Anda di halaman 1dari 9

MENGANALISIS NOVEL

“DI BAWAH BAYANG-BAYANG ODE”


DARI PRESPEKTIF KRITIK SASTRA FEMINIS
TEORI SASTRA
Dosen pengampu mata kuliah: Dr. Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.

OLEH:
NUR SIAWATI
A1M123064

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kritik Sastra Feminis sudah tidak asing lagi bagi para penulis karya sastra.
Feminisme itu sendiri merupakan salah satu aliran pemikiran dalam ilmu sosial
humaniora yang mencoba memahami mengapa di dalam masyarakat terjadi
ketidakadilan gender, apa yang menyebabkan, dan apa akibat yang
ditimbulkannya. Bukan cuma itu, feminisme juga memperjuangkan persamaan
derajat perempuan dengan laki-laki, dan memperjuangkan otonomi perempuan
untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya. Hampir sebagian besar karya sastra
terkhusunya novel banyak menerapkan kritik sastra feminis untuk memberikan
pencitraan terhadap perempuan. Oleh karena itu, dengan kesempatan ini saya akan
mencoba menganalisis dengan menggunakan prespektif kritik sastra feminis pada
novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pandangan kritik sastra feminis pada novel “Di Bawah


Bayang-Bayang Ode”?

C. Tujuan Penulis

Menerapkan prespektif kritik sastra feminis pada novel “Di Bawah


Bayang-Bayang Ode”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kritik Sastra Feminis

Kritik Sastra Feminis adalah salah satu kritik sastra yang berusaha
mendeskripsikan dan mengkaji pengalaman perempuan dalam berbagai karya
sastra, terutama dalam novel. Umumnya, pengkajian karya sastra ini
menggunakan sudut pandang pemikiran feminis.
Kritik Sastra Feminis merupakan sebuah kritik yang memandang sastra
dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan
budaya, sastra, dan kehidupan manusia (Sugihastuti dan Suharto, 2005:5).
Kritik Sastra Feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji
penulis-penulis wanita di masa silam dan untuk menunjukkan citra wanita dalam
berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal
yang dominan (Djajanegara, 2000:27).

B. Sinopsis Novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode”

Novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” ini mengisahkan tentang dua anak
manusia yaitu Imam dan Amalia Ode, yang terpaksa merelakan cinta mereka demi
adat yang dijunjung tinggi oleh keluarga dan masyarakatnya. Gelar ‘Ode’ yang
melekat pada nama Amalia membuatnya tidak berdaya untuk menentang
keinginan ibu dan keluarga besarnya. Sebagai seorang yang bergelar ‘Ode’ dan
mendapatkan jaminan kesejahteraan, Amalia dipaksa menikah dengan sepupunya
yang kaya raya agar anak keturunannya nanti juga mendapatkan gelar ‘Ode’ dan
mendapatkan jaminan kesejahteraan. Amalia tak kuasa menolak keinginan
keluarga setelah ibunya sujud dihadapannya dan usaha melarikan diri untuk
menemui kekasihnya Imam berhasil digagalkan oleh keluarga calon suaminya
yang mempuanyai pengaruh yang sangat besar di kampungnya. Amalia akhirnya
pasrah pada nasib terlebih setelah menyadari dirinya bahwa ia sedang menunggu
Anastasia yang pernah ditemuinya di dalam mimpi. Imam yang mengetahui
pernikahan Amalia dengan sepupunya tidak mungkin dihalangi karena dia
bukanlah seorang bergelar ‘Ode’ juga pasrah menerima nasib. Imam sangat
menyadari prinsip keluarganya bahwa gelar ‘Ode’ bukanlah sesuatu yang
diwariskan melainkan anugerah atas satu perjuangan yang dilakukan untuk
kepentingan negara sebagaimana kakeknya dahulu mendapatkan gelar tersebut.
Imam akhirnya memantapkan diri untuk melanjutkan studinya hingga meraih
gelar doktor dan mengabdi di Universitas Halu Oleo. Imam bertekad melalui
pendidikan dapat mencerdaskan generasi Wakatobi dari kungkungan adat dan
kebiasaan yang hanya berorientasi menjadi buruh dan bekerja kasar di daerah
Maluku. Keinginan Imam untuk mengubah pandangan masyarakat akan arti
penting pendidikan bagi generasi muda terlihat dalam diri Anastasia yang cantik
dan energik. Anastasia tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan berani walaupun
tidak pernah mengenal ibu kandungnya Amalia Ode. Amalia berpesan pada
ibunya sebelum meninggal dunia, “satu pesanku, ibu. Kalau suatu saat nanti lahir
anakku, jangan sisipkan kata ‘Ode’ dinamanya. Namai saja ia Anastasia, nanti
sejarahlah yang akan memberikan ‘Ode’ itu di depan namanya, kalau memang itu
perlu...”. Kisah di dalam novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” ini
meninggalkan bekas di hati pembaca yang terkoyak-koyak karena cinta yang
kandas dari sepasang anak manusia ini berakhir dengan kematian. Kedua insan ini
menjalani nasib dan penderitaan masing-masing. Kesedihan mendalam dan
kepasrahan dari tokoh Imam yang tidak pernah menikah ini sangat teresapi ketika
cerita diakhiri oleh pengarang dengan sekuen peristiwa berpulangnya Imam
menghadap ilahi. Imam yang mengidap kanker dilepas oleh Anastasia yang tidak
mengetahui bahwa dosen kesayangannya itu adalah ayah kandungnya sendiri.
B. Menganalisis Novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” dengan Prespektif
Kritik Sastra Feminis

Berikut analisis novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” menggunakan


prespektif kritik sastra feminis, dimana tema dari novel ini sendiri adalah
kekuatan adat istiadat setempat yang dapat memisahkan cinta dua orang insan
yang saling mencintai satu sama lain. Imam dan Amalia yang hanya bisa pasrah
dengan keadaan. Adapun kritik sastra feminis pada novel “Di Bawah Bayang-
Bayang Ode” sebagai berikut.

1. Gelar ‘Ode’ Yang Menyiksa


Dalam novel ini, seseorang yang menyandang gelar ‘Ode’ akan sangat
dipandang dan disegani oleh warga daerah setempat, karena tidak
sembarang orang yang dapat menyandang gelar tersebut, hanya orang-
orang terpilih dan bangsawanlah yang dapat menyandang gelar tersebut.
Alih-alih bangga menyandang gelar ‘Ode’, Amalia justru tersiksa. Karena
gelar tersebut ia tak dapat bersanding dengan orang yang dicintainya, hal
ini tentu saja sangat menyiksa bagi perempuan. Hal ini dibuktikan dengan
kutipan Amalia Ode didalam novel yaitu, “satu pesanku, ibu. Kalau suatu
saat nanti lahir anakku, jangan sisipkan kata ‘Ode’ dinamanya. Namai saja
ia Anastasia, nanti sejarahlah yang akan memberikan ‘Ode’ itu di depan
namanya, kalau memang itu perlu...”. Mengapa Amalia berpesan seperti
itu? tentu saja karena ia tak ingin anaknya merasakan penderitaan yang
sama seperti dirinya karena perkara gelar ‘Ode’.

2. Kekerasaan Dalam Keluarga


Dalam novel diceritakan bahwa Amalia berkali-kali menjelaskan kepada
ibunya dan paman-pamannya bahwa ia tak mencintai La Ode Halimu,
bahwa cinta tak dapat dipaksakan, bahwa harta dan tahta bukanlah
segalanya ketika cinta telah terbina. Bukan Cuma itu, kekerasaan ini juga
terjadi akibat hubungan asmaranya diketahui oleh paman-pamannya, oleh
sebab itu, Amalia mendapatkan kekerasan fisik dan ujaran-ujaran yang
melukai batin. Salah satu contoh kekerasaan fisik yang didapatkan Amalia
adalah dikurung oleh pamannya tiga hari tiga malam dan tidak
diperbolehkan kuliah, pukulan dari pamannya, tamparan dari pamannya
dan kekerasan fisik lainnya. Sedangkan salah satu ujaran yang dilontarkan
oleh paman Amalia dan membuat batin amalia terluka adalah “Sekali lagi
aku bilang, kalau kau tidak mau juga maka aku akan membunuhmu,
Amalia!” ancam pamannya. Adapun ancaman yang tak kalah mengerikan
lagi yaitu “Kusumumbeleko, kugumonti-gontiko te golo ana!” (Saya
potong lehermu, saya potong-potong tubuhmu dengan golok ini!).

3. Hilangnya Kebebasan Hak Memilih dan Menentukan


Dalam novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” Amalia selaku perempuan
yang tak diberikan hak memilih dan kebebasan dalam menentukan
pilihannya. Sebagaimana kita tahu sendiri, baik agama maupun aturan
negara telah diberikan hak perempuan untuk memilih dan tak ada paksaan
ketika menentukan pasangan hidup, karena kita tahu sendiri bahwa yang
menajalani rumah tangga itu adalah dirinya sendiri dan pasangannya,
karena rumah tanggamu bisa menjadi surga maupun neraka bagimu.
Amalia dipaksa dan dikekang oleh ibu, paman, dan keluarganya untuk
menikah dengan orang yang tak dicintainya sama sekali dengan alibi harta,
tahta dan kehormatan adalah segalanya dalam cinta. Amalia tak berdaya,
putus asah dan hanya bisa pasrah. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
pembelaan-pembelaan yang dilontarkan Amalia agar bisa diberi kebebasan
cinta oleh ibunya “Ibu, kalau permintaan Lia, ibu kabulkan, maka Lia akan
mengabdi pada ibu sampai kapanpun. Aku akan memberikan hidupku
sama ibu...”, kutipan lainnya lagi yaitu “Izinkan Lia mencintai orang
pilihan Lia sendiri, Bu! Selebihnya Lia akan menjadi anak yang berbakti
pada ibu...”
Setelah terdiam sejenak, ibunya langsung menjawab, “Permintaan itu,
hanyalah mimpi, Lia. Sejak dulu Ibu tidak merestui hubungan kalian,
mengapa sampai sekarang Lia tidak juga paham?”. Kebebasan Lia dalam
menentukan pilihannya sendiri tidak pernah diindahkan oleh ibu maupun
keluarga besarnya.

4. Terbatasnya Hak-Hak Perempuan


Ada salah satu kutipan yang diucapkan oleh paman Lia yang menjelaskan
hak-hak perempuan yang seharusnya menurut agama dan adat di daerah
setempat yaitu “Kau tidak perlu kuliah! Tugas perempuan adalah
melahirkan, dan melayani suaminya! Ingat itu, kalau kau mau masuk
surga, kau juga harus ikut semua perintah ibumu dan perintah suamimu,”.
Kutipan tersebutlah yang menggambarkan doktrin warga daerah setempat
tentang kewajiban seorang perempuan. Hak-hak perempuan dibatasi, yang
terpenting adalah bagaimana ia melayani suaminya, pendidikan bukanlah
hal yang wajib dan penting bagi perempuan. Itulah yang dirasakan Amalia
Ode.

5. Ketundukkan Perempuan Kepada Adat


Dalam novel “Di Bawah Bayang-Bayang Ode” digambarkan bagaimana
perempuan diatur dalam adat istiadat dan menjadi kebiasaan turun temurun
yang telah menjadi doktrin dalam kepala-kepala warga setempat. Seperti
perempuan tidak diwajibkan untuk berpendidikan tinggi, kewajiban
melayani suami adalah yang utama, kerja perempuan hanyalah mencetak
generasi-generasi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kritik Sastra Feminis adalah salah satu kritik sastra yang berusaha
mendeskripsikan dan mengkaji pengalaman perempuan dalam berbagai
karya sastra, terutama dalam novel. Umumnya, pengkajian karya sastra ini
menggunakan sudut pandang pemikiran feminis. Adapun analisis novel
“Di Bawah Bayang-Bayang Ode” melalui prespektif kritik sastra feminis
adalah Gelar ‘Ode’ yang Menyiksa, Kekerasaan Dalam Keluarga,
Hilangnya Kebebasan Hak Memilih dan Menentukan, Terbatasnya Hak-
Hak Perempuan, Ketundukkan Perempuan Kepada Adat.

B. Saran

Semua perempuan di dunia ini berhak mendapatkan hak-haknya, hak-hak


perempuan sama dengan hak-hak laki-laki, agama dan negara telah
memberikan kebebasan kepada perempuan, jadi, tetap tegakkan hak-hak
perempuan dimuka bumi ini.
DAFTAR PUSTAKA

Udu, Sumiman. 2015. Di Bawah Bayang-Bayang Ode Volume 1. Kendari: Seligi


Press.

Ummah, Minyatul. 2009. “KRITIK SASTRA FEMINIS DALAM NOVEL


IMRA’AH ‘INDA NUQTHAH AL-SHIFR KARYA NAWAL AL-
SAADAWI” Jurnal Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Volume 1.

Windiyarti, Dara. 2020. “MAKNA SIMBOLIK PENOLAKAN GELAR ‘ODE’


SEBAGAI STATUS SOSIAL TERTINGGI ORANG BUTON”. Sidoarjo:
Balai Bahasa Jawa Timur, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo.

Anda mungkin juga menyukai