Anda di halaman 1dari 4

MASYARAKAT ISLAM MATOTONAN

PEDALAMAN HULU SARAREKAT


MENTAWAI, PERLU BANTUAN

Memudiki sungai Sararekat Hulu, sehari menggalah sampan dan


Madobak akan terhentak di desa paling pedalaman, Matotonan.
Desa ini sudah berbatasan dengan wilayah Siberut Utara, daerah
Peipejat Hulu, desa Bataet di Mentawai.

Wilayah desa Matotonan diapit oleh dua hutan yang lebat dan belum
dijamah oleh pengolahan. Di antaranya wilayah Sallappa, Saliguma dan wilayah
Sagalubbek di pantai barat. Penduduk asli sudah terbiasa mendatangi daerah
Sagalubbek dari Matotonan dengan berjalan kaki selama tiga hari. Hanya dalam
waktu sehari perjalanan merintis hutan mereka bisa sampai di Sallappa dan
kemudian sehari lagi sampai di Saliguma atau Saibi Hulu di daerah utara.
Di tengah hutan antara daerah Sagalubbek dan Matotonan inilah ditemui
kelompok penduduk asli yang masih kokoh dengan kebudayaan asli Siberut
dengan Arat Sabulungan (kepercayaan animisme), terkenal dengan nama suku
Sekudai.
Penduduk desa Matotonan berjumlah 836 jiwa (tahun 1992),
mengelompok pada satu perkampungan yang tertata rapi. Di antara jumlah itu,
537 jiwa beragama Islam, tersebar di seluruh Kecamatan Siberut Selatan.
Uniknya dari sejumlah penduduk yang beragama Islam di desa Matototan,
semuanya penduduk asli Mentawai. Mereka semuanya merupakan Jama'ah
Muhtadin.

Daerah Asal
Pada awal didiami, penduduk asli Matotonan hanya terdiri dari delapan
suku. Suku-suku Sagailok, Satoutou, Sakobou, Sarubei, Sabulat, Satoinong,
Saige dan Satutoitet. Mereka berasal dari daerah utara Siberut dari daerah
Simatalu. Suku-suku tersebut sekarang sudah memecah diri menjadi lebih dari
36 suku kecil. Di samping itu, para pendatang mulai berdatangan ke desa ini.
Sebelum 1950, daerah ini sebagaimana lazimnya seluruh daerah di
Mentawai, merupakan penganut Arat Sabulungan. Setelah Arat Sabulungan
dihapuskan, mulailah penduduk memilih agama yang resmi untuk dianut. Di
antara penduduk ada seorang yang menerima Islam sebagai pilihan, bernama
Toboi Kere Sabulat (72 tahun). Sejak tahun 1950 beliau telah menganut Islam
dan sampai sekarang (1992) masih tetap teguh dengan keyakinan Islamnya.
Pada tahun 1951, faham Bahaiisme masuk ke daerah ini. Faham ini
dikembangkan dari Padang. Pengembangan Bahaiisme dimungkinkan karena
bertugasnya seorang dokter bernama Rahmatullah Muhahir (dari Iran). Sejak
tahun 1955 hingga saat ini, kegiatan ini dilarang untuk Siberut/Mentawai.

Perkembangan Ummat Islam


Jika tahun 1950 di desa terpencil ini hanya ada satu orang Islam saja
(Toboi Kere Sabulat), maka pada tahun 1957 semasa pemerintahan Camat
Abdullah, mulai masuk ummat Islam di desa Matotonan sebanyak 105 orang.
Melihat cara hidup dan contoh yang diperlihatkan oleh ummat Islam yang baru
ini, lambat laun menumbuhkan minat bagi penduduk asli untuk mengikuti jejak
saudara-saudara mereka.
Di tahun 1983, sebanyak 321 jiwa penduduk asli masuk Islam secara
massal. Demikian dari tahun ke tahun jumlah itu kian bertambah, sehingga pada
akhirnya tahun 1992 ummat Islam berjumlah 537 jiwa.

Suatu Pertambahan yang Menarik untuk Disimak


Pengembangan Jama'ah Muhtadin di desa Matotonan ditunjang oleh
adanya sebuah sarana ibadah (masjid Matotonan) yang selesai dibangun tahun
1990. Di samping itu yang paling menonjol, Jama'ah Muhtadin yang terbanyak
dari kalangan generasi muda. Sementara dari generasi tua masih melekat
kebudayaan lama. Generasi tua banyak ditarik oleh pihak Katolik, karena kaum
Salibiyah tidak menghiraukan perubahan sikap berbudaya penduduk asli.
Bahkan bertendensi tetap menghidupkan kebudayaan lama Siberut Mentawai.
Pendekatan yang dilakukan oleh Jama'ah Muhtadin di desa ini berbentuk
da'wah ketauladanan. Karena itu banyak dari generasi muda yang sudah
melanjutkan pendidikan di luar daerah (Padang dan sekitarnya). Keberadaan
agama Islam di daerah ini jelas membawa taraf kemajuan dan mutu kehidupan
penduduk asli.
Pendidikan
Di desa Matotonan terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri. Sekolah
Dasar Negeri No. 02 Matotonan ini mempunyai murid sebanyak 130 orang, 80 %
merupakan anak-anak keluarga Islam. SD Negeri ini dibina oleh tiga orang guru.
Dua di antara guru tersebut adalah beragama Katolik dan yang lain beragama
Islam. Di sekolah ini belum ditempatkan guru agama Islam yang khusus
mengajarkan pelajaran agama Islam kepada murid- muridnya. Pelajaran agama
Islam hanya diberikan oleh Kepala Sekolah yang kebetulan beragama Islam.
Kadang-kadang tugas mengajar agama Islam di sini dibantu oleh da'i
Islam yang ada di desa ini, yaitu Saudara Nasdi Simalea, pengurus Jama'ah
Muhtadin yang diangkat oleh penduduk Matotonan sendiri. Beliau telah bertugas
di daerah ini sejak 1986. Karena itu mengajarkan agama Islam kepada
murid-murid yang mayoritas beragama Islam ini dilakukan oleh tenaga sukarela
semata.

Taman Kanak-kanak Islam


Pada tahun 1991, di desa ini mulai diaktifkan sebuah Sekolah Taman
Kanak-kanak Islam. Dipimpin oleh dua orang da'iah putri Mentawai, Umberiati
dan Ersi dengan bantuan mukafaah dari Yayasan Amalan Jakarta. Keduanya
tamatan Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak Islam, Al-Azhar Jakarta.
Gedung yang dipakai bekas mushalla yang diperbaiki. Bangku-bangku
untuk belajar anak-anak memang sudah ada, tetapi peralatan sama sekali belum
dimiliki. Sekolah ini sama sekali tidak mempunyai peralatan mainan anak-anak
juga alat-alat peraga, sebagaimana lazimnya sebuah Sekolah Taman
Kanak-kanak. Sehingga kegiatan belajar dan mengajar di Sekolah Taman
Kanak-kanak Islam Amalan Matotonan ini, menjadi kurang lancar. Bahan papan
tulis yang dipakai merupakan pinjaman dari masjid Matotonan.
Ada satu hal yang menunjang, kesepakatan keluarga Muslim Matotonan
untuk menyerahkan anak-anak mereka belajar di sekolah ini, patut dipuji. Da'wah
Islam melalui pendidikan anak-anak merupakan satu upaya membentengi Islam
di desa Matotonan. Untuk jangka panjang usaha ini perlu dipelihara.

Kafilah Da'wah
Kafilah da'wah tidak hanya terdiri dari para mubaligh Islam, tetapi juga
para pengajar dan pelatih bidang pertanian, pertukangan, kerajinan tangan
bahkan peternakan. Sehingga, desa ini kelak bisa secara nyata terjadi
perubahan tingkat kehidupan masyarakatnya. Satu perubahan ke arah kemajuan
dan perbaikan taraf kehidupan karena dibawa oleh Islam. Dan para da'i Islam di
sini perlu dibekali dengan modal dasar untuk pengembangan taraf kehidupan
masyarakat.

Sarana Ibadah
Taraf kehidupan masyarakat Mentawai umumnya dan khususnya
Matotonan masih rendah, pembinaan dan pemeliharaan rumah ibadah masih
merupakan beban ummat Islam Muara Siberut. Fasilitas masjid masih dirasa
kurang, tempat wudhuk yang belum ada hingga hari ini. Tikar shalat masih jauh
dari memadai. Bahkan alat-alat untuk shalat, seperti sarung, dan mukenah masih
mengharapkan uluran tangan dari luar. Sebetulnya, masyarakat Mantawai bukan
tipe masyarakat yang senang dibantu. Tetapi mereka amat memerlukan
bantuan- bantuan itu, karena mereka belum memiliki kemampuan untuk
menghidupi diri sendiri. Penilaian ini setidak-tidaknya berlaku untuk masyarakat
Islam desa Matotonan.
Makanan sehari-hari mereka adalah sagu atau pun getek (sejenis keladi)
yang tumbuh di sekeliling kampung mereka. Di samping itu mereka hanya
berpakaian seadanya saja. Lain halnya, kalau mereka telah menganut Islam,
kehidupan yang meningkat mendorong mereka untuk berusaha lebih giat lagi.
Mereka akan didorong untuk menyediakan kebutuhan harian yang lebih pantas
dan memadai. Ke hutan mencari manau, rotan dan gaharu, merupakan lapangan
usaha penduduk asli dewasa ini. Hasil yang diperoleh menjadi penutup biaya
hidup dan biaya sekolah anak-anak mereka. Hasil yang diperoleh sifatnya
musiman, tidak tetap.

Mereka Butuh Bantuan


Bantuan yang mereka perlukan amat sederhana sekali seperti tikar
shalat, minyak tanah, keperluan shalat, kain kafan, minyak tanah untuk pengajian
anak-anak malam hari. Kebutuhan ini tidak dapat diperoleh di tengah
perkampungan mereka, sementara mereka dilupakan oleh keadaan kehidupan
yang bertaraf rendah. Kalau hanya sekedar tenaga, terlihat bahwa
gotong-royong untuk kebersihan masjid, selalu mereka jalankan setiap
minggunya. Dan kalau ada acara-acara bernafaskan Islam, walaupun itu
dilakukan di Muara Siberut, dan harus mereka korbankan waktu dua hari
mendayung sampan ke hilir, bukanlah halangan bagi mereka untuk
memenuhinya.
Dalam pelaksanaan khitanan massal dan peringatan hari besar Islam,
terutama hari Raya Korban, mereka akan datang ke Muara Siberut, hanya
sekedar mendapatkan pembagian daging korban, sebagai rangkaian ibadah.
Mentawai perlu diawasi. Mereka tidak membutuhkan janji-janji. Tetapi mereka
membutuhkan bukti. Dengan itu mereka siap membina diri. Itulah Matotonan,
daerah mayoritas Islam di pedalaman Siberut. Memang berat untuk direbut dan
hanya mudah untuk disebut-sebut. 

Anda mungkin juga menyukai