Anda di halaman 1dari 1

Rangkuman Teori Stilistika dalam Buku Nurgiyantoro yang berkaitan dengan proses morfologi

Sastra khususnya fiksi dikatakan bahwa dunia dalam kata sebab dunia yang dibangun,
ditawarkan, diabstraksikan, dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, dalam bahasa (Nurgiyantoro, 2012:
272). Namun perlu dicatat bilamana unsur pembeda sebuah karya dapat disebut sebagai sastra tidak
hanya dicirikan oleh kebahasaanya saja. Pembeda tersebut dapat ditentukan oleh konvensi kesastraan,
konteks, dan bahkan harapan pembaca. Meskipun begitu disadari bahwa media dari penyampaian hal
tersebut tetap bahasa yang kemudian dapat dilihat, dikaji perihal situasi kebahasaan yang digunakan
sehingga dapat dikenal konvensi kesastraannya, berikut juga konteks dan lain sebagainya.

Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam sastra, atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu yang ditandai dengan ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur
kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 276). Stilistika
menitikberatkan pada pengertian stile sebagai kajian wujud performansi kebahasaan, khususnya yang
terdapat di dalam karya sastra. Analisis stilistika bermaksud untuk menerangkan hubungan antara
bahasa dengan fungsi artistic dan maknanya yang kemudian secara sederhana dapat dipahami yakni
bagaimana gejala-gejala linguistik untuk mendapatkan efek khusus dalam karya sastra tersebut
(Chapman, 1973: 15 dalam Nurgiyantora, 2012: 279). Lebih jauh lagi diterangkan oleh Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2012: 280) tanda-tanda linguistic yang dapat dilihat diantaranya fonologi dalam
menentukan pola suara dan irama, leksikal dalam penggunaan kata, serta penggunaan bahasa figurative
seperti bentuk pemajasan, dan lain sebagainya.

Unsur leksikal kemudian menjadi unsur yang penting dalam analisis stilistika mengingat
dikatakan bahwa fiksi merupakan dunia dalam kata. Masalah pemilihan kata dapat dilakukan melalui
beberapa pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan fonologis, misalnya untuk kepentingan
aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu yang seringkali digunakan pada wilayah puisi dengan konvensi
kesastraannya. Kedua dari segi mode, bentuk, dan makna sebagai titik fokus untuk menyampaikan
gagasan (Nurgiyantoro, 2012: 290). Kata sebagai tataran kedua dalam kajian linguistic mikro yang mana
dalam proses pembentukannya diulas pada bagian morfologi. Sudah tentu pembentukan kata tidak
terlepas dari kajian linguistic tersebut. Efek estetis seringkali muncul tidak hanya dari pemilihan kata
dasar namun juga pengolahan kata tersebut dengan pembubuhan atau proses morfologis lainnya
sehingga mampu memberikan kesan yang berbeda dan bernilai artistik. Khususnya dalam ranah puisi
tradisional yang telah memiliki sistem konvensi sastranya menjadikan proses morfologis dimanfaatkan
untuk mampu memenuhi sistem konvensi serta mampu menyiratkan gagasan dari pengarang.

Anda mungkin juga menyukai