Keluarga adalah sistem tatanan masyarakat yang paling kecil, seperti juga
negara lain Jepang pun mempunyai sistem tatanan masyarakat yang khas. Sistem
tersebut telah ada dan dianut secara turun temurun sejak jaman dulu. Jika di Bali
terkenal dengan sistem kasta dalam tatanan masyarakatnya, di Jepang yang
menjadi salah satu dari sistem tatanan masyarakat yang cukup dikenal adalah
sistem Ie dan Dozoku.
A. Ie
rumah atau keluarga akan tetapi dalam masyarakat Jepang pengertian Ie tidaklah
sesingkat dan sesederhana itu. Sistem Ie merupakan salah satu kebudayaan Jepang.
Menurut Chie Nakane ; Sistem Ie di Jepang merupakan suatu sistem keluarga yang
tidak dapat ditemukan di negara lain kecuali di Jepang, sistem ini hanya ada di
Jepang karena sistem ini merupakan perwujudan kebudayaan khas Jepang (1978:8).
Sebagai kebudayaan yang khas, konsep ie tidak hanya mengatur sistem keluarga
Jepang tetapi juga mengatur interaksi sosial masyarakat.
B. Dozoku
Karateristik dozoku
1. Di dalam dozoku selalu ada honke (keluarga utama) dan bunke (keluarga
cabang)
Demikian juga dengan sistem dozoku, pada saat ini masih berlaku di
kalangan zaibatsu (kaum kapitalis) yang menguasai gabungan usaha komersil dan
industri di Jepang, sebagian besar perusahaan di Jepang masih menggunakan
sistem ini terutama dalam proses penggantian pimpinan perusahaan. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjaga asset dari keluarga dan mempertahankan
harta keluarga untuk diwariskan kepada keturunan selanjutnya.
Tahun fiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di Jepang
sebanyak 25.5 juta yang 41.4% (9.3 juta) adalah pekerja wanita paruh waktu,
bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu. Dan dari seluruh total lapangan kerja
paruh waktu, 77.4 persen diduduki oleh tenaga kerja wanita (Japan A Pocket
Guide 2004, Foreign Press Centre Japan).
Dari beberapa alasan itu terlihat bahwa perkembangan ekonomi telah mejadi
alasan utama bagi wanita Jepang untuk menunda pernikahannya. Hal ini secara
tidak langsung membuktikan bahwa kemajuan dalam bidang ekonomi di Jepang
memiliki peranan besar dalam perubahan pola pikir masyarakat Jepang terhadap
pernikahan, khususnya bagi wanita Jepang modern.
Menurut Sumiko Iwao, bagi wanita yang berorientasi pada karir, perkawinan
dianggap penghalang untuk mencapai tujuan profesional mereka. Pernikahan bagi
wanita Jepang modern telah menjadi beban karena harus mengorbankan keinginan
pribadi mereka masing-masing untuk kepentingan keluarga. Untuk bisa
mempertahankan gaya hidup mereka, para wanita Jepang modern rela hidup
dengan tetap melajang dan menikmati kebebasannya.
Dibanding yang pria, wanita Jepang setelah lulus SMU lebih banyak yang
melanjutkan ketingkat pendidikan yang lebih tinggi ke kolese junior dan perguruan
tinggi, 48.8%. Kebebasan memilih bagi wanita Jepang adalah, profesionalisme.
Saat seorang wanita memilih menjadi ibu rumah tangga, bekerja sebagai pendidik
bagi putra-putrinya tidak dirasakan sebagai kekangan, melainkan bersifat utama,
strategis dan justru seharusnya dilakukan. Peran wanita seperti itu tidak dianggap
rendah atau remeh, tetapi sebaliknya justru mulia. Peran ganda sebagai ibu,
terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap sebagai chuto
hanpa (peran tanggung), tidak populer di Jepang. Bagi orang Jepang, setelah
menikah hanya ada 2 pilihan, yaitu menjadi ibu rumah tangga atau tidak sama
sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana
dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung
kesuksesan masing-masing karir yang diemban. Bagi wanita pekerja Jepang
(wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak), bisa mencapai jabatan
yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu.
Dalam Undang-Undang ketenagakerjaan ada yang disebut Roudou kinjunhou
yang berisi pasal diantaranya, mengatur tentang upah yang sama antara pekerja
laki-laki dan pekerja perempuan, mengatur tentang ketentuan perlindungan kerja
bagi wanita (jam kerja, cuti hamil, cuti haid, cuti melahirkan, dll). Berkenanaan
dengan undang-undang itu jenis pekerja wanita di Jepang terdiri dari
1. Sogo shoku: pekerja wanita yang menjalani kondisi yang sama dengan
pekerja laki-laki, biasanya lulusan S1 dan lulusan dari Perguruan Tinggi
yang mempunyai reputasi baik.
2. Ippan shoku: pekerja wanita yang tidak memiliki peran penting di tempat
kerja, mereka mengutamakan keluarga dari pada karir. Pada jaman Edo
wanita seperti ini disebut Ryousai yang artinya istri yang baik, akan tetapi
pada jaman sekarang istilah itu berubah menjadi Ryousai Kenbo yang bisa
berarti Istri Baik, Ibu Bijaksana, istilah ini mengandung makna bahwa peran
wanita tidak hanya sebagai istri yang baik tapi juga sebagai pendukung
peran pria dari rumah dan memelihara generasi berikutnya dalam bidang
pendidikan yang dimulai dari pembentukan karakter anak dalam keluarga