang juga
membawa satu bungkus bajik dan satu bungkus pisang goreng. Memulai dan
menutup pembicaraan utusan bujang dan gadis akan berpatun.
(a) Pantun pertama merupakan pantun sukacita sebagai pembuka pembicaraan
yang disampaikan oleh juru bicara pihak bujang pada saat datang ke rumah
gadis. Pantun pertma bermakna bahwa pihak bujang yang datang memang
sudah dinantikan oleh pihak keluarga gadis.
(b) Pantun kedua merupakan pantun balasan dari pihak gadis yang diwakili oleh
juru bicara keluarga gadis.
(c) Pantun ketiga merupakan pantun yang disampikan oleh pihak bujang setelah
selesai bermusyawarah dengan pihak dari gadis. pantun tersebut, memiliki
makna bahwa pihak bujang yang sudah menyampaikan ijean (urusan) kepada
pihak gadis merasa berat hati untuk berpamitan pulang, karena sudah larut
dalam obrolan yang semakin akrab antara kedua belah pihak dan tanpa terasa
ikatan kekeluargaan itu semakin erat.
(d) Pantun keempat merupakan pantun balasan yang disampikan oleh pihak dari
gadis. makna pantun di atas yaitu, mengungkapkan rasa berat hati dan sedih
bahwa pihak bujang akan berpamitan untuk pulang.
2) Ngalih Tutughan Pada proses Ngalih tutughan atau alih panggilan ini orang tua
dari bujang langsung hadir ke tempat kediaman orang tua sang gadis setelah
mendengar hasil dari nuei rasan yang diwakili oleh utusan dari bujang bahwa
18
ijean bujang dan gadis memang benar ada. Pihak keluarga bujang yang hadir
kembali membawa tungking (tempat sirih), satu bungkus bajik, satu bungkus
pisang goreng, dan 10 batang lemang. Pertemuan antara kdua belah pihak pada
saat ngalih tutughan ini, juga akan membahas waktu pelaksanaan perkawinan,
bimbang atau resepsi, rasan kule, dan hantaran.
3) Perundingan Terakhir Pada tahap ini pihak bujang datang kembali untuk
melakukan perundingan terakhir di rumah orang tua gadis. Perundingan terakhir
keluarga pihak bujang dan pihak gadis membicarakan atau membahas kembali
pelaksanaan pernikahan, bentuk bimbang atau resepsi, dan jumlah undangan.
Perundingan yang dilakukan di rumah orang tua gadis, dimaksudkan untuk
memepertegas kembali kepada pihak bujang bahwa pelaksanaan ijab qabul,
resepsi, jumlah undangan sudah pasti dan sudah dapat mengundang sanak famili
kedua belah pihak, baik itu keluarga bujang maupun keluarga gadis untuk rencana
pelaksanaan perkawinan sekaligus membentuk kepanitiaan sampai ke acara
bimbang atau resepsi.
4) Ijab kabul Pada pelaksanaan pernikahan sesuai dengan waktu yang telah
disepakati pada saat namapun kule, pihak bujang hadir ke tempat rumah gadis
untuk melaksanakan ijab kabul dengan membawa 20 batang lemang, satu
bungkus gulai paha ayam, dan satu bungkus lemak manis. Pada proses ini, pihak
19
pengantin laki-laki yang datang akan menyampaikan maksud kedatangan dengan
berpantun,
1. Lemang
Makanan ini memiliki ciri khas pembuatan lemang yaitu terbuat dari campuran
beras ketan dan kelapa parut yang dicampur pisang, udang atau bawang dengan dilapisi
daun pisang, kemudian di masukkan ke dalam bambu berukuran seruas bambu lalu
dibakar sampai matang
Di Kabupaten Muara enim tepatnya di Desa Karang raja ada tradisi Melemang
yang merupakan tradisi adat yang ada pada bulan Muharram. Tradisi ini sudah dilakukan
secara turun menurun sejak zaman nenek moyang (puyang). Tradisi ini bertujuan sebagai
tolak balak dari bencana dengan mengadakan sedekah desa dalam bentuk membuat
lemang oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Nilai budaya yang bisa kita ambil dari
tradisi ini yaitu nilai silaturahmi dan gotong royonng serta nilai agama berupa nilai
aqidah dan ibadah.
Gambar 6. Lemang
2. Kopi Semendo
Daerah Muara Enim menjadi pusat produksi kopi semendo. Semendo merupakan
salah satu wilayah di Kabupaten Muara Enim yang memiliki kopi dengan citarasa yang
khas. Kopi ini tidak terlalu hitam cukup bening jika dibandingkan dengan cokelat,
rasanya tidak terlalu pahit bahkan mendekati rasa cokelat, teksturnya sedikit lebih kental
dari kopi yang lain. Ada dua jenis kopi yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Biasanya
kopi semendo ini jadi incaran para pelancong serta jadi oleh-oleh. Kopi ini biasa
21
dinikmati dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan disajikan juga saat hajatan untuk
para keluarga serta tetangga yang membantu acara.
3. Pempek
Pempek merupakan makanan khas Palembang dan sudah sangat terkenal di
Indonesia. Karena tidak lengkap rasanya kalau datang ke Sumatera Selatan tidak
mencoba makanan ini dan sudah pasti jadi oleh-oleh utama yang harus dibeli.Makanan
ini terbuat dari campuran Terigu dan Sagu serta Ikan ,disajikan dengan kuah yang disebut
Cuka terbuat dari campuran asam jawa, gula merah, udang dan cabe rawit. Jenisnya pun
beragam yaitu pempek lenjer, pempek kapal selam, pempek adaan, pempek kulit, pempek
dus, pempek keriting. Pempek biasanya selalu ada di acara hajatan warga bahkan hampir
tiap hari makanan ini selalu menemani kehidupan sehari-hari masyarakat Sumatera
Selatan terkhusus untuk menyambut para tamu yang datang.
Gambar 8. Pempek.
4. Tempoyak
Tempoyak sudah ada sejak tahun 1836 yang merupakan makanan kegemaran dari
Raja hinggaa rakyat biasa bangsa melayu. Salah bahan pendukung makanan yang cukup
terkenal di Sumatera Selatan. Bahan utamanya dari Durian dan campuran garam yan
kemudian di fermentasi selama 7 hari di tempat yang tertutup seperti toples. Tempoyak
22
banyak di produksi saat musim durian dan dijadikan bahan untuk membuat gulai.
Rasanya asam tapi nikmat apalagi kalau sudah dijadikan berbagai macam gulai seperti
pindang, pepes, sambal tempoyak. Tempoyak biasa disajikan dari menu sehari-hari
bahkan sampai saat hajatan misal pernikahan biasanya menu gulai tempoyak akan
disajikan untuk para tamu.
5. Pepes Tempoyak
Salah satu makanan olahan dari tempoyak yang dicampur dengan ikan patin serta
cabai merah, gula jawa, laos, kunyit, serai dan bawang yang kemudian dibungkus dengan
daun pisang lalu di kukus hingga matang merata dengan menggunakan api sedang.
Makanan ini biasanya di konsumsi sehari-hari dan bisa juga disajikan saat hajatan.
23
Gambar 11. Gulai Ikan Asam Belimbing
7. Bekasam
Makanan ini di dapat dari proses fermentasi. Adapun bahan yang digunakan yakni
ikan, garam, dan nasi. Ikan sebelumnya di cuci bersih lalu diambil dagingnya saja,
kemudian ditambahkan garam dan nasi sesuai dengan porsi pembuatannya lalu
dimasukkan ke dalam wadah yang tertutup rapat dalam waktu 10 hari hingga fermentasi
sempurna. Rasa serta aroma nya memang aneh bagi orang yang tidak familiar, namun
bagi suku basemah bekasam merupakan makanan lezat dan bergizi dan biasa di konsumsi
sehari-hari namun sangat jarang disajikan saat hajatan.
10. Kelicuk
Makanan ini terbuat dari campuran beberapa bahan yaitu pisang, beras ketan,
kelapa, dan gula yang kemudian dibungkus dengan daun pisang lalu direbus/kukus
selama beberapa menit. Makanan ini biasa disajikan saat acara hajatan pernikahan.
11. Bajik
Makanan ini rasanya manis terbuat dari beberapa campuran bahan yaitu beras
ketan, santan, kelapa parut, gula pasir, gula merah. Makanan ini dibuat dengan cara
masak beras ketan menggunakan panci, gongseng kelapa sampai warnanya menjadi
kuning, masak gula merah sampai mencair dengan menggunakan wajan setelah itu
masukkan beras ketan kedalam wajan, masukkan adonan tadi kedalam cetakan lalu
dinginkan. Makanan ini disajikan saat acara nikahan, selametan, dan hari raya.
25
Gambar 15. Bajik
26
masyarakat tradisional tergantung pada alam mengarah ke pencapaian masyarakat
pedesaan yang memiliki pengetahuan unik dan endemik tentang tanaman obatuntuk
mencegah dan menyembuhkan penyakit yang di derita. (Mirdeilemi, S, Z. et al. 2011).
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-
temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku di masyarakat (Setiawan, 2018). Obat tradisional diolah secara tradisional,
secara turun-temurun berdasarkan resep nenek moyang, adat istiadat, kepercayaan atau
kebisaaan masyarakat setempat baik bersifat gaib maupun pengetahuan tradisional
(Indriati, 2014).
27
Pengetahuan tumbuhan obat oleh masyarakat di suatu daerah merupakan
pengetahuan lokal yang menjadi warisan turun temurun dari generasi ke generasi
berikutnya. Pewarisan pengetahuan tumbuhan obat berisiko mudah hilang karena arus
modernisasi yang menggerus kebudayaan lokal. Jika terus dibiarkan tanpa adanya upaya
pelestarian maka dikhawatirkan obat tradisional sebagai warisan budaya nenek moyang
terancam punah. Pengetahuan pemanfaatan tumbuhan obat lebih banyak dipahami dan
dimanfaatkan oleh generasi tua, sedangkan generasi muda kurang termotivasi untuk
menggali pengetahuan tumbuhan obat sehingga ditakutkan pengetahuan ini akan
mengalami kepunahan.
Salah satu masyarakat yang masih mempertahankan adat dan tradisi pemanfaatan
tumbuhan sebagai obat adalah Suku Basemah, sebagian besar masyarakatnya
menggunakan obat tradisional secara turun temurun. Namun pemanfaatan tumbuhan
obat terbatas dari orang tua ke anak dan atau cucu secara turun temurun, sehingga
dikhawatirkan pengetahuan tersebut semakin terdesak seiring perkembangan zaman
yang menyebabkan punahnya pengetahuan tumbuhan obat tradisional. Selain itu
dikhawatirkan tumbuhan obat yang jarang digunakan sebagai bahan pengobatan akan
tertinggal dan punah. Masyarakat mempercayai pengobat tradisional (battra) sebagai
tempat untuk berobat dan memanfaatkan tumbuhan sebagai obat tradisional. Selain itu
sebagian besar masyarakat masih membudidayakan tumbuhan obat di pekarangan atau
kebun yang digunakan sebagai bahan masakan, bahan obat tradisional ataupun keperluan
lainnya.
Tabel 1. Jenis Dan Manfaat Tanaman Obat Tradisional Yang Digunakan Oleh
Masyarakat Suku Besemah
29
30
Selain tanaman tradisional yang disebutkan diatas, suku basemah merupakan
salah satu daerah penghasil minyak Atsiri sebagai bahan untuk pengobatan, kosmetik
tradisional dan parfum. Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa yang dihasilkan
oleh tumbuhan dari hasil metabolisme. Minyak atsiri dapat dikenal dengan minyak
terbang karena sifatnya yang mudah menguap, selain itu minyak atsiri memiliki sifat
31
yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik. Minyak atsiri memiliki
aroma yang khas sesuai dengan tumbuhan penghasilnya (Amiarsi et al., 2006). Minyak
atsiri paling sering di gunakan sebagai aroma terapi, dengan berbagai manfaat selain itu
sifatnya yang mudah menguap dan berbau khas menjadikan minyak atsiri banyak
digunakan dalam pembuatan parfum dan kosmetik (Rusli, 2010).
32
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Suku Basemah merupakan suku bangsa asli yang berasal dari wilayah Sumatera Selatan
yang memiliki kerabatan dengan suku melayu dan suku komering yang juga sudah ratusan
tahun tinggal di Sumatera Selatan. Masyarakat Basemah yang tinggal sekitaran Gunung
Dempo Sebagian besar adalah petani yang mengelola kebun. Saat ini pun daerah ini masih
menjadi sentra produksi kopi di Sumatera Selatan dan Kota Pagar Alam menjadi sentral
sayuran.
Dalam upaya pengobatan suatu penyakit, masyarakat suku Basemah melakukan
pembuatan obat tradisional dengan berbagai tmbuhan obat. Beberapa pengobat tradisional
(battra) di Suku Pasemah Marga Sumbay Ulu Lurah. Pengobat Tradisional (battra) paling
banyak menetap di lokasi administratif Kecamatan Pajar Bulan Kabupaten Lahat.
Masyarakat Suku Pasemah Marga Sumbay Ulu Lurah di Kecamatan Pajar Bulan mengatasi
masalah kesehatan dengan beberapa cara seperti menggunakan tenaga kesehatan,
menggunakan tumbuhan sebagai bahan obat, dan menggunakan kedua cara tersebut.
B. SARAN
1. Pelayanan Keperawatan
Dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan asuhan keperawatan dengan
transkultural budaya yang berbeda.
2. Masyarakat
Dapat memberikan informasi beserta masukan untuk menambah wawasan pada tenaga
kesehatan dan masyarakat mengenai perpesktif sehat sakit serta budaya suku Basemah.
3. Institusi Pendidikan
Dapat memberikan informasi ke penulis lain dan memberikan masukan sebagai referensi
dalam proses pembelajaran tentang keperawatan transkultural serta dapat digunakan
sebagai acuan bagi mahasiswa untuk menambah wawasan dan ketrampilan demi
perkembangan ilmu profesi keperawatan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, A. 2011. Tanaman Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Salemba Medika
Ariyani, M., Santri, D. J., & Nazip, K. (2021). Jenis-Jenis Tumbuhan yang Dimanfaatkan Etnis
Suku Jawa pada Pengobatan Tradisional di Kelurahan Sukajadi Kabupaten Banyuasin
Sumatera Selatan dan Sumbangannya pada Pembelajaran Biologi SMA. Skripsi. FKIP
Biologi Universitas Sriwijaya.
Bedur, M., Suan, A. B., & Pascal, E. (2005). Sejarah Besemah dari Zaman Megalitikum, Lampik
Empat Merdike Due, Sindang Merdike ke Kota Perjuangan. Pagaralam: Pemerintah Kota
Pagaralam.
BPS Kecamatan Pajar Bulan. (2018). Kecamatan Pajar Bulan Dalam Angka Tahun 2018. Lahat:
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lahat.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Objek Wisata Budaya Pemerintah Kota Pagaralam. 2011
Dudi Oskandar. (2021). Mengenal Suku Pasemah. Suku Bangsa Asli Sumsel Yang Bermukim di
Daerah perbukitan. https://www.rmolsumsel.id/mengenal-suku-pasemah-suku-bangsa-asli-
sumsel-yang-bermukim-di-daerah-perbukitan (diakses 11 September 2022, Pukul 09.00 WIB)
Hakim, L. 2014. Etnobotani dan Manajemen Kebun Pekarangan Rumah: Ketahanan Pangan,
Kesehatan, dan Agrowisata. Malang: Selaras
https://ejournal.unsri.ac.id
https://repositori.kemdikbud.go.id/10278/1/Identitas%20kultural%20orang%20besemah%20di%20Kota
%20Pagaralam.pdf (diakses 11 September 2022, Pukul 09.00 WIB)
Lestari Dewi. N. 2017. Etnobotani Tumbuhan Penghasil Minyak Atsiri Untuk Kosmetik
Tradisional Oleh Suku Besemah Kabupaten Lahat Skripsi. Universitas Sriwijaya: FMIP
Melly Gustina. (2020). Analisis Rendahnya Kepemilikan Jamban di Desa Muara Aman
Kecamatan pasemah Air Keruh Kabupaten Empat Lawang. Journal of Nursing and Public
Health Vol. 8 No. 1 April 2020. Stlawesi Selatan.
Paramita Diah Renita. (2017). Sikap Kepala Keluarga Memengaruhi Kesehatan dan Pengobatan
Keluarga Suku Pasemah Sumatera Selatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Indonesia.
34
Rois Leonard Arios, ‘Arsitektur Rumah Baghi di Kota Pagar Alam’, dalam Nursyirwan Effendi
(ed), Bunga Rampai Budaya Sumatera Selatan, Budaya Besemah di Kota Pagar Alam,
Padang: BPNST Press, (2012), hal.1-117.
Suan, Ahmad Bastari dkk. 2007. Atung Bungsu Sejarah Asal usul Jagat Basemah. Palembang -
Pagar alam: Pesake-penko Pagaralam.
Supiyah, Hudaidah, LR Retno Susanti. Menggali Kearifan Lokal Suku Basemah Melalui
Kebudayaan Guritan.
Utami, Ayu Tri. (2021). Ghumah Baghi, Rumah Adat Suku Basemah. Pariwisata Indonesia
https://pariwisataindonesia.id/budaya-dan-sejarah/ghumah-baghi-rumah-adat-suku-besemah/
diakses 11 September 2022, Pukul 19.00 WIB.
35