Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MATA KULIAH ESTETIKA

MAKALAH NILAI ESTETIKA DALAM SASTRA

Oleh :
Kelompok 8

Hervia Nastika // 2115160085


Resti Novianti // 2115160569
Rita Oktapiani // 2115160377
Yosua Adiguna // 2115162468

Kelas 3 PB 1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
TAHUN 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas


rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Estetika yaitu membuat makalah tentang kajian Nilai Estetika dalam Sastra.
Dalam makalah ini, nilai estetika difokuskan pada sastra.
Dalam tugas ini, kami menyusun makalah mengenai kajian Nilai
Estetika dalam Sastra dari sumber bacaan buku. Dari hasil penelitian ini
kami dapat menyampaikan konsep sastra yang terdiri atas pengertian sastra,
genre sastra, elemen sastra, dan kriteria sastra. Selain itu, sastra juga akan
dilihat dari segi estetika.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna dalam
proses pembelajaran pembaca. Demi penyempurnaan makalah ini, penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca apabila tanggapan kami ada
yang kurang atau berbeda dengan pembaca. Atas saran dan kritik, penulis
ucapkan terimakasih.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..........................................................................................1


KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI ..........................................................................................................3
PENDAHULUAN...................................................................................................4
PEMBAHASAN.....................................................................................................5
1. Pengertia Sastra.......................................................................................5
2. Genre Sastra..............................................................................................6
3. Elemen Sastra ...........................................................................................8
a. Structural Device....................................................................................9
b. Sense Device..........................................................................................9
c. Sound Device.......................................................................................10
4. Nilai Estetika dalam Sastra....................................................................15
5. Kriteria Sastra........................................................................................19
DAFTAR PUTAKA ............................................................................................25

3
PENDAHULUAN

Estetika adalah keindahan seperti yang telah banyak diketahui. Estetika


sebagai cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan
serta tanggapan manusia terhadapnya. Keindahan bukan saja hanya terdapat pada
pemandangan-pemandangan alam melainkan juga terdapat dalam sastra. Sastra
sebagai karya imajinatif tentu memiliki segi estetika di dalamnya. Estetika di
dalam sastra baru bisa dilihat melalui pembacaan secara total atau utuh teks
sehingga menemukan makna secara total. Keindahan karya sastra tidak terlihat
secara langsung secara visual seperti karya-karya seni lainnya. Misalnya, lukisan,
patung, dan sebagainya.
Sastra sangat mementingkan penggunaan bahasa sebagai mediumnya
sehingga bisa menimbulkan keindahan yang sebenarnya. Oleh karena itu, seperti
yang telah dikatakan bahwa keindahan sastra baru bisa ditemukan setelah
membaca secara utuh tulisan-tulisan, kalimat demi kalimat yang membangunnya
karena keindahan bahasa bukan dari huruf itu melainkan makna di balik huruf
tersebut. Dengan demikian, bahasa adalah suatu keindahan sebenarnya dalam
sastra yang dimaksudkan.
Untuk mengetahui keindahan seperti apa yang terdapat dalam sastra maka
sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu konsep dasar mengenai sastra. Setelah
mengetahui konsep dasar sastra, barulah dapat diketahui keindahan-keindahan
sebenarnya yang ada di dalam sastra. Dengan demikian, makalah ini menjawab
pertanyaan mengenai pengertian sastra, elemen sastra, nilai estetika dalam sastra
dan kriteria sastra sehingga tujuan makalah ini adalah mengetahui konsep dasar
sastra berupa pengertian, elemen dan kriteria sastra, dan nilai estetika dalam
sastra.

4
PEMBAHASAN

1. Pengertia Sastra

Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, çastra yang berarti tulisan
(Surastina, 2018: 3). Dari makna asalnya, sastra meliputi segala bentuk tulisan
manusia seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-
undang dan sebagainya. Wellek dan Warren dalam Endraswara (2013: 177) juga
menyatakan bahwa salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang dicetak
atau ditulis. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi juga ada kurangnya sebab
realitasnya, ada karya sastra lisan yang tidak pernah ditulis. Sungguh
menggiurkan memang, apa saja yang ditulis seolah-olah harus disebut sastra.
Sejalan dengan itu, Eagleton dalam Endraswara (2013: 33) juga menyatakan
sastra sebagai tulisan namun tulisan yang dimaksud adalah tulisan yang imajinatif
dalam artian fiksi. Fiksi merupakan karya yang secara harfiah tidak harus benar.
Percampuran fiksi dan fakta, kini sudah sulit diduga. Sebagai sebuah fiksi, sastra
adalah karya tentang sikap dan perilaku manusia secara simbolis (Endraswara,
2013: 2). Seperti yang banyak diketahui bahwa sastra banyak mengangkat kisah-
kisah kehidupan manusia, maka bisa dikatakan bahwa sastra adalah cerminan dari
kehidupan. Walaupun sastra adalah cerminan kehidupan tetapi sastra itu tetap
merupakan sebuah imajinasi yang dituangkan dalam tulisan.
Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan,
adalah ekspresi dan perasaaan manusia untuk mengungkapkan gagasannya
melalui bahasa yang lahir dari perasaan seseorang. Kata “sastra” biasa digunakan
untuk meruju kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti
keindahan tertentu yang menjadikan bahasa sebagai media serta alat pengungkap
gagasan dan perasaan senimannya dari kata dasar ‘sas’ yang berarti “instruksi”
atau “ajaran” dan ‘tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Sastra sering melakukan
tindak kekerasan teratur terhadap bahasa. Bahasa sastra adalah bahasa unik.
Sastrawan sering mentransformasikan, menyimpangkan bahasa secara sistematis

5
sehingga beda dengan ujaran sehari-hari. Maka dari itu, sastra senantiasa bermain
simbol (Endraswara, 2013: 193).
2. Genre Sastra

Genre, dari akar kata genus (Latin), berarti jenis, macam, kelas (Ratna,
2007:168). Ulrich Weisstein (Ratna, 207: 168) menggunakan sitilah kind (macam)
untuk menyebutkan klasifikasi utama, seperti: puisi, prosa, dan drama, sedangkan
penggolongan selanjutnya digunakan dengan istilah genre atau species. Dalam
sastra Indonesia, keduanya disebutkan sebagai genre. Genre sudah ada sejak
zaman Aristoteles, dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Poetica (Teeuw,
1998:108-109). Dalam buku ini Aristoteles membedakan tiga klasifikasi, yaitu: a)
klasifikasi menurut sarana perwujudan (media of representation) yang terdiri atas
prosa dan puisi, b) klasifikasi menurut objek perwujudan (objects of
representation) yang terdiri atas tragedi, komedi, dan roman, dan c) klasifikasi
menurut ragam perwujudan (manner of poetic representation) yang terdiri atas
epik, lirik, dan dramatik.
Ada juga usaha untuk menentukan genre sastra universal, seperti Scholes
dalam Ratna (2007: 169), membedakan sembilan bentuk sastra, yaitu: legend,
saga, myth, riddle, proverb, case, memior, tale, dan joke. Northrop Frye dalam
Ratna (2007: 169), membedakan sastra menjadi empat genre mayor, yaitu:
comedy, romance, tragedy, dan satire yang dihubungkan dengan empat musim,
yaitu: spring, summer fall, dan winter. Di pihak lain, sebagai kritik retorika, atas
dasar irama ia juga membedakan sastra menjadi empat genre yaitu: epos, prosa,
drama, dan lirik, yang masing-masing dihubungkan dengan irama yang berulang,
kontinuitas, kepantasan, dan asosiasi.
Menurut Wellek dan Warren dalam Ratna (2007: 170) genre adalah sejenis
isntitusi, seperti sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga sosial lain. Sebagai
lembaga maka ada prinsip-prinsip yang mengatur bentuk sastra. Setiap karya
sastra harus masuk ke dalam salah satu genre. Menurut Wellek dan Warren teori
genre ada dua, teori klasik dan teori modern. Ciri-ciri teori klasik: a) bersifat
mengatur dan memberikan pola, b) tiap genre harus dipisahkan dan dibedakan
dengan genre yang lain sehingga genre menjadi murni (genre tranche). Doktrin

6
teori klasik menuntut kemurnian nada dan gaya, kemurnian estetis (aesthetic
purity). Teori klasik juga menuntut perbedaan sosial, epik dan tragedi untuk kelas
menengah atas, komedi untuk kelas menengah, satire dan farce untuk kelas
bawah. Teori klasik, genology (ilmu bentuk kuno) menurut pemahaman van
Tieghem, dikritik sebagai bersifat taksonomis, sifat pemurnian estetis neo-Klasik
di satu pihak, tidak memberikan toleransi terhadap kualitas estetis yang
ditampilkan oleh kebudayaan yang berbeda di pihak lain.
Teori genre modern bersifat deskriptif. Ciri-cirinya diantaranya: a) tidak
membatasi jumlah genre, b) tidak menentukan norma tertentu yang harus diikuti
oleh pengarang, c) merupakan gabungan genre, d) mementingkan ciri-ciri
persamaan secara umum, bukan perbedaan, dan e) sesuai dengan doktrin
Romantik setiap karya merupakan totalitas otentik. Teori genre modern
memberikan kebebasan penuh terhadap kualitas kreativitas penulis. Dalam
menciptakan karya sastra, penulis besar akan berpedoman kepada genre yang
sudah ada sekaligus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat pembacanya.
Dalam hubungan inilah dibedakan dua macam estetika sastra, yaitu estetika
persamaan dan estetika pertentangan. Teori genre klasik melahirkan estetika
persamaan, sebaliknya teori genre modern melahirkan estetika pertentangan.
Genre sastra berkembang dari bentuk sederhana ke bentuk-bentuk yang
lebih rumit. Oleh karena itu, menurut Wellek dan Warren (Ratna, 2007: 172),
sastra dan sejarah sastra tidak diklasifikasikan melalui periode, ruang, dan waktu,
melainkan sejarah genre. Perkembangan genre sastra modern Indoesia pada
umumnya diadopsi dari sastra Barat seperti: soneta, cerita pendek, roman, dan
novel. Genre inilah yang kemudain berkembang sehingga menghailkan sub-genre
yang lain, seperti: novel lokal, novel psikologis, puisi kongkret, dan sebagainya.
Fungsi genre sastra adalah menjembatani harapan penulis dan pembaca sehingga
tercipta suatu keterpahaman di antara keduanya (Culler dalam Ratna, 2007: 173).
Dalam sastra Indonesia, jenis sastra dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu: jenis sastra lama dan modern. Jenis sastra sangat beragam, terdiri atas dua
macam, yaitu: puisi lama dan prosa lama. Puisi lama, misalnya: mentera, bidal
(peribahasa), pantun, karmina (pantun kilat), seloka, talibun, syair, dan gurindam.
Sebagai genre, puisi lama pun pada gilirannya memiliki sub-genre, seperti: bidal

7
yang terdiri atas pepatah, perumpamaan, tamsil, kiasan, ibarat, pameo, dan kata
arif (kata mutiara). Pantun dibedakan menjadi pantun anak-anak, pantu orang
muda, pantun orang tua. Pantun orang tua terdiri atas pantun nasihat, pantun adat,
dan pantun agama. Prosa lama terdiri atas dongeng, hikayat, sejarah (tambo,
silsilah). Dongeng terdiri atas fabel, legenda, dan mite.
Puisi modern tidak lagi mengikuti jumlah baris yang sudah ada, maka
lahirlah jenis distichon (dua baris), terzina (tiga baris), quatrain (empat baris),
quint (lima baris), sextet (enam baris), septina (tujuh baris), dan stanza atau
octava (delapan baris), soneta (empat belas baris), sanjak bebas. Jenis prosa baru
mengikuti pembagian terahir Aristoteles, yaitu epik, lirik, dan dramatik, kemudian
berkembang menjadi tiga genre utama, yaitu prosa, puisi, dan drama. Prosa
merupakan cerita mengenai suatu perbuatan, puisi merupakan penampilan
monolog suatu keadaan, sedangkan drama merupakan penampilan dalam bentuk
dialog mengenai suatu perbuatan. Prosa terdiri atas cerita pendek dan novel.
Novel berkembang menjadi novel psikologis, sosial, sejarah, detektif, populer,
picisan, dan novelet.

3. Elemen Sastra

Elemen adalah bagian (yang penting, yang dibutuhkan) dari keseluruhan


yang lebih besar; unsur (KBBI Edisi V). Jadi elemen adalah bagian yang
membangun sesuatu sehingga menjadi utuh. Kemudian yang dimaksud dengan
elemen sastra adalah unsur-unsur dalam karya sastra yang membangun sehingga
menjadi sebuah karya. Elemen sastra yang dibahas dalam makalah ini adalah
karya sastra puisi She’s Crying for Many Karya Benjamin Zephaniah.
Benjamin Zephaniah merupakan penyair Inggris kulit hitam yang lahir di
Birmingham, 15 April 1958 dan dibesarkan di Jamaica. Ia merupakan salah satu
empu puisi yang digemari di Eropa. Menurut versi majalah The Times, ia
termasuk dalam kategori top 50 penyair pasca perang pada tahun 2008. Ia
memperoleh gelar master di bidang Oral dan Performing Art. Ia menulis banyak
naskah puisi yang sebagian besarnya merupakan kritik sosial kerap kejadian-
kejadian kemanusiaan yang terjadi di dunia. Beberapa kompilasi puisinya

8
diterbitkan dengan judul City Psalms dan Talking Turkeys. Ia lebih sering
menggunakan kata-kata ‘slang’ yang jarang digunakan dalam puisi. salah satu
tujuan ia menulis puisi dengan style yang berbeda bahkan kadang-kadang sering
mendobrak konvensi penulisan puisi yang ada adalah karena ia ingin memberikan
imej baru terhadap puisi (terutama di kalangan akademis) dan ingin
‘menyebarkan’ puisi kepada orang-orang yang belum pernah membaca puisi.
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sering merefleksikan
kehidupan dan realitas sosial masyarakat. Ada beberapa device yang sering kita
jumpai dalam sebuah puisi, yang berikut ini akan dibahas secara singkat.
a. Structural Devices

Struktur sebuah puisi yang terdiri atas elemen-elemen seperti contrast


(kontras), repetition (pengulangan), dan illustration (ilustrasi) merupakan cara
yang sering digunakan oleh penyair dalam mengemukakan gagasannya. Unsur
kontras lebih menekankan pada bagaimana perbedaan diperlihatkan antar bait
dalam sebuah teks puisi. Perbedaan itu biasanya berupa pertentangan antartopik
yang dibahas dalam teks tersebut. Unsur pengulangan dibuat untuk menekankan
bahwa ide atau topik yang dibahas sangat penting. Sebagai contoh, terdapat unsur
pengulangan dalam puisi berikut:
water, water, everywhere.
and all the boards did shrink;
water, water, everywhere.
not any drop to drink.
Secara semiotik, kata ‘water’ yang diulang memperhatikan penekanan
bahwa meskipun terdapat air di mana-mana (konteksnya di lautan luas), namun
tak satupun yang bisa melepaskan dahaga para pelaut yang sedang berlayar. Dari
rima (abab) yang memperhatikan konsonan /e/ dan /k/, dan dari bunyi konsonan
/k/ yang terhambat, dapat ditangkap kesan bahwa ada sesuatu yang ‘membebani’
si aku lirik sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun mereka di lautan luas
(water, water, everywhere), namun mereka justru merasa menderita karena tak
setetes pun air yang bisa diminum (not any drop to drink).
b. Sense Devices

Mengenai diksi, penyair biasanya menggunakan devices yang disebut


sense devices yang berupa metafor, simile, dan personifikasi. Kata yang

9
digunakan dalam puisi lebih sering menggunakan majas tersebut untuk
memperlihatkan unsur keindahannya. Diksi di sini juga bertujuan memperlihatkan
bahwa penyair lebih sering memperlihatkan makna secara implisit dalam teks
yang mereka bangun. Ungkapan-ungkapan dengan menggunakan kata-kata as,
like, dan metafor lainnya dipakai untuk menggambarkan objek atau seseorang
yang sedang dibahas dalam puisi. Penggambaran dengan personifikasi juga sering
dipakai, dan semua itu bertujuan agar penyair bisa memberikan keterangan yang
sedetail mungkin dengan cara menggugah pancaindera pembaca seakan-akan
dapat melihat, merasakan, mendengar, dan mencium apa yang dialami oleh
penyairnya melalui majas yang digunakan.
c.Sound Devices

Unsur bunyi (sound devices) merupakan salah satu kekuatan puisi. Dalam
pembacaan puisi khususnya, sound devices yang meliputi rhyme, rhytm,
onomatopsace, asonance, dan alliteration merupakan unsur yang digunakan oleh
penyair untuk memberikan kesan bunyi yang lebih mendalam. Kesan estetis
sebuah puisi juga bisa ditangkap melalui sound devicestersebut. Rima sebuah
puisi yang terlihat di akhir setiap larik puisi, dan kesan bunyi yang ditangkap
dalam diksinya, bertujuan untuk memberikan unsur estetis terutama pada saat
puisi itu dibaca.
She’s Crying for Many
I
I am bone of her bone
So please stop kicking her
Beg yu leave her alone
She is not fighting back
Find de love that yu lack
Dat’s me sista yu breating upstairs.

II
I am feelig dem punches
I am feelig dem kicks
I see where yu mind is

III
I check yu as sick,
So yu are ‘De Man’
Easy man, if yu can,
Dats me sista yu beating upstairs.

10
IV
She’s screaming,
An it seems dat yu will not stop,
‘Dis is domestic’, (de words of a cop)
An yu keep repeating, ‘Tell me where you’ve been’,
She’s trying fe tell yu,
Yu not listening.
Downstairs me flat is shaking,
De lights are crazy swaying,
An I can hear loudly each words yu are saying,
I feel that her body is touching me ceiling,
An I see de man from inside yu revealing

V
She’s crying of many,
Dere’s many de same,
An don’t try to tell me the Bible’s to blame,
De colours yu fly outside, carry them home,
It’s cruel, you’re unhealty,
Yu should live alone,
Dat problem needs checking,
It seems ye fegetting,
Remember yu mudda
I am yu girlfriends bredda
Yu energy’s wasted
Yu bitternees tasted,
An all dat yu stand fa as been demonstrated.

VI
So now yu feel sexy,
Does that turn yu on?
After yu cum tell me where ave you gone?
Yu bed’s only playing de riddim of one,
Music direct from de great Babylon,
Who carved de image an space yum mus fill?
Is she de enemydat yum mus kill?
Do yu tell yu friends how yu get yu cheap thrills?
Does yu mudda know dat yu acting so ill?

VII
She is flesh of me flesh
I am bone of her bone,
I cannot help hearing,
I am downstairs alone, yu reap what yu sow,
How comes yu don’t know
Dats OUR sister yu beating upstairs.

Benjamin Zephaniah

11
Sekilas puisi di atas memperlihatkan kekecewaan si ‘aku lirik’, mengenai
apa yang dialami oleh adik perempuannya. Kata-kata yang muncul pada semua
bait puisi tersebut seperti dalam bait ke-1 (kick, fight, beating), pada bait ke-2
(puch, kick, beat), dan pada bait ke-5 (kill) merupakan akata-kata yang memiliki
konotasi kekerasan. Si ‘aku lirik’ dalam puisi ini merupakan orang yang
memprotes perlakuan seorang laki-laki terhadap istrinya karena kekerasan yang
dia lakukan.
Bait ke-1 menceritakan bahwa si ‘aku lirik’ menyaksikan kekerasan yang
terjadi saat she, saudaranya, mengalami tindak kekerasan dari suaminya, tapi tidak
melakukan perlawanan:
So please stop kicking her
Beg yu leave her alone
She is not fighting back
Pada bait di atas ‘aku lirik’ memperlihatkan empatinya melalui ungkapan
So please stop kicking her, Beg yu leave her alone. Ungkapan tersebut sekaligus
menyatakan sikap tidak menerima kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di
kontes di atas.
Bait ke-2 juga memperlihatkan tindak kekerasan lain:
I am feelig dem punches
I am feelig dem kicks
Dan ‘aku lirik’ masih memperlihatkan empati dengan menyatakan Dats
me sista yu beating upstairs. Dalam bait ke-2 ini, ‘aku lirik’ sudah mulai
menggunakan ekspresi verbal untuk memperlihatkan ketidaksetujuannya terhadap
apa yang terjadi pada saudara perempuannya.
I see where yu mind is
I check yu as sick,
Bait ke-3 masih sama dengan bait sebelumnya, yakni penggambaran
kekerasan dan perasaan kecewa ‘aku lirik’ terhadap tindak kekerasan yang
diterima oleh saudaranya:
She’s screaming,
An it seems dat yu will not stop,
Dalam konteks di atas, posisi perempuan adalah sebagai victim, ini
merupakan penggambaran dari kesalahan interpretasi atas konsep patriarki yang
menekankan bahwa perempuan merupakan sosok yang marjinal dalam
masyarakat maupun rumah tangga, maka segala tindak kekerasan dalam rumah

12
tangga seolah-olah dilegalisasi karena laki-laki adalah kepala rumah tangga, dan
pihak luar tidak memiliki otoritas untuk sekadar membantu kaum perempuan
sebagai korban kekerasan, seperti terlihat dalam kalimat berikut:
‘Dis is domestic’,
An yu keep repeating, ‘Tell me where you’ve been’,
She’s trying fe tell yu,
Yu not listening.
Larik di atas memperlihatkan tidak adanya hak kaum perempuan untuk
berbicara dan mengemukakan pendapat, merupakan contoh lain dari inferioritas
perempuan dalam keluarga.
Pada bait ke-4 ‘aku lirik’ masih menceritakan posisi saudara
perempuannya yang merupakan kroban kekerasan dalam rumah tangga, dan
dalam bait ini ‘aku lirik’ mulai memperluas konteksnya dengan mengacu pada
posisi kaum perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat yang terinterpretasi
melalui contoh di atas:
She’s crying of many,
Dere’s many de same,
An don’t try to tell me the Bible’s to blame,
Ada penegasan dari ‘aku lirik’ bahwa banyak kaum perempuan mengalami
nasib yang sama, dan menurutnya kaum laki-laki tidak boleh mengemukakan
alasan atas dalil agama untuk menjustifikasi tindak kekerasan yang telah mereka
lakukan. ‘aku lirik’ juga dalam hal ini mengingatkan kaum laki-laki melalui
ungkapan berikut:
It’s cruel, you’re unhealty,
Yu should live alone,
...
Dat problem needs checking,
It seems ye fegetting,
Remember yu mudda
I am yu girlfriends bredda
Pada bait ke-5, ‘aku lirik’ mengkritik tindakan si laki-laki terhadap
saudaranya:
...
Is she de enemydat yum mus kill?
Do yu tell yu friends how yu get yu cheap thrills?
Does yu mudda know dat yu acting so ill?
Ungkapan-ungkapan di atas secara tegas menolak kekerasan terhadap
perempuan, yang lebih lanjut digeneralisasikan dalam bait ke-6:
She is flesh of me flesh

13
I am bone of her bone,
I cannot help hearing,
I am downstairs alone, yu reap what yu sow,
How comes yu don’t know
Dats OUR sister yu beating upstairs.
Kemarahan ‘aku lirik’ terjadi karena tidak bisa berbuat banyak untuk
membantu saudara perempuannya dalam rumah tangganya jelas terlihat dalam
bait di atas. Dalam larik terakhir, ‘aku lirik’ berusaha menyadarkan kaum laki-laki
melalui ungkapan ‘OUR sister’, yang tidak hanya mengarah pada saudara
perempuannya dalam konteks di atas, namun juga mengarah pada kaum
perempuan secara umum, dan kaum wanita kulit hitam pada khususnya.
Puisi ini jelas-jelas menolak kekerasan dan sikap diskriminatif karena
perbedaan jender, yang muncul karena konstruksi budaya patriarki di mana
perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua. Sejalan dengan perjuangan
feminis kulit hitam, ternyata kaum laki-laki sendiri tidak sepenuhnya menerima
tindakan kekerasandan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kesetaraan jender
yang merupakan agenda utama perjuangan kaum feminis, ternyata bisa juga
diterima oleh kalangan laki-laki, seperti ungkapan Zephaniah dalam puisi di atas.
Dalam banyak karya sastra lainnya, yang terjadi justru tidak jarang sebaliknya,
kaum perempuan diposisikan sebagai objek dari korban. Akan tetapi jika kalau
dilihat dalam puisi di atas, penulis mencoba menyuarakan bahwa pada dasarnya
kaum perempuan merupakan sister, saudara, dan bukan mural yang harus
dianiaya. Secara intrinsik, penulis menggunakna struktur naratif dalam
menjelaskan kepada pembaca mengenai apa yang terjadi. Ada beberapa
pengulangan yang digunakan untuk memperlihatkan aspek persaudaraan antara
mereka seperti:
She is flesh of me flesh
I am bone of her bone,
Larik di atas sekaligus dijadikan sebagai pembuka untuk mengarah ke isi
konteks yang lebih luas:
How comes yu don’t know
Dats OUR sister yu beating upstairs.

Pada ungkapan di atas, ‘aku lirik’ jelas menyatakan ketidaksetujuannya


atas segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, karena menurut
kacamata humanis yang digunakan ‘aku lirik’, perempuan merupakan saudara

14
kaum laki-laki. Secara tersirat, penulis melalui ‘aku lirik’ mendukung adanya
kesetaraan jender.
Ada banyak unsur estetis yang dapat digali dalam puisi di atas. Menurut
Plato, karya seni yang baik idealnya harus memberikan pesan moral pada
penikmat seni. Pesan moral yang terdapat dalam sebuah karya seni, menurut
kacamata estetiks, akan mengarahkan penikmat seni untuk dapat memperoleh
pengalaman estetis, di mana pesan yang ingin disampaikan oleh seniman, dapat
diterima dengan baik oleh penikmat seni. Dalam karya sastra, pesan moral
tersebut tersirat melalui tema. Tidak jarang, justru melalui temalah pembaca sastra
dapat memperoleh pengalaman estetis, di samping banyak unsur-unsur intrinsik
lainnya yang juga bertujuan untuk memberikan nilai estetis bagi pembaca, berupa
setting, character, point of view (sudut pandang), dan plot. Unsur-unsur intrinsik
inilah yang digarap oleh penulis sedemikian rupa sehingga pembaca karya sastra
seolah benar-benar menjadi bagian dari cerita tersebut, atau mendapatkan
pengayaan batin dan pengalaman estetis setelah membaca cerita tersebut.

4. Nilai Estetika dalam Sastra

Estetika sastra adalah aspek-aspek keindahan yang terkandung dalam sastra.


Pada umumnya, aspek-aspek keindahan sastra didominasi oleh gaya bahasa.
Aspek estetika yang jauh lebih penting ditimbulkan melalui keseimbangan antara
unsur karya. Keseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah keseimbangan
dinamis. Ludwig von Bertalanffy (Ratna, 2007: 141) menyebutkan keseimbangan
dinamis sebagai keseimbangan yang mengalir. Secara definitif kesimbangan yang
mengalir dicirikan oleh adanya aliran dan perubahan secara terus-menerus. Jadi
keindahan yang ada dalam sastra tidak bersifat mutlak melainkan bergerak
dinamis karena berkembangnya bahasa atau gaya bahasa yang berbeda-beda
dalam setiap sastra.
Dalam karya satra aspek-aspek keindahan dapat ditinjau melalui dua segi
yang berbeda, yaitu segi bahasa dan keindahan itu sendiri. Dalam bidang sastra,
aspek pertamalah yang memperoleh perhatian. Sebaliknya aspek yang kedua lebih
banyak dibicarakan dalam karya seni yang lain, seperti: seni lukis, seni rupa, seni

15
arsitektur, dan seni tari. Aspek bahasa memperoleh perhatian lebih karena bahasa
merupakan medium utama karya sastra, sedangkan dalam karya sastra itu sendiri
sudah terkandung berbagai masalah. Bahkan, hal ini merupakan disiplin
tersendiri, yaitu ilmu bahasa atau linguistik yang kemudian merupakan bagian
integral ilmu sastra.
Perbedaan keindahan sastra dengan karya seni yang lain, dapat ditunjukkan
melalui kenyataan bahwa karya seni yang lain dapat dilihat secara langsung,
sebagai objek visual (Ratna, 2007: 143). Lukisan, patung, rumah, taman,
pemandangan, adalah keindahan yang tampak secara langsung. Tidak demikian
dengan bahasa. Bahasa tidak dapat dilihat, dengan kalimat lain penglihatan dalam
mengamati bahasa sangat terbatas. Karya sastra yang hanya terdiri atas satu
halaman, seperti puisi, memang dapat dilihat secara langsung. Meskipun
demikian, keindahan sastra bukanlah dari segi penglihatan tersebut. Keindahan
bahasa tidak terkandung dalam keindahan huruf, melainkan dalam isinya (Ratna,
2007: 143). Keindahan sastra terkandung di balik huruf-huruf yang tampak. Pada
umumnya keindahan yang tampak terbatas untuk menikmati kulit buku, baik
sebagai akibat susunan warnanya maupun tipografi karakter lainnya.
Menurut filsuf kontemporer Amerika yang bernama Suzanne K. Langer
(Ratna, 2007: 144), menyatakan bahwa sebagai medium utama karya sastra,
bahasa bersifat diskursif, tidak bersambungan. Bahasa harus dibaca huruf demi
huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, demikian seterusnya, sehingga
menemukan makna total. Keindahan mungkin saja sudah terkandung dalam huruf,
kata, dan kalimat, tetapi keindahan yang dimaksudkan belum mewakili makna
total sebagaimana dimaksudkan oleh hakikat karya sastra yang otonom.
Bahasa memberikan ciri khas terhadap eksistensi karya sastra. Bahasa dapat
diterjemakan sehingga memeberikan pemahaman yang sama terhadap komunitas
yang berbeda. Bahasa adalah sistem simbol, sehingga dengan bahasa yang sama
dapat diberikan pemahaman yang berbeda. Sama dengan seni lukis, keindahan
bahasa pun dihasilkan melalui mekanisme penyusunan kembali unsur-unsurnya.
Tidak ada bahsa yang khas sastra, yang ada adalah pemakaian bahasa yang khas
sastra. Atas dasar inilah kemudian muncul licentia poetica, suatu kebebasan yang
dapat dilakukan oleh seorang seniman untuk melanggar aturan formal tata bahasa.

16
Meskipun demikian, seorang seniman besar tidak harus melakukan kebebasan ini
sebab masih banyak cara lain yang dapat dilakukan dalam rangka mengekploitasi
bahasa sehingga menimbulkan keindahan.
Peranan bahasa dalam rangka mengevokasi aspek keindahan dalam sastra
tentu menampilkan dimensi lain. Bahasa dan keindahan memilki sejarah yang
hampir sama. Artinya, lahirnya kemampuan untuk mengenal bahasa, dalam hal
ini bahasa lisan yang lebih dikenal dengan bahasa ibu, lahir sejajar dengan
kemampuan manusia untuk mengenali aspek-aspek keindahan. Seorang bayi yang
mencoba menyebutkan kata ‘papa’ dan ‘mama’, misalnya disamping karena
kebutuhan untuk mengenali dunia sekitar, dalam hal ini lewat bahasa, juga
didorong oleh timbulnya rasa indah untuk menyebutkan kata-kata tersebut. Oleh
karena itu, dalam belajar bahasa asing, dianjurkan juga untuk belajar secara
verbal. Verbalisme yang dilakuakn secara berulang-ulang akan menimbulkan rasa
indah, sekaligus mempermudah untuk meghafalkan dan memahaminya.
Dengan adanya intensitas pada bahasa, maka karya sastra bukanlah kegiatan
untuk menemukan isi yang baru, tetapi mengganti bentuk atau struktur lama yang
telah kehilangan nilai-nilai estetisnya. Persamaan isi tidak mengurangi nilai karya,
persamaan isi tidak dianggap sebaagai pelanggaran aktivittas kreatif, seperti
plagiat dan ciri-ciri peniruan lainnya. Sebaliknya, persamaan bentuk, khususnya
berbagai persamaan dalam kaitannya dengan berbahasalah, seperti banyak
dilakukan dalam puisi, termasuk sebagai pelanggaran dan dengan demikian harus
dihindarkan . Dosa terbesar dalam dunia karang-mengarang, adalah peniruan pola
dan cara, yaitu bahasa itu sendiri. Seniman tidak menciptakan bahasa yang sama
sekali baru, dan kalaupun menciptakannya maka bahasa itu tidak akan dipahami
oleh pembacanya.
Setiap seniman, bahkan seniman besar harus menghormati kaidah-kaidah
tata bahasa (Ratna, 2007: 147). Kemampuan yang dituntut terhadap seniman
adalah pemanfaatan dengan cara memilih sehingga terjadi semacam metamorfosa
bahasa sehari-hari ke dalam bahasa sastra. Menurut Lessing (Ratna, 2007: 147),
setiap kalimat Shakespeare, Dante, dan Goethe memiliki ciri yang khas sehingga
mencoba mengutip salah satu bagian karya-karya penulis tersebut sama dengan
mencuri tongkat pemukul Hercules. Hal ini lebih jelas dalam karya seni yang lain,

17
seperti seni lukis, seni patung, dan seni musik. Bahan yang digunakan relatif
sama, yaitu warna, gaya, dan nada. perbedaan di antara para pelukis, pematung,
dan penyanyi terletak dalam cara atau bagaimana menyusunnya, sehingga dalam
cara penyusunan inilah terletak kualitas peniruannya, bukan dalam bahan-
bahannya. Sama dengan seni bahasa, kualitas estetis itu pun timbul sebagai akibat
cara penyusunannya, bukan bahan-bahannya.
Keindahan karya sastra telah terkandung sejak awal sebab karya sastra
adalah respons, tanggapan penulis terhadap dunia sekitarnya. Tanggapan terjadi
oleh karena ada rangsangan keindahan, aspek-aspek estetis yang menarik
perhatiannya. Sesuai dengan pendapat Bacon (Ratna, 2007: 148), karya seni
berdasarkan analogi manusia (ex analogia hominis). Sebagai manusia tidak bisa
menanggapi alam sekitar tanpa mengekspresikanya. Seorang seniman
mengeskprsikannya dengan cara mengadakan pemahaman, kemudian melakukan
proses kreatif, sebagai ekspresi. Dikaitkan dengan peranan seniman sepanjang
searahnya, dapat dibedakan dua karya seni, yaitu a) karya seni yang tetap
mempertahankan pola-pola yang sudah ada, b) karya seni yang secara terus
menerus manciptakan hal-hal yang baru.
Setiap baris yang tercantum dalam karya sasta, sama sekali tidak mewakili
makna kata-kata secara harfiah. Tetapi jelas dalam kemampuan inilah justru
terkandung aspek-aspek keindahan karya seni, dalam daya ambiguitasnya, dalam
kemampuannya untuk berbohong, dengan meminjam proporsi Umberto Eco
(Ratna, 2007: 150), bukan dalam kemampuannya untuk menunjukkan suatu
kebenaran yang sesungguhnya. Contohnya dalam baris-baris puisi ‘Aku mau
hidup seribu tahun lagi’ (Chairil Anwar) jauh lebih kuat daya ambiguitasnya,
kemampuan untuk ‘menipu’, dibandingkan dengan sepuluh tahun lagi. Apabila
dikaitkan dengan lima fungsi bahasa menurut Geoffrey Leech (Ratna, 2007: 150),
yang pada dasarnya memiliki persamaan dengan Jakobson, yaitu: a) fungsi
informasional dengan orientasi pada pokok persoalan, b) fungsi ekspresif dengan
orientasi pada penulis. c) fungsi direktif dengan orientasi pembaca, d) fungsi fatik
dengan orientasi saran komunikasi, dan e) fungsi estetik dengan orientasi pada
pesan.

18
Kebebasan sastra bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Aturan sastra
bersifat informal, artinya tidak dibatasi oleh aturan tertentu yang disepakati
bersama seperti susunan subjek, objek, dan predikat. Oleh karena sastra adalah
model kedua, medium karya sastra adalah bahasa, maka aturan formal yang ada
dalam bahasa secara inklusif sudah disepakati, meskipun tidak secara keseluruhan.
Di sinilah tata sastra mulai memegang peranan yaitu memanfaatkan berbagai
kesempatan untuk mengadakan ‘penyimpangan’ dalam rangka menampilkan
makna-makna baru.
Aturan informal dalam tata bahasa mengarahkan agar bahasa menghasilkan
makna jamak. Perbedaan penafsiran antara penulis dengan penbacanya merupakan
tolok ukur keberhasilan karya sastra. Dalam perbedaan inilah tekandung peranan
tata sastra. Tata sastra bukan membatasi makna tetapi mengembangkannya seluas
mukin tetapi memiliki dasar sebagaimana dimaksudkan oleh teks. Dengan kalimat
lain, tata sastra adalah kreativitas sebagaimana dimaksudkan oleh teks. Seperti
judul ‘Burung-burung Manyar’ tidak dimaksudkan untuk menjelaskan lebih jauh
manyar sebagai burung, kemudian jenis-jenis burung yang ada di dunia ini, dan
seterusnya. Burung manyar adalah Atik Larasati itu sendiri, perempuan pintar dan
lincah yang lulus Program Doktor (S3) dengan prdikat cumlaude menurut versi
Mangunwijaya. Demikian juga manusia yang ‘mau hidup seribu tahun’ menurut
Chairil Anwar, dan sebagainya. Dalam hubungan inilah akar kata seni yaitu ars
dianggap relevan, seni berarti suatu kemahiran, yaitu kemahiran dalam merajut
imajinasi, kemahiran dalam mengembangkan kreativitas.

5. Kriteria Sastra

Untuk menentukan apakah karya sastra itu baik atau tidak, Siswanto dalam
bukunya Pengantar Teori Sastra (2008: 82), mengungkapkan beberapa kriteria
sebuah karya sastra baik atau tidak. Ciri karya sastra yang baik bisa satu, dua,
atau beberapa kriteria seperti yang akan dibicarakan di bawah ini.
Pertama, karya sastra yang baik bisa mengkristal. Karya sastra yang baik bisa
melampaui ruang dan waktu. Ciri ini mengisyaratkan adanya penerimaan
pembaca. Sastra peranakan Cina atau biasa disebut sastra Melayu Rendah tidak

19
mampu mengkristal maka tidak ada karya pada masa ini yang dikenal hingga
sekarang. Siti Nurbaya (Marah Rusli), Salah Asuhan (Abdul Muis), Layar
Terkambang (S. Takdir Alisjahbana), Belenggu (Armijn Pane) adalah karya-karya
lama yang mampu melampaui ruang dan waktu.
Kedua, Karya sastra yang baik mempunyai sistem yang bulat, baik sistem
bentuk, bahasa, maupun isi. Di dalam karya sastra harus ada unity (keutuhan),
balance (keseimbnagan), harmoni (keselarasan), dan right emphasis (tekanan
yang tepat). Keutuhan mensyaratkan bahwa sutau karya sastra harus mendukung
keutuhan karya. Makna keseluruha dari karya sastra terjabar dengn baik dalam
setiap unsurnya. Tema, perwataakn, alur, gaya bahasa, dan unsur lain menjadi satu
kebulatan bagi prosa. Keseimbangan mensyaratkan bahwa unsur-unsur dalam
karya sastra baik ukuran maupun bobotnya harus sesuai dengan bentuk dan
fungsinya. Bila suatu karya berbentuk puisi, penggunaan bahasa harus padat.
Keselarasan mensyaratkan bahwa karya sastra harus mempunyai keselarasan
antar unsur karya sastra dengan keseluruhan karya sastra. Tekanan yang tepat
merupakan syarat yang mengacu pada syarat adanya tekanan tertentu dengan
proporsi tertentu pada suatu karya sastra. Jika di dalam suatu novel yang menonjol
adalah temanya, semua unsur novel harus mengabdi dan mendukung tema.
Ketiga, karya sastra yang baik bisa mengungkapkan isi jiwa sastrawan
dengan baik. Karya sastra tersebut harus bisa mengungkapkan isi, pikiran,
perasaan, emosi, keinginan, dorongan, ciri khas, atau cita-cita dari pengarangnya.
Bila pengarang merasa sakit, kesakitan ini akan tertuang dalam karya sastranya.
Cerpen "Kritikus Adinan” karya Budi Darma dengan baik dapat menampung rasa
takut, kesepian, dan pikiran Budi Darma mengenai kelicikan manusia. Di dalam
puisi, perasaan pengarang bisa juga tercermin dalam bunyi-bunyi yang digunakan.
perasaan riang atau gembira diungkapkan dengan euphony yang diwakili oleh
vokal i, e, dan a.
Keempat, karya sastra yang baik adalah penafsiran kehidupan dan
mengungkapkan hakikat kehidupan. Karya sastra yang baik dapat
mengungkapkan hal-hal yang orang lain tidak bisa mengungkapkannya dan
melihatnya.Orang yang tersenyum belum tentu bahagia, orang yang menangis
belum tentu sedih, di keramaian orang bisa kesepian dan merasa sendiri. Dalam

20
puisi “Jadi” karya Sutardji Calzoum Bahri mampu mengungkapkan dan
menanyakan kembali hal-hal yang sudah dianggap biasa, seperti pada kutipan
berikut.

JADI

Tidak setiap derita jadi luka


Tidak setiap sepi jadi duri
Tdak setiap tanda jadi makna
Tidak setiap tanya jadi ragu
Tidak setiap jawab jadi sebab
Tidak setiap mau jadi mau
Tidak setiap tangan jadi pegang
Tidak setiap kabar jadi tahu
Tidaj setiap luka jadi kaca
Memandang Kau
Pada wajahku!

Kelima, karya sastra yang baik tidak bersifat menggurui. Di dalam karya
sastra memang bisa ditemui ajaran moral, tingkah laku, karena memang karya
sastra merupakan latihan intelektual dan moral. Meskipun demikian, bkan berarti
karya sastra harus seperti buku filsafat atau buku sopan santun pergaulan. Karya
sastra tidak hanya mengungkapkan kata-kata belaka. Setiap kata dalam karya
sastra mempunyai banyak kemungkinan. Banyak sastarawan yang mengambil
spiritual agama tetapi apa yang mereka kemukakan tidak bersifat menggurui.
Contoh sastrawan yang mengambil spiritual agama adalah, Danarto, Taufiq
Ismail, Emha Ainun Nadjib, dan lainnya.
Keenam, karya satsra yang baik tidak terikat oleh nilai-nilai dan fakta-fakta
setempat, tetapi lebih bersifat universal. Makin baik karya sastra makin universal
masalah hidup yang diungkapkannya, seperti cinta kasih, ambisi, kebencian,
kematian, dan kesepian.Sastrawan yang baik mempunyai daya serap yang baik
sehingga mereka dapat menciptakan jarak antara kehidupan di dalam karya sastra.

21
Novel Rafilus tidak bisa lepas dari latar belakang pengarangnya, yaitu kota
Surabaya, Kudus, Yogyakarta, dan kota lain. Contoh sastrawan yang mampu
dengan kreatif menyikapi nilai dan fakta tradisi adalah Goenawan Muhammad,
Sapardi Djoko Damono, Arifin C. Noor, W.S Rendra, Sutardji Calzoum Bahri,
dan Putu Wijaya.
Ketujuh, karya sastra yang baik tidak melodramatis, tidak mempunyai kesan
diatur-atur. Memang, setiap kejadian dalam karya sastra semuanya diatur oleh
sastrawan. Meskipun demikian, semua yang ditulis sastrawan harus sesuai dengan
karya sastra. Jangan sampai diri sastrawan justru yang menonjol dalam
karangannya sendiri. Apalagi, ada akhir cerita yang dipaksakan sastrawan untuk
mengakhiri ceritanya yang justru memperlihatkan ketidakmampuan sastrawan
mengakhiri ceritanya.
Kedelapan, karya sastra yang baik harus menunjukkan kebaruan,
keindividualan, dan keaslian. Kebaruan mensyaratkan adanya peningkatan
kualitas dan munculnya sesuatu yang lain dari pada karya sastra yang
mendahuluinya. Keindividualan merujuk pada kekhasan bentuk dan isi karya
sastra setiap sastrawan. Kita akan bisa membedakan gaya bahasa atau pilihan kata
setiap penyair yang tertuang dalam puisi-puisi mereka. Puisi Chairil Anwar, J.E
Tatengkeng, Amir Hamzah akan berbeda dengan cara yang dipakai oleh Emha
Ainun Nadjib walaupun sama-sama berbicara tentang Tuhan. Keaslian merujuk
pada keaslian gagasan, bentuk, dan keaslian mengolah dan menyampaikan isi.
Ada beberapa sastrawan yang mempunyai keistimewaan dalam hal kebaruan,
keindividualan, dan keaslian. Di bidang puisi, ada penyair Chairil Anwar, Sutardji
Calzoum Bahri, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, dan lainnya.
Di bidang prosa, ada sastrawan Umar Kayam, Budi Darma , Danarto, Iwan
Simatupang, dan Putu wijaya.

PENUTUP

22
Sastra adalah tulisan yang imajinatif dalam artian fiksi yang menjadikan
bahasa sebagai media serta alat pengungkap gagasan dan perasaan senimannya.
Genre sastra berkembang dari bentuk sederhana ke bentuk-bentuk yang lebih
rumit. Dalam sastra Indonesia, jenis sastra dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu: jenis sastra lama dan modern. Jenis sastra sangat beragam,
terdiri atas dua macam, yaitu: puisi lama dan prosa lama. Puisi modern tidak lagi
mengikuti jumlah baris yang sudah ada Jenis prosa baru mengikuti pembagian
terahir Aristoteles, yaitu epik, lirik, dan dramatik, kemudian berkembang menjadi
tiga genre utama, yaitu prosa, puisi, dan drama.
Sebuah sastra pasti terdiri atas elemen-elemen yang membangun karya
tersebut. Salah satunya puisi yang terdiri atas elemen-elemen seperti contrast
(kontras), repetition (pengulangan), dan illustration (ilustrasi) merupakan cara
yang sering digunakan oleh penyair dalam mengemukakan gagasannya. Kata yang
digunakan dalam puisi lebih sering menggunakan majas tersebut untuk
memperlihatkan unsur keindahannya. Unsur bunyi (sound devices) merupakan
salah satu kekuatan puisi.
Setiap karya sastra memiliki keindahannya masing-masing. Pada umumnya,
aspek-aspek keindahan sastra didominasi oleh gaya bahasa. Keindahan bahasa
tidak terkandung dalam keindahan huruf, melainkan dalam isinya. Keindahan
sastra terkandung di balik huruf-huruf yang tampak. Keindahan karya sastra telah
terkandung sejak awal sebab karya sastra adalah respons, tanggapan penulis
terhadap dunia sekitarnya. Setiap baris yang tercantum dalam karya sasta, sama
sekali tidak mewakili makna kata-kata secara harfiah. Tetapi jelas dalam
kemampuan inilah justru terkandung aspek-aspek keindahan karya seni, dalam
daya ambiguitasnya, dalam kemampuannya untuk berbohong.
Selain memiliki keindahan, sastra juga memiliki kriteria baik atau tidaknya
sebagai sebuah sastra. Kiranya terdapat delapan kriteria bahwa sebuah karya dapat
dikatakan baik. Sastra yang baik bisa mengkristal. Karya sastra yang baik
mempunyai sistem yang bulat, baik sistem bentuk, bahasa, maupun isi. Karya
sastra yang baik bisa mengungkapkan isi jiwa sastrawan dengan baik. Karya
sastra yang baik adalah penafsiran kehidupan dan mengungkapkan hakikat
kehidupan. Karya sastra yang baik tidak bersifat menggurui. Karya satsra yang

23
baik tidak terikat oleh nilai-nilai dan fakta-fakta setempat, tetapi lebih bersifat
universal. Karya sastra yang baik tidak melodramatis, tidak mempunyai kesan
diatur-atur. Karya sastra yang baik harus menunjukkan kebaruan, keindividualan,
dan keaslian.

24
Daftar Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra.


Yogyakarta: Ombak.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Satsra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Surastina. 2018. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Elmatera.
Suwondo, Tirto. 2011. Konsep Dasar Teori dan Penerapannya pada Karya
Sastra. Yogyakarta: Gama Media.

25

Anda mungkin juga menyukai